Senin, 14 Desember 2009

renungan akhir tahun

“Pendidikan untuk masa depan”
(Renungan Akhir Tahun)

Oleh Abdul Qohin

Belajar Dari Jepang
Menurut Prof. Dr. Winarno Surakhmad, M.Sc Di dalam dunia pendidikan, sambil berpijak pada masa kini, kita mempersoalkan masa depan. Masa depan ditanggapi sebagai serangkaian persoalan kelangsungan hidup dengan sifat serba terbuka, serba masalah, serba tantangan. Dengan sifat-sifat itu, Yang diperlukan oleh bangsa yang berpikir, sebagai prakondisi untuk mengembangkan diri sendiri adalah menemukan diri sendiri dan memberi arti kepada kehidupan itu sendiri.
Marilah kita sejenak merenungkan dan belajar dari jepang tentang pendidikannya. Tahun 1945, ketika Nagasaki dan Hirosima dilululantahkan oleh sekutu, 200.000 penduduknya tewas dan hanya ada tanah dan air yang tersisa. Kemegahan bangunan pupus sudah. Menariknya pemimpin mereka saat itu, Kaisar Hirohito tidak menanyakan berapa jumlah tentara yang tersisa untuk melawan musuh, tetapi justru mendata berapa jumlah guru yang masih hidup. Kenapa mesti Guru yang dipertanyakan. Hirohito sadar benar bahwa membangun bangsa berawal dari Guru sebagai pendidik. Guru merupakan penopang utama sumberdaya manusia.

Dalam masa yang relatif singkat Jepang berhasil membangun negara mereka menjadi negara yang kuat dalam bidang ekonomi dan pendidikan. Bahkan merupakan negara ekonomi terkuat yang menjadi ancaman bagi AS sendiri. Coba kita bandingkan dengan Indonesia yang mulai membangun diri pada waktu yang sama dengan Jepang (kita merdeka 1945 dan Jepang di bom atom 1945). Jepang telah berlari jauh di depan, kita malah masih tertatih-tatih bahkan jalan di tempat dan kadang kala juga mundur ke balakang.
Contoh nyata dari kemajuan pendidikan di Jepang adalah berubahnya pengertian buta huruf dikalangan rakyat Jepang. Buta huruf yang sudah tidak ada lagi di Jepang mempunyai pengertian “tidak bisa menggunakan komputer”. Betapa jauhnya pengertian ini dengan pengertian aslinya di kalangan bangsa berkembang (dunia ketiga), yang berarti tidak bisa tulis dan baca.

Pendidikan Humanistik
Sekolah selama ini banyak dijadikan sebagai sebuah pabrik, di mana lulusan-lulusannya siap menjadi tenaga kerja siap pakai. Maka sebagian fungsi sekolah yang ada di Indonesia tidak lebih hanya sebagai cara untuk mencari bekal untuk kerja. Tidak mengherankan ketika siswa tidak menjadi semakin cerdas, tapi menjadi semakin beringas dan brutal.
Tawuran pelajar terjadi dimana-mana dan banyak sekali penyalahgunaan NARKOBA yang dilakukan oleh pelajar. Hal itu merupakan bukti ketidakberhasilan sekolah untuk membentuk siswa menjadi manusia pembelajar. Pembelajar adalah individu-individu yang dapat memilah dan memilih mana yang baik dan yang buruk.
Beberapa contoh di atas merupakan pertanda bahwa pendidikan hanya dijadikan ajang penindasan bagi siswa. Erat kaitannya dengan hal tersebut, Freire yang adalah seorang tokoh pendidikan menggagas adanya concientizacao ( kesadaran untuk melakukan ). Concientizacao adalah kesadaran untuk melakukan pembelaan kemanusiaan. Dapat memberantas buta huruf di kalangan orang dewasa misalnya, dimaknai sebagai usaha membebaskan manusia dari belenggu kebodohan.
Sebagian pakar pendidikan beranggapan bahwa Pendidikian yang sesuai dengan tujuan ini adalah pendidikan humanistik yaitu pendidikan yang bertujuan memanusiakan manusia. Manusia didudukkan kembali dalam peranannya dimuka bumi sebagai khalifah dan sebagai hamba. Ada dua sisi manusia yang menjadi kekuatan dasar disini yaitu manusia yang ingin memahami segalanya dan manusia yang menyadari bahwa dia tidak mungkin memahami segalanya.
Ada beberapa nilai dan sikap dasar manusia yang ingin diwujudkan melalui pendidikan humanistik yaitu: Manusia yang menghargai dirinya sendiri sebagai manusia, Manusia yang menghargai manusia lain seperti halnya dia menghargai dirinya sendiri., Manusia memahami dan melaksanakan kewajiban dan hak-haknya sebagai manusia, Manusia memanfaatkan seluruh potensi dirinya sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya., Manusia menyadari adanya Kekuatan Akhir yang mengatur seluruh hidup manusia. .
Apakah dalam pendidikan humanistik setiap manusia diperlakukan sama? Pendidikan yang manusiawi justru harus menghargai perbedaan individual. Kenyataan keunikan manusia harus diakui.
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pendidikan jika ingin pendidikan lebih manusiawi,diantara hal-hal tersebut adalah penerimaan setiap anak apa adanya, lengkap dengan kekurangan dan kelebihannya, Memberikan anak pengalaman sukses sehingga tumbuh percaya diri,, tidak memaksakan kehendak, karena tanpa dipaksa setiap individu akan bergerak untuk memnuhi kebutuhannya, Ukuran keberhasilan tiap anak berbeda-beda. Yang harus dilakukan adalah membantu anak sesuai dengan kemampuannya, memberikan anak toleransi, dorongan semangat, penghargaan serta rasa persahabatan.,selain itu juga memberi anak kebebasan yang disertai rasa hormat dan tanggung jawab
Pendidikan harus Mencerahkan

Pada prinsipnya manusia adalah makhluk yang disamping harus dan dapat dididik juga harus dan dapat mendidik. Dalam hai ini diharapkan proses dididik dan mendidik dapat berkelanjutan atau terus-menerus. Sadar ataupun tidak sadar pendidikan adalah alat pengontrol emosi terutama tentang cara seseorang menyikapi berbagai permasalahan hidup dengan mencari jalan terbaik. Mengapa bisa demikian? Karena dalam pendidikan ada suatu pencerahan hati. Dalam pendidikan tersirat makna tentang hakekat diciptaknnya manusia dalam bumi ini. Hakekat kita hidup di dunia ini adalah mencari sebuah kebenaran suatu hal dan merenungkan tentang apa yang telah kita perbuat serta berusaha melakukan hal-hal yang berguna dalam hidup.

Pendidikan membebaskan peserta didik dari sekat primordial dan menumbuhkan sikap kebersamaan dalam kebhinekaan. Keadaan semacam ini mendorong tercapainya pengembangan peserta didik agar tahu bagaimana menghargai perbedaan dan peka terhadap nilai-nilai kemanusiaan universal. Lebih jauh, peserta didik akan terinspirasi untuk menghormati martabat tanpa syarat sebagai sesuatu yang melekat (inheren) dan tak bisa diganggu gugat (inviolable). Bila nilai pendidikan semacam ini tak bisa dicapai, maka yang muncul dari keniscayaan pluralitas masyarakat justru akan menimbulkan sikap-sikap amoral, intolerant, anarkisme, dan anti kemanusiaan.

Sikap-sikap di atas tidak dapat ditangkal dengan cara instan ketika keadaan pendidikan masih menghadapi pemiskinan berpikir dan pembodohan berperilaku. Banyak aspek yang harus digarap, namun mulailah dari lingkungan terkecil yakni keluarga. Kemudian pendidikan formal disekolah-sekolah melengkapinya dengan materi-materi ilmu pengetahuan yang memberi manfaat nyata bagi kehidupan bermasyarakat (contextual). Materi Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) membekali kesadaran akan pluralitas sosial kemasyarakatan, memaknai peran kepahlawanan dalam mencapai kemerdekaan dan memahami hakikat negara kepulauan terbesar di dunia sebagai negaranya. Demikian pula halnya Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) membekali kesadaran akan pentingnya kedudukan manusia terhadap alam dan lingkungannya sehingga tumbuh sikap memeliharanya. Dan tidak kalah penting Pendidikan Agama mampu membekali kesadaran kolektif yang positif berdasarkan nilai kasih sayang (Ar-Rahman; Ar-Rahim) dan penghargaan terhadap kemanusiaan dan kehidupan. Semua ini didukung oleh contoh-contoh perilaku baik oleh para pemimpin, tokoh masyarakat dan guru-guru kita. Guru hadir sebagai agen perubahan dan rekonsiliasi yang kreatif mempraktekkan hidup damai dalam kebhinekaan di masyarakat. Guru tidak saja menjadi pengajar (teacher) namun juga berperan sebagai pembelajar (learner). Ia tidak hanya pandai dalam ilmu pengetahuan (smart teacher) dan sukses membangun perilaku (success learner) namun juga harus mencerahkan jiwa (delight learner). Pendidikan semacam inilah kiranya yang akan mampu membebaskan dari pemiskinan berpikir dan pembodohan perilaku, atau disebut pendidikan yang mencerahkan. Pendidikan yang mencerahkan akan memanusiakan manusia yang artinya adalah kita yang akan memiliki kepribadian yang lebih toleran dan tidak berpikiran sempit.

Minggu, 04 Oktober 2009

guru masa depan

“Menjadi Guru Masa Depan”
Ust Abdul Qohin

Kekuatan Mimpi
Tuntutan perubahan mindset manusia di era kesejagadan menuntut suatu perubahan yang sangat besar dalam pendidikan nasional. Sebagaimana kita ketahui bahwa pendidikan kita adalah warisan dari sistem pendidikan lama yang isinya menghafal fakta tanpa makna. Merubah sistem pendidikan indonesia bukanlah pekerjaan yang mudah. Sistem pendidikan Indonesai merupakan salah satu sistem pendidikan terbesar didunia yang meliputi sekitar 30 juta peserta didik, 200 ribu lembaga pendidikan, dan 4 juta tenaga pendidik, tersebar dalam area yang hampir seluas benua Eropa. Namun perubahan ini merupakan sebuah keharusan jika kita tidak ingin terlindas oleh perubahan jaman global. Dan perubahan itu harus di mulai dari sebuah mimpi. Mimpi untuk menjadi bangsa yang bermartabat di mata bangsa lain.
Mimpi memiliki kekuatan yang sama pentingnya dengan action plan. Dasar yang menggerakkan kita untuk melakukan sesuatu adalah mimpi. Jika kita tidak punya mimpi, kita tidak bisa bergerak. Karena kita tidak tahu dari mana memulainya. Mulailah dari bermimpi. Sama seperti mahasiswa yang mengalami masalah psikologis ketika tidur tanpa mimpi, demikian kita punya masalah jika hidup tanpa mimpi. Sebelum kita berbicara lebih jauh mengenai sukses, mari bicarakan dulu mimpi kita. Mimpi seorang guru menjadi guru masa depan..
Dalam sebuah kolom Inspirasi pendidikan. Pertama saya terkejut ketika di tulis tentang kekuatan mimpi. Dalam artikel tersebut di tulis ”Jangan pernah meremehkan mimpi”. Ini sesungguhnya menunjukkan kepada kita tentang Kemampuan bermimpi seseorang yang akan menunjukkan seberapa besar keinginan seseorang untuk membuat masa depan lebih baik dari kemarin. Mimpi merupakan energi yang dahsyat untuk sanggup menghantarkan seseorang menuju apapun yang diinginkan. Sungguh mengenaskan jika guru merasa ragu atau takut untuk bermimpi. Semua itu merupakan cermin kepercayaan diri.

Guru harus berani bermimpi tentang peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia dan mewujudkan impian itu menjadi kenyataan. Mimpi mempunyai kekuatan dahsyat yang bisa membuat hal remah menjadi hebat. Mimpi bisa mengubah nol menjadi matahari. Mimpi mampu memberikan seorang motivasi untuk berencana, bertindak, dan mengatur strategi. Dengan memiliki mimpi guru akan melakukan langkah pertama menuju sukses. Guru tanpa mimpi bagaikan burung tanpa sayap, jelas tidak dapat terbang bebas, kepakkan sayap di angkasa luas. Tanpa mimpi tidak akan ada perubahan. Mimpi akan membawa guru membuka jendela masa depan.

Masa depan anak-anak negeri hanya milik sang guru pemimpi yang percaya akan adanya keindahan mimpi-mimpinya. Impian adalah ambisi dalam diri seseorang yang menjadi pengarah untuk maju. Impian yang besar akan mempunyai kekuatan yang besar pula. Mimpi dapat menjadi penjamin keberhasilan karena senantiasa menjadi motivasi menggapai tujuan. Motivasi akan menggerakkan tubuh dan mengatur strategi ampuh yang dapat ditempuh.

Menjadi Guru Pembaharu

Menjadi guru di era IT(informasi dan tehnologi) tidak semudah membalik telapak tangan. Untuk mengerakkan perubahan dibutuhkan guru bermental pembaharu. Bicara tentang perubahan adalah bicara tentang mental. Mental yang berani untuk bermimpi tentang meningkatnya kualitas pendidikan anak negeri, mental yang berani bekerja keras, dan mental yang selalu ingin belajar tanpa batas.
Joni Aryadinata pernah berkata tidak ada tempat bagi orang yang bermental separo. Betapa kegigihan, ketabahan, dan kesabaran tidak boleh sedikit pun lepas dari benak seorang guru. Tidak ada yang bisa mengubah dunia, yang ada adalah mengubah diri sendiri. Mengubah diri sendiri mungkin hanya akan membawa perubahan kecil. Tapi percayalah bahwa yang besar itu berasal dari yang kecil.

Guru pembaharu harus menguasai banyak pengetahuan (akademik, pedagogik, sosial dan budaya), mampu berpikir kritis, tanggap terhadap setiap perubahan, dan mampu menyelesaikan masalah. Guru tidak boleh hanya datang ke sekolah melulu untuk mengajar saja. Kemampuan untuk mengelola kelas saja tidak cukup lagi. Guru diharapkan bisa menjadi pemimpin dan agen perubahan, yang mampu mempersiapkan anak didik untuk siap menghadapi tantangan global di luar sekolah. Selain orang tua peran guru dalam mengarahkan masa depan anak didiknya sangat signifikan. Bisa dibayangkan apa jadinya kalau guru tidak siap menghadapi semua tantangan dinamika pendidikan era kesejagadan, yang nota-bene masih terus akan berubah tahun demi tahun.

Kriteria Guru Masa depan

Finlandia menjadi Negara terbaik dunia dalam pendidikan. Berdasarkan hasil survei internasional yang komprehensif pada tahun 2003 oleh Organization for Economic Cooperation and Development (OECD). Penelitian mengukur bidang sains, membaca, dan matematika. Finlandia tidaklah menggenjot siswanya dengan menambah jam-jam belajar, memberi beban PR tambahan, menerapkan disiplin tentara, atau membombardir siswa dengan berbagai tes. Sebaliknya, siswa di Finlandia mulai sekolah pada usia yang agak lambat dibandingkan dengan negara-negara lain, yaitu pada usia 7 tahun,dan jam sekolah mereka justru lebih sedikit, yaitu hanya 30 jam perminggu. Sedang Korea Selatan, menempati ranking kedua setelah Finlandia, yang siswanya menghabiskan 50 jam belajar perminggu di sekolah.

Lalu, apa kunci keberhasilan pendidikan? Ternyata kuncinya memang terletak pada kualitas gurunya. Guru-guru Finlandia boleh dikata adalah guru-guru dengan kualitas terbaik dengan pelatihan terbaik pula. Profesi guru sendiri adalah profesi yang sangat dihargai, meski gaji mereka tidaklah fantastis.


Bicara kualitas guru, kita semua akan di ingatkan oleh film laskar pelangi. Menurut saya dari film tersebut menginspirasi kita semua untuk senantiasa menjadi guru yang di damba siswa. Guru berkualitas dan ideal dalam pandangan Ikal dalam ‘Laskar Pelangi’nya Andrea Hirata adalah Ibu Mus yang memiliki kemampuan ‘super hero’. Ibu Mus dapat mengajar mereka dari kelas I sampai kelas VI SD yang kebetulan di sekolah tersebut hanya terdapat satu orang guru. Guru ideal barangkali juga guru yang tidak tega melihat peserta didiknya tidak lulus dalam menempuh ujian nasional dengan membocorkan soal atau memberikan kunci jawaban dengan suka rela.

Menurut Prof Herawati Susilo MSc PhD, pakar pendidikan Universitas Negeri Malang, Ada enam kriteria guru masa depan (ideal) untuk menghadapi tantangan masa depan yaitu: Belajar sepanjang hayat, literat sains dan teknologi, menguasai bahasa inggris dengan baik, terampil melaksanakan penelitian tindakan kelas, rajin menghasilkan karya tulis ilmiah, dan mampu membelajarkan peserta didik berdasarkan filosofi konstruktivisme dengan pendekatan kontekstual.

Berdasarkan penjelasan di atas, jelaslah bangsa indonesia membutuhkan guru-guru dengan kualitas suprer. Senada dengan pandangan di atas di pertegas pula oleh Dra Husnul khotimah M.Pd yang mengkriteriakan guru dalam beberapa Kriteria yaitu : Pertama, guru ideal adalah guru yang dapat membagi waktu dengan baik. Dapat membagi waktu antara tugas utama sebagai guru dan tugas dalam keluarga, serta dalam masyarakat dengan salah satu cara yaitu mengurangi waktu untuk istirahat lihatlah Imam Syafii, Soekarno, Buya Hamka, dan mungkin banyak orang ternama lainnya yang penulis belum sempat membaca biografinya. Mereka banyak memanfaatkan waktunya untuk kemaslahatan orang banyak.

Kedua, guru ideal adalah guru yang rajin membaca. Membaca tidak terikat waktu, ruang dan tempat. Tidak terikat waktu karena membaca dapat dilakukan kapan saja, bergantung keinginan dan waktu luang.Apakah guru memiliki budaya membaca.

Ketiga, Guru ideal adalah guru yang banyak menulis. Menulis juga tidak terikat ruang, waktu dan tempat. Pernahkah guru memanfaatkan waktu untuk menulis dalam jurnal mengajarnya di sela-sela kegiatan mengajar, sehingga yang dihadapi pada hari itu dapat menjadi sebuah rancangan penelitian atau bahkan sebuah artikel? Karena dengan menulis kita akan berada di mana-mana, karya tulis kita akan di baca oleh banyak orang dan dapat juga dimanfaatkan oleh orang lain sebagai sumber bacaan.
Keempat, Guru ideal adalah guru yang gemar melakukan penelitian. Cikal penelitian adalah adanya masalah. Seorang peneliti tidak akan percaya masalah dapat diselesaikan tanpa penelitian. Seorang guru akan selalu gelisah dengan prestasi dan proses belajar peserta didiknya sehingga guru akan terus memiliki budaya meneliti. Keempat kriteria sebagai tertulis di atas merupakan hal yang diperlukan bila seorang guru dapat dikategorikan sebagai guru ideal dan guru masa depan.

Sebuah Renungan

Sesungguhnya guru menduduki posisi sentral dalam dunia pendidikan maupun dalam kemasyarakatan. Guru harus menjadi aktor penggerak perubahan dan sekaligus menjadi aktor lokomotif pembaharu peradaban. Pendidikan harus mampu mengantisipasi perubahan yang akan terjadi di masa yang akan datang. Untuk itu, guru harus selalu meng-upgrade kemampuannya sesuai tuntutan zaman dengan asupan gizi seorang pendidik (pelatihan,workshop,seminar dll). Guru tidak lagi memberikan informasi dalam bentuk ceramah dan buku teks. Namun, guru akan berperan sebagai fasilitator, tutor dan sekaligus pembelajar. Materi yang akan disampaikan guru pun tidak lagi berbentuk informasi dalam bidang studi terlepas tetapi hubungan antar informasi. Untuk itu, guru membutuhkan multidisciplinary thinking dan kemampuan melihat dari beragam perspektif . Era global, menuntut guru mampu membawa siswa menjadi pribadi yang banyak bertanya, dapat meng-evolusi pola pikir, memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, mampu mengembangkan pembelajaran, mengembangkan bakat, dan memperkaya kepribadian. Dan jangan lupa guru harus ”menginspirasi” anak didiknya.

Guru selayaknya memimpikan hal-hal besar sebab impian menimbulkan hasrat yang kuat untuk meraihnya. Karena Mimpi adalah ambisi yang menggerakkan manusia untuk maju. Ia adalah hasrat yang mendorong manusia mewujudkannya. Dunia tumbuh dengan peradaban lebih tinggi dan tehnologi lebih hebat berkat impian orang-orang besar. Orang-orang besar itu adalah para pemimpi. Segala kemajuan saat ini adalah impian generasi pendahulu kita. Impian dapat menjadi motivasi yang membangkitkan ambisi dan optimisme sehingga seorang mampu melampaui semua rintangan dan kesulitan. Impian menciptakan energi untuk berprestasi. Impian menjadikan seseorang penuh vitalitas dalam bekerja mendidik anak-anak sekaligus sebagai Tauladan yang baik untuk membangun peradaban bangsa yang lebih maju.

Guru patut bermimpi tentang masa depan pendidikan yang cemerlang dan kualitas SDM anak-anak bangsa yang menjulang. Tanpa mimpi, banyak orang tidak maju, karirnya jalan di tempat, dan ia menjalani rutinitas yang membosankan. Pendidikan sangatlah penting bagi masa depan bangsa. Pendidikan adalah panglima pembangunan yang mampu mengerakkan potensi bangsa yang amat besar. Tak pernah ada kata final dalam membangun kualitas pendidikan. Selamat hari guru! Mudah-mudahan kita menjadi bagian dari guru masa depan

Jumat, 25 September 2009

peran pemuda

“Eksistensi dan Revitalisi Kiprah Pemuda”

"Pendidikan dan gerakan pemuda"

Perjalanan waktu selalu memberikan kesaksian dan merekam semua tentang sejarah perjalanan bangsa. Perjalanan waktu pula yang menceritakan kepada kita upaya-upaya perjuangan dan praktik kepahlawanan di sebuah negara. Sebagaimana yang pernah terjadi di negeri ini dalam beberapa tahun silam. Sejarah mencatat 28 Oktober 1928 menjadi saksi sejarah tentang sosok pemuda-pemuda visioner merumuskan tentang pentingnya persatuan untuk melawan penjajahan di tanah air. Mereka dengan gagah berani mengumandangkan ikrar persatuan di bawah bayang-bayang tekanan pemerintah penjajah saat itu. Sebuah momentum kebangsaan yang menjadi saksi sejarah betapa anak-anak muda bangsa pada saat itu memiliki cinta dan kerinduan yang mendalam akan kejayaan bumi pertiwi. Sejarah bangsa ini selalu diwarnai oleh pemuda sebagai komponen utama. Pemuda memiliki semangat tinggi untuk melakukan perubahan. Energi positif itu terpancar ketika mereka melihat suatu kejanggalan pada bumi pertiwi.
Pemuda adalah generasi yang paling menentukan. Dalam Al Qur’an Allah swt. selalu menegaskan pentingnya masa muda. Ashhabul kahfi digambarkan oleh Allah bahwa mereka adalah sekelompok anak muda. Allah berfirman: “Innahum fityatun aamanuu birabbihim wazidnaahum hudaa. Mereka adalah anak muda yang beriman kepada Tuhan mereka, dan Kami tambahkan hidayah untuk mereka.”Dari ayat ini nampak bahwa masalah kepemudaan oleh Allah sangat ditekankan. Ditekankan karena tidak saja masa muda adalah masa berbekal untuk hari tua, melainkan juga di masa muda itulah segala kekuatan dahsyat terlihat.
Dalam sejarahnya gerakan-gerakan pemuda adalah muncul dari kelompok pemuda yang terdidik. Selain itu pembangunan pendidikan bangsa di masa-masa perjuangan juga tidak terlepas dari peranan gerakan pemuda.Saat ini kita melihat permasalahan pendidikan di Indonesia masih sangat memprihatinkan.Berbicara masalah pendidikan dan pemuda. Maka pemuda saat ini yang rata-rata masih mempunyai idealisme yang tinggi maka hendaknya pemuda harus tetap berfikir kritis dalam melihat kondisi pendidikan di Indonesia. Pemikiran yang kritis dapat dilakukan dengan memberikan peringatan dan masukan pada pemerintah agar mampu memberkan layanan pendidikan yang sesuai dan bermutu. Namun, Sikap kritis saja tidaklah cukup. Dibutuhkan gerakan yang lebih konkret oleh pemuda untuk dapat memberikan solusi terhadap permasalahan pendidikan. Pemikiran yang konkret tersebut dapat berupa menggerakkan pemuda untuk bisa secara langsung memberikan layanan pendidikan gratis bagi anak-anak yang kurang beruntung. Layanan social ini sangat berarti bagi masyarakat dan lebih solutif. Peranan lain adalah dengan melakukan terobosan-terobosan baru dalam memberikan bentuk layanan pendidikan tersebut. Karena tentunya para pemuda pejuang pendidikan pasti akan mengahadapi banyak masalah dan keterbatasan. Oleh karena itu untuk bisa memberikan layanan pendidikan pada masyarakat yang kurang beruntung tersebut dibutuhkan terobosan dan kreatifitas sehingga banyak alternative pilihan dalam layanan pendidikan
Lahirnya sumpah pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928 yang kini kita kenang selalu, adalah bukti kongkrit pentingnya masa muda sebagai titik tolak idealisme menuju pembaharuan hidup yang lebih baik. Baik secara individu, sosial, politik dan negara. Karena itu, setiap kita berbicara perbaikan sebuah negara, mulailah pertama kali dari perbaikan genarasi mudanya. Jangan bermimpi memperbaiki negara, bila pemudanya hancur secara spiritual, hidup dalam gelimang dosa dan kebobrokan moral. Generasi muda hari ini adalah cerminan masa depan sebuah negara.
Revitalisasi Peran Pemuda
Kiprah pemuda telah terukir indah dalam tinta emas sejarah. Mereka merupakan tonggak dan potensi besar suatu kehidupan. Mereka di harapkan menjadi tumpuan bangsa selain diharapkan oleh umat, peranan mereka pun sangat didambakan oleh kelompok masarakat lainnya sebagai pionir perubahan ke arah yang lebih baik. Posisi mereka sangat strtegis dan menjadi peluang baginya untuk mengembangkan potensi sebesar-besarnya. Tidak heran jika perubahan sosial politik diberbagai belahan dunia dipelopori oleh gerakan pemuda. Kita bias lihat Sebagian sahabat yang menyertai Rasulullah SAW dalam memperjuangkan Islam, yang akhirnya berhasil menguasai lebih dari dua pertiga belahan bumi pada jaman dahulu adalah para pemuda yang menjadi murid Rasulullah SAW. Di mata umat dan masyarakat umumnya, mereka adalah agen perubahan (agent of change) jika masyarakat terkungkung oleh tirani kezaliman dan kebodohan. Mereka juga motor penggerak kemajuan ketika masyarakat melakukan proses pembangunan. Tongkat estafet peralihan suatu peradaban terletak di pundak mereka. Baik buruknya nasib umat kelak, bergantung pada kondisi pemuda sekarang ini. Lihat pula Imam Bukhari dan Iman Muslim mampu mengumpulkan hadits-hadits Nabi saw. dan menyeleksinya secara ketat sehingga menjadi karya monumental yang tidak saja menyelamatkan umat tetapi lebih dari itu menyelamatkan agama.
Jika mengkaji secara cermat sejarah para Nabi dan para pemimpin dunia masa lalu, maka hampir dipastikan kejayaan dan kemenangan mereka senantiasa terjadi dengan dukungan para pemuda. Dengan segala kemudaannya berada dalam puncak kekuatan manusia dalam berbagai aspek potensinya, yang pertama memiliki Potensi Spiritual, dimana ketika pemuda itu meyakini sesuatu, seorang pemuda akan memberi sesuatu apapun yang dia miliki dan dia sanggupi secara ikhlas tanpa mengharapkan pamrih apa pun.

Kedua, memiliki Potensi Intelektual yang memang posisinya berada dalam puncak kekuatan intelektualnya. Daya analisis yang kuat didukung dengan spesialisasi keilmuan yang dipelajari menjadikan kekritisan mereka berbasis Intelektual karena didukung pisau analisis yang tajam. Ketiga, memiliki Potensi Emosional dengan keberanian dan semangat yang senantiasa bertalu-talu dalam dada berjumpa dengan jiwa muda sang pemuda . Kemauan yang keras dan senantiasa menggelora dalam dirinya mampu menular kedalam jiwa bangsanya, yang memang bahwa nadi dari sebuah negeri adalah berada pada pemudanya. Keempat, memiliki Potensi Fisikal yang secara fisik pun mereka berada dalam puncak kekuatan dan diantara dua kelemahan yaitu kelemahan ketika bayi dan kelemahan ketika tua atau pikun. Dan pemuda berlepas diri dari dua kelemahan tersebut.

Keempat potensi tersebut merupakan potensi yang layak untuk direvitalisasi kondisinya. Potensi-potensi tersebut semakin langka untuk dijumpai dan semakin kecil saja ruang-ruang dalam pengokohannya. Karena suatu keniscayaan bahwa optimalisasi keempat potensi tersebut didalam diri setiap pemuda akan membawa reformasi nyata untuk negerinya. Dan perpaduan diantaranya sedang berada dalam puncak kekuatannya menjadikan para pemuda dan gerakan yang dibangunnya senantiasa diperhitungkan dalam keputusan-keputusan besar sebuah bangsa.

Sudah merupakan suatu keniscayaan akan peran-peran dan kebermanfaatan pemuda terus direvitalisasi dan kembali disadari setiap saat. Bosan, jenuh dan malas merupakan penyakit paling berbahaya bagi seorang pemuda. Penyakit itu akan berefek besar bagi keberlangsungan akademik dan cita-citanya. Tidak sedikit para pemuda yang tidak bisa menjawab dengan tegas ketika ada pertanyaan yaitu Mau jadi buruh atau pemimpinkah? Mereka membisu tidak ada kalimat yang yakin untuk dijadikan jawaban. Karena ada sesuatu yang hilang dari peran dan fungsi para pewaris negeri ini secara mayoritas, yaitu peran Intelektual Akademisi yang contentnya memiliki cita-cita jelas yang didasari oleh keyakinan mereka untuk bersungguh-sungguh dan serakah untuk menguasai keilmuannya.

Berikutnya peran penting selain peran intelektual adalah ia juga menjadi gelar kehormatan tersendiri bagi pemuda yaitu sebagai agent of change (agen perubah), bahkan dipercaya sebagai director of change (pengatur perubahan). Karena setiap perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat mereka sering menjadi pemicu dan pemacu serta inisiator strategis dalam bentuk teoritis maupun praktis.

Fungsi dan peran reformis berikutnya adalah sebagai iron stock (cadangan masa depan) yang dimana pemuda merupakan calon-calon pemimpin masa depan. Mereka adalah kuncup yang perlu dipelihara supaya tumbuh berkualitas dan berkembang menjadi bunga-bunga bangsa.

Sebuah Renungan : “Bangkit, Melawan Malas”
Barangkali, kita bisa renungkan satu survei yang baru-baru ini dilakukan oleh harian Media Indonesia bisa menjawab pertanyaan tersebut. Dari sekitar 480 responden pemuda yang tersebar di enam kota besar, Jakarta, Medan, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, dan Makasar, menyebut bahwa orang Indonesia cenderung malas bekerja. Jumlah yang meyakini orang Indonesia sebagai golongan pemalas mencapai 58,3 persen. Sedangkan yang menyebut orang Indonesia rajin hanya 33,8 persen, dan sisanya mengaku tidak tahu. Jika benar hitungan ini, sungguh merupakan hal yang sangat merugikan kita sebagai bangsa yang besar, subur, dan kaya raya ini.


Sikap malas merupakan salah satu bentuk kemiskinan mental yang akan membuat kita terpuruk dalam jurang ketakberdayaan. Sebaliknya, sikap rajin akan mempercepat langkah untuk segera bangkit dari keterpurukan. Dan ini dibuktikan oleh beberapa negara yang sudah bangkit dari krisis seperti Korea Selatan. Di negeri ginseng itu budaya kerjanya sudah sangat cepat, teratur, disiplin, dan jauh dari kesan pemalas.

Memang, meski hasil survei tersebut tak bisa dikatakan mewakili hal sesungguhnya, tapi setidaknya angka-angka itu menjadi cerminan diri kita sebagai bangsa. Dan, seharusnya pula hal itu bisa kita jadikan sarana evaluasi bersama. Sudahkah kita, sebagai pribadi, punya sikap kaya mental? Sudahkah kita sebagai pemuda harapan bangsa, tak lagi memiliki sikap suka menunda-nunda? Sebab, hanya dengan memulai dari diri sendirilah kita akan mampu bangkit.

Selasa, 08 September 2009

kembali fitri

“Memaknai Kembali Fitri : Spirit baru membangun Pendidikan”
Oleh Abdul Qohin*

Budaya shopaholic
Taqabalallahu Minna Wa Minkum.Maaf.Satu kata sederhana yang mudah diucapkan.. Tapi seringkali hanya diucapkan oleh lisan tanpa dibarengi dengan hati yang tulus meminta. Mudah-mudahan kita termasuk orang-orang yang tidak hanya mengucap maaf oleh lisan dan semoga di hari yang Fitri ini kita bisa kembali pada Fitrah.
Sampai detik dan hari ini kita sudah menapaki Idul Fitri berkali-kali. Namun kita bisa bayangkan secara individu maupun sebagai bangsa, kualitas kita masih jauh dari harapan. Perilaku individu dan sebagian besar pemimpin kita masih jauh dari harapan. Detik demi detik selalu terdengar di telinga kita tentang merebaknya kemiskinan, kebodohan, kriminalitas, dan korupsi. Saat itu juga kita bisa melihat betapa banyak kaum Muslim di Indonesia yang tiba-tiba seperti terjangkit penyakit gila belanja (shopaholic). Tradisi menghambur-hamburkan uang untuk membeli hal-hal yang serba baru seakan-akan menjadi hal yang lumrah. Entah itu membeli pakaian baru, celana baru, sepatu baru, handphone baru, perabotan rumah yang baru, membuat penganan yang lezat-lezat, bahkan sampai mainan anak-anak yang baru dan sebagainya.
Penyakit gila belanja (shopaholic), pada akhirnya, hanya akan mereduksi makna substantif Iedul Fitri. Padahal, kita mestinya menjadikan Iedul Fitri, setelah melalui puasa Ramadhan selama 1 bulan penuh, sebagai awal menuju transformasi dan perubahan diri, baik yang menyangkut sikap maupun perilaku, ke arah yang lebih baik. Iedul Fitri adalah saat dimana manusia kembali kepada fitrahnya. Fitrah di sini biasanya di artikan sebagai kesucian dari dosa. Pada hari itu, manusia kembali seperti saat dilahirkan, bersih tanpa dosa, ibarat selembar kertas: putih tanpa noda.
Lebaran yang telah berlalu menyisakan sebuah momentum menawan bagi seluruh Muslim di dunia, tak terkecuali umat Muslim Indonesia. Kurang lebih 80 persen penduduk Indonesia beragama Islam. Suasana hiruk-pikuk Idul Fitri seakan merasuk secara mendalam ke seluruh pelosok negeri. Jutaan manusia berbondong-bondong melakukan mudik. Dari rakyat kecil hingga pejabat tak mau ketinggalan untuk bisa berlebaran di kampung halaman masing-masing.
Akan tetapi di balik itu semua seakan kita lupa tentang makna Idul Fitri itu sendiri. Kita merayakan seolah hanya merupakan seremoni dari perayaan tersebut yang sering menghiasi layar media. Padahal Idul Fitri mempunyai makna yang lebih mendalam. Secara individual, seseorang yang benar-benar khusyuk dan ikhlas menjalani puasa maka dia akan kembali suci. Dengan modal itu, tentunya kita akan menapaki bulan-bulan berikutnya dengan kualitas yang lebih baik. Keberhasilan Ramadhan akan ditentukan oleh perilaku kita pasca-Ramadhan ini.
Orang YangKembali
Setelah Sebulan penuh kita berpuasa, memperbanyak zikir dan sedekah, serta tadabbur dan tafakkur pada malam hari. Kini, kita mengakhiri di puncak pencapaian Idul Fitri, yaitu kembali pada sifat dasar kesucian manusia.
Maka, lengkaplah puasa sebagai proses pendidikan dan latihan olah jiwa massal untuk membangun peradaban, mencintai kemanusiaan, dan mewujudkan kebenaran, kebaikan, dan keindahan dalam kesatuan kehidupan.
Sudah ratusan, bahkan ribuan tahun umat Islam menjalankan ibadah puasa, tetapi mengapa, dalam kenyataan, perilaku antiperadaban justru kian meluas, seperti terjadinya konflik kekerasan dalam menghadapi perbedaan pemikiran dan keyakinan, makin merajalelanya korupsi yang jelas merugikan kehidupan rakyat, serta pemujaan atas kekuasaan yang mendegradasikan etika sosial- keagamaan.
Sudah saatnyalah kita kembali kepada fitroh kita sebagai pondasi untuk membangun peradaban yang lebih mengedepankan etika social keagamaan. Dengan demikian berarti kita telah kembali kepada fitroh kita. Ada beberapa ciri orang yang kembali kepada fitrah-Nya. Diantara cirri orang yang kembali adalah : ia Memiliki kecerdasan emosi misal : jiwa pemaaf, dermawan, membalas keburukan orang lain dengan kebaikan, rajin intropeksi dan selalu memperbaiki diri, ia juga Merasakan kerinduan kepada Allah, hatinya terbuka dengan nasihat, memiliki jiwa tawakal, rajin mendirikan shalat dan memiliki kepekaan sosial, Merasa mudah dalam beramal soleh, Memiliki kebutuhan untuk bergabung dalam lingkungan yang sholeh,Rajin berdoa,Memiliki kesholehan vertical dan Memiliki keshalehan sosial
Memaknai Idul Fitri
Setelah sebulan penuh kita melaksanakan ibadah puasa dengan semangat iman dan mengharap balasan Allah (ihtisaaban) semata. Maka, memasuki hari raya Idul Fitri ini, berarti kita kembali kepada fitrah (kesucian). Jiwa kita telah fitri (suci) tanpa dosa. Bagaimana setelah Ramadhan? Romadhan memang telah selesai tetapi tidak berarti secara kuantitas kita harus sama persis seperti ketika bulan Ramadhan dalam beribadah kepada Allah. Tapi, yang dituntut dari kita adalah mempertahankan keistiqomahan dalam menapaki jalan Allah yang lurus, memelihara kualitas semangat beribadah dan kesinambungan menta'ati Allah.

Karena itu, sepatutnyalah jiwa yang sudah fitri ini diupayakan secara maksimal untuk dipertahankan dan dijaga dengan penunaian berbagai bentuk amal shalih pasca Ramadhan. Sebab, keberhasilan meraih derajat taqwa melalui ibadah puasa bukan ditandai berakhirnya bulan Ramadban. Melainkan, sejauh mana konsistensi orang-orang yang berpuasa dalam melakukan ibadah pasca bulan Ramadhan. Sejauh mana kesinambungan harmonisasi hubungan dengan Sang Khaliq terpelihara secara baik pasca Ramadhan.

Bulan Ramadhan memang telah berlalu, tapi musim-musim kebaikan lain segera menyusul. Boleh jadi amal shalih kita pasca Ramadhan secara kuantitas menurun. Tapi, yang penting kontinyu dan inilah yang terbaik, Shalat lima waktu yang merupakan perbuatan agung dan hal pertama yang akan dihisab di hari kiamat nanti, tidak berhenti dengan berakhirnya Ramadhan.
Jika puasa Ramadhan berakhir, maka puasa-puasa sunnah yang berpahala tidak kecil, tidaklah berakhir bahkan menanti sentuhan kita. Seperti, puasa enam hari di bulan Syawal, puasa Senin-Kamis, puasa tiga hari dalam sebulan , puasa Asyura' (tgl 10 Muharram), puasa Arofah dan lain-lain.Jika Qiyam Ramadhan dan Tarawih telah lewat. Maka, Qiyamullail (Tahajjud) tetap disyari'atkan tiap malam, meskipun ramadhan telah usai. Jika zakat Fitrah berlalu, maka zakat wajib dan pintu sedekah masih terbuka lebar pada waktu-waktu yang lain.

Jangan sampai prestasi cemerlang yang diraih dengan kerja keras selama sebulan penuh, terhapus oleh keburukan yang menyusul. Jangan sampai kesucian jiwa yang dibangun susah payah selama bulan Ramadhan, tercemari oleh perbuatan maksiat, begitu sayonara (berpisah) dengan Ramadhan. Jika ini yang terjadi, maka sama halnya dengan orang yang mendirikan bangunan indah nan megah dengan biaya mahal, lalu Ia sendiri yang merobohkannya.

Relasi idul fitri dan pendidikan
Dunia pendidikan dan pengajaran dalam kehidupan kita, yang selama ini di rasakan kurang menyentuh aspek moralitas, harus dikembalikan kepada pendidikan dan pengajaran untuk memajukan peradaban. Jika tahun ini alokasi pendidikan pada APBN 2009 maupun 2010 mencapai 20 persen, pendidikan peradaban ini penting diperhatikan agar pendidikan nasional dapat memajukan peradaban bangsa, agar peradaban kita sejajar dengan bangsa lain.
Menurut Prof Musa Asyari pendidikan nasional Pada hakikatnya,adalah bagian dari peradaban bangsa, yang bertugas mengembangkan intelektualisme, menghargai keanekaragaman, meninggikan etika-moralitas dan kebersatuan. Karena itu, pendidikan nasional sebenarnya tidak boleh mendegradasi peradaban bangsa itu sendiri, seperti terlihat gejalanya sekarang, di mana konflik kekerasan justru terjadi di dunia pendidikan, seperti tawuran dan perusakan pilar-pilar akademik yang menjunjung tinggi rasionalitas, justru terjadi di perguruan tinggi kita yang seharusnya dijauhkan dari sikap-sikap antiperadaban. Perguruan tinggi adalah pusat peradaban, bukan pusat kebiadaban.
Kini, kita semua berada dalam suasana Idul Fitri, karena setelah melakukan olah jiwa massal selama sebulan, mereka kembali pada fitrahnya yang suci, seperti bayi yang dilahirkan kembali, bersih tanpa dosa. Sebagai bayi, kesucian yang dicapai melalui olah jiwa massal tidak akan berarti jika mereka kemudian kembali terjebak dalam kehidupan lama yang antiperadaban, sebagaimana perkembangan seseorang dari bayi hingga dewasa akan dipengaruhi pendidikan, pengajaran, dan lingkungan sosialnya.
Idul Fitri adalah momen kemanusiaan yang tidak boleh berlalu begitu saja karena semangat untuk kembali pada kesucian dasar manusia, pada hakikatnya, merupakan tonggak pencapaian spiritualitas baru untuk menghadapi tekanan kekuasaan duniawi yang kian vulgar. Tanpa kembali pada kesucian dasar manusia, tidak ada jalan keluar untuk membangun peradaban baru yang lebih manusiawi.

*PJ Biah Islamiyyah
SD Al Irsyad Al Islamiyyah 02 Purwokerto

idealisme guru

“Idealisme Guru”
Oleh Abdul Qohin
Idealisme vs Pragmatisme Guru
Mendengar kata idealisme, kira-kira hal apakah yang seketika itu terlintas dalam pikiran kita ? Suatu nilai luhurkah ? suatu hal yang langka dan sulit ditemui, atau bahkan mungkin mendengar kata idealism, hal yang pertama terlintas dalam pikiran kita adalah suatu hal yang terlalu mengada-ada dan mustahil untuk diwujudkan. Memang tidak dipungkiri bahwa persepsi yang demikian akan banyak dimiliki orang ketika mereka mendengar kata idealism.

Di Indonesia, cita-cita menjadi seorang guru, mungkin termasuk cita-cita yang amat mahal, karena hampir sebagian kecil saja dari orang Indonesia yang bercita-cita atau berminat menjadi seorang guru. Entah karena pekerjaan menjadi guru menuntut keahlian yang khusus, entah pula karena pekerjaan guru tidak menghasilkan imbalan yang menggiurkan.
Setiap pekerjaan paling tidak memuat dua konsekuensi. Pertama, pengabdian dan kedua adalah profesi. Pengabdian bagi seorang guru merupakan bagian yang tak dapat dipisahkan dalam seluruh aktifitasnya. Tentu saja hal ini berlaku bagi mereka yang memahami tugas itu sebenarnya.
Dengan melihat urgensi dari memiliki sebuah idealism, maka tak ragu lagi jika setiap pekerjaan yang kita lakukan, harus dilandasi dengan sebuah konsep idealism. Bila kita melihat lebih dalam lagi, sesungguhnya pekerjaan yang paling mudah untuk kita dalam menerapkan idealism adalah pekerjaan yang berhubungan dengan pengabdian.

Pengabdian, sesungguhnya memang merupakan tugas dan amanah yang diemban oleh tiap-tiap manusia. Pekerjaan ini sungguh sangat mulia untuk dilakukan. Salah satu pekerjaan yang berkaitan dengan pengabdian adalah menjadi seorang guru (pendidik). Menjadi seorang guru (pendidik) bukan perkara yang mudah. Sebab kita tidak hanya dituntut untuk dapat menyampaikan materi kepada peserta didik, tetapi lebuh dari itu, seorang pendidik sejati harus mampu mengubah peserta didiknya menuju ke arah yang lebih baik.

Paham mengenai sikap dan pandangan hidup seseorang yang mendasari pekerjaannya dapat dikatagorikan dua hal, yakni idealisme dan pragmatisme. Orang yang memiliki sikap dan pandangan hidup yang didasarkan pada nilai-nilai luhur dan cita-cita luhur disebut sebagai orang yang memiliki idealisme. Sedangkan orang yang memiliki pandangan dan sikap hidup yang didasarkan pada peroleh manfaat yang sebesar-besarnya dari banyak pilihan yang ada dihadapannya, disebut orang yang pragmatis.
Sejatinya, profesi Guru itu harus didasari oleh nilai-nilai idealisme ketimbang pragmatisme. Hal ini disebabkan karena profesi Guru merupakan profesi yang berhubungan langsung dengan benda hidup (manusia) bukan benda mati. Objek yang menjadi sasaran profesi guru senantiasa dinamis, berubah dan berkembang, sehingga menuntut kearifan dirinya untuk membaca tanda-tanda jaman yang sedang dihadapinya, kemudian ia berbuat sesuatu yang nyata dalam rangka mempersiapkan dan melahirkan generasi-generasi berikutnya yang juga mampu mewarisi kearifan pendahulunya.
Mendamba Guru Yang Idealis
Pernahkah kita menyaksikan film “Laskar Pelangi”? film fenomenal yang mebuat kita bertanya kembali, masih adakah sosok pendidik seperti itu di tanah air kita tercinta ini. Film ini mengisahkan tentang perjuangan anak-anak kampung belitong untuk dapat tetap menuntut ilmu, karena mereka yakin dengan ilmu maka mereka akan mampu mewujudkan mimpi-mimpi mereka. Di tengah kemarginalan yang harus mereka hadapi, semangat mereka untuk menuntut ilmu sungguh tinggi. Dengan dukungan dari dua orang guru yang tetap memegang teguh idealism dan keyakinan meraka untuk tetap mendidik sekelompok anak yang bernama Laskar Pelangi.
Sungguh, proses terbentuknya idealisme dalam diri bu Mus dan pak Arfan benar-benar terlukis dengan baik dalam film tersebut. Dimana idealisme yang awalanya terbangun oleh sebuah naluri kepahlawanan benar-benar terlihat pada diri bu Muslimah dengan melihat sosok ayahnya dan juga sosok pak Arfan. Kamudian naluri kepahlawanan itu diperkuat dengan adanya keberanian yang dimiliki oleh bu Mus dan pak Arfan dalam menghadapi berbagai tantangan yang siap menghadang langkah mereka dalam mendidik Laskar Pelangi. Kemudian nyawa keberanian tersebut dihembuskan oleh adanya kesabaran yang dimiliki baik oleh bu Mus maupun oleh pak Arfan. Lalu itu semua menghasilkan buah idealisme yang akhirnya membuat beliau berdua bertahan dalam mendidik Laskar Pelangi. Bisa saja kalau beliau berdua kehendaki, ketika ujian dan rintangan datang menghadang, mereka berhenti dan menyerah dalam menjadikan Laskar Pelangi menjadi manusia-manusia yang dapat bermanfaat bagi sekitarnya. Seperti semangat dan prinsip yang selalu dipegang teguh oleh pak Arfan yaitu “hidup untuk memberi sebanyak-banyaknya, bukan menerima sebanyak-banyaknya.”
Satu keprihatinan lagi yang muncul ketika kita menelisik lebih jauh lagi mengenai ada tidaknya idealism guru di Indonesia yang juga berhubungan dengan prinsip yang mengawali munculnya idelaisme yaitu berupa naluri kepahlawanan yang didapatkan dari hasil kekaguman. Jika dalam ilmu psikologi, dikenal teori belajar modeling Albert Bandura, maka ini juga yang berlaku dalam penciptaan idealism pada diri seseorang. Rasa kagum yang kemudian menimbulkan hasrat untuk dapat berbuat sama dengan orang dikagumi dapat diartikan sebagai pentingnya keteladanan dalam sistem pendidikan di Indonesia. Keteladanan atau contoh atau modelling dapat diperoleh dari lingkungan. Seorang murid yang kita asumsikan sebagai generasi penerus bangsa tempat ujung tombak bangsa ini ditentukan, akan sangat membutuhkan sosok yang dapat dijadikan sebagai model. Namun sayang dengan melihat kondisi sekarang, nampaknya kita harus bersedih dengan minimnya sosok guru yang dapat dijadikan sebagai model bagi generasi muda Indonesia. Ironi memang ketika akhirnya hal ini harus menjadi seperti “lingkaran setan” yang membayang-bayangi masa depan bangsa ini.
Untuk menghadirkan sosok yang bermutu guna mencapai pendidikan berkualitas, guru harus mendapatkan program-program pelatihan secara tersistem agar tetap memiliki profesionalisme yang tinggi dan siap melakukan inovasi. Penghargaan dan kesejahteraan yang layak atas pengabdian dan jasanya harus diberikan.
Dengan meningkatnya mutu guru, kita akan memiliki para guru yang mampu melahirkan nilai-nilai unggul dalam praktik dunia pendidikan. Karena itu, lahirlah sosok-sosok manusia yang memiliki karakter beriman, amanah, profesional, antusias dan bermotivasi tinggi, bertanggung jawab, kreatif, disiplin, peduli, pembelajar sepanjang hayat, visioner dan berwawasan, menjadi teladan, memotivasi (motivating), mengilhami (inspiring), memberdayakan (empowering), membudayakan (culture-forming), produktif (efektif dan efisien), responsif dan aspiratif, antisipatif dan inovatif, demokratis, berkeadilan, dan inklusif.
Belajar dari Bilal Bin robbah
Berbicara mengenai karakter apa yang harus dimiliki oleh seseorang ketika dia memutuskan untuk menjadi seorang guru (pendidik) dapat mengambil dari inspirasi Bilal bin Robbah, dimana dalam inspirasinya kita disentil akan pentingnya kesadaran dalam melakukan segala tindakan dalam hidup kita. Billal, yang seorang budak, memeluk agama Islam dengan penuh kesadaran. Dia mengerti benar konsekuensi yang harus ia hadapi ketika ia mengambil keputusan tersebut. Billal memeluk agama Islam, dia melakukannya dengan penuh kesadaran akkan pilihanb hidupnya. Inilah yang harus dimiliki oleh para calon pendidik di Indonesia. Mereka harus benar-benar sadar bahwa menjadi pendidik merupakan pilihan hidup mereka, dengan segala konsekuensi yang akan dihadapinya.
Mahdi Ghulsyani seorang cendekiawan muslim memandang guru merupakan kelompok manusia yang memiliki fakultas penalaran, ketakwaan, dan pengetahuan. Ia memiliki karakteristik bermoral, mendengarkan kebenaran, mampu menjauhi kepalsuan ilusi, menyembah Tuhan, bijaksana, menyadari dan mengambil pengalaman-pengalaman.
Dalam pepatah Jawa, guru adalah sosok yang digugu omongane lan ditiru kelakoane (dipercaya ucapannya dan dicontoh tindakannya). Menyandang profesi guru berarti harus menjaga citra, wibawa, keteladanan, integritas, dan kredibilitasnya. Ia tidak hanya mengajar di depan kelas, tapi juga mendidik, membimbing, menuntun, dan membentuk karakter moral yang baik bagi siswa-siswanya. Semoga dengan hal ini, para pendidik Indonesia memiliki idelaisme terhadap karya mereka untuk mencetak para pemimpin bangsa di masa akan datang. Wallohu’alam

Selasa, 21 Juli 2009

Hp untuk anak

“HP untuk anak sekolah, Perlukah?”
Abdul Qohin

“Haree geene ngak punya handphone?” aneh alias sudah bukan waktunya lagi bagi manusia yang tinggal di perkotaan untuk tidak punya Hp alias telepon seluler (Ponsel). Tapi bagaimana dengan anak-anak? Kapan mereka boleh punya ponsel pribadi?
Fenomena dewasa ini, sudah menjadi hal yang tak terelakan manakala murid-murid sekolah banyak menggunakan Hp. Dari Mahasiswa, anak-anak SMA bahkan sampai anak-anak SD pun tak ketinggalan dengan mereka yang sudah besar. Tidak sedikit orang tua murid yang beranggapan memberikan Hp untuk anak-anak mereka bisa membuat mereka lebih berlega hati, kebanyakan siswa juga beranggapan menggunakan Hp adalah semacam tren masa kini dan harus di ikuti. “Tidak mengikuti tren ini berarti di bilang kuno, katanya”. Tetapi para pakar umumnya berpendapat keuntungannya hanya sedikit, sedang kerugian yang diakibatkan sangat banyak. Pertama-tama kita perlu menganalisa keuntungan dan kerugiannya bersama-sama sebelum kita membelikan hp untuk anak.
Hp sesungguhnya bisa membuat anak-anak menjaga hubungan erat dengan para orang tua mereka, setiap saat mengetahui keberadaan dari mereka, di saat anak menjumpai masalah yang mendesak juga bisa segera memberitahu orang tua mereka. Tetapi dampak negatifnya juga harus di perhatikan oleh orang tua.
Kebutuhan atau gaya
Seberapa penting ponsel untuk anak anda? Menurut Psikolog keluarga Sarah handayani Data statistik kepemilikan ponsel pada anak di dunia menunjukkan pentingnya ponsel bagi mereka. Di inggris, 9 dari 10 anak memiliki ponsel. Sementara di australia, pada tahun 2003, sekitar 2% anak-anak usia 5-9 tahun, dan 33 % anak usia 10-14 tahun juga memiliki ponsel sendiri. Di jepang, 60 % remaja sudah berponsel.
Belum ada data resmi di Indonesia. Namun setidaknya riset sriwijaya Pos di kota palembang dapat mewakili kota besar seperti Jakarta, Surabaya atau Bandung. Berdasarkan risetnta tahun 2004, di kota Palembang, sekitar 6% atau 28.000orang adalah usia SD dan remaja (7 sampai 12 tahun). Jadi jumlah pemilik ponsel yang masih berusia SD dan Remaja cukup banyak. Di tahun 2009 tentunya pengguna hp di kalangan anak akan bertambah banyak seiring dengan jenis hp yang setiap saat setiap perusahaan selalu mendesain dan mengeluarkan jenis hp-hp yang menarik.
Tingkat kepemilikan ponsel yang cukup tinggi di kalangan anak dan remaja di negara-negara maju memang di sebabkan oleh kebutuhan dan fungsinya. Dinamika bentuk ponsel yang setiap waktu semakin canggih dan lengkap fitur-fiturnya menambah minat beli di kalangan anak dan remaja meningkat pesat. Banyak anak yang meminta ponsel yang keren karena pertimbangan gaya dan gengsi. Banyak fitur-fitur dan layanan game yang mudah di akses lewat internet. Begitu juga dengan musik, tampilan kamera yang telah di rubah menjadi camera yang super keren menggantikan fungsi kamera yang biasa. Selain kebutuhan, di Jepang tahun 2007 ponsel pada anak akan di coba di pakai sebagai sistem pelacakan model baru sang anak. Sehingga keberadaan anak akan dapat di lacak melalui gelombang radio.
HP untuk anak sekolah
Membiarkan anak membawa Hp memang lebih leluasa, tetapi apakah sangat diperlukan? Dalam situasi pada umumnya, asalkan anak sedang mengikuti kegiatan di area sekolah, jika ada kepentingan yang mendesak, para pendidik tentu dapat menghubungi orang tua anak-anak didik mereka melalui sekolah. Jika menjumpai keadaan khusus seperti kunjungan keluar sekolah atau pergi bertamasya, anak juga bisa dibawakan Hp untuk sementara.
Mengapa dikatakan membawa Hp pergi ke sekolah keuntungannya sedikit dan kerugiannya banyak? Sekolah adalah tempat para murid menimba ilmu, ketika pelajaran berlangsung deringan telpon atau menjawab telpon akan bisa mengganggu secara serius ketertiban dalam kelas, membuat murid seluruh kelas tidak bisa konsentrasi pada pelajaran, mempengaruhi keefektifan belajar.
Kebanyakan sekolah melarang murid-murid membawa Hp ke sekolah, tetapi ada pula sekolah yang meminta para muridnya menyetel Hp mereka menjadi silence (diam) di saat pelajaran berlangsung. Tetapi, fungsi Hp yang hanya menerima berita pendek pun, sedikit banyak bisa memecah konsentrasi para murid dalam menerima pelajaran.
Lagi pula Hp sekarang bagaikan sebuah mesin game yang memiliki multifungsi, banyak murid yang tidak dapat mengendalikan diri dengan baik, tidak dapat menahan diri bermain game atau mendengarkan lagu di waktu pelajaran, juga bisa mempengaruhi teman kelas yang berada di sekitarnya mendengarkan pelajaran.
Dan ada sebagian murid yang tidak bisa membedakan waktu pelajaran atau waktu istirahat, mereka tak bosan-bosannya dengan rajin mengirim SMS untuk mengobrol dengan orang lain, sangat serius telah mempengaruhi kegiatan yang normal.
Bahkan ada pula yang berada hanya beberapa langkah dari temannya, tetapi mereka lebih memilih menggunakan berita pendek untuk mengadakan komunikasi, sehingga teknik berkomunikasi secara berhadap-hadapan tidak bisa berkembang secara sehat. juga sudah pasti merasakan gangguan semacam ini.
Yang terpenting adalah mengarahkan anak untuk bisa berpikir, sebenarnya kembali ke sekolah itu untuk apa? Anda boleh dengan jelas memberitahukan kepada anak, “Bukan hanya belajar teknik dan pengetahuan, yang lebih penting adalah membina kualitas pribadi yang baik.” Segala macam situasi yang dijumpai bisa dipergunakan untuk melatih kemampuan kita untuk menahan diri, jika keteguhan hati dibina dengan baik, maka di kemudian hari saat harus menghadapi pekerjaan apa pun, untuk dapat menggapai kesuksesan tidaklah terlalu sulit.
Selain itu kita bisa berdiskusi bersama dengan anak Anda, “Apakah perlu membawa Hp pergi ke sekolah?” “Bagaimana memastikan tidak terpengaruh oleh keadaan di sekeliling, bisa berkonsentrasi dalam pelajaran?”
Bukan hanya pada anak remaja, pada orang dewasa gangguan konsentrasipun sering terjadi saat belajar , kuliah rapat ataupun seminar. Hingga sudah umum bila kita menemukan tulisan “Mohon matikan Handphone” di ruang-ruang tersebut. Bahkan di beberapa sekolah yang notabenenya adalah sekolah terpadu menerapkan aturan “Anak-anak sekolah di larang membawa HP” atau “ Pada saat jam pelajaran, hp di kumpulkan di depan kelas”
Dampak buruk hp bagi anak?
Menurut Psikolog Bibiana Dyah Sucahyani Yang perlu diingat jangan karena trend atau sekadar ikut-ikutan tanpa manfaat yang jelas. Bahkan bisa jadi membekali anak dengan handphone malah membawa dampak yang negatif, misalnya:
a. Anak menjadikan handphone sebagai symbol ‘lebih’ dari temannya.
b. Anak menjadi lebih senang ngobrol lewat handphone daripada bicara langsung
c. Menjadikan anak konsumtif, anak ikut-ikutan kuis dengan tarif premium, bahkan kecanduan untuk mendapatkan hadiah yang menggiurkan.
d. Anak menjadi tidak terkontrol ketika yang dihubungi adalah nomor-nomor layanan untuk orang dewasa
e. Bisa mengundang tindak kriminal. Karena sebagaian orang masih menganggap membawa hp adalah orang mampu, sehingga menjadi target kejahatan.
f. Penyalahgunaan kelebihan handphone, misalnya kalkulator dipakai saat mengerjaan PR matematika, dll. Selain itu juga cara untuk menyontek dan bertukar jawaban saat test atau ujian.
g. Sebagai media penyebaran porgagrafi.
Jika memang orangtua akan membekali anak dengan handphone, sebaiknya anak yang sudah bisa mengatur keuangan, tahu memprioritaskan kebutuhan serta yang bisa memanfaatkan handphone dengan benar, juga yang bisa diberi kepercayaan mengelola handphone. Perlu juga orangtua selain membekali handphone, bekal lainnya adalah perjanjian tentang misalnya untuk apa handphone tersebut dibawa, pulsa maksimal yang bisa dipakai, serta pengamanannya.
Usia anak yang dapat diberi kepercayaan seperti ini sekitar mulai kelas tiga SD misalnya. Untuk anak usia balita, sebaiknya dititipkan saja pada pengasuhnya, jika memang diperlukan.
Sekolah sebaiknya juga menyiapkan peraturan tentang penggunaan handphone di lingkungan sekolah. Misalnya kapan saja handphone harus dinonaktifkan, dimana handphone harus disimpan, serta tanggungjawab terhadap anak terhadap handphone tersebut. Sedemikian rupa, sehingga jangan sampai handphone mengganggu konsentrasi belajar anak.

"Mendesain Ramadhan Untuk anak"

“Mendesain Ramadhan untuk anak”
Oleh Abdul Qohin

Melatih Puasa sejak dini
Marhaban ya Ramadhan! Ya Syahrut Tarbiyah, Ya syahrul Magfiroh!Bagi Kaum Muslimin, pengidentifikasian nama-nama bulan Ramadhan dengan berbagai sinonimnya sebenarnya mengandung maksud. Nama-nama itu diungkapkan dengan singkat dan tepat sebagai “pengingat cepat atau penggugah” dan “keywords” tentang apa yang sebaiknya dilakukan di bulan tersebut. Selain itu, nama-nama bulan Ramadhan juga menyatakan berkah dan maghfirah yang dapat diraih pada kondisi dan suasana paling baik selama satu tahun ke belakang dan ke depan (Ramadhan tahun depan seandainya masih bisa diberi umur). Bagi para orang tua, yang telah berpuluh kali menjalani puasa tentu sudah tahu apa tujuan, makna dan manfaat puasa, tapi bagaimana dengan anak-anak kita? Sudahkah mereka mengerti dan faham arti bulan tersebut?
Dalam beberapa tahun terakhir banyak sekali peristiwa yang memilukan yang terjadi pada anak-anak kita. Ini semua tentunya mendorong kita untuk semakin memperhatikan pendidikan anak-anak kita agar mereka bisa menjadi anak-anak yang sholeh dan solihah . Untuk itu kita -sebagai guru- harus manfaatkan semaksimal mungkin kesempatan emas dengan datangnya Ramadhan yang mulia ini untuk memberikan latihan-latihan ruhiyah bagi anak-anak kita baik di sekolah maupun di rumah, dengan mempersiapkan dan melatih mereka menjalankan ibadah puasa agar lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya.
Kapan anak-anak berlatih berpuasa? Mendidik anak tidak sama dengan mengajar. Mendidik anak adalah membantu anak mencapai kedewasaan baik dari segi akal, ruhiyah dan fisik. Jadi apa yang kita lakukan adalah membantu anak untuk kenal dan tahu sesuatu, kemudian dia mau dan bisa kemudian menjadi biasa dan terampil mengamalkannya. Hal ini bukan saja membutuhkan waktu yang lama tetapi juga kemauan yang kuat, kasabaran, keuletan dan semakin awal memulainya semakin baik.Untuk menjawab pertanyaan ini marilah kita simak sebuah hadits ketika seseorang bertanya kepada Rosulullah tentang : Kapan seorang anak dilatih untuk shalat? Rosulullah menjawab: Jika ia sudah dapat membedakan tangan kanan dan tangan kirinya. Kalau kita memperhatikan hadits di atas, tentunya kita dapat memprediksi usia anak yang bisa membedakan tangan kanan dan tangan kiri. Tentunya sekitar 2 sampai 3 tahun. Pada hadits masyhur yang lain Rosulullah saw bersabda: Perintahkanlah anak-anak kalian untuk shalat pada usia 7 tahun dan pukulah ia pada usia 10 tahun (jika meninggalkannya ).
Abdullah Nashih Ulwan dalam bukunya Tarbiyatul Aulad fil Islam mengatakan bahwa perintah mengajar shalat ini dapat disamakan untuk ibadah lainnya seperti puasa dan haji bila telah mampu. Mengikuti kedua hadits dan pendapat di atas,dapat dikatakan bahwa seperti halnya shalat maka puasapun sudah dapat diperkenalkan pada anak sejak mereka berusia dua atau tiga tahun, yaitu ketika mereka sudah tahu membedakan tangan kanan dan tangan kirinya..
Landasan di atas di perkuat dengan penemuan ilmiah tentang otak yang dipublikasikan bulan Oktober tahun 1997 di Amerika. Dalam penemuan itu menunjukkan bahwa pada saat lahir Allah iu membekali manusia dengan 1 milyar sel-sel otak yang belum terhubungkan satu dengan yang lainnya. Sel-sel ini akan saling berhubungan bila anak mendapat perlakuan yang penuh kasih sayang, perhatian, belaian bahkan bau keringat orang tuanya. Hubungnan sel-sel tersebut mencapai trilliun begitu anak berusia 3 tahun.
Dari usia 3 sampai 11 tahun terjadi apa yang disebut proses Restrukturisasi atau pembentukan kembali sambungan-sambungan tersebut. Hal-hal yang tidak diulang-ulang akan menjadi lapuk dan gugur. Bila temuan ini kita hubungkan dengan hadits di atas, maka benar Rosulullah bahwa kita perlu memperkenalkan berbagai hal kepada anak kita termasuk di dalamnya masalah beribadah sedini mungkin dan mengulang-ulangnya selama 7 tahun, sehingga pada usia 10 tahun anak kita bukan saja sudah mampu melakukannya dengan baik tapi juga telah memahami makna pentingnya ibadah tersebut sehingga ia rela menerima sanksi bila ia tidak menunaikan ibadah tersebut dengan baik.
Membangun kreativitas dan inovatif.
Kreatifitas itu dimulai dari suatu gagasan yang interaktif, maka dorongan dari luar juga diperlukan untuk memunculkan suatu gagasan. Dalam hal ini para orangtua banyak berperan. Dengan komunikasi dialogis dan kemampuan mendengar aktif maka anak akan merasa dipercaya, dihargaai, diperhatikan, dikasihi, didengarkan, dimengerti, didukung, dilibatkan dan diterima segala kelemahan dan keterbatasannya. Dengan ini anak akan memiliki dorongan yang kuat untuk secara berani dan lancar mengemukakan gagasan-gagasannya. Selain komunikasi dialogis dan mengdengar aktif, untuk memotivasi anak agar lebih kreatif, sudah seharusnya kita memberikan perhatian serius kepada aktifitas yang tengah dilakukan oleh anak kita. Seperti misalnya melakukan aktifitas bersama-sama mereka. Kalau kita biasa melakukan shoum dan shalat bersama anak-anak kita, mengapa untuk aktifitas yang lain kita tidak dapat melakukannya ? Bukanlah lebih mudah untuk mentransfer suatu kebiasaan yang sama ketimbang harus memulai suatu kebiasaan yang sama sekali baru ? Dengan demikian sesungguhnya seorang muslim memiliki peluang yang lebih besar untuk menjadikan anak-anak mereka kreatif. Tinggallah sekarang bagaimana kita sebagai orangtua muslim senantiasa berusaha untuk memperkenalkan anak-anak kita dengan berbagai hal dan sesuatu yang baru untuk memenuhi aspek kognitif mereka. Agar mereka lebih terdorong lagi untuk berpikir dan berbuat secara kreatif.
Mengantarkan anak untuk berpuasa dan memahami maknanya, bukanlah pekerjaan mudah. Keberhasilan yang kita harapkan memerlukan persiapan sejak jauh hari. Meskipun Idul Fitri masih jauh karena baru mulai Ramadan, bagus juga mendorong anak-anak untuk berkreasi menyambut hari kemenangan itu. Bisa dengan membuat kartu-kartu ucapan yang indah, atau mengajak mereka mengatur rumah agar lebih terasa nyaman untuk menerima tamu-tamu.
Menurut Psikolag anak Ekorini Kuntowati, Untuk mengalihkan perhatian anak-anak dari rasa lapar, juga bisa menggunakan berbagai jenis permainan. Buku-buku yang berisi permainan yang bisa kita rancang sendiri banyak tersedia di toko buku. Jenis-jenis kerajinan tangan pun bukan main banyaknya. Dengan bahan kertas aneka jenis dan aneka warna, dengan kain, dengan pelepah pisang, daun, ranting hingga biji. Dengan monte, manik-manik, atau sekedar spidol dan pensil warna.
Segala sesuatu bisa digunting, dirobek, dibakar, dilem atau dibentuk menjadi sebuah hasil karya menarik. Kegiatan istimewa lainnya selain bermain juga bisa dirancang sejak dini. Misalnya memasak kue-kue ringan untuk dibawa berkunjung ke panti asuhan, atau untuk berbuka puasa di rumah, berkebun dan banyak lagi.
Sejak di jaman kehidupan Rasulullah saw, para sahabat muslimah telah merancang kreativitas bagi putra-putrinya, khusus untuk menggembirakan hati mereka agar melupakan waktu yang terasa berjalan lambat selama saum. Hal ini nampak dalam sebuah kisah, ketika Rasulullah Saw mengutus seseorang pada hari Asyura ke perkampungan orang-orang Anshar dan berkata, “Siapa yang pagi ini berpuasa hendaklah ia berpuasa dan menyempurnakan puasanya. Maka kami pun menyempurnakan puasa hari itu dan kami mengajak anak-anak kami puasa. Mereka kami ajak ke masjid, lalu kami beri mereka mainan dari benang sutra. Jika mereka menangis minta makan kami berikan mainan itu. sampai datang waktu berbuka.” (HR Bukhari-Muslim)
Amaliah dan Reward Ramadhan
Memperbanyak amaliah bulan Ramadhan akan memberikan suasana khas keceriaan
Ramadhan yang turut membantu membangkitkan semangat berpuasa anak-anak. Mempersering
membaca al-Qur'an, shalat tarawih dan mengikuti pengajian harian, misalnya. Juga
memperbanyak sedekah, saling berkirim makanan buka puasa antar tetangga. Dan khusus di sekolah bisa di ciptakan lingkungan yang kondusif melalui berbagai aktifitas yang bisa berupa semarak ramadhan, gebyar ramadhan, pesantren ramadhan dan kegiatan-kegiatan lain yang mendukung itu semua. Semua itu akan membuat anak merasakan kehadiran ramadhan dengan penuh semangat.
Dan tidak kalah penting adalah Memberi hadiah atas usaha anak untuk berpuasa sehingga bisa menambah motivasi. Kepada anak berusia di atas tujuh tahun, imbalan hadiah di akhir bulan
Ramadhan akan cukup membuat mereka bersemangat. Akan tetapi bagi anak yang
lebih kecil, akan lebih efektif jika hadiah harian pun mereka terima. Hadiah harian bisa berupa barang sederhana, atau bahkan hanya berupa bintang dari kertas emas yang ditempel di dinding.
Janjikan sebuah hadiah jika bintang mereka mencapai sepuluh, dua puluh, atau tiga puluh. Hadiah bulanan bisa merupakan kelanjutan dari hadiah harian, dan merupakan satu jenis kebutuhan yang sangat diharap-harapkan anak-anak. Katakan bahwa hadiah itu adalah pertanda kemenangan bagi usaha mereka mengalahkan hawa nafsu.
Waspadai saat-saat kritis
Sebelum saya akhiri, yang perlu di perhatikan oleh orang tua adalah Ada saat di mana biasanya anak begitu bergairah untuk berpuasa dan melakukan ibadah lain di bulan Ramadan. Biasanya ini terjadi di awal-awal, tetapi menjelang pertengahan bulan, anak mungkin sudah merasa lelah, sehingga enggan berpuasa. Orang tua harus mengantisipasi saat-saat kritis ini justru dengan memberikan kegiatan dan kreativitas yang paling menarik bagi anak.
Dan tidak kalah penting adalah -Menurut Ekorini Kuntowati - Berhati-hati pula dengan saat-saat usai Ashar setiap harinya. Di sore hari seperti ini anak mungkin merasa sangat lapar, lelah, dan jemu menunggu. Di saat-saat ini mereka sangat membutuhkan perhatian dan dorongan dari ayah dan ibunya. Jangan hanya sibuk menyiapkan buka puasa sehingga menelantarkan mereka. Justru di saat-saat inilah orang tua perlu mengajak anak untuk melakukan berbagai jenis kegiatan yang tidak membutuhkan bayak kekuatan fisik.