Minggu, 07 Juli 2013

Prophetik Education

“Prophetic Education:
 Kontekstualisasi Filsafat dan Budaya Profetik dalam Pendidikan”*
Oleh Abd Qohin

I.     Pendahuluan
Majunya penguasaan tehnologi oleh dunia barat berdampak pada sikap kelimpungan yang ditunjukkan oleh komunitas muslim. Disinyalir ketertinggalan umat Islam disebabkan diantaranya adalah kelemahan pendidikan. Ketika dihadapkan pada situasi demikian, maka secara reaksioner banyak kalangan yang kemudian mengadopsi sistem pendidikan barat yang diramu dengan pendidikan Islam. Hasilnya adalah sikap kebarat-baratan yang semakin menambah komplek persoalan umat muslim.
Sebagian lain, umat Islam merasa tidak peduli terhadap ketertinggalan dan tetap merasa bangga terhadap khazanah keilmuan dan budaya hidupnya. Pengkultusan terhadap tradisi dan pemikiran keagamaan sulit tergeser apalagi dipertanyakan. Sikap demikian mengalami perubahan setelah pesantren dan madrasah melakukan perbaikan kurikulum dan sistem pembelajarannya tahun 1970-an. Di Negara-negara lain juga terjadi reaksi dengan dengan membangun gerakan dan proyek yang digulirkan oleh Syeed Mohammad Naquib Al Attas dan Ismail R. Al Faruqi dengan “Islamisasi Ilmu Pengetahuan” yang lahir dari konferensi Internasional di Makkah. Kemudian direspon oleh Ziaudin Sardar yang kemudian dikoreksi oleh Arkoun dan Fazlur Rahman yang menganggap proyek tersebut sulit direalisasikan. Penolakan lain juga dilakukan oleh Kuntowijoyo dengan menawarkan konsep “Islam sebagai Ilmu”.
Upaya pengembangan Pendidikan Islam selain mengaca pada Negara lain (Barat), juga tidak kalah pentingnya adalah menggali kembali pemikiran filsafat Islam dan budaya luhur bangsa itu sendiri kemudian mengelaborasikan menjadi sebuah pijakan kongrit dalam melakukan pembahuruan pendidikan Islam. Untuk kepentingan itu, pemerintah dan masyarakat harus mengapresiasi budaya baca termasuk membaca karya sastra agar memiliki peran optimal baik dalam kehidupan sosial, politik dan ekonomi. Karya sastra sebagai bacaan (cerita) dapat berperan menjadi  guru bagi pembacanya dan pembaca bisa mengambil pelajaran secara otonom dan mandiri.
Pendidikan Islam dengan menggunakan budaya sangat diperlukan sebagai bagian dari pembentukan jatidiri muslim lewat lingkungan dengan symbol-simbol edukatif-relegius yang dimilikinya. Di samping itu, pendidikan Islam didasarkan pada nilai-nilai Al Qur’an dan Sunnah berdialog secara kontinu dengan tradisi dan budaya setempat sehingga akan saling mempengaruhi sebab keduanya, nilai dan simbol. Di Indonesia budayawan dan sastrawan muslim telah dikenal sejak awal Islam masuk, diantaranya adalah Hamzah Fansuri seorang penyair tasawuf dan yang menawarkan gagasan cinta dengan syair populernya “Syair Perahu”. Hamka seorang penulis kreatif interdisipliner, Emha Ainun Nadjib budayawan nyeleneh dari Jombang dengan kyai kanjengnya, ada juga budayawan sekaligus kyai karismatik K.H Mustofa Bisri dengan puisi “balsem”nya memberikan obat mujarab dan pendidikan bagi pembacanya. Selain di atas ada Ahmad Tohari (kang Tohari) yang dikenal karena memiliki kecenderungan warna daerah pedesaan atau lokal dari Banyumas.
Meski jauh dari hiruk pikuk entertainment namanya sangat meng-internasional  karena sebagian karyanya telah diterjemahkan ke dalam bahasa asing dan telah dijadikan skripsi, tesis dan disertasi. Namanya semakin popular setelah trilogi Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang Kemukus Dini Hari, dan Jantera Bianglala dll. Pengaruh karya kang tohari memiliki nilai pendidikan profetik yaitu pendidikan yang memiliki pilar humanisasi, liberasi (keberpihakan pada rakyat)dan transendensi (ramah lingkungan sebagai bagian bertasbih kepada Allah).
II.     Filsafat dan Budaya Profetik
A.    Pengertian Profetik dan Filsafat Profetik
Profetik berarti kenabian atau berkenaan dengan nabi. Nabi adalah hamba Allah yang ideal secara fisik dan psikis yang telah berintegrasi dengan Allah dan Malikat-Nya, diberi kitab suci dan hikmah dan mampu mengimplementasikan dalam kehidupan dan mengkomunikasikan secara efektif kepada sesame manusia. Dalam Al Qur’an kata nabi beserta derivasinya disebut 69 kali. Sedangkan kenabian  mengandung makna segala ihwal yang berhubungan dengan seseorang yang telah memperoleh potensi kenabian. Potensi itu meliputi kesempurnaan fisik, memiliki nasab keturunan yang mulia, dan ideal dalam kompetensinya sesuai dengan kondisi masa itu.
Filsafat profetik adalah pemikiran filosofis yang didasarkan pada nilai-nilai kenabian dalam Al Qur’an dan Sunnah dengan berbagai upaya pemikiran reflektif-spekulatif sampai pada penelitian empirik sehingga menemukan kebenaran normatif dan faktual-aplikatif yang memiliki daya sebagai penggerak umat sehingga terbentuk khaira ummah atau komunitas ideal.
Secara historis, filsafat profetik diperbincangkan intensif oleh Ibnu Arabi dan Suhrawardi yang secara garis besar mengkritik filsafat dan Yunani serta menawarkan filsafat propetik yang intinya adalah dialektika manusia, alam dan Tuhan dikembangkan untuk mendapatkan produk pemikiran baru sebagai alternatif pemikiran barat yang dinyatakan gagal. Dari filsafat profetik dapat dikembangkan ilmu-ilmu lain seperti Prophetic Psychology atau psikologi kenabian.
B.     Problema Sentral Filsafat Profetik
Menurut Roger Garaudy, Problema sentral dari filsafat Islam adalah bagaimana kenabian (wahyu) itu menjadi mungkin. Dan muara filsafat profetik pada tiga hal, yaitu: Pertama, terdapat hubungan riil dan tidak riil antara “Yang Esa” dengan “yang banyak” antara Tuhan dan manusia. Kedua, berdasar pada kesatuan atau utility di atas muncul hukum bahwa tindakan dan hukum apapun dari seorang muslim merupakan manifestasi ekspresif dari agamanya. Ketiga, orang tidak akan mampu membuktikan adanya Tuhan dengan akal karena manusia belum menemukan cara berfikir untuk menghantarkan iman kepada Tuhan.
C.    Budaya Profetik dan Pilarnya
Kebudayaan Islam adalah budaya profetik yang memiliki tiga unsur yaitu humanisasi, liberasi, dan transendensi. Transendensi diartikan hablum min Allah, ikatan spiritual yang mengikatkan antara manusia dengan Tuhan. Indicator unsure ini adalah: 1) mengakui adanya kekuatan supra natural, Allah. 2) melakukan upaya pendekatan diri. 3) tuhan tempat bergantung. 4) memahami sesuatu dengan pendekatan mistik. 5) mengaitkan perilaku, tindakan dan kejadian dengan ajaran kitab suci.
Liberasi artinya pembebasan dari semua yang berkonotasi dengan signifikansi sosial seperti melarang carok, memberantas judi dll. Sedangkan indicator liberasi dirumuskan dengan, 1) memihak kepentingan rakyat, 2) menegakkan keadilan dan kebenaran; 3) memberantas kebodohan dan ketertinggalan sosial ekonomi; 4) menghilangkan penindasan dan kekerasan.
Humanisasi, artinya memanusiakan manusia, menghilangkan kebendaan dan proses pengembalian jatidiri dan martabat kemanusiaan sebagai mahluk mulia dan berperadaban. Indikatornya adalah: 1) Menjaga persaudaraan sesama meski berbeda agama, keyakinan dan status sosial-ekonomi; 2) memandang seseorang secara total; 3) menghilangkan berbagai bentuk kekerasan; 4) membuang jauh kebencian terhadap sesama. Unsur tersebut harus dimaknai dalam satu kesatuan integratif dan interkoneksi.
Adapun implementasi budaya profetik meliputi: 1) mengembangkan mitologipositif sebagai simbol edukasi; 2) membangun tradisi dan komitmen yang positif; 3) perberdayaan dan peningkatan SDM; 4) Pemberantasan kemiskinan dan kebodohan; 5) Peneguhan Keagamaan Inklusif; 6) dan melalui music edukatif.
D.    Pendidikan Profetik
Filsafat pendidikan profetik merupakan proses transfer knowledge and values untuk pengesaan terhadap Allah yang dilakukan secara kontinu dan dinamis disertai pemahaman bahwa dalam diri ada kelebihan dan kekurangan yang menunjukkan adanya campur tangan yang transenden. Sedangkan pendidikan profetik  adalah proses pengetahuan (transfer knowledge) dan values yang bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Tuhandan alam sekaligus memahaminya untuk membangun komunitas sosial yang ideal (khaira ummah).
III.     Tradisi sebagai Dasar Pendidikan Profetik
A.    Tradisi Islam dalam Masyarakat
Pesantren merupakan salah satu lembaga yang mewakili tradisi pendidikan profetik. Pesantren yang berakulturasi dengan tradisi jawamemiliki cirri yang sangat menonjol yaitu memepertahankan harmonitas sosial dalam konotasi Jawa sanagat dipaksakan dan menunjukkan nilai-nilai feudal dan cenderung kurang responsif terhadap perubahan dan kemajuan. Jargon yang ada di Pesantren al muhafadzah ‘ala al qadim al salih wa al akhzd bi al jadid (mempertahankan masa lalu yang baik dan mengambil hal baru yang lebih baik). Merupakan  odel harmoni yang sehat meskipun selama ini masih belum berjalan dengan sempurna.
Secara historis, penyebaran Islam di Jawa pada awalnya harus berhadapan dengan dua jenis lingkungan, yaitu: budaya kejawen yang merupakan lingkungan budaya istana (Majapahit) yang kental dengan unsur Hindu, dan budaya pedesaan (wong cilik) yang tetap hidup dalam animism dan dinamisme. Dengan masuknya Islam ke Nusantara maka berimplikasi pada dinamika baru terkait dengan kehidupan sosial keagamaan. Asimilasi budaya terjadi yang sebelumnya terjadi konflik dan akomodasi yang pada akhirnya menghasilakn berbagai varian keislaman yang kemudian disebut Islam lokal (Islam Jawa).
Pada masa perumusan dan pelembagaan budaya Jawa, pengaruh Islam yang besar pada wacana yang berkembang Islam telah membentuk substansi utama dalam proses kebangkitan budaya Jawa. Islam sebgai entitas yang hidup dinamis pada akhirnya berkembang dengan dialektika yang dinamis selalu terjadi antara Islam dalam kategori universal-normatif dengan lokalitas-historis dimana ia hidup. Islam yang telah berdialog dengan Jawa mengenal dan akrab dengan hal-hal yang berbau mistis yang nantinya akan melahirkan berbagai aliran kebatinan yang bersifat mistis, akultis, teosofis, serta etis.


B.     Sistim Pendidikan dalam Tradisi Profetik
Tujuan pendidikan profetik sesungguhnya tidak lepas dari prinsip-prinsip pendidikan yang bersumber dari nilai-nilai Al Qur’an dan Sunnah. Pertama, Prinsip Integrasi (Tauhid) yang memandang adanya wujud kesatuan dunia akherat. Karena itu pendidikan akan meletakkan porsi yang seimbang. Kedua, prinsip keseimbangan artinya keseimbangan yang proporsional antara muatan rohaniah dan jasmaniah, antara ilmu murni dan ilmu terapan. Ketiga, prinsip persamaan dan pembebasan. Keempat, prinsip kontinuitas dan berkelanjutan. Kelima prinsip kemaslahatan dan keutamaan.
Adapun materi pendidikan profetik dikelompokan menjadi dua kelompok yaitu: pertama, kelompok Parennial (ilmu-ilmu abadi) yang meliputi Al Qur’an (qiraat, hifz, tafsir), Sunnah, Sirah nabi, tauhid, ushul fiqh, bahasa arab dan materi tambahan yang meliputi filsafat Islam, ushuludin, dan kebudayaan Islam. Kedua, kelompok Acquired (ilmu hasil pencarian manusia) yang terdiri dari: 1. Imajinatif (seni Islam dan arsitektur, bahasa dan satra), 2) Ilmu-ilmu intelektual (sosial, filsafat, pendidikan, ekonomi, politik, sejarah, geografi, sosiologi Psikologi dan antropologi). 3) Ilmu-ilmu pengetahuan alam (filsafat ilmu, fisika, matematika kimia dll). 4) Ilmu terapan (kedokteran, pertanian, kehutanan dll). 5) Ilmu-Ilmu Praktik (perdagangan, administrasi perpustakaan, komunikasi dll).
Mengenai pendidik pendidikan profetik adalah pendidik yang mempunyai kepribadian yang lengkap misalkan ia adalah seseorang yang zuhud dan ikhlas, bersih lahir batin, mengenal peserta didik, bersifat kebapakan dan keibuan dll. Kepribadian pendidik harus merupakan refleksi dari nilai-nilai Islam. Sedangkan peserta didik pendidikan profetik selalu terkait dengan pandangan wahyu tentang hakekat manusia.
Metode dan media dalam pendidikan profetik tidak ada perbedaan dengan pendidikan lain. Pembedanya hanya pada nilai spiritual dan mental yang menyertai pada saat metode tersebut dilaksanakan. Sedangkan untuk evalausi berdasarkan standar keberhasilan pendidikan terletak pada pencapaian tujuan kebahagiaan di dunia dan kebahagian di akherat.
IV.     Kontekstualisasi Pendidikan profetik
Khaira ummah sebagaimana Q.S Ali Imron terdiri dari 3 kata dibelakangnya yaitu kata yang terkait dengan amar ma;ruf (humanisasi), nahi munkar (liberasi), dan iman kepada Allah (transendensi). Apabila dikaitkan dengan ketiga pilar ini pendidikan profetik itu harus dibangun berdasarkan empat syarat dan tiga pilar atau unsure. Dasar bangunan yang bertumpu pada empat hal yaitu komunitas, visi arah tujuan, gerak dinamis atau program kerja, dan kepemimpinan. Bagi komunitas dan pemimpin yang menjadi subjek bagi pelaksanaan visi dan prakteknya, yaitu nilai transendensi yag menjadi orientasi dan visi hidup subjek, humanisasi untuk selalu meningkatkan martabat menuju keterpujian, dan terakhir liberasi untuk membersihkan diri dari kotoran, kelemahan, kekurangan dll. Dalam kerangka itulah Nabi Muhamad membentuk khaira ummah (masyarakat ideal di Madinah) dibawah kepemimpinan yang bijaksana dan berwibawa.
Kontektualisasi pendidikan profetik dapat dilihat dari Model pendidikan profetik yang memiliki potensi kuat untuk dikembangkan dengan paradigm pendidikan profetik. Model pendidikan tersebut diantaranya adalah pendidikan sosial- kerakyatan (homescholing), pendidikan inklusif-multikultural, pendidikan integrative-interkoneksi, pendidikan berdasarkan gerak-kreatif, pendidikan edutainment plus (menyenangkan dan mendisiplinkan).
Selain lembaga di atas, secara kelembagan dalam konteks pendidikan profetik, lembaga pendidikan baik formal maupun non formal serta lembaga yang berada di luar sekolah atau madrasah yang terdiri dari pendidikan di perpustakaan, pendidikan di Pondok Pesantren dan pendidikan ditempat ibadah dapat berintegrasi dalam satu lembaga dengan berpusat pada masjid dan perpustakaan sebagai pusatnya. Desain masjid sebagai pusat pendidikan ini merupakan bagian dari kontekstualisasi pendidikan profetik.
Pendidikan keluarga juga bagian dari kelembagaan profetik yang letak dasarnya ada di dalam tradisi keluarga yang memiliki kesadaran relegius, kepekaan sosial, dan kesiapan untuk selalu melakukan perbaikan untuk kemajuan. Selain keluarga, juga ada masjid sebagai pusat gerakan, memuat daya dobrak tinggi sebab dalam realitasnya setiap orang berbeda-beda.
V.     Pemikiran Ahmad Tohari Dalam Paradigma Profetik
Secara keseluruhan karya kang Tohari  yang telah diterbitkan menjadi buku ada14 buku merupan novel  (9 buku), kumpulan cerpen (2 buku), dan kumpulan esai (3 buku). Kesemua karya Ahmad Tohari memiliki pesan pendidikan profetik sebagai berikut:
1.      Pengakuan sebagai kebutuhan manusia. Hal tersebut dapat dilihat dari karya pertama belia yang berbentuk novel dengan judul Kubah dan novel Lingkar Tanah Lingkar Air.
2.      Memberantas Kemiskinan dan Kebodohan. Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk merupakan symbol protes tersebut. Selain itu juga dalam novel Bekisar merah, Belantik, dan cerpen Senyum Karyamin.
3.      Protes terhadap Ketidakadilan dan korupsi. Hal ini terlihat dalam karya novel Di Kaki Bukit Cibalak  dan novel Orang-orang Proyek.
4.      Nilai Penting klarifikasi dan memaafkan. Hal ini bisa dilihat dalam novel Rusmi Ingin Pulang, Kubah, Mas Mantri Gugat.
Jika dipotret dengan pendekatan strukturalisme genetic, maka karya Ahmad Tohari memiliki pesan dan karakteristik: Pertama, penyadaran sosial lewat sebuah cerita yang syarat dengan masalah kehidupan. Kedua, pilar dan nilai transendensi diceritakan dengan graduasi yang lembut secara bertahap. Ketiga, dari aspek sosial budaya karya Ahmad Tohari membawa misi kovergensi antara budaya Islam, santri (Tradisional-modern) dan abangan yang menunjukkan bukti harmonisasi berkembang di Indonesia. Keempat, dari aspek politis, Ahmad Tohari bersikap anti kekerasan dan pemberontakan.
Potret pemikiran Ahmad Tohari yang santri jawa ini agak berbeda dengan pemikiran santri pada umumnya. Karakteristik pemikirannya tersebut diantaranya: menyampaikan gagasan dan pesan edukasinya lewat karya tulis, mengadopsi kearifan local atau tradisi kejawen, kritik sosial khususnya kekejaman penguasa, kritik terhadap tradisi negatif masyarakat. Sedangkan karya Tohari secara globaldalam perspektif profetik dapat dijelaskan diantaranya adalah mengembangkan keberagamaan inklusif, komitmen pada tradisi positif, keadilan untuk mengangkat posisi perempuan dan pemberantasan kemiskinan dan kebodohan.
Indikator pendidikan profetik Ahmad Tohari dapat di urai sebagi berikut:
a.    Pilar Transendensi:
1.    Terkait dengan kekuatan mistis dan spiritual untuk mengatasi problem kehidupan, belaiu mendialogkan keberagamaan local dengan santri.
2.    Keberagamaan inklusif dan anti kekerasan yang merupakan tampilan model keberagamaan yang sejuk.
3.    Integritas moral-relegius harus diupayakan sampai pada pemaknaan hakiki.
4.    Perlu mengembangkan kesalehan relegius individual dilengkapi kesalihan sosial.
5.    Keyakinan terhadap yang gaib.
6.    Harmonitas.
7.    Kejujuran diri dengan mengikuti hati nurani.
8.    Sikap tawakkal.
9.    Perilaku kesederhanaan. dll
b.    Pilar liberasi:
1.      Penegakan hukum harus dilakukan meskipun langit runtuh.
2.      Pendirian pemerintah yang kuat, bijaksana dan berwibawa.
3.      Menjaga pluralitas
4.      Peningkatan SDM
5.      Penguatan posisi tokoh agama sebagai panutan umat.
6.      Menciptakan lingkungan sosial yang jujur dan bersih.
7.      Menjaga sikap egaliter.
8.      Peningkatan mutu pendidikan.
9.      Menghilangkan kekerasan dalam bentuk apapun dll.
c.    Pilar Humanisasi:
1.      Meningkatkan hidup bersama dengan saling mengerti.
2.      Menjalankan ajaran agama  untuk mengabdi kepada Allah.
3.      Membangun nilai kemanusiaan dengan cinta.
4.      Mempertajam nilai kemanusiaa dengan keyakinan agama.
5.      Hukum darurat sebagai alternatif.
6.      Mudah memaafkan kesalahan orang lain
7.      Dinamika hidup harus dibangun dengan memenej konflik.
8.      Kemanusiaan harus dikembangkan dengan rasa hormat dan saling menghargai.
VI.     Implikasi Nilai Pendidikan Profetik
Diantara implikasi aplikasi dan kontekstualisasi pendidikan profetik dalam bingkai karya sastra Ahmad Tohari diantaranya adalah: pertama, menjadikan tauhid sebagai landasan epistimologi; Kedua, mengintegrasikan moral Tuhan dan menginterkoneksikan ilmu-Nya; Ketiga, pendidikan yang Apresiatif terhadap local wisdom; Keempat, membangun tradisi berfikir dan kritik untuk ilmu; Kelima, membangun pendidikan yang proaktif bukan reaktif; Keenam, gemar membaca sebagai tradisi pendidikan profetik.  
VII.     Penutup
Filsafat profetik adalah pemikiran filosofis yang secara epistimologis merupakan upaya pemikiran reflektif-spekulatif sampai pada pembuktian empirik sehingga menemukan kebenaran normatif dan faktual-aplikatif yang memiliki daya sebagai penggerak umat sehingga terbentuk khaira ummah atau komunitas ideal. Filsafat profetik jika dikontektualisasi dalam pendidikan yang meliputi tujuan pendidikan profetik, materi pembelajaran profetik, metode dan strategi pembelajaran profetik, peserta didik dan pendidik.
Konsep filsafat dan budaya profetik yang terdapat dalam karya-karya Ahmad Tohari memiliki bentuk yang khas yaitu perpaduan antara tradisi Islam Timur tengah, pesantren  dan Jawa yang memuat nilai Transendensi, liberasi dan humanisasi.

·         Rangkuman dari Buku Prophetic Education, Karya Dr. Muh. Roqib, M.Ag

Kepribadian Guru Dalam Perspektif Islam

“Kepribadian Guru Dalam Perspektif Islam”
Oleh Abd Qohin

I.     Latar Belakang
Guru dalam masyarakat Jawa dikenal sebagai singkatan dari digugu omongane lan ditiru kelakoane (dipercaya ucapannya dan ditiru tindakannya). Istilah ini mengandung makna bahwa “guru itu perkataannya selalu diperhatikan dan perbuatannya selalu menjadi teladan”. Menjadi guru merupakan cita-cita bagi kebanyakan anak pada zaman dulu, karena guru menempati status sosial yang tinggi di mata masyarakat.
Menyandang profesi guru saat itu bagaikan seorang pejabat publik yang memiliki kharisma baik bagi dirinya maupun bagi keluarganya. Dalam hal ini masyarakat menempatkan guru pada tempat yang terhormat dilingkungannya karena dari seorang guru diharapkan masyarakat dapat memperoleh ilmu pengetahuan.[1]Masyarakat selalu memper­hatikan setiap tindak tanduk mereka dalam berinteraksi dengan lingkungan. Citra ini terbangun karena seorang guru benar-benar menjaga integritas dan kredibilitasnya. Ia tidak hanya mengajar di depan kelas, tapi juga men­didik, membimbing, menuntun, dan membentuk karakter moral yang baik bagi siswa-siswanya.[2] 
Siapapun  tentu  sependapat  bahwa  guru  merupakan  komponen  sentral  atau unsur  utama dalam keseluruhan proses pendidikan diantara komponen yang lain.[3] Guru menjadi komponen titik sentral dan awal dari semua pembangunan pendidikan dan  pembangunan  yang  lebih  luas  dan  menyeluruh.  Karena Prinsip  inilah  yang ditanamkan negara Jepang yang banyak diikuti negara lain sehingga cepat maju pembangunannnya, misalnya Singapura, Malaysia, Thailan, dan bahkan Vietnam sekalipun. Ketika Provinsi Hirosima dan Nagasaki   di Jepang diluluh lanta bom atom pada perang dunia II (1945), Kaisar Jepang bertanya, “masih   adakah   guru   yang   hidup”?   Ini   berarti,   betapa   besar perhatian  Kaisar  Jepang  terhadap  pendidikan  dan  betapa  besar  peranan guru dalam pembangunan suatu bangsa.[4]
Dewasa ini profil guru agak sedikit menjadi sorotan dengan merebaknya berbagai fenomena tindakan  amoral di kalangan remaja seperti penggunaan narkoba, tawuran pelajar, pornografi, perkosaan, merusak milik orang, merampas, menipu, mencari bocoran soal ujian, perjudian, pelacuran, pembunuhan, dan lain-lain sudah menjadi masalah sosial yang sampai saat ini belum dapat diatasi secara tuntas. Akibat yang ditimbulkan cukup serius dan tidak dapat lagi dianggap sebagai suatu persoalan sederhana, karena sudah menjurus ke tindak kriminal. Kondisi ini sangat memprihatinkan masyarakat khususnya para orang tua dan para guru (pendidik), sebab pelaku-pelaku beserta korbannya adalah kaum remaja, terutama para pelajar dan mahasiswa.
Banyak orang berpandangan bahwa kondisi demikian diduga dimulai dari apa yang dihasilkan oleh dunia pendidikan. Pendidikanlah yang sebenarnya paling besar memberi kontribusi terhadap situasi seperti ini. Apalagi jika komunitas suatu sekolah terdiri dari berbagai suku bangsa, agama, dan ras, berbagai konflik akan dengan mudah bermunculan. Jika kondisi semacam ini tidak di atasi maka akan timbul konflik-konflik yang lebih besar. Akibatnya masalah moral, etika akan terabaikan begitu saja. Maka wajar setiap terjadi dekadensi (Kerusakan) moral masyarakat semua pihak akan segera menoreh pada lembaga pendidikan dan seakan menuduhnya tidak becus mendidik anak bangsa. Tuduhan berikutnya kepada pendidik yang dianggap tidak professional dalam menjaga gawang moralitas bangsa.[5] Sikap dan perilaku masyarakat tersebut bukanlah tanpa alasan, karena memang ada sebagian kecil oknum guru yang melanggar atau menyimpang dari kode etiknya.
Berbagai kasus yang disebabkan oleh kepribadian guru yang kurang mantap, kurang stabil dan kurang dewasa, sering kita dengar di berita-berita elektronik atau kita baca di majalah dan surat kabar. Misalnya: adanya oknum guru  yang  menghamili  peserta  didik,  adanya  oknum  guru  yang  terlibat pencurian, penipuan, dan kasus-kasus lain yang tidak pantas dilakukan oleh guru.[6]
Kepribadian yang mantap, sifat-sifat yang luhur dan  suri  teladan  yang  baik  merupakan solusi yang dapat  meningkatkan  kewibawaan  guru  dan menumbuhkan  kemantapan  belajar  siswa.  Sehingga  siswapun  akan  dengan senang hati menerima setiap materi pelajaran yang disampaikan guru. Kepribadian adalah faktor terpenting bagi seorang guru. Kepribadian itulah yang akan menentukan apakah ia menjadi pendidik dan pembina yang baik bagi anak didiknya, ataukah akan menjadi perusak atau penghancur bagi hari depan anak didik, terutama bagi anak didik yang masih kecil (tingkat Sekolah  Dasar)  dan  mereka  yang  sedang  mengalami  kegoncangan  jiwa (Tingkat Menengah).[7]
Masalah kepribadian guru menjadi prioritas utama dan perhatian yang besar dikalangan ulama dari masa ke masa. Sehingga banyak diantara mereka seperti  al-Ghazali,  al-Kanani,  al-Zarnuji,  Ibnu  Khaldun,  Imam  al-Nawawi  dan  lain-lain  yang telah  berusaha  menyusun  beberapa  kompetensi  personal/kepribadian  yang perlu  dimiliki  oleh  guru karena kegelisahannya terkait begitu pentingnya masalah kepribadian guru. 
II.     Redefinisi Makna Guru
Subyek Pendidikan atau yang lazim disebut sebagai ”pendidik”, sebagaimana dijelaskan W.J.S Poerwadarminta adalah orang yang mendidik.[8] Pengertian ini memberikan kesan bahwa pendidik adalah orang yang melakukan kegiatan dalam bidang mendidik. Dalam bahasa Inggris kata pendidikan sering kita jumpai seperti teacher yang diartikan guru atau pengajar dan tutor yang berarti guru pribadi atau guru yang mengajar di rumah. Dalam konteks keindonesiaan di samping dikenal dengan istilah guru, juga dikenal dengan istilah pendidik. Pendidik bertugas sebagaimana tugas yang dilaksanakan oleh guru. Guru sebagai pribadi teladan minimal bagi peserta didiknya di sekolah sehingga muncul adagium guru adalah pribadi yang harus digugu dan ditiru segala sikap dan perilakunya. Sedangkan pendidik adalah orang dewasa yang bertanggung jawab memberi bimbingan atau bantuan kepada peserta didik dalam perkembangan jasmani dan rohaninya agar mencapai kedewasaannya, mampu melaksanakan tugasnya sebagai makhluk Allah, khalifah di muka bumi, sebagai makhluk sosial dan sebagai individu yang sanggup berdiri sendiri.[9] Jadi pendidik merupakan istilah lain yang dipergunakan untuk menunjuk makna guru.
Pendidik di lembaga persekolahan disebut guru.[10] Istilah lazim yang dipergunakan untuk pendidik adalah guru. Kedua istilah tersebut bersesuain  artinya bedanya adalah terletak pada lingkungannya. Kalau guru hanya di lingkungan pendidikan formal sedang pendidik itu di lingkungan pendidikan formal, informal maupun non formal. Yang dalam hal ini meliputi guru Madrasah dan Sekolah umum dari tingkat taman kanak-kanak (TK) sampai perguruan tinggi (PT), termasuk juga kyai di Pondok Pesantren dan lain sebagaianya. Di samping itu, guru juga merupakan abu al ruh (bapak ruhani) bagi peserta didiknya.[11] Dialah yang memberikan santapan ruhani dan memperbaiki tingkah laku peserta didik.
Selanjutnya dalam bahasa Arab dijumpai kata ustadz, mudarris, mu’allim dan muaddib. Kata ustadz yang berarti teacher (guru), profesor (gelar akademik), jenjang di bidang intelektual, pelatih, penulis dan penyair. Adapun kata mudarris berarti teacher (guru), instructur (pelatih) dan lecture (dosen). Sedangkan kata mu’allim yang juga berarti teacher (guru), instructur (pelatih), trainer (pemandu). Selanjutnya, kata muaddib berarti educator pendidik atau teacher in Koranic School (guru dalam lembaga pendidikan al-Qur’an).[12]
Dalam hazanah pemikiran Islam, istilah guru memiliki beberapa istilah seperti “ustadz”, “mu’allim”, “muaddib” , “murabbi” dan "mursyid". Beberapa istilah untuk sebutan “guru” itu berkait dengan beberapa istilah untuk pendidikan yaitu “ta’lim”, ta’dib” dan “tarbiyah” sebagaimana telah dikemukakan terdahulu. Istilah mu’allim lebih menekankan guru sebagai pengajar, penyampai pengetahuan (knowlwdge) dan ilmu (science); istilah mu’addib lebih menekankan guru sebagai pembina moralitas dan akhlak peserta didik dengan keteladanan; dan istilah murabbi lebih menekankan pengembangan dan pemeliharaan baik aspek jasmaniah maupun ruhaniah.[13] Sedangkan istilah yang umum dipakai dan memiliki cakupan makna yang luas dan netral adalah ustadz yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan “guru”.
Dalam bahasa Indonesia terdapat istilah guru, disamping istilah pengajar dan pendidik. Dua istilah terakhir yang merupakan bagian tugas terpenting dari guru yaitu mengajar dan sekaligus mendidik siswanya. Walaupun antara guru dan ustadz pengertiannya sama, namun dalam praktek khususnya di lingkungan sekolah-sekolah Islam, istilah guru dipakai secara umum, sedangkan istilah ustadz dipakai untuk sebutan guru khusus yaitu yang memiliki pengetahuan dan pengamalan agama yang “mendalam”. Dalam wacana yang lebih luas, istilah guru bukan hanya terbatas pada lembaga persekolahan atau lembaga keguruan semata. Istilah guru sering dikaitkan dengan istilah bangsa sehingga menjadi guru bangsa. Istilah guru bangsa muncul ketika sebuah bangsa mengalami kegoncangan struktural dan kultural sehingga hampir-hampir terjerumus dalam kehancuran. Guru Bangsa adalah orang yang dengan keluasan pengetahuan, keteguhan komitmen dan kebesaran jiwa dan pengaruh serta keteladanannya dapat mencerahkan bangsa dari kegelapan. Guru bangsa dapat lahir dari ulama/agamawan, intelektual, pengusaha pejuang, birokrat dan lain-lain. Pendek kata, dalam istilah guru mengandung nilai, kedudukan dan peranan mulia. Karena itu di dunia ini banyak orang yang bekerja sebagai guru, akan tetapi mungkin hanya sedikit yang bisa menjadi guru yaitu yang bisa digugu dan ditiru.
Dalam pengertian yang lebih luas pendidik dalam perspektif pendidikan islam adalah orang yang bertanggung jawab terhadap upaya pertumbuhan jasmani dan perkembangan rohani peserta didik agar ia mampu menunaikan tugas-tugas kemanusiaannya (baik sebagai khalifah fi al-ardh maupun ‘abd) sesuai dengan nilai-nilai ajaran islam. Oleh karena itu pendidik dalam konteks ini bukan hanya terbatas pada orang-orang yang bertugas di sekolah tetapi semua orang yang terlibat dalam proses pendidikan anak mulai sejak alam kandungan hingga ia dewasa, bahkan sampai meninggal dunia.
III.     Tugas dan Tanggung Jawab Guru
Setelah dijelaskan pengertian, tugas seorang guru, maka dalam pembahasan ini dibahas tugas dan tanggung jawab guru. Guru adalah komponen yang penting dalam pendidikan, yakni orang yang bertanggung jawab mencerdaskan kehidupan anak didik, dan bertanggung jawab atas segala sikap, tingkah laku dan perbuatan dalam rangka membina anak didik agar menjadi orang yang bersusila yang cakap, berguna bagi nusa dan bangsa di masa yang akan datang.
Tugas guru adalah tugas yang mulia sebagaimana dikatakan oleh Abdullāh   ‘Ulwan  bahwa   tugas   guru   ialah melaksanakan pendidikan ilmiah, karena ilmu mempunyai pengaruh yang besar terhadap pembentukan kepribadian dan emansipasi harkat manusia.[14] Allah juga mengisyaratkan bahwa tugas pokok Rasululloh saw. ialah  mengajarkan  al kitab dan al-hikmah  kepada  manusia  serta mensucikan mereka, yakni mengembangkan dan membersihkan jiwa mereka.[15]
Menurut  al-Nahlawi  bahwa  tugas  pokok  guru  dalam  pendidikan  Islam  adalah  yaitu:[16] Pertama, tugas pensucian artinya guru hendaknya mengembangkan dan membersihkan  jiwa  peserta  didik  agar  dapat  mendekatkan  diri kepada  Allah,  menjauhkannya  dari  keburukan  dan  menjaganya agar tetap berada  pada fitrahnya. Kedua, Tugas  pengajaran. Guru  hendaknya  menyampaikan  berbagai pengetahuan  dan pengalaman kepada peserta didik untuk diterjemahkan dalam tingkah laku kehidupannya.
Sebagai seorang guru, tentu saja pertama-tama harus bertanggung jawab kepada tugasnya sebagai guru, yaitu mengajar dan mendidik anak-anak yang telah dipercayakan kepadanya.[17] Di katakan oleh Husein Syahatah, tanggung jawab seorang guru adalah mengajarkan kepada anak didiknya ilmu yang bermanfaat dan berguna seluas-luasnya bagi kepentingan seluruh umat manusia.[18]
Secara umum, pendidik adalah orang yang memiliki tanggung jawab untuk mendidik. Sementara secara khusus, pendidik dalam perspektif Islam adalah orang-orang yang bertanggung jawab terhadap perkembangan peserta didik, baik potensi afektif, kognitif, maupun psikomotorik sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam.[19] Setiap guru harus memenuhi peryaratan sebagai manusia yang bertanggung jawab dalam bidang pendidika. Guru sebagai pendidik bertanggung jawab untuk mewariskan nilai-nilai dan norma-norma kepada generasi berikutnya, sehingga terjadi proses konservasi nilai. Sedangkan menurut Mulyasa tanggung jawab guru dapat dijabarkan ke dalam sejumlah kompetensi yang lebih khusus, yaitu; tanggung jawab moral, tanggung jawab dalam bidang pendidikan di sekolah, tanggung jawab dalam bidang kemasyarakatan dan tanggung jawab dalam bidang keilmuan.[20]
Dalam lembaga persekolahan, tugas utama guru adalah mendidik dan mengajar. Dan agar tugas utama tersebut dapat dilaksanakan dengan baik, maka ia perlu memiliki kualifikasi tertentu yaitu profesionalisme: memiliki kompetensi dalam ilmu pengetahuan, kredibilitas moral, dedikasi dalam menjalankan tugas, kematangan jiwa (kedewasaan) dan memiliki keterampilan teknis mengajar, mampu membangkitkan etos dan motivasi anak didik dalam belajar dan meraih kesuksesan. Dengan kualifikasi tersebut diharapkan guru dapat menjalankan tugasnya sebagai pendidik dan pengajar mulai dari perencanakan program pembelajaran, mampu memberikan keteladanan dalam banyak hal, mampu menggerakkan etos anak didik sampai pada evaluasi.
a.    Guru sebagai Pengajar
Sebagai  pengajar,  guru  berkewajiban  membantu  peserta  didik  yang sedang berkembang untuk mempelajari sesuatu yang belum diketahuinya, membentuk  kompetensi,  dan  memahami  materi  standar  yang  dipelajari.[21] Ini  berarti  bahwa  sebagai  pengajar,  guru  hanya  dituntut  untuk  memberikan   pelajaran   kepada   peserta   didik   supaya   mereka   cerdas   dan   dapat memahami pelajaran yang diberikan. Artinya, sebagai tugas pengajar, yang diutamakan adalah membina kecerdasan intelektual peserta didik.
b.   Guru sebagai Pendidik
Sebagai pendidik, guru adalah tokoh, panutan para peserta didik dan lingkungannya.  Oleh karena itu,guru dituntut untuk memiliki standar kualitas pribadi tertentu, yang mencakup tanggung jawab, wibawa, kemandirian, disiplin, dan kompetensi  serta  profesionalisme. Pada  guru dituntut tanggung jawab dan kepribadian yang utuh. Menurut Zakiah Daradjat,  kepribadian  itulah yang akan menentukan  apakah ia menjadi pendidik dan pembina yang   baik bagi anak didiknya, ataukah akan menjadi perusak bagi hari depan anak didik (terutama pada tingkat dasar) dan mereka yang sedang  mengalami kegoncangan jiwa(peserta didik tingkat sekolah menengah).[22]
Berkaitan dengan tanggung jawab, menurut pandangan penulis, guru harus mengetahui serta memahami nilai budaya, norma agama, serta berusaha  berperilaku  dan  berbuat  sesuai  nilai  budaya  dan  norma  agama yang berakar kuat di masyarakat. Guru harus bertanggung jawab melaksanakan  pembelajaran  untuk  mengembangkan  peserta  didik  menjadi  cerdas dan sekaligus berbudi pekerti luhur sesuai dengan nilai budaya dan norma agama yang berkembang di masyarakat.
Dengan demikian, guru sebagai pendidik berarti bahwa selain mengajar,ia  juga  mendidik  anak  menjadi  berbudi  pekerti  luhur. Artinya, selain  membina  kecerdasan  intektual  anak, ia juga  membina  kecerdasan emosional,  kecerdasan  spiritual, dan kecerdasan sosial peserta didik. Oleh karena  itu,  seorang  guru  harus  melaksanakan  tugasnya secara  profesional dan mesti memiliki kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, dan kompetensi sosial.[23]
IV.     Pendidik Ideal; Aspek-aspek Kepribadian
Kepribadian erat kaitannya dengan sifat-sifat dan akhlak yang dimiliki guru. Agar guru berhasil melaksanakan tugasnya, al-Ghazali menyarankan  guru  memiliki  akhlak  yang  baik.  Hal  ini  disebabkan anak  didik  itu  akan  selalu  melihat  kepadanya  sebagai  contoh  yang harus selalu diikuti.[24] Kepribadian  yang  sesungguhnya  adalah  abstrak  (maknawi), sukar diketahui secara nyata. Yang dapat diketahui adalah penampilan atau  bekasnya  dalam  segala  segi  dan  aspek  kehidupan.  Misalnya dalam tindakannya, ucapan, caranya bergaul, berpakaian dan dalam menghadapi  berbagai  persoalan atau masalah,  baik  yang  ringan maupun yang berat.[25]
Pribadi guru memiliki  andil yang sangat besar terhadap keberhasilan  pendidikan,  khususnya dalam  kegiatan  pembelajaran. Pribadi guru juga sangat berperan dalam membentuk pribadi peserta didik. Ini dapat dimaklumi karena manusia merupakan makhluk yang suka mencontoh, termasuk mencontoh  pribadi gurunya dalam membentuk pribadinya.[26] Oleh karena itulah guru dalam pendidikan Islam  harus  membekali  dirinya  dengan  akhlak- akhlak yang  mulia. Sehingga kedudukan      guru     tidak merosot, penghormatan dan penghargaan murid terhadap guru tidak menurun.
Selain hal di atas, Kepribadian merupakan suatu istilah yang lazim dipergunakan dalam ilmu psikologi guna menelaah sifat, sikap, kebiasaan atau perilaku yang mencerminkan dan memberikan gambaran tentang jati diri orang tersebut.[27] Kepribadian sendiri ialah kumpulan sifat-sifat yang huwiyyah, aniyyah, dzatiyyah, nafsiyyah, khuluqiyyah, dan syahsiyyah[28] yang biasa membedakan seseorang dengan orang lain. Dengan mengetahui kepribadian diri sendiri, individu telah mengetahui ranah apa yang menjadi kekuatan dan kelemahan dari dirinya. Selain itu, kepribadian seseorang berpengaruh besar dalam setiap profesi yang digeluti oleh setiap orang. Setiap profesi dituntut dan harus memiliki kepribadian yang merepresentasikan keprofesiannya, dengan hadirnya kepribadian yang unggul (seharusnya), maka berimplikasi besar pada pihakpihak yang dilibatkan dan berkorelasi dengan profesi tersebut.
Kita sering mendengar ungkapan guru atau pendidik; digugu lan ditiru. Ungkapan ini jelas-jelas mengarah pada makna semangat profil guru ideal. Kita menyadari, kerinduan akan sosok-sosok guru ideal pada dunia pendidikan kita telah menjadi kerinduan bersama. Guru yang ideal adalah guru yang dijadikan figur lekatan oleh siswanya.[29] Figur lekatan pada siswa tidak bisa dibuat-buat atau dipaksa-paksa. Ia hadir atas dasar pengakuan. Dan ini tidak akan dapat direkayasa oleh tehnologi secanggih apapun. Jika guru ingin menginginkan dirinya menjadi figure lekatan pada siswanya maka guru tersebut haruslah mencintai siswanya dengan setulus hati. Jika cinta seorang guru telah dicurahkannya paling tidak ada tiga hal yang bisa diperoleh guru sebagai respon balik dari siswa. Pertama, seluruh tutur katanya akan didengar oleh siswanya. Kedua, siswa akan merasa aman untuk menjadikan guru sebagai tempat mengadu dan kawan terdekat. Ketiga, anak terdorong untuk mempersembahkan apa saja yang terbaik bagi gurunya kelak.
Profesi guru seharusnya diisi oleh manusia-manusia yang idealis. Karena para gurulah yang akan mendidik generasi bangsa yang akan datang. Bila guru tidak mengajarkan idealisme, tidak mengajarkan nilai luhur, nilai-nilai utama, baik dalam ucapan, sikap maupun keteladanan atas pilihan gaya hidupnya kepada mereka semua, maka dapat dibayangkan apa yang akan terjadi.  Oleh karena itu untuk mengemban amanah yang begitu besar maka dibutuhkan sosok guru dengan kompetensi dan berkepribadian yang ideal.
Kompetensi kepribadian sangat besar pengaruhnya terhadap pertumbuhan dan perkembangan pribadi para peserta didik. Kompetensi kepribadian ini memiliki peran dan fungsi yang sangat penting dalam membentuk kepribadian anak, guna menyiapkan dan mengembangkan sumber daya manusia (SDM), serta mensejahterakan masyarakat, kemajuan negara, dan bangsa pada umumnya.[30] Berangkat dari hal tersebut maka sebelum membangun kepribadian anak, maka seorang guru juga harus mempunyai kepribadian yang baik.
Dari uraian tersebut, maka dapat dirumuskan ruang lingkup kompetensi kepribadian guru dalam pendidikan Islam, sebagimana yang di jelaskan Muhaimin, bahwa Imam Al-Ghazali, Al-Nahlawy, Al-Abrasyi, Al- Kailany, Al-Qurasyi dalam dimensi personal atau kepribadian menyatakan bahwa seorang guru harus meneladani Rasulullah, dalam arti tujuan, tingkah laku, dan pola pikirnya bersifat Rabbani; ikhlash dalam bekerja atau bekerja karena mencari ridlo Allah SWT; menjaga harga diri dan kehormatan; menjadi teladan bagi para peserta didiknya; menerapkan ilmunya dalam bentuk perbuatan; sabar dalam mengajarkan ilmunya kepada peserta didik dan tidak mau meremehkan mata pelajaran lainnya.[31]
Menurut Al Ghazali, sebagaimana dikutib oleh Muhaimin menyatakan bahwa, kompetensi personal-religius mencakup: (1) kasih sayang terhadap peserta didik dan memperlakukannya sebagaimana anaknya sendiri; (2) peneladanan pribadi Rasulullah Saw; (3) bersikap objektif; (4) bersikap luwes dan bijaksana dalam menghadapi peserta didik; (5) bersedia mengamalkan ilmunya.[32] Sedangkan Ahmad  Tafsir  mengemukakan  bahwa  sifat-sifat  yang  perlu dimiliki guru adalah Kasih sayang kepada anak didik, Lemah lembut, Rendah hati, Menghormati ilmu yang bukan pegangannya, Adil, Menyenangi ijtihad, Konsekuen, perkataan sesuai dengan perbuatan, Sederhana.[33]
Mengenai kompetensi kepribadian seorang guru minimal dapat dijelaskan dalam beberapa kepribadian yaitu; pertama, mempunyai kematangan, artinya Kematangan (mantap) diperlukan oleh orang yang mengharapkan kepribadiannya dihormati dan dihargai oleh manusia, terlebih seorang guru dan teladan generasi muda. Orang-orang yang tidak matang kepribadiannya, prilaku mereka mengisyaratkan adanya kekurangan pada akal dan sifat kejantanan yang sempurna, serta hilangnya kehormatan ilmu. Orang yang kondisinya seperti ini membuat murid-murid mencemooh dan melecehkannya.[34] Kedua, dewasa artinya Tugas mendidik antara lain, harus dilakukan bagi seorang pendidik yang sudah dewasa, baik dewasa dalam ilmunya dan juga umurnya. Sebab anak-anak tidak dapat dimintai pertanggung jawaban. Di negara kita Indonesia, seseorang dianggap dewasa sejak ia berumur 18 tahun atau dia sudah kawin. Menurut ilmu pendidikan adalah 21 tahun bagi laki-laki dan 18 bagi seorang perempuan. Bagi pendidik asli, yaitu orang tua anak, maka mereka boleh mendidik anaknya.[35] Ketiga, arif dan bijaksana artinya Allah memerintahkan umat Islam untuk mengembangkan sikap arif dan bijaksana dalam melakukan dan menyelesaikan suatu aktivitas, seperti mengajar, mendidik para murit-muritnya (berdiskusi dan bermusyawarah) serta bertawakal kepada Allah Swt.[36] Keempat, berwibawa diartikan sebagai sikap atau penampilan yang dapat menimbulkan rasa segan dan hormat, sehingga anak didik merasa memperoleh pengayoman dan perlindungan. Kelima, menjadi suri tauladan yang baik (Uswatun hasanah) artinya Seorang guru adalah sebagai panutan para murit-muritnya. Keteladanan dalam pendidikan merupakan metode yang berpengaruh dan terbukti paling berhasil dalam mempersiapkan dan membentuk aspek moral, spiritual, dan etos sosial anak. Seorang pendidik tidak dapat mendidik murid-muridnya dengan sifat utama kecuali apabila ia memiliki sifat utama dan ia tidak dapat memperbaiki mereka kecualai saat shalih, karena murid-murid akan mengambil keteladan darinya lebih banyak dari pada mengambil kata-katanya.[37]
 Mengingat pendidik adalah seorang figur terbaik dalam pandangan anak, yang tindak- tanduk, dan sopan santunnya, disadari atau tidak, akan ditiru oleh mereka. Bahkan bentuk perkataan, perbuatan dan tindak tanduknya, akan senantiasa tertanam dalam kepribadian anak.[38] Seorang anak, bagaimana pun besarnya usaha yang dipersiapkan untuk kebaikannya, bagaimana pun sucinya fitrah, ia tidak akan mampu memenuhi prinsip-prinsip kebaikan dan pokok-pokok pendidikan utama, selama ia tidak melihat sang pendidik sebagai teladan dari nilai-nilai moral yang tinggi.
Keenam, berakhlak mulia. Akhlaq merupakan fitrah bagi setiap insan. Diatasnyalah risalah Islam tumbuh dan karenalah Rasulullah saw diutus. Allah telah memuji utusan-Nya tersebut sebagai sosok yang memiliki kesempurnaan akhlak mulia.[39] Aisyah mengatakan ”Akhlak beliau adalah Al-Qur’an”. Seorang pendidik harus memiliki akhlak yang  baik dan terpuji agar dapat menarik simpati masyarakat dan bisa bersabar dalam menghadapinya. Jika seorang pendidik, tidak berakhlak mulia, ilmu dan amalnya tidak akan bermanfaat.[40]
Kedelapan, keikhlasan artinya merupakan sebagian sifat-sifat guru pendidikan Islam yang harus dimiliki. Pendidik hendaknya mencanangkan niatnya semata-mata karena Allah dalam seluruh pekerjaan edukatifnya, baik berupa perintah, larangan, nasehat, pengawasan, atau hukuman.[41] Kesembilan, Sabar dalam mengajarkan ilmu. Menurut Al-Ghazali, karakter shobir (sabar) terkait dengan dua aspek, yaitu: pertama, fisik (badani), yaitu menahan diri (sabar) dari kesulitan dan kelelahan badan dalam menjalankan perbuatan yang baik. Dalam kesabaran ini sering kali mendatangkan rasa sakit, luka dan memikul beban yang berat; kedua, psikis (nafsi), yaitu menahan diri dari natur dan tuntutan hawa nafsu.[42]
Menurut Menurut Moh. ’Athiyah al-Abrasyi guru harus bersifat pemaaf terhadap muridnya, ia sanggup menahan diri, menahan kemarahan, lapang hati, banyak bersabar dan jangan pemarah karena sebab-sebab yang kecil. Berpribadi  dan  mempunyai  harga  diri.[43] Pribadi  yang  arif  bijaksana seperti ini sangat perlu dimiliki seorang guru yang menginginkan anak didiknya memiliki perilaku-prilaku yang baik menurut syariat

V.     Penutup

Guru   adalah   unsur   utama   dalam   keseluruhan   proses   pembelajaran. Tanpa guru, pendidikan hanya akan menjadi pembicaraan yang omong kosong. Peran dan fungsi yang cukup berat untuk diemban ini tentu saja membutuhkan sosok seorang guru atau pendidikan yang utuh dan tahu dengan kewajiban dan tanggungjawab sebagai seorang pendidik.Selain mahir dibidangnya, seorang guru tentu saja dituntut untuk menjadi figur yang baik, prilaku seorang guru senantiasa menjadi sorotan masyarakat terutama para muridnya, tidak sedikit murid yang mengagumi gurunya bukan hanya karena kepintaran dibidang ilmunya, tetapi justru karena prilakunya yang baik, bersikap ramah, adil dan jujur ​​kepada murid-muridnya.
Hal lain yang dapat dilakukan oleh seorang guru agar dapat menjadi teladan yang baik adalah dengan selalu mengadakan muhasabah pada diri sendiri, mengoreksi akan kekurangan-kekurangan diri dan berusaha untuk memperbaikinya karena bagaimana mungkin guru akan menjadi teladan sedangkan dirinya penuh dengan kekurangan, bagaimana mungkin guru dapat menundukan kekurangan-kekurangan itu sedangkan dirinya cenderung kepada akhlak yang tercela, bagaimana mungkin guru dapat menasehati murid-muridnya sedangkan dirinya belum mencerminkan kesempurnaan akhlak. 

DAFTAR PUSTAKA
Ad-Duweisy,  Muhammad Abdullah,(2006), Menjadi Guru Yang Sukses dan Berpengaruh, Surabaya: Penerbit Elba,
Al-Hamd, Muhammad bin Ibrahim, (2002), Ma'al Mu'alim (terj.), Jakarta: Darul Haq, Jakarta.
Aly,  Hery Noer, (1999), Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Al-Fattah, Abd, (2005), 40 Setrategi Pembelajaran Rasulullah, Yogyakarta: Tiara wacana, cetakan ke-1
Azra, Azyumardi, (1998), Esei-esei  Intelektual  Muslim  dan  Pendidikan  Islam, Jakarta:  Logos Wacana Ilmu.
Darajat, Zakiyah, (2005), Kepribadian Guru, Jakarta: Bulan Bintang.
Effendi, Muhadjir, (2013), “Tantangan Pendidikan Masa Kini dalam Perpektif Islam” dalam www.umm.ac.id , diakses tanggal 10 Juni 2013, pukul 21.00 Wib
Hakim , Lucky Maulana, (2012), “The Great Teacher: Membedah Aspek-Aspek Kepribadian Guru Ideal dan Pembentukan Perilaku Siswa dalam Novel “Pertemuan Dua Hati” Karya NH Dini, Jurnal Pendidikan Dompet Dhuafa, Vol. 2, No. 1, Mei 2012
Mujib, Abdul, (2006), Ilmu Pendidikan Islam, Semarang: Prenada Kencana.
Munir, Abdullah, (2006), Spiritual Teaching, Yogyakarta: Pustaka Insan Madani,
Muhaimin, (2003), Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam, Bandung: Nuansa.
Mulyasa, E, (2008),Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru, Bandung: Remaja Rosdakarya.
__________, (2005),Menjadi Guru Profesional, Bandung: Remaja Rosda Karya.
Mujib, Abdul, (2006),Kepribadian dalam Psikologi Islam,Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
Natsir, Nanat Fatah, (2007), “Peningkatan Kualitas Guru dalam Perspektif Pendidikan Islam” dalam Jurnal Educationist, No. I Vol. I Januari 2007
Purwanto, M. Ngalim, (1997), Ilmu Pendidikan, Teoritis dan Praktis, Bandung: Rosda karya.
Purwodarminto, WJS, (2002), Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional Indonesia.
Rama, Bahaking,(2007), “Beberapa Pandangan Tentang Guru Sebagai Pendidik”, dalam Jurnal Lentera Pendidikan, Edisi X, No.1, Juni 2007
Roqib, Moh, (2009), Ilmu Pendidikan Islam, Yogyakarta: LKis,
Ramayulis, (2006), Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia,
Samsul, Nizar,(2002), Filsafat Pendidikan Islam, Pendekatan Historis, Teoritis,Praktis. Jakarta: Ciputat Pers.
Shihab, M. Quraish, (2002), Tafsir Al-Mishbah;Pesan, Kesan dan Keserasian Al Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, Volume 15,
Sumitro, dkk, (2006),Pengantar Ilmu Pendidikan, Yogyakarta: UNY Press,
Surya, Mohamad, (2006), Percikan Perjuangan Guru Menuju Guru Profesional, Sejahtera dan Terlindungi, Bandung: Pustaka Bani Quraisy.
Tafsir ,Ahmad, (1994), Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Bandung:  Remaja Rosdakarya.
Usman, Moh. Uzer, (2000), Menjadi Guru Profesional, (Bandung: PT Rosda Karya,), cet kesebelas,
Ulum, Samsul, Triyo Supriyatno, (2006), Tarbiyah Qur’aniyyah, Malang: UIN Press,
Ulwan, Abdullah Nashih, (1999), Pendidikan Anak Dalam Islam, Jakarta: Pustaka amani, Cetakan ke-2
Uhbiyati, Nur, (1997), Ilmu Pendidikan Islam (IPI), Bandung: Pustaka Setia.

[1] Tampaknya masyarakat mendudukkan posisi guru pada tempat yang terhormat dalam kehidupan masyarakat, yakni di depan member suri tauladan, di tengah-tengah membangun, dan di belakang memberikan dorongan dan motivasi. Ing ngarso sung tulodo, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. Moh. Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional, (Bandung: PT Rosda Karya, 2000), cet kesebelas, hal. 7-8.
[2] Nanat Fatah Natsir, “Peningkatan Kualitas Guru dalam Perspektif Pendidikan Islam” dalam Jurnal Educationist, No. I Vol. I Januari 2007, hal. 20.
[3] Komponen-komponen pendidikan itu adalah tujuan pendidikan, peserta didik, pendidik/guru, isi pendidikan, metode pendidikan, alat pendidikan,   dan   lingkungan   pendidikan.   Sumitro, dkk., Pengantar Ilmu Pendidikan, (Yogyakarta: UNY Press, 2006), hal. 30. Sedangkan guru sebagai komponen sentral guru merupakan komponen terpenting yang harus ada dalam proses belajar mengajar. Karena Guru sangat berperan dalam usaha pembentukan sumber daya manusia yang potensial di segala bidang. Siapapun  sependapat  bahwa  guru  merupakan  unsur  utama  dalam keseluruhan   proses   pendidikan   khususnya   di   tingkat   institusional   dan instruksional.  Tanpa  guru,  pendidikan  hanya  akan  menjadi  slogan  muluk karena segala bentuk kebijakan dan  program pada akhirnya akan ditentukan oleh kinerja pihak yang berada yang berada di garis  terdepan yaitu guru. Lihat Mohamad Surya, Percikan Perjuangan Guru Menuju Guru Profesional, Sejahtera dan Terlindungi, (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2006), hal. 44.
[4] Bahaking Rama, “Beberapa Pandangan Tentang Guru Sebagai Pendidik”, dalam Jurnal Lentera Pendidikan, Edisi X, No.1, Juni 2007, hal. 18
[5] Lebih lengkapnya lihat dalam Moh.Roqib, Ilmu Pendidikan Islam, (Yogyakarta: LKis, 2009), cet I, hal 35. Senada dengan hal itu menurut Azyumardi Azra bahwa kemerosotan  moral  para  siswa  tersebut  mereka anggap karena kegagalan guru dalam mendidik dan memberi suri tauladan kepada para siswanya. Bila guru dahulu berarti orang yang berilmu, yang arif dan bijaksana, kini guru dilihat tidak lebih sebagai fungsionaris pendidikan yang mengajar atas dasar kualifikasi keilmuan dan akademis tertentu. Faktor- faktor  lain  seperti  kearifan  dan  kebijaksanaan  yang  merupakan  sikap  dan tingkah  laku  moral  tidak  lagi  signifikan.  Sebaliknya  dalam  konsep  klasik, faktor  moral  berada  dikualifikasi  pertama,  sedangkan  faktor  kompetensi keilmuan  dan  akademis  berada  di  bawah  kualifikasi  moral. Kearifan  dan kebijaksanaan  yang  jarang  dimiliki  oleh  guru  dewasa  ini  menjadikan  para siswa  kesulitan  untuk  mencari  sosok  idola  panutan  dan  teladan  mereka, sedang anak-anak yang berada dalam usia remaja atau diambang kedewasaan sangat mencari dan merindukan figur keteladanan dan tokoh identifikasi yang akan diterima dan diikuti langkahnya. Azyumardi Azra,  Esei-esei  Intelektual  Muslim  dan  Pendidikan  Islam,  (Jakarta:  Logos Wacana Ilmu, 1998), hal. 165. Sedangkan menurut Muhadjir Effendi bahwa diakui atau tidak, bahwa proses modernisasi  dalam berbagai dimensi akan menimbulkan ekses sampingan bagi masyarakat terutama lahirnya kecenderungan masyarakat kepada hal-hal yang bersifat konsumtif, materialistik dan individualistik. Hal tersebut terjadi dikarenakan masing-masing individu dituntut untuk memenuhi kebutuhan riil sesuai dengan tuntutan pembangunan. Muhadjir Effendi, “Tantangan Pendidikan Masa Kini dalam Perpektif Islam” dalam www.umm.ac.id , diakses tanggal 10 Juni 2013, pukul 21.00 Wib.
[6] E. Mulyasa, Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2008), hal. 121.
[7] Zakiyah Darajat, Kepribadian Guru, (Jakarta: Bulan Bintang, 2005), hal. 9.
[8] WJS Purwodarminto, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Departemen Pendidikan Nasional Indonesia. 2002), hal 61
[9] Nur Ubiyati, Ilmu Pendidikan, (Bandung: Pustaka Setia, 1997), hal. 71.
[10] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2006), hal. 60.
[11]Ramayulis, Ilmu, hal. 66. Pandangan yang serupa juga menyatakan bahwa guru merupakan orang dewasa yang bertanggung jawab memberi pertolongan pada anak didiknya dalam perkembangan jasmani dan rohaninya, agar mencapai tingkat kedewasaan,mampu berdiri sendiri,dan memenuhi tingkat kedewasaan,mampu mandiri dalam memenuhi tuganya sebagai hamba dan khalifah Allah SWT. Lihat Abdul Mujib, Ilmu Pendidikan Islam, (Semarang: Prenada Kencana, 2006), hal.87
[12] Samsul Ulum, Triyo Supriyatno, Tarbiyah Qur’aniyyah (Malang: UIN Press, 2006), hal. 62
[13] Penggunaan istilah tersebut diperjelas oleh Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir. Murabbi adalah orang yang mendidik dan mempersiapkan peserta didik agar mampu berkreasi serta mampu mengatur dan memelihara hasil kreasinya untuk tidak menimbulkan mala petaka bagi dirinya. Mu’allim adalah orang yang menguasai ilmu dan mampu mengembangkannya serta menjelaskan fungsinya dalam kehidupan, menjelaskan dimensi teoritis dan praktisnya, sekaligus melakukan transfer ilmu pengetahuan, internalisasi, serta implementasi (amaliah). Mudarris adalah orang yang memiliki kepekaan intelektual dan informasi serta memperbarui pengetahuan dan keahliannya secara berkelanjutan, dan berusaha mencerdaskan peserta didiknya, memberantas kebodohan mereka, serta melatih keterampilan sesui dengan bakat, minat, dan kemampuannya. Muaddib adalah orang yang mampu manyiapkan peserta didik untuk bertanggung jawab dalam membangun peradaban yang berkualitas dimasa depan.Ustadz adalah orang yang berkomitmen dengan profesionalitas, yang melekat pada dirinya sikap dedikatif, komitmen terhadap mutu proses dan hasil kerja, serta sikap continuous improvement. Mursyid adalah orang yang mampu menjadi model atau sentral identifikasi diri atau menjadi pusat anutan, teladan, dan konsultan bagi peserta didiknya. Lihat Abdul Mujib, Jusuf Mudzakir. Ilmu Pendidikan Islam. ( Jakarta: Kencana, 2006), hal. 87.

[14] ’Abdullah ’Ulwan, Abdullah Nashih Ulwan, Pendidikan Anak Dalam Islam, (Jaklarta: Pustaka amani,1999), Cetakan ke-2. Hal. 142
[15] Hal tersebut mengacu pada ayat Al Qur’an QS. Al-Baqarah: 129 yang Artinya: “Ya Tuhan Kami, utuslah untuk mereka sesorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al kitab (Al Quran) dan Al-Hikmah (As-Sunnah) serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana.” Depag RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: Putra Sejati Raya, 2003), hal. 33.
[16] Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hal. 96.
[17] M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan, Teoritis dan Praktis, (Bandung: Rosda karya,1997). hal. 142
[18] Husein Syahatah, Quantum Learning (Bandung: Mizan, 2004). hal. 46
[19] Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, Pendekatan Historis, Teoritis,Praktis. (Jakarta: Ciputat Pers. 2002), hal. 42
[20] Mulyasa, Standar kompetensi, hal. 18
[21] E. Mulyasa, Menjadi Guru Profesional, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2005), hal.38.
[22] Zakiyah Daradjat, Kepribadian Guru, ( Jakarta: Bulan Bintang, 2005), hal. 9.
[23] Kompetensi pedagogik adalah kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik. Kompetensi kepribadian adalah kemampuan kepribadian yang mantap, berakhlak mulia, arif, dan berwibawa serta menjadi teladan peserta didik.  Kompetensi profesional adalah kemampuan penguasaan materi pelajaran secara luas dan mendalam. Dan kompetensi sosial adalah kemampuan guru untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan efisien dengan peserta didik, sesama guru, orangtua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar. Lihat Penjelasan Pasal 10 ayat 1 Undang-Undang RI No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
[24] Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam (IPI), (Bandung: Pustaka Setia, 1997), hal. 93.
[25] Zakiyah Darajat, Kepribadian Guru, hal. 9.
[26] E. Mulyasa, Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru, hal. 117.
[27]Lucky Maulana Hakim,  “The Great Teacher: Membedah Aspek-Aspek Kepribadian Guru Ideal dan Pembentukan Perilaku Siswa dalam Novel “Pertemuan Dua Hati” Karya NH Dini, Jurnal Pendidikan Dompet Dhuafa, Vol. 2, No. 1, Mei 2012
[28]Huwiyyah berasal dari kata huwa (kata ganti orang ketiga tunggal) yang memiliki arti ”dia”. Nafsiyyah berasal dari kata ”nafs” yang berarti pribadi. Orang arab sering menyesali dirinya dengan sebutan nafsi(oh diriku atau oh pribadiku ! Dzatiyyah memiliki arti identity, personality, dan subjectivity. Dalam teminologi psikologi, dzatiyyah memiliki arti “tendensi” individu pada dirinya yang berasal dari substansinya sendiri. Khuluqiyyah adalah bentuk jama’ dari kata akhlaq yang memiliki arti character, disposition dan moral constitution. Syakhshiyyah berasal dari kata ”Syakhsh” yang berarti ”pribadi” kata itu kemudian diberi ya’ nisbah, sehingga menjadi kata benda buatan (masdar shina’a). Syakhshiyyah yang berarti ”kepribadian”. Dalam kamus bahasa Arab modern, istilah Syakhshiyyah digunakan untuk maksud personality (kepribadian). Lihat Abdul Mujib, Kepribadian Dalam Psikologi Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), hal. 18-19
[29] Abdullah Munir, Spiritual Teaching, (Yogyakarta: Pustaka Insan Madani, 2006), hal. 110
[30] E Mulyasa, Standar Kompetensi, hal. 177. Dalam bahasa arab kepribadian sering disebut Syakhshiyyah. Syakhshiyyah berasal dari kata ”Syakhsh” yang berarti ”pribadi” kata itu kemudian diberi ya’ nisbah, sehingga menjadi kata benda buatan (masdar shina’a) Syakhshiyyah yang berarti ”kepribadian”. Dalam kamus bahasa Arab modern, istilah Syakhshiyyah digunakan untuk maksud personality (kepribadian). Lihat Abdul Mujib, Kepribadian dalam Psikologi Islam. hal. 25.
[31] Muhaimin, Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam, (Bandung: Nuansa. 2003), hal.155.
[32] Muhaimin, Arah, hal.97-98
[33] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung:  Remaja Rosdakarya, 1994), hal. 84.
[34] Muhammad Abdullah Ad-Duweisy, Menjadi Guru Yang Sukses dan Berpengaruh, (Surabaya: Penerbit Elba, 2006), hal. 69.
[35] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: Rosdakarya, 2005), Cetakan ke lima. hal. 80.
[36] Syamsul Nizar, Filsafat, hal. 72-73.
[37] Muhammad bin Ibrahim al-Hamd, Ma'al Mu'alim (terj.), (Jakarta: Darul Haq, Jakarta, 2002), hal. 27.
[38] Abdullah Nashih Ulwan, Pendidikan Anak, hal. 142.
[39] Kesempurnaan akhlak Rasulullah saw, yaitu terdiri atas 6 hal, yaitu: Pertama, kekuatan akal, ketajaman perasaan dan ketepatan firasat. Sungguh dalam diri Rasulullah terdapat cara berpikir yang sehat, managemen berfikir yang benar, dan sistematika berfikir yang baik.Kedua, gigih dalam menghadapi kesulitan. Sikap semacam ini merupakan tuntutan bagi beliau dalam menghadapi para musuh.Ketiga, zuhud terhadap kesenangan duniawi, qona’ah (rela menerima), tidak mudah condong kepada keindahan dunia, dan tidak lengah (larut) dalam kenikmatannya. Dengan prilaku zuhud semacam itu beliau mampu mengajak (mendidik) para sahabat bersikap zuhud serta tidak mencari keuntungan duniawi dengan mendustakan asma Allah. Keempat, tawadhu’ terhadap orang lain, meskipun terhadap muritmuritnya sendiri, serta rendah hati meskipun beliau adalah orang yang sangat ditaati (pemimpin). Kelima, bermurah hati dan tenang dalam menghadapi sesuatu yang terasa mengancam, ataupun dalam menyikapi suatu kebodohan yang sering kali memaksanya marah.Keenam, menjaga dan menepati janji. Sebagaimana pada diri Rasulullah telah tertanam ke-enam sifat-sifat terpuji tersebut. Lihat Abd Al-Fattah Abu Ghuddah, 40 Setrategi Pembelajaran Rasulullah, (Yogyakarta: Tiara wacana, 2005), cetakan ke-1, hal. 35-39.
[40] Musthafa Muhammad Thahan, Pemikiran Moderat Hasan Al banna (Bandung: PT Syamil Cipa Media, 2007), hal. 195. Sedangkan menurut Mulyasa Guru harus berakhlak mulia, karena ia adalah seorang penasehat bagi peserta didik, bahkan bagi orang tua, meskipun mereka tidak memiliki latihan khusus sebagai penasehat dan dalam beberapa hal tidak dapat berharap untuk menasehati orang. Lihat E. Mulyasa, Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru, hal. 129.
[41] Abdullah Nashih Ulwan, Pendidikan anak , hal. 337. Dalam hal ikhlas Quraish Shihab mendefinisikan ikhlash sebagai upaya memurnikan dan menyucikan hati, sehingga benar-benar hanya terarah kepada Allah semata, sedang sebelum keberhasilan usaha itu, hati masih diliputi atau di hinggapi oleh sesuatu selain Allah, misalnya pamrih dan semacamnya. M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah;Pesan, Kesan dan Keserasian Al Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2002) Volume 15, hal. 446
[42] Abdul Mujib, Kepribadian dalam Psikologi Islam. (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006), hal. 323
[43] Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam (IPI), hal. 85.