“Sejarah Pesantren;
Masa Penjajahan,
Kemerdekaan dan Orde Baru”
Oleh Abd Qohin
Pendahuluan
Membahas pesantren pada dasarnya
sama dengan membahas sejarah awal penyebaran Islam di Indonesia, khususnya di
Pulau Jawa dan Sumatra. Ditilik dari alur sejarahnya, perkembangan Islam di Indonesia sangat erat kaitannya dengan peniruan
kultur budaya Islam permulaan di Jazirah Arab, yaitu adanya interaksi antara
kaum pedagang yang mengembara dengan masyarakat pribumi pesisir Nusantara.
Sebagai lembaga pendidikan Islam tertua di
Indonesia, pesantren tetap saja menarik untuk dikaji dan ditelaah kembali.
Pesantren adalah salah satu lembaga pendidikan Islam yang mempunyai kekhasan
tersendiri serta berbeda dengan lembaga pendidikan lainnya. Ditinjau dari segi
historisnya, pesantren merupakan bentuk lembaga pribumi tertua di Indonesia
bahkan lebih tua lagi dari Republik ini. Pesantren sudah dikenal jauh sebelum
Indonesia merdeka.
Sejak Islam masuk ke Indonesia, pesantren terus
berkembang sesuai dengan perkembangan dunia pendidikan pada umumnya. Setidaknya
ada dua pendapat mengenai latar belakang berdirinya pondok pesantren di
Indonesia. Pertama, bahwa pondok pesantren berakar pada tradisi Islam
itu sendiri. Kedua, sistem pendidikan model pondok pesantren adalah asli
Indonesia.
Tidak bisa dipungkiri, sebagai komunitas dan lembaga
pendidikan yang besar jumlahnya dan luas penyebarannya di berbagai pelosok
tanah air, pesantren telah banyak memberikan kontribusi dalam membentuk manusia
Indonesia yang religius. Lembaga tersebut telah melahirkan banyak guru bangsa
di masa lalu, kini dan masa yang akan datang. Lulusan pesantren telah
memberikan partisipasi aktif dalam pembangunan bangsa ini.
Pesantren secara historis telah mendokumentasikan
berbagai peristiwa sejarah bangsa Indonesia. Sejak awal penyebaran agama Islam
di Indonesia, pesantren merupakan saksi utama dan sarana penting bagi kegiatan
Islamisasi tersebut. Perkembangan dan dan kemajuan masyarakat Islam Nusantara,
tidak mungkin terpisahkan dari peranan yang dimainkan pesantren. Besarnya arti
pesantren dalam perjalanan bangsa Indonesia yang harus dipertahankan.
Apalagi pesantren telah dianggap sebagai lembaga
pendidikan yang mengakar kuat dari budaya asli bangsa Indonesia. Kehadiran
pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam, kini semakin diminati oleh banyak
kalangan, termasuk masyarakat kelas menengah atas. Hal ini membuktikan lembaga
ini mampu memberikan solusi terhadap kebutuhan pendidikan anakanak mereka.[1]
Untuk itulah pada makalah ini akan membahas pesantren dalam konteks sejarah dan
perkembangannya yang meliputi pesantren pada masa penjajahan, masa kemerdekaan,
dan pada masa orde baru.
Pondok Pesantren
dalam Tinjauan Definitif
Sejarah pendidikan agama Islam yang independent, kemudian
populer dengan jargon “Pesantren” sebenarnya merupakan sejarah tipologi
Institusi Pendidikan Islam yang usianya sudah mencapai ratusan tahun, para ahli
sejarah mencatat bahwa eksistensi pondok pesantren telah lahir jauh sebelum
Republik Indonesia dibentuk. Hampir di seluruh penjuru Nusantara, terutama di
pusat-pusat Kerajaan Islam telah banyak para ulama yang mendirikan pondok
pesantren dan menelorkan ratusan bahkan ribuan alumni yang mumpuni di medan
perjuangan masyarakat beragama.
Menurut pendapat para ilmuwan, istilah pondok
pesantren adalah merupakan dua istilah yang mengandung satu arti. Orang Jawa
menyebutnya “pondok” atau “pesantren”. Sering pula menyebut sebagai pondok
pesantren. Istilah pondok barangkali berasal dari pengertian asrama-asrama para
santri yang disebut pondok atau tempat tinggal yang terbuat dari bambu atau
barangkali berasal dari bahasa Arab “funduq” artinya ruang tidur, wisma,
hotel sederhana atau mengandung arti tempat tinggal yang terbuat dari bambu. [2]
atau dalam istilah modern di artikan
sebagai asrama besar yang disediakan untuk persinggahan.
Menurut etimologi pesantren berasal dari kata santri yang mendapat
awala pe- dan akhiran -an sehingga menjadi pe-santria-an yang
bermakna kata “shastri” yang artinya murid. Yang berarti tempat tinggal
para santri. Profesor Jahus berpendapat Istilah santri berasal dari bahasa
tamil yang berarti guru mengaji. Sedang C.C. Berg. berpendapat bahwa istilah pesantren
berasal dari kata shastri yang dalam bahasa India berarti orang yang
tahu buku-buku suci agama Hindu, atau seorang sarjana ahli kitab-kitab suci
agama Hindu. Kata shastri berasal dari kata shastra yang berarti
buku-buku suci, buku-buku suci agama atau buku-buku tentang ilmu pengetahuan.[3]
Kadang-kadang ikatan kata “sant”
manusia baik dihubungkan dengan suku kata “Tra” suka menolong,
sehingga kata pesantren dapat di artikan menjadi “Tempat pendidikan manusia
yang baik”.[4] Dari
pengertian tersebut berarti antara pondok dan pesantren jelas merupakan dua
kata yang identik (memiliki kesamaan arti), yakni asrama tempat
santri atau tempat murid atau santri mengaji.
Sedangkan secara terminologi pengertian pondok
pesantren dapat penulis kemukakan dari pendapatnya para ahli antara lain: M.
Dawam Rahardjo memberikan pengertian pesantren sebagai sebuah lembaga
pendidikan dan penyiaran agama Islam, itulah identitas pesantren pada awal
perkembangannya. Sekarang setelah terjadi banyak perubahan di masyarakat,
sebagai akibat pengaruhnya, definisi di atas tidak lagi memadai, walaupun pada
intinya nanti pesantren tetap berada pada fungsinya yang asli, yang selalu
dipelihara di tengah-tengah perubahan yang deras. Bahkan karena menyadari arus
perubahan yang kerap kali tak terkendali itulah, pihak luar justru melihat
keunikannya sebagai wilayah sosial yang mengandung kekuatan
resistensi
terhadap dampak modernisasi.[5]
Dari uraian panjang lebar di atas dapat diambil
kesimpulan bahwa pengertian pondok pesantren adalah suatu lembaga pendidikan
dan keagamaan yang berusaha melestarikan, mengajarkan dan menyebarkan ajaran
Islam serta melatih para santri untuk siap dan mampu mandiri. Atau dapat juga
diambil pengertian dasarnya sebagai suatu tempat dimana para santri belajar
pada seseorang kyai untuk memperdalam atau memperoleh ilmu, utamanya ilmu-ilmu
agama yang diharapkan nantinya menjadi bekal bagi santri dalam menghadapi
kehidupan di dunia maupun akhirat.
Unsur-Unsur
Pesantren
Ada beberapa aspek yang merupakan elemen dasar dari
pesantren yang perlu dikaji lebih mendalam mengingat pesantren merupakan sub
kultur dalam kehidupan masyarakat kita sebagai suatu bangsa. Walaupun pesantren
dikatakan sebagai sub kultur, sebenarnya belum merata dimiliki oleh
kalangan pesantren sendiri karena tidak semua aspek di pesantren berwatak sub
kulturil. Bahkan aspek-aspek utamanya pun ada yang bertentangan dengan adanya
batasan-batasnya biasaya diberikan kepada sebuah sub kultur. Namun di lain
pihak beberapa aspek utama dari kehidupan pesantren yang dianggap mempunyai
watak sub kultural ternyata hanya tinggal terdapat dalam rangka idealnya
saja dan tidak didapati pada kenyataan, karena itu hanya kriteria paling minim
yang dapat dikenakan pada kehidupan pesantren untuk dapat menganggapnya sebagai
sebuah sub kultur. Kriteria itu diungkapkan oleh Abdurrahman Wachid
sebagai berikut:
a. Eksistensi
pesantren sebagai sebuah lembaga kehidupan yang menyimpang dari pola kehidupan
umum di negeri ini.
b. Terdapatnya
sejumlah penunjang yang menjadi tulang kehidupan pesantren.
c. Berlangsungnya
proses pembentukan tata nilai yang tersendiri dalam pesantren, lengkap dengan
simbol-simbolnya.
d. Adanya
daya tarik keluar, sehingga memungkinkan masyarakat sekitar menganggap
pesantren sebagai alternatif ideal bagi sikap hidup yang ada di masyarakat itu
sendiri.
e. Berkembangnya
suatu proses pengaruh mempengaruhi dengan masyarakat di luarnya, yang akan
berkulminasi pada pembentukan nilai-nilai baru yang secara universal diterima
oleh kedua belah pihak.[6]
Dengan demikian dalam lembaga pendidikan Islam yang
disebut pesantren sekurang-kurangnya ada unsur-unsur: kyai yang mengajar dan
mendidik serta jadi panutan, santri yang belajar kepada kyai, masjid sebagai
tempat penyelenggaraan pendidikan dan sholat jamaah, dan asrama tempat tinggal
santri. Sementara itu menurut Zamakhsyari Dhofier ada lima elemen utama
pesantren yaitu pondok, masjid, santri, kyai, dan pengajaran kitab-kitab
klasik.[7]
Elemen-elemen tersebut antara lain :
a. Pondok
atau asrama
Sebuah
pesantren pada dasarnya merupakan sebuah asrama pendidikan Islam tradisional,
dimana para santrinya tinggal bersama dan belajar dibawah pimpinan dan
bimbingan seorang kyai. Asrama tersebut berada dalam lingkungan kompleks
pesantren dimana kyai menetap. Pada pesantren terdahulu pada umumnya seluruh
komplek adalah milik kyai, tetapi dewasa ini kebanyakan pesantren tidak
semata-mata dianggap milik kyai saja, melainkan milik masyarakat. Ini
disebabkan karena kyai sekarang memperoleh sumber-sumber untuk mengongkosi
pembiayaan dan perkembangan pesantren dari masyarakat. Walaupun demikian kyai
tetap mempunyai kekuasaan mutlak atas dasar pengurusan kompleks pesantren
tersebut.
Pondok
bagi para santri merupakan ciri khas yang khusus dari tradisi pesantren yang
membedakannya dengan sistem pendidikan tradisional di masjid-masjid yang
berkembang di kebanyakan wilayah Islam di negaranegara lain. Pondok sebagai
tempat latihan bagi para santri agar mampu hidup mandiri dalam masyarakat.
b. Masjid
Masjid
berasal dari bahasa Arab “sajada-yasjudu-sujuuan” dari kata dasar itu
kemudian dimasdarkan menjadi “masjidan” yang berarti tempat sujud atau
setiap ruangan yang digunakan untuk beribadah.
Menurut
Abdurrahman Wachid posisi masjid memiliki makna tersendiri. Masjid sebagai
tempat untuk mendidik dan menggembleng santri agar terlepas dari hawa nafsu,
berada di tengah-tengah komplek Pesantren adalah mengikuti model wayang. Di
tengah-tengah ada gunungan.[8]
Hal ini sebagai indikasi bahwa nilai-nilai cultural masyarakat setempat
dipertimbangkan untuk dilestarikan oleh pesantren.juga bisa berarti tempat
shalat berjamaah. Fungsi masjid dalam pesantren bukan hanya sebagai tempat
untuk shalat saja, melainkan sebagai pusat pemikiran segala kepentingan santri
termasuk pendidikan dan pengajaran.
Masjid
merupakan elemen yang tidak dapat dipisahkan dengan pesantren dan dianggap
sebagai tempat yang paling tepat untuk mendidik para santri terutama dalam
praktek shalat, khutbah dan pengajaran kitab-kitab klasik (kuning). Pada
sebagain pesantren masjid juga berfungsi sebagai tempat i’tikaf, melaksanakan
latihan-latihan (riyadhah) atau suluh dan dzikir maupun amalan-amalan
lainnya dalam kehidupan thariqat dan sufi.
c. Santri
Adanya
santri merupakan unsur penting, sebab tidak mungkin dapat berlangsung kehidupan
pesantren tanpa adanya santri. Seorang alim tidak dapat disebut dengan kyai
jika tidak memiliki santri. Biasanya terdapat dua jenis santri, yaitu:
1)
Santri mukim,
yaitu santri yang datang dari jauh dan menetap di lingkungan pesantren. Santri
mukim yang paling lama biasanya diberi tanggung jawab untuk mengurusi
kepentingan pesantren sehari-hari dan membantu kyai untuk mengajar
santri-santri muda tentang kitab-kitab dasar dan menengah.
2)
Santri Kalong,
yaitu santri-santri berasal dari desa sekitar pesantren dan tidak menetap di
pesantren, mereka mengikuti pelajaran dengan berangkat dari rumahnya dan pulang
ke rumahnya masing-masing sesuai pelajaran yang diberikan.
d. Kyai
Kyai
merupakan elemen yang paling esensial dari suatu pesantren. Biasanya kyai
itulah sebagai pendiri pesantren sehingga pertumbuhan pesantren tergantung pada
kemampuan kyai sendiri. Peran penting kyai dalam pendirian, pertumbuhan,
perkembangan dan pengurusan sebuah pesantren berarti dia merupakan unsur yang
paling esensial. Sebagai pemimpin pesantren, watak dan keberhasilan pesantren
banyak bergantung pada keahlian dan kedalaman ilmu, karismatik dan wibawa,
serta ketrampilan kyai. Dalam konteks ini, pribadi kyai sangat menentukan sebab
dia adalah tokoh sentral dalam pesantren [9]
e. Pengajaran
Kitab-kitab Klasik
Kitab kuning sebetulnya merupakan
ciri penting yang tidak dapat dibuang dari pesantren, setidaknyahingga hari
ini. Seseorang disebut kyai antara lain karena ia dianggap menguasai keilmuan
keislaman yang berhubungan erat dengan kitab kuning. Sistem
pengajian pesantren yang diselenggarakan di masjid juga cocok karena yang
diaji adalah kitabkuning. Pendek kata, masjid, kyai, santri dan pondok yang
merupakan elemen penting pondok pesantren, tidak dapat dipisahkan dari kitab kuning.
Menurut keyakinan yang berkembang di pesantren
dipelajari kitab-kitab kuning yang merupakan jalan untuk memahami keseluruh
ilmu agama Islam. Dalam pesantren masih terhadap keyakinan yang kokoh bahwa
ajaran-ajaran yang terkandung dalam kitab kuning tetap merupakan pedoman dan
kehidupan yang sah dan relevan. Sah artinya bahwa ajaran itu bersumber pada
kitab Allah (Al-Qur’an) dan Sunnah Rasul (Hadits). Relevan
artinya bahwa ajaran itu masih tetap mempunyai kesesuaian dan berguna untuk
mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat kelak.
Keseluruhan kitab klasik yang diajarkan di pesantren
dapat digolongkan menjadi delapan kelompok yaitu :
- Nahwu (syntax) dan Shorof (morfologi),
misalnya kitab Jurumiyah, Imrithy, Alfiyah dan Ibu Aqil.
- Figh (tentang hukum-hukum agama
atau Syari’ah), misalnya kitab Fathul Qorib, Sulam Taufiq, Al Ummu dan
Bidayatul Mujtahid.
- Usul Figh (tentang pertimbagnan
penetapan hukum Islam atau Syari’at), misalnya Mabadi’ul Awaliyah.
- Hadits, misalnya Bulughul Maram,
Shahih Bukhori, Shahih Muslim dan sebagainya.
- Aqidah atau Tauhid atau Ushuludin
(tentang pokok-pokok keimanan), misalnya Aqidathul Awam, Ba’dul Amal.
- Tafsir pengetahuan tentang makna
dan kandungan Al-qur’an, misalnya Tafsir Jalalain, Tafsir Almaraghi.
- Tasawuf dan etika (tentang sufi
atau filsafat Islam), misalnya kitab Ihya’ Ulumuddin.
- Tarikh, misalnya kitab Khulashatun
Nurul Yaqin.[10]
Pesantren Pada Masa Penjajahan
- Pada jaman Belanda
Pada zaman penjajahan Belanda, dengan berbagai
cara Penjajah berusaha untuk mendiskreditkan pendidikan Islam yang dikelola
oleh pribumi termasuk didalamnya Pesantren. Sebab pemerintah kolonial
mendirikan lembaga pendidikan dengan sistem yang berlaku di barat pada waktu
itu, namun hal ini hanya diperuntukkan bagi golongan elit dari masyarakat
Indonesia. Jadi ketika itu ada dua alternatif pendidikan bagi bangsa Indonesia.
Sebagian besar sekolah kolonial diarahkan pada
pembentukan masyarakat elit yang akan digunakan untuk mempertahankan supremasii
politik dan ekonomi bagi Pemerintah Belanda. Dengan didirikannya lembaga
pendidikan atau sekolah yang diperuntukkan bagi sebagian Bangsa Indonesia
tersebut terutama bagi golongan priyayi dan pejabat oleh pemerintah kolonial,
maka semenjak itulah terjadi persaingan antara lembaga pendidikan pesantren
dengan lembaga pendidikan pemerintah.[11]
Meskipun harus bersaing dengan sekolah-sekolah
yang diselenggarakan pemerintah Belanda, pesantren terus berkembang jumlahnya.
Persaingan yang terjadi bukan hanya dari segi ideologis dan cita-cita
pendidikan saja, melainkan juga muncul dalam bentuk perlawanan politis dan
bahkan secara fisik. Hampir semua perlawanan fisik (peperangan) melawan
pemerintah colonial pada abad ke-19 bersumber atau paling tidak mendapatkan
dukungan sepenuhnya dari pesantren, seperti perang paderi, Diponegoro dan
Perang Banjar.
Pendidikan agama Islam yang ada di
pesantren-pesantren, Masjid, Langgar dan Madrasah di anggap tidak membantu
pemerintahan Belanda. Para santri pesantern masih di anggap buta huruf latin.
Akhirnya Belanda membuat Sekolah yang dimaksudkan untuk menandingi
Madrasah-madrasah, pondok pesantren dan pengajian-pengajian yang telah mendapat
hati di hati rakyat. [12]
Malah pemerintahan penjajahan Belanda membuat kebijaksanaan dan peraturan yang
membatasi dan merugikan pendidikan Islam.
Karena dilandasi rasa takut, rasa panggilan agamanya
dan rasa kolonialisme maka, pada tahun 1882 pemerintah Belanda mendirikan Priesterreden
(Pengadilan Agama) yang bertugas mengawasi kehidupan beragama dan pendidikan
pesantren. Salah satu isinya adalah larangan para kyai memberikan pengajaran
agama kecuali harus izin dahulu dan itupun terbatas pada kalangan tertentu. Hal
ini dilanjutkan dengan pemberantasan dan penutupan Madrasah-madrasah dan
pesantren-pesantren yang tidak memiliki ijin dari pemerintah.[13]
Tidak begitu lama setelah itu, dikeluarkan Ordonansi tahun 1905 yang berisi
peraturan bahwa guru-guru agama yang akan mengajar harus mendapatkan izin dari
pemerintah setempat. Peraturan yang lebih ketat lagi dibuat pada tahun 1925
yang membatasi siapa yang boleh memberikan pelajaran mengaji. Akhirnya, pada
tahun 1932 peraturan dikeluarkan yang dapat memberantas dan menutup madrasah
dan sekolah yang tidak ada izinnya atau yang memberikan pelajaran yang tak
disukai oleh pemerintah.[14]
Peraturan-peraturan tersebut membuktikan kekurang
adilan kebijaksanaan pemerintah penjajahan Belanda terhadap pendidikan Islam di
Indonesia. Namun demikian, pendidikan pondok pesantren juga menghadapi
tantangan pada masa kemerdekaan Indonesia. Setelah penyerahan kedaulatan pada
tahun 1949, pemerintah Republik Indonesia mendorong pembangunan sekolah umum
seluas-luasnya dan membuka secara luas jabatan-jabatan dalam administrasi
modern bagi bangsa Indonesia yang terdidik dalam sekolah- sekolah umum
tersebut. Dampak kebijaksanaan tersebut adalah bahwa kekuatan pesantren sebagai
pusat pendidikan Islam di Indonesia menurun. Ini berarti bahwa jumlah anak-anak
muda yang dulu tertarik kepada pendidikan pesantren menurun dibandingkan dengan
anak-anak muda yang ingin mengikuti pendidikan sekolah umum yang baru saja
diperluas. Akibatnya, banyak sekali pesantren-pesantren kecil mati sebab
santrinya kurang cukup banyak.[15]
Dengan peraturan yang sangat ketat dari pemerintah,
maka seolah-olah dalam tempo yang tidak lama lagi Pesantren dan Madrasah seolah-olah akan lumpuh dan porak-poranda.
Akan tetapi, apa yang disaksikan dalam sejarah adalah keadaan yang sebaliknya.
Para Kyai dan santrinya justru malah bersikap non kooperatif dengan Belanda
yang akhirnya menimbulkan fatwa-fatwa. Pada Masa ini fatwa kyai[16]
berperan besar terhadap perlawan penjajah dan semakin berkembangnya pondok
pesantren yang mendirikan organisasi-organisasi jihad melawan penjajah dan kebodohan.
Umat Islam sebagai mayoritas penduduk Indonesia di pedesaan adalah
pejuang-pejuang tangguh yang tidak kenal lelah terhadap kebatilan. Berkembang
didalamnya Madrasah-madrasah, Pesantren-Pesantren, Majlis Taklim,
halaqoah-halaqah yang mengkaji aqidah dan keilmuan yang menghasilkan
manusiayang dilandasi iman dan taqwa sebagai modal dalam mencapai kebahagian
hidup di dunia dan akhirat.[17]
- Pada masa penjajahan Jepang
Jepang menjajah Indonesia setelah mengusir pemerintah Hindia
Belanda dalam perang dunia ke II. Mereka menguasai Indonesia pada tahun 1942 dengan
membawa semboyan yaitu Asia Timur raya untuk Asia dan Asia Baru. Pada babak
pertamanya Pemerintah Jepang menampakkan diri seakan-akan membela kepentingan
umat Islam yang merupakan siasat untuk kepentingan perang Dunia ke II.
Karena mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, maka
Jepang mendekati umat Islam dengan menempuh kebijaksanaan antara lain : pertama,
Kantor urusan Agama pada zaman Belanda di sebut Kantoor voor Islamisthisce
saken yang dipimpin oleh orang-orang orientalis Belanda di ubah oleh
menjadi Kantor Sumubiyang dipimpin oleh Ulama Islam sendiri yaitu Kyai Hasyim
Asy’ari dari Jombang dan di daerah-daerah dibentuk Sumuka-sumuka. Kedua,
Pondok Pesantren yang besar-besar sering mendapat kunjungan-kunjungan dan
bantuan dari para pembesar-pembesar Jepang. Ketiga, sekolah Negeri
diberikan pelajaran Budi Pekerti yang isinya identik dengan pelajaran agama. Keempat,
umat Islam di ijinkan meneruskan Organisasi persatuan yang disebut Majlis Islam
A’la Indonesia (MIAI) yang bersifat kemasyarakatan.[18]
Maksud dari pemerintahan Jepang tidak lain agar kekuatan
umat Islam dan Nasionalis dapat di bina untuk kepentingan Perang Asia Timur
Raya yang dipimpin oleh Jepang. Namun setelah mendapat tekanan dari pihak
sekutu, Jepang bertindak sewenang-wenang dan lebih kasar daripada pemerintahan
Belanda. Semua kegiatan Sekolah dihentikan dan di ganti dengan kegiatan
baris-berbaris dan latihan perang. Para Kyai banyak ditangkap karena melakukan
pemberontakan-pemberontakan. Demikian juga pesantren tidak boleh banyak
bergerak meskipun pengawasannya masih dapat berjalan dengan wajar.
Pada awal pemerintahan Jepang, Pesantren berkonfrontasi
dengan imperialis baru lantaran penolakan Kyai Hasyim Asy’ari –kemudian di
ikuti oleh peantren-pesantren lain- terhadap saikere ( penghormatan
terhadap kaisar Jepang Tenno Haika sebagai keturunan Dewa Amaterasu) dengan
cara membungkukkan badan 90 derajat menghadap Tokyo setiap setiap pagi pukul
07.00 , sehingga mereka ditangkap dan di penjara Jepang. Ribuan kyai dan santri berdemonstrasi
mendatangi penjara, kemudian membangkitkan dunia pesantren untuk memulai
gerakan bawah tanah menentang Jepang.[19]
Demonstrasi besar-besaran akhirnya menyadarkan Jepang
tentang pengaruh kyai Hasyim Asy’ari sehingga Jepang akhirnya melepaskan dari
penjara. Maka dalam Sejarahnya, perkembangan pesantren telah memainkan peran
sekaligus kontribusi penting dalam pembangunan Indonesia. Sebelum Kolonial
Belanda masuk ke Nusantara, pesantren tidak hanya berperan sebagai Lembaga
Pendidikan yang berfungsi menyebarkan ajaran Islam sekaligus juga mengadakan
perubahan-perubahan tertentu menuju keadaan masyarakat yang lebih baik
(progresif). Sebagaimana tercermin dalam berbagai pengaruh pesantren bagi
kelancaran kegiatan politik para raja dan pangeran di-Jawa, kegiatan
perdagangan dan pembukaan pemukiman daerah baru. Di saat Penjajah Belanda
menduduki Kerajaan-Kerajaan di Nusantara, pesantren malah menjelma sebagai
pusat perlawanan dan pertahanan terhadap Kolonial Belanda, Inggris, dan Jepang.
Bahkan, pasca kemerdekaan tahun 1959-1965, pesantren masih dikategorikan
sebagai ‘Alat Revolusi’ dan ‘Bahan Peledak’ yang mampu menghancurkan kelancaran
politik yang stagnan. Dan saat memasuki orde baru, pesantren dipandang sebagai
‘potensi pembangunan’ negara bagi masyarakat Indonesia.[20]
Tidak sedikit kontribusi yang diberikan Pesantren dalam
pembangunan nation-state selama ini. Tengoklah pada masa penjajahan,
Pesantren telah memainkan perlawanan dan mengambil posisi uzlah sebagai
bentuk perlawanan sekaligus pertahanan dari para penjajah. Sebab dari uzlah
inilah sebuah pesantren mampu mendapatkan stereotip dari Pemerintah
Kolonial yang pada waktu itu dikonotasikan sebagai Lembaga Pendidikan yang
semrawut, sehingga banyak orang yang tidak tahu secara jelas sampai mana
batas-batas Lembaga Pendidikan Pesantren apakah sebagai Lembaga Sosial, ataukah
Lembaga Penyiaran Agama. Banyak para Kyai yang kedudukannya juga ikut-ikut
tidak jelas apakah peran mereka sebagai guru, pemimpin spiritual, penyiar agama
ataukah sebagai pekerja social, sehingga masih banyak Lembaga Pesantren yang
hingga detik ini tidak mendapat stigmatisasi pendidikan, sistem evaluasi,
metode pengajaran, dan sebagainya.
Karena anggapan miris Pemerintah Kolonial pada waktu itu,
maka Pesantren lebih memprioritaskan diri untuk pengajaran fiqh-sufistik
daripada hal-hal yang berkaitan langsung dengan masalah keduniawian. Tentu saja
prioritas ini menimbulkan kerugian sekaligus keuntungan. Keuntungannya,
pesantren menjelma menjadi Lembaga Pendidikan yang berhasil mengembangkan
pertahanan mental spiritualitas, solidaritas, dan kesederhanaan hidup yang
kokoh. Namun di sisi lain, kerugian yang harus ditanggung pesantren ialah,
pesantren seakan-akan telah terlepas dari kehidupan nyata, tidak membumi,
terlalu melangit ke akhirat serta kurang mengapresiasi diri bahkan melupakan
kehidupan duniawi.
Perpaduan fiqih-sufistik yang begitu kuat mempengaruhi
budaya hidup di dunia pesantren telah mengakibatkan munculnya pola piker dan
tata prilaku komunitas pesantren menyangkut khasanah pengetahuan Islam yang
senantiasa berada dalam alur formula “Normatif-Mistis”. Salah satu
implikasinya, proses belajar-mengajar yang berlangsung lebih di dominasi oleh
model pemikiran deduktif-dogmatis agama daripada induktif-rasional faktual.[21]
Dengan kata lain, pola reproduksi teks (Isithmar an-nash) meminjam
istilah Abed Al Jabiri terasa sangat menonjol sebagai paradigm penalaran dan
pembelajaran di pesantren sehingga penguasaan para santri akan disiplin
keilmuan yang mendasari kemampuan beristidlal[22]
dan beristinbat dari teks merupakan ciri program kurikuler pesantren. [23]
Secara umum
pendidikan pada masa penjajahan pendidikan dan pengajaran dilakukan apa adanya
dan belum terstruktur. Pengajaran dan pendidikan yang tidak
teratur pada masa ini dapat juga terlihat di Pesantren. Sebuah “Kelas”
dipusat-pusat pendidikan ini terdiri dari sekelompok murid-murid yang mempunyai
perbedaan umur yang menyolok, yang duduk mengelilingi sang guru untuk menerima
pelajaran dari sang guru. Mereka membentuk halaqah, lingkaran. Semua menerima
pelajaran yang sama. Tiada dirancangkan, sebuah kurikulum, berdasarkan umur,
lama belajar atau tingkat-tingkat pengetahuan. Masa masuk pun terserah pula
kepada para calon santri, sehingga banyak di antara mereka yang pergi datang
tanpa kepastian waktu.[24]
Dalam tingkat permulaan disamping mempelajari
membaca Qur’an, murid-murid diajarkan cara shalat. Dalam rangka belajar shalat
ini, walaupun si murid belum lagi dapat menghafal seluruhnya bacaan shalat, ia
dilatih untuk ikur shalat berjamaah agar terbiasa melakukan kewajiban ini.
Di samping itu beberapa masalah teologi (ketuhanan)
juga dipelajari, yang pada garis besarnya berpusat pada sifat dua puluh.[25]
Hal ini bersangkut pada soal lima (kepada Allah), dengan keesaan atau
tauhid serta dengan maksud menjauhkan
dari syirik, suatu dosa yang dianggap tidak terampunkan.
Pada masa penjajahan, sistem pengajaran menggunakan
sistem konvensional. Sistem ini ditandai dengan ciri-ciri yang khas, antara
lain tidak adanya daftar santri (peserta) pengajian dan tidak adanya evaluasi
hasil belajar secara formal bagi santri, kurikulum yang hanya berisi ilmu-ilmu
keagamaan abad pertengahan dengan bersumber pada kitab-kitab klasik/ kuning (Al
kutub Al Qodimah), dan metode serta pendekatan yang berkisar pada sorogan,
bandongan, setoran, mutholaah dan musyawarah.[26]
Pada masa ini metode yang digunakan adalah metode
tradisional yaitu dengan cara kyai bersangkutan membacakan teks kitab berbahasa
arab sebaris demi sebaris dengan menterjemahkan kedalam bahasa pengantar
(bergantung pada daerahnya) di sertai syarah atau komentar seperlunya.
Pelajaran berikut biasanya di mulai dengan pembacaan bagian yang telah di
pelajari sebelumnya oleh seorang murid serta menterjemahkan pula.
Kitab-kitab yang dipelajari oleh pesantren pada masa
ini antara lain kitab fiqih berupa thaharah, shalat,zakat, shaum dan ibadah
haji. Pada tingkat yang lebih tinggi dipelajari pula kitab tentang nikah, talaq
dan rujuk, serta faraid (hukum waris).[27]
Seorang murid yang baru masuk pesantren tidak
langsung segera langsung belajar pada kyai di Pesantren, melainkan dia akan
belajar pada santri yang senior[28]
yang bisa di sebut guru bantu atau guru tuo. Bila murid tersebut telah dapat
membaca (dan memahami ala kadarnya) kitab yang berbahasa arab, barulah ia
menyertai kelompok yang langsung mengaji pada kyai pesantren tersebut. Kemajuan
santri bergantung pada ketekunan dan
kerajian dari santri yang bersangkutan. Untuk dapat memperoleh hasil yang
memadai seorang santri belajar sepuluh sampai lima belas tahun lamanya.
Ketekunan sangat dibutuhkan santri dalam menempuh
masa-masa belajar di pesantren secara tradisonal, namun tidak dapt diabaikan
keahlian kyai yang bersangkutan dalam bidang fiqih, hadist, tafsir dan
sebagainya dalam membentuk pengetahuan atau keahlian si murid. Keahlian kyai
inilah yang menyebabkan santri-santri secara serius pergi pindah-pindah
pesantren dari yang satu ke pesantren lainnyaagar dapat memperdalam ilmu mereka
dengan petunjuk kyai-kyai ahli tersebut. [29]
Pesantren Pada Masa Kemerdekaan
Pada masa pergerakan dan persiapan kemerdekaan pesantren berperan sebagai pusat perjuangan
atau gerilyawan seperti Hizbullah dan Sabilillah. Pada masa-masa awal
pembentukan Tentara Nasional Indonesia khususnya Angkatan Darat, banyak berasal
dari santri dan sedikitnya diwarnai oleh kultur santri. Banyak dari para Kyai
dan pengasuh pesantren menjadi pemimpin diplomasi yang cukup piawai untuk
menegakkan kemerdekaan Indonesia melalui penyusunan dasar-dasar institusi
negara.
Setelah Indonesia merdeka dari pemerintahan Belanda dan
Jepang, maka pemimpin-pemimpin Indonesia memulihkan kembali dan berusaha
mengembangkan pendidikan di Indonesia sesuai dengan kebudayaan asli bangsa
Indonesia. Pondok Pesantren pada masa penjajahan mendapat kebebasan dalam
mengembangkan misinya dan mulai banyak bermunculan pesantren-pesantren baru
pasca Kemerdekaan. Pondok Pesantren yang merupakan lembaga Non formal mulai
mengadakan perubahan-perubahan guna menghasilkan generasi-gernerasi yang tangguh,
generasi yang berpengetahuan luas, diantaranya dengan memasukkan mata pelajaran
non agama di pesantren-pesantren, juga sebagian ada yang memasukkan bahasa
asing ke dalam kurikulum wajib pondok pesantren. Pondok pesantren juga mulai
mengembangkan sayapnya dengan memakai system klasikal dalam pengajaran,
mendirikan madrasah-madrasah, sekolah-sekolah umum hingga perguruan tinggi.[30]
Pondok pesantren tidak menutup diri dari masukan-masukan
yang bersifat membangun dan tidak menyimpang dari ajaran agama Islam. Sampai
sekarang penafsiran tenatng pondok Pesantren sudah mengalami perubahan, dari
penilaian terhadap pondok yang kolot, tradisional dan bangunannya yang sempit,
dan berada di pedesaan menjadi lain.
Pada masa kemerdekaan, pesantren merasakan suasana baru.
Kemerdekaan merupakan momentum bagi seluruh system pendidikan untuk berkembang
lebih bebas, terbuka dan demokratis. Rakyat menyambut munculnya era pendidikan
baru yang belum dirasakan sebelumnya akibat tekanan-tekanan politik penjajah.
Mereka mendorong anak-anak usia sekolah agar menempuh pendidikan. Sedang
pemerintah membuka saluran-saluran pendidikan yang pernah tersumbat pada masa
penjajahan Belanda dan Jepang menguasai Indonesia. Lembaga tingkat pendidikan
tingkat SD,SLP,SLA milik pemerintah mulai bermunculan.[31]
Proses pendidikan berjalan dengan harmonis dan kondusif
dengan tidak mengecualikan adanya berbagai kekurangan. Keinginan berbagai pihak
dapat dipertemukan. Belenggu pendidikan pada masa penjajahan dapat di bongkat
setelah masa proklamasi. Namun keadaan tersebut justru menjadi pukulan balik
bagi pesantren meskipun madrasah-madrasah banyak diminati pelajar-pelajar.
Djumhur dan Dana Suparta mengisahkan bahwa lahirnya proklamasi memberikan corak
baru bagi pendidikan Agama.pesantren-pesantren tidak banyak lagi menjalankan
tugasnya, sedangkan madrasah berkembang sangat pesat.[32]
Kurun ini merupakan musibah paling dahsyat yang mengancam
kehidupan dan keberlangsungan pesantren. Hanya pesantren-pesantren besar yang
mampu mengadakan penyesuaian dengan sistem pendidikan nasional sehingga musibah
itu dapat diredam. Maka pesantren-pesantren besar dapat bertahan hidup,
selanjutnya mempengaruhi bentuk dan membangkitkan pesantren-pesantren kecil
yang mati, yang klimaksnya terjadi pada tahun 1950-an. Akhirnya pendidikan yang
menjadi andalan Islam Tradisional ini pulih kembali.
Pada masa kemerdekaan sudah mulai terjadi penjenjangan
kelas. Ada kelas ibtidaiyyah (ula), ada kelas wusta, dan ada
kelas ulya. Mata pelajaran di pesantren meliputi: Al-Qur’an, Tafsir,
Hadith, ‘Aqidah, Fiqh, Akhlaq, Bahasa Arab, Tarikh. Ahdaf adalah
pemberian mata pelajaran pada masing-masing jenjang pendidikan (ula, wusta,
‘ulya) sesuai dengan keperluan dan kebutuhan santri dalam kehidupan
sehari-hari, baik sebagai pribadi, sebagai anggota komunitas, maupun sebagai
imam dalam komunitasnya. Maqasid adalah tujuan pokok pesantren yaitu
untuk mencetak Muslim yang tafaqquh fi al-din. Sedangkan Ghayah adalah
tujuan akhir yaitu mencapai ridla Allah. Ketiga, penyebaran ilmu melalui
amr al-ma’ruf wa al-nahy al-munkar dengan mencetak para da’i dan
partisipasi dalam pemberdayaan masyarakat.[33]
Berdasarkan rumusan tujuan pendidikan pesantren,
pesantren menyelenggarakan proses pembelajaran; kurukulum (materi), metode,
media dan evaluasi yang tersistem dalam keseluruhan aspek pendidikannya. Materi
pengajaran di pesantren tradisional sejak dulu didominasi oleh kitab-kitab karangan
ulama-ulama pengikut al-Syafi’i (Shafi’iyyah) dalam bidang fiqh. Metode
pembelajaran pesantren tradisional adalah wetonan dan sorogan.
Metode weton ini merupakan metode kuliah, dimana para santri mengikuti
pelajaran dengan duduk di sekeliling kiai yang menerangkan pelajaran secara
kuliah, santri menyimak kitab masing-masing dan membuat catatan pada pinggir
kitab.[34]
Pesantren Pada Masa Orde Baru
Kehidupan pesantren relative
normal era orde baru. Naumn pada
tahun 1970-an bersamaan dengan suburnya
sekulerisasi musibah tersebut mengguncang pesantren lagi. Jadi secara umum pada
masa orde konstitusional pesantren dapat hidup dan berkembang dengan baik dengan
berbagai variannya. Keadaan ini di sokong oleh
strategi pergeseran dakwah dari pendekatan idiologis kea rah pendekatan
kultural.[35]
Pada abad ke-20, pesantren mampu mereposisi diri kearah
sistem pendidikan yang berorientasi ke arah masa depan dengan tanpa
menghilangkan tradisi-tradisi yang baik, dengan berpedoman kepada prinsip “al-muhafadzah
ala al-qadim ash-shalih wa al-akhdu bi al-jadid al-ashlah”.[36]
Sejak tahun 1970-an, Pesantren mulai mengidentifikasi kelemahan dan kekurangan
dengan berusaha mengadaptasi dan mengakomodasi perubahan-perubahan khususnya di
bidang pendidikan, perubahan pendidikan khususnya masalah pendidikan meliputi
orientasi pendidikan serta aspek-aspek administrasinya, diferensiasi struktural
dan ekspansi kapasitas bahkan transformasi kelulusan yang berkenaan dengan
nilai, sikap, dan perilakunya.
Masuknya Pesantren dalam system pendidikan modern telah
melahirkan problem cukup ruwet yang berdampak langsung atau tidak langsung.
Penerimaan pesantren terhadap pendidikan modern dalam bentuk sekolah telah
memberikan peluang bagi ikut campurnya Negara dalam dunia pesantren. Dominasi
Negara yang begitu kuat membuat nilai-nilai pesantren selama ini mengalami
pemudaran. Pendidikan pesantren yang berorientasi nilai mengalami perubahan
menjadi pendidikan Negara dengan capaian yang bersifat formalistik. Akibatnya,
selain ketergantungan kepada Negara menjadi tidak terelakkan, hal itu membuat
membuat pendidikan pesantren mulai berorientasi pada ijazah. [37]
Pada dekade 1970-an orde baru mengeluarkan dua kebijakan
yaitu pengangkatan guru SD besar-besaran dan pembangunan gedung-gedung sekolah
inpres. Pada tahun 1973 pemerintah orde baru telah berhasil membangun 150.595
unit SD baru di seluruh Indonesia. Pembangunan dilakukan untuk menjawab
kebutuhan masyarakat untuk bersekolah.
Pendirian SD secara membabi buta tanpa melihat kondisi lokal telah
menciptakan ketegangan dengan pemimpin-pemimpin lokal.[38]
Di Madura Misalkan ketegangan antara pemerintah dan ulama
yang telah lebih dahulu mendirikan di Sekolah di lingkungan pondok pesantren
itu berlangsung lama sepanjang orde baru. Akibatnya banyak SD inpres di Madura
yang jumlah muridnya sedikit, tidak sepadan dengan jumlah gedung yang di
dirikan. Karena masyarkat memilih bersekolah di sekolah yang di dirikan oleh
tokoh agama (kyai). Bagi mereka bersekolah di lingkungan di Pondok Pesantren
akan mendapat dua keuntungan yaitu
pengetahuan umum dan pengetahuan agama yang dijadikan bekal di dunia dan
akherat.[39]
Model dan kurikulum pada masa orde baru sudah mulai
terstruktur dengan baik. Berbagai corak metodologi di kembangkan oleh
masing-masing pesantren. Sebagaimana halnya kurikulum, proses pembelajaran
madrasah atau sekolah yang di selenggarakan oleh pondok pesantren juga
menggunakan metode pembelajaran yang sama dengan metode pembelajaran di
madrasah atau sekolah lain, di luar pondok pesantren. Metode pembelajaran yang
di gunakan di lembaga pendidikan formal lain yang di selenggarakan oleh pondok
pesantren, selain madrasah dan sekolah, pada umumnya mengikuti metode yang berkembang
di madrasah atau sekolah.
Proses pembelajaran di pondok
pesantren salafiyah ada yang menggunakan metode yang bersifat tradisional,
yaitu metode pembelajaran yang di selenggarakan menurut kebiasaan yang telah
lama dilaksanakan pada pesantren atau dapat juga disebut sebagai metode
pembelajan asli (original) pondok pesantren. Disamping itu ada pula yang
menggunakan metode pembelajaran modern (tajdid). Metode pembelajaran
modern merupakan metode pembelajaran hasil pembaharuan kalangan pondok
pesantren dengan memasukkan metode yang berkembang pada masyarakat modern,
walaupun tidak selalu diikuti dengan menerapkan sistem modern, yaitu sistem
sekolah atau madrasah.[40]
Pola Pembelajaran di Pesantren
Berbicara pola pembelajaran di Pesantren, model
pembelajarannya belum banyak mengalami perubahan dari masa penjajahan sampai
masa awal orde baru.
Awal
pendirian Pesantren adalah untuk mencetak muslim agar memiliki dan menguasai
ilmu-ilmu agama (Tafaqquh fi ad-din) secara mendalam dan menghayati
serta mengamalkan dengan ikhlas semata-mata ditujukan untuk pengabdian kepada
Allah. Guna mencapai tujuan tersebut pesantren mengajarkan Al Qur’an, tafsir
dan ilmu tafsir, hadist beserta ilmu hadist, fiqih dan usul fikih, tauhid dan
tarikh, akhlak dan tasawuf, nahwu, sharaf serta ilmu mantiq kepada para santri.[41]
Penyelenggaraan kegiatan pendidikan dan pengajaran
dikalangan pesantren masih menggunakan kitab-kitab wajib (Qutub Al
Muqorroroh) yang dikenal dengan nama kitab kuning sebagai buku
teksutamanya. Pola pembelajaran yang dialakukan menggunakan Gramatical
Translation Approach (Pendekatan terjemah menurut tata bahasa)[42]
artinya pembelajaran dengan menggunakan
sistem baca terjemahan dengan memperhatikan kedudukan tiap kata dalam
struktur kalimat yang bertuliskan teks arab gundul (huruf arab yang belum ada
syakl/harakatnya).
Kitab kuning yang menjadi rujukan utama
dikelompokkan berdasarkan pertimbangan tingkat kemudahan dan kesulitan dalam
mempelajarinya ke dalam tiga tingkatan. “Kitab Kecil” atau kitab-kitab dasar,
“Kitab sedang” atau kitab tingkat menengah, dan “Kitab Besar” atau kitab untuk
tingkat tinggi. Kitab kecil di peruntukkan bagi pemula yang meliputi kitab
tafsir, fiqh, tauhid, ushul fiqh, akhlak, nahwu, sharaf dan lainnya.[43]
Seorang santri tidak akan berpindah kepada kitab
lain yang sejenis bidangnya sebelum menamatkan kitab tersebut. Dengan demikian
prinsip utama pola pemebelajaran pesantren adalah prinsip pembelajaran tuntas (Mastery
Learning).[44]
Sedangkan penjenjangan materi di sesuaikan dengan tingkat kesulitan. Ada
kitab yang di sesuaikan untuk tingkat pemula (Awwaliyah). Ada kitab yang
di peruntukkan untuk tingkat menengah (wustha) dan ada kitab yang diperuntukkan
untuk tingkat tinggi (‘Aly).
Catatan yang cukup menarik dalam system pesantren
adalah : Pertama, perpindahan dari satu tingkat ke tingkat lain yakni
dari awwaliyah ke wustha, dari wustha ke ‘Aly pada
dasarnya terbuka luas. Sepenuhnya di serahkan kepada santri, atau secara
negatif tidak terkontrol. Kedua, para kyai umumnya menjalankan sistem “Ijazah”
atau izin kepada santrinya untuk mengajarkan ilmu yang diperolehnya kepada
orang lain. Dalam konteks ini, sebenarnya system ini merupakan penerapan
belajar tuntas (Mastery Learning) dalam pengertian diharapkan seorang
santri menyelesaikan dulu secara tuntas sebuah kitab sebelum pindah ke kitab
lainnya. Ketiga, pembelajaran di Pesantren selalu menjaga keterkaitan
antar mata pelajaran yang satu dengan yang lain. Misalkan apa yang di ajarkan
dalam ilmu fiqih tidak dilepaskan dari hubungannya dengan akhlak atau dengan
aqidah.
Analisa Kesejarahan Pesantren
- Kekutan dan kelemahan Pesantren
Dalam bukunya,
Abdul Munir Mulkhan menuliskan bahwa selama beberapa kurun waktu – sejak
kemerdekaan Indonesia (1945), identitas santri masih memberi kesan budaya
agraris dan pola hidup pedesaan . Namun masih menurutnya, pada era
reformasi pasca orde baru – pada puncaknya saat Abdurrahman Wahid
(Gus dur) naik menjadi presiden RI ke-4 – menjadi gerbong besar yang membawa
kaum santri (pesantren) ke pusat peradaban yang tak dikenal dalam doktrin
sosial dan politik Islam konvensional.
Menjawab
tantangan globalisasi-modernisasi, banyak pesantren telah menyesuaikan
kebutuhan zaman. Tujuannya adalah agar mereka tetap muttafaqun
bil zaman wal makan (suvive/eksis di semua zaman dan tempat). Model
penyesuaian itu bisa dalam arti kurukulum dan fasilitas-fasilitas yang
diberikan. Seperti ada beberapa pondok yang menggunakan empat bahasa
dalam rutinitas sehari-hari. Bahasa Jawa, Indonesia, Arab dan Inggris. Ini
tentu telah melampui model RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional) yang
saat ini sedang ramai diperbincangkan.
Begitu pula,
saat ramai-ramainya dunia pendidikan nasional sedang mengkampanyekan Kurikulum
Berbasis Kompetensi (KBK). Jauh sebelum itu beberapa pesantren sudah menerapkan poin penting dari sistem atau
kurikulum pendidikan tersebut.Meskipun tidak dengan istilah akademik.
Misalnya ada metode pengajaran yang disebut dengan istilah ‘sorogan’. Yakni
sistem pengajaran dimana santri dituntut untut mencari arti dan memahami sendiri
sebuah kitab kuning. Selanjutnya santri membaca dan menginterpretasikan
pemahamannya di hadapan sang kyai. Selain itu pula, santri juga diajarkan punya
kecerdasan psikomotorik. Ajaran moralitas sangat dominan disana.
Saat ini problematika pesantren
adalah menjawab tantangan zaman. Melihat potensi pesantren sebagai modal
sosial pembangunan masyarakat dan bangsa. Pesantren punya tantangan
dalam bentuk planing-strategy sehingga dapat menempatkan
santri menjadi pribadi yang siap terjun dan bersaing dalam arus globalisasi dan
modernisasi. Banyak hal yang bisa dilakukan oleh pesantren. Pertama, membangun
(lebih tepatnya menggunakan kata ‘meningkatkan’) kekuatan mental/karakter para
santri dalam pusaran pasar global yang segala macam ideologi saling
berkompetisi. Dengan kokohnya karakter yang diintegrasikan dalam diri
santri itu maka karakter kultur pesantren akan tetap terjaga beserta
nilai-nilai local wisdom yang dimiliki.
Kedua, membangun
mental kemandirian (enterpreneurship) santri. Seperti dengan memasukkan
kurikulum materi enterpreneur, atau melalui pelatihan-pelatihan, workshop dan
lain sebagainya. Model seperti ini sekarang sudah banyak dipraktekkan oleh
beberapa pesantren. Ketiga, meningkatkan pembinaan life
skill dan profesionalitas, khususnya dalam tata mangemen bagi
santri-santri. Karena kemampuan tersebut sangat penting dalam dunia kerja saat
ini. Sehingga ketika terjun ke masyarakat, maka santri langsung bisa
menyesuaikan dengan dunia usaha dan tidak mengalami kegagapan. Selain ketiga
hal diatas, yang mungkin yang urgen lagi adalah membangun kesusastraan kaum
santri. Yakni dunia tulis menulis. Kesusastraan itu penting karena mengandung
spirit dokumentasi ide/gagasan dan aktualisasi nilai.
Keempat hal
tersebut dan ditunjang dengan basis releguitas tentu akan menjadi potensi lebih
kaum santri, khususnya sebagai modal sosial pembangunan masayarakat. Keunggulan
pesantren dibanding lembaga pendidikan manapun adalah tentang ajaran/pendidikan
moralitas. Di pesantren ada penggemblengan karakter pendidikan
dengan menggabungkan tiga unsur kecerdasan; Emotional Spiritual Question (ESQ),
Emotional Question (EQ) dan Intelektual Question (IQ). Dengan demikian
pesantren merupakan konten lokal dan bagian yang integral sebagai unsur penting
membangun daerah, dan dalam arti luas membangun bangsa dan negara Indonesia.
Melihat perjalanan sejarah
pesantren, ada beberapa kelebihan yang di miliki oleh lembaga Pesantren. Di
antara ke lemahan tersebut yaitu pertama, Kemampuan pesantren dalam menciptakan
sikap hidup universal yang merata, dengan dilandasi oleh tata nilai
religiusitas tinggi yang terlepas dari acuan-acuan subkultural yang ada
dalam susunan kehidupan diluar pesantren. Kedua,
Kemampuan memelihara subkulturnya hingga
terus teraplikasikan dalam segala aspek kehidupan di sepanjang perjalanan.
Di sisi lain pesantren dalam sejarah
perkembangannya juga tidak luput dari beberapa kekeurangan untuk sebagai bahan
refleksi untuk menata kembali lembaga ini. Di antara kekurangan tersebut antara
lain, pertama, Tidak adanya perancangan
terperinci dan rasional atas jalannya pendidikan, kalaupun ada hanya sangat
terbatas, tidak meliputi hubungan antara berbagai sistem pendidikan yang akan
dikembangkan dengan jenjangnya masing-masing. Kedua,
Tidak adanya keharusan membuat
kurikulum dalam susunan yang lebih mudah di cerna dan dikuasai oleh santri.
Ketiga,
Tidak mempunyai standard khusus yang
membedakan antara hal-hal yang diperlukan dalam pendidikan dan yang tidak
diperlukan. Pedoman yang digunakan adalah mengajarkan penerapan hokum syara’
dalam kehidupan sehari-hari dengan mengabaikan nilai-nilai pendidikan,
akibatnya tidak ada filsafat pendidikan yang jelas dan lengkap.
- Relevansi Pesantren, pengembangan
Pendidikan Masa kini
Tuntutan relevansi pendidikan pesantren dengan realitas zaman memaksa
tokoh-tokoh pesantren, utamanya dari kalangan mudarnis, melakukan study banding
terhadap sistem budaya pesantren dengan budaya kontemporer. Tetapi fisi yang
mereka gunakan kadang kurang sesuai dengan tradisi pesantren. Secara keilmuan
pesantren dikaji dari sudut pandang kultur-empiris-realistik, sementara budaya
pesantren bersifat kultur-historis-konfensional. Bila perbedaan fisi seperti
ini di gunakan untuk menganalisa kecendrungan-kecendrungan di pesantren akan
menghasilkan antitesis, bukan sintesis.
Dewasa ini muncul usaha pembaruan sistem pendidikan pesantren
dengan membuka lembaga-lembaga pendidikan formal, mulai dari tingkat dasar
(MI/SD Islam), tingkat menengah (MTs./SMP Islam dan MA/SMA Islam), sampai ke
PTAI dan universitas Islam. Ciri khas pesantren yang mandiri dan otonom dengan
kyai sebagai pusat orientasi, menjadikan pesantren tetap eksis dan bahkan
dilirik sebagai sistem pendidikan alternatif. Kunci kemandirian dan kekokohan
pesantren ada pada kyai. Jika kyai pesantren cukup “kuat,” maka pesantren itu
akan maju. Di Jawa Timur, misalnya, Pondok Pesantren Modern Gontor, Ponorogo;
Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan, Sumenep; Pondok Pesantren
Salafiyah-Syafi’iyah Asem Bagus, Situbondo; Pondok Pesantren Sidogiri,
Pasuruan; Pondok Pesantren Karang Asem Paciran, Lamongan (disebut-sebut sebagai
pondok pesantren yang berafiliasi ke Muhammadiyah); dan masih banyak lagi yang
tengah mengalami kemajuan dan kemasyhuran.
Bisa dibayangkan bahwa pesantren yang dikonotasikan sebagai
pendidikan tradisional tetap kokoh di tengah pergulatan sistem dan model
pendidikan yang kian menarik. Tidak saja itu, pesantren adalah satu-satunya
institusi yang berhasil melakukan transmisi Islam dan bahkan bagi kemajuan
bangsa Indonesia ini. Sebab kemuliaan pesantren terletak pada bukan semata
orientasi materi tetapi keberadaannya lebih diorientasikan kepada pengkayaan
ilmu dan keluhuran budi.
- Dinamika Pesantren
Menurut Imam Suprayogo, pada awalnya perkembangan pesantren adalah
sederhana. Tetapi karena semangat dan sistem pembelajaran yang dikembangkan
berorientasi kepada basis masyarakat (community based education) maka
lama-kelamaan beberapa di antaranya menjadi besar. Jumlah santri yang belajar
menjadi bertambah banyak, lembaga pendidikan yang dikelola disebut pondok pesantren,
dan pemegang kepemimpinan lembaga itu disebut kyai. Lembaga pendidikan pondok
pesantren selalu dilengkapi dengan masjid (mushalla) dan rumah kyai. Para
santri belajar agama dengan hidup dan bergaul bersama kyai. Oleh karena itu
para pemerhati pondok pesantren mengidentifikasi pesantren dengan beberapa
karakteristik bahwa di dalam pesantren terdapat rumah kyai, masjid, dan
pemondokan santri. Para santri belajar mengaji dan mengamalkan apa saja yang
dilakukan kyai. Hubungan santri dan kyai menyerupai hubungan bapak dan anak.
Kyai tidak saja mengajarkan ilmu pengetahuan agama, tetapi juga membimbing,
memberi contoh atau memberikan teladan, dan “mendoakan” para santrinya.
Hubungan mereka menyeruak ke berbagai aspek kehidupan, baik aspek rasional,
emosional, maupun spiritual secara mendalam. Kyai memberlakukan para santrinya
seperti anak-anak mereka sendiri dengan membagi rasa kasih sayang dan
menjadikan dirinya sebagai panutan ideal santri.
Ilustrasi di atas di kemukakan
untuk membandingkan pondok pesantren dengan lembaga pendidikan modern pada
umumnya, berupa sekolah atau universitas. Di sekolah dan universitas, pribadi
guru dan dosen harus melebur menjadi kekuatan institusi. Melalui kerangka
konseptual demikian, para murid dan mahasiswa belajar ke lembaga atau
institusi, dan bukan kepada pribadi-pribadi. Oleh karena itu, bila di pesantren
kyai adalah sentral dan simbol kekuatan yang kokoh, maka di lembaga pendidikan
modern (sekolah dan universitas) kekuatan utamanya adalah pada insitusinya.
Mengikuti perkembangan zaman akhir-akhir ini pesantren telah membuka
diri. Jika dahulu pesantren hanya sebagai tempat mengaji ilmu agama melalui
sistem sorogan, wetonan, dan bandongan, maka saat ini telah membuka pendikan
sistem klasikal dan bahkan program baru yang berwajah modern dan formal seperti
madrasah, sekolah, dan bahkan universitas. Sekalipun pendidikan modern telah
masuk ke pesantren, akan tetapi tidak boleh menggeser tradisinya, yakni gaya
kepesantrenan. Sebaliknya, kehadiran lembaga pendidikan formal ke dalam
pesantren dimaksudkan untuk memperkokoh tradisi yang sudah ada, yaitu
pendidikan model pesantren. Adaptasi adalah sebentuk keniscayaan tanpa
menghilangkan ciri khas yang dimiliki pesantren.
Dalam tahap perkembangan yang mutakhir maka pesantren mencoba merespon
dengan modernitas di kalangan pesantren. Adapun modernitas pesantren di
sebabkan beberapa factor yaitu, Pertama, munculnya
wancana penolakan taqlid dengan “kembali kepada Al-Qur’an dan
sunah” sebagai isu sentral yang mulai di tadaruskan sejak tahun 1900 Maka sejak
saat itu perdebatan antara kaum tua dengan kaum muda, atau kalangan reformis
dengan kalangan ortodoks/konservatif, mulai mengemukan sebagai wancana public. Kedua:
kian mengemukannya wacana perlawanan nasional atas kolonialisme belanda. Ketiga,
terbitnya kesadaran kalangan Muslim untuk memperbaharui organisasi keislaman
mereka yang berkonsentrasi dalam aspek sosial ekonomi. Keempat, dorongan
kaum Muslim untuk memperbaharui sistem pendidikan Islam
- Implikasi Pesantren terhadap
perkembangan Intelektual Kultural
Pesantren
sebagai lembaga pendidikan Islam dikatakan dalam historisnya sudah ada sejak
tahun 1630 M. Hingga saat ini pesantren tetap eksis dan survive.
Perkembangan pesantren tidak hanya sebatas sumbangsihnya dalam bidang
pendidikan. Lebih dari itu, pesantren juga punya andil besar dalam pergerakan
nasional hingga sampai berdirinya Indonesia sebagai bangsa dan negara.
Pesantren sebagai lembaga pendidikan bersatu dengan masyarakat ikut melawan dan
mengusir penjajah. Ada bukti seperti munculnya Resolusi Jihad pada tanggal 22
Oktober 1945 yang membakar semangat kaum santri mempertahankan kemerdekaan
Indonesia. Selain itu pula berdiri pasukan Hizbulloh, Sabilillah, dan Barisan
Mujahidin. Ketiga pasukan yang didominasi kaum santri ini melawan dan mengusir
penjajah demi mewujudkan Negara Kesatuan republik Indonesia.
Tak sedikit
tokoh-tokoh baik tokoh ulama, tokoh politik dan pejuang kemerdekaan lahir dari
kesederhanaan tradisi pesantren. Dan dari tokoh-tokoh inilah muncul pemikirian
dan karya–karya yang menjadi cikal bakal lahirnya perkembangan dunia modern di
Indonesia. Rasanya terlalu picik bagi kita memandang tradisi pesantren dengan
sebelah mata, tanpa memandang jasa-jasa pesantren. Justru tidak berlebihan bila
kita mengatakan bahwa tanpa peran dari dunia pesantren mungkin kita akan sulit
berkembang bahkan mungkin sulit untuk mendapatkan kemerdekaan. Negara-negara
kolonial penjajah seperti Belanda sudah menyadari dan memperhatikan sepak
terjang pesantren, mereka (kolonial penjajah) memahami betul bahwa pesantren
merupakan ancaman bagi kolonialisme. Maka dari itu mereka membatasi serta
mengawasi aktivitas pesantren dikala itu, sehingga pesantren seakan lumpuh dan
tertidur selama penjajahan berlangsung.
Sebagai institusi sosial, pesantren telah
memainkan peranan yang penting di Indonesia dan negara-negara lainnya yang
penduduknya banyak memeluk agama Islam.Pasca reformasi, eksistensi pesantren
makin progres. Banyak tokoh yang punya latar belakang pesantren, moncer menjadi
tokoh nasional dan mengawal perubahan bangsa. Sebut saja Nurcholis Madjid, Gus
Dur, Hasyim Muzadi, Din Syamsudin, Musthofa Bisri, Hidayat Nur wahid dan masih
banyak lagi. Oleh karenanya ketika terorisme santer dibicarakan dan
pesantren dianggap sebagai basisnya. Maka itu adalah kesimpulan prematur yang
timbul dari sebuah kepanikan sehingga menimbulkan saling kecurigaan dan
stikmatisasi negatif bagi pesantren.
Epilog ; Sebuah Refleksi
Pesantren sebagai lembaga pendidikan
yang mampu membentuk dan menyiapkan anak didik menjadi Muslim yang baik dan
mandiri. Paling tidak, secara implisit, bisa dipahami bahwa inilah harapan
pokok orang tua atau masyarakat muslim pada umumnya terhadap pesantren dewasa
ini. Apalagi berbagai gejolak dan persoalan dewasa ini semakin merisaukan orang
tua. Maka fungsi pesantren sebagai lembaga alternative menjadi pilihan orang
tua.
Tidak heran
jika suatu lembaga pendidikan Islam khususnya pesantren, ketika masa awal dirintis
oleh kyai pendiri terbukti sedemikian berhasil mencetak “tokoh-tokoh” besar, namun
setelah berkembang maju dan dikelola oleh ahli waris, ditambah masuknya sistem pendidikan
modern yang berorientasi pada formalistik berupa ijazah, pesantren tidak lagi mampu
mengukir prestasi seperti masa awal dulu.
Pesantren dalam hal tersebut di atas
perlu mengkaji ulang secara cermat dan hati-hati sebagai gagasan untuk
mengorientasikan pesantren pada tantangan kekinian. Pesantren harus menumbuhkan
apresiasi yang sepatutnya terhadap semua perkembangan yang terjadi di masa kini
dan mendatang, sehingga memproduksi (calon) ulama yang berwawasan luas. Dengan
demikian maka fungsi pokok pesantren justru semakin relevan di tengah arus
globalisasi nilai yang semakin mengencang. Maka, pesantren dalam hal ini
merupakan sebagai salah satu lembaga Islam yang berfungsi sebagai “Guardian
of Islamic Faith”.
Adapun problem yang sering dihadapi
pesantren di antaranya
adalah problem yang sering di jumpai
dalam praktek pendidikan di Pesantren, terutama yang masih bercorak salaf
adalah persoalan efektifitas metodologi pengajaran. Di sinilah perlunya
dilakukan penyelarasan tradisi dan modernitas di tengah dunia Pesantren. Dalam
hal ini, memang diperlukan adanya pembaharuan di pesantren, terutama mengenai
metodologi pengajarannya, namun pembaharuan ini tidak harus meninggalkan
praktek pengajaran lama (tradisional), karena memang di sinilah karakter khas
pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam di Indonesia. Justru yang diperlukan
adalah, adanya konfigurasi sistemik dan kultural antara metodologi tradisional
dan kultural antara metodologi tradisional dengan metodologi
konvensional-modern.
Daftar Referensi
‘Ala, Abd, Pembaruan Pesantren, (Jogjakarta ;
Pustaka Pesantren, kelompok LKis,2006)
Arif, Mahmud, Pendidikan Islam Transformatif,
(Jogjakarta: LKis, 2008)
Departemen Agama, Proyek Peningkatan Pondok
Pesantren, Pola Pembelajaran Di Pesantren, 2001
Departemen Agama, Pondok Pesantren dan Madrasah
Diniyah,Pertumbuhan dan Perkembangannya. (Jakarta: Dirjen Kelembagaan Islam
Indonesia,2003).
DJoened, Marwati, Sejarah Nasional Indonesia III
Zaman Pertumbuhan dan perkembangan Islam di Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka),
Team pengembang Kurikulum FIP-UPI, ilmu dan
aplikasi pendidikan Bandung : PT
Imtim, 2007
Fadjar, Malik, , Visi
Pembaharuan Pendidikan Islam Jakarta: LP3N,1998)
Hasbullah, Sejarah
Pendidikan Islam di Indonesia:Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan,
(Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,1999),
http://lirboyo.net, Sejarah dan Peran Pondok
Pesantren, di akses 16 Nopember 2012 jam 13.45 WIB
Mujamil Qomar, Pesantren dari
Transformasi Metodologi menuju Demokratisasi Institusi, (Jakarta; Penerbit
Erlangga, 2007)
Noer, Deliar, Gerakan Modern Islam di
Indonesia 1990-1942, Cet II,Jakarta; LP3ES, 1982
Soemarjan, Selo, Perubahan Sosial di Yogyakarta,
(Yogyakarta: Gajahmada Pers),
Solichin, Mohammad Muchlis, Kebertahanan
Pesantren Salaf di Tengah Arus Modernisasi Pendidikan : Fenomena Pondok
Pesantren Al Is’af Kalabaan, Guluk-Guluk Sumenep, IAIN Sunan Ampel 2011, (Disertasi tidak di
terbitkan)
Sasono, Adi, Didin Hafifuddin, AM
Saifudin dkk, Solusi Islam atas Problematika Umat (Ekonomi, Pendidikan dan
Dakwah), (Jakarta; Gema Insani Press, , 1998)
Yasmadi, Modernisasi Pesantren,.( Jakarta:
Ciputat Press, 2002),
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi
Pesantren, cet. 2, (Jakarta: LP3ES, 1994)
[2] Adi Sasono, Didin Hafifuddin, AM
Saifudin dkk, Solusi Islam atas Problematika Umat (Ekonomi, Pendidikan dan
Dakwah), (Jakarta; Gema Insani Press, , 1998), hal 106
[4] Adi Sasono, ibid hal 106
[8] Abdurrahman Wachid dalam Mujamil
Qomar, Pesantren dari Transformasi Metodologi menuju Demokratisasi Institusi,
(Jakarta; Penerbit Erlangga, 2007) hal 21
[9] Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia:Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan
Perkembangan, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,1999), hal 44
[10] Departemen Agama, Pondok Pesantren
dan Madrasah Diniyah,Pertumbuhan dan Perkembangannya. (Jakarta: Dirjen
Kelembagaan Islam Indonesia,2003).hal. 33-35
[12] Adi sasono dkk, Ibid hal
111
[13] Adi Sasono dkk, Ibid 111
[14] Zamakhsyari Dhofier, ibid
hal 41
[15] Zamakhsyari Dhofier, ibid
hal 41
[16] Misalkan surat Al Maidah ayat 51
;”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan
Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi
sebagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi
pemimpin, Maka Sesungguhnya orang itu Termasuk golongan mereka. Sesungguhnya
Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim”
[18] Adi Sasono, ibid hal 113
[20] http://lirboyo.net, Sejarah dan Peran Pondok
Pesantren, di akses 16 Nopember 2012 jam 13.45 WIB
[22]
Cara mengambil atau mengambil
dalil (berdalil)
[23] Mahmud arif, Pendidikan Islam
Transformatif, (Jogjakarta: LKis, 2008) hal 183
[24] Deliar Noer, Gerakan Modern
Islam di Indonesia 1990-1942, Cet II,Jakarta; LP3ES, 1982 hal 15
[25]
Sifat dua puluh itu yaitu Wujud,(Ada),Qidam Artinya "dahulu", Baqa, Artinya
"permanen".Mukhalafatuhu li al-hawadis, Artinya "berbeda
wujud Zat Allah Ta'ala dengan sekalian yang baru",Qiyâmuhu binafsihi,
Artinya "berdiri Allah dengan
sendirinya",Wahdâniyah, "Artinya "Esa Zat Allah dan
mungkin beberapa,Hayat, Artinya "Hidup",'Ilmu, Artinya
"tahu" atau mengetahui,Qudrat, Artinya "kuasa" dan
mungkin lemah,Iradat, Artinya "berkehendak" ,Sama ', Artinya
"mendengar",Bashar, Artinya "penglihatan",Kalam,
"Artinya "berkata-kata", Kaunuhu Haiyan, "Artinya
"Zat Allah tetap dalam kondisi Maha Hidup",Kaunuhu 'Aliman,
Artinya "Zat Allah tetap dalam
kondisi mengetahui, Kaunuhu Qâdiran. Artinya
"Zat Allah tetap dalam kondisi Mahakuasa, Kaunuhu Murîdan, "Artinya
"Zat Allah tetap dalam kondisi Maha
menghendaki, Kaunuhu Sami'an, "Artinya "Zat Allah senantiasa dalam kondisi Maha Mendengar,
Kaunuhu Basiran, Artinya "Zat Allah Ta'ala tetap dalam kondisi Maha
Melihat, Kaunuhu Mutakalliman," artinya "Zat Allah
tetap dalam kondisi Maha Bertutur Kata
[26] Proyek peningkatan Pondok Pesantren
Direktorat Jenderl Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Departemen Agama, 2001, Pola
penyelenggaraan Pesantren Kilat, Pendidikan singkat Ilmu-ilmu Agama Islam,
hal 2
[27] Hurgronje dalam Deliar Nur hal
16
[28] Seorang santri yang telah jauh
kajian keilmuannya pada kyai di Pesantren
[30] Adi Sasono, ibid hal 114
[31] Mujamil Qomar, ibid hal
13
[32] Djumhur dan Dana Suparta dalam
Mujamil Qomar, hal 14
[33] Mohammad Muchlis Solichin, Kebertahanan
Pesantren Salaf di Tengah Arus Modernisasi Pendidikan : Fenomena Pondok
Pesantren Al Is’af Kalabaan, Guluk-Guluk Sumenep, IAIN Sunan Ampel 2011, (Disertasi tidak di
terbitkan)
[33] Ibid
[35] ibid hal 14
[36]
Memelihara yang lama yang
baik dan mengambil yang baru yang lebih baik.
[38] Darmaningtyas, Pendidikan
yang Memiskinkan cet II, Yogyakarta ; Galang Press, 2004, hal 6
[39] Ibid hal 7
[41] Proyek Peningkatan Pondok
Pesantren, Departemen Agama, Pola Pembelajaran Di Pesantren, 2001, hal
20
[42] Ibid hal 21
[43] Ibid hal 23
[44] Bloom mengidentifikasikan adanya
lima variable yang yang sangat penting dalam program mastery learning
yaitu kualitas pembelajaran, kecakapan untuk memahami pelajaran,
ketekunan,waktu dan kecerdasan. Lihat ilmu dan aplikasi pendidikan oleh
team pengembang Kurikulum FIP-UPI,Bandung : PT Imtim, 2007, hal 186
Tidak ada komentar:
Posting Komentar