Rabu, 31 Oktober 2012

Pengantar Studi Hadist Tarbawi


“PENGANTAR STUDI HADIST TARBAWI


I.              Hadist Tentang Memperdalam Ilmu Agama
‏‏عَنْ ‏‏ مُعَاوِيَةَ يَقُولُ ‏: سَمِعْتُ النَّبِيَّ ‏ ‏ ‏ ‏يَقُولُ :‏ ‏مَنْ يُرِدْ اللَّـهُ بِهِ خَيْرًا ‏ ‏يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ

Dari Muawiyah berkata : saya mendengar Rasulalloh bersabda barang siapa di kehendaki kebaikan oleh Alloh, maka ia akan di fahamkan tentang agamanya. (HR Bukhori).

Penjelasan
Yufaqhu fid din  artinya diberikan pemahaman kecerdasan dan pengetahuan yang membuatnya mampu mengambil hukum dari dalil-dalilnya. Inilah yang diberikan oleh Alloh kepada para sahabat dan juga para tabiin. Seperti doanya Nabi saw untuk Ibnu Abbas “Ya Alloh fahamkan dia kepada Agama dan ajarkan kepadanya tafsir”maka Beliau Ibnu Abbaspun menjadi seorang yang sesuai dengan doa Nabi sehingga pernah beliau mentafsiri surat An nur dengan sangat tinggi dan seandainya Yahudi dan Romawi mendengar pasti masuk Islam.[1]
Kesimpulan
Bahwa salah cinta tanda cinta Alloh kepada hamba-Nya adalah  dengan cara di pahamkannya terhadap agamanya. Dan hadist diatas memberikan motivasi untuk senantiasa belajar bagi setiap orang.

II.              Hadist tentang Etika Menjawab Pertanyaan ketika sedang berbicara

عَنْ ‏ ‏أَبِي هُرَيْرَةَ ‏ ـ رَضِيَ اللَّـهُ تَعَالَى عَنْهُ ـ أَنَّهُ ‏قَالَ :‏بَيْنَمَا النَّبِيُّ ‏ ‏ ‏فِي مَجْلِسٍ يُحَدِّثُ الْقَوْمَ جَاءَهُ أَعْرَابِيٌّ فَقَالَ : مَتَى السَّاعَةُ ؟ فَمَضَى رَسُولُ اللَّـهِ ‏ ‏ ‏ ‏يُحَدِّثُ فَقَالَ بَعْضُ الْقَوْمِ : سَمِعَ مَا قَالَ فَكَرِهَ مَا قَالَ ، وَقَالَ بَعْضُهُمْ : بَلْ لَمْ يَسْمَعْ ، حَتَّى إِذَا قَضَى حَدِيثَهُ قَالَ : أَيْنَ أُرَاهُ السَّائِلُ عَنْ السَّاعَةِ ؟ قَالَ : هَا أَنَا يَا رَسُولَ اللَّـهِ ، قَالَ ‏: ‏فَإِذَا ضُيِّعَتْ الْأَمَانَةُ فَانْتَظِرْ السَّاعَةَ . قَالَ : كَيْفَ إِضَاعَتُهَا ؟ قَالَ : إِذَا ‏ ‏وُسِّدَ ‏‏الْأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ ، فَانْتَظِرْ السَّاعَةَ.
Artinya : dari Abu Huroiroh berkata ketika Nabi sedang berada di majlis sedang berbicara terhadap suatu kaum dan sedang mengajar. Datanglah seorang badui bertanya Ya Rasul kapan Kiamat, maka Rasul tetap  melanjutkan mengajarnya. Sebagian  orang berpendapat Nabi mendengar yang dikatakan Badui, tetapi Nabi tidak suka terhadap pertanyaan dan sebagian yang lain Nabi tidak mendengar. Sampai selesai mengajar Beliau bersabda mana orang tadi bertanya tentang hari Kiamat? Orang itu menjawab : Saya Ya Rasululloh. Rasul bersabda : Apabila Amanah sudah disia-siakan maka tunggulah kiamat. Orang itu bertanya lagi Apa yang dimaksud dengan menyia-nyiakan Amanah? Nabi bersabda “Apabila urusan itu diserahkan bukan pada Ahlinya maka tunggulah Kiamat”

Penjelasan :
Didalam Hadits ini Rasul mencontohkan etika adab menjawab pertanyaan ketika proses pembelajaran dan pembahasan yang berbeda (diluar tema Pembahasan). Orang badui bertanya kepada Rasul kapan kiamat, sedang Rasul mengajarkan lain kepada para sahabatnya (Pembahasan yang lain). Maka Nabi tidak memotong pelajarannya tetapi melanjutkan dan menyelesaikan sampai selesai pelajarannya.[2]
Kesimpulan
Hadist tersebut di atas memberikan pemahaman tentang bagaimana adab (etika) ketika seseorang bertanya kepada gurunya, sedang gurunya belum selesai menyampaiakn materi. Maka sebagai guru, Nabi kemudian melanjutkan materi sampai selesai setelah itu baru menjawab pertanyaan sang murid. Setiap pertanyaan yang di ajukan kepada guru pada saat sedang menjelaskan suatu bab tertentu, mestinya pertanyaan menyesuaikan dengan bab yang sedang di bahas. 
III.              Hadist tentang Hukum menuntut ilmu
و قال رسول الله صلى الله عليه و سلم: طلب العلم فريضة على كل مسلم و وضع العلم عند غير اهله كمقلد الخنازير الجوهر و للؤلؤ و الذهب. (رواه ابن مجاه)
Artinya:
"Dan Rosulullah Saw. Telah bersabda: Menuntut ilmu adalah wajib bagi setiap muslim dan orang yang menempatkan ilmu kepada orang yang bukan ahlinya (orang yang enggan untuk menerimanya dan orang yang menertawakan ilmu agama) seperti orang yang mengalungi beberapa babi dengan beberapa permata, dan emas. (HR Ibnu Majah)

Penjelasan
Menurut ibnul Mubarak yang dimaksud hadist ini adalah ketika seorang dihadapkan pada masalah agama, maka dia wajib mencari tahu sampai ia mengetahuinya. Menurut Imam Al Baidhowi yang dimaksud dengan ilmu yang harus dicari tahu adalah seorang hamba tidak boleh tidak mengetahui seperti mengetahui penciptanya, keesaan Alloh, Kenabian Rasul, tata cara sholat maka mempelajarinya adalah fardhu ain. Imam Ats sauri yang dimaksud dengan ilmu adalah tidak ada pemakluman untuk tidak mengetahuinya. Ala kulli muslim artinya mukalaf artinya orang yang sudah dibebani untuk melakukan, Maka mencakup laki-laki dan perempuan. [3] Hadist tersebut juga merupakan penjelasan tentang hukum mencari ilmu untuk setiap orang Islam laki laki maupun perempuan, yang telah diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah dan lain lain. Akan tetapi hadist tersebut diberi tanda lemah oleh imam Syuyuti.[4]
Adapun hukum menuntut ilmu menurut hadist tersebut adalah wajib. Karena melihat pentingnya ilmu dalam kehidupan dunia maupun akhirat. Manusia tidak akan bisa menjalani kehidupan ini tanpa memiliki ilmu. Bahkan dalam kitab taklimul Muta'allim dijelaskan bahwa yang menjadikan manusia memiliki kelebihan diantara makhluk - makhluk Allah yang lain adalah karena manusia memilki ilmu.[5]
Kesimpulan hadist tentang hukum menuntut ilmu
Hadist ini berisi kesimpulan bahwa :
1.      Menuntut ilmu agama adalah wajib bagi setiap muslim
2.      Jangan memberikan ilmu agama kepada orang yang enggan menerima ilmu

IV.              Hadist tentang anjuran menjaga ilmu
حديث عبد الله بن عمر بن العاص رضي الله عنه قال: سمعت رسول الله ص. م. يقول: ان الله و يقبض العلم انتزاعا ينتزعه من الناس و لكن يقبض العلم بقبض العلماء حتى اذا لم يترك عالما اتخذ الناس رءوسا جهالا فسئلو فأفتو بغير علم فضلو و اضلو (متفق عليه)
Artinya:
Diriwayatkan dari Abdullah bin Amru bin Ash. Katanya: aku pernah mendengar Rosulullah bersabda: Allah tidak mengambil ilmu islam itu dengan cara mencabutnya dari manusia sebaliknya Allah mengambilnya dengan mengambil para ulama sehingga tidak tertinggal meskipun seorang. Manusia menunjuk orang jahil menjadi pemimpin, menyebabkan ketika mereka ditanya mereka memberi fatwa tanpa berdasarkan pada ilmu pengetahuan, akhirnya mereka sesat dan menyesatkan orang lain (HR Bukhori - Muslim)

Penjelasan
Rosulullah mengucapkan hadist ini pada saat Haji Wada’. Sebagaimana hadist yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Tabrani dari hadist Abu Umamah bahwa pada saat haji Wada 'Nabi bersabda: "Pelajarilah ilmu sebelum datang masa punahnya ilmu".
Arabi berkata "Bagaimana cara ilmu itu datang dan dihancurkan? Beliau bersabda: "punahnya ilmu itu dengan punahnya para ulama (orang yang menguasai ilmu)"
Hadist ini berisi anjuran menjaga ilmu, pengingat untuk pemimpin yang bodoh, dan peringatan bahwa yang berhak mengeluarkan fatwa adalah pemimpin yang benar - benar mengetahui dan larangan bagi orang-orang yang berani mengeluarkan fatwa tanpa berdasarkan ilmu pengetahuan. Hadist ini juga dijadikan alasan oleh para ulama bahwa pada zaman sekarang ini tidak ada lagi seorang mujtahid. [6]

Kesimpulan hadist tentang anjuran menjaga ilmu
Hadist ini berisi anjuran menjaga ilmu, pengingat untuk pemimpin yang bodoh, dan peringatan bahwa yang berhak mengeluarkan fatwa adalah pemimpin yang benar - benar mengetahui dan larangan bagi orang yang berani mengeluarkan fatwa tanpa berdasarkan ilmu pengetahuan.

V.              Hadits tentang keutamaan menuntut ilmu

ومن سلك طريقا يلتمس فيه علما, سهل الله له به طريقا إلى الجنة   .......          
Artinya: Diriwayatkan dari Abu Hurairah radiallahuanhu, Sesungguhnya Rasulullah SAW   bersabda Barang   siapa menempuh jalannya untuk mencari ilmu, maka Allah mempermudah kepadanya jalan ke surga.   (HRMuslim)
                                       
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ خَرَجَ فِي طَلَبِ الْعِلْمِ كَانَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ حَتَّى يَرْجِعَ( رواه الترمذي)

Dari Anas bin Malik berkata, telah bersabda Rasulullah saw: "barangsiapa keluar (pergi) untuk mencari ilmu maka ia berada di jalan Allah sehingga  kembali (HR. Tirmidzi).
Penjelasan  
Dalam hadits yang kedua Rasulullah menegaskan bahwa menuntut ilmu itu dinilai sebagai berjuang di jalan Allah, sehingga barang siapa yang mencari ilmu dengan sungguh-sungguh dia akan mendapatkan pahala yang berlipat ganda bahkan bila sesorang meninggal dunia saat mencari ilmu dia akan mendapatkan surganya Allah karena dinilai sama dengan mati syahid.

Kesimpulan
Bahwa dengan ilmu manusia akan mendapatkan kebahagiaan didunia maupun diakherat. Orang yang menempuh perjalanan untuk mencari ilmu sama dengan orang yang sedang menempuh perjalanan menuju surga, Hal ini merupakan kemuliaan yang diberikan Allah kepada orang yang mencari ilmu.[7]


VI.              Hadist tentang peran ilmu terhadap pendidikan
عن علي. أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: أدبوا أولادكم على ثلاث خصال, حب نبيكم, و حب ال بيته, وتلاوة القران. فإن حملة القران في ظل عرش الله يوم لا ظل إلا ظله مع أنبيائه و أصفيائه. (رواه الطبراني)
Artinya: Dari Ali, bahwa sesungguhnya Nabi Muhammad SAW berkata: Didiklah anak-anak kalian semua dengan tiga perangai: Cinta Nabi kalian, Cinta keluarga nabi, dan Membaca AlQur'an, maka sesungguhnya orang yang belajar AlQur'an   berada dalam perlindungan Allah , Pada hari yang tiada pertolongan selain pertolongan Allah beserta para nabinya dan kekasihNYA. (HR Ath Thobroni).

Penjelasan dan hadist lain
Rosulullah SAW memerintahkan untuk mendidik anak-anaknya dengan tiga perangai:
1.      Cinta terhadap Nabinya, karena cinta terhadap Nabi adalah lebih utama dari pada cinta terhadap kedua orang tuanya bahkan terhadap dirinya sendiri, sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadist:
عن انس بن مالك رضى الله عنه انه قال. قال النبي صلى الله عليه وسلم: لا يؤمن احدكم حتى اكون احب اليه من والده   وولده والناس اجمعين. (رواه البخارى)                                         
Artinya: Dari Anas ra bahwasanya dia berkata, Nabi SAW bersabda, "Seseorang  diantara kamu tidak beriman, sehingga aku lebih dicintai dari orang tua, anak-anak dan manusia seluruhnya. " (HR Bukhori) [8]
2.      Cinta kepada keluarga Nabi, karena barang siapa cinta kepada seseorang maka ia akan cinta kepada apa yang dicintai oleh seseorang tersebut dan keturunanya. Sesungguhnya keluarga Nabi adalah lebih berhak mendapatkan cinta, sebagaimana Allah berfirman dalam surat Al Ahzab ayat 33:
 انما يريد الله ليذهب عنكم الرجس اهل البيت و يطهركم تطهيرا
Artinya: Sesungguhnya Allah bermaksud   hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait, dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya. 
3.      Memberikan pengajaran Al-Qur'an terhadap anak, belajar Al-Qur'an dan  mengamalkanya adalah yang paling penting dan utama, karena dengan Al-Qur'an manusia menjadi umat yang paling mulya, sebagaimana dalam sebuah hadist riwayat Imam Bukhari dari sahabat Ustman ra Rosulullah SAW bersabda:
عن عثمان بن عفان رضى الله عنه عن النبى صلى الله عليه وسلم قال ان افضلكم من تعلم القران و علمه. (رواه البخارى)
Artinya: Dari Ustman bin Affan ra, dari Nabi SAW, beliau bersabda: Sesungguhnya orang termulia diantara kamu adalah orang yang belajar dan mengajarkan Al-Qur'an. (HR Bukhari)

Kesimpulan
Ilmu memiliki peran sangat penting dalam dunia pendidikan, yang mana pendidikan adalah Universal, ada keseimbangan  antara aspek intelektual dan spiritual, antara sifat jasmani dan rohani. Dengan pendidikan   yang benar dan akhlak yang kuat, maka akan tumbuh generasi penerus bangsa yang beradab dan bermartabat. Karena keberadaan pendidikan menjadi prasyarat kemajuan sebuah bangsa.
Dalam Islam pendidikan sangatlah penting, terutama pendidikan terhadap anak.Oleh karena itu Nabi Muhammad SAW memerintahkan kepada seluruh orang tua untuk selalu memperhatikan pendidikan anak dan memberikan pengawasan terhadapnya, dengan cara membiasakan dengan akhlak yang mulia, menanamkan benih-benih keimanan dalam hatinya, mengawasi segala urusannya, karena seoarang anak jika diabaikan maka akan rusak akhlak dan tabi'atnya, dan akan menjadi seorang yang tidak beradab, tidak akan dalam kehidupannya, bahkan akan menjadi virus bagi masyarakat.[9]


DAFTAR PUSTAKA

Abdur rahman bin jibran, Abdulloh bin, Sarah kitabul ilmi min sokhikhil Bukhori
Al-Asqolani, Ibnu Hajar. 2002. Fathul Baari Syarah . Terj. Jakarta. Pustaka Azzam
Al-Mundiri Hafidz. 2000. Terjemahkan Attarghib wat Tarhib . Surabaya. Al-Hidayah
Al Qur'an Al Karim
As Shobuni , Muhammad 'Ali, 1420 H-1999 M , Min Kunuz As Sunnah , Terj, Jakarta , Dar Al Kutub Al Islamiyah.
Az-zarnuzi. Ta'limul Muta'allim . Surabaya: Al-Hidayah
Muhammad Zuhri, 1993. Terjemahkan Jawahirul Bukhari , Surabaya, Darul Ihya '


[1] Abdulloh bin Abdur rahman bin jibran, Sarah kitabul ilmi min sokhikhil Bukhori, hal 19
[2] Abdulloh bin Abdur rahman bin jibran,ibid  hal 16-17
[3] Khasiah As Sihindi terhadap Ibnu Majah
[4] Al-Mundiri Hafidz. 2000.Terjemah Attarghib wat tarhib.Surabaya.Al-Hidayah,.hal.01
[5] Al-Asqolani, Ibnu Hajar.2002.Fathul Baari Syarah.terj Jakarta.Pustaka Azzam.hal.375

[6] Ibid hal.374
[7] Ibid hal. 302
[8] Muhammad Zuhri, 1993.Terjemah Jawahirul Bukhori.Surabaya: Darul Ihya hlm.34
[9] as-shobuni, M.Ali.1999.Min Kunuz As sunnah. Terj,Jakarta: Dar Al-Kutub Al-Islamiyah hal. 130

Senin, 29 Oktober 2012


“Mengungkap Realitas yang Tidak Tampak”
Abd. Qohin
I.     Prolog
Sebelum membicarakan bagaimana cara mengetahui, terlebih dahulu mari kita telusuri rasa ingin tahu. Sesungguhnya rasa ingin tahu erat terkait dengan pengalaman, kekaguman atau keheranan akan pa yang dialami. Seperti dikemukakan plato, kegiatan filsafat sendiri dimulai dengan pengalaman kekaguman atau keheranan. Kenyatan ini berlaku untuk semua kegiatan mencari ilmu pengetahuan. Dalam gejala manusia bertanya terungkap kenyataan bahwa manusia disatu pihak sudah tahu sesuatu, tetapi sekaligus juga belum tahu, dan ingin tahu mengenai hal-hal yang belum ia ketahui.
Pertanyaan selalu menunjuk pada kenyataan adanya kemungkinan pengetahuan yang lebih dari apa yang sampai sekarang sudah diketahui. Karena selalu masih ada saja ada hal-hal yang belum diketahui setiap jawaban atas suatu pertanyaan sering memunculkan pertanyaan baru yang mengharapkan jawaban. Dapat mengajukan pertanyaan yang tepat mengandaikan bahwa orang tahu dimana ia tahu dan dimana ia tidak tahu. Maka, mengajukan mengajukan pertanyaan yang tepat merupakan langkah pertama memperoleh jawaban yang benar. Hanya kalau orang menyadari akan ketidaktahuannya dan ingin tahu, maka ia akan bertanya dan berusaha mencari jawaban atas apa yang ia tanyakan.[1]
Kesadaran dan dorongan seperti itu merupakan hal yang mendasar bagi bertambahnya pengetahuan. Hanya kalau orang berusaha untuk dapat memahami dan menjelaskan apa yang dialami, maka pengalaman dapat berkembang menjadi pengetahuan. Untuk dapat memahami dan menjelaskan apa yang dialami, manusia perlu melakukan kegiatan berpikir. Termasuk didalamnya bagaimana cara mengetahui dan memahami sesuatu yang ada dalam jangkauan pikiran manusia maupun di luar jangkauan akal manusia.
II.     Definisi “Mengetahui”
Apa itu mengetahui? Saya tahu bahwa hari ini akan hujan, saya tahu bahwa bunga mawar berwarna merah, Saya tahu bahwa Alloh itu ada. Sebagian besar dari kita mengandaikan begitu saja bahwa kita mengetahui hal-hal dan bahwa kita dapat mengetahui mereka. Tetapi apa itu mengetahui dan bagaimana kita dapat yakin bahwa apa yang kita ketahui benar? Bila kita memperhatikan kalimat-kalimat di atas, kita akan melihat kata “Tahu” digunakan beberapa kali tetapi didalamnya beberapa cara berbeda. Kata “Mengetahui” mempunyai beberapa arti yang berbeda. Lalu apa sebenarnya arti kata mengetahui sesuatu itu?[2]
Mengetahui Sesutu merupakan suatu kegiatan sadar manusia. Bahwa kegiatan mengetahui disini dimengerti sebagai kegiatan sadar dalam memahami dan mengalami serta menegaskan putusan tentang suatu objek yang dihadapinya atau interaksi dengan alam lingkungannya. Kiranya tidak perlu berarti bahwa tidak ada tempat bagi pengetahuan yang bersifat implisit atau tak terungkapkan. Dalam dan dengan merumuskan serta mengungkapkan pengetahuan kita, kita juga menjadi sadar bahwa ada banyak hal yang secara implisit kita ketahui, tetapi tidak bisa sepenuhnya kita rumuskan dan ungkapkan baik lisan maupun tulisan.[3]
Tidak semua kegiatan sadar manusia bersifat kognitif atau menmpunyai sifat pengetahuan. Tetapi semua kegiatan mengetahui merupakan kegiatan sadar. Ada kegiatan sadar lain selain mengetahui. Misalkan melukis pemandangan alam, merasakan dengan hati, merasakan dengan rabaan tangan, mempercayai, menghendaki, mempertimbangkan dan sebagainya.
Sedangkan pandangan lain memaknai bahwa mengetahui berarti suatu kegiatan sadar dari suatu objek yang pertama-tama mengalami sesuatu sebagai objek tersaji untuk dikaji kemudian memahaminya secara cerdik (mengungkap keterpahamian objek tersebut dengan berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan yang relevan) dan akhirnya secara nalar dapat menimbang dan memutuskan apakah pemahamannya itu memang sesuai dengan objek yang dialami. Mengetahui sesuatu berarti menjawab pertanyaan.[4]
III.     Bagaimana kita  “Mengetahui”
Ada sebuah hadist Addienu huwal ‘Aqlu la dienul liman la aqlalah artinya agama itu akal, tidak beragama buat orang yang tidak menggunakan akalnya. Berdasarkan hadist tersebut kita percaya bahwa agama Islam itu sangat mudah dipahami dan diterima oleh akal. Walaupun banyak orang mengatakan bahwa hadist tersebut dhoif, tetapi hadist ini memiliki matan yang benar.
Akan tetapi akal saja tidak cukup. Kita percaya di dalam Islam akal bukanlah satu-satunya cara untuk mengetahui sesuatu, menurut Prof Dr Jalaludin Rahmad, paling tidak ada tiga cara untuk mengetahui sesuatu.[5] Cara yang pertama ialah dengan pengindraan, melihat sendiri, seeing is believing. Kita mengetahui sesuatu setelah melihatnya. Menurut Al Qur’an cara itu adalah cara yang paling elementer tingkatannya. Al Qur’an mencontohkan hal ini dengan melukiskan kaum Nabi Musa yang baru percaya kalau Alloh itu ada jika mereka melihat Alloh secara jahrotan, kasat mata.
Ketika kita membicarakan peran indra dalam proses manusia mengetahui, kita telah mencatat bahwa pengalaman kognitif kita selalu bersifat indrawi dan akali. Kita selalu mengalami sesuatu melalui indra kita sebagai wujud konkret tertentu dengan sebutan tertentu. “Ini Sesuatu”  (This such). Misalnya “Ini Meja”, “itu Kursi”, maka dalam perjalanan indrawi, tidak hanya indra pada dirinya yang terlibat, tetapi akal budi atau pikiran.  Ada pemikiran dan konseptualisasi untuk memahi dan menyebut apa yang di alami.  Indra memang membuat kita langsung sadar akan hadirnya objek fisik tertentu. Tetapi pengenalan akan objek tersebut sebagai objek fisik  dan bahwa kualitas atau cirri-cirinya ada bermacam-macam  mengandaikan adanya konsep.  Konsep jelas mempunyai peran penting dalam proses manusia mengetahui . tanpa adanya konsep tidak  mungkin ada pengenalan.; tanpa ada konsep juga tidak mungkin ada pemahaman dan penegasan putusan tentang apa yang dialami manusia ; dan tanpa itu semua, pengetahuan juga tidak mungkin.[6]
Konsep secara umum dapat dirumuskan pengertiannya sebagai suatu representasi abstrak dan umum tentang sesuatu. Sebagai suatu reprensentasi abstrak dan umum tentu saja konsep konsep merupakan sesuatu yang bersifat mental. Representasi sesuatu terjadi dalam alam pikiran. Tetapi apakah konsep hanya merupakan gejala mental saja? Rupanya tidak, sebab konsep juga punya rujukan pada kenyataan. Konsep adalah suatu medium yang menghubungkan subjek penahu dan objek yang diketahui, pikiran dan kenyataan. Melalui dan dalam konsep kita mengenal, memahami, dan menyebut objek yang kita ketahui.
Konsep dapat dimengerti dari sisi subjek dan objek. Dari sisi subjek, suatu konsep adalah kegiatan merumuskan dalam pikiran atau menggolong-golongkan. Dari sisi objek. Suatu konsep adalah isi kegiatan tersebut, artinya apa makna konsep itu. [7]
Cara yang kedua, kita bisa mengetahui adanya sesuatu lewat akal pikiran kita, walaupun indra kita tidak melihat.
Menurut Al Juwaini, akal merupakan bagian dari ilmu daruri adalah mustahil ada manusia yang didalam benaknya tidak mengetahui apa-apa sama sekali. Bukti lain adalah setiap manusia yang sehat dan sempurna akalnya pasti mempunyai kehendak, sedangkan syarat mutlak dari timbulnya kehendak ia harus mengetahui apa yang dikehendakinya.  Bukti lain, disebutkan bahwa sejak dini akal sudah bisa mengetahui bahwa dua hal bertentangan tak mungkin bisa bersatu pada benda dan masa yang sama. Akal juga mengetahui bahwa di alam ini terdapat dua objek pengetahuan yaitu ada (Isbat) dan tiada (Nafi). Akal mengetahui bahwa wujud ada dua macam yaitu baru (hudus) dan kekal (Qidam).[8]
Pengetahuan yang di dapat manusia melalui proses penalaran ini sifatnya tidak stabil. Artinya pengetahuan ini bisa hilang dari ingatan atau dilupakan dan juga bisa mendatangkan keraguan. Pengetahuan ini bisa dikembalikan lagi dalam ingatan setelah mengingat-ngingatnya kembali dengan penalaran akal.
 Cara yang ketiga, -kita belum punya nama cara itu- sebagian orang menyebutnya dengan rasa. Tetapi perasaan itu menurut Jalaludin Rahmad sangat rendah. Jadi sebut saja mengetahui dengan kalbu.
Menurut ahli tasawuf, kita bisa mengetahui sesuatu itu  tidak lewat akal, tidak lewat indra, tetapi lewat riyadhoh. Dengan cara mendekatkan diri kepada Alloh. Alloh akan memberikan ilmu itu jika kita benar-benar taqorrub kepada-Nya. Jadi ada ilmu yang diberikan oleh Alloh secara langsung kepada seseorang setelah ia mendekati-Nya.  Dengan kata lain ada ilmu yang diperoleh hanya dengan menjalankah  ibadah-ibadah tertentu. Kadang-kadang ilmu seperti itu boleh jadi bertentangan dengan ilmu yang diperoleh dengan kedua cara yang lain tersebut.[9]
Imam Ghozali pernah bercerita  “Saya sering menemukan indra saya sering menipu saya. Tapi karena saya mempunyai akal, saya yakin bahwa air tidak mungkin membengkokkan batang kayu itu. Boleh jadi suatu saat akal saya itu salah. Mesti ada satu cara lain untuk membetulkan apa yang salah menurut akal ini. Imam Ghozali mencari cara yang ketiga ini sampai beliau sakit, malah hamper gila. Tapi kemudian beliau sembuh dan dapat menemukan cara lain yang disebut kalbu, melalui riyadhoh dan latihan ruhaniyah.[10]
IV.     Bagaimana kita  “Mengetahui” keberadaan Alloh itu ada
Adanya Allah swt adalah sesuatu yang bersifat aksiomatik (sesuatu yang kebenarannya telah diakui, tanpa perlu pembuktian yang bertele-tele). Namun, di sini akan dikemukakan dalil-dalil yang menyatakan wujud (adanya) Allah swt, untuk memberikan pengertian secara rasional.
Salah satu cara mengetahui adanya Alloh adalah dengan akal manusia. Akal yang digunakan untuk merenungkan keadaan diri manusia, alam semesta dia dapat membuktikan adanya Tuhan. Di antara langkah yang bisa ditempuh untuk membuktikan adanya Tuhan melalui akal adalah dengan beberapa teori, antara lain;
  1. Teori Sebab.
Segala sesuatu pasti ada sebab yang melatarbelakanginya. Adanya sesuatu pasti ada yang mengadakan, dan adanya perubahan pasti ada yang mengubahnya. Mustahil sesuatu ada dengan sendirinya. Mustahil pula sesuatu ada dari ketiadaan. Pemikiran tentang sebab ini akan berakhir dengan teori sebab yang utama (causa prima), dia adalah Tuhan.
Rangka-nya rangka dari seluruh sains dan pengetahuan. Itulah prinsip kausalitas. Ketika Newton melihat apel jatuh, konon, ia berfikir mestinya ada sesuatu yang mewujudkan jatuhnya apel. Inilah yang meniscayakan adanya gravitasi dalam fisika. Ketika Mendell melihat keteraturan sifat-sifat hereditas, ia berfikir mestinya ada sesuatu yang mewujudkan keteraturan sifat-sifat hereditas. Keyakinan ini menumbuhkan teori genetika. Manusia secara instinktif memahami prinsip kausalitas sebagaimana yang telah dibahas secara elaboratif.
Dalam dunia yang kita persepsi disekitar kita, kita menemukan urutan sebab-sebab efisien, namun kita tidak pernah menemukan, dan tidak pula mungkin bahwa ada sesuatu yang merupakan sebab efisien dirinya sendiri. Jika hal seperti ini ada, maka sesuatu harus ada sebelum dirinya sendiri, yang merupakan hal yang mustahil. Namun adalah tidak mungkin deretan sebab efisien berderet terus ad infinitum. Karena dalam setiap urutan deretan sebab-sebab efisien, hal yang pertama adalah sebab dari hal berikutnya, dan ini pada gilirannya akan menjadi sebab dari hal terakhir (walaupun mungkin ada lebih dari satu tahap antaranya); dan jika satu dari sebab ini diambil; efeknya juga akan lenyap. Maka , bila tidak ada yang pertama dari deretan sebab-sebab efisien, tidak akan ada sebab-sebab antara dan efek akhirnya. Namun bila deretan sebab-sebab efisien membentang ke belakang ad infinitum, tidak akan ada sebab efisien pertama, yang akan berarti bahwa tidak akan ada akibat final, dan tidak ada sebab-sebab efisien antara, yang tentu bukan hal yang terjadi. Maka adalah mesti untuk menetapkan suatu Sebab Efisien Pertama; dan ini dipahami oleh setiap orang sebagai Tuhan. [11]
Tidak usah di ragukan lagi, bahwa kita telah menemukan suatu realitas. Realitas ini (yang tidak disangsikan lagi keberadaannya) telah menjadi sesuatu yang keberadaannya merupakan suatu keharusan. Apabila seandainya realitas ini merupakan sesuatu bukan merupakan realitas, maka ia kita sebut sebagai sesuatu yang bersifat fana dan untuk memperoleh keberadaannya ia membutuhkan suatu sebab yang nantinya merupakan sumber keberadaan realitas itu. Yang dimaksud realitas ini menurut Al Hilli ialah suatu pangkal dari suatu mata rantai sebab akibat yang keberadaannya  tidak diberadakan oleh sebab yang lain. Ia adalah sebab utama (Prima causa); hanya ia yang memiliki keberadaan yang mutlak; hanya ia yang nyata. Oleh sebab itu Allamah Al hilli menyebutnya dengan sebutan realitas yang maksudnya memiliki kenyataan.  Sedangkan apabila nantinya ia membutuhkan sebab lain untuk membuatnya berada, maka ia akan berubah kenyataannya menjadi sebab yang memerlukan sebab yang lainnya untuk menjadikan dirinya berada. Maka apabila ini terjadi terus menerus maka kita akan memiliki suatu mata rantai yang kacau balau yang tiada ujung pangkalnya. Jika demikian ini merupakan sesuatu yang jelas-jelas tidak masuk akal.[12]
  1. Teori Keteraturan.
Alam semesta dengan seluruh isinya, termasuk matahari, bumi, bulan dan bintang-bintang bergerak dengan sangat teratur. Keteraturan ini mustahil berjalan dengan sendirinya, tanpa ada yang mengatur. Siapakah yang mempu mengatur alam semesta ini selain dari Tuhan?
Jika manusia memperhatikan alam ini dengan pikirannya dan mengkajinya dengan akalnya, maka ia akan mendapatinya seperti rumah yang dibangun dan tersedia di dalamnya semua yang dibutuhkannya. Langit terbentang sebagai atap, bumi terhampar sebagai alas, bintang-bintang bercahaya sebagai lampu dan mutiara-mutiara terpendam sebagai simpanan, udara dengan oksigen di dalamnya untuk bernafas, air yang melimpah ruah di seluruh bumi untuk minuman. Semua itu tersedia di dalamnya. Dan manusia adalah sebagai pemilik rumah yang memiliki dan menikmati semua yang ada di dalamnya. Aneka tumbuhan tersedia bagi kebutuhannya, baik untuk dimakan maupun obat-obatan. Aneka binatang tersedia bagi kebutuhannya juga, baik untuk dimakan maupun kendaraan dan lain-lain. Juga aneka barang tambang, yang bisa digunakan untuk berbagai keperluan. Di dalam hal ini terdapat bukti yang jelas bahwa alam ini diciptakan dengan perhitungan, keteraturan dan keserasian. Dan bahwa penciptanya adalah satu. Dialah yang mengatur dan menyusun sebagian terhadap bagian lainnya. Maha agung kesucianNya. Maha tinggi kemurahanNya, Mahamulia wajahNya dan tiada tuhan selainNya. Mahatinggi Dia dari apa yang dikatakan orang-orang murtad, dan Maha agung dari apa yang diyakini orang-orang ingkar. [13]
Contoh lain adalah Seluruh semesta yang kita amati adalah dalam keadaan bergerak satu dengan yang lain. Semua gerakan ini memerlukan penggerak (mover), tidak mungkin ada gerakan tanpa penggerak. Jika setiap gerakan memerlukan penggerak, dan jika semua penggeraknya bergerak, maka memerlukan penggerak juga. Mustahil rantai gerakan-penggerak, gerakan-penggerak, gerakan-penggerak,… ini tidak berujung. Karena bila tidak berujung akan berakibat nihilnya semua gerakan tersebut. Rantai ini harus bermula pada Penggerak Pertama, yakni penggerak yang tak bergerak (unmoved mover), sehingga tidak memerlukan penggerak lagi. [14]
Penggerak Pertama ini , yakni prime mover, adalah Tuhan ; karena seluruh semesta tidak lain adalah kumpulan sesuatu yang bergerak (berefek) satu dengan yang lain. Maka Tuhan-lah sebagai Penggerak Pertama yang menjadi sumber seluruh gerakan atau efek dalam semesta ini .
Allah berfirman:
وَتَرَى الْجِبَالَ تَحْسَبُهَا جَامِدَةً وَهِيَ تَمُرُّ مَرَّ السَّحَابِ [٢٧:٨٨]
“Dan engkau akan melihat gunung-gunung, yang engkau kira tetap di tempatnya, padahal ia berjalan (seperti) awan berjalan.”)QS An Naml :88)
Perlu dicatat bahwa, Diamnya Penggerak Pertama adalah diam yang tidak memiliki kemungkinan sama sekali untuk bergerak. Ini berbeda dengan diamnya segala sesuatu dalam semesta material ini yang merupakan diam namun memiliki potensi untuk bergerak dan berubah.  Lebih tepat bila dikatakan Penggerak Pertama tidak tersentuh oleh gerak dan diam apa pun. Atau bahwa “diam” dan “gerak” tidaklah bisa dipredikasikan kepadaNya. Jadi Penggerak Pertama adalah unmovable mover, yakni Penggerak yang tidak memiliki potensi untuk bergerak sama sekali, sehingga lebih tepat dikatakan bahwa, “diam” dan “gerak” tidaklah relevan untuk dipredikasikan kepadaNya. Barangkali hal ini salah satu makna yang bisa kita pahami dari hikmah yang disampaikan Amirul Mukminin Imam Ali bin Abi thalib :
 “Dan diam dan gerak tidaklah muncul atasNya. Dan betapa mungkin muncul atasNya sesuatu yang Ia (lah)yang memunculkannya[15]
Contoh lain adalah Ada gradasi-gradasi yang ditemukan dalam semesta keberadaan. Kita melihat sesuatu yang lebih baik atau kurang baik, lebih mulia atau kurang mulia ketimbang yang lain dan seterusnya. Namun”lebih” dan “kurang” adalah istilah-istilah yang digunakan hal-hal yang berbeda dengan mengacu pada seberapa dekat mereka pada apa yang terbaik dalam jenisnya (sebagai contoh, sesuatu adalah “lebih panas” bila ia lebih dekat pada apa yang terpanas). Oleh karena itu ada sesuatu yang merupakan yang paling benar dan yang terbaik dan yang paling utama, dan oleh karena itu paling besar dalam wujud/keberadaan; karena hal-hal yang paling benar adalah paling besar dalam wujud/keberadaan, sebagaimana yang dikatakan Aristoteles dalam Metaphysics Book II. Sekarang apa yang kita sebut sebagai yang terbesar dalam setiap jenis adalah sebab dari segala sesuatu dalam jenis tersebut, seperti api, yang memiliki panas terbesar, adalah sebab segala sesuatu yang panas (sebagaimana yang dikatakan Aristoteles dalam buku yang sama). Jadi terdapat sesuatu yang merupakan sebab dari keberadaan dan kebaikan dan setiap kesempurnaan yang lain dalam segala sesuatu; dan kita menyebutnya Tuhan. [16]
Kita juga melihat gaya gravitasi antar planet serta asteroid dan benda-benda langit lainnya saling mempengaruhi sehingga terciptalah keseimbangan ; yang satu mengelilingi yang lain atau bergerak bersama-sama berputar mengelilingi sebuah pusat yang menarik mereka pada suatu keseimbangan yang membuat kita berpikir jangan-jangan itu mereka ada yang menggerakkan satu sama lain dan mereka digerakkan oleh sebuah mesin yang Maha rumit dan Maha canggih. Benda-benda langit itu mempunyai ukuran yang berbeda, warna dan kekuatan berbeda, bahkan mungkin penduduk yang berbeda. Nabi Ibrahim adalah seorang yang jenius dan tidak perlu terlalu lama bagi beliau untuk menyadari ada sesuatu yang Maha Kreatif dibelakang semua itu. Sesuatu yang sangat jauh lebih layak untuk disembah dari pada benda-benda mirip kelereng itu. Alloh-lah yang ada di belakang semua itu. Dia yang memberikan benda-benda langit suatu kekuatan untuk bergerak sampai pada waktu yang ditentukan. Dia yang membuat benda-benda langit itu mempunyai karakter-karakter sendiri sehingga dengan mudah mereka diberi nama bulan, matahari, bintang, mars dan lain-lain.[17]
Dia yang menciptakan semua itu tidak mungkin berbentuk materi. Karena semua yang berbentuk materi itu terkena perubahan, baik perubahan temperature, warna, bentuk, kualitas dan lain-lain. Dia yang mencitptakan semua materi itu tidak mungkin mengalami perubahan, karena Dia bukan materi. Bisa dibayangkan kalau Dia mengalami perubahan, maka semua yang tercipta ini pada suatu waktu memiliki kualitas yang jauh lebih baik dari pada yang menciptakannya. Dan itu artinya kacau balau. Keseimbangan yang seperti diperagakan benda-benda langit itu tidak mungkin tercipta dari sesuatu kekacaubalauan. Semua benda langit yang berada dalam keseimbangan paripurna itu tercipta dari Dia yang Maha Pengatur, Yang Kekal, Yang selalu dalam keadaan sempurna, Yang selalu hidup dan Yang selalu terjaga. Nabi Ibrahim sadar akan hal itu, tanpa ada keraguan sedikitpun.[18]
  1. Teori Kemungkinan (Problabyitas)
Adakah kemungkinan sebuah komputer ditinggalkan oleh pemiliknya dalam keadaan menyala. Tiba-tiba datang dua ekor tikus bermain-main di atas tuts keyboard, dan setelah beberapa saat di monitor muncul bait-bait puisi yang indah dan penuh makna?
Dalam pelajaran matematika, bila sebuah dadu dilempar kemungkinan muncul angka 6 adalah 1/6. Dan bila dua dadu dilempar kemungkinan munculnya angka 5 dan 5 adalah 1/36. Bila ada satu set huruf dari a sampai z diambil secara acak, kemungkinan muncul huruf a adalah 1/26. Bila ada lima set huruf diambil secara acak, kemungkinan terbentuknya sebuah kata T-U-H-A-N adalah 1/265 (satu per duapuluh enam pangkat lima) =1/11881376. Andaikata puisi di layar komputer itu terdiri dari 100 huruf saja, maka kemungkinannya adalah 1/26100. Dengan angka kemungkinan sedemikian orang akan menyatakan tidak mungkin, lalu bagaimanakah alam raya yang terdiri dari sekian jenis atom, sekian banyak unsur, sekian banyak benda, berapa kemungkinan dunia ini terjadi secara kebetulan? Kemungkinannya adalah 1/~ (satu per tak terhingga), atau dengan kata lain tidak mungkin. Jika alam ini tidak mungkin terjadi dengan kebetulan maka tentunya alam ini ada yang menciptakannya, yaitu Allah.
Al-Qur’an berulang kali menegaskan bahwa segala sesuatu adalah tanda-tanda (ayat) Allah, dalam artian bahwa segala sesuatu menggambarkan hakikat dan realitas Allah. Akibatnya, banyak pemikir Muslim, khususnya para ahli kosmologi, melihat segala sesuatu di alam semesta sebagai refleksi nama-nama dan sifat-sifat Ilahi. Nama-nama dan sifat-sifat ini menggambarkan dan melukiskan berbagai kualitas, seperti keagungan, keindahan, kehidupan, pengetahuan, dan sebagainya. Oleh karena itu dimensi kualitatif segala sesuatu—sejauh dapat dibedakan dari dimensi kuantitatif atau material—menjadi sangat menarik perhatian.
V.     Epilog; Menemukan keberadaan Tuhan dengan cara merenungkan tanda-tanda keberadaan-Nya yang ada di Permukaan Bumi.
Beberapa ayat suci Al Qur’an mengajak orang yang bijak (Ulul Albab), orang yang suka merenung (Qoumi yatafakkarun), dan orang yang suka memperhatikan alam semesta (Qoumi yatadzakkarun) untuk merenung atau bertafakur dalam-dalam, merenungi keajaiban alam semesta dan alam di sekitarnya. Bahkan bukan saja keajaiban dunia ini yang perlu perhatian akan tetapi Al Qur’an mendorong kita juga untuk merenungkan hal-hal yang sederhana yang terdapat di dunia ini. Dengan perenungan ini manusia bisa mencapai kesimpulan yang bermuara pada keyakinan akan adanya Sang Maha Perkasa, Sang Maha Mengetahui dan Sang Maha Kasih sayang, yang membuat dunia ini dan seisinya dengan segenap kelembutan kasih sayangnya. Ayat-ayat  ini semua terutama ditujukan untuk menggugah kesadaran manusia dan menarik perhatian kita agar kembali untuk memperhatikan masalah-masalah lain yang berhubungan dengan Alloh yaitu tentang sifat-sifat Alloh setelah kita membuktikan tentang keberadaan-Nya.
Dalam semua ayat Al Qur’an, manusia diajak untuk menyimak dari dekat semua hal yang ada di dunia ini dan untuk menarik kesimpulan mengenai semua tanda-tanda kekuasaan Alloh dengan menggunakan pengetahuan dan indra fitrahnya (yaitu pengetahuan dan indra yang dimilikinya sejak lahir) untuk meneliti, menilai dan membuat kesimpulan agar ia tiba tiba kepada pemahaman akan dunia ini dengan segala isinya baik yang tampak maupun yang tidak tampak. Dengan kata lain, semua ayat Al Qur’an itu diturunkan kepada kita untuk mempertajam mata batin kita agar bisa melihat apa-apa yang tersembunyi dibelakang yang tampak.




Daftar Pustaka
Ash Shadiq, Imam Ja’far, 1996, “Mengurai Tanda Kebesaran Allah”, Jakarta; Pustaka Hidayah
Baheshti, Sayyid Muhamad Husayni, 2002, Selangkah menuju Alloh; penjelasan Al Qur’an tentang Tuhan, Jakarta; Pustaka Zahro
Linda Smith dan Wiliam Raeper,  2000, Ide-ide filsafat dulu dan sekarang , Jogjakarta; Kanisius.
Kiswati, Tsurayya, Al juwaini, 2006, Peletak dasar Teologi Rasional dalam Islam,  Jakarta; erlangga
Rahmat, Jalaludin , 2008, Meraih cinta ilahi, Depok; Pustaka Iman
Sudarminta, 2002,Epistimologi dasar pengantar filsafat pengetahuan, Jogjakarta; Kanisius



[1] Sudarminta, Epistimologi dasar pengantar filsafat pengetahuan, Jogjakarta, Kanisius, 2002, Hal 38
[2] Linda Smith dan Wiliam Raeper,  Ide-ide filsafat dulu dan sekarang , Jogjakarta, Kanisius, 2000, Hal 15
[3]Sudarminta, Ibid hal 62
[4] Sudarminta Ibid hal 66
[5] Jalaludin Rahmat , 2008, meraih cinta ilahi, depok, Pustaka Iman, hal 140.
[6] J Sudarminta, Epistimologi dasar pengantar filsafat pengetahuan, Jogjakarta, Kanisius, 2002, hal 86
[7]J sudarminta, Ibid
[8] Tsurayya Kiswati, Al juwaini, Peletak dasar Teologi Rasional dalam Islam,  Jakarta; erlangga, 2006, hal 44
[9] J. Sudarminta Ibid
[10] Ibid hal 41
[11] Santo Thomas Aquinas, Summa Theologica, Book I,hal. 15
[12] Sayyid Muhamad Husayni Baheshti, Selangkah menuju Alloh; penjelasan Al Qur’an tentang Tuhan, Jakarta; Pustaka Zahro, 2002, Hal 78
[13] Imam Ja’far Ash Shadiq, “Mengurai Tanda Kebesaran Allah”, Pustaka Hidayah, 1996, hal. 12.
[14] Santo Thomas Aquinas, Summa Theologica, Book I, terj  hal 15)
[15]Barangkali yang dimaksud adalah, “sesuatu yang Ia adalah sebab kemunculannya”
[16] Ibid hal. 16
[17]Sayyid Muhamad Husayni Baheshti, Selangkah menuju Alloh; penjelasan Al Qur’an tentang Tuhan, Jakarta; Pustaka Zahro, 2002, Hal 50
[18] ibid