“Sertifikasi; Menuju
Profesionalisme Guru”
Oleh Abd Qohin
A.Pendahuluan
Dari 32.000 guru yang ada di Provinsi
Papua, hanya sekitar tujuh persen lolos sertifikasi guru. Menurut Kepala Dinas
Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga Provinsi Papua, James Modouw, guru yang
bersertifikasi jelas masih minim. "Hal
ini disebabkan ada beberapa kesulitan yang dialami dalam melakukan sertifikasi
guru. Misalnya, jenjang pendidikan guru di Papua belum memenuhi standar,"
katanya.[1]
Berbagai
upaya peningkatan kualitas guru telah dilakukan. Seperti
peningkatan kemampuan atau penguasaan tentang berbagai macam strategi ataupun
metode pembelajaran melalui berbagai kegiatan (workshop, diklat,dan sebagainya),
dan tidak kalah menariknya adalah peningkatan kualitas guru melalui program
sertifikasi guru. Namun program sertifikasi tersebut yang sejatinya adalah
untuk meningkatkan kompetensi guru ternyata tidak sesuai dengan yang
diharapkan, guru yang telah lolos sertifikasi ternyata tidak menunjukkan
kompetensi yang signifikan. Menurut Prof. Dr. Baedhowi, dalam pidato pengukuhan
guru besar pada FKIP Universitas Sebelas Maret Solo, memaparkan kajiannya,
bahwa motivasi para guru mengikuti sertifikasi umumnya terkait aspek finansial,
yaitu segera mendapat tunjangan profesi. Motivasi yang sama ditemukan oleh
Direktorat Jenderal PMPTK Depdiknas ketika melakukan kajian serupa di Propinsi
Sumatera Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara
Barat tahun 2008. Hasilnya menunjukkan, walaupun alasan mereka bervariasi,
secara umum motivasi mereka mengikuti sertifikasi ialah finansial. Tujuan utama
sertifikasi untuk mewujudkan kompetensi guru tampaknya masih disikapi sebagai
wacana.[2]
Kenyataan
tersebut, menunjukkan bahwa sertifikasi guru tidaklah cukup sebagai upaya
mewujudkan dan meningkatkan kompetensi guru. Meski telah dinyatakan lulus
sertifikasi dan telah menerima tunjangan profesi, bukan berarti guru telah
memiliki kompetensi yang dipersyaratkan undang-undang. Untuk mewujudkan guru
yang benar-benar profesional, pasca sertifikasi perlu adanya upaya sistematis
dan sinergis dan berkesinambungan yang menjamin guru tetap profesional.
Dalam hal ini pemakalah ingin mengetahui bagaimana program
sertifikasi yang digalakkan oleh pemerintah dalam mengatasi problem-problem
yang dihadapi guru-guru di Indonesia khususnya guru-guru pendidikan Agama
Islam, disamping itu pemakalah juga ingin mengetahui bagaimana dengan
diadakannya sertifikasi, pelatihan, dan juga diklat bagi guru, akan
meningkatkan kualitas kerja yang sempurna bagi tenaga pengajar, yang akan bisa
membawa kemajuan bagi pendidikan yang ada di Indonesia.
B. Mutu Pendidikan dan
Kompetensi Guru
1.
Mutu Pendidikan
Terdapat banyak pengertian tentang kualitas atau mutu. Ada yang menyebutkan
bahwa mutu atau kualitas adalah suatu
nilai atau suatu keadaan. Namun pada umumnya kualitas atau mutu minimal
memiliki tiga elemen yaitu, Pertama, meliputi usaha untuk memenuhi harapan
pelanggan. Kedua, mencakup produk, jasa, manusia, proses dan lingkungan.
Ketiga, merupakan kondisi yang selalu berubah.[3]
Berdasarkan ketiga elemen tersebut maka kualitas atau mutu dapat di artikan
sebagai suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa, manusia,
proses dan lingkungan yang memenuhi bahkan melebihi harapan.
Adapun yang dimaksud dari mutu atau kualitas dalam pembahasan ini adalah
kualitas yang bersifat relatif,[4]
yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana cara mengukur kualitas atau mutu
pendidikan? Dalam hal ini Garvin seperti dikutip Gaspersz
mendefinisikan delapan dimensi yang dapat digunakan untuk menganalisis
karakteristik suatu mutu atau kualitas, yaitu: (1) kinerja (performance),
(2) feature, (3) kehandalan(reliability), (4) konfirmasi (conformance),
(5) durability, (6) kompetensi pelayanan (servitability), (7)
estetika (aestetics), dan (8) kualitas yang dipersepsikan pelanggan yang
bersifat subjektif.[5]
Yang tak penting dalam
mengukur kualitas atau mutu adalah kepuasan dari pelanggan. Dalam konsep
relatif kualitas atau mutu pendidikan bisa di ukur dari sisi pelanggannya baik
pelanggan internal (Kepala Sekolah, guru dan staf) maupun eksternal ( peserta didik,
orang tua, para pemimpin pemerintahan).
Dalam konsep yang lebih
luas, mutu pendidikan mempunyai makna sebagai suatu kadar proses dan hasil
pendidikan secara keseluruhan. Mutu pendidikan yang menyangkut proses dan atau
hasil ditetapkan sesuai dengan pendekatan atau kriteria tertentu. Di samping
berkaitan dengan aspek proses, mutu pendidikan berkaitan pula dengan aspek
hasil pendidikan.[6]
2.
Kompetensi Guru
Kompetensi merupakan kemampuan, kecakapan, atau keahlian tertentu yang
dimiliki seseorang. Dalam kamus lengkap bahasa Indonesia kompetensi diartikan
sebagai kewenangan untuk mengambil keputusan atau bertindak. Profesionalisme
juga dapat diartikan sebagai kompetensi.[7]
Adapun menurut Spencer kompetensi adalah karakter mendasar seseorang yang dapat
menyebabkan sanggup menunjukkan kinerja efektif atau superior ketika melakukan
suatu pekerjaan. Pardjono dan Wardan Suyanto berpendapat bahwa kompetensi
merupakan seperangkat tindakan cerdas dan penuh tanggung jawab yang dimiliki
seseorang sebagai syarat memperoleh pengakuan masyarakat, dalam melaksanakan
tugas-tugas di bidang pekerjaan-pekerjaan tertentu.[8]
Menurut Lefrancois, kompetensi merupakan kapasitas untuk melakukan sesuatu
yang di hasilkan oleh proses belajar. Selama proses belajar stimulus akan bergabung
dengan isi memori dan menyebabkan terjadinya perubahan kapasitas untuk
melakukan sesuatu. Apabila individu sukses mempelajari cara melakukan satu
pekerjaaan yang kompleks dari sebelumnya, maka pada diri individu tersebut
pasti sudah terjadi perubahan kompetensi. Perubahan kompetensi tidak akan
tampak apabila selanjutnya tidak ada kepentingan atau kesempatan untuk
melakukannya. Dengan demikian bisa diartikan bahwa kompetensi adalah
berlangsung lama yang menyebabkan individu mampu melakukan kinerja tertentu.[9] Jadi berbagai definisi dapat dirumuskan bahwa kompetensi
merupakan kemampuan atau kewenangan bertindak yang dimiliki seseorang dan dapat
dipertanggungjawabkan oleh yang bersangkutan dalam menjalankan profesinya.
Guru sebagai pengajar atau lebih tepat lagi di sebut pendidik dituntut
mempunyai skill serta sederet kompetensi yang harus dikuasai. Keberadaan
kompetensi tersebut untuk menunjang kesuksesan guru dalam tugas-tugasnya
sebagai seorang pendidik sebagaimana yang di amanahkan dalam undang-undang guru
dan dosen. Tuntutan
kompetensi seorang guru dapat dirunut dalam penguasaan segi konseptual,
penguasaan berbagai keterampilan, dan dalam keseluruhan sikap profesionalnya.
Secara singkat dapatlah dikemukakan bahwa seorang guru dinyatakan kompeten jika
secara nyata ia mampu menjalankan tugas keguruannya yaitu mampu membelajarkan
siswa yang dibimbingnya secara efisien, efektif dan terpadu. Kompetensi
keguruan tidak sekedar menunjuk kuantitas kerja, tetapi lebih-lebih menunjuk
atau menuntut kualitas kerja keguruan.
Menurut M. Roqib Kompetensi yang dimaksud di
atas dapat berupa kompetensi keilmuan, fisik, sosial dan juga etika moral.[10] Dalam bahasa
Undang-Undang Guru dan Dosen kompetensi guru dapat di bedakan menjadi empat
kompetensi yaitu kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi
sosial dan kompetensi professional.
C. Sertifikasi Guru di
Indonesia
1.
Pengertian
Sertifikasi adalah pengakuan
terhadap wewenang yang dimiliki seorang lulusan untuk melaksanakan tugas di
suatu profesi di bidang kependidikan. Sertifikasi diberikan oleh LPTK yang
berhak yaitu yang memiliki pengakuan oleh lembaga akreditasi nasional.[11]
Istilah sertifikasi dalam makna
kamus berarti surat keterangan (sertifikat) dari lembaga berwenang yang di
berikan kepada jenis profesi dan sekaligus pernyataan (lisensi) terhadap
kelayakan profesi untuk melaksanakan tugas. Bagi guru agar dianggap baik dalam
mengemban tugas profesi mendidik. Sertifikat pendidik tersebut diberikan kepada
guru dan dosen yang telah memenuhi persyaratan.[12]
Sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat pendidik untuk guru dan dosen.[13]
Sertifikat pendidik diberikan kepada guru yang telah memenuhi standar menjadi
guru profesional yang merupakan syarat mutlak untuk menciptakan sistem dan
praktik pendidikan yang berkualitas. Sertifikat pendidik adalah sebuah
sertifikat yang ditanda tangani oleh perguruan tinggi penyelenggara. Oleh
karena itu Sertifikasi sebagai bukti formal pengakuan profesionalitas guru yang
diberikan kepada guru sebagai tenaga profesional.
Sertifikasi dapat diartikan
sebagai suatu proses pemberian pengakuan bahwa seseorang telah memiliki
kompetensi untuk melaksanakan pelayanan pendidikan pada satuan pendidikan
tertentu, setelah lulus uji kompetensi yang telah diselenggarakan oleh lembaga
sertifikasi. Dengan kata lain, sertifikasi guru adalah proses uji kompetensi
yang dirancang untuk mengungkapkan penguasaan kompetensi seseorang sebagai
landasan pemberian sertifikat pendidik.[14]
Berdasarkan hasil uraian atau
pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa sertifikasi merupakan suatu proses
pemberian sertifikat pendidik yang secara formal diberikan kepada guru yang
telah memenuhi dua syarat yaitu penguasaan kualifikasi pendidikan minimum dan
menguasai kompetensi minimal sebagai agen pembelajaran agar tercapai tujuan
pendidikan nasional yang berkualitas dengan disertai peningkatan kesejahteraan
secara layak. Dengan demikian, Sertifikasi pendidik pada hakekatnya merupakan
upaya untuk menjamin bahwa setiap guru yang bertugas sebagai guru benar-benar
dapat dijamin kualifikasi dan kemampuaannya, baik kemampuan pedagogi, sosial,
kepribadian maupun professional. Dengan kata lain guru yang memegang sertifikat
pendidik adalah guru yang kemampuaannya dapat dipertanggungjawabkan baik
pedagogi,sosial, kepribadiannya serta keprofesionalannya.
2.
Sejarah Sertifikasi Guru
Pada tahun 1982, setelah merasakan hambatan mendesiminasikan berbagai
gagasan pembaharuan pendidikan dari tahun 1974 sampai dengan 1981, menurut
Soedijarto[15]
memandang taraf pendidikan guru di tingkatkan menjadi pendidikan profesional.
Akhirnya pemikiran itu di ajukan dalam Seminar
Kependidikan oleh Konsorsium Ilmu Pendidikan di Malang, Jawa Timur.
Namun karena berbagai faktor pemikiran tersebut tidak berpengaruh pada
munculnya kebijakan tentang pendidikan guru.[16]
Pemikiran ini hanya menjadi sekedar wacana yang tidak berbuah manis. Meskipun
pemikiran ini sering kali di sampaikan kepada Pemerintah, tetapi baru
terealisasi pada tahun 2005 yaitu berupa keluarnya Undang-Undang No 14 tahun
2005 tentang Guru dan Dosen. Dengan demikian harapan yang tadinya hanya menjadi
wacana, maka sejak tahun 2005 harapan menjadikan guru sebagai jabatan
profesional secara legal telah resmi di tetapkan oleh Pemerintah.
Dalam perkembangannya, upaya profesionalisasi jabatan guru ini muncul
pertanyataan, ”Siapa yang berhak dan berwenang menguji atau menilai kemampuan
guru profesional untuk memperoleh sertifikat sebagai guru profesional atau
sertifikat pendidik?”Menjawab pertanyaan itu maka pemerintah dalam hal ini
Kementerian Pendidikan melalui LPMP membentuk lembaga yang bertugas melakukan penilaian
dan pengujian guru yaitu bekerjasama dengan Perguruan Tinggi yang berwenang.
Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 11 (2) UU No 14 tahun 2005 yaitu : ”Sertifikasi
Pendidik diselenggarakan oleh Perguruan Tinggi yang memiliki program pengadaan
tenaga kependidikan yang terakreditasi”[17]
Membaca ketentuan tersebut, jelaslah bahwa Universitas-Universitas yang
memiliki LPTK yang berwenang melakukan penilaian dan pengujian terhadap guru
untuk mendapatkan sertifikat sebagai guru profesional. Dan jelaslah pula bahwa
lembaga pendidikan yang memiliki tenaga akademik dan profesional, yang wilayah
studi dan kajiannya di bidang kependidikan yang berwenang untuk melakukan
sertfikasi untuk guru.
3.
Model Sertifikasi Guru di Indonesia
Sejak
berlakunya UU No 14 tahun 2005, maka pada tahap implementasi mulai tahun 2006
di berlakukan model sertifikasi dengan menggunakan Portofolio. Portofolio
adalah bukti fisik ( dokumentasi ) yang menggambarkan pengalaman berkarya,
kreasi dan prestasi yang dicapai oleh seorang guru dalam menjalankan tugas
profesi dalam interval waktu tertentu. Fungsi portofolio dalaj sertifikasi guru
dalam jabatan adalah untuk menilai kompetensi guru dalam menjalankan tugas dan
perannya sebagai agen pembelajaran. Portofolio juga berfungsi sebagai: (1)
Wahana guru untuk menampilkan dan atau membuktikan unjuk kerjanya yang meliputi
produktivitas, kualitas dan relevansi melalui karya- karya utama dan pendukung,
(2) Informasi ( buta ) dalam memberikan pertimbangan tingkat kelayakan
kompetensi seorang guru bila dibandingkan dengan standar yang telah ditetapkan,
(3) Dasar menentukan kelulusan seorang guru yang mengikuti uji sertifikasi
(layak mendapatkan sertifikat pendidik atau belum), dan (4) Dasar
memberikan rekomendasi bagi peserta yang belum lulus untuk menentukan kegiatan
lanjutan sebagai representasi kegiatan pembinaan dann pemberdayaan guru.
Program
sertifikasi guru yang dimulai tahun 2006 dengan model portofolio ini menorehkan
beberapa catatan yang perlu dicermati. Ternyata
implementasi sertifikasi guru dalam bentuk penilaian portofolio ini kemudian
menimbulkan polemik baru yaitu “Sosok yang Certificate-Oriented”.
Banyak para pengamat pendidikan yang menyangsikan keefektifan pelaksanaan
sertifikasi dalam rangka meningkatkan kinerja guru. Bahkan ada yang
berhipotesis bahwa sertifikasi dalam bentuk penilaian portofolio tak akan
berdampak sama sekali terhadap peningkatan kinerja guru, apalagi dikaitkan
dengan peningkatan mutu pendidikan nasional. Hal ini berkaitan dengan
temuan-temuan dilapangan bahwa adanya indikasi kecurangan dalam melengkapi
berkas portofolio oleh para guru peserta sertifikasi. “Kecurangan dengan
memalsukan dokumen portofolio itu memang ada.[18]
Melihat
banyaknya kecurangan yang terjadi, maka pemerintah melakukan evaluasi terhadap
sertifikasi model portofolio. Hasilnya pada tahun 2011 pemerintah membuat
kebijakan tentang model sertifikasi. Kebijakan berubah dari penggunaan
portofolio, sertifikat dan penghargaan dari hasil seminar, workshop, pelatihan,
dan lain-lain. Semakin banyak sertifikat dan penghargaan yang
dikumpulkannya, poin portofolio-nya akan semakin tinggi. Menjadi Penilaian
Portofolio (PF), Pemberian Sertifikat Pendidik secara Langsung (PSPL), dan
Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG) Pada 2011 dan 2012.
Pada tahun
2012 Kemendiknas membuat kebijakan baru yaitu seluruh calon peserta sertifikasi
di wajibkan mengikuti program Uji Kompetensi awal (UKA).[19]
Sebelum mengikuti tahap PLPG. Beruntung bagi guru
yang lolos tahap UKA, mereka langsung bisa mengikuti PLPG. Tapi bagi yang belum
beruntung masih harus sabar mengikuti pelatihan-pelatihan untuk mengikuti PLPG.
Di saat yang bersamaan pula Kemendiknas meluncurkan program Pendidikan Profesi
guru (PPG) dengan pembiayaan di tanggung oleh peserta sertifikasi dan waktu
yang tidak sebentar (satu tahun). Program sepertinya belum berjalan sebagaimana harapan pemerintah. Hal
tersebut dapat dilihat ketidaksiapan dari masing-masing daerah untuk menyelenggarakan
program ini.
Sulit
membayangkan seandainya para guru mengikuti PPG, sebuah pertanyaan besar adalah
jika sebagian guru mengikuti PPG, bagaimana keberlangsungan proses pembelajaran
di sekolah? Belum lagi apakah calon peserta PPG siap dengan pendanaan yang
mandiri dan besar yang harus di tanggung oleh masing-masing peserta. Inilah
yang perlu di evaluasi dari program PPG.
4.
Dampak Sertifikasi
Sertifikasi
guru bertujuan untuk meningkatkan tingkat kelayakan seorang guru dalam
melaksanakan tugas sebagai agen pembelajaran di sekolah dan sekaligus
memberikan sertifikat pendidik bagi guru yang telah memenuhi persyaratan dan
lulus uji sertifikasi.[20]
Jadi secara idealisme tujuan sertifikasi adalah untuk
meningkatkan kualitas kompetensi guru yang pada akhirnya diharapkan berdampak
pada peningkatan mutu pendidikan. Baru kemudian diharapkan dapat meningkatkan
kesejahteraan guru secara finansial.
Menurut Wibowo, sertifikasi dalam
kerangka makro adalah upaya peningkatan kualitas layanan dan hasil
pendidikan bertujuan untuk hal-hal sebagai berikut:[21]
a. Melindungi
profesi pendidik dan tenaga kependidikan
b. Melindungi
masyarakat dari praktik-praktik yang tidak kompeten, sehingga merusak citra
pendidik dan tenaga kependidikan
c. Membantu
dan melindungi lembaga penyelenggara pendidikan, dengan menyediakan rambu rambu
dan instrument untuk melakukan seleksi terhadap pelamar yang kompeten
d. Membangun
citra masyarakat terhadap profesi pendidik dan tenaga kependidikan
e. Memberikan
solusi dalam rangka meningkatkan mutu pendidik dan tenaga kependidikan
Sedangkan
manfaat sertifikasi menurut Mansur
Muslich
adalah Pertama, melindungi profesi guru dari praktik layanan pendidikan
yang tidak kompeten sehingga dapat merusak citra profesi guru. Kedua, melindungi
masyarakat dari praktik pendidikan yang tidak berkualitas dan profesional yang
akan menghambat upaya peningkatan kualitas pendidikan dan penyiapan sumber daya
manusia di negeri ini. Ketiga, menjadi wahana penjamin mutu bagi LPTK
yang bertugas mempersiapkan calon guru dan juga berfungsi sebagai kontrol mutu
bagi pengguna layanan pendidikan. Keempat, menjaga lembaga penyelenggara
pendidikan dari keinginan internal dan eksternal yang potensial dapat
menyimpang dari ketentuan yang berlaku.[22]
.
Kesimpulan yang dapat dituangkan
dari penjelasan diatas adalah sebenarnya jika merujuk pada tujuan dan manfaat
sertifikasi menurut hemat penulis sangat besar sekali karena tujuan dan manfaat
yang diharapkan dari sertifikasi begitu luas dan dalam jika dilaksanakan dengan
bijak tanpa ada kecurangan sehingga tujuan yang diharapkan akan terwujud dan
maksimal.
Dengan
melihat tujuan sertifikasi di atas, nampaknya jelas bahwa dengan berlakunya dan
implementasi dari Undang-undang No 14 tahun 2005 memberikan harapan
kesejahteraan kepada guru sebagai profesi yang di akui keberadaannya. Di
samping itu dengan adanya program sertifikasi juga memberikanan dampak yang
signifikan terhadap kesejahteraan guru.
Dengan
demikian, maka tuntutan masyarakat akan pendidikan berkualitas mestinya akan
menjadi kenyataan manakala guru-guru yang di sertifikasi merupakan guru-guru
yang professional.
5.
Harapan Masyarakat
Ada yang berpendapat bahwa
sejatinya sertifikasi adalah alat untuk meningkatkan kesejahteraan guru. Bahkan
yang lebih berani mengatakan bahwa sertifikasi adalah akal-akalan pemerintah
untuk menaikkan gaji guru. Kata sertifikasi hanyalah kata pembungkus agar tidak
menimbulkan kecemburuan profesi lain.
Pemahaman seperti itu tidak terlalu
salah sebab dalam Undang-Undang Guru dan Dosen (UUGD) pasal 16 disebutkan bahwa
guru yang memiliki sertifikat pendidik, berhak mendapatkan insentif yang berupa
tunjangan profesi. Besar insentif tunjangan profesi yang dijanjikan oleh UUGD
adalah sebesar satu kali gaji pokok untuk setiap bulannya.[23]
Namun, persepsi seperti itu
cenderung mencari-cari kesalahan suatu program pemerintah dalam rangka
meningkatkan mutu pendidikan nasional. Peningkatan kesejahterann guru dalam
kaitannya dengan sertifikasi harus dipahami dalam kerangka peningkatan mutu
pendidikan nasional , baik dari segi proses (layanan) maupun hasil (luaran)
pendidikan. Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan secara eksplisit mengisyaratkan adanya standarisasi isi, proses,
kompetensi lulusan, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana,
pengelolaan, pembiyaan, dan penilaian pendidikan dalam mencapai tujuan
pendidikan nasional.
Di samping itu, menurut Samami Muchlas,
yang perlu disadari adalah bahwa guru adalah subsistem pendidikan nasional.
Dengan adanya sertifikasi, diharapkan kompetensi guru sebagai agen pembelajaran
akan meningkat sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Dengan kompetensi
guru yang memenuhi standar minimal dan kesejahteraan yang memadai diharapkan
kinerja guru dalam mengelola proses pembelajaran dapat meningkat. Kualitas
pembelajaran yang meningkat diharapkan akan bermuara akhir pada terjadinya
peningkatan prestasi hasil belajar siswa.[24]
Sesuai
dengan harapan masyarakat, setelah adanya pemberlakuan sertifikasi, opini
masyarakat akan bertambah semakin percaya terhadap kemampuan guru dalam
mendidik dan mencerdaskan anak bangsa. Dengan demikian, masyarakat akan
menilai guru yang sudah memiliki sertifikat profesi pendidik, layak
mendapatkan tunjangan sertifikasi, karena mereka hidup dari masyarakat, untuk
masyarakat dan dari tengah masyarakat.
Guru
yang memiliki kemampuan, dedikasi, integritas, dan komitmen terhadap profesi,
akan mendapatkan citra yang positif. Jika para guru yang sudah dianggap
profesional mampu menjaga citra sertifikasi yang diperolehnya,
dunia pendidikan nasional akan maju. Dengan demikian
harapan masyarakat terhadap pendidikan yang maju akan terwujud jika guru-guru
yang telah di sertifikasi mampu meningkatkan kualitas pembelajaran sesuai
dengan kompetensi yang di persyaratkan dalam Undang-undang.
6.
Sertifikasi
Guru PAI
Secara
umum alasan logis mengapa sertifikasi guru perlu diadakan termasuk didalamnya
guru Pendidikan Agama Islam (PAI) adalah karena pertama, meningkatkan kualitas
dan kompetensi guru. Kedua, meningkatkan kesejateraan dan jaminan secara layak
sebagai profesi. Adapun yang menjadi target terakhir adalah terciptanya
kualitas pendidikan yang bermutu. Mungkin juga adanya sertifikasi guru
merupakan maskot yang banyak disambut dalam dunia pendidikan bagi para
pendidik, kedatanganya memang wajar, karena merupakan hal baru dalam dunia
pendidikan Tanah Air.
”Profesi Guru” sebagai suatu
profesi sudah selayaknya memperoleh pengakuan hukum, sebagaimana pengakuan
hukum bagi profesi lain seperti advokad dengan Undang-Undang No.18 Tahun 2003.
Dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional yang
berisi pembentukan badan akreditasi dan sertifikasi mengajar di berbagai
daerah. Tujuan dikeluarkanya Undang-Undang tersebut sebagai upaya pemerintah
dalam meningkatkan kualitas tenaga kependidikan secara nasional.
Berkaitan dengan adanya
sertifikasi, negara maju seperti Amerika telah lebih dahulu memberlakukan uji
sertifikasi terhadap guru melalui badan independent yang disebut The
American Association Of Golleges For Teacher Education (AACTE).
Badan tersebut berwenang menilai dan menentukan ijazah yang dimiliki oleh calon
pendidik, layak atau tidak untuk diberi lisensi pendidik. Negara ini
mendudukkan guru sebagai jabatan professional seperti dokter dan lawyer, yaitu
jabatan yang menuntut persyaratan pascasarjana memberikan kewenangan untuk
memberikan sertifikasi guru kepada School of education Universitas yang
terakreditasi.[25] Di
Cina telah memberlakukan sertifikasi guru sejak tahun 2001 begitu juga dengan
Filiphina dan Malaysia belakangan juga telah menyaratkan kualifikasi akademik
minimum dan standar kompetensi bagi guru. Dan ternyata Jepang juga sudah
memberlakukan sertifikasi guru selama 33 tahun sejak tahun 1974.[26]
Program sertifikasi guru dalam
hal ini guru PAI ditunjukkan untuk memberikan lisensi, bahwa guru yang
bersangkutan sudah baik dan layak melakukan proses belajar mengajar karena
dianggap telah memiliki kualifikasi dan kompetensi yang dimiliki.
Implementasinya ujian seleksi sertifikasi menimbulkan banyak masalah dan protes
dari kalangan para guru ada mereka yang tidak mau ambil pusing dengan adanya
sertifikasi mereka beralasan sebagaimana hal-hal baru pada akhirnya begitu
saja. Ada kelompok yang mendambakan sertifikasi dengan harapan penuh segera
mendapatkan tunjangan profesi dan juga ada kelompok yang pesimis, yaitu mereka
yang tidak mau percaya dengan adanya iming-iming tunjangan profesi.
Pemerintah
Indonesia sebenarnya sudah mengisyaratkan akan memberlakukan sertifikasi bagi
guru, sebagaimana yang telah tertuang dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000
tentang program pembangunan nasional yang berisi pembentukan badan akreditasi
dan sertifikasi mengajar di daerah. Undang-Undang tersebut dikeluarkan dengan
tujuan meningkatkan kualitas tenaga kependidikan secara nasional.
Tidak
cuma di Indonesia, sertifikasi guru juga sudah diberlakukan di Negara Asia,
Cina telah memberlakukan sertifikasi
guru sejak tahun 2001. Termasuk juga dengan Filipina dan Malaysia juga telah
mengisyaratkan kulaifikasi akademik minimum dan standar kompetensi bagi guru.[27]
Kemudian
muncul pertanyaan kenapa guru perlu disertifikasi? Melihat nasib dan
kesejahteraan guru di Indonesia, lebih lagi guru PAI memang sangat
memprihatinkan. Bayangkan saja sebagian guru mengakui ada yang mencari objekan
di luar tugas mengajar, seperti menjadi guru privat, bahkan ada guru yang
menjadi tukang ojek.
Oleh
sebab itu,pemerintah ingin memberikan reward berupa penghargaan atau pemberian
tunjangan profesional yang berlipat dari gaji yang diterima. Harapan kedepannya
adalah tidak ada lagi guru yang bekerja mencari objekan diluar dinas karena
kesejahteraannya sudah terpenuhi. Dengan demikian guru akan lebih fokus dan
profesional dalam pekerjaannya sebagai
guru bagi anak didiknya.
D. Penutup
Akhir
program sertifikasi guru PAI adalah peningkatan kualitas guru PAI
secara nasional. Logikanya bila guru seantero negeri bermutu maka aktivitas
guru juga berkualitas termasuk di dalamnya guru PAI dan
hal ini memberikan kontribusi besar dalam peningkatan mutu pendidikan sebagai sistem.
Yang menjadi pertanyaan, pertama, jika akhirnya semua guru lulus baik
secara langsung maupun melalui diklat dengan beban kerja yang akhirnya pula
dapat memenuhi syarat 24 jam, maka semua berhak atas tunjangan profesi.
Penyelenggaraan sertifikasi menjadi semacam formalitas belaka. Kedua,
benarkah para guru yang telah berhasil lulus sertifikasi menunjukkan kinerja
meningkat ?
Kemudian
baru-baru ini juga keluar aturan tentang perubahan pelaksanaan pola sertifikasi
guru. Guru yang tadinya hanya mengikuti PLPG, sekarang harus mengikuti uji
kompetensi awal (UKA)[28] sebelum mengikuti tahap
PLPG. Beruntung bagi guru yang lolos tahap UKA, mereka langsung bisa mengikuti
PLPG. Tapi bagi yang belum beruntung masih harus sabar mengikuti
pelatihan-pelatihan untuk mengikuti PLPG.
Secara
umum, baik guru yang telah lulus maupun belum lulus sertifikasi masih menyimpan
tanda tanya. Bagi yang telah lulus, penghargaan tunjangan sebesar satu kali
gaji. Pembiayaan sertifikasi menjadi semakin mahal jika diperhitungkan pula
beban administrasi bank yang harus ditanggung para guru. Lika-liku guru
menggapai tunjangan sertifikasi bukan pekerjaan mudah, oleh karena itu
sebaiknya sertifikasi dimaknai oleh guru sebagai tantangan dalam peningkatan
kinerja, kualitas, dan profesionalisme.
Dampak pemberian tunjangan
sertifikasi juga belum dirasakan pada peningkatan mutu guru. Hal ini akibat
tidak adanya pembinaan lebih lanjut dan evaluasi bagi guru-guru yang sudah
lolos sertifikasi. Pembinaan pascasertifikasi harus berlangsung secara berkesinambungan,
karena prinsip mendasar adalah guru harus merupakan a learning person,
belajar sepanjang hayat. Sebagai guru profesional dan telah menyandang
sertifikat pendidik, guru berkewajiban untuk terus mempertahankan
profesionalitasnya sebagai guru. Pembinaan profesi guru secara terus menerus (continuous
professional development) menggunakan wadah guru yang sudah ada, yaitu
kelompok kerja guru (KKG) untuk tingkat SD dan musyawarah guru mata pelajaran
(MGMP) untuk tingkat sekolah menengah. Upaya yang sungguh-sungguh perlu
dilaksanakan untuk mewujudkan guru yang profesional, sejahtera, dan memiliki
kompetensi. Hal ini merupakan syarat menciptakan sistem pendidikan berkualitas,
dimana pendidikan berkualitas merupakan salah satu syarat utama untuk mewujudkan
kemakmuran dan kemajuan bangsa.
Daftar Referensi
Depdikbud, Pembinaan
Profesionalisme Guru. Jakarta: Depdiknas, 2000.
Henry, Simamora,
Manajemen Sumber Daya Manusia. Yogyakarta: Bagian Penerbitan STIE YKPN, 2000.
http://
www.tempo.co/, selasa 23 Oktober
2012Guru Papua hanya 7 % lolos sertifikasi, di akses Selasa, 13 Nopember 2012
http://edukasi.kompas.com
Jumat, 13
November 2009 “Sertifikasi Guru tidak tepat sasaran”,
di akses Selasa, 13
Nopember 2012
Muchlas, Samani dkk. Mengenal
Sertifikasi Guru di Indonesia, Surabaya: SIC dan Asosiasi Peneliti
Pendidikan Indonesia (APPI), 2006.
Muhaimin, Abdul
Madjid. Pemikiran Pendidikan Islam ,
Bandung: Trigenda Jaya, 1993.
Mulyasa, Standar
Kompetensi dan Sertifikasi Guru, Bandung: Rosda Karya, 2007.
Muslich, Mansur. Sertifikasi
Guru Menuju Profesionalisme Pendidik. ,Jakarta: Bumi Akasara, 2007.
Nurkholis, Managemen
Berbasis Sekolah, Teori, model dan Aplikasi, Jakarta; Grasindo, 2003
Sembiring,
M. Gorky,Mengungkap dan Tips Manjur menjadi guru Profesional, cet II,
Jogjakarta; Best Publisher, 2009.
Sudjana, Nana, Penilaian Hasil
Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Penerbit Rosda, 2004.
Supriyadi, Dedi, Mengangkat
Citra dan Martabat Guru, Yogyakarta ; Cipta Karya Nusa, 1998
Soedijarto, Landasan dan arah pendidikan Nasional Kita,
Jakarta; PT Kompas, 2008
Trianto dan Titik, Sertifikasi
Guru Upaya Peningkatan Kualifikasi Kompetensi dan Kesejateraan .Jakarta:
Prestasi Pustaka, 2007.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005
Tentang Guru dan Dosen. Bandung: Citra Umbara, 2006
Wijaya, Cece
dan A. Tabrani, Kemampuan Dasar Dalam proses Belajar Mengajar, Bandung:
PT. Remaja Rosda Karya,1994.
Yamin, Martinis. Sertifikasi
Profesi Keguruan di Indonesia, Jakarta: Gaung Persada Press, 2006.
[1] http:// www.tempo.co/, selasa 23 Oktober 2012, Guru
Papua hanya 7 % lolos sertifikasi, di akses Selasa, 13 Nopember 2012
[2] http://edukasi.kompas.com ,Jumat, 13 November 2009,“Sertifikasi
Guru tidak tepat sasaran”, di akses Selasa, 13
Nopember 2012
[3] Nurkholis, Managemen Berbasis
Sekolah, Teori, model dan Aplikasi, Jakarta; Grasindo, 2003, hal 68
[4] Dalam konsep ini kualitas bukan
merupakan atribut dari produk atau jasa memenuhi spesifikasi yang diterapkan.
Oleh karena itu kualitas bukanlah merupakan tujuan akhir, melainkan sebagai
alat ukur atas produk akhir dari standar yang ditentukan. Kualitas barang atau
jasa tidak harus mahal, eksklusif atau spesial karena barang berkualitas bisa
biasa-biasa saja. Bersifat umum, dikenal banyak orang tetapi bisa berkonotasi
cantik atau indah. Lebih lengkapnya lihat Nurkholis, Managemen Berbasis
Sekolah, hal 68
[5] Vincent
Gaspersz, Membangun Tujuh Kebiasaan Kualitas, Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 1997, hal 35-36.
[6]Muhamad Surya, Bunga rampai,
Guru dan Pendidikan, Jakarta; Balai Pustaka,2004 cet pertama, hal 173
[7] Kamus besar Bahasa Indonesia.
[8] Mulyana AZ, Rahasia menjadi
guru hebat, Jakarta; Grasindo, hal 110
[9] file.upi.edu
[10] M. Roqib, Ilmu Pendidikan
Islam, Pengembangan Pendidikan Integratif di Sekolah, keluarga dan masyarakat,
Jogjakarta; LKis, 2009, Hal 51
[11] Mansur
Muslich, Sertifikasi Guru Menuju Profesionalisme
Pendidik. ,Jakarta: Bumi Akasara, 2007, hal: 58
[12]
Trianto dan Titik. Sertifikasi
Guru Upaya Peningkatan Kualifikasi Kompetensi dan Kesejateraan . Jakarta: Prestasi Pustaka,
2007, hal. 11.
[13] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru
dan Dosen, ibid , hal 4
[14] Wibowo dalam Mulyasa.. Standar
Kompetensi dan Sertifikasi Guru. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007, Hal 34
[15] Pada saat itu beliau menjabat
sebagai Kepala Pusat Pengembangan Kurikulum
[16] Soedijarto, Landasan dan Arah
Pendidikan Nasional Kita, Jakarta; Penerbit Buku Kompas, 2008, hal 175
[18]
http://www.infodiknas.com/pengaruh-negatif-sertifikasi-guru-berbasis-portofolio
terhadap-kinerja-dan-kompetensi-guru di akses tanggal 2 Januari 2013 jam 22.00
WIB
[19]
Uji kompetensi awal (UKA) yang diselenggarakan oleh Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) banyak menuai perdebatan di kalangan
masyarakat, termasuk para tenaga pendidik. Ada
yang mendukung, dan ada yang mempertanyakan. Termasuk di dalamnya termasuk
Sulistyo ketua Umum PGRI sangat tidak setuju dengan metode ujian kompetensi
awal. Alasannya sangat sederhana yaitu hanya akan membebani guru dalam
mengikutinya.
[20]
Samani Muchlas dkk.. ”Mengenal
Sertifikasi Guru di indonesia”.
Surabaya:SIC dan Asosiasi Peneliti Pendidikan Indonesia (APPI), 2006, hal 10
[24] Muchlas Samani dkk.. ”Mengenal
Sertifikasi Guru di indonesia”. Surabaya:SIC dan Asosiasi Peneliti
Pendidikan Indonesia (APPI), 2006, hal
10
[25] Soedijarto, Landasan dan arah
pendidikan Nasional Kita, Jakarta; PT Kompas, 2008, hal 183
[27] Mansur
Muslich, ibid hal 4
[28] Uji kompetensi awal (UKA) yang diselenggarakan oleh Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) banyak menuai perdebatan di kalangan
masyarakat, termasuk para tenaga pendidik. Ada
yang mendukung, dan ada yang mempertanyakan. Termasuk di dalamnya termasuk
Sulistyo ketua Umum PGRI sangat tidak setuju dengan metode ujian kompetensi
awal. Alasannya sangat sederhana yaitu hanya akan membebani guru dalam
mengikutinya. awal (UKA) tersebut