“Mengungkap Realitas yang Tidak
Tampak”
Abd. Qohin
I. Prolog
Sebelum membicarakan
bagaimana cara mengetahui, terlebih dahulu mari kita telusuri rasa ingin tahu.
Sesungguhnya rasa ingin tahu erat terkait dengan pengalaman, kekaguman atau
keheranan akan pa yang dialami. Seperti dikemukakan plato, kegiatan filsafat
sendiri dimulai dengan pengalaman kekaguman atau keheranan. Kenyatan ini
berlaku untuk semua kegiatan mencari ilmu pengetahuan. Dalam gejala manusia
bertanya terungkap kenyataan bahwa manusia disatu pihak sudah tahu sesuatu,
tetapi sekaligus juga belum tahu, dan ingin tahu mengenai hal-hal yang belum ia
ketahui.
Pertanyaan selalu
menunjuk pada kenyataan adanya kemungkinan pengetahuan yang lebih dari apa yang
sampai sekarang sudah diketahui. Karena selalu masih ada saja ada hal-hal yang
belum diketahui setiap jawaban atas suatu pertanyaan sering memunculkan
pertanyaan baru yang mengharapkan jawaban. Dapat mengajukan pertanyaan yang
tepat mengandaikan bahwa orang tahu dimana ia tahu dan dimana ia tidak tahu.
Maka, mengajukan mengajukan pertanyaan yang tepat merupakan langkah pertama
memperoleh jawaban yang benar. Hanya kalau orang menyadari akan
ketidaktahuannya dan ingin tahu, maka ia akan bertanya dan berusaha mencari
jawaban atas apa yang ia tanyakan.[1]
Kesadaran dan dorongan
seperti itu merupakan hal yang mendasar bagi bertambahnya pengetahuan. Hanya
kalau orang berusaha untuk dapat memahami dan menjelaskan apa yang dialami,
maka pengalaman dapat berkembang menjadi pengetahuan. Untuk dapat memahami dan
menjelaskan apa yang dialami, manusia perlu melakukan kegiatan berpikir. Termasuk
didalamnya bagaimana cara mengetahui dan memahami sesuatu yang ada dalam
jangkauan pikiran manusia maupun di luar jangkauan akal manusia.
II. Definisi “Mengetahui”
Apa itu mengetahui?
Saya tahu bahwa hari ini akan hujan, saya tahu bahwa bunga mawar berwarna
merah, Saya tahu bahwa Alloh itu ada. Sebagian besar dari kita mengandaikan
begitu saja bahwa kita mengetahui hal-hal dan bahwa kita dapat mengetahui
mereka. Tetapi apa itu mengetahui dan bagaimana kita dapat yakin bahwa apa yang
kita ketahui benar? Bila kita memperhatikan kalimat-kalimat di atas, kita akan
melihat kata “Tahu” digunakan beberapa kali tetapi didalamnya beberapa cara berbeda.
Kata “Mengetahui” mempunyai beberapa arti yang berbeda. Lalu apa sebenarnya
arti kata mengetahui sesuatu itu?[2]
Mengetahui Sesutu
merupakan suatu kegiatan sadar manusia. Bahwa kegiatan mengetahui disini
dimengerti sebagai kegiatan sadar dalam memahami dan mengalami serta menegaskan
putusan tentang suatu objek yang dihadapinya atau interaksi dengan alam
lingkungannya. Kiranya tidak perlu berarti bahwa tidak ada tempat bagi pengetahuan
yang bersifat implisit atau tak terungkapkan. Dalam dan dengan merumuskan serta
mengungkapkan pengetahuan kita, kita juga menjadi sadar bahwa ada banyak hal
yang secara implisit kita ketahui, tetapi tidak bisa sepenuhnya kita rumuskan
dan ungkapkan baik lisan maupun tulisan.[3]
Tidak semua kegiatan
sadar manusia bersifat kognitif atau menmpunyai sifat pengetahuan. Tetapi semua
kegiatan mengetahui merupakan kegiatan sadar. Ada kegiatan sadar lain selain
mengetahui. Misalkan melukis pemandangan alam, merasakan dengan hati, merasakan
dengan rabaan tangan, mempercayai, menghendaki, mempertimbangkan dan sebagainya.
Sedangkan pandangan
lain memaknai bahwa mengetahui berarti suatu kegiatan sadar dari suatu objek
yang pertama-tama mengalami sesuatu sebagai objek tersaji untuk dikaji kemudian
memahaminya secara cerdik (mengungkap keterpahamian objek tersebut dengan
berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan yang relevan) dan akhirnya secara nalar
dapat menimbang dan memutuskan apakah pemahamannya itu memang sesuai dengan
objek yang dialami. Mengetahui sesuatu berarti menjawab pertanyaan.[4]
III. Bagaimana kita
“Mengetahui”
Ada sebuah hadist Addienu
huwal ‘Aqlu la dienul liman la aqlalah artinya agama itu akal, tidak
beragama buat orang yang tidak menggunakan akalnya. Berdasarkan hadist tersebut
kita percaya bahwa agama Islam itu sangat mudah dipahami dan diterima oleh
akal. Walaupun banyak orang mengatakan bahwa hadist tersebut dhoif,
tetapi hadist ini memiliki matan yang benar.
Akan tetapi akal saja
tidak cukup. Kita percaya di dalam Islam akal bukanlah satu-satunya cara untuk
mengetahui sesuatu, menurut Prof Dr Jalaludin Rahmad, paling tidak ada tiga
cara untuk mengetahui sesuatu.[5] Cara yang pertama ialah
dengan pengindraan, melihat sendiri, seeing is believing. Kita
mengetahui sesuatu setelah melihatnya. Menurut Al Qur’an cara itu adalah cara
yang paling elementer tingkatannya. Al Qur’an mencontohkan hal ini dengan
melukiskan kaum Nabi Musa yang baru percaya kalau Alloh itu ada jika mereka
melihat Alloh secara jahrotan, kasat mata.
Ketika kita
membicarakan peran indra dalam proses manusia mengetahui, kita telah mencatat
bahwa pengalaman kognitif kita selalu bersifat indrawi dan akali. Kita selalu
mengalami sesuatu melalui indra kita sebagai wujud konkret tertentu dengan
sebutan tertentu. “Ini Sesuatu” (This
such). Misalnya “Ini Meja”, “itu Kursi”, maka dalam perjalanan indrawi,
tidak hanya indra pada dirinya yang terlibat, tetapi akal budi atau
pikiran. Ada pemikiran dan
konseptualisasi untuk memahi dan menyebut apa yang di alami. Indra memang membuat kita langsung sadar akan
hadirnya objek fisik tertentu. Tetapi pengenalan akan objek tersebut sebagai
objek fisik dan bahwa kualitas atau
cirri-cirinya ada bermacam-macam
mengandaikan adanya konsep.
Konsep jelas mempunyai peran penting dalam proses manusia mengetahui .
tanpa adanya konsep tidak mungkin ada
pengenalan.; tanpa ada konsep juga tidak mungkin ada pemahaman dan penegasan
putusan tentang apa yang dialami manusia ; dan tanpa itu semua, pengetahuan
juga tidak mungkin.[6]
Konsep secara umum
dapat dirumuskan pengertiannya sebagai suatu representasi abstrak dan umum
tentang sesuatu. Sebagai suatu reprensentasi abstrak dan umum tentu saja konsep
konsep merupakan sesuatu yang bersifat mental. Representasi sesuatu terjadi
dalam alam pikiran. Tetapi apakah konsep hanya merupakan gejala mental saja?
Rupanya tidak, sebab konsep juga punya rujukan pada kenyataan. Konsep adalah
suatu medium yang menghubungkan subjek penahu dan objek yang diketahui, pikiran
dan kenyataan. Melalui dan dalam konsep kita mengenal, memahami, dan menyebut
objek yang kita ketahui.
Konsep dapat dimengerti
dari sisi subjek dan objek. Dari sisi subjek, suatu konsep adalah kegiatan
merumuskan dalam pikiran atau menggolong-golongkan. Dari sisi objek. Suatu
konsep adalah isi kegiatan tersebut, artinya apa makna konsep itu. [7]
Cara yang kedua,
kita bisa mengetahui adanya sesuatu lewat akal pikiran kita, walaupun indra
kita tidak melihat.
Menurut Al Juwaini,
akal merupakan bagian dari ilmu daruri adalah mustahil ada manusia yang
didalam benaknya tidak mengetahui apa-apa sama sekali. Bukti lain adalah setiap
manusia yang sehat dan sempurna akalnya pasti mempunyai kehendak, sedangkan
syarat mutlak dari timbulnya kehendak ia harus mengetahui apa yang
dikehendakinya. Bukti lain, disebutkan
bahwa sejak dini akal sudah bisa mengetahui bahwa dua hal bertentangan tak
mungkin bisa bersatu pada benda dan masa yang sama. Akal juga mengetahui bahwa
di alam ini terdapat dua objek pengetahuan yaitu ada (Isbat) dan tiada (Nafi).
Akal mengetahui bahwa wujud ada dua macam yaitu baru (hudus) dan kekal (Qidam).[8]
Pengetahuan yang di
dapat manusia melalui proses penalaran ini sifatnya tidak stabil. Artinya
pengetahuan ini bisa hilang dari ingatan atau dilupakan dan juga bisa
mendatangkan keraguan. Pengetahuan ini bisa dikembalikan lagi dalam ingatan
setelah mengingat-ngingatnya kembali dengan penalaran akal.
Cara yang ketiga, -kita belum punya
nama cara itu- sebagian orang menyebutnya dengan rasa. Tetapi perasaan itu
menurut Jalaludin Rahmad sangat rendah. Jadi sebut saja mengetahui dengan
kalbu.
Menurut ahli tasawuf,
kita bisa mengetahui sesuatu itu tidak
lewat akal, tidak lewat indra, tetapi lewat riyadhoh. Dengan cara
mendekatkan diri kepada Alloh. Alloh akan memberikan ilmu itu jika kita
benar-benar taqorrub kepada-Nya. Jadi ada ilmu yang diberikan oleh Alloh secara
langsung kepada seseorang setelah ia mendekati-Nya. Dengan kata lain ada ilmu yang diperoleh
hanya dengan menjalankah ibadah-ibadah
tertentu. Kadang-kadang ilmu seperti itu boleh jadi bertentangan dengan ilmu
yang diperoleh dengan kedua cara yang lain tersebut.[9]
Imam Ghozali pernah
bercerita “Saya sering menemukan indra
saya sering menipu saya. Tapi karena saya mempunyai akal, saya yakin bahwa air
tidak mungkin membengkokkan batang kayu itu. Boleh jadi suatu saat akal saya
itu salah. Mesti ada satu cara lain untuk membetulkan apa yang salah menurut
akal ini. Imam Ghozali mencari cara yang ketiga ini sampai beliau sakit, malah
hamper gila. Tapi kemudian beliau sembuh dan dapat menemukan cara lain yang
disebut kalbu, melalui riyadhoh dan latihan ruhaniyah.[10]
IV. Bagaimana kita
“Mengetahui” keberadaan Alloh itu ada
Adanya Allah swt adalah
sesuatu yang bersifat aksiomatik (sesuatu yang kebenarannya telah diakui, tanpa
perlu pembuktian yang bertele-tele). Namun, di sini akan dikemukakan
dalil-dalil yang menyatakan wujud (adanya) Allah swt, untuk memberikan
pengertian secara rasional.
Salah satu cara
mengetahui adanya Alloh adalah dengan akal manusia. Akal yang digunakan untuk
merenungkan keadaan diri manusia, alam semesta dia dapat membuktikan adanya
Tuhan. Di antara langkah yang bisa ditempuh untuk membuktikan adanya Tuhan
melalui akal adalah dengan beberapa teori, antara lain;
- Teori Sebab.
Segala sesuatu pasti ada
sebab yang melatarbelakanginya. Adanya sesuatu pasti ada yang mengadakan, dan
adanya perubahan pasti ada yang mengubahnya. Mustahil sesuatu ada dengan
sendirinya. Mustahil pula sesuatu ada dari ketiadaan. Pemikiran tentang sebab
ini akan berakhir dengan teori sebab yang utama (causa prima), dia
adalah Tuhan.
Rangka-nya
rangka dari seluruh sains dan pengetahuan. Itulah prinsip kausalitas. Ketika
Newton melihat apel jatuh, konon, ia berfikir mestinya ada sesuatu yang
mewujudkan jatuhnya apel. Inilah yang meniscayakan adanya gravitasi dalam
fisika. Ketika Mendell melihat keteraturan sifat-sifat hereditas, ia berfikir
mestinya ada sesuatu yang mewujudkan keteraturan sifat-sifat hereditas. Keyakinan
ini menumbuhkan teori genetika. Manusia secara instinktif memahami prinsip
kausalitas sebagaimana yang telah dibahas secara elaboratif.
Dalam
dunia yang kita persepsi disekitar kita, kita menemukan urutan sebab-sebab
efisien, namun kita tidak pernah menemukan, dan tidak pula mungkin bahwa ada
sesuatu yang merupakan sebab efisien dirinya sendiri. Jika hal seperti ini ada,
maka sesuatu harus ada sebelum dirinya sendiri, yang
merupakan hal yang mustahil. Namun adalah tidak mungkin deretan sebab efisien
berderet terus ad infinitum. Karena dalam setiap urutan deretan sebab-sebab
efisien, hal yang pertama adalah sebab dari hal berikutnya, dan ini pada
gilirannya akan menjadi sebab dari hal terakhir (walaupun mungkin ada lebih
dari satu tahap antaranya); dan jika satu dari sebab ini diambil; efeknya juga
akan lenyap. Maka , bila tidak ada yang pertama dari deretan sebab-sebab
efisien, tidak akan ada sebab-sebab antara dan efek akhirnya. Namun bila
deretan sebab-sebab efisien membentang ke belakang ad infinitum, tidak akan
ada sebab efisien pertama, yang akan berarti bahwa tidak akan ada akibat final,
dan tidak ada sebab-sebab efisien antara, yang tentu bukan hal yang terjadi.
Maka adalah mesti untuk menetapkan suatu Sebab Efisien Pertama; dan ini
dipahami oleh setiap orang sebagai Tuhan. [11]
Tidak
usah di ragukan lagi, bahwa kita telah menemukan suatu realitas. Realitas ini
(yang tidak disangsikan lagi keberadaannya) telah menjadi sesuatu yang
keberadaannya merupakan suatu keharusan. Apabila seandainya realitas ini
merupakan sesuatu bukan merupakan realitas, maka ia kita sebut sebagai sesuatu
yang bersifat fana dan untuk memperoleh keberadaannya ia membutuhkan suatu
sebab yang nantinya merupakan sumber keberadaan realitas itu. Yang dimaksud
realitas ini menurut Al Hilli ialah suatu pangkal dari suatu mata rantai sebab
akibat yang keberadaannya tidak
diberadakan oleh sebab yang lain. Ia adalah sebab utama (Prima causa);
hanya ia yang memiliki keberadaan yang mutlak; hanya ia yang nyata. Oleh sebab
itu Allamah Al hilli menyebutnya dengan sebutan realitas yang maksudnya
memiliki kenyataan. Sedangkan apabila
nantinya ia membutuhkan sebab lain untuk membuatnya berada, maka ia akan
berubah kenyataannya menjadi sebab yang memerlukan sebab yang lainnya untuk
menjadikan dirinya berada. Maka apabila ini terjadi terus menerus maka kita
akan memiliki suatu mata rantai yang kacau balau yang tiada ujung pangkalnya.
Jika demikian ini merupakan sesuatu yang jelas-jelas tidak masuk akal.[12]
- Teori Keteraturan.
Alam semesta dengan
seluruh isinya, termasuk matahari, bumi, bulan dan bintang-bintang bergerak
dengan sangat teratur. Keteraturan ini mustahil berjalan dengan sendirinya,
tanpa ada yang mengatur. Siapakah yang mempu mengatur alam semesta ini selain
dari Tuhan?
Jika
manusia memperhatikan alam ini dengan pikirannya dan mengkajinya dengan
akalnya, maka ia akan mendapatinya seperti rumah yang dibangun dan tersedia di
dalamnya semua yang dibutuhkannya. Langit terbentang sebagai atap, bumi
terhampar sebagai alas, bintang-bintang bercahaya sebagai lampu dan
mutiara-mutiara terpendam sebagai simpanan, udara dengan oksigen di dalamnya
untuk bernafas, air yang melimpah ruah di seluruh bumi untuk minuman. Semua itu
tersedia di dalamnya. Dan manusia adalah sebagai pemilik rumah yang memiliki
dan menikmati semua yang ada di dalamnya. Aneka tumbuhan tersedia bagi
kebutuhannya, baik untuk dimakan maupun obat-obatan. Aneka binatang tersedia
bagi kebutuhannya juga, baik untuk dimakan maupun kendaraan dan lain-lain. Juga
aneka barang tambang, yang bisa digunakan untuk berbagai keperluan. Di dalam
hal ini terdapat bukti yang jelas bahwa alam ini diciptakan dengan perhitungan,
keteraturan dan keserasian. Dan bahwa penciptanya adalah satu. Dialah yang
mengatur dan menyusun sebagian terhadap bagian lainnya. Maha agung kesucianNya.
Maha tinggi kemurahanNya, Mahamulia wajahNya dan tiada tuhan selainNya.
Mahatinggi Dia dari apa yang dikatakan orang-orang murtad, dan Maha agung dari
apa yang diyakini orang-orang ingkar. [13]
Contoh
lain adalah Seluruh semesta yang kita amati adalah dalam keadaan bergerak satu
dengan yang lain. Semua gerakan ini memerlukan penggerak (mover), tidak mungkin ada gerakan tanpa penggerak. Jika setiap
gerakan memerlukan penggerak, dan jika semua penggeraknya bergerak, maka memerlukan
penggerak juga. Mustahil rantai gerakan-penggerak, gerakan-penggerak,
gerakan-penggerak,… ini tidak berujung. Karena bila tidak berujung akan
berakibat nihilnya semua gerakan tersebut. Rantai ini harus bermula pada
Penggerak Pertama, yakni penggerak yang tak bergerak (unmoved mover), sehingga tidak memerlukan penggerak lagi. [14]
Penggerak
Pertama ini , yakni prime mover, adalah Tuhan ; karena seluruh semesta tidak lain
adalah kumpulan sesuatu yang bergerak (berefek) satu dengan yang lain. Maka
Tuhan-lah sebagai Penggerak Pertama yang menjadi sumber seluruh gerakan atau efek
dalam semesta ini .
Allah
berfirman:
وَتَرَى
الْجِبَالَ
تَحْسَبُهَا جَامِدَةً وَهِيَ تَمُرُّ مَرَّ السَّحَابِ [٢٧:٨٨]
“Dan
engkau akan melihat gunung-gunung, yang engkau kira tetap di tempatnya, padahal ia berjalan
(seperti) awan berjalan.”)QS An Naml :88)
Perlu
dicatat bahwa, Diamnya Penggerak Pertama adalah diam yang tidak memiliki
kemungkinan sama sekali untuk bergerak. Ini berbeda dengan diamnya segala
sesuatu dalam semesta material ini yang merupakan diam namun memiliki potensi
untuk bergerak dan berubah. Lebih tepat
bila dikatakan Penggerak Pertama tidak tersentuh oleh gerak dan diam apa pun.
Atau bahwa “diam” dan “gerak” tidaklah bisa dipredikasikan kepadaNya.
Jadi Penggerak Pertama adalah unmovable mover, yakni Penggerak
yang tidak memiliki potensi untuk bergerak sama sekali, sehingga lebih tepat
dikatakan bahwa, “diam” dan “gerak” tidaklah relevan untuk dipredikasikan
kepadaNya. Barangkali hal ini salah satu makna yang bisa kita pahami dari
hikmah yang disampaikan Amirul Mukminin Imam Ali bin Abi thalib :
“Dan diam dan gerak tidaklah muncul atasNya.
Dan betapa mungkin muncul atasNya sesuatu yang Ia (lah)yang memunculkannya[15]
Contoh
lain adalah Ada gradasi-gradasi yang ditemukan dalam semesta keberadaan. Kita
melihat sesuatu yang lebih baik atau kurang baik, lebih mulia atau kurang mulia
ketimbang yang lain dan seterusnya. Namun”lebih” dan “kurang” adalah
istilah-istilah yang digunakan hal-hal yang berbeda dengan mengacu pada seberapa
dekat mereka pada apa yang terbaik dalam jenisnya (sebagai contoh, sesuatu
adalah “lebih panas” bila ia lebih dekat pada apa yang terpanas). Oleh karena
itu ada sesuatu yang merupakan yang paling benar dan yang terbaik dan yang
paling utama, dan oleh karena itu paling besar dalam wujud/keberadaan; karena
hal-hal yang paling benar adalah paling besar dalam wujud/keberadaan,
sebagaimana yang dikatakan Aristoteles dalam Metaphysics Book II.
Sekarang apa yang kita sebut sebagai yang terbesar dalam setiap jenis adalah
sebab dari segala sesuatu dalam jenis tersebut, seperti api, yang memiliki
panas terbesar, adalah sebab segala sesuatu yang panas (sebagaimana yang
dikatakan Aristoteles dalam buku yang sama). Jadi terdapat sesuatu yang
merupakan sebab dari keberadaan dan kebaikan dan setiap kesempurnaan yang lain
dalam segala sesuatu; dan kita menyebutnya Tuhan. [16]
Kita
juga melihat gaya gravitasi antar planet serta asteroid dan benda-benda langit
lainnya saling mempengaruhi sehingga terciptalah keseimbangan ; yang satu
mengelilingi yang lain atau bergerak bersama-sama berputar mengelilingi sebuah
pusat yang menarik mereka pada suatu keseimbangan yang membuat kita berpikir
jangan-jangan itu mereka ada yang menggerakkan satu sama lain dan mereka
digerakkan oleh sebuah mesin yang Maha rumit dan Maha canggih. Benda-benda
langit itu mempunyai ukuran yang berbeda, warna dan kekuatan berbeda, bahkan
mungkin penduduk yang berbeda. Nabi Ibrahim adalah seorang yang jenius dan
tidak perlu terlalu lama bagi beliau untuk menyadari ada sesuatu yang Maha
Kreatif dibelakang semua itu. Sesuatu yang sangat jauh lebih layak untuk
disembah dari pada benda-benda mirip kelereng itu. Alloh-lah yang ada di
belakang semua itu. Dia yang memberikan benda-benda langit suatu kekuatan untuk
bergerak sampai pada waktu yang ditentukan. Dia yang membuat benda-benda langit
itu mempunyai karakter-karakter sendiri sehingga dengan mudah mereka diberi
nama bulan, matahari, bintang, mars dan lain-lain.[17]
Dia
yang menciptakan semua itu tidak mungkin berbentuk materi. Karena semua yang
berbentuk materi itu terkena perubahan, baik perubahan temperature, warna,
bentuk, kualitas dan lain-lain. Dia yang mencitptakan semua materi itu tidak
mungkin mengalami perubahan, karena Dia bukan materi. Bisa dibayangkan kalau
Dia mengalami perubahan, maka semua yang tercipta ini pada suatu waktu memiliki
kualitas yang jauh lebih baik dari pada yang menciptakannya. Dan itu artinya
kacau balau. Keseimbangan yang seperti diperagakan benda-benda langit itu tidak
mungkin tercipta dari sesuatu kekacaubalauan. Semua benda langit yang berada
dalam keseimbangan paripurna itu tercipta dari Dia yang Maha Pengatur, Yang
Kekal, Yang selalu dalam keadaan sempurna, Yang selalu hidup dan Yang selalu
terjaga. Nabi Ibrahim sadar akan hal itu, tanpa ada keraguan sedikitpun.[18]
- Teori Kemungkinan (Problabyitas)
Adakah kemungkinan
sebuah komputer ditinggalkan oleh pemiliknya dalam keadaan menyala. Tiba-tiba
datang dua ekor tikus bermain-main di atas tuts keyboard, dan setelah beberapa
saat di monitor muncul bait-bait puisi yang indah dan penuh makna?
Dalam pelajaran
matematika, bila sebuah dadu dilempar kemungkinan muncul angka 6 adalah 1/6.
Dan bila dua dadu dilempar kemungkinan munculnya angka 5 dan 5 adalah 1/36.
Bila ada satu set huruf dari a sampai z diambil secara acak, kemungkinan muncul
huruf a adalah 1/26. Bila ada lima set huruf diambil secara acak, kemungkinan
terbentuknya sebuah kata T-U-H-A-N adalah 1/265 (satu per duapuluh enam pangkat
lima) =1/11881376. Andaikata puisi di layar komputer itu terdiri dari 100 huruf
saja, maka kemungkinannya adalah 1/26100. Dengan angka kemungkinan sedemikian
orang akan menyatakan tidak mungkin, lalu bagaimanakah alam raya yang terdiri
dari sekian jenis atom, sekian banyak unsur, sekian banyak benda, berapa
kemungkinan dunia ini terjadi secara kebetulan? Kemungkinannya adalah 1/~ (satu
per tak terhingga), atau dengan kata lain tidak mungkin. Jika alam ini tidak
mungkin terjadi dengan kebetulan maka tentunya alam ini ada yang
menciptakannya, yaitu Allah.
Al-Qur’an berulang kali
menegaskan bahwa segala sesuatu adalah tanda-tanda (ayat) Allah, dalam artian
bahwa segala sesuatu menggambarkan hakikat dan realitas Allah. Akibatnya,
banyak pemikir Muslim, khususnya para ahli kosmologi, melihat segala sesuatu di
alam semesta sebagai refleksi nama-nama dan sifat-sifat Ilahi. Nama-nama dan
sifat-sifat ini menggambarkan dan melukiskan berbagai kualitas, seperti
keagungan, keindahan, kehidupan, pengetahuan, dan sebagainya. Oleh karena itu
dimensi kualitatif segala sesuatu—sejauh dapat dibedakan dari dimensi
kuantitatif atau material—menjadi sangat menarik perhatian.
V. Epilog; Menemukan keberadaan Tuhan dengan cara
merenungkan tanda-tanda keberadaan-Nya yang ada di Permukaan Bumi.
Beberapa ayat suci Al
Qur’an mengajak orang yang bijak (Ulul Albab), orang yang suka merenung
(Qoumi yatafakkarun), dan orang yang suka memperhatikan alam semesta (Qoumi
yatadzakkarun) untuk merenung atau bertafakur dalam-dalam, merenungi
keajaiban alam semesta dan alam di sekitarnya. Bahkan bukan saja keajaiban
dunia ini yang perlu perhatian akan tetapi Al Qur’an mendorong kita juga untuk
merenungkan hal-hal yang sederhana yang terdapat di dunia ini. Dengan
perenungan ini manusia bisa mencapai kesimpulan yang bermuara pada keyakinan
akan adanya Sang Maha Perkasa, Sang Maha Mengetahui dan Sang Maha Kasih sayang,
yang membuat dunia ini dan seisinya dengan segenap kelembutan kasih sayangnya.
Ayat-ayat ini semua terutama ditujukan
untuk menggugah kesadaran manusia dan menarik perhatian kita agar kembali untuk
memperhatikan masalah-masalah lain yang berhubungan dengan Alloh yaitu tentang
sifat-sifat Alloh setelah kita membuktikan tentang keberadaan-Nya.
Dalam semua ayat Al
Qur’an, manusia diajak untuk menyimak dari dekat semua hal yang ada di dunia ini
dan untuk menarik kesimpulan mengenai semua tanda-tanda kekuasaan Alloh dengan
menggunakan pengetahuan dan indra fitrahnya (yaitu pengetahuan dan indra yang
dimilikinya sejak lahir) untuk meneliti, menilai dan membuat kesimpulan agar ia
tiba tiba kepada pemahaman akan dunia ini dengan segala isinya baik yang tampak
maupun yang tidak tampak. Dengan kata lain, semua ayat Al Qur’an itu diturunkan
kepada kita untuk mempertajam mata batin kita agar bisa melihat apa-apa yang
tersembunyi dibelakang yang tampak.
Daftar Pustaka
Ash Shadiq, Imam Ja’far, 1996, “Mengurai
Tanda Kebesaran Allah”, Jakarta; Pustaka Hidayah
Baheshti, Sayyid
Muhamad Husayni, 2002, Selangkah menuju Alloh; penjelasan Al Qur’an tentang
Tuhan, Jakarta; Pustaka Zahro
Linda Smith dan Wiliam
Raeper, 2000, Ide-ide filsafat dulu
dan sekarang , Jogjakarta; Kanisius.
Kiswati, Tsurayya, Al
juwaini, 2006, Peletak dasar Teologi Rasional dalam Islam, Jakarta; erlangga
Rahmat, Jalaludin ,
2008, Meraih cinta ilahi, Depok; Pustaka Iman
Sudarminta, 2002,Epistimologi
dasar pengantar filsafat pengetahuan, Jogjakarta; Kanisius
[1]
Sudarminta, Epistimologi
dasar pengantar filsafat pengetahuan, Jogjakarta, Kanisius, 2002, Hal
38
[2]
Linda Smith dan Wiliam
Raeper, Ide-ide filsafat dulu dan
sekarang , Jogjakarta, Kanisius, 2000, Hal 15
[3]Sudarminta, Ibid hal 62
[4] Sudarminta Ibid hal 66
[6] J Sudarminta, Epistimologi
dasar pengantar filsafat pengetahuan, Jogjakarta, Kanisius, 2002, hal 86
[7]J
sudarminta, Ibid
[8] Tsurayya Kiswati, Al juwaini, Peletak
dasar Teologi Rasional dalam Islam,
Jakarta; erlangga, 2006, hal 44
[9] J. Sudarminta Ibid
[12]
Sayyid Muhamad Husayni
Baheshti, Selangkah menuju Alloh; penjelasan Al Qur’an tentang Tuhan,
Jakarta; Pustaka Zahro, 2002, Hal 78
[13]
Imam Ja’far Ash Shadiq, “Mengurai
Tanda Kebesaran Allah”, Pustaka Hidayah, 1996, hal. 12.
[14] Santo Thomas Aquinas, Summa
Theologica, Book I, terj hal 15)
[15]Barangkali yang dimaksud adalah,
“sesuatu yang Ia adalah sebab kemunculannya”
[17]Sayyid Muhamad Husayni Baheshti, Selangkah
menuju Alloh; penjelasan Al Qur’an tentang Tuhan, Jakarta; Pustaka Zahro,
2002, Hal 50
[18]
ibid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar