Jumat, 23 Agustus 2013

Review Buku : “Sains Qur’ani : Produk Integrasi Sains dan Agama”

Review Buku
“Sains Qur’ani : Produk Integrasi Sains dan Agama”
 (Tinjauan atas Buku  Dr. Hartono, M.Si “Pendidikan Integratif”)
Oleh Abd. Qohin
A.  Identitas Buku
Judul                       : Pendidikan Integratif
Pengarang               : Dr. Hartono M.Si.
Penerbit                  : STAIN Press bekerjasama dengan Penerbit Litera Buku, Yogyakarta
Tahun Terbit           : Cetakan I tahun 2011
Kota Terbit             : Purwokerto
ISBN                      : 978-602-99074-0-7
Jumlah Halaman     : 256
B.  Sekilas tentang Penulis[1]
Dr. Hartono, M.Si. adalah staf pengajar tetap STAIN Purwokerto sejak tahun 2005 untuk mata kuliah Psikologi Belajar, Filsafat Pendidikan Islam, dan Filsafat Ilmu. Mulai tahun 2010 menjadi staf pengajar luar biasa di STKIP Islam Bumiayu. Dilahirkan di Lamongan, 1 Mei 1972, ia memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM) tahun 1997 dan gelar Magister Sains diperoleh dari program Studi Psikologi Perkembangan Universitas Padjadjaran (UNPAD) Bandung tahun 2001-2004 serta gelar Doktor Ilmu pendidikan diraih dari Program Studi Pendidikan Nilai Universitas  Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung tahun 2007-2010.
Meskipun ia kuliah di Kampus PTN, ia selalu menulis tugas akhir dengan tema ke-Islam-an. Dia menggunakan analisis filosofis Barat untuk membedah teologi Islam (skripsi), Psikologi sosial untuk membedah dinamika kepatuhan dan kemandirian saantri di Pesantren (tesis), dan menggunakan teori-filsafat pendidikan dan psikologi belajar untuk mengembangkan pendidikaan Islam (disertasi).
C.  Bahasan Buku dan Analisa
Buku Pendidikan integratif, karya Hartono ini merupakan modifikasi disertasi penulis yang berjudul “Pengembangan Model Pendidikan Nilai dalam Pembelajaran Integrasi Sains dan Agama di MA Unggulan Darul Ulum Jombang Jawa Timur”. Fokus bahasan buku ini, sebagaimana tercantum dalam katalog adalah pembelajaran sains dan agama yang dipadukan (integrasi), dengan ilustrasi gambar dalam sampul buku seorang perempuan bule yang sedang belajar sains, hasil sains modern dan seorang ibu yang mengajari dua orang putrinya membaca Al Qur’an.[2]
   Latar belakang penulisan buku ini didasari ungkapan kegelisahan penulis buku melihat dikotomi ilmu yang terus melanda pendidikan kita akibat pengaruh sekulerisasi sains barat. Hal itu juga amini oleh Mulyadi Kartanagara, bahwa gejala deislamisasi ilmu pengetahuan diakibatkaan oleh gerakan sekulerisasi di Barat. Para Saintis Barat tidak membawa-bawa agama ke dalam ilmu pengetahuan. Mereka memandang bahwa yang betul-betul ilmu pengetahuan hanyalah sains, sementara pengetahuan tentang Tuhan atau lebih luasnya lagi agama bukanlah berupa ilmu.[3]
Di samping itu, buku ini juga lahir juga dari kegelisahan penulis buku tentang tujuan pendidikan nasional dalam UU No.20 tahun 2003 yang sangat sempurna untuk bahasa manusia.[4] Mungkinkan hal itu dapat diwujudkan oleh pendidikan kita? Penulis buku agaknya sedikit ragu melihat potret pendidikan Indonesia yang sejak lama mengalami dikotomi ilmu dan khususnya Madrasah yang merupakan representasi pendidikan Islam di negeri ini mampu mewujudkan tujuan mulia tersebut. Keraguan itu sebenarnya cukup beralasan karena secara yuridis formal materi pembelajaran di sekolah tidak mencerminkan substansi UUD 1945 pasal 31 ayat 31, yaitu: “pemerintah memajukan ilmu pengetahuan  dan tehnologi yang menjunjung tinggi nilai-nilai agama…”. Menurut Omar Bakar pengembangan sains dan tehnologi yang menjunjung tinggi nilai-nilai juga sejalan dengan tuntutan dan tantangan terbesar abad ke-21 yang dihadapi oleh umat Islam yaitu imperialisme ekonomi dari adidaya ekonomi dunia.[5] Di samping itu, tak kalah pentingnya problem pendidikan kita adalah pendidikan modern kita selama ini adalah  hasilnya sangat menekankan dan mengunggulkan kualitas intelektual atau kepandaian yang dilambangkan dengan IQ.[6]
Melihat gejala di atas penulis buku menyuguhkan solusi berupa perlunya pengembangan lembaga pendidikan yang dalam proses pembelajarannya yang memadukan sains dan tehnologi yang berbasis struktur muslim yang menjunjung nilai-nilai agama. Inilah yang ia sebut sebagai pembelajaran integratif. Pendidikan integrasi merupakan Pendidikan yang mengintegrasikan dan mengkaitkan satu mata pelajaran dengan pelajaran lain, bukan hanya dibatasan implikasi (seperti yang biasa dilakukan sekolah), tetapi di dalam relasi konsep, sehingga anak-anak dibangun dalam pemikiran yang konsisten antara satu konsep pelajaran dengan konsep lainnya. Integrasi kurikulum bukanlah metode baru untuk mengorganisir instruksi. Pendidikan pertama kali dieksplorasi dengan konsep mengintegrasikan kurikulum dilakukan pada tahun 1890. Selama bertahun-tahun, telah ada banyak peneliti pendidikan, misalnya, Susan Drake, Heidi Hayes Jacobs, James Beane dan Gordon Vars, yang telah menggambarkan berbagai penafsiran tentang integrasi kurikulum dengan mengacu pada kurikulum sebagai sesuatu yang terjalin, terhubung, tematik, interdisipliner, multidisiplin, berkorelasi, terkait dan holistik.[7] Sejalan dengan hal tersebut, Integrasi pembelajaran adalah menunjukkan kemampuan untuk menghubungkan informasi dari konteks yang berbeda dan perspektif. Ini termasuk kemampuan untuk menghubungkan domain ide dan filsafat ke dunia yang nyata, dari satu bidang studi atau disiplin yang lain, dari masa lalu sampai sekarang, dari satu bagian ke keseluruhan, dari abstrak ke konkret dan sebaliknya. [8]
Integrasi sains dan agama merupakan upaya untuk mengaitkan antara perspektif teoritik dan wahyu (kitab suci Al Qur’an atau hadits) atas fenomena tertentu (objek pengetahuan tertentu). Dalam konteks ini, penulis buku lebih condong dalam dalam mengambil objek kajian dalam konteks integrasi (memadukan) sains dan nilai agama. Menurut Feisal Yusuf Amir bahwa pendidikan integratif merupakan pendidikan pendidikan umum (Public School) yang berorientasi pada nilai, ajaran, dan prinsip-prinsip syariat, baik dalam pengertian agama sebagai wahyu maupun agama sebagai kultur Islami.[9] Paradigma rancang bangun pendidikan yang dimaksud oleh penulis buku adalah paradigma integratif sebagaimana yang disebutkan dalam definisi tersebut.
Dengan demikian, menurut Hartono jika pembelajaran tersebut dilaksanakan dan berhasil maka akan melahirkan saintis-saintis dan tehnolog-tehnolog “Jenis baru” yang dibutuhkan dalam proses pendidikan sains dan tehnologi  yang integral dan holistik[10], bukan saintis dan tehnolog yang picik. Salah satu lembaga yang melakukan pengembangan desain kurikulum dalam proses pembelajaran yang memadukan sains dan tehnologi dengan nilai-nilai agama (Integrasi) adalah MA Darul Ulum Jombang sebagaimana yang beliau teliti. Menurut Moh. Roqib, dalam merancang desain kurikulum dalam pendidikan Islam minimal ada tiga prinsip yang harus dipengangi:[11] pertama, pengembangan pendekatan relegius kepada dan melalui semua cabang ilmu pengetahuan; kedua, isi materi pelajaran yang bersifat relegius seharusnya bebas dari ide dan materi yang jumud dan tak bermakna; dan ketiga, pembuatan kurikulum harus memperhitungkan setiap komponen yang oleh Taylor yang sering disebut tiga prinsip : Kontinuitas (kesinambungan), Sekuensi dan Integrasi. Dalam konteks yang lebih operasional bahan pelajaran perlu disajikan pula dalam bentuk Sekuensi, Gradasi, kuantitas dan berbagai pendukung lain yang sesuai dengan tujuan pendidikan.[12] Jika melihat rancang bangun desain kurikulum tersebut cukup menarik melihat visi dari MA Darul Ulum Jombang yaitu “…Mencetak santri yang Berotak London dan Berhati Masjidil Haram”. Visi inilah yang menjadi inspirasi dalam proses pengembangan pembelajaran di MA Darul Ulum Jombang.
Dalam buku ini menyuguhkan banyak teori-teori relasi dunia sains, agama, nilai dan manusia dalam pembelajaran. Dalam kaitannya hubungan agama dan sains, penulis buku melihat ada titik temu antara agama dan sains modern dan keduanya merupakan dua hal yang tidak terpisahkan. Dengan demikian maka hubungan sains dan agama tidak lagi pada tahap konflik, independensi, atau dialog, tetapi telah masuk pada tahap integrasi berupa dialog antara sains dan agama. Pada bab ini juga banyak membahas tentang pilar-pilar integrasi sains dan agama dengan berpijak pada tiga pilar. Tiga pilar sains Islam jelas harus dibangun dari prinsip tauhid yang tersari dalam kalimat Laailaha illaallah dan terdeskripsi dalam rukun iman dan rukun Islam.[13] Pertama, Ontologi yaitu bahwa objek integrasi sains dan agama adalah dualistik yang holistik yaitu  realitas yang nyata (material) dan tidak nyata (immaterial). Kedua, Epistimologi artinya integrasi sains dan agama menempatkan mata, telinga, dan hati sebagai sumber pengetahuan dengan menempatkan entitas fisik dan non fisik sebagai objeknya. Ketiga,  Aksiologi yang menekankan pada aspek nilai untuk menghindari krisis. Sains mestinya direkonstruksi dan dikembangkan untuk membantu manusia menjadi orang yang pandai bersyukur.   
Buku ini juga banyak mengupas tentang implementasi integrasi sains dan agama dalam pembelajaran beserta contoh-contoh model integrasi sains dan agama. Diantaranya adalah, pertama,  pada kasus materi pembelajaran kelas X pembahasan tentang Gerhana. Selain dengan teori sains juga diintegrasikan dengan ayat Al Qur’an surat An Nahl 16 dan Hadist Nabi. Kedua, Pembahasan tentang fenomena hujan dengan menggunakan pendekatan sains dan agama. Ketiga, Pembahasan Biologi dalam Al Qur’an tentang keanekaragaman kehidupan hewanDisamping itu juga kasus materi kelas XI tentang penciptaan manusia, minyak bumi dan panca indera. Integrasi sains dan agama sebagai model pembelajaran untuk mata pelajaran IPA atau Pendidikan Agama Islam (PAI) tentu memiliki efek-efek pembelajaran. Tentunya, efek-efek positif dan produktiflah yang mestinya dicari dalam integrasi sains dan agama. Sesuatu yang positif dan produktif inilah yang penulis buku ia sebut pendidikan nilai. Menurut Fraenkel, nilai adalah “…is a idea a concept about what some one thinks is important in life”.[14] Nilai adalah sebuah ide. Ide mengenai konsep yang dipikirkan orang banyak dan sesuatu penting itu dalam hidup. Efek-efek positif dari pembelajaran integratif dari hasil penelitian tersebut antara lain: bertambahnya keimanan dan ketaqwaan, munculnya “sains baru” (wujud sains Qurani),[15] membangkitkan rasa syukur, membangkitkan rasa ingin tahu siswa dan meningkatkan rasa percaya diri siswa.
Bertolak dari hal tersebut, maka pendidikan Islam akan dihadapkan pada tantangan yang tidak ringan dalam rangka mewujudkan pendidikan integratif yang mencoba secara maksimal mengembangkan ketiga potensi manusia tersebut. Terlebih dalam kondisi sekarang di mana tuntutan kepada sumber daya manusia yang unggul menjadi hal yang tidak dapat diabaikan.
Dari hasil penelitian buku ini menghasilkan model pendidikan nilai dalam pembelajaran integrasi sains dan agama dan merekonstruksi ranah keilmuan berupa “wujud sains qurani”. Pilar-pilar Rekonstruksi ranah keilmuan dalam sains baru meliputi metafisika dalam sains qur’ani, reasoning (Pembentukan) sains qur’an, sistem epistimologi sains qur’an, dan aksiologi sains qur’an. Sedangkan rekonstruksi pada ranah pembelajaran ia jelaskan dari hasil simpulan dari penelitian yang berupa produk integrasi sains qur’ani yang ia sebut sebagai “sains qur’ani”. Dari hasil produk itulah lahirlah pemahaman tentang pengakuan atas kekuasaan Allah, kekaguman atas kerja alam ini, pengakuan diri lemah dibanding kuasa Allah, dan sebagainya selalu terjadi sebelum dan sesudah pembelajaran. Subhanaallah, Allahu Akbar, Innalillahi wa innailaihi rajiun, Alhamdulilah dan lain-lain menjadi ekspresi spontan peserta didik selama dan setelah proses pembelajaran integrasi tersebut yang selalu mengagungkan Allah SWT. Dan ujung dari pemahaman terhadap materi integrasi adalah kepribadian yang penuh rasa syukur. Dengan pendidikan demikian, akan memproduksi rasa syukur sebagai akibat dari produk pengetahuan integratif, yaitu kompeten secara keilmuan dan   kepribadian yang penuh syukur.
Pembahasan tentang pendidikan integratif dalam buku ini menggunakan pisau bedah dan pendekatan teori-teori filsafat, menjadikan buku ini berbobot dan lebih mendalam pembahasannya. Sehingga pembaca betul-betul dapat memahami dengan tajam tentang maksud dari penulis buku. Di samping itu, dengan menghadirkan beberapa contoh dalam integrasi beberapa materi sains  dalam buku tersebut, menjadikan kekuatan lebih dari buku tersebut. Pembaca akan langsung dapat melihat contoh riil dari model pembelajaran integratif.
Suatu kritik untuk buku ini adalah bahwa pemabahasan diawali langsung dengan beberapa contoh materi sains yang di integrasikan. Pada aspek pengembangan kurikulum integrasi sains justru tidak nampak pada pembahasan buku ini. Ini menjadikan pembahasan integrasi kurikulum sepertinya terpisah dari materi integrasi sains. Padahal keduanya merupakan bagian dari kurikulum secara keseluruhan (komprehensip).
Dan terakhir, Keseluruhan isi buku merupakan ungkapkan gagasan terkait format baru pendidikan yang lebih komprehensif dengan membidik manusia yang tidak terpisah dengan Tuhan dan alam (antropologis) sebagai paradigmanya. Bukan sekedar gagasan, melainkan potret pendidikan ideal di masa depan. Realisasi lebih bagus daripada konsep dan design, semoga suatu saat nanti ditemukan lembaga pendidikan semacam ini.
D.  Penutup
Akhirnya, terlepas dari kelebihan dan kekurangannya buku karya Hartono ini setidaknya telah memberi kontribusi positif bagi pengembangan disiplin ilmu pendidikan Islam, terutama memperkaya khazanah kajian Pendidikan Nilai.  Tentu sangat menarik untuk dibaca karena diharapkan setelah membaca buku ini dapat memberikan inspirasi dan energi positif bagi guru maupun pembaca dalam menyusun materi ajar dan dalam pembelajaran dengan bingkai dan nuansa integratif. Contoh-contoh materi yang diintegrasikan dalam pembelajaran sains terasa berbeda dan menjadi ruh dalam proses pembelajaran dengan perpaduan sains modern dan dibingkai dengan ayat-ayat Al Qur’an.
Dan yang paling penting dari itu semuanya, model yang ditawarkan dalam buku ini dapat diadopsi dan diimplementasikan pada lembaga-lembaga pendidikan Islam. Sebagai buku edukatif, buku ini sangat layak dijadikan salah satu referensi yang sangat penting bagi pengembangan kurikulum dan pembelajaran di lembaga pendidikan Islam atau bagi kalangan yang ingin menambah wawasan dibidang kajian pendidikan nilai.
DAFTAR PUSTAKA
Alberta Education  Team, (2007), Primary Programs Framework for Teaching and Learning, Curriculum Integration: Making Connections, Canada: Alberta.
Bakar, Omar, (2008), Tauhid dan Sains: Perspektif Islam tentang Agama dan Sains, Bandung : Pustaka hidayah.
Barber, James Patrick, (2009),  Integration of Learning: Meaning Making For Undergraduates Throught Connection, Aplication, and Synthesis, Dissertation,  The University of Michigan
Doll, Ronald C, (1974), Curriculum Improvement: Decition Making and Process, Boston: Allyn and Bacon,Inc.
Feisal, Jusuf Amir, (1995), Reorientasi Pendidikan Islam, Jakarta: Gema Insani Press.
J.R, Frainkel, , (1977), How to Teach about Values: An Analityc Approach, New Jersey: Prentice-Hall,inc.
Mahmudah, Siti, (2009), “Mengembangkan Kecerdasan Manusia Melalui Pendidikan Islam”, dalam Jurnal Nizamia, vol 12, no.1
Musafah, Jejen, (2012), (ed),Pendidikan Holistik, Pendekatan Lintas Perspektif, Jakarta: Kencana Prenada Media Group
Purwanto, Agus, (2008),Ayat-Ayat Semesta, Sisi Al Qur’an Yang Terlupakan, Bandung: Mizan.
Roqib, Moh, (2009), Ilmu Pendidikan Islam Pengembangan Pendidikan Integratif di Sekolah, Keluarga dan Masyarakat, Yogyakarta: LKis.
Saryono, Djoko, (2003), “Pendidikan Sekolah sebagai Wahana Pembentukan Karakter dan Intelektual Pelajar untuk Menyongsong Abad Pengetahuan”, dalam Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran, vol. 2 no. 8
Tim Pengembang Ilmu Pendidikan UPI,( 2007), Ilmu dan Aplikasi Pendidikan, Bagian III Pendidikan Disiplin Ilmu, cet II, Jakarta: PT Imperial Bhakti Utama.
Undang-Undang No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.




[1] Profil penulis buku dirangkum dari biografi beliau di dalam buku tersebut
[2] Ilustrasi gambar sampul buku ini cukup mewakili judul buku. Artinya bahwa seorang perempuan bule yang sedang belajar sains seolah-olah mewakili Barat yang sekuler dan lepas dari nilai agama, sehingga menghasilkan produk-produk sains modern yang canggih. Sedangkan gambar seorang ibu yang sedang mengajari putrinya membaca Al Qur’an menggambarkan seolah-olah Agama terpisah dari dunia sains. Judul “Pendidikan Integratif” inilah yang menjadi solusi yang ditawarkan penulis buku dalam mendamaikan Agama dan Sains sehingga menghasilkan saintis-qur’ani.  
[3]Tim Pengembang Ilmu Pendidikan UPI,( 2007), Ilmu dan Aplikasi Pendidikan Bagian III Pendidikan Disiplin Ilmu, cet II, Jakarta: PT Imperial Bhakti Utama, hal. 14.
[4] Tujuan Pendidikan Nasional adalah …bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Lihat Bab II pasal 3 Undang-Undang No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
[5] Lihat Omar Bakar, (2008), Tauhid dan Sains: Perspektif Islam tentang Agama dan Sains, Bandung : Pustaka hidayah, hal. 34
[6] Pendidikan hanya mengedepankan kecerdasan otak dengan sejumlah materi pelajaran yang harus dikuasai dan dipahami oleh peserta didik, dan profil hasil belajarnya hanya diukur dari nilai-nilai akademik. Lihat dalam Djoko Saryono, “Pendidikan Sekolah sebagai Wahana Pembentukan Karakter dan Intelektual Pelajar untuk Menyongsong Abad Pengetahuan”, dalam Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran, vol. 2 no. 8, 2003, hal.133-134. Akibatnya  dikhawatirkan akan menghasilkan peserta didik yang pintar tetapi buta hati. Yang demikian ini terbukti betapa banyak orang berpendidikan tinggi, dengan sejumlah gelar di depan dan di belakang, tetapi masih tetap melakukan korupsi, kolusi, dan manipulasi. Banyak lulusan pendidikan yang tidak dapat berkiprah di dunia pekerjaan sehingga terjadilah pengangguran intelektual. Apabila populasi pengangguran meningkat, akan menimbulkan masalah sosial, seperti krisis moral yang dapat berbuntut pada multikrisis. Lihat Siti Mahmudah, “Mengembangkan Kecerdasan Manusia Melalui Pendidikan Islam”, dalam Jurnal Nizamia, vol 12, no.1, 2009, hal.88
[7] Alberta Education  Team, (2007), Primary Programs Framework for Teaching and Learning, Curriculum Integration: Making Connections, Canada: Alberta, hal.1. Didownload tanggal 1 Juli 2013, pukul 09.00
[8] Dalam beberapa tahun terakhir, istilah-integrasi telah semakin banyak digunakan untuk menggambarkan ide untuk pembelajaran terhubung atau terpadu, dan telah memperoleh perhatian sebagai hasil penting dari pendidikan tinggi di Amerika Serikat. Lihat Kendall Brown, Lindsay, & VanHecke dalam  James Patrick Barber, (2009),  Integration of Learning: Meaning Making For Undergraduates Throught Connection, Aplication, and Synthesis, Dissertation,  The University of Michigan,  hal.13. Didownload tanggal 1 Juli 2013, pukul 09.00
[9] Jusuf Amir Feisal, (1995), Reorientasi Pendidikan Islam, Jakarta: Gema Insani Press, hal. 19. Lebih lanjut setiap satuan pelajar dan seluruh struktur kurikulumnya berwawasan Islami sehingga tidak ada satu kegiatan pun yang terlepas dari pendidikan syariat.
[10] Pendidikan holistik merupakan pendidikan yang memberikan pemahaman terhadap problem-problem global seperti Hak Azasi Manusia (HAM), Keadilan Sosial, Agama, Integrasi, pemanasan global dan lain-lain, sehingga mampu melahirkan peserta didik yang berwawasan dan berkarakter global serta mampu memberikan solusi terhadap problem kemanusiaan. Lihat Jejen Musafah, (2012), (ed),Pendidikan Holistik, Pendekatan LintasPerspektif, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, hal. 4-5.
[11] Moh. Roqib, (2009), Ilmu Pendidikan Islam Pengembangan Pendidikan Integratif di Sekolah, Keluarga dan Masyarakat, Yogyakarta: LKis, hal.77-78.
[12] Ronald C Doll, (1974), Curriculum Improvement: Decition Making and Process, Boston: Allyn and Bacon,Inc, hal. 139. Prinsip integrasi dalam pandangan Moh.Roqib merupakan sebuah prinsip yang memandang adanya wujud kesatuan kehidupan dunia-akherat. Kehidupan di dua ala mini dipandang sebagai suatu perjalanan yang tidak terputus. Dunia diletakkan sebagai jembatan menuju alam akherat yang abadi. Lihat, Moh. Roqib, Ilmu Pendidikan Islam, hal.84.
[13] Agus Purwanto, (2008), Ayat-Ayat Semesta, Sisi Al Qur’an Yang Terlupakan, Bandung: Mizan, hal.189.
[14] Frainkel, J.R, (1977), How to Teach about Values: An Analityc Approach, New Jersey: Prentice-Hall,inc, hal.6.
[15] Yang ia maksud sains baru adalah hasil perpaduan (integrasi) sains dan agama dalam pembelajaran sains yang menjadikan Al Qur’an dan Hadist sebagai rujukan utama.

Saling Memaafkan


Kisah Sahabat Nabi
Seorang pembunuh terlihat pasrah menyongsong hukuman mati yang akan menimpanya. Sebelum eksekusi, sang hakim bertanya kepada si terdakwa, “Apakah permintaan terakhirmu?”
“Bila mungkin, aku mohon diijinkan pulang ke kampung selama 3 hari,” jawabnya dengan kepala tertunduk. “Aku ingin pamit dan menyelesaikan amanah dan hutang yang aku pikul dengan beberapa orang,” lanjutnya.
Mendengar itu, sang hakim menarik nafas panjang dan berkata, “Permintaanmu bisa kukabulkan, asal ada seseorang yang menjaminkan diri untukmu. Bila engkau tidak kembali, maka diri penjaminlah yang dihukum mati.”
Suasana menjadi sepi. Massa yang berkumpul di lapangan terdiam. Tidak ada seorang pun yang berani mengambil resiko tersebut.
Di tengah kebisuan, tiba-tiba maju seorang sahabat Nabi yang sangat terkenal. Ia adalah salah seorang sahabat yang dijamin masuk syurga. Abu Dzar Al-Ghifari. Ia rela menjadi penjamin si pembunuh.
Tiga hari telah berlalu. Batas akhir eksekusi tinggal menunggu menit. Banyak khalayak mulai gelisah, bahkan menangis. Sebab Abu Dzar akan dieksekusi menggantikan si pembunuh.

Di tengah-tengah kekuatiran dan kesedihan tersebut, nampaklah si pembunuh dengan susah payah berlari-lari menuju tempat eksekusi. “Maaf, aku terlambat, karena ada sedikit halangan halangan di jalan,” terangnya dengan nafas masih tersengal-sengal.
Mendengar itu, sang hakim sangat heran dan bertanya, “Wahai terdakwa, mengapa engkau mau kembali lagi memenuhi hukumanmu? Bukankah engkau dapat saja melarikan diri?”
“Pak Hakim, bisa saja saya melarikan diri dari hukuman ini. Namun bagaimana saya hendak lari dari hukuman Allah.” jawabnya dengan tegas.
“Yang tidak kalah pentingnya Pak Hakim, ini soal harga diri Islam dan seorang muslim. Saya tidak mau ada catatan sejarah bahwa pernah ada seorang muslim yang lari dari tanggungjawab serta mengkhianati kepercayaan orang yang telah menolongnya,” pungkas si pembunuh.
Belum hilang takjub sang hakim mendengar jawaban tersebut, terdengar suara dari perwakilan keluarga korban. “Pak Hakim, tolong bebaskan si terdakwa ini. Kami telah memaafkannya,” pinta mereka.

“Pak Hakim, ini soal harga diri Islam dan seorang muslim. Kami tidak ingin tercatat dalam sejarah, ada seorang muslim yang tidak memaafkan kesalahan saudaranya yang Muslim. Apalagi, dia membunuh bukan karena disengaja,” lanjut mereka.

Sang Hakim diam seribu bahasa diliputi rasa heran sekaligus haru. Ia pun kemudian memerintahkan untuk membebaskan si pembunuh. Namun sebelum sidang dbubarkan, sang hakim sempat bertanya kepada Abu Dzar.

“Wahai Abu Dzar, tolong jelaskan mengapa engkau berani mengorbankan diri untuk menjamin pembunuh ini? Bukankah dia bukan keluargamu? Bahkan, dia tidak engkau kenal sama sekali?”

Dengan enggan Abu Dzar menjawab, “Pak hakim, ini soal harga diri Islam dan seorang Muslim. Aku tidak ingin ada catatan dalam sejarah, bahwa pernah suatu saat ada kejadian seorang muslim tidak mau menolong saudaranya yang sedang butuh pertolongan.”
Hikmah yang bisa diambil dari kisah ini adalah :

1. Manusia bisa saja bebas dan lepas dari jerat hukum manusia, namun tidak bisa menghindar dari hukum Allah.
2. Sudah selayaknya sesama manusia saling percaya dan tidak mengkhianati kepercayaan orang lain.
3. Sesama manusia harus saling memaafkan, karena Allah pun Maha Pemaaf.
4. Sesama manusia sudah selayaknya saling tolong menolong.