Jumat, 25 Januari 2013

Sertifikasi Guru; Menuju Guru Profesional


“Sertifikasi; Menuju Profesionalisme Guru”
Oleh Abd Qohin

A.Pendahuluan
          Dari 32.000 guru yang ada di Provinsi Papua, hanya sekitar tujuh persen lolos sertifikasi guru. Menurut Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga Provinsi Papua, James Modouw, guru yang bersertifikasi jelas masih minim.  "Hal ini disebabkan ada beberapa kesulitan yang dialami dalam melakukan sertifikasi guru. Misalnya, jenjang pendidikan guru di Papua belum memenuhi standar," katanya.[1]
          Berbagai upaya peningkatan kualitas guru telah dilakukan. Seperti peningkatan kemampuan atau penguasaan tentang berbagai macam strategi ataupun metode pembelajaran melalui berbagai kegiatan (workshop, diklat,dan sebagainya), dan tidak kalah menariknya adalah peningkatan kualitas guru melalui program sertifikasi guru. Namun program sertifikasi tersebut yang sejatinya adalah untuk meningkatkan kompetensi guru ternyata tidak sesuai dengan yang diharapkan, guru yang telah lolos sertifikasi ternyata tidak menunjukkan kompetensi yang signifikan. Menurut Prof. Dr. Baedhowi, dalam pidato pengukuhan guru besar pada FKIP Universitas Sebelas Maret Solo, memaparkan kajiannya, bahwa motivasi para guru mengikuti sertifikasi umumnya terkait aspek finansial, yaitu segera mendapat tunjangan profesi. Motivasi yang sama ditemukan oleh Direktorat Jenderal PMPTK Depdiknas ketika melakukan kajian serupa di Propinsi Sumatera Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Barat tahun 2008. Hasilnya menunjukkan, walaupun alasan mereka bervariasi, secara umum motivasi mereka mengikuti sertifikasi ialah finansial. Tujuan utama sertifikasi untuk mewujudkan kompetensi guru tampaknya masih disikapi sebagai wacana.[2]
          Kenyataan tersebut, menunjukkan bahwa sertifikasi guru tidaklah cukup sebagai upaya mewujudkan dan meningkatkan kompetensi guru. Meski telah dinyatakan lulus sertifikasi dan telah menerima tunjangan profesi, bukan berarti guru telah memiliki kompetensi yang dipersyaratkan undang-undang. Untuk mewujudkan guru yang benar-benar profesional, pasca sertifikasi perlu adanya upaya sistematis dan sinergis dan berkesinambungan yang menjamin guru tetap profesional.
          Dalam hal ini pemakalah ingin mengetahui bagaimana program sertifikasi yang digalakkan oleh pemerintah dalam mengatasi problem-problem yang dihadapi guru-guru di Indonesia khususnya guru-guru pendidikan Agama Islam, disamping itu pemakalah juga ingin mengetahui bagaimana dengan diadakannya sertifikasi, pelatihan, dan juga diklat bagi guru, akan meningkatkan kualitas kerja yang sempurna bagi tenaga pengajar, yang akan bisa membawa kemajuan bagi pendidikan yang ada di Indonesia.
B.  Mutu Pendidikan dan Kompetensi Guru
1.    Mutu Pendidikan
Terdapat banyak pengertian tentang kualitas atau mutu. Ada yang menyebutkan bahwa  mutu atau kualitas adalah suatu nilai atau suatu keadaan. Namun pada umumnya kualitas atau mutu minimal memiliki tiga elemen yaitu, Pertama, meliputi usaha untuk memenuhi harapan pelanggan. Kedua, mencakup produk, jasa, manusia, proses dan lingkungan. Ketiga, merupakan kondisi yang selalu berubah.[3] Berdasarkan ketiga elemen tersebut maka kualitas atau mutu dapat di artikan sebagai suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses dan lingkungan yang memenuhi bahkan melebihi harapan.
Adapun yang dimaksud dari mutu atau kualitas dalam pembahasan ini adalah kualitas yang bersifat relatif,[4] yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana cara mengukur kualitas atau mutu pendidikan? Dalam hal ini Garvin seperti dikutip Gaspersz mendefinisikan delapan dimensi yang dapat digunakan untuk menganalisis karakteristik suatu mutu atau kualitas, yaitu: (1) kinerja (performance), (2) feature, (3) kehandalan(reliability), (4) konfirmasi (conformance), (5) durability, (6) kompetensi pelayanan (servitability), (7) estetika (aestetics), dan (8) kualitas yang dipersepsikan pelanggan yang bersifat subjektif.[5]
Yang tak penting dalam mengukur kualitas atau mutu adalah kepuasan dari pelanggan. Dalam konsep relatif kualitas atau mutu pendidikan bisa di ukur dari sisi pelanggannya baik pelanggan internal (Kepala Sekolah, guru dan staf)  maupun eksternal ( peserta didik, orang tua, para pemimpin pemerintahan).
Dalam konsep yang lebih luas, mutu pendidikan mempunyai makna sebagai suatu kadar proses dan hasil pendidikan secara keseluruhan. Mutu pendidikan yang menyangkut proses dan atau hasil ditetapkan sesuai dengan pendekatan atau kriteria tertentu. Di samping berkaitan dengan aspek proses, mutu pendidikan berkaitan pula dengan aspek hasil pendidikan.[6]
2.    Kompetensi Guru         
Kompetensi merupakan kemampuan, kecakapan, atau keahlian tertentu yang dimiliki seseorang. Dalam kamus lengkap bahasa Indonesia kompetensi diartikan sebagai kewenangan untuk mengambil keputusan atau bertindak. Profesionalisme juga dapat diartikan sebagai kompetensi.[7] Adapun menurut Spencer kompetensi adalah karakter mendasar seseorang yang dapat menyebabkan sanggup menunjukkan kinerja efektif atau superior ketika melakukan suatu pekerjaan. Pardjono dan Wardan Suyanto berpendapat bahwa kompetensi merupakan seperangkat tindakan cerdas dan penuh tanggung jawab yang dimiliki seseorang sebagai syarat memperoleh pengakuan masyarakat, dalam melaksanakan tugas-tugas di bidang pekerjaan-pekerjaan tertentu.[8]
Menurut Lefrancois, kompetensi merupakan kapasitas untuk melakukan sesuatu yang di hasilkan oleh proses belajar. Selama proses belajar stimulus akan bergabung dengan isi memori dan menyebabkan terjadinya perubahan kapasitas untuk melakukan sesuatu. Apabila individu sukses mempelajari cara melakukan satu pekerjaaan yang kompleks dari sebelumnya, maka pada diri individu tersebut pasti sudah terjadi perubahan kompetensi. Perubahan kompetensi tidak akan tampak apabila selanjutnya tidak ada kepentingan atau kesempatan untuk melakukannya. Dengan demikian bisa diartikan bahwa kompetensi adalah berlangsung lama yang menyebabkan individu mampu melakukan kinerja tertentu.[9] Jadi berbagai definisi dapat dirumuskan bahwa kompetensi merupakan kemampuan atau kewenangan bertindak yang dimiliki seseorang dan dapat dipertanggungjawabkan oleh yang bersangkutan dalam menjalankan profesinya.
Guru sebagai pengajar atau lebih tepat lagi di sebut pendidik dituntut mempunyai skill serta sederet kompetensi yang harus dikuasai. Keberadaan kompetensi tersebut untuk menunjang kesuksesan guru dalam tugas-tugasnya sebagai seorang pendidik sebagaimana yang di amanahkan dalam undang-undang guru dan dosen. Tuntutan kompetensi seorang guru dapat dirunut dalam penguasaan segi konseptual, penguasaan berbagai keterampilan, dan dalam keseluruhan sikap profesionalnya. Secara singkat dapatlah dikemukakan bahwa seorang guru dinyatakan kompeten jika secara nyata ia mampu menjalankan tugas keguruannya yaitu mampu membelajarkan siswa yang dibimbingnya secara efisien, efektif dan terpadu. Kompetensi keguruan tidak sekedar menunjuk kuantitas kerja, tetapi lebih-lebih menunjuk atau menuntut kualitas kerja keguruan.
Menurut M. Roqib Kompetensi yang dimaksud di atas dapat berupa kompetensi keilmuan, fisik, sosial dan juga etika moral.[10] Dalam bahasa Undang-Undang Guru dan Dosen kompetensi guru dapat di bedakan menjadi empat kompetensi yaitu kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial dan  kompetensi professional.          
C.  Sertifikasi Guru di Indonesia
1.    Pengertian
               Sertifikasi adalah pengakuan terhadap wewenang yang dimiliki seorang lulusan untuk melaksanakan tugas di suatu profesi di bidang kependidikan. Sertifikasi diberikan oleh LPTK yang berhak yaitu yang memiliki pengakuan oleh lembaga akreditasi nasional.[11]
               Istilah sertifikasi dalam makna kamus berarti surat keterangan (sertifikat) dari lembaga berwenang yang di berikan kepada jenis profesi dan sekaligus pernyataan (lisensi) terhadap kelayakan profesi untuk melaksanakan tugas. Bagi guru agar dianggap baik dalam mengemban tugas profesi mendidik. Sertifikat pendidik tersebut diberikan kepada guru dan dosen yang telah memenuhi persyaratan.[12] Sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat pendidik untuk guru dan dosen.[13] Sertifikat pendidik diberikan kepada guru yang telah memenuhi standar menjadi guru profesional yang merupakan syarat mutlak untuk menciptakan sistem dan praktik pendidikan yang berkualitas. Sertifikat pendidik adalah sebuah sertifikat yang ditanda tangani oleh perguruan tinggi penyelenggara. Oleh karena itu Sertifikasi sebagai bukti formal pengakuan profesionalitas guru yang diberikan kepada guru sebagai tenaga profesional.
               Sertifikasi dapat diartikan sebagai suatu proses pemberian pengakuan bahwa seseorang telah memiliki kompetensi untuk melaksanakan pelayanan pendidikan pada satuan pendidikan tertentu, setelah lulus uji kompetensi yang telah diselenggarakan oleh lembaga sertifikasi. Dengan kata lain, sertifikasi guru adalah proses uji kompetensi yang dirancang untuk mengungkapkan penguasaan kompetensi seseorang sebagai landasan pemberian sertifikat pendidik.[14]
               Berdasarkan hasil uraian atau pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa sertifikasi merupakan suatu proses pemberian sertifikat pendidik yang secara formal diberikan kepada guru yang telah memenuhi dua syarat yaitu penguasaan kualifikasi pendidikan minimum dan menguasai kompetensi minimal sebagai agen pembelajaran agar tercapai tujuan pendidikan nasional yang berkualitas dengan disertai peningkatan kesejahteraan secara layak. Dengan demikian, Sertifikasi pendidik pada hakekatnya merupakan upaya untuk menjamin bahwa setiap guru yang bertugas sebagai guru benar-benar dapat dijamin kualifikasi dan kemampuaannya, baik kemampuan pedagogi, sosial, kepribadian maupun professional. Dengan kata lain guru yang memegang sertifikat pendidik adalah guru yang kemampuaannya dapat dipertanggungjawabkan baik pedagogi,sosial, kepribadiannya serta keprofesionalannya.
2.      Sejarah Sertifikasi Guru
Pada tahun 1982, setelah merasakan hambatan mendesiminasikan berbagai gagasan pembaharuan pendidikan dari tahun 1974 sampai dengan 1981, menurut Soedijarto[15] memandang taraf pendidikan guru di tingkatkan menjadi pendidikan profesional. Akhirnya pemikiran itu di ajukan dalam Seminar  Kependidikan oleh Konsorsium Ilmu Pendidikan di Malang, Jawa Timur. Namun karena berbagai faktor pemikiran tersebut tidak berpengaruh pada munculnya kebijakan tentang pendidikan guru.[16]
Pemikiran ini hanya menjadi sekedar wacana yang tidak berbuah manis. Meskipun pemikiran ini sering kali di sampaikan kepada Pemerintah, tetapi baru terealisasi pada tahun 2005 yaitu berupa keluarnya Undang-Undang No 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Dengan demikian harapan yang tadinya hanya menjadi wacana, maka sejak tahun 2005 harapan menjadikan guru sebagai jabatan profesional secara legal telah resmi di tetapkan oleh Pemerintah.
Dalam perkembangannya, upaya profesionalisasi jabatan guru ini muncul pertanyataan, ”Siapa yang berhak dan berwenang menguji atau menilai kemampuan guru profesional untuk memperoleh sertifikat sebagai guru profesional atau sertifikat pendidik?”Menjawab pertanyaan itu maka pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendidikan melalui LPMP membentuk lembaga yang bertugas melakukan penilaian dan pengujian guru yaitu bekerjasama dengan Perguruan Tinggi yang berwenang. Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 11 (2) UU No 14 tahun 2005 yaitu : ”Sertifikasi Pendidik diselenggarakan oleh Perguruan Tinggi yang memiliki program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi”[17]
Membaca ketentuan tersebut, jelaslah bahwa Universitas-Universitas yang memiliki LPTK yang berwenang melakukan penilaian dan pengujian terhadap guru untuk mendapatkan sertifikat sebagai guru profesional. Dan jelaslah pula bahwa lembaga pendidikan yang memiliki tenaga akademik dan profesional, yang wilayah studi dan kajiannya di bidang kependidikan yang berwenang untuk melakukan sertfikasi untuk guru.
3.      Model Sertifikasi Guru di Indonesia
Sejak berlakunya UU No 14 tahun 2005, maka pada tahap implementasi mulai tahun 2006 di berlakukan model sertifikasi dengan menggunakan Portofolio. Portofolio adalah bukti fisik ( dokumentasi ) yang menggambarkan pengalaman berkarya, kreasi dan prestasi yang dicapai oleh seorang guru dalam menjalankan tugas profesi dalam interval waktu tertentu. Fungsi portofolio dalaj sertifikasi guru dalam jabatan adalah untuk menilai kompetensi guru dalam menjalankan tugas dan perannya sebagai agen pembelajaran. Portofolio juga berfungsi sebagai: (1) Wahana guru untuk menampilkan dan atau membuktikan unjuk kerjanya yang meliputi produktivitas, kualitas dan relevansi melalui karya- karya utama dan pendukung, (2) Informasi ( buta ) dalam memberikan pertimbangan tingkat kelayakan kompetensi seorang guru bila dibandingkan dengan standar yang telah ditetapkan, (3) Dasar menentukan kelulusan seorang guru yang mengikuti uji sertifikasi (layak mendapatkan sertifikat pendidik atau belum), dan  (4) Dasar memberikan rekomendasi bagi peserta yang belum lulus untuk menentukan kegiatan lanjutan sebagai representasi kegiatan pembinaan dann pemberdayaan guru.
Program sertifikasi guru yang dimulai tahun 2006 dengan model portofolio ini menorehkan beberapa catatan yang perlu dicermati. Ternyata implementasi sertifikasi guru dalam bentuk penilaian portofolio ini kemudian menimbulkan polemik baru yaitu “Sosok yang Certificate-Oriented”. Banyak para pengamat pendidikan yang menyangsikan keefektifan pelaksanaan sertifikasi dalam rangka meningkatkan kinerja guru. Bahkan ada yang berhipotesis bahwa sertifikasi dalam bentuk penilaian portofolio tak akan berdampak sama sekali terhadap peningkatan kinerja guru, apalagi dikaitkan dengan peningkatan mutu pendidikan nasional. Hal ini berkaitan dengan temuan-temuan dilapangan bahwa adanya indikasi kecurangan dalam melengkapi berkas portofolio oleh para guru peserta sertifikasi. “Kecurangan dengan memalsukan dokumen portofolio itu memang ada.[18]
Melihat banyaknya kecurangan yang terjadi, maka pemerintah melakukan evaluasi terhadap sertifikasi model portofolio. Hasilnya pada tahun 2011 pemerintah membuat kebijakan tentang model sertifikasi. Kebijakan berubah dari penggunaan portofolio, sertifikat dan penghargaan dari hasil seminar, workshop, pelatihan, dan lain-lain. Semakin banyak sertifikat dan penghargaan yang dikumpulkannya, poin portofolio-nya akan semakin tinggi. Menjadi Penilaian Portofolio (PF), Pemberian Sertifikat Pendidik secara Langsung (PSPL), dan Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG) Pada 2011 dan 2012.
Pada tahun 2012 Kemendiknas membuat kebijakan baru yaitu seluruh calon peserta sertifikasi di wajibkan mengikuti program Uji Kompetensi awal (UKA).[19] Sebelum mengikuti tahap PLPG. Beruntung bagi guru yang lolos tahap UKA, mereka langsung bisa mengikuti PLPG. Tapi bagi yang belum beruntung masih harus sabar mengikuti pelatihan-pelatihan untuk mengikuti PLPG. Di saat yang bersamaan pula Kemendiknas meluncurkan program Pendidikan Profesi guru (PPG) dengan pembiayaan di tanggung oleh peserta sertifikasi dan waktu yang tidak sebentar (satu tahun). Program sepertinya belum  berjalan sebagaimana harapan pemerintah. Hal tersebut dapat dilihat ketidaksiapan dari masing-masing daerah untuk menyelenggarakan program ini.
Sulit membayangkan seandainya para guru mengikuti PPG, sebuah pertanyaan besar adalah jika sebagian guru mengikuti PPG, bagaimana keberlangsungan proses pembelajaran di sekolah? Belum lagi apakah calon peserta PPG siap dengan pendanaan yang mandiri dan besar yang harus di tanggung oleh masing-masing peserta. Inilah yang perlu di evaluasi dari program PPG.
4.      Dampak Sertifikasi
               Sertifikasi guru bertujuan untuk meningkatkan tingkat kelayakan seorang guru dalam melaksanakan tugas sebagai agen pembelajaran di sekolah dan sekaligus memberikan sertifikat pendidik bagi guru yang telah memenuhi persyaratan dan lulus uji sertifikasi.[20] Jadi secara idealisme tujuan sertifikasi adalah untuk meningkatkan kualitas kompetensi guru yang pada akhirnya diharapkan berdampak pada peningkatan mutu pendidikan. Baru kemudian diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan guru secara finansial.
               Menurut Wibowo, sertifikasi dalam kerangka makro adalah upaya peningkatan kualitas layanan dan hasil pendidikan bertujuan untuk hal-hal sebagai berikut:[21]
a.    Melindungi profesi pendidik dan tenaga kependidikan
b.    Melindungi masyarakat dari praktik-praktik yang tidak kompeten, sehingga merusak citra pendidik dan tenaga kependidikan
c.    Membantu dan melindungi lembaga penyelenggara pendidikan, dengan menyediakan rambu rambu dan instrument untuk melakukan seleksi terhadap pelamar yang kompeten
d.   Membangun citra masyarakat terhadap profesi pendidik dan tenaga kependidikan
e.    Memberikan solusi dalam rangka meningkatkan mutu pendidik dan tenaga kependidikan
               Sedangkan manfaat sertifikasi menurut Mansur Muslich adalah Pertama, melindungi profesi guru dari praktik layanan pendidikan yang tidak kompeten sehingga dapat merusak citra profesi guru. Kedua, melindungi masyarakat dari praktik pendidikan yang tidak berkualitas dan profesional yang akan menghambat upaya peningkatan kualitas pendidikan dan penyiapan sumber daya manusia di negeri ini. Ketiga, menjadi wahana penjamin mutu bagi LPTK yang bertugas mempersiapkan calon guru dan juga berfungsi sebagai kontrol mutu bagi pengguna layanan pendidikan. Keempat, menjaga lembaga penyelenggara pendidikan dari keinginan internal dan eksternal yang potensial dapat menyimpang dari ketentuan yang berlaku.[22]
               Kesimpulan yang dapat dituangkan dari penjelasan diatas adalah sebenarnya jika merujuk pada tujuan dan manfaat sertifikasi menurut hemat penulis sangat besar sekali karena tujuan dan manfaat yang diharapkan dari sertifikasi begitu luas dan dalam jika dilaksanakan dengan bijak tanpa ada kecurangan sehingga tujuan yang diharapkan akan terwujud dan maksimal.
Dengan melihat tujuan sertifikasi di atas, nampaknya jelas bahwa dengan berlakunya dan implementasi dari Undang-undang No 14 tahun 2005 memberikan harapan kesejahteraan kepada guru sebagai profesi yang di akui keberadaannya. Di samping itu dengan adanya program sertifikasi juga memberikanan dampak yang signifikan terhadap kesejahteraan guru.
Dengan demikian, maka tuntutan masyarakat akan pendidikan berkualitas mestinya akan menjadi kenyataan manakala guru-guru yang di sertifikasi merupakan guru-guru yang professional.
5.      Harapan Masyarakat
Ada yang berpendapat bahwa sejatinya sertifikasi adalah alat untuk meningkatkan kesejahteraan guru. Bahkan yang lebih berani mengatakan bahwa sertifikasi adalah akal-akalan pemerintah untuk menaikkan gaji guru. Kata sertifikasi hanyalah kata pembungkus agar tidak menimbulkan kecemburuan profesi lain.
Pemahaman seperti itu tidak terlalu salah sebab dalam Undang-Undang Guru dan Dosen (UUGD) pasal 16 disebutkan bahwa guru yang memiliki sertifikat pendidik, berhak mendapatkan insentif yang berupa tunjangan profesi. Besar insentif tunjangan profesi yang dijanjikan oleh UUGD adalah sebesar satu kali gaji pokok untuk setiap bulannya.[23]
Namun, persepsi seperti itu cenderung mencari-cari kesalahan suatu program pemerintah dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan nasional. Peningkatan kesejahterann guru dalam kaitannya dengan sertifikasi harus dipahami dalam kerangka peningkatan mutu pendidikan nasional , baik dari segi proses (layanan) maupun hasil (luaran) pendidikan. Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan secara eksplisit mengisyaratkan adanya standarisasi isi, proses, kompetensi lulusan, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiyaan, dan penilaian pendidikan dalam mencapai tujuan pendidikan nasional.
Di samping itu, menurut Samami Muchlas, yang perlu disadari adalah bahwa guru adalah subsistem pendidikan nasional. Dengan adanya sertifikasi, diharapkan kompetensi guru sebagai agen pembelajaran akan meningkat sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Dengan kompetensi guru yang memenuhi standar minimal dan kesejahteraan yang memadai diharapkan kinerja guru dalam mengelola proses pembelajaran dapat meningkat. Kualitas pembelajaran yang meningkat diharapkan akan bermuara akhir pada terjadinya peningkatan prestasi hasil belajar siswa.[24]
Sesuai dengan harapan masyarakat, setelah adanya pemberlakuan sertifikasi, opini masyarakat akan bertambah semakin percaya terhadap kemampuan guru dalam mendidik dan mencerdaskan anak bangsa. Dengan demikian, masyarakat akan menilai  guru yang sudah  memiliki sertifikat profesi pendidik, layak mendapatkan tunjangan sertifikasi, karena  mereka hidup dari masyarakat, untuk masyarakat dan dari  tengah masyarakat. 
Guru yang memiliki kemampuan, dedikasi, integritas, dan komitmen terhadap profesi, akan mendapatkan citra yang positif. Jika para guru yang sudah dianggap profesional  mampu menjaga citra sertifikasi yang diperolehnya,  dunia pendidikan nasional akan maju. Dengan demikian harapan masyarakat terhadap pendidikan yang maju akan terwujud jika guru-guru yang telah di sertifikasi mampu meningkatkan kualitas pembelajaran sesuai dengan kompetensi yang di persyaratkan dalam Undang-undang.
6.      Sertifikasi Guru PAI
               Secara umum alasan logis mengapa sertifikasi guru perlu diadakan termasuk didalamnya guru Pendidikan Agama Islam (PAI) adalah karena pertama, meningkatkan kualitas dan kompetensi guru. Kedua, meningkatkan kesejateraan dan jaminan secara layak sebagai profesi. Adapun yang menjadi target terakhir adalah terciptanya kualitas pendidikan yang bermutu. Mungkin juga adanya sertifikasi guru merupakan maskot yang banyak disambut dalam dunia pendidikan bagi para pendidik, kedatanganya memang wajar, karena merupakan hal baru dalam dunia pendidikan Tanah Air.
               ”Profesi Guru” sebagai suatu profesi sudah selayaknya memperoleh pengakuan hukum, sebagaimana pengakuan hukum bagi profesi lain seperti advokad dengan Undang-Undang No.18 Tahun 2003. Dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional yang berisi pembentukan badan akreditasi dan sertifikasi mengajar di berbagai daerah. Tujuan dikeluarkanya Undang-Undang tersebut sebagai upaya pemerintah dalam meningkatkan kualitas tenaga kependidikan secara nasional.
               Berkaitan dengan adanya sertifikasi, negara maju seperti Amerika telah lebih dahulu memberlakukan uji sertifikasi terhadap guru melalui badan independent yang disebut The American Association Of Golleges For Teacher Education (AACTE). Badan tersebut berwenang menilai dan menentukan ijazah yang dimiliki oleh calon pendidik, layak atau tidak untuk diberi lisensi pendidik. Negara ini mendudukkan guru sebagai jabatan professional seperti dokter dan lawyer, yaitu jabatan yang menuntut persyaratan pascasarjana memberikan kewenangan untuk memberikan sertifikasi guru kepada School of education Universitas yang terakreditasi.[25] Di Cina telah memberlakukan sertifikasi guru sejak tahun 2001 begitu juga dengan Filiphina dan Malaysia belakangan juga telah menyaratkan kualifikasi akademik minimum dan standar kompetensi bagi guru. Dan ternyata Jepang juga sudah memberlakukan sertifikasi guru selama 33 tahun sejak tahun 1974.[26]
               Program sertifikasi guru dalam hal ini guru PAI ditunjukkan untuk memberikan lisensi, bahwa guru yang bersangkutan sudah baik dan layak melakukan proses belajar mengajar karena dianggap telah memiliki kualifikasi dan kompetensi yang dimiliki. Implementasinya ujian seleksi sertifikasi menimbulkan banyak masalah dan protes dari kalangan para guru ada mereka yang tidak mau ambil pusing dengan adanya sertifikasi mereka beralasan sebagaimana hal-hal baru pada akhirnya begitu saja. Ada kelompok yang mendambakan sertifikasi dengan harapan penuh segera mendapatkan tunjangan profesi dan juga ada kelompok yang pesimis, yaitu mereka yang tidak mau percaya dengan adanya iming-iming tunjangan profesi.
               Pemerintah Indonesia sebenarnya sudah mengisyaratkan akan memberlakukan sertifikasi bagi guru, sebagaimana yang telah tertuang dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang program pembangunan nasional yang berisi pembentukan badan akreditasi dan sertifikasi mengajar di daerah. Undang-Undang tersebut dikeluarkan dengan tujuan meningkatkan kualitas tenaga kependidikan secara nasional.
               Tidak cuma di Indonesia, sertifikasi guru juga sudah diberlakukan di Negara Asia, Cina  telah memberlakukan sertifikasi guru sejak tahun 2001. Termasuk juga dengan Filipina dan Malaysia juga telah mengisyaratkan kulaifikasi akademik minimum dan standar kompetensi bagi guru.[27]
               Kemudian muncul pertanyaan kenapa guru perlu disertifikasi? Melihat nasib dan kesejahteraan guru di Indonesia, lebih lagi guru PAI memang sangat memprihatinkan. Bayangkan saja sebagian guru mengakui ada yang mencari objekan di luar tugas mengajar, seperti menjadi guru privat, bahkan ada guru yang menjadi tukang ojek.
               Oleh sebab itu,pemerintah ingin memberikan reward berupa penghargaan atau pemberian tunjangan profesional yang berlipat dari gaji yang diterima. Harapan kedepannya adalah tidak ada lagi guru yang bekerja mencari objekan diluar dinas karena kesejahteraannya sudah terpenuhi. Dengan demikian guru akan lebih fokus dan profesional dalam pekerjaannya sebagai  guru bagi anak didiknya.
D.  Penutup
            Akhir program sertifikasi guru PAI adalah peningkatan kualitas guru PAI secara nasional. Logikanya bila guru seantero negeri bermutu maka aktivitas guru juga berkualitas termasuk di dalamnya guru PAI dan hal ini memberikan kontribusi besar dalam peningkatan mutu pendidikan sebagai sistem. Yang menjadi pertanyaan, pertama, jika akhirnya semua guru lulus baik secara langsung maupun melalui diklat dengan beban kerja yang akhirnya pula dapat memenuhi syarat 24 jam, maka semua berhak atas tunjangan profesi. Penyelenggaraan sertifikasi menjadi semacam formalitas belaka. Kedua, benarkah para guru yang telah berhasil lulus sertifikasi menunjukkan kinerja meningkat ?
               Kemudian baru-baru ini juga keluar aturan tentang perubahan pelaksanaan pola sertifikasi guru. Guru yang tadinya hanya mengikuti PLPG, sekarang harus mengikuti uji kompetensi awal (UKA)[28] sebelum mengikuti tahap PLPG. Beruntung bagi guru yang lolos tahap UKA, mereka langsung bisa mengikuti PLPG. Tapi bagi yang belum beruntung masih harus sabar mengikuti pelatihan-pelatihan untuk mengikuti PLPG.
               Secara umum, baik guru yang telah lulus maupun belum lulus sertifikasi masih menyimpan tanda tanya. Bagi yang telah lulus, penghargaan tunjangan sebesar satu kali gaji. Pembiayaan sertifikasi menjadi semakin mahal jika diperhitungkan pula beban administrasi bank yang harus ditanggung para guru. Lika-liku guru menggapai tunjangan sertifikasi bukan pekerjaan mudah, oleh karena itu sebaiknya sertifikasi dimaknai oleh guru sebagai tantangan dalam peningkatan kinerja, kualitas, dan profesionalisme.
               Dampak pemberian tunjangan sertifikasi juga belum dirasakan pada peningkatan mutu guru. Hal ini akibat tidak adanya pembinaan lebih lanjut dan evaluasi bagi guru-guru yang sudah lolos sertifikasi. Pembinaan pascasertifikasi harus berlangsung secara berkesinambungan, karena prinsip mendasar adalah guru harus merupakan a learning person, belajar sepanjang hayat. Sebagai guru profesional dan telah menyandang sertifikat pendidik, guru berkewajiban untuk terus mempertahankan profesionalitasnya sebagai guru. Pembinaan profesi guru secara terus menerus (continuous professional development) menggunakan wadah guru yang sudah ada, yaitu kelompok kerja guru (KKG) untuk tingkat SD dan musyawarah guru mata pelajaran (MGMP) untuk tingkat sekolah menengah. Upaya yang sungguh-sungguh perlu dilaksanakan untuk mewujudkan guru yang profesional, sejahtera, dan memiliki kompetensi. Hal ini merupakan syarat menciptakan sistem pendidikan berkualitas, dimana pendidikan berkualitas merupakan salah satu syarat utama untuk mewujudkan kemakmuran dan kemajuan bangsa.








Daftar Referensi
Depdikbud Pembinaan Profesionalisme Guru. Jakarta: Depdiknas, 2000.
Henry, Simamora, Manajemen Sumber Daya Manusia. Yogyakarta: Bagian Penerbitan STIE YKPN, 2000.
http:// www.tempo.co/, selasa 23 Oktober 2012Guru Papua hanya 7 % lolos sertifikasi, di akses Selasa, 13 Nopember 2012
http://edukasi.kompas.com Jumat, 13 November 2009 “Sertifikasi Guru tidak tepat sasaran”, di akses Selasa, 13 Nopember 2012
Muchlas, Samani dkk. Mengenal Sertifikasi Guru di Indonesia, Surabaya: SIC dan Asosiasi Peneliti Pendidikan Indonesia (APPI), 2006.
Muhaimin, Abdul Madjid.  Pemikiran Pendidikan Islam , Bandung: Trigenda Jaya, 1993.
Mulyasa, Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru, Bandung: Rosda Karya, 2007.
Muslich, Mansur. Sertifikasi Guru Menuju Profesionalisme Pendidik. ,Jakarta: Bumi Akasara, 2007.
Nurkholis, Managemen Berbasis Sekolah, Teori, model dan Aplikasi, Jakarta; Grasindo, 2003
Sembiring, M. Gorky,Mengungkap dan Tips Manjur menjadi guru Profesional, cet II, Jogjakarta; Best Publisher, 2009.
Sudjana, Nana, Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Penerbit Rosda, 2004.
Supriyadi, Dedi, Mengangkat Citra dan Martabat Guru, Yogyakarta ; Cipta Karya Nusa, 1998
Soedijarto,  Landasan dan arah pendidikan Nasional Kita, Jakarta; PT Kompas, 2008
Trianto dan Titik, Sertifikasi Guru Upaya Peningkatan Kualifikasi Kompetensi dan Kesejateraan .Jakarta: Prestasi Pustaka, 2007.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen. Bandung: Citra Umbara, 2006
Wijaya, Cece dan A. Tabrani, Kemampuan Dasar Dalam proses Belajar Mengajar, Bandung: PT. Remaja Rosda Karya,1994.
Yamin, Martinis. Sertifikasi Profesi Keguruan di Indonesia, Jakarta: Gaung Persada Press, 2006.


[1] http:// www.tempo.co/, selasa 23 Oktober 2012, Guru Papua hanya 7 % lolos sertifikasi, di akses Selasa, 13 Nopember 2012
[2] http://edukasi.kompas.com ,Jumat, 13 November 2009,“Sertifikasi Guru tidak tepat sasaran”, di akses Selasa, 13 Nopember 2012
[3] Nurkholis, Managemen Berbasis Sekolah, Teori, model dan Aplikasi, Jakarta; Grasindo, 2003, hal 68
[4] Dalam konsep ini kualitas bukan merupakan atribut dari produk atau jasa memenuhi spesifikasi yang diterapkan. Oleh karena itu kualitas bukanlah merupakan tujuan akhir, melainkan sebagai alat ukur atas produk akhir dari standar yang ditentukan. Kualitas barang atau jasa tidak harus mahal, eksklusif atau spesial karena barang berkualitas bisa biasa-biasa saja. Bersifat umum, dikenal banyak orang tetapi bisa berkonotasi cantik atau indah. Lebih lengkapnya lihat Nurkholis, Managemen Berbasis Sekolah, hal 68
[5] Vincent Gaspersz, Membangun Tujuh Kebiasaan Kualitas, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997, hal 35-36.
[6]Muhamad Surya, Bunga rampai, Guru dan Pendidikan, Jakarta; Balai Pustaka,2004 cet pertama, hal 173
[7] Kamus besar Bahasa Indonesia.
[8] Mulyana AZ, Rahasia menjadi guru hebat, Jakarta; Grasindo, hal 110
[9] file.upi.edu 
[10] M. Roqib, Ilmu Pendidikan Islam, Pengembangan Pendidikan Integratif di Sekolah, keluarga dan masyarakat, Jogjakarta; LKis, 2009, Hal 51
[11] Mansur Muslich, Sertifikasi Guru Menuju Profesionalisme Pendidik. ,Jakarta: Bumi Akasara, 2007, hal: 58
[12] Trianto dan Titik. Sertifikasi Guru Upaya Peningkatan Kualifikasi Kompetensi dan Kesejateraan . Jakarta: Prestasi Pustaka,  2007, hal. 11.
[13] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen, ibid , hal 4
[14] Wibowo dalam Mulyasa.. Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007, Hal 34
[15] Pada saat itu beliau menjabat sebagai Kepala Pusat Pengembangan Kurikulum
[16] Soedijarto, Landasan dan Arah Pendidikan Nasional Kita, Jakarta; Penerbit Buku Kompas, 2008, hal 175
[17] Lihat UU No 14 tahun 2005
[18] http://www.infodiknas.com/pengaruh-negatif-sertifikasi-guru-berbasis-portofolio terhadap-kinerja-dan-kompetensi-guru di akses tanggal 2 Januari 2013 jam 22.00 WIB
[19] Uji kompetensi awal (UKA) yang diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) banyak menuai perdebatan di kalangan masyarakat, termasuk para tenaga pendidik. Ada yang mendukung, dan ada yang mempertanyakan. Termasuk di dalamnya termasuk Sulistyo ketua Umum PGRI sangat tidak setuju dengan metode ujian kompetensi awal. Alasannya sangat sederhana yaitu hanya akan membebani guru dalam mengikutinya.  
[20] Samani Muchlas dkk.. ”Mengenal Sertifikasi Guru di indonesia”. Surabaya:SIC dan Asosiasi Peneliti Pendidikan Indonesia (APPI), 2006,  hal 10
[21] Mulyasa, ibid,  hal 35
[22] Mansur Muslich, ibid hal 4
[23] Lihat UU No 14 tahun 2005
[24] Muchlas Samani dkk.. ”Mengenal Sertifikasi Guru di indonesia”. Surabaya:SIC dan Asosiasi Peneliti Pendidikan Indonesia (APPI), 2006,  hal 10
[25] Soedijarto, Landasan dan arah pendidikan Nasional Kita, Jakarta; PT Kompas, 2008,  hal 183
[26] Trianto dan Titik. Ibid , hal  2
[27] Mansur Muslich, ibid hal 4
[28] Uji kompetensi awal (UKA) yang diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) banyak menuai perdebatan di kalangan masyarakat, termasuk para tenaga pendidik. Ada yang mendukung, dan ada yang mempertanyakan. Termasuk di dalamnya termasuk Sulistyo ketua Umum PGRI sangat tidak setuju dengan metode ujian kompetensi awal. Alasannya sangat sederhana yaitu hanya akan membebani guru dalam mengikutinya.  awal (UKA) tersebut