“Prophetic Education:
Kontekstualisasi Filsafat dan Budaya Profetik
dalam Pendidikan”*
Oleh
Abd Qohin
I. Pendahuluan
Majunya penguasaan tehnologi oleh dunia barat
berdampak pada sikap kelimpungan yang ditunjukkan oleh komunitas muslim.
Disinyalir ketertinggalan umat Islam disebabkan diantaranya adalah kelemahan
pendidikan. Ketika dihadapkan pada situasi demikian, maka secara reaksioner
banyak kalangan yang kemudian mengadopsi sistem pendidikan barat yang diramu
dengan pendidikan Islam. Hasilnya adalah sikap kebarat-baratan yang semakin
menambah komplek persoalan umat muslim.
Sebagian lain, umat Islam merasa tidak peduli
terhadap ketertinggalan dan tetap merasa bangga terhadap khazanah keilmuan dan
budaya hidupnya. Pengkultusan terhadap tradisi dan pemikiran keagamaan sulit
tergeser apalagi dipertanyakan. Sikap demikian mengalami perubahan setelah
pesantren dan madrasah melakukan perbaikan kurikulum dan sistem pembelajarannya
tahun 1970-an. Di Negara-negara lain juga terjadi reaksi dengan dengan
membangun gerakan dan proyek yang digulirkan oleh Syeed Mohammad Naquib Al
Attas dan Ismail R. Al Faruqi dengan “Islamisasi Ilmu Pengetahuan” yang lahir
dari konferensi Internasional di Makkah. Kemudian direspon oleh Ziaudin Sardar
yang kemudian dikoreksi oleh Arkoun dan Fazlur Rahman yang menganggap proyek
tersebut sulit direalisasikan. Penolakan lain juga dilakukan oleh Kuntowijoyo
dengan menawarkan konsep “Islam sebagai Ilmu”.
Upaya pengembangan Pendidikan Islam selain mengaca
pada Negara lain (Barat), juga tidak kalah pentingnya adalah menggali kembali
pemikiran filsafat Islam dan budaya luhur bangsa itu sendiri kemudian
mengelaborasikan menjadi sebuah pijakan kongrit dalam melakukan pembahuruan
pendidikan Islam. Untuk kepentingan itu, pemerintah dan masyarakat harus mengapresiasi
budaya baca termasuk membaca karya sastra agar memiliki peran optimal baik
dalam kehidupan sosial, politik dan ekonomi. Karya sastra sebagai bacaan
(cerita) dapat berperan menjadi guru
bagi pembacanya dan pembaca bisa mengambil pelajaran secara otonom dan mandiri.
Pendidikan Islam dengan menggunakan budaya sangat
diperlukan sebagai bagian dari pembentukan jatidiri muslim lewat lingkungan
dengan symbol-simbol edukatif-relegius yang dimilikinya. Di samping itu,
pendidikan Islam didasarkan pada nilai-nilai Al Qur’an dan Sunnah berdialog
secara kontinu dengan tradisi dan budaya setempat sehingga akan saling
mempengaruhi sebab keduanya, nilai dan simbol. Di Indonesia budayawan dan
sastrawan muslim telah dikenal sejak awal Islam masuk, diantaranya adalah
Hamzah Fansuri seorang penyair tasawuf dan yang menawarkan gagasan cinta dengan
syair populernya “Syair Perahu”. Hamka seorang penulis kreatif interdisipliner,
Emha Ainun Nadjib budayawan nyeleneh dari Jombang dengan kyai kanjengnya, ada
juga budayawan sekaligus kyai karismatik K.H Mustofa Bisri dengan puisi
“balsem”nya memberikan obat mujarab dan pendidikan bagi pembacanya. Selain di
atas ada Ahmad Tohari (kang Tohari) yang dikenal karena memiliki kecenderungan
warna daerah pedesaan atau lokal dari Banyumas.
Meski jauh dari hiruk pikuk entertainment
namanya sangat meng-internasional karena
sebagian karyanya telah diterjemahkan ke dalam bahasa asing dan telah dijadikan
skripsi, tesis dan disertasi. Namanya semakin popular setelah trilogi Ronggeng
Dukuh Paruk, Lintang Kemukus Dini Hari, dan Jantera Bianglala dll. Pengaruh
karya kang tohari memiliki nilai pendidikan profetik yaitu pendidikan yang
memiliki pilar humanisasi, liberasi (keberpihakan pada rakyat)dan transendensi
(ramah lingkungan sebagai bagian bertasbih kepada Allah).
II. Filsafat dan Budaya Profetik
A. Pengertian Profetik dan Filsafat Profetik
Profetik berarti kenabian atau berkenaan dengan
nabi. Nabi adalah hamba Allah yang ideal secara fisik dan psikis yang telah
berintegrasi dengan Allah dan Malikat-Nya, diberi kitab suci dan hikmah dan
mampu mengimplementasikan dalam kehidupan dan mengkomunikasikan secara efektif
kepada sesame manusia. Dalam Al Qur’an kata nabi beserta derivasinya disebut 69
kali. Sedangkan kenabian mengandung
makna segala ihwal yang berhubungan dengan seseorang yang telah memperoleh
potensi kenabian. Potensi itu meliputi kesempurnaan fisik, memiliki nasab
keturunan yang mulia, dan ideal dalam kompetensinya sesuai dengan kondisi masa
itu.
Filsafat profetik adalah pemikiran filosofis yang
didasarkan pada nilai-nilai kenabian dalam Al Qur’an dan Sunnah dengan berbagai
upaya pemikiran reflektif-spekulatif sampai pada penelitian empirik sehingga
menemukan kebenaran normatif dan faktual-aplikatif yang memiliki daya sebagai
penggerak umat sehingga terbentuk khaira ummah atau komunitas ideal.
Secara historis, filsafat profetik diperbincangkan
intensif oleh Ibnu Arabi dan Suhrawardi yang secara garis besar mengkritik
filsafat dan Yunani serta menawarkan filsafat propetik yang intinya adalah
dialektika manusia, alam dan Tuhan dikembangkan untuk mendapatkan produk
pemikiran baru sebagai alternatif pemikiran barat yang dinyatakan gagal. Dari
filsafat profetik dapat dikembangkan ilmu-ilmu lain seperti Prophetic
Psychology atau psikologi kenabian.
B. Problema Sentral Filsafat Profetik
Menurut Roger Garaudy, Problema sentral dari
filsafat Islam adalah bagaimana kenabian (wahyu) itu menjadi mungkin. Dan muara
filsafat profetik pada tiga hal, yaitu: Pertama, terdapat hubungan riil dan
tidak riil antara “Yang Esa” dengan “yang banyak” antara Tuhan dan manusia.
Kedua, berdasar pada kesatuan atau utility di atas muncul hukum bahwa tindakan
dan hukum apapun dari seorang muslim merupakan manifestasi ekspresif dari
agamanya. Ketiga, orang tidak akan mampu membuktikan adanya Tuhan dengan akal
karena manusia belum menemukan cara berfikir untuk menghantarkan iman kepada
Tuhan.
C. Budaya Profetik dan Pilarnya
Kebudayaan Islam adalah budaya profetik yang
memiliki tiga unsur yaitu humanisasi, liberasi, dan transendensi. Transendensi diartikan
hablum min Allah, ikatan spiritual yang mengikatkan antara manusia dengan
Tuhan. Indicator unsure ini adalah: 1) mengakui adanya kekuatan supra natural,
Allah. 2) melakukan upaya pendekatan diri. 3) tuhan tempat bergantung. 4) memahami
sesuatu dengan pendekatan mistik. 5) mengaitkan perilaku, tindakan dan kejadian
dengan ajaran kitab suci.
Liberasi artinya pembebasan dari semua yang
berkonotasi dengan signifikansi sosial seperti melarang carok, memberantas judi
dll. Sedangkan indicator liberasi dirumuskan dengan, 1) memihak kepentingan
rakyat, 2) menegakkan keadilan dan kebenaran; 3) memberantas kebodohan dan
ketertinggalan sosial ekonomi; 4) menghilangkan penindasan dan kekerasan.
Humanisasi, artinya memanusiakan manusia, menghilangkan
kebendaan dan proses pengembalian jatidiri dan martabat kemanusiaan sebagai
mahluk mulia dan berperadaban. Indikatornya adalah: 1) Menjaga persaudaraan
sesama meski berbeda agama, keyakinan dan status sosial-ekonomi; 2) memandang
seseorang secara total; 3) menghilangkan berbagai bentuk kekerasan; 4) membuang
jauh kebencian terhadap sesama. Unsur tersebut harus dimaknai dalam satu
kesatuan integratif dan interkoneksi.
Adapun implementasi budaya profetik meliputi: 1)
mengembangkan mitologipositif sebagai simbol edukasi; 2) membangun tradisi dan
komitmen yang positif; 3) perberdayaan dan peningkatan SDM; 4) Pemberantasan
kemiskinan dan kebodohan; 5) Peneguhan Keagamaan Inklusif; 6) dan melalui music
edukatif.
D. Pendidikan Profetik
Filsafat pendidikan profetik merupakan proses transfer
knowledge and values untuk pengesaan terhadap Allah yang dilakukan secara
kontinu dan dinamis disertai pemahaman bahwa dalam diri ada kelebihan dan
kekurangan yang menunjukkan adanya campur tangan yang transenden. Sedangkan pendidikan
profetik adalah proses pengetahuan (transfer
knowledge) dan values yang bertujuan untuk mendekatkan diri kepada
Tuhandan alam sekaligus memahaminya untuk membangun komunitas sosial yang ideal
(khaira ummah).
III. Tradisi sebagai Dasar Pendidikan Profetik
A. Tradisi Islam dalam Masyarakat
Pesantren merupakan salah satu lembaga yang mewakili
tradisi pendidikan profetik. Pesantren yang berakulturasi dengan tradisi
jawamemiliki cirri yang sangat menonjol yaitu memepertahankan harmonitas sosial
dalam konotasi Jawa sanagat dipaksakan dan menunjukkan nilai-nilai feudal dan
cenderung kurang responsif terhadap perubahan dan kemajuan. Jargon yang ada di
Pesantren al muhafadzah ‘ala al qadim al salih wa al akhzd bi al jadid
(mempertahankan masa lalu yang baik dan mengambil hal baru yang lebih baik).
Merupakan odel harmoni yang sehat
meskipun selama ini masih belum berjalan dengan sempurna.
Secara historis, penyebaran Islam di Jawa pada
awalnya harus berhadapan dengan dua jenis lingkungan, yaitu: budaya kejawen
yang merupakan lingkungan budaya istana (Majapahit) yang kental dengan unsur
Hindu, dan budaya pedesaan (wong cilik) yang tetap hidup dalam animism dan
dinamisme. Dengan masuknya Islam ke Nusantara maka berimplikasi pada dinamika
baru terkait dengan kehidupan sosial keagamaan. Asimilasi budaya terjadi yang
sebelumnya terjadi konflik dan akomodasi yang pada akhirnya menghasilakn
berbagai varian keislaman yang kemudian disebut Islam lokal (Islam Jawa).
Pada masa perumusan dan pelembagaan budaya Jawa,
pengaruh Islam yang besar pada wacana yang berkembang Islam telah membentuk
substansi utama dalam proses kebangkitan budaya Jawa. Islam sebgai entitas yang
hidup dinamis pada akhirnya berkembang dengan dialektika yang dinamis selalu
terjadi antara Islam dalam kategori universal-normatif dengan
lokalitas-historis dimana ia hidup. Islam yang telah berdialog dengan Jawa
mengenal dan akrab dengan hal-hal yang berbau mistis yang nantinya akan
melahirkan berbagai aliran kebatinan yang bersifat mistis, akultis, teosofis,
serta etis.
B. Sistim Pendidikan dalam Tradisi Profetik
Tujuan pendidikan profetik sesungguhnya tidak lepas
dari prinsip-prinsip pendidikan yang bersumber dari nilai-nilai Al Qur’an dan
Sunnah. Pertama, Prinsip Integrasi (Tauhid) yang memandang adanya wujud kesatuan
dunia akherat. Karena itu pendidikan akan meletakkan porsi yang seimbang.
Kedua, prinsip keseimbangan artinya keseimbangan yang proporsional antara
muatan rohaniah dan jasmaniah, antara ilmu murni dan ilmu terapan. Ketiga,
prinsip persamaan dan pembebasan. Keempat, prinsip kontinuitas dan
berkelanjutan. Kelima prinsip kemaslahatan dan keutamaan.
Adapun materi pendidikan profetik dikelompokan
menjadi dua kelompok yaitu: pertama, kelompok Parennial
(ilmu-ilmu abadi) yang meliputi Al Qur’an (qiraat, hifz, tafsir), Sunnah, Sirah
nabi, tauhid, ushul fiqh, bahasa arab dan materi tambahan yang meliputi
filsafat Islam, ushuludin, dan kebudayaan Islam. Kedua, kelompok Acquired
(ilmu hasil pencarian manusia) yang terdiri dari: 1. Imajinatif (seni Islam dan
arsitektur, bahasa dan satra), 2) Ilmu-ilmu intelektual (sosial, filsafat,
pendidikan, ekonomi, politik, sejarah, geografi, sosiologi Psikologi dan
antropologi). 3) Ilmu-ilmu pengetahuan alam (filsafat ilmu, fisika, matematika
kimia dll). 4) Ilmu terapan (kedokteran, pertanian, kehutanan dll). 5)
Ilmu-Ilmu Praktik (perdagangan, administrasi perpustakaan, komunikasi dll).
Mengenai pendidik pendidikan profetik adalah
pendidik yang mempunyai kepribadian yang lengkap misalkan ia adalah seseorang
yang zuhud dan ikhlas, bersih lahir batin, mengenal peserta didik, bersifat
kebapakan dan keibuan dll. Kepribadian pendidik harus merupakan refleksi dari
nilai-nilai Islam. Sedangkan peserta didik pendidikan profetik selalu terkait
dengan pandangan wahyu tentang hakekat manusia.
Metode dan media dalam pendidikan profetik tidak ada
perbedaan dengan pendidikan lain. Pembedanya hanya pada nilai spiritual dan
mental yang menyertai pada saat metode tersebut dilaksanakan. Sedangkan untuk
evalausi berdasarkan standar keberhasilan pendidikan terletak pada pencapaian
tujuan kebahagiaan di dunia dan kebahagian di akherat.
IV. Kontekstualisasi Pendidikan profetik
Khaira ummah sebagaimana Q.S Ali
Imron terdiri dari 3 kata dibelakangnya yaitu kata yang terkait dengan amar
ma;ruf (humanisasi), nahi munkar (liberasi), dan iman kepada Allah
(transendensi). Apabila dikaitkan dengan ketiga pilar ini pendidikan profetik
itu harus dibangun berdasarkan empat syarat dan tiga pilar atau unsure. Dasar
bangunan yang bertumpu pada empat hal yaitu komunitas, visi arah tujuan, gerak
dinamis atau program kerja, dan kepemimpinan. Bagi komunitas dan pemimpin yang
menjadi subjek bagi pelaksanaan visi dan prakteknya, yaitu nilai transendensi
yag menjadi orientasi dan visi hidup subjek, humanisasi untuk selalu meningkatkan
martabat menuju keterpujian, dan terakhir liberasi untuk membersihkan diri dari
kotoran, kelemahan, kekurangan dll. Dalam kerangka itulah Nabi Muhamad
membentuk khaira ummah (masyarakat ideal di Madinah) dibawah kepemimpinan yang
bijaksana dan berwibawa.
Kontektualisasi pendidikan profetik dapat dilihat
dari Model pendidikan profetik yang memiliki potensi kuat untuk dikembangkan
dengan paradigm pendidikan profetik. Model pendidikan tersebut diantaranya
adalah pendidikan sosial- kerakyatan (homescholing), pendidikan
inklusif-multikultural, pendidikan integrative-interkoneksi, pendidikan
berdasarkan gerak-kreatif, pendidikan edutainment plus (menyenangkan dan
mendisiplinkan).
Selain lembaga di atas, secara kelembagan dalam
konteks pendidikan profetik, lembaga pendidikan baik formal maupun non formal serta
lembaga yang berada di luar sekolah atau madrasah yang terdiri dari pendidikan
di perpustakaan, pendidikan di Pondok Pesantren dan pendidikan ditempat ibadah
dapat berintegrasi dalam satu lembaga dengan berpusat pada masjid dan
perpustakaan sebagai pusatnya. Desain masjid sebagai pusat pendidikan ini
merupakan bagian dari kontekstualisasi pendidikan profetik.
Pendidikan keluarga juga bagian dari kelembagaan
profetik yang letak dasarnya ada di dalam tradisi keluarga yang memiliki
kesadaran relegius, kepekaan sosial, dan kesiapan untuk selalu melakukan
perbaikan untuk kemajuan. Selain keluarga, juga ada masjid sebagai pusat
gerakan, memuat daya dobrak tinggi sebab dalam realitasnya setiap orang
berbeda-beda.
V. Pemikiran Ahmad Tohari Dalam Paradigma Profetik
Secara keseluruhan karya kang Tohari yang telah diterbitkan menjadi buku ada14
buku merupan novel (9 buku), kumpulan
cerpen (2 buku), dan kumpulan esai (3 buku). Kesemua karya Ahmad Tohari memiliki
pesan pendidikan profetik sebagai berikut:
1. Pengakuan
sebagai kebutuhan manusia. Hal tersebut dapat dilihat dari karya pertama belia
yang berbentuk novel dengan judul Kubah dan novel Lingkar Tanah
Lingkar Air.
2. Memberantas
Kemiskinan dan Kebodohan. Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk merupakan symbol
protes tersebut. Selain itu juga dalam novel Bekisar merah, Belantik,
dan cerpen Senyum Karyamin.
3. Protes
terhadap Ketidakadilan dan korupsi. Hal ini terlihat dalam karya novel Di
Kaki Bukit Cibalak dan novel Orang-orang
Proyek.
4. Nilai
Penting klarifikasi dan memaafkan. Hal ini bisa dilihat dalam novel Rusmi
Ingin Pulang, Kubah, Mas Mantri Gugat.
Jika dipotret dengan pendekatan strukturalisme
genetic, maka karya Ahmad Tohari memiliki pesan dan karakteristik: Pertama,
penyadaran sosial lewat sebuah cerita yang syarat dengan masalah kehidupan. Kedua,
pilar dan nilai transendensi diceritakan dengan graduasi yang lembut secara
bertahap. Ketiga, dari aspek sosial budaya karya Ahmad Tohari membawa
misi kovergensi antara budaya Islam, santri (Tradisional-modern) dan abangan
yang menunjukkan bukti harmonisasi berkembang di Indonesia. Keempat,
dari aspek politis, Ahmad Tohari bersikap anti kekerasan dan pemberontakan.
Potret pemikiran Ahmad Tohari yang santri jawa ini
agak berbeda dengan pemikiran santri pada umumnya. Karakteristik pemikirannya
tersebut diantaranya: menyampaikan gagasan dan pesan edukasinya lewat karya
tulis, mengadopsi kearifan local atau tradisi kejawen, kritik sosial khususnya
kekejaman penguasa, kritik terhadap tradisi negatif masyarakat. Sedangkan karya
Tohari secara globaldalam perspektif profetik dapat dijelaskan diantaranya
adalah mengembangkan keberagamaan inklusif, komitmen pada tradisi positif,
keadilan untuk mengangkat posisi perempuan dan pemberantasan kemiskinan dan
kebodohan.
Indikator pendidikan profetik Ahmad Tohari dapat di
urai sebagi berikut:
a. Pilar
Transendensi:
1. Terkait
dengan kekuatan mistis dan spiritual untuk mengatasi problem kehidupan, belaiu
mendialogkan keberagamaan local dengan santri.
2. Keberagamaan
inklusif dan anti kekerasan yang merupakan tampilan model keberagamaan yang
sejuk.
3. Integritas
moral-relegius harus diupayakan sampai pada pemaknaan hakiki.
4. Perlu
mengembangkan kesalehan relegius individual dilengkapi kesalihan sosial.
5. Keyakinan
terhadap yang gaib.
6. Harmonitas.
7. Kejujuran
diri dengan mengikuti hati nurani.
8. Sikap
tawakkal.
9. Perilaku
kesederhanaan. dll
b. Pilar
liberasi:
1. Penegakan
hukum harus dilakukan meskipun langit runtuh.
2. Pendirian
pemerintah yang kuat, bijaksana dan berwibawa.
3. Menjaga
pluralitas
4. Peningkatan
SDM
5. Penguatan
posisi tokoh agama sebagai panutan umat.
6. Menciptakan
lingkungan sosial yang jujur dan bersih.
7. Menjaga
sikap egaliter.
8. Peningkatan
mutu pendidikan.
9. Menghilangkan
kekerasan dalam bentuk apapun dll.
c. Pilar
Humanisasi:
1. Meningkatkan
hidup bersama dengan saling mengerti.
2. Menjalankan
ajaran agama untuk mengabdi kepada
Allah.
3. Membangun
nilai kemanusiaan dengan cinta.
4. Mempertajam
nilai kemanusiaa dengan keyakinan agama.
5. Hukum
darurat sebagai alternatif.
6. Mudah
memaafkan kesalahan orang lain
7. Dinamika
hidup harus dibangun dengan memenej konflik.
8. Kemanusiaan
harus dikembangkan dengan rasa hormat dan saling menghargai.
VI. Implikasi Nilai Pendidikan Profetik
Diantara implikasi aplikasi dan kontekstualisasi pendidikan
profetik dalam bingkai karya sastra Ahmad Tohari diantaranya adalah: pertama,
menjadikan tauhid sebagai landasan epistimologi; Kedua, mengintegrasikan
moral Tuhan dan menginterkoneksikan ilmu-Nya; Ketiga, pendidikan yang
Apresiatif terhadap local wisdom; Keempat, membangun tradisi berfikir
dan kritik untuk ilmu; Kelima, membangun pendidikan yang proaktif bukan
reaktif; Keenam, gemar membaca sebagai tradisi pendidikan profetik.
VII. Penutup
Filsafat profetik adalah pemikiran
filosofis yang secara epistimologis merupakan upaya pemikiran reflektif-spekulatif
sampai pada pembuktian empirik sehingga menemukan kebenaran
normatif dan faktual-aplikatif yang memiliki daya sebagai penggerak umat
sehingga terbentuk khaira ummah atau komunitas ideal. Filsafat profetik
jika dikontektualisasi dalam pendidikan yang meliputi tujuan pendidikan
profetik, materi pembelajaran profetik, metode dan strategi pembelajaran
profetik, peserta didik dan pendidik.
Konsep filsafat dan budaya profetik yang terdapat
dalam karya-karya Ahmad Tohari memiliki bentuk yang khas yaitu perpaduan antara
tradisi Islam Timur tengah, pesantren
dan Jawa yang memuat nilai Transendensi, liberasi dan humanisasi.
·
Rangkuman dari
Buku Prophetic Education, Karya Dr. Muh. Roqib, M.Ag