Jumat, 25 Januari 2013

Sejarah Pesantren


“Sejarah Pesantren;
Masa Penjajahan, Kemerdekaan dan Orde Baru”
Oleh Abd Qohin
Pendahuluan
Membahas pesantren pada dasarnya sama dengan membahas sejarah awal penyebaran Islam di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa dan Sumatra. Ditilik dari alur sejarahnya,  perkembangan Islam di Indonesia sangat erat kaitannya dengan peniruan kultur budaya Islam permulaan di Jazirah Arab, yaitu adanya interaksi antara kaum pedagang yang mengembara dengan masyarakat pribumi pesisir Nusantara.
Sebagai lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia, pesantren tetap saja menarik untuk dikaji dan ditelaah kembali. Pesantren adalah salah satu lembaga pendidikan Islam yang mempunyai kekhasan tersendiri serta berbeda dengan lembaga pendidikan lainnya. Ditinjau dari segi historisnya, pesantren merupakan bentuk lembaga pribumi tertua di Indonesia bahkan lebih tua lagi dari Republik ini. Pesantren sudah dikenal jauh sebelum Indonesia merdeka.
Sejak Islam masuk ke Indonesia, pesantren terus berkembang sesuai dengan perkembangan dunia pendidikan pada umumnya. Setidaknya ada dua pendapat mengenai latar belakang berdirinya pondok pesantren di Indonesia. Pertama, bahwa pondok pesantren berakar pada tradisi Islam itu sendiri. Kedua, sistem pendidikan model pondok pesantren adalah asli Indonesia.
Tidak bisa dipungkiri, sebagai komunitas dan lembaga pendidikan yang besar jumlahnya dan luas penyebarannya di berbagai pelosok tanah air, pesantren telah banyak memberikan kontribusi dalam membentuk manusia Indonesia yang religius. Lembaga tersebut telah melahirkan banyak guru bangsa di masa lalu, kini dan masa yang akan datang. Lulusan pesantren telah memberikan partisipasi aktif dalam pembangunan bangsa ini.
Pesantren secara historis telah mendokumentasikan berbagai peristiwa sejarah bangsa Indonesia. Sejak awal penyebaran agama Islam di Indonesia, pesantren merupakan saksi utama dan sarana penting bagi kegiatan Islamisasi tersebut. Perkembangan dan dan kemajuan masyarakat Islam Nusantara, tidak mungkin terpisahkan dari peranan yang dimainkan pesantren. Besarnya arti pesantren dalam perjalanan bangsa Indonesia yang harus dipertahankan.
Apalagi pesantren telah dianggap sebagai lembaga pendidikan yang mengakar kuat dari budaya asli bangsa Indonesia. Kehadiran pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam, kini semakin diminati oleh banyak kalangan, termasuk masyarakat kelas menengah atas. Hal ini membuktikan lembaga ini mampu memberikan solusi terhadap kebutuhan pendidikan anakanak mereka.[1] Untuk itulah pada makalah ini akan membahas pesantren dalam konteks sejarah dan perkembangannya yang meliputi pesantren pada masa penjajahan, masa kemerdekaan, dan pada masa orde baru.
Pondok Pesantren dalam Tinjauan Definitif
Sejarah pendidikan agama Islam yang independent, kemudian populer dengan jargon “Pesantren” sebenarnya merupakan sejarah tipologi Institusi Pendidikan Islam yang usianya sudah mencapai ratusan tahun, para ahli sejarah mencatat bahwa eksistensi pondok pesantren telah lahir jauh sebelum Republik Indonesia dibentuk. Hampir di seluruh penjuru Nusantara, terutama di pusat-pusat Kerajaan Islam telah banyak para ulama yang mendirikan pondok pesantren dan menelorkan ratusan bahkan ribuan alumni yang mumpuni di medan perjuangan masyarakat beragama.
Menurut pendapat para ilmuwan, istilah pondok pesantren adalah merupakan dua istilah yang mengandung satu arti. Orang Jawa menyebutnya “pondok” atau “pesantren”. Sering pula menyebut sebagai pondok pesantren. Istilah pondok barangkali berasal dari pengertian asrama-asrama para santri yang disebut pondok atau tempat tinggal yang terbuat dari bambu atau barangkali berasal dari bahasa Arab “funduq” artinya ruang tidur, wisma, hotel sederhana atau mengandung arti tempat tinggal yang terbuat dari bambu. [2]  atau dalam istilah modern di artikan sebagai asrama besar yang disediakan untuk persinggahan.
Menurut  etimologi pesantren  berasal dari kata santri yang mendapat awala pe- dan akhiran -an sehingga menjadi pe-santria-an yang bermakna kata “shastri” yang artinya murid. Yang berarti tempat tinggal para santri. Profesor Jahus berpendapat Istilah santri berasal dari bahasa tamil yang berarti guru mengaji. Sedang C.C. Berg. berpendapat bahwa istilah pesantren berasal dari kata shastri yang dalam bahasa India berarti orang yang tahu buku-buku suci agama Hindu, atau seorang sarjana ahli kitab-kitab suci agama Hindu. Kata shastri berasal dari kata shastra yang berarti buku-buku suci, buku-buku suci agama atau buku-buku tentang ilmu pengetahuan.[3] Kadang-kadang ikatan kata “sant”  manusia baik dihubungkan dengan suku kata “Tra” suka menolong, sehingga kata pesantren dapat di artikan menjadi “Tempat pendidikan manusia yang baik”.[4] Dari pengertian tersebut berarti antara pondok dan pesantren jelas merupakan dua kata yang identik (memiliki kesamaan arti), yakni asrama tempat santri atau tempat murid atau santri mengaji.
Sedangkan secara terminologi pengertian pondok pesantren dapat penulis kemukakan dari pendapatnya para ahli antara lain: M. Dawam Rahardjo memberikan pengertian pesantren sebagai sebuah lembaga pendidikan dan penyiaran agama Islam, itulah identitas pesantren pada awal perkembangannya. Sekarang setelah terjadi banyak perubahan di masyarakat, sebagai akibat pengaruhnya, definisi di atas tidak lagi memadai, walaupun pada intinya nanti pesantren tetap berada pada fungsinya yang asli, yang selalu dipelihara di tengah-tengah perubahan yang deras. Bahkan karena menyadari arus perubahan yang kerap kali tak terkendali itulah, pihak luar justru melihat keunikannya sebagai wilayah sosial yang mengandung kekuatan
resistensi terhadap dampak modernisasi.[5]
Dari uraian panjang lebar di atas dapat diambil kesimpulan bahwa pengertian pondok pesantren adalah suatu lembaga pendidikan dan keagamaan yang berusaha melestarikan, mengajarkan dan menyebarkan ajaran Islam serta melatih para santri untuk siap dan mampu mandiri. Atau dapat juga diambil pengertian dasarnya sebagai suatu tempat dimana para santri belajar pada seseorang kyai untuk memperdalam atau memperoleh ilmu, utamanya ilmu-ilmu agama yang diharapkan nantinya menjadi bekal bagi santri dalam menghadapi kehidupan di dunia maupun akhirat.
Unsur-Unsur  Pesantren
Ada beberapa aspek yang merupakan elemen dasar dari pesantren yang perlu dikaji lebih mendalam mengingat pesantren merupakan sub kultur dalam kehidupan masyarakat kita sebagai suatu bangsa. Walaupun pesantren dikatakan sebagai sub kultur, sebenarnya belum merata dimiliki oleh kalangan pesantren sendiri karena tidak semua aspek di pesantren berwatak sub kulturil. Bahkan aspek-aspek utamanya pun ada yang bertentangan dengan adanya batasan-batasnya biasaya diberikan kepada sebuah sub kultur. Namun di lain pihak beberapa aspek utama dari kehidupan pesantren yang dianggap mempunyai watak sub kultural ternyata hanya tinggal terdapat dalam rangka idealnya saja dan tidak didapati pada kenyataan, karena itu hanya kriteria paling minim yang dapat dikenakan pada kehidupan pesantren untuk dapat menganggapnya sebagai sebuah sub kultur. Kriteria itu diungkapkan oleh Abdurrahman Wachid sebagai berikut:
a.       Eksistensi pesantren sebagai sebuah lembaga kehidupan yang menyimpang dari pola kehidupan umum di negeri ini.
b.      Terdapatnya sejumlah penunjang yang menjadi tulang kehidupan pesantren.
c.       Berlangsungnya proses pembentukan tata nilai yang tersendiri dalam pesantren, lengkap dengan simbol-simbolnya.
d.      Adanya daya tarik keluar, sehingga memungkinkan masyarakat sekitar menganggap pesantren sebagai alternatif ideal bagi sikap hidup yang ada di masyarakat itu sendiri.
e.       Berkembangnya suatu proses pengaruh mempengaruhi dengan masyarakat di luarnya, yang akan berkulminasi pada pembentukan nilai-nilai baru yang secara universal diterima oleh kedua belah pihak.[6]
Dengan demikian dalam lembaga pendidikan Islam yang disebut pesantren sekurang-kurangnya ada unsur-unsur: kyai yang mengajar dan mendidik serta jadi panutan, santri yang belajar kepada kyai, masjid sebagai tempat penyelenggaraan pendidikan dan sholat jamaah, dan asrama tempat tinggal santri. Sementara itu menurut Zamakhsyari Dhofier ada lima elemen utama pesantren yaitu pondok, masjid, santri, kyai, dan pengajaran kitab-kitab klasik.[7] Elemen-elemen tersebut antara lain :
a.    Pondok atau asrama
Sebuah pesantren pada dasarnya merupakan sebuah asrama pendidikan Islam tradisional, dimana para santrinya tinggal bersama dan belajar dibawah pimpinan dan bimbingan seorang kyai. Asrama tersebut berada dalam lingkungan kompleks pesantren dimana kyai menetap. Pada pesantren terdahulu pada umumnya seluruh komplek adalah milik kyai, tetapi dewasa ini kebanyakan pesantren tidak semata-mata dianggap milik kyai saja, melainkan milik masyarakat. Ini disebabkan karena kyai sekarang memperoleh sumber-sumber untuk mengongkosi pembiayaan dan perkembangan pesantren dari masyarakat. Walaupun demikian kyai tetap mempunyai kekuasaan mutlak atas dasar pengurusan kompleks pesantren tersebut.
Pondok bagi para santri merupakan ciri khas yang khusus dari tradisi pesantren yang membedakannya dengan sistem pendidikan tradisional di masjid-masjid yang berkembang di kebanyakan wilayah Islam di negaranegara lain. Pondok sebagai tempat latihan bagi para santri agar mampu hidup mandiri dalam masyarakat.
b.    Masjid
Masjid berasal dari bahasa Arab “sajada-yasjudu-sujuuan” dari kata dasar itu kemudian dimasdarkan menjadi “masjidan” yang berarti tempat sujud atau setiap ruangan yang digunakan untuk beribadah.
Menurut Abdurrahman Wachid posisi masjid memiliki makna tersendiri. Masjid sebagai tempat untuk mendidik dan menggembleng santri agar terlepas dari hawa nafsu, berada di tengah-tengah komplek Pesantren adalah mengikuti model wayang. Di tengah-tengah ada gunungan.[8] Hal ini sebagai indikasi bahwa nilai-nilai cultural masyarakat setempat dipertimbangkan untuk dilestarikan oleh pesantren.juga bisa berarti tempat shalat berjamaah. Fungsi masjid dalam pesantren bukan hanya sebagai tempat untuk shalat saja, melainkan sebagai pusat pemikiran segala kepentingan santri termasuk pendidikan dan pengajaran.
Masjid merupakan elemen yang tidak dapat dipisahkan dengan pesantren dan dianggap sebagai tempat yang paling tepat untuk mendidik para santri terutama dalam praktek shalat, khutbah dan pengajaran kitab-kitab klasik (kuning). Pada sebagain pesantren masjid juga berfungsi sebagai tempat i’tikaf, melaksanakan latihan-latihan (riyadhah) atau suluh dan dzikir maupun amalan-amalan lainnya dalam kehidupan thariqat dan sufi.
c.    Santri
Adanya santri merupakan unsur penting, sebab tidak mungkin dapat berlangsung kehidupan pesantren tanpa adanya santri. Seorang alim tidak dapat disebut dengan kyai jika tidak memiliki santri. Biasanya terdapat dua jenis santri, yaitu:
1)        Santri mukim, yaitu santri yang datang dari jauh dan menetap di lingkungan pesantren. Santri mukim yang paling lama biasanya diberi tanggung jawab untuk mengurusi kepentingan pesantren sehari-hari dan membantu kyai untuk mengajar santri-santri muda tentang kitab-kitab dasar dan menengah.
2)        Santri Kalong, yaitu santri-santri berasal dari desa sekitar pesantren dan tidak menetap di pesantren, mereka mengikuti pelajaran dengan berangkat dari rumahnya dan pulang ke rumahnya masing-masing sesuai pelajaran yang diberikan.
d.   Kyai
Kyai merupakan elemen yang paling esensial dari suatu pesantren. Biasanya kyai itulah sebagai pendiri pesantren sehingga pertumbuhan pesantren tergantung pada kemampuan kyai sendiri. Peran penting kyai dalam pendirian, pertumbuhan, perkembangan dan pengurusan sebuah pesantren berarti dia merupakan unsur yang paling esensial. Sebagai pemimpin pesantren, watak dan keberhasilan pesantren banyak bergantung pada keahlian dan kedalaman ilmu, karismatik dan wibawa, serta ketrampilan kyai. Dalam konteks ini, pribadi kyai sangat menentukan sebab dia adalah tokoh sentral dalam pesantren [9]
e.    Pengajaran Kitab-kitab Klasik
Kitab kuning sebetulnya merupakan ciri penting yang tidak dapat dibuang dari pesantren, setidaknyahingga hari ini. Seseorang disebut kyai antara lain karena ia dianggap menguasai keilmuan keislaman yang berhubungan erat dengan kitab kuning. Sistem pengajian pesantren yang diselenggarakan di masjid juga cocok karena yang diaji adalah kitabkuning. Pendek kata, masjid, kyai, santri dan pondok yang merupakan elemen penting pondok pesantren, tidak dapat dipisahkan dari kitab kuning.
Menurut keyakinan yang berkembang di pesantren dipelajari kitab-kitab kuning yang merupakan jalan untuk memahami keseluruh ilmu agama Islam. Dalam pesantren masih terhadap keyakinan yang kokoh bahwa ajaran-ajaran yang terkandung dalam kitab kuning tetap merupakan pedoman dan kehidupan yang sah dan relevan. Sah artinya bahwa ajaran itu bersumber pada kitab Allah (Al-Qur’an) dan Sunnah Rasul (Hadits). Relevan artinya bahwa ajaran itu masih tetap mempunyai kesesuaian dan berguna untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat kelak.
Keseluruhan kitab klasik yang diajarkan di pesantren dapat digolongkan menjadi delapan kelompok yaitu :
  1. Nahwu (syntax) dan Shorof (morfologi), misalnya kitab Jurumiyah, Imrithy, Alfiyah dan Ibu Aqil.
  2. Figh (tentang hukum-hukum agama atau Syari’ah), misalnya kitab Fathul Qorib, Sulam Taufiq, Al Ummu dan Bidayatul Mujtahid.
  3. Usul Figh (tentang pertimbagnan penetapan hukum Islam atau Syari’at), misalnya Mabadi’ul Awaliyah.
  4. Hadits, misalnya Bulughul Maram, Shahih Bukhori, Shahih Muslim dan sebagainya.
  5.  Aqidah atau Tauhid atau Ushuludin (tentang pokok-pokok keimanan), misalnya Aqidathul Awam, Ba’dul Amal.
  6. Tafsir pengetahuan tentang makna dan kandungan Al-qur’an, misalnya Tafsir Jalalain, Tafsir Almaraghi.
  7. Tasawuf dan etika (tentang sufi atau filsafat Islam), misalnya kitab Ihya’ Ulumuddin.
  8.  Tarikh, misalnya kitab Khulashatun Nurul Yaqin.[10]
Pesantren Pada Masa Penjajahan
  1. Pada jaman Belanda
Pada zaman penjajahan Belanda, dengan berbagai cara Penjajah berusaha untuk mendiskreditkan pendidikan Islam yang dikelola oleh pribumi termasuk didalamnya Pesantren. Sebab pemerintah kolonial mendirikan lembaga pendidikan dengan sistem yang berlaku di barat pada waktu itu, namun hal ini hanya diperuntukkan bagi golongan elit dari masyarakat Indonesia. Jadi ketika itu ada dua alternatif pendidikan bagi bangsa Indonesia.
Sebagian besar sekolah kolonial diarahkan pada pembentukan masyarakat elit yang akan digunakan untuk mempertahankan supremasii politik dan ekonomi bagi Pemerintah Belanda. Dengan didirikannya lembaga pendidikan atau sekolah yang diperuntukkan bagi sebagian Bangsa Indonesia tersebut terutama bagi golongan priyayi dan pejabat oleh pemerintah kolonial, maka semenjak itulah terjadi persaingan antara lembaga pendidikan pesantren dengan lembaga pendidikan pemerintah.[11]
Meskipun harus bersaing dengan sekolah-sekolah yang diselenggarakan pemerintah Belanda, pesantren terus berkembang jumlahnya. Persaingan yang terjadi bukan hanya dari segi ideologis dan cita-cita pendidikan saja, melainkan juga muncul dalam bentuk perlawanan politis dan bahkan secara fisik. Hampir semua perlawanan fisik (peperangan) melawan pemerintah colonial pada abad ke-19 bersumber atau paling tidak mendapatkan dukungan sepenuhnya dari pesantren, seperti perang paderi, Diponegoro dan Perang Banjar.
Pendidikan agama Islam yang ada di pesantren-pesantren, Masjid, Langgar dan Madrasah di anggap tidak membantu pemerintahan Belanda. Para santri pesantern masih di anggap buta huruf latin. Akhirnya Belanda membuat Sekolah yang dimaksudkan untuk menandingi Madrasah-madrasah, pondok pesantren dan pengajian-pengajian yang telah mendapat hati di hati rakyat. [12] Malah pemerintahan penjajahan Belanda membuat kebijaksanaan dan peraturan yang membatasi dan merugikan pendidikan Islam.
Karena dilandasi rasa takut, rasa panggilan agamanya dan rasa kolonialisme maka, pada tahun 1882 pemerintah Belanda mendirikan Priesterreden (Pengadilan Agama) yang bertugas mengawasi kehidupan beragama dan pendidikan pesantren. Salah satu isinya adalah larangan para kyai memberikan pengajaran agama kecuali harus izin dahulu dan itupun terbatas pada kalangan tertentu. Hal ini dilanjutkan dengan pemberantasan dan penutupan Madrasah-madrasah dan pesantren-pesantren yang tidak memiliki ijin dari pemerintah.[13] Tidak begitu lama setelah itu, dikeluarkan Ordonansi tahun 1905 yang berisi peraturan bahwa guru-guru agama yang akan mengajar harus mendapatkan izin dari pemerintah setempat. Peraturan yang lebih ketat lagi dibuat pada tahun 1925 yang membatasi siapa yang boleh memberikan pelajaran mengaji. Akhirnya, pada tahun 1932 peraturan dikeluarkan yang dapat memberantas dan menutup madrasah dan sekolah yang tidak ada izinnya atau yang memberikan pelajaran yang tak disukai oleh pemerintah.[14]
Peraturan-peraturan tersebut membuktikan kekurang adilan kebijaksanaan pemerintah penjajahan Belanda terhadap pendidikan Islam di Indonesia. Namun demikian, pendidikan pondok pesantren juga menghadapi tantangan pada masa kemerdekaan Indonesia. Setelah penyerahan kedaulatan pada tahun 1949, pemerintah Republik Indonesia mendorong pembangunan sekolah umum seluas-luasnya dan membuka secara luas jabatan-jabatan dalam administrasi modern bagi bangsa Indonesia yang terdidik dalam sekolah- sekolah umum tersebut. Dampak kebijaksanaan tersebut adalah bahwa kekuatan pesantren sebagai pusat pendidikan Islam di Indonesia menurun. Ini berarti bahwa jumlah anak-anak muda yang dulu tertarik kepada pendidikan pesantren menurun dibandingkan dengan anak-anak muda yang ingin mengikuti pendidikan sekolah umum yang baru saja diperluas. Akibatnya, banyak sekali pesantren-pesantren kecil mati sebab santrinya kurang cukup banyak.[15]
Dengan peraturan yang sangat ketat dari pemerintah, maka seolah-olah dalam tempo yang tidak lama lagi Pesantren dan Madrasah  seolah-olah akan lumpuh dan porak-poranda. Akan tetapi, apa yang disaksikan dalam sejarah adalah keadaan yang sebaliknya. Para Kyai dan santrinya justru malah bersikap non kooperatif dengan Belanda yang akhirnya menimbulkan fatwa-fatwa. Pada Masa ini fatwa kyai[16] berperan besar terhadap perlawan penjajah dan semakin berkembangnya pondok pesantren yang mendirikan organisasi-organisasi jihad melawan penjajah dan kebodohan. Umat Islam sebagai mayoritas penduduk Indonesia di pedesaan adalah pejuang-pejuang tangguh yang tidak kenal lelah terhadap kebatilan. Berkembang didalamnya Madrasah-madrasah, Pesantren-Pesantren, Majlis Taklim, halaqoah-halaqah yang mengkaji aqidah dan keilmuan yang menghasilkan manusiayang dilandasi iman dan taqwa sebagai modal dalam mencapai kebahagian hidup di dunia dan akhirat.[17]
  1. Pada masa penjajahan Jepang
Jepang menjajah Indonesia setelah mengusir pemerintah Hindia Belanda dalam perang dunia ke II. Mereka menguasai Indonesia pada tahun 1942 dengan membawa semboyan yaitu Asia Timur raya untuk Asia dan Asia Baru. Pada babak pertamanya Pemerintah Jepang menampakkan diri seakan-akan membela kepentingan umat Islam yang merupakan siasat untuk kepentingan perang Dunia ke II.
Karena mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, maka Jepang mendekati umat Islam dengan menempuh kebijaksanaan antara lain : pertama, Kantor urusan Agama pada zaman Belanda di sebut Kantoor voor Islamisthisce saken yang dipimpin oleh orang-orang orientalis Belanda di ubah oleh menjadi Kantor Sumubiyang dipimpin oleh Ulama Islam sendiri yaitu Kyai Hasyim Asy’ari dari Jombang dan di daerah-daerah dibentuk Sumuka-sumuka. Kedua, Pondok Pesantren yang besar-besar sering mendapat kunjungan-kunjungan dan bantuan dari para pembesar-pembesar Jepang. Ketiga, sekolah Negeri diberikan pelajaran Budi Pekerti yang isinya identik dengan pelajaran agama. Keempat, umat Islam di ijinkan meneruskan Organisasi persatuan yang disebut Majlis Islam A’la Indonesia (MIAI) yang bersifat kemasyarakatan.[18]
Maksud dari pemerintahan Jepang tidak lain agar kekuatan umat Islam dan Nasionalis dapat di bina untuk kepentingan Perang Asia Timur Raya yang dipimpin oleh Jepang. Namun setelah mendapat tekanan dari pihak sekutu, Jepang bertindak sewenang-wenang dan lebih kasar daripada pemerintahan Belanda. Semua kegiatan Sekolah dihentikan dan di ganti dengan kegiatan baris-berbaris dan latihan perang. Para Kyai banyak ditangkap karena melakukan pemberontakan-pemberontakan. Demikian juga pesantren tidak boleh banyak bergerak meskipun pengawasannya masih dapat berjalan dengan wajar.
Pada awal pemerintahan Jepang, Pesantren berkonfrontasi dengan imperialis baru lantaran penolakan Kyai Hasyim Asy’ari –kemudian di ikuti oleh peantren-pesantren lain- terhadap saikere ( penghormatan terhadap kaisar Jepang Tenno Haika sebagai keturunan Dewa Amaterasu) dengan cara membungkukkan badan 90 derajat menghadap Tokyo setiap setiap pagi pukul 07.00 , sehingga mereka ditangkap dan di penjara Jepang.  Ribuan kyai dan santri berdemonstrasi mendatangi penjara, kemudian membangkitkan dunia pesantren untuk memulai gerakan bawah tanah menentang Jepang.[19]
Demonstrasi besar-besaran akhirnya menyadarkan Jepang tentang pengaruh kyai Hasyim Asy’ari sehingga Jepang akhirnya melepaskan dari penjara. Maka dalam Sejarahnya, perkembangan pesantren telah memainkan peran sekaligus kontribusi penting dalam pembangunan Indonesia. Sebelum Kolonial Belanda masuk ke Nusantara, pesantren tidak hanya berperan sebagai Lembaga Pendidikan yang berfungsi menyebarkan ajaran Islam sekaligus juga mengadakan perubahan-perubahan tertentu menuju keadaan masyarakat yang lebih baik (progresif). Sebagaimana tercermin dalam berbagai pengaruh pesantren bagi kelancaran kegiatan politik para raja dan pangeran di-Jawa, kegiatan perdagangan dan pembukaan pemukiman daerah baru. Di saat Penjajah Belanda menduduki Kerajaan-Kerajaan di Nusantara, pesantren malah menjelma sebagai pusat perlawanan dan pertahanan terhadap Kolonial Belanda, Inggris, dan Jepang. Bahkan, pasca kemerdekaan tahun 1959-1965, pesantren masih dikategorikan sebagai ‘Alat Revolusi’ dan ‘Bahan Peledak’ yang mampu menghancurkan kelancaran politik yang stagnan. Dan saat memasuki orde baru, pesantren dipandang sebagai ‘potensi pembangunan’ negara bagi masyarakat Indonesia.[20]
Tidak sedikit kontribusi yang diberikan Pesantren dalam pembangunan nation-state selama ini. Tengoklah pada masa penjajahan, Pesantren telah memainkan perlawanan dan mengambil posisi uzlah sebagai bentuk perlawanan sekaligus pertahanan dari para penjajah. Sebab dari uzlah inilah sebuah pesantren mampu mendapatkan stereotip dari Pemerintah Kolonial yang pada waktu itu dikonotasikan sebagai Lembaga Pendidikan yang semrawut, sehingga banyak orang yang tidak tahu secara jelas sampai mana batas-batas Lembaga Pendidikan Pesantren apakah sebagai Lembaga Sosial, ataukah Lembaga Penyiaran Agama. Banyak para Kyai yang kedudukannya juga ikut-ikut tidak jelas apakah peran mereka sebagai guru, pemimpin spiritual, penyiar agama ataukah sebagai pekerja social, sehingga masih banyak Lembaga Pesantren yang hingga detik ini tidak mendapat stigmatisasi pendidikan, sistem evaluasi, metode pengajaran, dan sebagainya.
Karena anggapan miris Pemerintah Kolonial pada waktu itu, maka Pesantren lebih memprioritaskan diri untuk pengajaran fiqh-sufistik daripada hal-hal yang berkaitan langsung dengan masalah keduniawian. Tentu saja prioritas ini menimbulkan kerugian sekaligus keuntungan. Keuntungannya, pesantren menjelma menjadi Lembaga Pendidikan yang berhasil mengembangkan pertahanan mental spiritualitas, solidaritas, dan kesederhanaan hidup yang kokoh. Namun di sisi lain, kerugian yang harus ditanggung pesantren ialah, pesantren seakan-akan telah terlepas dari kehidupan nyata, tidak membumi, terlalu melangit ke akhirat serta kurang mengapresiasi diri bahkan melupakan kehidupan duniawi.
Perpaduan fiqih-sufistik yang begitu kuat mempengaruhi budaya hidup di dunia pesantren telah mengakibatkan munculnya pola piker dan tata prilaku komunitas pesantren menyangkut khasanah pengetahuan Islam yang senantiasa berada dalam alur formula “Normatif-Mistis”. Salah satu implikasinya, proses belajar-mengajar yang berlangsung lebih di dominasi oleh model pemikiran deduktif-dogmatis agama daripada induktif-rasional faktual.[21] Dengan kata lain, pola reproduksi teks (Isithmar an-nash) meminjam istilah Abed Al Jabiri terasa sangat menonjol sebagai paradigm penalaran dan pembelajaran di pesantren sehingga penguasaan para santri akan disiplin keilmuan yang mendasari kemampuan beristidlal[22] dan beristinbat dari teks merupakan ciri program kurikuler pesantren. [23]
 Secara umum pendidikan pada masa penjajahan pendidikan dan pengajaran dilakukan apa adanya dan belum terstruktur. Pengajaran dan pendidikan yang tidak teratur pada masa ini dapat juga terlihat di Pesantren. Sebuah “Kelas” dipusat-pusat pendidikan ini terdiri dari sekelompok murid-murid yang mempunyai perbedaan umur yang menyolok, yang duduk mengelilingi sang guru untuk menerima pelajaran dari sang guru. Mereka membentuk halaqah, lingkaran. Semua menerima pelajaran yang sama. Tiada dirancangkan, sebuah kurikulum, berdasarkan umur, lama belajar atau tingkat-tingkat pengetahuan. Masa masuk pun terserah pula kepada para calon santri, sehingga banyak di antara mereka yang pergi datang tanpa kepastian waktu.[24]
Dalam tingkat permulaan disamping mempelajari membaca Qur’an, murid-murid diajarkan cara shalat. Dalam rangka belajar shalat ini, walaupun si murid belum lagi dapat menghafal seluruhnya bacaan shalat, ia dilatih untuk ikur shalat berjamaah agar terbiasa melakukan kewajiban ini.
Di samping itu beberapa masalah teologi (ketuhanan) juga dipelajari, yang pada garis besarnya berpusat pada sifat dua puluh.[25] Hal ini bersangkut pada soal lima (kepada Allah), dengan keesaan atau tauhid  serta dengan maksud menjauhkan dari syirik, suatu dosa yang dianggap tidak terampunkan.
Pada masa penjajahan, sistem pengajaran menggunakan sistem konvensional. Sistem ini ditandai dengan ciri-ciri yang khas, antara lain tidak adanya daftar santri (peserta) pengajian dan tidak adanya evaluasi hasil belajar secara formal bagi santri, kurikulum yang hanya berisi ilmu-ilmu keagamaan abad pertengahan dengan bersumber pada kitab-kitab klasik/ kuning (Al kutub Al Qodimah), dan metode serta pendekatan yang berkisar pada sorogan, bandongan, setoran, mutholaah dan musyawarah.[26]
Pada masa ini metode yang digunakan adalah metode tradisional yaitu dengan cara kyai bersangkutan membacakan teks kitab berbahasa arab sebaris demi sebaris dengan menterjemahkan kedalam bahasa pengantar (bergantung pada daerahnya) di sertai syarah atau komentar seperlunya. Pelajaran berikut biasanya di mulai dengan pembacaan bagian yang telah di pelajari sebelumnya oleh seorang murid serta menterjemahkan pula.
Kitab-kitab yang dipelajari oleh pesantren pada masa ini antara lain kitab fiqih berupa thaharah, shalat,zakat, shaum dan ibadah haji. Pada tingkat yang lebih tinggi dipelajari pula kitab tentang nikah, talaq dan rujuk, serta faraid (hukum waris).[27]
Seorang murid yang baru masuk pesantren tidak langsung segera langsung belajar pada kyai di Pesantren, melainkan dia akan belajar pada santri yang senior[28] yang bisa di sebut guru bantu atau guru tuo. Bila murid tersebut telah dapat membaca (dan memahami ala kadarnya) kitab yang berbahasa arab, barulah ia menyertai kelompok yang langsung mengaji pada kyai pesantren tersebut. Kemajuan santri bergantung   pada ketekunan dan kerajian dari santri yang bersangkutan. Untuk dapat memperoleh hasil yang memadai seorang santri belajar sepuluh sampai lima belas tahun lamanya.
Ketekunan sangat dibutuhkan santri dalam menempuh masa-masa belajar di pesantren secara tradisonal, namun tidak dapt diabaikan keahlian kyai yang bersangkutan dalam bidang fiqih, hadist, tafsir dan sebagainya dalam membentuk pengetahuan atau keahlian si murid. Keahlian kyai inilah yang menyebabkan santri-santri secara serius pergi pindah-pindah pesantren dari yang satu ke pesantren lainnyaagar dapat memperdalam ilmu mereka dengan petunjuk kyai-kyai ahli tersebut. [29]
Pesantren Pada Masa Kemerdekaan
Pada masa pergerakan dan persiapan kemerdekaan  pesantren berperan sebagai pusat perjuangan atau gerilyawan seperti Hizbullah dan Sabilillah. Pada masa-masa awal pembentukan Tentara Nasional Indonesia khususnya Angkatan Darat, banyak berasal dari santri dan sedikitnya diwarnai oleh kultur santri. Banyak dari para Kyai dan pengasuh pesantren menjadi pemimpin diplomasi yang cukup piawai untuk menegakkan kemerdekaan Indonesia melalui penyusunan dasar-dasar institusi negara.
Setelah Indonesia merdeka dari pemerintahan Belanda dan Jepang, maka pemimpin-pemimpin Indonesia memulihkan kembali dan berusaha mengembangkan pendidikan di Indonesia sesuai dengan kebudayaan asli bangsa Indonesia. Pondok Pesantren pada masa penjajahan mendapat kebebasan dalam mengembangkan misinya dan mulai banyak bermunculan pesantren-pesantren baru pasca Kemerdekaan. Pondok Pesantren yang merupakan lembaga Non formal mulai mengadakan perubahan-perubahan guna menghasilkan generasi-gernerasi yang tangguh, generasi yang berpengetahuan luas, diantaranya dengan memasukkan mata pelajaran non agama di pesantren-pesantren, juga sebagian ada yang memasukkan bahasa asing ke dalam kurikulum wajib pondok pesantren. Pondok pesantren juga mulai mengembangkan sayapnya dengan memakai system klasikal dalam pengajaran, mendirikan madrasah-madrasah, sekolah-sekolah umum hingga perguruan tinggi.[30]
Pondok pesantren tidak menutup diri dari masukan-masukan yang bersifat membangun dan tidak menyimpang dari ajaran agama Islam. Sampai sekarang penafsiran tenatng pondok Pesantren sudah mengalami perubahan, dari penilaian terhadap pondok yang kolot, tradisional dan bangunannya yang sempit, dan berada di pedesaan menjadi lain.
Pada masa kemerdekaan, pesantren merasakan suasana baru. Kemerdekaan merupakan momentum bagi seluruh system pendidikan untuk berkembang lebih bebas, terbuka dan demokratis. Rakyat menyambut munculnya era pendidikan baru yang belum dirasakan sebelumnya akibat tekanan-tekanan politik penjajah. Mereka mendorong anak-anak usia sekolah agar menempuh pendidikan. Sedang pemerintah membuka saluran-saluran pendidikan yang pernah tersumbat pada masa penjajahan Belanda dan Jepang menguasai Indonesia. Lembaga tingkat pendidikan tingkat SD,SLP,SLA milik pemerintah mulai bermunculan.[31]
Proses pendidikan berjalan dengan harmonis dan kondusif dengan tidak mengecualikan adanya berbagai kekurangan. Keinginan berbagai pihak dapat dipertemukan. Belenggu pendidikan pada masa penjajahan dapat di bongkat setelah masa proklamasi. Namun keadaan tersebut justru menjadi pukulan balik bagi pesantren meskipun madrasah-madrasah banyak diminati pelajar-pelajar. Djumhur dan Dana Suparta mengisahkan bahwa lahirnya proklamasi memberikan corak baru bagi pendidikan Agama.pesantren-pesantren tidak banyak lagi menjalankan tugasnya, sedangkan madrasah berkembang sangat pesat.[32]
Kurun ini merupakan musibah paling dahsyat yang mengancam kehidupan dan keberlangsungan pesantren. Hanya pesantren-pesantren besar yang mampu mengadakan penyesuaian dengan sistem pendidikan nasional sehingga musibah itu dapat diredam. Maka pesantren-pesantren besar dapat bertahan hidup, selanjutnya mempengaruhi bentuk dan membangkitkan pesantren-pesantren kecil yang mati, yang klimaksnya terjadi pada tahun 1950-an. Akhirnya pendidikan yang menjadi andalan Islam Tradisional ini pulih kembali.
Pada masa kemerdekaan sudah mulai terjadi penjenjangan kelas. Ada kelas ibtidaiyyah (ula), ada kelas wusta, dan ada kelas ulya. Mata pelajaran di pesantren meliputi: Al-Qur’an, Tafsir, Hadith, ‘Aqidah, Fiqh, Akhlaq, Bahasa Arab, Tarikh. Ahdaf adalah pemberian mata pelajaran pada masing-masing jenjang pendidikan (ula, wusta, ‘ulya) sesuai dengan keperluan dan kebutuhan santri dalam kehidupan sehari-hari, baik sebagai pribadi, sebagai anggota komunitas, maupun sebagai imam dalam komunitasnya. Maqasid adalah tujuan pokok pesantren yaitu untuk mencetak Muslim yang tafaqquh fi al-din. Sedangkan Ghayah adalah tujuan akhir yaitu mencapai ridla Allah. Ketiga, penyebaran ilmu melalui amr al-ma’ruf wa al-nahy al-munkar dengan mencetak para da’i dan partisipasi dalam pemberdayaan masyarakat.[33]
Berdasarkan rumusan tujuan pendidikan pesantren, pesantren menyelenggarakan proses pembelajaran; kurukulum (materi), metode, media dan evaluasi yang tersistem dalam keseluruhan aspek pendidikannya. Materi pengajaran di pesantren tradisional sejak dulu didominasi oleh kitab-kitab karangan ulama-ulama pengikut al-Syafi’i (Shafi’iyyah) dalam bidang fiqh. Metode pembelajaran pesantren tradisional adalah wetonan dan sorogan. Metode weton ini merupakan metode kuliah, dimana para santri mengikuti pelajaran dengan duduk di sekeliling kiai yang menerangkan pelajaran secara kuliah, santri menyimak kitab masing-masing dan membuat catatan pada pinggir kitab.[34]
Pesantren Pada Masa Orde Baru
Kehidupan pesantren relative  normal  era orde baru. Naumn pada tahun 1970-an  bersamaan dengan suburnya sekulerisasi musibah tersebut mengguncang pesantren lagi. Jadi secara umum pada masa orde konstitusional pesantren dapat hidup dan berkembang dengan baik dengan berbagai variannya. Keadaan ini di sokong oleh  strategi pergeseran dakwah dari pendekatan idiologis kea rah pendekatan kultural.[35]
Pada abad ke-20, pesantren mampu mereposisi diri kearah sistem pendidikan yang berorientasi ke arah masa depan dengan tanpa menghilangkan tradisi-tradisi yang baik, dengan berpedoman kepada prinsip “al-muhafadzah ala al-qadim ash-shalih wa al-akhdu bi al-jadid al-ashlah”.[36] Sejak tahun 1970-an, Pesantren mulai mengidentifikasi kelemahan dan kekurangan dengan berusaha mengadaptasi dan mengakomodasi perubahan-perubahan khususnya di bidang pendidikan, perubahan pendidikan khususnya masalah pendidikan meliputi orientasi pendidikan serta aspek-aspek administrasinya, diferensiasi struktural dan ekspansi kapasitas bahkan transformasi kelulusan yang berkenaan dengan nilai, sikap, dan perilakunya.
Masuknya Pesantren dalam system pendidikan modern telah melahirkan problem cukup ruwet yang berdampak langsung atau tidak langsung. Penerimaan pesantren terhadap pendidikan modern dalam bentuk sekolah telah memberikan peluang bagi ikut campurnya Negara dalam dunia pesantren. Dominasi Negara yang begitu kuat membuat nilai-nilai pesantren selama ini mengalami pemudaran. Pendidikan pesantren yang berorientasi nilai mengalami perubahan menjadi pendidikan Negara dengan capaian yang bersifat formalistik. Akibatnya, selain ketergantungan kepada Negara menjadi tidak terelakkan, hal itu membuat membuat pendidikan pesantren mulai berorientasi pada ijazah. [37]
Pada dekade 1970-an orde baru mengeluarkan dua kebijakan yaitu pengangkatan guru SD besar-besaran dan pembangunan gedung-gedung sekolah inpres. Pada tahun 1973 pemerintah orde baru telah berhasil membangun 150.595 unit SD baru di seluruh Indonesia. Pembangunan dilakukan untuk menjawab kebutuhan masyarakat untuk bersekolah.  Pendirian SD secara membabi buta tanpa melihat kondisi lokal telah menciptakan ketegangan dengan pemimpin-pemimpin lokal.[38]
Di Madura Misalkan ketegangan antara pemerintah dan ulama yang telah lebih dahulu mendirikan di Sekolah di lingkungan pondok pesantren itu berlangsung lama sepanjang orde baru. Akibatnya banyak SD inpres di Madura yang jumlah muridnya sedikit, tidak sepadan dengan jumlah gedung yang di dirikan. Karena masyarkat memilih bersekolah di sekolah yang di dirikan oleh tokoh agama (kyai). Bagi mereka bersekolah di lingkungan di Pondok Pesantren akan mendapat dua keuntungan  yaitu pengetahuan umum dan pengetahuan agama yang dijadikan bekal di dunia dan akherat.[39]
Model dan kurikulum pada masa orde baru sudah mulai terstruktur dengan baik. Berbagai corak metodologi di kembangkan oleh masing-masing pesantren. Sebagaimana halnya kurikulum, proses pembelajaran madrasah atau sekolah yang di selenggarakan oleh pondok pesantren juga menggunakan metode pembelajaran yang sama dengan metode pembelajaran di madrasah atau sekolah lain, di luar pondok pesantren. Metode pembelajaran yang di gunakan di lembaga pendidikan formal lain yang di selenggarakan oleh pondok pesantren, selain madrasah dan sekolah, pada umumnya mengikuti metode yang berkembang di madrasah atau sekolah.
Proses pembelajaran di pondok pesantren salafiyah ada yang menggunakan metode yang bersifat tradisional, yaitu metode pembelajaran yang di selenggarakan menurut kebiasaan yang telah lama dilaksanakan pada pesantren atau dapat juga disebut sebagai metode pembelajan asli (original) pondok pesantren. Disamping itu ada pula yang menggunakan metode pembelajaran modern (tajdid). Metode pembelajaran modern merupakan metode pembelajaran hasil pembaharuan kalangan pondok pesantren dengan memasukkan metode yang berkembang pada masyarakat modern, walaupun tidak selalu diikuti dengan menerapkan sistem modern, yaitu sistem sekolah atau madrasah.[40]
Pola Pembelajaran di Pesantren
Berbicara pola pembelajaran di Pesantren, model pembelajarannya belum banyak mengalami perubahan dari masa penjajahan sampai masa awal orde baru.
 Awal pendirian Pesantren adalah untuk mencetak muslim agar memiliki dan menguasai ilmu-ilmu agama (Tafaqquh fi ad-din) secara mendalam dan menghayati serta mengamalkan dengan ikhlas semata-mata ditujukan untuk pengabdian kepada Allah. Guna mencapai tujuan tersebut pesantren mengajarkan Al Qur’an, tafsir dan ilmu tafsir, hadist beserta ilmu hadist, fiqih dan usul fikih, tauhid dan tarikh, akhlak dan tasawuf, nahwu, sharaf serta ilmu mantiq kepada para santri.[41]
Penyelenggaraan kegiatan pendidikan dan pengajaran dikalangan pesantren masih menggunakan kitab-kitab wajib (Qutub Al Muqorroroh) yang dikenal dengan nama kitab kuning sebagai buku teksutamanya. Pola pembelajaran yang dialakukan menggunakan Gramatical Translation Approach (Pendekatan terjemah menurut tata bahasa)[42] artinya pembelajaran dengan menggunakan  sistem baca terjemahan dengan memperhatikan kedudukan tiap kata dalam struktur kalimat yang bertuliskan teks arab gundul (huruf arab yang belum ada syakl/harakatnya).
Kitab kuning yang menjadi rujukan utama dikelompokkan berdasarkan pertimbangan tingkat kemudahan dan kesulitan dalam mempelajarinya ke dalam tiga tingkatan. “Kitab Kecil” atau kitab-kitab dasar, “Kitab sedang” atau kitab tingkat menengah, dan “Kitab Besar” atau kitab untuk tingkat tinggi. Kitab kecil di peruntukkan bagi pemula yang meliputi kitab tafsir, fiqh, tauhid, ushul fiqh, akhlak, nahwu, sharaf dan lainnya.[43]
Seorang santri tidak akan berpindah kepada kitab lain yang sejenis bidangnya sebelum menamatkan kitab tersebut. Dengan demikian prinsip utama pola pemebelajaran pesantren adalah prinsip pembelajaran tuntas (Mastery Learning).[44]
Sedangkan penjenjangan materi  di sesuaikan dengan tingkat kesulitan. Ada kitab yang di sesuaikan untuk tingkat pemula (Awwaliyah). Ada kitab yang di peruntukkan untuk tingkat menengah (wustha) dan ada kitab yang diperuntukkan untuk tingkat tinggi (‘Aly).
Catatan yang cukup menarik dalam system pesantren adalah : Pertama, perpindahan dari satu tingkat ke tingkat lain yakni dari awwaliyah ke wustha, dari wustha ke ‘Aly pada dasarnya terbuka luas. Sepenuhnya di serahkan kepada santri, atau secara negatif tidak terkontrol. Kedua, para kyai umumnya menjalankan sistem “Ijazah” atau izin kepada santrinya untuk mengajarkan ilmu yang diperolehnya kepada orang lain. Dalam konteks ini, sebenarnya system ini merupakan penerapan belajar tuntas (Mastery Learning) dalam pengertian diharapkan seorang santri menyelesaikan dulu secara tuntas sebuah kitab sebelum pindah ke kitab lainnya. Ketiga, pembelajaran di Pesantren selalu menjaga keterkaitan antar mata pelajaran yang satu dengan yang lain. Misalkan apa yang di ajarkan dalam ilmu fiqih tidak dilepaskan dari hubungannya dengan akhlak atau dengan aqidah.
Analisa Kesejarahan Pesantren
  1. Kekutan dan kelemahan Pesantren
Dalam bukunya, Abdul Munir Mulkhan menuliskan bahwa selama beberapa kurun waktu – sejak kemerdekaan Indonesia (1945), identitas santri masih memberi kesan budaya agraris dan pola hidup pedesaan . Namun masih menurutnya, pada era reformasi pasca orde baru – pada puncaknya saat  Abdurrahman Wahid (Gus dur) naik menjadi presiden RI ke-4 – menjadi gerbong besar yang membawa kaum santri (pesantren) ke pusat peradaban yang tak dikenal dalam doktrin sosial dan politik Islam konvensional.
Menjawab tantangan globalisasi-modernisasi, banyak pesantren telah menyesuaikan kebutuhan  zaman. Tujuannya adalah agar mereka tetap muttafaqun bil zaman wal makan (suvive/eksis di semua zaman dan tempat). Model penyesuaian itu bisa dalam arti kurukulum dan fasilitas-fasilitas yang diberikan. Seperti ada beberapa pondok yang menggunakan empat bahasa dalam rutinitas sehari-hari. Bahasa Jawa, Indonesia, Arab dan Inggris. Ini tentu telah melampui model RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional) yang saat ini sedang ramai diperbincangkan.
Begitu pula, saat ramai-ramainya dunia pendidikan nasional sedang mengkampanyekan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Jauh sebelum itu beberapa pesantren sudah menerapkan poin penting dari sistem atau kurikulum pendidikan tersebut.Meskipun tidak dengan istilah akademik. Misalnya ada metode pengajaran yang disebut dengan istilah ‘sorogan’. Yakni sistem pengajaran dimana santri dituntut untut mencari arti dan memahami sendiri sebuah kitab kuning. Selanjutnya santri membaca dan menginterpretasikan pemahamannya di hadapan sang kyai. Selain itu pula, santri juga diajarkan punya kecerdasan psikomotorik. Ajaran moralitas sangat dominan disana.
Saat ini problematika pesantren adalah menjawab tantangan zaman. Melihat potensi pesantren sebagai modal sosial pembangunan masyarakat dan bangsa.  Pesantren punya tantangan dalam bentuk planing-strategy sehingga dapat menempatkan santri menjadi pribadi yang siap terjun dan bersaing dalam arus globalisasi dan modernisasi. Banyak hal yang bisa dilakukan oleh pesantren. Pertama, membangun (lebih tepatnya menggunakan kata ‘meningkatkan’) kekuatan mental/karakter para santri dalam pusaran pasar global yang segala macam ideologi saling berkompetisi. Dengan kokohnya karakter yang diintegrasikan dalam diri santri  itu maka karakter kultur pesantren akan tetap terjaga beserta nilai-nilai local wisdom yang dimiliki.
Kedua, membangun mental kemandirian (enterpreneurship) santri. Seperti dengan memasukkan kurikulum materi enterpreneur, atau melalui pelatihan-pelatihan, workshop dan lain sebagainya. Model seperti ini sekarang sudah banyak dipraktekkan oleh beberapa pesantren. Ketiga, meningkatkan pembinaan life skill dan profesionalitas, khususnya dalam tata mangemen bagi santri-santri. Karena kemampuan tersebut sangat penting dalam dunia kerja saat ini. Sehingga ketika terjun ke masyarakat, maka santri langsung bisa menyesuaikan dengan dunia usaha dan tidak mengalami kegagapan. Selain ketiga hal diatas, yang mungkin yang urgen lagi adalah membangun kesusastraan kaum santri. Yakni dunia tulis menulis. Kesusastraan itu penting karena mengandung spirit dokumentasi ide/gagasan dan aktualisasi nilai.
Keempat hal tersebut dan ditunjang dengan basis releguitas tentu akan menjadi potensi lebih kaum santri, khususnya sebagai modal sosial pembangunan masayarakat. Keunggulan pesantren dibanding lembaga pendidikan manapun adalah tentang ajaran/pendidikan moralitas. Di pesantren ada penggemblengan karakter pendidikan dengan menggabungkan tiga unsur kecerdasan; Emotional Spiritual Question (ESQ), Emotional Question (EQ) dan Intelektual Question (IQ). Dengan demikian pesantren merupakan konten lokal dan bagian yang integral sebagai unsur penting membangun daerah, dan dalam arti luas membangun bangsa dan negara Indonesia.
Melihat perjalanan sejarah pesantren, ada beberapa kelebihan yang di miliki oleh lembaga Pesantren. Di antara ke lemahan tersebut yaitu pertama, Kemampuan pesantren dalam menciptakan sikap hidup universal yang merata, dengan dilandasi oleh tata nilai religiusitas  tinggi yang terlepas dari acuan-acuan subkultural yang ada dalam susunan kehidupan diluar pesantren. Kedua, Kemampuan memelihara subkulturnya hingga terus teraplikasikan dalam segala aspek kehidupan di sepanjang perjalanan.
Di sisi lain pesantren dalam sejarah perkembangannya juga tidak luput dari beberapa kekeurangan untuk sebagai bahan refleksi untuk menata kembali lembaga ini. Di antara kekurangan tersebut antara lain, pertama,  Tidak adanya perancangan terperinci dan rasional atas jalannya pendidikan, kalaupun ada hanya sangat terbatas, tidak meliputi hubungan antara berbagai sistem pendidikan yang akan dikembangkan dengan jenjangnya masing-masing. Kedua,  Tidak adanya keharusan membuat kurikulum dalam susunan yang lebih mudah di cerna dan dikuasai oleh santri. Ketiga,  Tidak mempunyai standard khusus yang membedakan antara hal-hal yang diperlukan dalam pendidikan dan yang tidak diperlukan. Pedoman yang digunakan adalah mengajarkan penerapan hokum syara’ dalam kehidupan sehari-hari dengan mengabaikan nilai-nilai pendidikan, akibatnya tidak ada filsafat pendidikan yang jelas dan lengkap.
  1. Relevansi Pesantren, pengembangan Pendidikan Masa kini
Tuntutan relevansi pendidikan pesantren dengan realitas zaman memaksa tokoh-tokoh pesantren, utamanya dari kalangan mudarnis, melakukan study banding terhadap sistem budaya pesantren dengan budaya kontemporer. Tetapi fisi yang mereka gunakan kadang kurang sesuai dengan tradisi pesantren. Secara keilmuan pesantren dikaji dari sudut pandang kultur-empiris-realistik, sementara budaya pesantren bersifat kultur-historis-konfensional. Bila perbedaan fisi seperti ini di gunakan untuk menganalisa kecendrungan-kecendrungan di pesantren akan menghasilkan antitesis, bukan sintesis.
Dewasa ini muncul usaha pembaruan sistem pendidikan pesantren dengan membuka lembaga-lembaga pendidikan formal, mulai dari tingkat dasar (MI/SD Islam), tingkat menengah (MTs./SMP Islam dan MA/SMA Islam), sampai ke PTAI dan universitas Islam. Ciri khas pesantren yang mandiri dan otonom dengan kyai sebagai pusat orientasi, menjadikan pesantren tetap eksis dan bahkan dilirik sebagai sistem pendidikan alternatif. Kunci kemandirian dan kekokohan pesantren ada pada kyai. Jika kyai pesantren cukup “kuat,” maka pesantren itu akan maju. Di Jawa Timur, misalnya, Pondok Pesantren Modern Gontor, Ponorogo; Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan, Sumenep; Pondok Pesantren Salafiyah-Syafi’iyah Asem Bagus, Situbondo; Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan; Pondok Pesantren Karang Asem Paciran, Lamongan (disebut-sebut sebagai pondok pesantren yang berafiliasi ke Muhammadiyah); dan masih banyak lagi yang tengah mengalami kemajuan dan kemasyhuran. 
Bisa dibayangkan bahwa pesantren yang dikonotasikan sebagai pendidikan tradisional tetap kokoh di tengah pergulatan sistem dan model pendidikan yang kian menarik. Tidak saja itu, pesantren adalah satu-satunya institusi yang berhasil melakukan transmisi Islam dan bahkan bagi kemajuan bangsa Indonesia ini. Sebab kemuliaan pesantren terletak pada bukan semata orientasi materi tetapi keberadaannya lebih diorientasikan kepada pengkayaan ilmu dan keluhuran budi.
  1. Dinamika Pesantren
Menurut Imam Suprayogo, pada awalnya perkembangan pesantren adalah sederhana. Tetapi karena semangat dan sistem pembelajaran yang dikembangkan berorientasi kepada basis masyarakat (community based education) maka lama-kelamaan beberapa di antaranya menjadi besar. Jumlah santri yang belajar menjadi bertambah banyak, lembaga pendidikan yang dikelola disebut pondok pesantren, dan pemegang kepemimpinan lembaga itu disebut kyai. Lembaga pendidikan pondok pesantren selalu dilengkapi dengan masjid (mushalla) dan rumah kyai. Para santri belajar agama dengan hidup dan bergaul bersama kyai. Oleh karena itu para pemerhati pondok pesantren mengidentifikasi pesantren dengan beberapa karakteristik bahwa di dalam pesantren terdapat rumah kyai, masjid, dan pemondokan santri. Para santri belajar mengaji dan mengamalkan apa saja yang dilakukan kyai. Hubungan santri dan kyai menyerupai hubungan bapak dan anak. Kyai tidak saja mengajarkan ilmu pengetahuan agama, tetapi juga membimbing, memberi contoh atau memberikan teladan, dan “mendoakan” para santrinya. Hubungan mereka menyeruak ke berbagai aspek kehidupan, baik aspek rasional, emosional, maupun spiritual secara mendalam. Kyai memberlakukan para santrinya seperti anak-anak mereka sendiri dengan membagi rasa kasih sayang dan menjadikan dirinya sebagai panutan ideal santri.
Ilustrasi di atas di  kemukakan untuk membandingkan pondok pesantren dengan lembaga pendidikan modern pada umumnya, berupa sekolah atau universitas. Di sekolah dan universitas, pribadi guru dan dosen harus melebur menjadi kekuatan institusi. Melalui kerangka konseptual demikian, para murid dan mahasiswa belajar ke lembaga atau institusi, dan bukan kepada pribadi-pribadi. Oleh karena itu, bila di pesantren kyai adalah sentral dan simbol kekuatan yang kokoh, maka di lembaga pendidikan modern (sekolah dan universitas) kekuatan utamanya adalah pada insitusinya. 
Mengikuti perkembangan zaman akhir-akhir ini pesantren telah membuka diri. Jika dahulu pesantren hanya sebagai tempat mengaji ilmu agama melalui sistem sorogan, wetonan, dan bandongan, maka saat ini telah membuka pendikan sistem klasikal dan bahkan program baru yang berwajah modern dan formal seperti madrasah, sekolah, dan bahkan universitas. Sekalipun pendidikan modern telah masuk ke pesantren, akan tetapi tidak boleh menggeser tradisinya, yakni gaya kepesantrenan. Sebaliknya, kehadiran lembaga pendidikan formal ke dalam pesantren dimaksudkan untuk memperkokoh tradisi yang sudah ada, yaitu pendidikan model pesantren. Adaptasi adalah sebentuk keniscayaan tanpa menghilangkan ciri khas yang dimiliki pesantren.
Dalam tahap perkembangan yang mutakhir maka pesantren mencoba merespon dengan modernitas di kalangan pesantren. Adapun modernitas pesantren di sebabkan beberapa factor yaitu,  Pertama, munculnya wancana penolakan taqlid dengan “kembali kepada Al-Qur’an dan sunah” sebagai isu sentral yang mulai di tadaruskan sejak tahun 1900 Maka sejak saat itu perdebatan antara kaum tua dengan kaum muda, atau kalangan reformis dengan kalangan ortodoks/konservatif, mulai mengemukan sebagai wancana public. Kedua: kian mengemukannya wacana perlawanan nasional atas kolonialisme belanda. Ketiga, terbitnya kesadaran kalangan Muslim untuk memperbaharui organisasi keislaman mereka yang berkonsentrasi dalam aspek sosial ekonomi. Keempat, dorongan kaum Muslim untuk memperbaharui sistem pendidikan Islam
  1. Implikasi Pesantren terhadap perkembangan Intelektual Kultural
Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam dikatakan dalam historisnya sudah ada sejak tahun 1630 M. Hingga saat ini pesantren tetap eksis dan survive. Perkembangan pesantren tidak hanya sebatas sumbangsihnya dalam bidang pendidikan. Lebih dari itu, pesantren juga punya andil besar dalam pergerakan nasional hingga sampai berdirinya Indonesia sebagai bangsa dan negara. Pesantren sebagai lembaga pendidikan bersatu dengan masyarakat ikut melawan dan mengusir penjajah. Ada bukti seperti munculnya Resolusi Jihad pada tanggal 22 Oktober 1945 yang membakar semangat kaum santri mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Selain itu pula berdiri pasukan Hizbulloh, Sabilillah, dan Barisan Mujahidin. Ketiga pasukan yang didominasi kaum santri ini melawan dan mengusir penjajah demi mewujudkan Negara Kesatuan republik Indonesia.
Tak sedikit tokoh-tokoh baik tokoh ulama, tokoh politik dan pejuang kemerdekaan lahir dari kesederhanaan tradisi pesantren. Dan dari tokoh-tokoh inilah muncul pemikirian dan karya–karya yang menjadi cikal bakal lahirnya perkembangan dunia modern di Indonesia. Rasanya terlalu picik bagi kita memandang tradisi pesantren dengan sebelah mata, tanpa memandang jasa-jasa pesantren. Justru tidak berlebihan bila kita mengatakan bahwa tanpa peran dari dunia pesantren mungkin kita akan sulit berkembang bahkan mungkin sulit untuk mendapatkan kemerdekaan. Negara-negara kolonial penjajah seperti Belanda sudah menyadari dan memperhatikan sepak terjang pesantren, mereka (kolonial penjajah) memahami betul bahwa pesantren merupakan ancaman bagi kolonialisme. Maka dari itu mereka membatasi serta mengawasi aktivitas pesantren dikala itu, sehingga pesantren seakan lumpuh dan tertidur selama penjajahan berlangsung.
Sebagai institusi sosial, pesantren telah memainkan peranan yang penting di Indonesia dan negara-negara lainnya yang penduduknya banyak memeluk agama Islam.Pasca reformasi, eksistensi pesantren makin progres. Banyak tokoh yang punya latar belakang pesantren, moncer menjadi tokoh nasional dan mengawal perubahan bangsa. Sebut saja Nurcholis Madjid, Gus Dur, Hasyim Muzadi, Din Syamsudin, Musthofa Bisri, Hidayat Nur wahid dan masih banyak lagi. Oleh karenanya ketika terorisme santer dibicarakan dan pesantren dianggap sebagai basisnya. Maka itu adalah kesimpulan prematur yang timbul dari sebuah kepanikan sehingga menimbulkan saling kecurigaan dan stikmatisasi negatif bagi pesantren.
Epilog ; Sebuah Refleksi
Pesantren sebagai lembaga pendidikan yang mampu membentuk dan menyiapkan anak didik menjadi Muslim yang baik dan mandiri. Paling tidak, secara implisit, bisa dipahami bahwa inilah harapan pokok orang tua atau masyarakat muslim pada umumnya terhadap pesantren dewasa ini. Apalagi berbagai gejolak dan persoalan dewasa ini semakin merisaukan orang tua. Maka fungsi pesantren sebagai lembaga alternative menjadi pilihan orang tua.
Tidak heran jika suatu lembaga pendidikan Islam khususnya pesantren, ketika masa awal dirintis oleh kyai pendiri terbukti sedemikian berhasil mencetak “tokoh-tokoh” besar, namun setelah berkembang maju dan dikelola oleh ahli waris, ditambah masuknya sistem pendidikan modern yang berorientasi pada formalistik berupa ijazah, pesantren tidak lagi mampu mengukir prestasi seperti masa awal dulu.
Pesantren dalam hal tersebut di atas perlu mengkaji ulang secara cermat dan hati-hati sebagai gagasan untuk mengorientasikan pesantren pada tantangan kekinian. Pesantren harus menumbuhkan apresiasi yang sepatutnya terhadap semua perkembangan yang terjadi di masa kini dan mendatang, sehingga memproduksi (calon) ulama yang berwawasan luas. Dengan demikian maka fungsi pokok pesantren justru semakin relevan di tengah arus globalisasi nilai yang semakin mengencang. Maka, pesantren dalam hal ini merupakan sebagai salah satu lembaga Islam yang berfungsi sebagai “Guardian of Islamic Faith”.
Adapun problem yang sering dihadapi pesantren di antaranya adalah  problem yang sering di jumpai dalam praktek pendidikan di Pesantren, terutama yang masih bercorak salaf adalah persoalan efektifitas metodologi pengajaran. Di sinilah perlunya dilakukan penyelarasan tradisi dan modernitas di tengah dunia Pesantren. Dalam hal ini, memang diperlukan adanya pembaharuan di pesantren, terutama mengenai metodologi pengajarannya, namun pembaharuan ini tidak harus meninggalkan praktek pengajaran lama (tradisional), karena memang di sinilah karakter khas pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam di Indonesia. Justru yang diperlukan adalah, adanya konfigurasi sistemik dan kultural antara metodologi tradisional dan kultural antara metodologi tradisional dengan metodologi konvensional-modern.

Daftar Referensi
‘Ala, Abd, Pembaruan Pesantren, (Jogjakarta ; Pustaka Pesantren, kelompok LKis,2006) 
Arif, Mahmud, Pendidikan Islam Transformatif, (Jogjakarta: LKis, 2008)
Departemen Agama, Proyek Peningkatan Pondok Pesantren, Pola Pembelajaran Di Pesantren, 2001
Departemen Agama, Pondok Pesantren dan Madrasah Diniyah,Pertumbuhan dan Perkembangannya. (Jakarta: Dirjen Kelembagaan Islam Indonesia,2003).
DJoened, Marwati, Sejarah Nasional Indonesia III Zaman Pertumbuhan dan perkembangan Islam di Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka),
Team pengembang Kurikulum FIP-UPI, ilmu dan aplikasi pendidikan  Bandung : PT Imtim, 2007
Fadjar, Malik, , Visi Pembaharuan Pendidikan Islam  Jakarta: LP3N,1998)
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia:Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,1999),
http://lirboyo.net, Sejarah dan Peran Pondok Pesantren, di akses 16 Nopember 2012 jam 13.45 WIB
Mujamil Qomar, Pesantren dari Transformasi Metodologi menuju Demokratisasi Institusi, (Jakarta; Penerbit Erlangga, 2007)
Noer, Deliar, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1990-1942, Cet II,Jakarta; LP3ES, 1982
Soemarjan, Selo, Perubahan Sosial di Yogyakarta, (Yogyakarta: Gajahmada Pers),
Solichin, Mohammad Muchlis, Kebertahanan Pesantren Salaf di Tengah Arus Modernisasi Pendidikan : Fenomena Pondok Pesantren Al Is’af Kalabaan, Guluk-Guluk Sumenep,  IAIN Sunan Ampel 2011, (Disertasi tidak di terbitkan)
Sasono, Adi, Didin Hafifuddin, AM Saifudin dkk, Solusi Islam atas Problematika Umat (Ekonomi, Pendidikan dan Dakwah), (Jakarta; Gema Insani Press, , 1998)
Yasmadi, Modernisasi Pesantren,.( Jakarta: Ciputat Press, 2002),
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, cet. 2, (Jakarta: LP3ES, 1994)


[1] Malik Fadjar, Visi Pembaharuan, Pendidikan Islam  Jakarta: LP3N,1998), hal. 125
[2] Adi Sasono, Didin Hafifuddin, AM Saifudin dkk, Solusi Islam atas Problematika Umat (Ekonomi, Pendidikan dan Dakwah), (Jakarta; Gema Insani Press, , 1998), hal 106
[3] Yasmadi, Modernisasi Pesantren,.( Jakarta: Ciputat Press, 2002),  hal. 62
[4] Adi Sasono, ibid hal 106
[5] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, (Jakarta: LP3ES, cet. 2, 1994), hal. 18
[6] Abdurrahman wachid dalam M. Dawan Rahardjo, Ibid, hal. 40
[7] Zamakhsyari Dhofier, op.cit, hal. 44
[8] Abdurrahman Wachid dalam Mujamil Qomar, Pesantren dari Transformasi Metodologi menuju Demokratisasi Institusi, (Jakarta; Penerbit Erlangga, 2007) hal 21
[9] Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia:Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,1999), hal 44
[10] Departemen Agama, Pondok Pesantren dan Madrasah Diniyah,Pertumbuhan dan Perkembangannya. (Jakarta: Dirjen Kelembagaan Islam Indonesia,2003).hal. 33-35
[11] Selo Soemarjan, Perubahan Sosial di Yogyakarta, (Yogyakarta: Gajahmada Pers), hal. 278.
[12] Adi sasono dkk, Ibid hal 111
[13] Adi Sasono dkk, Ibid 111
[14] Zamakhsyari Dhofier, ibid hal 41
[15] Zamakhsyari Dhofier, ibid hal 41
[16] Misalkan surat Al Maidah ayat 51 ;”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, Maka Sesungguhnya orang itu Termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim”
[17] Adi Sasono, ibid hal 112-113
[18] Adi Sasono, ibid hal 113
[19] Mujamil Qomar, ibid hal 13
[20] http://lirboyo.net, Sejarah dan Peran Pondok Pesantren, di akses 16 Nopember 2012 jam 13.45 WIB
[21]Mastuhu dalam  Mahmud arif, Pendidikan Islam Transformatif, (Jogjakarta: LKis, 2008) hal 183
[22] Cara mengambil atau mengambil dalil (berdalil)
[23] Mahmud arif, Pendidikan Islam Transformatif, (Jogjakarta: LKis, 2008) hal 183
[24] Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1990-1942, Cet II,Jakarta; LP3ES, 1982 hal 15
[25] Sifat dua puluh itu yaitu Wujud,(Ada),Qidam Artinya "dahulu", Baqa, Artinya "permanen".Mukhalafatuhu li al-hawadis, Artinya "berbeda wujud Zat Allah Ta'ala dengan sekalian yang baru",Qiyâmuhu binafsihi, Artinya "berdiri Allah  dengan sendirinya",Wahdâniyah, "Artinya "Esa Zat Allah dan mungkin beberapa,Hayat, Artinya "Hidup",'Ilmu, Artinya "tahu" atau mengetahui,Qudrat, Artinya "kuasa" dan mungkin lemah,Iradat, Artinya "berkehendak" ,Sama ', Artinya "mendengar",Bashar, Artinya "penglihatan",Kalam, "Artinya "berkata-kata", Kaunuhu Haiyan, "Artinya "Zat Allah tetap dalam kondisi Maha Hidup",Kaunuhu 'Aliman, Artinya "Zat Allah  tetap dalam kondisi mengetahui, Kaunuhu Qâdiran. Artinya "Zat Allah tetap dalam kondisi Mahakuasa, Kaunuhu Murîdan, "Artinya "Zat Allah  tetap dalam kondisi Maha menghendaki, Kaunuhu Sami'an, "Artinya "Zat Allah  senantiasa dalam kondisi Maha Mendengar, Kaunuhu Basiran, Artinya "Zat Allah Ta'ala tetap dalam kondisi Maha Melihat, Kaunuhu Mutakalliman," artinya "Zat Allah  tetap dalam kondisi Maha Bertutur Kata
[26] Proyek peningkatan Pondok Pesantren Direktorat Jenderl Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Departemen Agama, 2001, Pola penyelenggaraan Pesantren Kilat, Pendidikan singkat Ilmu-ilmu Agama Islam, hal 2
[27] Hurgronje dalam Deliar Nur hal 16
[28] Seorang santri yang telah jauh kajian keilmuannya pada kyai di Pesantren
[29] Delier Nur Ibid hal 17
[30] Adi Sasono, ibid hal 114
[31] Mujamil Qomar, ibid hal 13
[32] Djumhur dan Dana Suparta dalam Mujamil Qomar, hal 14
[33] Mohammad Muchlis Solichin, Kebertahanan Pesantren Salaf di Tengah Arus Modernisasi Pendidikan : Fenomena Pondok Pesantren Al Is’af Kalabaan, Guluk-Guluk Sumenep,  IAIN Sunan Ampel 2011, (Disertasi tidak di terbitkan)
[33] Ibid

[35] ibid hal 14
[36] Memelihara yang lama yang baik dan mengambil yang baru yang lebih baik.
[37] Abd ‘Ala, Pembaruan Pesantren, (Jogjakarta ; Pustaka Pesantren, kelompok LKis,2006),  hal 5
[38] Darmaningtyas, Pendidikan yang Memiskinkan cet II, Yogyakarta ; Galang Press, 2004, hal 6
[39] Ibid hal  7
[40] Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama, ibid, hal 74
[41] Proyek Peningkatan Pondok Pesantren, Departemen Agama, Pola Pembelajaran Di Pesantren, 2001, hal 20
[42] Ibid hal 21
[43] Ibid hal 23
[44] Bloom mengidentifikasikan adanya lima variable yang yang sangat penting dalam program mastery learning yaitu kualitas pembelajaran, kecakapan untuk memahami pelajaran, ketekunan,waktu dan kecerdasan. Lihat ilmu dan aplikasi pendidikan oleh team pengembang Kurikulum FIP-UPI,Bandung : PT Imtim, 2007,  hal 186

Tidak ada komentar: