Jumat, 15 Agustus 2008

pendidikan terbaik

KUALITAS PENDIDIKAN TERBAIK DI DUNIA


Tahukah Anda negara mana yang kualitas pendidikannya menduduki peringkat
pertama di dunia? Kalau Anda tidak tahu, tidak mengapa karena memang
banyak yang tidak tahu bahwa peringkat pertama untuk kualitas pendidikan
adalah Finlandia. Kualitas pendidikan di negara dengan ibukota Helsinki,
dimana perjanjian damai dengan GAM dirundingkan ini memang begitu luar
biasa sehingga membuat iri semua guru di seluruh dunia.

Peringkat I dunia ini diperoleh Finlandia berdasarkan hasil survei
internasional yang komprehensif pada tahun 2003 oleh Organization for
Economic Cooperation and Development (OECD). Tes tersebut dikenal dengan
nama PISA mengukur kemampuan siswa di bidang Sains, Membaca, dan juga
Matematika. Hebatnya, Finlandia bukan hanya unggul secara akademis tapi
juga menunjukkan unggul dalam pendidikan anak-anak lemah mental.
Ringkasnya, Finlandia berhasil membuat semua siswanya cerdas.

Lantas apa kuncinya sehingga Finlandia menjadi Top No 1 dunia? Dalam
masalah anggaran pendidikan Finlandia memang sedikit lebih tinggi
dibandingkan rata-rata negara di Eropa tapi masih kalah dengan beberapa
negara lainnya.

Finlandia tidaklah mengenjot siswanya dengan menambah jam-jam belajar,
memberi beban PR tambahan, menerapkan disiplin tentara, atau memborbardir
siswa dengan berbagai tes. Sebaliknya, siswa di Finlandia mulai sekolah
pada usia yang agak lambat dibandingkan dengan negara-negara lain, yaitu
pada usia 7 tahun, dan jam sekolah mereka justru lebih sedikit, yaitu
hanya 30 jam perminggu. Bandingkan dengan Korea, ranking kedua setelah
Finnlandia, yang siswanya menghabiskan 50 jam perminggu

Lalu apa dong kuncinya? Ternyata kuncinya memang terletak pada kualitas
gurunya. Guru-guru Finlandia boleh dikata adalah guru-guru dengan kualitas
terbaik dengan pelatihan terbaik pula.. Profesi guru sendiri adalah
profesi yang sangat dihargai, meski gaji mereka
tidaklah fantastis. Lulusan sekolah menengah terbaik biasanya justru
mendaftar untuk dapat masuk di sekolah-sekolah pendidikan dan hanya 1 dari
7 pelamar yang bisa diterima, lebih ketat persaingainnya ketimbang masuk
ke fakultas bergengsi lainnya seperti fakultas hukum dan kedokteran!

Bandingkan dengan Indonesia yang guru-gurunya dipasok oleh siswa dengan
kualitas seadanya dan dididik oleh perguruan tinggi dengan kualitas
seadanya pula. Dengan kualitas mahasiswa yang baik dan pendidikan dan
pelatihan guru yang berkualitas tinggi tak salah jika kemudian mereka
dapat menjadi guru-guru dengan kualitas yang tinggi pula.

Dengan kompetensi tersebut mereka bebas untuk menggunakan metode kelas
apapun yang mereka suka, dengan kurikulum yang mereka rancang sendiri, dan
buku teks yang mereka pilih sendiri. Jika negara-negara lain percaya bahwa
ujian dan evaluasi bagi siswa merupakan bagian yang sangat penting bagi
kualitas pendidikan, mereka justru percaya bahwa ujian dan testing itulah
yang menghancurkan tujuan belajar siswa. Terlalu banyak testing membuat
kita cenderung mengajar siswa untuk lolos ujian, ungkap seorang guru di
Finlandia. Padahal banyak aspek dalam pendidikan yang tidak bisa diukur
dengan ujian. Pada usia 18 th siswa mengambil ujian untuk mengetahui
kualifikasi mereka di perguruan tinggi dan dua pertiga lulusan melanjutkan
ke perguruan tinggi.

Siswa diajar untuk mengevaluasi dirinya sendiri, bahkan sejak Pra-TK! Ini
membantu siswa belajar bertanggungjawab atas pekerjaan mereka sendiri,
kata Sundstrom, kepala sekolah di SD Poikkilaakso, Finlandia. Dan kalau
mereka bertanggungjawab mereka akan bekeja lebih bebas.Guru tidak harus
selalu mengontrol mereka.

Siswa didorong untuk bekerja secara independen dengan berusaha mencari
sendiri informasi yang mereka butuhkan. Siswa belajar lebih banyak jika
mereka mencari sendiri informasi yang mereka butuhkan. Kita tidak belajar
apa-apa kalau kita tinggal menuliskan apa yang dikatakan oleh guru. Disini
guru tidak mengajar dengan metode ceramah, Kata Tuomas Siltala, salah
seorang siswa sekolah menengah. Suasana sekolah sangat santai dan
fleksibel. Terlalu banyak komando hanya akan menghasilkan rasa tertekan
dan belajar menjadi tidak menyenangkan, sambungnya.

Siswa yang lambat mendapat dukungan yang intensif. Hal ini juga yang
membuat Finlandia sukses. Berdasarkan penemuan PISA, sekolah-sekolah di
Finlandia sangat kecil perbedaan antara siswa yang berprestasi baik dan
yang buruk dan merupakan yang terbaik menurut OECD.

Remedial tidaklah dianggap sebagai tanda kegagalan tapi sebagai kesempatan
untuk memperbaiki. Seorang guru yang bertugas menangani masalah belajar
dan prilaku siswa membuat program individual bagi setiap siswa dengan
penekanan tujuan-tujuan yang harus dicapai, umpamanya: Pertama, masuk
kelas; kemudian datang tepat waktu; berikutnya, bawa buku, dlsb. Kalau
mendapat PR siswa bahkan tidak perlu untuk menjawab dengan benar, yang
penting mereka berusaha.



Para guru sangat menghindari kritik terhadap pekerjaan siswa mereka.
Menurut mereka, jika kita mengatakan "Kamu salah" pada siswa, maka hal
tersebut akan membuat siswa malu. Dan jika mereka malu maka ini akan
menghambat mereka dalam belajar. Setiap siswa diperbolehkan melakukan
kesalahan. Mereka hanya diminta membandingkan hasil mereka dengan nilai
sebelumnya, dan tidak dengan siswa lainnya. Jadi tidak ada sistem
ranking-rankingan. Setiap siswa diharapkan agar bangga terhadap dirinya
masing-masing.
Ranking-rankingan hanya membuat guru memfokuskan diri pada segelintir
siswa tertentu yang dianggap terbaik di kelasnya. Kehebatan sistem
pendidikan di Finlandia adalah gabungan antara kompetensi guru yang
tinggi, kesabaran, toleransi dan komitmen pada keberhasilan melalui
tanggung jawab pribadi. Kalau saya gagal dalam mengajar seorang siswa,
kata seorang guru, maka itu berarti ada yang tidak beres dengan pengajaran
saya! Benar-benar ucapan guru yang sangat bertanggungjawab.

Selasa, 12 Agustus 2008

Ramadhan dan pendidikan

“Ramadhan dan Momentum kebangkitan Spirit Pendidikan”

“Ada anak bertanya pada bapaknya, buat apa berlapar-lapar puasa ”.

(Bimbo)

Tren Ramadhan dan Ibadah Kolosal

Ada sebuah fenomena dan (mungkin) tren yang cukup membuat kita pilu dan bahkan mungkin ironis di hati kita. Pada setiap datang bulan ramadhan, secara serentak beberapa kantor pemerintahan dan swasta menggelar kegiatan ramadhan. Tidak kalah penting juga media televisi memperbanyak acara religi dengan memperlihatkan suasana puasa. Ini tidak salah, sangat baik untuk syiar Islam. Namun sikap ini hanya sesaat atau dalam pengertian lain hanya pemanis. Maka tidak heran ibadah puasa disebut sebagai ibadah kolosal karena memang secara serentak dilakukan persis sepersis seperti ibadah haji, orang semangat beribadah ketika sampai di tanah suci, tetapi sepulangnya dari tanah suci perilakunya kembali seperti semula.

Kolosal tidak hanya orang yang melakukan ibadahnya, tetapi kolosal juga pembuatan simbol-simbol ramadhan. Kita bisa cek ketika datang bulan ramadhan pemasangan gambar masjid dan orang berkopyah terpasang ditempat-tempat umum. begitu juga tawaran paket ramadhan seperti hotel dan rumah makan secara kolosal ditawarkan

Saya terinspirasi dari tulisan opini Muhammad AS, di Kompas, yang berjudul “tragedi komersialisasi agama” telah menggambarkan realitas keberagamaan umat Islam yang telah terjebak pada praktek ritual formal agama yang menyebabkan kehilangan subtansi agama. Dan tulisan ini tidak dalam rangka mengkritik ibadah puasa, tapi mengkritik realitas umat Islam yang terjebak. Ramadhan yang mestinya menjadi momen bagi umat Islam untuk kontemplasi dalam meningkatkan keimanan dan ketakwaan, serta menjadi ajang memupuk dan mengonsolidasi persaudaraan (ukhuwah) sesama manusia. Misalnya dengan tarawih berjamaah, seorang Muslim diharapkan mampu menjadikan kesempatan itu untuk memecahkan masalah internal umat Islam, lebih-lebih mampu memecahkan persoalan bersama, dalam konteks lingkungan, kebudayaan, pendidikan, ekonomi, dan sebagainya. Momentum untuk membangkitkan jiwa perjuangan seorang (Mujahid) Muslim yang tangguh dalam menyelesaikan problem keberagamaan dan kebangsaan. Namun, yang terjadi ramadhan hanya dijadikan "pemanis" beragama, dan ini menumbulkan kebuntuan dan keterasingan diri, dalam beragama ataupun berbangsa. Tentunya kita bertanya apakah ini tren atau komersialisasi dengan memanfaatkan momentum ramadhan.

Ramadhan sebagai pendidikan afektif

Jika kita cermati, salah satu kelemahan pendidikan kita saat ini terletak pada aspek afektif. Hal itu dapat dibuktikan dengan menunjukkan banyaknya kasus negatif dalam bidang afektif yang mewarnai dunia pendidikan kita. Berbagai kasus pelecehan seksual yang dilakukan oknum guru terhadap murid, tawuran pelajar, penyontekan, menurunnya rasa hormat murid terhadap guru, banyaknya siswa yang terlibat pelanggaran seksual dan narkoba, dan lain-lain merupakan deretan panjang pelanggaran dalam bidang afektif.

Lantas, apa kontribusi pendidikan Ramadhan dalam kaitannya dengan penciptaan iklim pendidikan yang mengedepankan nilai-nilai afektif? Jika dicermati, konsep pendidikan Ramadhan pada prinsipnya sederhana, tetapi mendasar, yakni berlaku mutlaknya suatu peraturan (syariah). Peraturan dalam pendidikan Ramadhan diberlakukan secara tegas, termasuk konsekuensinya, yakni ketaatan pada peraturan dihargai dengan hadiah dan pelanggaran direspons dengan hukuman. Dalam dunia pendidikan kita, konsep seperti itu sebenarnya sudah ada, bahkan sudah lama, tetapi cenderung sebatas konsep. Kalaupun direalisasikan, realisasinya tidak maksimal dan kadang-kadang terkesan diskriminatif.

Hal itu turut menjadi variabel pengganggu yang menyebabkan perealisasian pendidikan afektif tidak sesuai harapan. Idealnya, kepada siswa yang taat dan berprestasi-tanpa memandang siapa, anak siapa dia, dan latar belakangnya bagaimana-pihak sekolah memberi hadiah. Apa pun bentuknya. Bagi pelaku pelanggaran, sekecil apa pun kadar pelanggarannya, hukuman bersifat mendidik harus diberikan. Ini penting untuk mendukung tumbuhnya kesadaran siswa. Dalam hal ini, perlu mendapatkan pemahaman yang benar bahwa hadiah tidak harus diartikan materi dan hukuman tidak harus diartikan hukuman fisik.

Pujian yang tepat konteks, misalnya, merupakan salah satu bentuk hadiah yang baik. Kesan yang selama ini ada dan realitanya memang demikian, hukuman dan hadiah itu dianggap hal sepele sehingga tidak diberikan kecuali dalam momentum monumental, misalnya saat kelulusan. Akibatnya, hadiah dan hukuman yang efek psikologisnya besar bagi siswa tidak memiliki kesempatan untuk mewarnai perilaku afektif siswa.

Ramadhan sebagai pendidikan Asketik

Pendidikan yang terkandung dalam ritual puasa bulan ramadhan adalah pendidikan nilai. Upaya untuk menahan lapar, menahan nafsu, bangun tengah malam, dan ritual lainnya merupakan perwujudan dari proses pendidikan nilai. Inti dari pendidikan nilai adalah penanaman nilai dalam hati sanubari peserta didik yang nantinya berwujud pada akhlakul karimah.

Upaya mewujudkan akhlakul karimah bukanlah sesuatu yang mudah, tidak cukup hanya diajarkan secara formal bersamaan dengan pembelajaran materi pelajaran umum di kelas. Meskipun di kelas telah diupayakan integrasi ataupun interkoneksitas antara sains dan agama ataupun diupayakan tersentuhnya tiga ranah pembelajaran (kognitif, afektif, dan psikomotorik), namun pada kenyataan ranah kognitif dan psikomotorik jauh diutamakan. Akibatnya upaya pembentukan akhlakul karimah terhambat.

Akhlakul karimah hanya bisa terwujud dari dua sumber yakni hati sanubari yang bersih atau regulasi hukum yang jelas dan tegas. Dari dua sumber tersebut akan sangat baik jika muncul dari hati nurani, bukan dipaksakan oleh hukum.Pembentukan hati nurani yang bersih dalam tradisi Islam dapat ditempuh dengan lima cara yakni membaca Qur’an dengan menghayati maknanya, mendirikan sholat malam, dzikir malam, memperbanyak berpuasa, dan berkumpul dengan orang sholeh. Dalam hal berpuasa Allah telah memberikan waktu yakni puasa wajib di bulan Ramadhan dan waktu-waktu tertentu yang telah disunnahkan Nabi saw.

Terminologi asketik dalam dunia filsafat didefinisikan sebagai upaya laku prihatin (atau dengan menyiksa diri) guna mencapai kesuksesan kehidupan akherat. Perintah untuk berperilaku asketik sejatinya given dari Sang Khaliq dalam Alquran maupun sunnah Nabi saw.

Tujuan dari laku asketik menekankan kepada kesuksesan kehidupan akherat, meskipun demikian laku asketik sangat bermanfaat di kehidupan dunia bagi pelakunya. Laku asketik menjauhkan dari penyakit karena pola dan menu makan yang tidak terkontrol, dan laku asketik juga menjauhkan dari kehidupan konsumerisme serta perilaku hedonisme yang kini menjadi bahaya laten dalam kehidupan nasional.

Setiap insan sejatinya dapat melakukan laku asketik, kecuali yang berhalangan serius, sakit atau dalam keadaan tidak suci. Laku asketik di bulan ramadhan idealnya dilakukan secara total, melibatkan seluruh inderawi dan pikiran serta dilakukan selama 24 jam penuh, siang dan malam.

Sebuah Penutup

Sebelum saya akhiri, Marilah kita renungkan sejenak apa yang di katakan Said al-Hawwa dalam Bukunya Al Islam yang melihat bahwa pada hakikatnya Ramadhan merupakan madrasah, jika orang yang berpuasa pandai memanfaatkannya, mereka akan menjadi manusia baru, tidak seperti sebelumnya. Ramadhan adalah madrasah tempat seorang Muslim memperbarui ikatan-ikatan Islam pada dirinya dan mengambil bekal yang dapat menutupi segala kekurangan sebelumnya. Ramadhan merupakan syahru tarbiyah. Dalam bulan ini umat Islam dididik untuk bisa berbuat kebaikan sebanyak-banyaknya, baik dalam konteks vertikal (hubungan dengan Khalik) maupun horizontal (sesama makhluk). Dengan berbuat kebaikan pada dua konteks itu diharapkan tidak hanya tercipta kesalehan religius, tetapi juga kesalehan sosial. Bagi yang berbuat kebaikan disediakan hadiah (reward) berupa pahala, sedangkan bagi yang tidak disediakan hukuman (punishment) dalam bentuk dosa. Jika dikaitkan dengan taksonomi pendidikan model Benjamin S. Bloom, jelas bahwa pendidikan Ramadhan masuk dalam "kapling" pendidikan afektif.

Jika melihat dalam perspektif di atas (afektif maupun asketik) sudah tentu kita jadikan sebagai momen kebangkitan spirit pendidikan. Selamat menunaikan ibadah puasa Ramadhan

Marhaban Ya Romadhon

Persiapan Menghadapi Ramadhan


Audit Ramadhan*
Ramadhan adalah bulan audit diri. Audit dilakukan untuk mengetahui apa saja yang sudah dan belum dikerjakan. Juga, apa saja yang harus diperbaiki. Setidaknya ada enam hal yang bisa kita audit dalam Ramadhan ini. Semuanya terangkum dalam doa sapu jagat. "Rabbana aatinna fidunya hasanah wafil aakhirati khasanah wakina adhabannaar". Artinya: "Ya Allah berilah hamba-Mu kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, serta jauhkanlah hamba-Mu ini dari api neraka.”
Kebaikan di dunia memiliki enam indikator, yaitu: memiliki istri atau suami yang saleh, keturunan saleh, badan sehat, rezeki halal, tetangga baik, dan ilmu yang bermanfaat. Mari kita lihat. Pertama, memiliki istri atau suami yang baik. Dalam posisi ini ada empat kuadran yang bisa kita lihat. (1) Kuadran pertama adalah suami dan istri sangat salehah. Contohnya keluarga Imran dan keluarga Rasulullah SAW. (2) Kuadran kedua adalah suami sangat saleh dan istri tidak saleh. Contohnya keluarga Nabi Nuh dan Nabi Luth. (3) Kuadran ketiga adalah suami sangat tidak saleh dan istri sangat salehah. Contohnya Firaun dengan Siti Asyiah istrinya. (4) Kuadran keempat adalah suami tidak saleh dan istri juga tidak salehah. Contohnya keluarga Abu Lahab.
Kedua, memiliki keturunan yang saleh. Ada empat hal yang bisa kita dipetakan. (1) Orang tua sangat baik dan anak sangat baik. Inilah keluarga rumahku surgaku (2) Orang tua sangat baik dan anak-anak sangat tidak baik, akibatnya orang tua tidak bangga dengan anak-anak. (3) Orang tua kurang baik dan anak-anak sangat baik, akibatnya orang tua tidak dikagumi oleh anak-anaknnya. (4) Orang tua sangat tidak baik dan anak-anak juga sangat tidak baik. Inilah keluarga rumahku nerakaku.
Ketiga, memiliki badan sehat. Fisik Rasulullah SAW sangat sehat. Selama hidup beliau hanya mengalami sekali sakit berat yaitu saat hendak meninggal. Sebuah penelitian menyebutkan bahwa orang yang rajin tahajud jauh lebih sehat dibanding orang yang jarang tahajud. Dan orang yang tahajudnya ikhlas jauh lebih sehat dibanding yang tidak ikhlas. Kalau penelitan ini dikaitkan dengan aktivitas Rasulullah SAW, maka pantas bila Rasul jarang sakit. Sebab beliau tidak pernah meninggalkan tahajud dan sangat ikhlas melakukannya. Jadi kalau kita sering sakit-sakitan, salah satu penyebabnya adalah jarang tahajud. Nah, dalam bulan Ramadhan, tahajud diganti dengan tarawih. Agar tidak sakit-sakitan lakukanlah tarawih dengan khusyu dan ikhlas.
Keempat, memiliki rezeki yang halal. Kita harus bertanya, rejeki halal kita dapatkan ada dalam posisi mana? Apakah mendapat rezeki halal karena prestasi? Apakah mendapat rezeki halal karena belas kasihan? Atau rezeki tersebut datang karena rasa sebal. Artinya kita mendapat rejeki halal tapi orang jadi sebal pada kita.
Kelima, memiliki tetangga baik. Saat berkeinginan memiliki tetangga baik, pada saat bersamaan, bertanyalah pada diri: apakah kita termasuk tetangga yang baik bagi orang lain? Menurut Rasul tidak termasuk orang beriman kalau kita kenyang sedangkan tetangga kelaparan. Tidak pula disebut beriman kalau tetangga merasa tidak aman dengan mulut dan perbuatan kita.
Keenam, memiliki ilmu bermanfaat. Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang bisa mengikuti perkembangan zaman. Karena itu, Ramadhan harus kita jadikan ajang untuk meningkatkan keilmuan agar kita tidak ditertawakan zaman, dan akhirnya ditinggalkan zaman.

Pertanyan mendasar
Semoga dalam Ramadhan 1426 H, kita bisa mengaudit keenam indikator ini secara jujur dan benar. Harapannya, kita tahu bagaimana menjalani peta kehidupan kita setelah Ramadhan nanti, sehingga kita mampu beraktivitas secara benar dan berprestasi dalam hidup.

Pertanyannya sekarang:
(1) Apakah kita sudah menjadi suami atau istri yang baik? Bagi yang belum berkeluarga, apakah sudah bersungguh-sungguh menyiapkan diri untuk menjadi calon suami dan istri yang baik?
(2) Apakah kita sudah mempunyai anak-anak yang baik? Apakah pun kita juga sudah bersungguh-sungguh untuk menjadi anak-anak yang baik bagi orang tua kita.
(3) Apakah kita sudah mempunyai badan yang sehat, kemudian aktivitas apa saja yang harus dilakukan agar badan kita sehat dan tidak menjadi beban banyak orang.
(4) Apakah kita sudah punya rezeki yang halal, syukur kalau banyak agar bisa membayarkan hutang orang-orang yang terlilit hutang, memberi bea siswa kepada banyak orang dan membantu keuangan bagi yang memerlukan?
(5) Apakah kita sudah punya tetangga dan teman yang baik? Begitu juga apakah kita telah menjadi tetangga dan teman yang baik bagi orang lain?
(6) Apakah kita sudah mempunyai ilmu yang bermanfaat, sehingga punya kemampuan untuk mengikuti perkembangan zaman, agar tidak tergilas roda zaman?

Semoga kita mendapat dunia yang baik, akhirat baik dan jauh dari api neraka.sumber masrukhul amri

Senin, 11 Agustus 2008

pendidikan indonesia

Jalan Berliku Pendidikan Nasional

Pemimpin negara kita saat ini adalah produk sistem pendidikan nasional kita. Apakah pertanyaan ini menjadi suatu yang logis, jika ada pernyataan bahwa pemimpin bangsa kita saat ini adalah hasil pendidikan bangsa kita saat ini. Apakah ini suatu hal yang mantiqy?

Andai kata pertanyaan ini dijawab dengan jawaban "logis" pertanyaan selanjutnya adalah apakah kita sudah puas dengan kepemimpinan Presiden selama ini, kalau seandainya jawabannya puas, ya kita biarkan saja negeri kita seperti sekarang ini. Kalau jawaban anda tidak puas, maka kita harus mengubah dengan sekuat tenaga pada sistem pendidikan kita.

Telah disebutkan oleh beberapa pakar pendidikan, bahwa paling tidak sistem pendidikan harusnya mencakup tiga hal: Heart (hati), Head (kepala-otak), Hand (tangan). Tangan digunakan untuk keterampilan, selama ini kita mengadopsi sistem pendidikan barat, maka hasilnya sama dengan mereka, artinya tidak jauh dari kemajuan yang dicapai mereka. Secara continuous (terus menerus) fokus pendidikan kita hanyalah pada otak saja, akan tetapi mengabaikan unsur jiwa/hati sama sekali. Akibatnya di negara kita ini banyak sekali professor yang tercecer, karena terlalu banyak. Padahal di zaman dahulu seorang Insinyur hanya dimiliki oleh Presiden Sukarno, dan orang yang bergelar doktorandus hanya Moh. Hatta. Berbeda dengan sekarang keberadaan mereka membludak karena terlalu banyak.

Fenomena sekarang ini banyak orang pinter tercecer, tetapi karena hatinya tidak dididik, akibatnya seperti yang kemarin-kemarin (korupsi terjadi di berbagai kalangan). Hal ini menjadi suatu yang logis, dikarenakan tidak ada keutuhan (antara unsur lahiriyah dan batiniyah) yang terjalin dalam proses pendidikan di Indonesia.Satu contoh kecil minimal dalam 17 Agustus kita menyanyikan lagu kebangsaan Bangunlah Jiwanya Bangunlah Badannya..............., kalau seandainya lirik itu dirubah menjadi bangunlah Badannya kemudian baru bangunlah Jiwanya, maka tidak akan terjadi perubahan nada yang berarti. (artinya Dalam rangka mendidik badan/otak itu harusnya didahulukan, karena keberadaan otak sangat penting untuk memilah antara baik dan buruk, sedangkan mendidik jiwa adalah hal terpenting setelah pendidikan otak, karena dimensi jiwa itu mencakup keseluruhan anggota badan (seperti dalam hadits: idza sholuha sholuha jasadu kulluha).

Akan tetapi realitasnya pendidikan yang terjadi hanya memfokuskan pada badan/fisik saja, sampai-sampai pemimpin diatas itu perutnya besar-besar (kelakar beliau). Jadi kesimpulannya semua hal yang berhubungan dengan badan dan raga itu mendapat prioritas tersendiri di dalam pendidikan di negara kita. Contoh yang mudah seperti keberadaan olah raga dari mulai bulu tangkis sampai sepak bola itu, yang menjadi pembina adalah para jendral, sampai pada suatu saat pembina bulu tangkis itu adalah wakil presiden. Pertanyaan yang cukup mendasar, siapa yang selama ini ditugaskan sebagai pembina jiwa? Apakah MUI (Majelis Ulama Indonesia, sambil bergurau menyindir para pemangku MUI), yang disibukkan oleh proses labelisasi halal, pada beberapa produk makanan. Apakah Depag (Departemen Agama)? padahal depag selama ini bingung masalah Haji, karena sibuk mengurusi dana Umat Abadi, apakah Kyai? wong kyai sekarang ini agak berkurang kredibilitasnya karena sibuk mengurusi urusan yang harusnya tidak mereka urusi (politik dan lainnya). Yang harusnya dicari sekarang ini adalah kyai yang bisa membina jiwa, kalau keberadaannya sudah punah, maka bisa- bisa terjadi kiamat, ha..ha.. ha.. (kelakar Beliau lagi)

Keanehan yang terjadi selama ini banyak sekali terjadi di negara kita, salah satunya bencana Tsunami yang melanda Indonesia. begitu besarnya bencana yang melanda Indonesia secara bertubi-tubi, sampai-sampai ada orang datang kepada saya, menyarankan agar presiden kita di Ruwat aja (ruwat adalah prosesi upacara Jawa dengan maksud meminta keselamatan pada Allah). Aja juga fenomena yang lebih menghebohkan ada seorang kyai, Profesor, ribuan masa pengikutnya malah ditahan kepolisian? ini kan suatu keanehan yang luar biasa dan suatu musibah bagi warga muslim di Indonesia. Permaslahan yang terjadi bukanlah Presiden atau siapa yang perlu di ruwat, akan tetapi harus berani melakukan revolusi yang mampu memperbaiki mental pada bangsa ini.

Ada 32 inventarisasi masalah yang salah kaprah terjadi di Indonesia, menurut analisa pribadi beliau. Salah kaprah yang dimaksud adalah suatu kesalahan menurut ta'rif lughah dan istilahy, akan tetapi dianggap benar menurut orang Indonesia, ini adalah akibat hampir tidak adanya hubungan satu kesatuan antara jiwa dan raga. Tetapi realitas yang terjadi dipisahkan sedemikian rupa, bahkan ditinggalkan persoalan jiwa dan ruh.

Salah satu hal inventarisasi yang dimaksud adalah dibedakannya antara istilah madrasah dengan sekolah, hanya perbedaannya kalau madrasah jika ingin membeli kitab di toko kitab dan sekolah kalau membeli buku di toko buku. jadi tidak ada toko buku yang jual kitab begitu juga sebaliknya.

Keberadaan raport sebagai penunjang pendidikan sudah terlihat sangat memprihatinkan. Pada indeks prestasi siswa begitu diperhatikan betul, nilai yang di berikan disertai dengan bilangan desimal (bilangan berkoma) yang begitu detailnya. Akan tetapi di sisi bawah raport ada catatan tambahan yang melaporkan kelakuan sikap sopan santun, akan tetapi satuan nilai yang diberikan hanya A, B, dan C. Masalahnya indeks prestasi siswa terlalu diperhatikan sedangkan sisi kelakuan (adab), sikap dan sopan santun tidak diberikan nilai yang detail. begitujuga fenomena yang terjadi dipesantren, sama halnya dengan yang terjadi disekolah umum. Padahal orientasi pendidikan sekolah itu adalah lapangan kerja. pertanyaannya apakah raport pesantren itu bisa di gunakan untuk mencari pekerjaan? jadi itu suatu kesalahan yang luar biasa, yang tidak perlu diperjuangkan oleh pesantren. Pesantren harusnya bisa menjaga kurikulumnya untuk menetapkan pendidikan jiwa, ruh, dan badan dalam satu kesatuan. Jadi pesantren tidak perlu berkiblat pada dunia luar yang justru akan mengikis karakteristik pesantren itu sendiri.

Anomali arus pendidikan Indonesia

Realitas dewasa ini banyak orang pintar tapi suka korupsi, hanya dengan bermodal pena dan baju berdasi bisa mengkorupsi uang milyaran rupiah. sedangkan orang yang bodoh untuk mencuri masih harus pakai linggis dan proses hukumannyapun menjadi lama karena dia seorang yang tidak punya sedangkan koruptor sebaliknya. kenapa harus sekolah yang tinggi untuk menjadi maling? ini suatu pertanyaan besar yang haruis di jawab oleh praktisi pendidikan Indonesia. maka dari sini harus ada yang memulai merubah sistem pendidikan yang awalnya hanya mengandalkan daging (kinayah dari tujuan pendidikan nasional yang mengadakan prestasi daripada pembentukan hati nurani). salah satu contoh lembaga yang menerapkan tujuab tersebut adalah pesantren-pesantren, karena pesantren sekarang mulai memberikan karasteristiknya yaitu mendahulukan taallum (pengajaran) daripada tarbiyah (pendidikan ruh).

Malah ada sebagaian orang yang mengusulkan akan adanya anggaran pesantren yang diambil dari APBN, padahal rusaknya pesantren karena diobok-obok oleh pihak luar, kemudian kiainya tidak mau mandiri, mengandalkan bantuan luar yang akibatnya kurikulum pesantren diubah dan akhirnya kiblat salafnya hilang. Amerika sendiri notabene adalah pihak donatur yang siap membantu negara-negara berkembang akan tetapi mereka merubah kurikulum sesuai dengan yang diinginkan Amerika sendiri. maka untuk mengantisipasi masalah anggaran harusnya para wali santri mengetahui apa manfaat syahriah itu bukan sebagai gaji untuk kiainya akan tetapi untuk kemaslahatan santri itu sendiri. karena seorang kiai atau (pemangku pesantren) s sudah sudah payah memberikan ilmunya, kok disana sini masih menuntut gratis. Padahal seorang Ustadz telah mendidik anak didiknya secara dlohiron wa bathinan atau dalam istilah kita murobbi ar-ruhi wal jasad.

Salah satu tauladan beliau yang diadopsi dari ayahnya sendiri (KH Bisri Mustofa), di saat beliau diundang hadir di beberapa tempat untuk hadir muhadloroh, akan tetapi disisi lain harus meninggalkan para santrinya sebagai anak didiknya, itu suatu muskilah yang besar bagi seorang kyai (pemangku pesantren). Akan tetapi apa yang dilakukan beliau menanggapi masalah tersebut. Disaat beliau naik panggung, beliau ingat akan kewajiban mengajar, lantas dalam hati beliau terbesit harapan pada Allah dalam sebuah dialog berikut: "Ya Allah jika dalam acara pengajian ini Engkau berikan pada kami ganjaran (pahala), maka jangan Engkau berikan kepada kami, melainkan gantilah pahala itu kepada santri sebagai futuhal qolb berupa terbukanya hati akan ilmu-ilmu Allah". Jika kemudian doa itu menjadi kenyataan akan kemanfaatan ilmu para santri, maka itulah yang sisi positif pesantren yang kita kenal sebagai Barokatul Ilmi.

Kritik atas Pesantren Berbuah Kemajuan yang semu

Ketika pesantren mencoba memasuki medan baru dalam persaingan dunia pendidikan, instansi ini terkena imbas kemajuan informasi seperti sekarang ini. Satu misal ketika pesantren dikritik habis-habisan oleh praktisi pendidikan formal. Dari sisi kurikulum pesantren tidak memilki batasan yang jelas, tidak memiliki silabus, tidak ada fasilitas belajar yang memadai dan lain-lain. Sehingga dengan adanya kritikan tersebut pesantren mulai berbenah diri dengan menyejajarkan diri dengan dunia pendidikan pada umumnya, begitu juga pandangan masyarakat menjadi berubah, bahwa pesantren telah menjadi tertib, ada ijazah/piagam, rapot, bahkan wisuda santri.Setelah berbenah diri, sepertinya pesantren cenderung meninggalkan karakteristiknya (tarbiyah ruhiyyah) yang tidak dimiliki oleh instansi lain selain pesantren.

Pasalnya sistem pengajaran tanpa diiringi dengan tarbiyah ruh tidak akan menghasilkan buah yang maksimal. Artinya, di satu sisi siswa sebagai anak didik, akan mengalami kemajuan pesat dibidang integensi (kecerdasan, prestasi, ketangkasan), akan tetapi disisi lain (sisi mentalitas kejiwaan) akan mengalami degradasi (kemerosotan) yang luar biasa, akibat dari kelalaian pengajar akan pentingnya sisi mentalitas kejiwaan (ruhiyyah). Contoh konkret banyak pesantren melakukan pengadopsian antara mata pelajaran agama dan mata pelajaran umum, banyak madrasah-madrasah yang melakukannyya, akan tetapi apakah nantinya menjamin bahwa mereka akan berakhlaq mulia, dalam arti akhlaq quraniy sebagai mana yang mereka hafalkan di kelas-kelas. Padahal kalau kita lihat Rasulullah dahulu mendidik sahabat ruhiyyah dahulu (ketauhidan) baru kemudian jasmaniyah (ibadah, mu'amalah), maka the result of thats teaching, Rasulullah mampu menciptakan generasi terbaik yang pernah dicatat oleh sejarah dunia. Maka kemudian mengapa pesantren sebagai lembaga pendidikan yang Islami malah meninggalkan dualisme unsur pendidikan rasulullah itu?

Seiring dengan proses penyempurnaan kualitas KBM yang terus diusahakan dan dikembangkan oleh beberapa instansi pesantren, seringkali beliau menghimbau agar usaha tersebut tidak sampai mengganti ataupun menghilangkan samasekali karakteristik pesantren yaitu tarbiyah ruh wal jasad. Karena sejak awal kita menghendaki penyempurnaan sistem bukannya penggantian sistem. Contoh kasus yang paling mudah adalah disaat kita membeli televisi, atau komputer, dalamnya pasti kita dapatkan buku panduan lengkap. Korelasinya dalam dunia pendidikan, sisi pengajaran tak ubahnya sebagai buku pengajaran tersebut. Tanpa membacanyapun, kita akan bisa menguasainya karena kita telah terbiasa dalam pemakaiannya (unsur ini yang kemudian disebut dengan unsur empiris/sisi nyata yang abstrak, sedangkan buku panduan itu sebagai unsur normatif yang konkret).

Hubungannya (korelasi) dalam kehidupan keseharian Nabi Muhammad Shallallahu alihi wasallam, bahwa Rasulullah sendiri lebih mendahulukan sisi tarbiyah daripada pengajaran. Malahan sisi pengajaran bisa diabaikan saat itu, karena amaliyah Rasul berperan sebagai bahan pengajaran yang dapat diambil langsung oleh sahabat, makanya unsur pendidikan yang paling berperan saat itu adalah unsur empiris/perilaku Rasul sebagai as-Syari`, dan mampu menjadi sistem yang paling berhasil saat itu, sekarang dan dimasa yang akan datang. Salah satu contoh ringan, Imam Hasan al-Bashri, seorang Tabi'in yang juga seorang mujadid abad pertama, pernah menanyakan kepribadian Rasulullah pada Sayyidah Aisyah Radliallahu 'anha, lantas Sayyidah Aisyah terheran-heran dengan pertanyaan itu kemudian, beliau balik bertanya: "Wahai Imam!, apakah anda tidak membaca al-Quran? Kana khuluquhu al-Quran, Rasulullah adalah al-Quran yang berjalan". Maka hanya dengan mengamati perilaku keseharian beliau Shalallahu alaihi wasallam, mereka yang hidup sezaman dengan Rasulullah mudah meniru sekaligus mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari sesuai dengan tuntunan dan ajarannya.

Kemerdekaan Hakiki

Pemangku pesantren harusnya menyadari tidak ada kemajuan suatu lembaga pendidikan kecuali dengan meneruskan estafet Rasulullah, karena memang tidak ada sistem yang digunakan oleh lembaga manapun yang tingkat keberhasilannya bisa mendekati sistem Tarbiyah Rasulullah Shalallahualaihi wassallam. Maka sabda Nabi yang berbunyi: al-Ulama warosatul anbiya', adalah sebagai momentum yang tepat untuk menghidupkan kembali negara kita yang serba terjajah ini. Karena dibalik kemajuan-kemajuan yang dialami oleh bangsa Kita adalah kemajuan yang semu, dalam arti kemajuan fisik/jasmani tidak dibarengi dengan kemajuan ruhiyyah.

Maka pembahasan panjang dari berbagai macam fenomena pendidikan di Indonesia ini, merujuk pada kesimpulan bahwa pesantren adalah tempat paling tepat dalam mengkader umat yang akhlaqnya seperti sahabat, merdeka badannya, keilmuannya, mentalnya, merdeka ruhnya, dan merdeka segala-galanya. Artinya tidak dijajah oleh nafsunya, oleh hartanya, oleh jasadnya, oleh otaknya, karena hakekatnya sahabat adalah golongan yang paling berhasil taraf pendidikan ruhiyyahnya. Dengan ruh sebagai raja dalam tubuh ini maka kemerdekaan yang hakiki adalah puncak keindahan hidup di dunia yang fana ini.

Pesantren dianggap mampu mempelopori adanya aspek tarbiyah ruhiyyah dari pada aspek pengajaran yang selama ini hanya melahirkan generasi umat yang korup, korup jasad dan korup batinnya. Dan kalimat penutup yang paling pas adalah jangan merasa puas dengan apa yang ada selama ini, sistem Negara kita yang demokrasi bukan suatu yang final, karena ternyata Wali Sanga sebelumnya telah menanamkan sistem Negara Islam di tanah Jawa ini, dan ini tidak lain juga sistem yang diadopsi dari generasi sahabat. Akhirnya satu sistem yang harus kita tanamkan dalam diri kita adalah, kita tidak mau dijajah oleh siapa pun kecuali dijajah Allah, yang terlahir dari kalimat la ilaha illallah Muhammadun ar-Rasulullah.

terowongan waktu

Terowongan Waktu
dan Ruang Dunia Hyperreal

Masih ingat The Time Tunel? Sekitar lima belas tahun "yang lain", film ini diputar TVRI setiap jum'at malam dengan rasa bangga. Ini adalah sebuah serial science fiction Amerika dengan segala congkak sekaligus kebaikan hatinya. Gagasannya secara lengkap terpresentasikan dalam judul yang diangkatnya: Terowongan Waktu. Lorong yang bisa mengantarkan manusia untuk menjangkau sejarah secara tak terbatas. Ia bisa mengirim kita ke masa ratusan tahun yang lain, dan melemparkan kita ke dalam pelbagai riwayat pada ruang, tempat dan waktu ketika itu, tapi dengan kesadaran saat ini. Kemarin dan hari ini tidak lagi menjadi kategori-kategori penting dalam pengalaman manusia. Waktu tidak lagi bisa dipahami sebagai satuan linear pada apa kita tak memiliki kesanggupan untuk mencegat lajunya.



Waktu menjadi tidak bergerak, yang bergerak hanya momen-momen kesadaran manusia yang terperangkap di dalamnya. Kesadaran yang meloncat-loncat kesulitan menemukan pasangan waktu dan ruangnya. Dengan terowongan waktu, asumsi linearitas sejarah mulai diguncangkan. Akibatnya, dimensi waktu menjadi terus membesar dalam ruang yang justru menciut dan telah takluk di bawah kontrol manusia. Terowongan waktu adalah cerita kesuksesan manusia menaklukan ruang dengan kecepatan sangat tinggi, sampai manusia sendiri kebingungan karena mendapatkan waktu yang tidak lagi terbatas dan tertampung ruang. Tapi dari lorong waktu itu pula kita bisa melihat obsesi lama manusia modern sejak gegap gempitanya rasionalitas Pencerahan di Eropa. Yakni lepas dari keterikatan pada segala batas. Karena itu pula, setelah menaklukkan ruang manusia jadi ingin mengalahkan waktu. Ingin hidup dalam sejarah yang tak berruang-berwaktu. Kekal. Maka mari kita ikuti kejujuran Spielberg, sambil mengkonsumsi moral yang lebih lembut.



Dalam Back to the Future, kehendak untuk melintasi segala ujung itu secara sangat cerdas, memikat dan menghibur, telah diwujudkan. Logika linearitas sejarah dibalik: "kembali ke masa depan". Konsepsi-konsepsi lama tentang masa lalu, kini dan esok dirontokkan. Ungkapan Spielberg tadi jelas tidak saja dimaksudkan sebagai attention-geter ekonomis dari sebuah produk industri film, melainkan juga berpretensi mengguncang keajegan sebuah cara berpikir konvensional tentang sejarah. Dengan kalimat lain, Spielberg juga tengah bercerita tentang salah satu puncak dari serangan atas konsepsi-konsepsi partikular rasionalitas tentang waktu dan ruang. Sebuah serangan terhadap konsep dan manifestasi dari metode berpikir dan tatanan rasional. Bahwa ketika modernitas dengan segala ambisinya atas petualangan tanpa akhir, berhasil menggandeng bersamanya suatu pertumbuhan sain dan teknologi serta industri yang mengagumkan, ia juga telah dengan gemilang melahirkan benih penentangan radikal terhadap tatanan rasional yang dibentuk dan dijadikan tujuan akhir andalannya.



Pemahaman orang tentang sejarah, waktu dan ruang, tentang masa silam, ini hari dan nanti hanya dimungkinkan oleh terciptanya sebuah persepsi tentang kosmos yang tertata. Setiap waktu (diandaikan) memiliki pasangan ruangnya sendiri, dapat dipahami secara logis dan tunduk pada prinsip-prinsip rasionalitas. Spileberg telah mengacaukan semua itu dengan mengubah garis lintasan waktu dalam ruang menjadi demikian centangperenang. Semerawut silangsengkaruk. Melebihi The Time Tunel, dalam Back to the Future, kronologi waktu tidak lagi memiliki keajegan. Semua direlatifkan. Hidup bisa juga bermula dari masa depan.

Hari ini, kemaren dan besok bukan lagi kemustahilan untuk dialami dalam gerak mundur, memutar, berbelok atau apa saja. Maka kita bisa kembali bukan hanya ke masa lalu tapi juga ke masa depan atau ke masa kini. Seperti kita juga bisa meninggalkan bukan hanya masa lalu menuju masa kini atau pergi dari masa kini ke masa depan secara berurutan, tapi bolak-balik: meninggalkan masa kini menuju masa lalu, meninggalkan masa depan menuju masa kini sebagai masa lalu atau masa lalu dari hitungan masa sekarang. Atau dari masa lalu langsung melompat ke masa depan untuk berakhir di masa kini. Semuanya bisa diacak untuk kepentingan petualangan manusia.



Perpindahan-perpindahan seperti itu, jelas membawa serta syarat perubahan kesadaran manusia dalam mengalami waktu dan ruangnya. Semuanya berlangsung serba serentak, karena proses manusia mengalami sejarah jadi tidak terikat oleh ruang melainkan justru masuk dalam pusaran-pusaran waktu. Gerakan mahacepat menaklukan ruang bukan hanya semakin mempersempit jarak spasial tapi mengaburkan konvensi-konvensi jarak temporal. Perangkat pemaknaan hidup kita bagai dinaikan di atas sebuah tunggangan yang lebih cepat dari cahaya. Yang ingin dirangsangnya adalah sebuah keinsyafan baru, bahwa kronologi waktu hanyalah produk dari kesepakatan temporer belaka. Tengok saja bagaimana seorang polisi masa depan yang mengejar-ngejar penjahat dari abad ke abad sampai "tersesat" di tahun 1993 abad 20 dalam serial Time Trax di RCTI. Atau Stalone yang terus bertahan sampai masa ratusan tahun dalam The Demolition Man.

Mereka berhasil menyebarangi batas paling muskil yang selama ribuan tahun mengurung hasrat manusia untuk tiba pada seluruh dimensi pengalaman dan kehidupan. Apa yang dikenal sebagai hukum-hukum alam menjadi demikian lemah daya paksanya. Sebab pada dasarnya, semua itu tidak lebih dari penemuan atau hasil konsepsi pemikiran manusia. Seluruh hukum alam adalah sebentuk konklusi tentatif dan situasional dari serbaneka pengalaman perjumpaan manusia dengan dunia baik fisik maupun dunia kehidupan yang dibangunnya melalui kebudayaan. Yakni ketika manusia menemukan sebuah situasi yang memaksanya mundur dari pertarungannya melawan alam. Kekalahan menghadapi rintangan ini lantas diterjemahkan menjadi takdir (buruk) yang tak bisa dihindari.



Semula, dengan itu semua manusia ingin membuat semacam permakluman akan ketaksanggupannya mengatasi hambatan-hambatan alamiah: bahwa eksistensi dan pengalaman manusia dibatasi oleh ruang dan waktu. Oleh hidup dan kematian. Dengan kata lain, oleh keinsyafan manusia akan keterbatasannya. Tapi ternyata pengakuan seperti itu tidak final dan tidak berlangsung terus. Superioritas hukum alam vis à vis manusia satu persatu berhasil diatasi. Peradaban tidak lagi bisa dipahami sebagai produk kebudayaan, karena ia telah pula menjadi determinan bagi perubahan induk yang semula melahirkannya tadi. Aktivitas kerja membangun dunia kehidupan, yang oleh para antropolog disebut sebagai kebudayaan, itu tiba pada saat kapan ia sendiri harus menuntut penafsiran ulang.



Mengikuti logika karya-karya fantasi tadi, kita menemukan betapa dimensi waktu tidak lagi merupakan rentangan seri berurutan, tapi kesimpangsiuran, berjejer lebur atau saling meninggalkan. Waktu bukanlah susunan yang tertata rapi sebagai pencerminan dari hasrat manusia pada order, melainkan momen-momen yang bisa saja saling bertabrakan. Apa yang ingin disampaikan dengan cara seperti itu, tentu saja, adalah sebuah kesadaran baru bahwa bahkan kematian pun tidak lagi relevan dalam perbincangan tentang pengalaman hidup. Umur manusia menjadi tidak terbatas oleh waktu maupun ruang.



Manusia menjadi tidak pernah bisa mati. Tidak ada lagi distingsi antara kehidupan dan kematian. Semuanya sama saja, karena momen-momen sejarah yang melibatkannya justru bisa saling bertemu serentak, berbaur kacaubalau. Tokoh-tokoh The Time Tunel, Back To The Future, Time-Trax dan lain-lain itu, umurnya tidak bisa dihitung secara matematis dan logis berdasarkan konvensi kalendris tentang pergantian siang dan malam. Umur dan pengalaman menjadi tidak utuh melainkan fragmentaris tapi sekaligus juga tak berbatas. Tokoh Vincent Vaga dalam Pulp Fiction-nya Quentin Tarantino, tetap hidup sampai akhir cerita meskipun sebelumnya ia telah ditembak mati saat keluar dari toilet.



Kita tidak bisa lagi mengatakan bahwa masa lalu ada di belakang dalam ruang, sebab bagi Spieleberg kemarin justru terletak di depan sedangkan hari esok adalah latar belakang ke mana ia bisa kembali. Sebaliknya masa depan bukan selalu yang dinanti akan tiba, sebab dalam cerita-cerita di atas ia justru bisa ditinggalkan (artinya sama-sama sudah atau lebih dahulu terjadi). Waktu yang tidak lagi bergandengan dengan pasangan ruangnya menjadi realitas yang fantastis, rumit, tak ada awal tak ada akhir. Hidup seperti langit. Tanpa tepi hanya sesekali mendung, terik, badai atau sekedar gulungan awan. Terus seperti itu, kekal. Sekwen-sekwen awal, tengah dan akhir sama-sama tidak bisa dipastikan secara definitif.



Klaim bahwa eksistensi manusia dicirikan oleh kesanggupannya untuk menjangkau masa lalu, mengenali hari ini, serta menemukan hari esok, bisa benar bisa pula keliru karenanya. Pertama, karena klaim seperti itu lahir dari pandangan yang mengandung tiga kriteria yang didasarkan pada asumsi linearitas waktu tadi. Ketiganya adalah kriteria evaluasi atas masa silam yang sudah terjadi, aksi masa kini, dan kriteria proyeksi masa depan yang (dianggap) belum lagi atau menyusul akan berlangsung. Evaluasi dan proyeksi keduanya dikumpulkan dalam ruang masa kini dengan jalur teleologismenya yang khas: agar seluruh strategi bagi aksi yang dilakukan sekarang bisa lebih baik justru karena harapan akan masa depan yang lebih menggembirakan. Hari ini lebih baik dari kemaren, dan hari esok akan lebih baik dari hari ini. Begitu seterusnya. Dan itulah yang disebut sebagai cita-cita tentang progress.



Kedua, karena pemusatan orientasi tadi maka pandangan di atas senantiasa membawa implikasinya yang ironis. Yakni anggapan bahwa hari ini adalah sisa hidup di atas bangkai masa silam yang memproduksinya, dan melulu sekedar persiapan menunggu masa depan. Dalam praktik, masa depan senantiasa menjadi sumber permafaan dan apologi bagi segenap malapetaka yang kita buat hari ini. Tapi masa lalu juga senantiasa tampil dalam derajatnya yang khas: residu yang selalu merasa paling tahu dan paling berhak mengatur karena pengetahuan yang lebih lengkap tentang sejarah. Semuanya berdalih demi hari dan generasi yang akan datang. Suksesi sejarah dipahami dalam makna pergantian-pergantian yang berurutan, evolutif. Masing-masing periode tidak diberi martabatnya sendiri bahwa, misalnya, masa kini bukanlah semata pengganti masa silam dan perintis masa depan. Sebab semuanya bisa diproduksi dan direproduksi secara fantastis kemudian dihadirkan secara acak dengan kebolehjadian tanpa batas. Teleologisme hanyalah ilusi lain dari doktrin rasionalitas.



Dunia kita bolehjadi tidaklah pejal dan padat seperti yang selama ini kita yakini. Banyak terowongan-terowongan waktu, koridor-koridor antar ruang, yang memungkinkan lancarnya lalulintas dari dan ke segala zaman. Semua serba transparan baik untuk dilihat tapi juga dialami. Dan di sana sama sekali tidak ada pintu larangan masuk. Rahasia penciptaan dunia, misteri kehidupan, kabut kematian semuanya terpampang berbarengan di depan mata.

Jika pada tahun 1995 saya memakai kata "nanti" untuk menunjuk apa yang dalam konvensi lama berarti "setelah" tahun 1995, misalnya, maka itu tidak dengan sendirinya berarti tahun 1996 atau 1998 atau tahun 2095 atau sebuah kehidupan akhirat di seberang realitas empirik, etcetera, melainkan bisa saja tahun 1994 atau 1776 atau tahun kelima sebelum Masehi. Angka-angka tahun tadi tidak lagi bisa diurut dalam deret hitung logika matematika konvensional. Dengan cara yang sama kita bisa keliru kalau langsung meyakini bahwa tahun 1993 atau 1779 itu sebagai kategori "yang lalu". Sekarang menjadi jelas kenapa saya menggunakan ungkapan "yang lain" dalam awal tulisan ini.



Ketika Natalie Cole berduet dengan almarhum ayahnya, Nat King Cole, misalnya, apakah ia masih bisa mengatakan bahwa ayahnya tak lebih dari bagian masa lalunya yang telah lewat dan tak bisa ditemui kembali secara nyata? Reruntuhan yang sekarang hanya bisa ditemukan dalam kenangan? Padahal sewaktu ia kecil dan Nat masih hidup, Natalie toh belum lagi bisa bernyanyi sebaik itu. Tidakkah dengan duet tersebut Natalie sedang berjumpa dengan sebuah pengalaman historis? Mereka bernyanyi bersahut-sahutan, sementara ayahnya dikonstruksikan oleh pikiran kita sebagai orang yang "telah mati". Sejak kapan manusia mati masih bisa bernyanyi? David Foster terbukti tidak membatasi persoalan itu sebagai pertanyaan tentang probabilitas empirik, melainkan berhasil mewujudkannya secara fantastis dan mencengangkan.



Foster telah menghidupkan kembali Nat? Lebih dari itu. Ia bahkan berhasil mengajaknya ke dapur rekaman dan mempertemukan Nat dengan Natalie, untuk kemudian memberinya kesempatan berkompetisi dengan penyanyi-penyanyi lain dalam merebut posisi tangga lagu popular. Anda pasti kebingungan untuk memastikan adakah sang putri yang kembali ke masa lalu untuk bisa bertemu dan bernyanyi dengan Nat, atau sebaliknya sang ayah yang kembali ke masa depan agar bisa mendendangkan Unforgatable bersama Natalie buah cintanya. Nat dan dan Natalie keduanya telah sanggup mengatasi kematian. Dan Natalie terguncang, mengisak lantas pecah sedusedan mengalami momen sejarah seperti itu.



Sebagai Forest Gump, Tom Hank bahkan bisa bertemu dan berjabat tangan dengan marhum Joh F. Kenedy, atau memperlihatkan bokongnya pada Lindon B. Johnson yang asli. Benar-benar real: Seandainya (hanya) adegan tersebut disiarkan dalam sebuah acara warta berita CNN misalnya, boleh jadi kita akan bisa diyakinkan bahwa Forest Gump yang dungu itu adalah seorang tokoh historis, sebagaimana Kenedy atau Johnson. Tapi Anda tidak perlu bersusah hati, sebab persoalan kepastian tidak relevan dalam konstruksi realitas seperti ini. Semuanya serba mungkin. Kenangan dan harapan bisa dihadirkan menjadi realitas yang fantastis. Lebih nyata dari yang nyata. Bukan surreal, tapi hyperreal.



Karena itu pula, gelegar berita duka kematian Nike Ardila atau Benjamin Sueb, tidak perlu membuat kita murung sepanjang tahun. Bukan hanya karena kemurungan itu tidak produktif secara ekonomis melainkan, lebih dari itu, karena mereka toh tidak benar-benar mati. Karena bagian terbesar dari kita mengenal Nike atau Ben tidak melalui interaksi fisik langsung, melainkan lewat berbagai jalan representasi dalam media.



Ketika kita mendengar kabar kematian keduanya dari sebuah surat kabar misalnya, kesadaran kita akan kehadiran mereka tidak mengacu pada seorang lelaki Betawi yang bernama Benjamin Sueb atau gadis kelahiran Bandung bernama Nike Ratnadila yang real, melainkan pada sederetan panjang citra suksesifnya dalam media masa lain seperti televisi, film, dan radio vice versa. Tidak sebagai manusia tapi model yang hidup dalam satu wilayah tertentu dari indra dan kesadaran (baru) kita. Meminjam argumen sosiolog Perancis, Jean Baudrillard, perjumpaan kita dengan mereka berlangsung tidak dalam sebuah dunia real tapi hyperreal. Sebuah dunia yang lebih nyata dari yang nyata. Dalam dunia seperti ini, batas antara fiksi dan kebenaran menjadi tidak relevan.



Melalui jaringan informasi massa yang memproduksi dan mereproduksi citra itulah, sebagian dari kita mengalami pembentukan rasa simpati, kagum sekaligus hormat atau benci pada sekian banyak orang yang sebenarnya tidak kita kenal secara personal. Citra hadir menjadi semacam representasi mental kita. Antara Benjamin, Ardila, media dan kita telah berlangsung implosi yang tuntas. Maka kematiannya bukan hanya melahirkan duka yang real bagi keluarga, sanak kerabat atau orang-orang terdekatnya, melainkan juga merupakan harubiru kepedihan hyperreal khalayak ramai yang mengimplosi dengan citranya dalam media. Sama seperti kabar baik tentang mereka telah menjadi bagian kebahagian kita yang mengagumi citranya.

Sangat muskil untuk membedakan adakah kesedihan kita itu didorong oleh simpati dan tertuju pada sosok mereka yang real, atau didesak oleh kesan kita tentang dan tertuju pada sosok keduanya yang hidup di dunia hyperreal. Kedua jenis kesedihan tadi sama-sama syah baik secara etis maupun politis. Sebegitu jauh kita tidak bisa menuduh diri kita sendiri telah justa karena ikut berduka cita atas kepergian Ben atau Nike Ardila ini. Semuanya benar-benar kepedihan sangat nyata bagi kita.



Tapi sekali lagi, dalam dunia hyperreal tidak ada kematian seperti juga tidak ada kehidupan real. Segala yang mati bisa dihidupkan, persis seperti semua yang hidup bisa dimatikan. Yang tiada bisa diadakan untuk meniadakan yang ada atau sebaliknya, dan seterusnya. Semuanya bisa direproduksi, dan direduplikasi tanpa batas. Maka baik Ben atau Nike tetap tidak mati di mata dan hati kita, bukan hanya karena mereka pergi meninggalkan jejak yang memukau dalam kenangan, tapi karena keduanya adalah citra yang bisa terus-menerus dihidupkan kembali. Boleh jadi sebenarnya kita tidak pernah jadi pencinta seorang artis mana pun, melainkan konsumen pelbagai model ke mana realitas dan hidup kita digiring untuk mencontohnya. Ini adalah jaman budaya simulacrum dalam apa citra, seperti kata Guy Debord, telah menjadi bentuk final dari reifikasi komoditi.

Hidup dan mati tidak memiliki jarak waktu atau ruang, sehingga sejarah tidak lagi mengenal awal (kelahiran). Dan segala sesuatu yang tidak memiliki awal pasti tidak akan pernah berakhir (kematian). Persis seperti ambisi Dr. Faust yang ingin membuktikan bahwa pada diri manusia terdapat pengetahuan ilahiah--yang menjadikannya sanggup mengatasi kefanaan.

Terowongan waktu, koridor antar zaman adalah produk langsung dari ketakjuban kita pada dunia hyperrealitas yang kita buat sendiri. Tapi di lain pihak, semuanya sekaligus merefleksikan dua hal yang paradoksal. Pertama, adanya disilusi pada janji modernitas tentang sebuah kehidupan yang tertata, logis dan rasional. Kedua, terdapatnya hasrat primitif manusia untuk mengatasi segala keterbatasan, yang juga merupakan ambisi besar modernitas yang sama. Ambisi pada kekekalan segala hal, sehingga apa yang telah hilang dan/atau yang belum lagi datang, ingin kita rengkuh dalam satu jangkauan. Karena hanya mimpi, semua itu boleh jadi masih terlampau sulit didekatkan pada kenyataan. Maka hanya dengan mengimplosikan diri dalam dunia hyperrealitas batas antara mimpi dan jaga itu bisa dilenyapkan. Dengan demikian, dunia hyperrealitas menjadi semacam terjemahan sekular dari konsep syurga yang kekal dan teramat menyenangkan itu. Tidak ada batasan, tidak ada larangan, hanya keabadian dan hasrat yang terus didorong untuk membeli.

Mungkin karena itu, banyak orang yang pesimis bahwa dalam zaman ketika keajaiban tidak lagi turun pada orang seorang melainkan telah direbut oleh teknologi ini, segala hal bisa diraih asal kita tidak lagi berkeras untuk menjadi diri kita sendiri. Jadilah Forest Gump, Vincent Vaga, atau duplikat-duplikat lain dari jutaan model yang memang tidak memiliki kaitan dengan asal-asal historis itu. Ambisi pada kekekalan di sisi lain juga berarti semakin kuatnya paksaan bagi kematian manusia, yang lantas berubah menjadi salinan model-model. Saran Nietzsche untuk menjadi ubermench mendapatkan kemungkinan teknisnya pada kejeniusan Einstein. Holywood kemudian membuktikan bahwa Manusia-atas tersebut ternyata tidaklah musti seseram wajah Nietzsche atau Einsten, tapi malah menggiurkan seperti Sharon Stone atau Maria Mercedes. Dan model-model dari dunia hyperreal itu memang bergerak dalam kecepatan dan semuanya dihidupkan oleh serta bergerak sebagai cahaya.

Tuhan menghendaki kita Pintar

“TUHAN MENGHENDAKI KITA PINTAR, BELAJARLAH

TUHAN MENGHENDAKI KITA PINTAR, BELAJARLAH !!!


(Menelusuri Sumber Proses Pendidikan Manusia)

Setelah lahir ke dunia, ummat manusia diwajibkan oleh Allah SWT untuk menuntut ilmu pengetahuan. Hal ini sebagaimana yang termaktub dalam al qur'an ayat pertama yang berbunyi: IQRA' (Bacalah). Ayat ini mensiratkan bahwa umat islam harus menjadi orang-orang yang pintar, dan upaya yang dapat ditempuh agar bisa pintar adalah, harus belajar (menuntut ilmu). Hal ini dipertegas oleh hadits Nabi Muhammad SAW yang artinya "Menuntut ilmu adalah wajib bagi kaum laki-laki dan perempuan". Dalam hadits lain yang artinya "Tuntutlah ilmu walaupun di Negeri Cina".

Ayat serta Hadits Nabi di atas mengingatkan kepada kita betapa pentingnya menuntut ilmu. Allah menghendaki kita semua menjadi insan yang pintar agar tidak mudah diperdaya dan agar lebih mudah mensikapi serta menjalani hidup di dunia.

Selanjutnya proses pendidikan manusia didapati melalui tiga sumber, yaitu (1) pendidikan Orang Tua, (2) pendidikan sekolah (pendidikan Formal), dan (3) pengalaman


1. Pendidikan Orang Tua


Anak merupakan amanah Allah kepada orang tua (Ibu, Bapa). Dari Abu Hurairah, Rasulullah s.a.w bersabda: "Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah. Ibu-bapaknyalah yang menjadikan dia Yahudi, Nasrani, atau Majusi." (HR. al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi, Ahmad, Malik).


Setelah anak lahir ke dunia, maka kewajiban orang tuanyalah yang mendidik anak-anaknya agar menjadi manusia yang terdidik dan pintar. Dalam arti kata bahwa kreativitas anak erat hubungannya dengan pola asuh yang diberikan oleh orangtua. Mendidik anak pada hakikatnya merupakan usaha nyata dari pihak orang tua untuk mengembangkan totalitas potensi yang ada pada diri anak. Melalui pendidikan, orang tua memegang peranan sebagai mediator antara anak dan masyarakatnya, antara anak dengan norma-norma kehidupan, antara anak dengan orang dewasa dan sudah tentu dengan visi orang tua masing-masing. Melalui pendidikan dalam keluarga anak akan memenuhi sifat-sifat kemanusiaannya dan berkembang untuk belajar terhadap respon-respon yang diterimanya.


Memberikan pendidikan agama sedini mungkin menjadi faktor utama pembentukan karakter dan jiwa anak. Dengan agama akan tercapai keseimbangan lahir dan batin. Pendidikan agama harus di tanamkan sejak kanak-kanak dengan membiasakan anak bertingkah laku dan berakhlak sesuai ajaran agama. Pendidikan agama ini mempunyai dua aspek penting: Pendidikan agama bertujuan menumbuhkan jiwa atau peribadi yang syarat dengan muatan peraturan yang baik sesuai dengan ajaran agama, Pendidikan agama merupakan pemenuhan aspek kognitif dari anak



Mengingat orang tua (ibu dan bapak) merupakan orang yang paling banyak berinteraksi langsung dengan anak-anaknya, maka orang tua harus mendidik anak dengan serius dan tulus. Jauhi anak-anak dari didikan yang tidak mendidik, misalya sejak kecil anak-anak sudah diperdengarkan ucapan-ucapan kotor dan kasar, terlalu memanjakan anak, mencontohkan perilaku yang suka lalai dalam ibadah, dan lain-lain.

2. Pendidikan Sekolah (Pendidikan Formal)

Sumber pendidikan kedua adalah pendidikan Sekolah (Pendidikan Formal). Secara umum pendidikan sebagai kebutuhan hidup, memainkan peranan sosial atau dukungan terhadap pertumbuhan dan juga memandu perjalanan umat manusia, baik itu perorangan, masyarakat, bangsa dan negara. Maka posisi pendidikan menjadi sebuah kegiatan yang merangkum kepentingan jangka panjang atau masa depan. Bukan sekedar kebutuhan dalam pengertian yang umum, tetapi sebagai kebutuhan mendasar. Pendidikan juga sering disebut sebagai investasi sumber daya manusia, dan sebagai modal sosial seseorang. Sehingga tidak akan mungkin selesai, tetapi berkelanjutan. Jadi membicarakan pendidikan adalah membicarakan masa depan. Dan masa depan selalu mengalami perubahan yang luar biasa

Jauh sebelum ahli pendidikan masa depan Alvin Pufler menegaskan bahwa pendidikan terkait dengan perkembangan masa depan. Rasulullah Muhammad SAW telah bersabda "Didiklah anak-anakmu sesuai dengan zamannya, karena mereka adalah anak generasi zaman berbeda dengan zaman kamu". Jadi harus memberikan hal-hal yang terkait dengan pertumbuhan, perubahan, pembaharuan, dan juga hal-hal yang terus berlangsung. Karena hidup itu terus berlangsung, maka menangani pendidikan sebetulnya sama dengan menangani masa depan. Oleh karena itu harus terus-menerus diperbaharui, dipertegas dan dipertajam.

Rasulallah Muhammad telah menyampaikan bahwa pendidikan itu dimulai dari bayi sampai liang lahat. Kemudian muncul istilah belajar sepanjang hayat, life long learning, pendidikan usia dini, dan sebagainya. Itu istilah-istilah akademis, dalam prakteknya sudah berjalan. Agar hal itu menjadi sistematis maka dibangunlah sistem, sehingga setiap negara membangun sistem pendidikannya. Dan tentu hal itu semua dikaitkan dengan lingkungan geografis, sospol, agama dan yang lain.

Dalam UUD 45, setiap warga negara berhak mendapatkan pelayanan pendidikan bahkan wajib memperoleh pelayanan pendidikan yang baik. Karena pendidikan adalah untuk masa depan yang tidak bisa mudah diprediksikan tentu dengan UUD tersebut dapat lebih mudah diprediksi. Tentu hal ini memerlukan dukungan fasilitas dan biaya yang luar biasa besarnya.

Pendidikan di sekolah akan membuka wawasan berfikir anak. Empat pilar pendidikan yang dicanangkan oleh UNESCO yang perlu dikembangkan oleh lembaga pendidikan formal (Sekolah/Perguruan Tinggi), yaitu: (1) learning to Know (belajar untuk mengetahui), (2) learning to do (belajar untuk melakukan sesuatu) dalam hal ini kita dituntut untuk terampil dalam melakukan sesuatu, (3) learning to be (belajar untuk menjadi seseorang), dan (4) learning to live together (belajar untuk menjalani kehidupan bersama).

Keempat pilar pendidikan tersebut diharapkan mampu diaplikasikan oleh peserta didik setelah mengenyam pendidikan formal di sekolah maupun perguruan tinggi. Dengan demikian, tuntutan pendidikan masa depan harus diarahkan pada peningkatan kualitas kemampuan intelektual dan profesional serta sikap, kepribadian dan moral manusia Indonesia pada umumnya.


3. Pengalaman

Di samping pendidikan Orang Tua, Pendidikan Formal (pendidikan yang diselenggarakan di Sekolah maupun Perguruan Tinggi), proses pendidikan juga bisa didapat melalui pengalaman. Orang bijak bilang "pengalaman adalah guru terbaik."



Pengetahuan bisa kita peroleh melalui pengalaman berdasarkan fenomena-fenomena yang kita lihat, kita saksikan, dan kita alami melalui proses interaksi dengan lingkungan tempat di mana kita berada.

Pengalaman itu sebetulnya tidak harus pengalaman diri sendiri, tetapi, pengalaman orang lain juga merupakan guru terbaik. Meniru pengalaman orang-orang yang sukses juga akan lebih baik. Mungkin ada yang mengatakan tidak mungkin menemukan jalan yang sama persis. Betul, tetapi kita akan menemukan bagaimana orang berhasil menghadapi rintangan dan bagaimana mengatasinya. Misalnya, tentang terpaan dan didikan keras dari orang tua sehingga mereka dulu kehilangan masa remaja, disiplin terhadap waktu, ketaatan pada janji, pergi pagi sekali ketika orang masih terlelap, pulang saat larut malam, terus mencoba sesuatu tanpa putus asa, menjaga kepercayaan, dan masih banyak lagi yang lainnya.

Untuk menjemput masa depan adalah sebuah proses. Di situlah peran pendidikan. Pendidikan tidak pernah berakhir, yang dikenal dengan istilah Life Long Education. Pendidikan adalah aset masa depan dalam membentuk sumber daya manusia yang berkualitas. Makin banyak dan makin tinggi pendidikan seseorang makin baik, bahkan, tiap warga negara diharapkan agar terus belajar sepanjang hayat. Dengan demikian, pendidikan merupakan faktor prioritas yang perlu dibangun dan ditingkatkan mutunya. "Belajarlah, karena tuhan tidak menginginkan kita bodoh. Tuhan menginginkan kita pintar." Ingat, "Kecantikan yang abadi terletak pada keelokkan adab dan ketinggian ilmu seseorang, bukan terletak pada wajah dan pakaiannya." "Tidak ada orang yang bodo di dunia ini, yang ada hanyalah orang yang malas belajar (menuntut ilmu)."

disadur dari M. Sobry Sutikno*

Sapa Pendidikan Inodnesia

Sapa Pendidikan Indonesia
Hingga pekan terakhir Desember 2006, awan suram masih menyelimuti bumi Indonesia. Belum usai upaya Recovery Aceh (26-12-2004), para korban bencana gempa dan Tsunami, banjir pun melanda kota Aceh pekan ketiga Desember lalu. Tercatat di beberapa kota di Jawa, Sumatra, Aceh dan banyak lagi, air sungai meluap menggenangi rumah-rumah penduduk. Tak cukup dengan itu, bencana gempa datang lagi menghancurkan Kabupaten Mandaudinatal, Sumatra. Dunia pendidikan pun menangis dengan lalah-luntuhnya infra struktur pendidikan dan bangunan-bangunan sekolah yang ikut hancur akibat amukan alam.
Belum sirna lelah hati umat, musibah busung lapar datang melanda daerah Jogjakarta. Bangsal-bangsal rumah sakit yang terbatas tak sanggup menampung banyak pasien. Segera saja lorong-lorong yang tadinya senyap sepi mendadak berubah menjadi ruang perawatan. Jangan di tanya itu kelas berapa ?
Namun, meski suasana muram, harapan dan optimisme tentu tak boleh sirna. Makanya, meski ketiadaan patner ( hanya Ust Yusuf ) yang membantu. Sesungguhnya merupakan problem redaksi bagi usaha penerbitan edisi kedua dan sedapat mungkin karena yang terdiri hanya saya dan ust Yusuf tak mau larut dalam problem tersebut.
Sikap positif harus ditegakkan dan semangat bekerja sama harus terus di pompa walau dengan prinsip sangat sederhana; kalau kecemasan, stress, dan saling mengandalkan tak bisa menyelesaikan gundukan naskah yang masih tersimpan dalam otak. Tentu lebih senang bekerja dengan “Senyum, Optimisme dan Kelapangan dada”
Hasilnya? Ahaa….! Inilah sajian edisi kedua kami hadirkan untuk anda semua yang insyaAlloh kami buat dengan sepenuh “CINTA dan KEBERSAMAAN”. Semoga kita turut membangkitkan rasa optimisme kita semua untuk selalu meyakini janji Alloh, yang pasti adanya bahwa setiap ujian kesulitan, selalu Alloh iringkan bersamanya satu kemudahan.”Tak ada kata berhenti untuk Berjuang”

Renunganku

”Renunganku”

Hidup kadang dan bahkan pasti terjadi paradog! Kontras antara dua orang manusia ataupun kelompok atau lebih dalam stratifikasi sosial yang berbeda. Si miskin dan si kaya, si anak bangsawan dan si anak sudra, si pejabat dan si jelata. Setelah kupahami dan kurenungkan memang kadang-kadang masih banyak jenis kenyataan bahwa seseorang melihat dari ukuran status dalam paradigma stratifikasi sosial. Itu realitas masyarakat kita. Semakin tinggi status sosial seseorang maka tingkat ke-AKU-annya semakin besar. ”Siapa kamu ? siapa saya?” Ini tidak klaim, tapi kebanyakan kita masih begitu, walau tidak semuanya begitu.
Idiom-idiom yang sering akrab ditelinga kita sejak kecil telah mengilhami lahirnya satu budaya materialisme. Kamu dari mana? Kamu anak siapa? Apa pekerjaanmu? Budaya inilah yang mengilhami terjadinya stratifikasi sosial berbasis penindasan struktur kelas. Dan dari dulu telah menjadi tradisi yang turun-menurun walaupun terjadi pergeseran ke arah budaya egaliter. Namun pergeseran gerak kearah itu tidak terlalu kentara.
Renungan ini mungkin terkesan sangat subjektif, tapi setidaknya telah menimbulkan keinsyafan yang mendalam tentang pentingnya menyadari posisi kita masing-masing di lingkungan sosial kita yang masih memegang tradisi pengkotak-kotakan orang, atau bahkan secepatnya menyadari jangan sampai terlena dan larut dalam pikiran-pikiran yang akan semakin membuatku pesimis menatap masa depan. Dan yang jelas aku ingin mengabdikan hidupku untuk Dzat Maha Kuasa dari segala Kuasa dan untuk sesuatu yang barang kali akan menjadi bekalku dalam perjalanan panjangku nanti.
Aku sepenuhnya menyadari betapa hidup kita, aku dan kamu akan berakhir pada akhirnya. Cepat atau lambat dan kita tak pernah tahu Kapan malaikat maut akan menjemput. Oleh karena itu kita atau mungkin aku dan engkau tidak bisa terlalu yakin bahwa kita masih punya kesempatan, karena seberapa waktu yang dijatahkan kepada kita, tetap saja di hadapan Alloh bahkan di bandingkan dengan skala umur saja waktu kita tetap sempit dan karena itu tidak boleh membuat kita terlena mengulur waktu, menangguh-nangguhkan kesempatan. Kalau tidak, kita akan tiba-tiba dijemput malaikat maut, kesempatan kita akan hilang sebelum kita berbuat apa-apa. Pada hal karier hidup kita di dunia juga akan berakhir sampai itu.
Sempitnya waktu yang kita miliki dan ketidakmampuan kita memprediksi masa depan dan kematian, semua telah menjadi dorongan yang kuat buatku untuk sadar dan bertindak kapan saja ada peluang. Bagaimana denganmu ? Kita tidak pernah tahu apa yang terajdi esok hari, karena dengan begitu kita akan memastikan bahwa dengan keyakinanlah kita bisa hidup.

Elegi

Elegi Esok Pagi

“Kepada jiwa yang bergolak karena penindasan
Pencari sinar kehidupan yang terpendam
Diantara cinta dan perasaan
Yang mencari kerinduan cinta dan kasih sayang
Dan mencari perahu agar sampai ke dermaga kenangan
Tempat berlabuh jiwa yang hilang nan tersesat
Agar selamat dari belenggu dan kekejaman
Untuk mencari dan terus mencari tanpa bisa memiliki
Selain “Tetesan Air Mata”
(samiroh)

Tepat tanggal 29 November 2006, genap sudah 27 tahun kujalani hidup dan konon aku di lahirkan pada hari itu, meskipun aku tak pernah tahu pasti antara tahun 79 atau 80. Tak terasa genap pula setahun aku di Purwokerto. Masih teringat masa setahun yang lalu, masa yang begitu pahit dalam kehidupanku, masa yang begitu suram dalam perjalananku. Setahun telah ku lewati dengan tertatih-tatih mengembalikan retakan hati yang patah.
Matahari pagi hari ini rasanya seperti bersinar lebih cerah dalam kehidupanku, bunga-bunga pun bermekaran kembali. Aku merasa mendapat kehidupan baru disini, kota yang asing bagiku. Aku merasa semua orang mencurahkan kasih yang tulus dan mudah-mudahan ihlas. Bu Sri Murtiyah seperti kuanggap ibuku sendiri, Beliau adalah sosok yang bijak yang sewaktu-waktu dapat membagi pengalaman hidupnya untuk referensi buatku, beliau juga tempat berbagi semua keluh kesahku. Kang Sun haji, yang selalu memberiku satu kekuatan untuk bertahan sejenak disini. Ustad Kuswanto, sosok yang enak untuk bercengkerama, sering mengisi saat kepenatan berpikir yang acap kali menggoda ruang dan waktuku. Syukron atas senyumnya, tiap aku bersamamu pasti kulihat sunggingan senyummu yang tulus tanpa tendensi apapun. Kang aris LPP, yang kadang masih terkesan pendiam rupanya memendam begitu banyak persoalan dan misteri hidup yang rumit. Meski terkesan kurang sosialisasi diri, namun dalam prinsip-prinsip hidup selalu tegas. Mestinya aku banyak belajar dari beliau. Gus Luq, meski terkesan celelekan, tapi kuhargai niatanmu yang tulus untuk kebahagiaanku. Singgih Muallim, sosok kyai yang sangat soleh, jujur dan polos. Ustadah Lilik, temen seperjuanganku disini, meski engkau masih terbaring sakit dirumah (moga cepet sembuh). Meski terkesan aku agak cuek, bukan maksudku untuk cuek. Tapi aku masih bingung dengan kaidah dan norma yang berlaku disini. Sosok K5 ( Kang Sutiman, Riswanto, agus dan Bang Qodir) yang selalu bersahaja. Kalian semua adalah orang-orang terbaikku disini pasca kepergian kang Nasir, kang Ridho dan kang Chandra.
Aku merasa mendapat ketenangan dan kebahagiaan berada di antara kalian. Kendati kenangan pahit masa silam sesekali datang mengganggu angan. Jika kenangan masa lalu muncul kembali dalam ingatanku, aku akan berusaha menyembunyikan agar tidak diketahui siapa pun, termasuk pada kalian.
Hari bergilir hari, siang berganti malam, semuanya silih berganti. Kenangan pahit masa lalu, berlahan mulai redup dan mulai aku kikis dari ingatan. Walaupun rasanya berat. Kini aku harus belajar tentang kenyataan hidup. Kini rasanya daya ingatanku mulai kembali normal dan kesehatanku mulai beranjak pulih seperti sediakala. Kini aku dapat merasakan ketenangan dan kedamaian, meski terkadang kenangan masa silam datang menghantui. Kerap ditengah malam yang sunyi dan tak kala semua penghuni kos terlelap dalam bunga tidur masing-masing, bayangan masa silam sering menari-nari indah dibenakku. Kejadian demi kejadian berjalan laksana sebuah episod drama sedih yang diputar kembali. Dalam keadaan seperti ini, maka tak terasa kedua mata ini menitikkan air mata.
Waktu terus berjalan dan tak kenal kompromi, siapa yang tidak melangkah pasti akan tergilas roda waktu dan sepertinya pula tak ada yang berubah dalam diriku. Aku masih seperti dulu. Rasanya tak ada kata-kata yang layak untuk menggambarkan suasana dan kecantikan pagi ini, bahkan kata-kata pujian akan menghindar karena malu tidak mampu menyebut pesona pagi ini. Seandainya para penyair dan pujangga yang terkenal diminta untuk mengubah syair untuk memujanya, tentu pena mereka akan menjadi tumpul.
Biarlah api cinta mengalir melalui tatapan mata karena bahasa mata lebih bermakna dari kata-kata. Melalui pancaran cahaya mata akan terbaca hakekat cinta. Hati adalah cermin, yang memancarkan cahaya kedalam mata. Oleh karena itu, orang yang berjiwa lembut akan sanggup membaca gelora cinta dalam tatapan mata. Cinta itu laksana tetesan hujan rintik-rintik hujan, jika ia jatuh diatas tanah yang subur, maka air cinta akan menebarkan rahmat, kasih dan sayang. Sementara jika ia jatuh kedalam tanah yang kering nan gersang, maka ia akan menumbuhkan rasa kebencian, kemurkaaan dan dendam kesumat. Hanya Pada-Mu lah wahai Rob sandaran sesungguhnya segala Orientasi

pembelajaran Quantum

PEMBELAJARAN KUANTUM SEBAGAI MODEL PEMBELAJARAN YANG MENYENANGKAN

Hasil-hasil pengajaran dan pembelajaran berbagai bidang studi terbukti selalu kurang memuaskan berbagai pihak (yang berkepentingan – stakeholder). Hal tersebut setidak-tidaknya disebabkan oleh tiga hal. Pertama, perkembangan kebutuhan dan aktivitas berbagai bidang kehidupan selalu meninggalkan proses/hasil kerja lembaga pendidikan atau melaju lebih dahulu daripada proses pengajaran dan pembelajaran sehingga hasil-hasil pengajaran dan pembelajaran tidak cocok/pas dengan kenyataan kehidupan yang diarungi oleh siswa. Kedua, pandangan-pandangan dan temuan-temuan kajian (yang baru) dari berbagai bidang tentang pembelajaran dan pengajaran membuat paradigma, falsafah, dan metodologi pembelajaran yang ada sekarang tidak memadai atau tidak cocok lagi. Ketiga, berbagai permasalahan dan kenyataan negatif tentang hasil pengajaran dan pembelajaran menuntut diupayakannya pembaharuan paradigma, falsafah, dan metodologi pengajaran dan pembelajaran. Dengan demikian, diharapkan mutu dan hasil pembelajaran dapat makin baik dan meningkat.

Untuk memperbaiki dan meningkatkan mutu proses dan hasil pembelajaran – di samping juga menyelaraskan dan menyerasikan proses pembelajaran dengan pandangan-pandangan dan temuan-temuan baru di pelbagai bidang – falsafah dan metodologi pembelajaran senantiasa dimutakhirkan, diperbaharui, dan dikembangkan oleh berbagai kalangan khususnya kalangan pendidikan-pengajaran-pembelajaran. Oleh karena itu, falsafah dan metodologi pembelajaran silih berganti dipertimbangkan, digunakan atau diterapkan dalam proses pembelajaran dan pengajaran. Lebih-lebih dalam dunia yang lepas kendali atau berlari tunggang-langgang (runway world – istilah Anthony Giddens) sekarang, falsafah dan metodologi pembelajaran sangat cepat berubah dan berganti, bahkan bermunculan secara serempak; satu falsafah dan metodologi pembelajaran dengan cepat dirasakan usang dan ditinggalkan, kemudian diganti (dengan cepat pula) dengan dan dimunculkan satu falsafah dan metodologi pembelajaran yang lain, malahan sering diumumkan atau dipopulerkan secara serentak beberapa falsafah dan metodologi pembelajaran.

Tidak mengherankan, dalam beberapa tahun terakhir ini di Indonesia telah berkelebatan (muncul, populer, surut, tenggelam) berbagai falsafah dan metodologi pembelajaran yang dipandang baru-mutakhir meskipun akar-akar atau sumber-sumber pandangannya sebenarnya sudah ada sebelumnya, malah jauh sebelumnya. Beberapa di antaranya (yang banyak dibicarakan, didiskusikan, dan dicobakan oleh pelbagai kalangan pembelajaran dan sekolah) dapat dikemukakan di sini, yaitu pembelajaran konstruktivis, pembelajaran kooperatif, pembelajaran terpadu, pembelajaran aktif, pembelajaran kontekstual (contextual teaching and learning, CTL), pembelajaran berbasis projek (project based learning), pembelajaran berbasis masalah (problem based learning), pembelajaran interaksi dinamis, dan pembelajaran kuantum (quantum learning).

Dibandingkan dengan falsafah dan metodologi pembelajaran lainnya, falsafah dan metodologi pembelajaran kuantum yang disebut terakhir tampak relatif lebih populer dan lebih banyak disambut gembira oleh pelbagai kalangan di Indonesia berkat penerbitan beberapa buku mengenai hal tersebut oleh Penerbit KAIFA Bandung [Quantum Learning, Quantum Business, dan Quantum Teaching] – di samping berkat upaya popularisasi yang dilakukan oleh perbagai pihak melalui seminar, pelatihan, dan penerapan tentangnya. Walaupun demikian, masih banyak pihak yang mengenali pembelajaran kuantum secara terbatas – terutama terbatas pada bangun (konstruks) utamanya. Segi-segi kesejarahan, akar pandangan, dan keterbatasannya belum banyak dibahas orang. Ini berakibat belum dikenalinya pembelajaran kuantum secara utuh dan lengkap.

Sejalan dengan itu, tulisan ini mencoba memaparkan ihwal pembelajaran kuantum secara relatih utuh dan lengkap agar kita dapat mengenalinya lebih baik dan mampu menempatkannya secara proporsional di antara pelbagai falsafah dan metodologi pembelajaran lainnya – yang sekarang juga berkembang dan populer di Indonesia. Secara berturut-turut, tulisan ini memaparkan (1) latar belakang atau sejarah kemunculan pembelajaran kuantum, (2) akar-akar atau dasar-dasar teoretis dan empiris yang membentuk bangun pembelajaran kuantum, dan (3) pandangan-pandangan pokok yang membentuk karakteristik pembelajaran kuantum dan (4) kemungkinan penerapan pembelajaran kuantum dalam berbagai bidang terutama bidang pengajaran sekolah. Paparan ini lebih merupakan rekonstruksi pembelajaran kuantum yang didasarkan atas pemahaman dan persepsi penulis sendiri daripada resume atau rangkuman atas pikiran-pikiran pencetusnya.

LATAR BELAKANG KEMUNCULAN


Tokoh utama di balik pembelajaran kuantum adalah Bobbi DePorter, seorang ibu rumah tangga yang kemudian terjun di bidang bisnis properti dan keuangan, dan setelah semua bisnisnya bangkrut akhirnya menggeluti bidang pembelajaran. Dialah perintis, pencetus, dan pengembang utama pembelajaran kuantum. Semenjak tahun 1982 DePorter mematangkan dan mengembangkan gagasan pembelajaran kuantum di SuperCamp, sebuah lembaga pembelajaran yang terletak Kirkwood Meadows, Negara Bagian California, Amerika Serikat. SuperCamp sendiri didirikan atau dilahirkan oleh Learning Forum, sebuah perusahahan yang memusatkan perhatian pada hal-ihwal pembelajaran guna pengembanga potensi diri manusia. Dengan dibantu oleh teman-temannya, terutama Eric Jansen, Greg Simmons, Mike Hernacki, Mark Reardon, dan Sarah Singer-Nourie, DePorter secara terprogram dan terencana mengujicobakan gagasan-gagasan pembelajaran kuantum kepada para remaja di SuperCamp selama tahun-tahun awal dasawarsa 1980-an. “Metode ini dibangun berdasarkan pengalaman dan penelitian terhadap 25 ribu siswa dan sinergi pendapat ratusan guru di SuperCamp”, jelas DePorter dalam Quantum Teaching (2001: 4). “Di SuperCamp inilah prinsip-prinsip dan metode-metode Quantum Learning menemukan bentuknya”, ungkapnya dalam buku Quantum Learning (1999:3).

Pada tahap awal perkembangannya, pembelajaran kuantum terutama dimaksudkan untuk membantu meningkatkan keberhasilan hidup dan karier para remaja di rumah atau ruang-ruang rumah; tidak dimaksudkan sebagai metode dan strategi pembelajaran untuk mencapai keberhasilan lebih tinggi di sekolah atau ruang-ruang kelas. Lambat laun, orang tua para remaja juga meminta kepada DePorter untuk mengadakan program program pembelajaran kuantum bagi mereka. “Mereka telah melihat hal yang telah dilakukan Quantum Learning pada anak-anak mereka, dan mereka ingin belajar untuk menerapkan teknik dan prinsip yang sama dalam hidup dan karier mereka sendiri – perusahaan komputer, kantor pengacara, dan tentu agen-agen realestat mereka. Demikian lingkaran ini terus bergulir”, papar DePorter dalam Quantum Business (2001:27). Demikianlah, metode pembelajaran kuantum merambah berbagai tempat dan bidang kegiatan manusia, mulai lingkungan pengasuhan di rumah (parenting), lingkungan bisnis, lingkungan perusahaan, sampai dengan lingkungan kelas (sekolah). Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya pembelajaran kuantum merupakan falsafah dan metodologi pembelajaran yang bersifat umum, tidak secara khusus diperuntukkan bagi pengajaran di sekolah.

Falsafah dan metodologi pembelajaran kuantum yang telah dikembangkan, dimatangkan, dan diujicobakan tersebut selanjutnya dirumuskan, dikemukakan, dan dituliskan secara utuh dan lengkap dalam buku Quantum Learning: Unleashing The Genius in You. Buku ini diterbitkan pertama kali pada tahun 1992 oleh Dell Publishing New York. Pada tahun 1999 muncul terjemahannya dalam bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Penerbit KAIFA Bandung dengan judul Quantum Learning: Membiasakan Belajar Nyaman dan Menyenangkan). Buku yang ditulis oleh DePorter bersama Mike Hernacki – mitra kerja DePorter yang mantan guru dan pengacara – tersebut memaparkan pandangan-pandangan umum dan prinsip-prinsip dasar yang membentuk bangun pembelajaran kuantum. Pandangan-pandangan umum dan prinsip-prinsip dasar yang termuat dalam buku Quantum Learning selanjutnya diterapkan, dipraktikkan, dan atau diimplementasikan dalam lingkungan bisnis dan kelas (sekolah). Penerapan, pemraktikan, dan atau pengimplementasian pembelajaran kuantum di lingkungan bisnis termuat dalam buku Quantum Business: Achieving Success Through Quantum Learning yang terbit pertama kali pada tahun 1997 dan diterbitkan oleh Dell Publishing, New York. Buku yang ditulis oleh DePorter bersama Mike Hernacki ini sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Basyrah Nasution dan diterbitkan oleh Penerbit KAIFA Bandung pada tahun 1999 dengan judul Quantum Business: Membiasakan Berbisnis secara Etis dan Sehat.

Sementara itu, penerapan, pemraktikkan, dan pengimplementasian pembelajaran kuantum di lingkungan sekolah (pengajaran) termuat dalam buku Quantum Teaching: Orchestrating Student Success yang terbit pertama kali tahun 1999 dan diterbitkan oleh Penerbit Allyn and Bacon, Boston. Buku yang ditulis oleh DePorter bersama Mark Reardon dan Sarah Singer-Nourie ini sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Ary Nilandari dan diterbitkan oleh Penerbit KAIFA Bandung pada tahun 2000 dengan judul Quantum Teaching: Mempraktikkan Quantum Learning di Ruang-ruang Kelas.

Dapat dikatakan bahwa ketiga buku tersebut laris (best-seller) di pasar. Lebih-lebih terjemahannya dalam bahasa Indonesia. Terjemahan bahasa Indonesia buku Quantum Learning dalam tempo tiga tahun sudah cetak ulang tiga belas kali; buku Quantum Business sudah cetak ulang lima kali dalam tempo dua tahun; dan buku Quantum Teaching sudah cetak ulang tiga kali dalam tempo satu tahun. Hal tersebut sekaligus memperlihatkan betapa populer dan menariknya falsafah dan metodologi pembelajaran kuantum di Indonesia dan bagi komunitas masyarakat Indonesia. Popularitas dan kemenarikan pembelajaran kuantum makin tampak kuat-tinggi ketika frekuensi penyelenggaraan seminar-seminar, pelatihan-pelatihan, dan pengujicobaan pembelajaran kuantum di Indonesia makin tinggi.

AKAR-AKAR LANDASAN


Meskipun dinamakan pembelajaran kuantum, falsafah dan metodologi pembelajaran kuantum tidaklah diturunkan atau ditransformasikan secara langsung dari fisika kuantum yang sekarang sedang berkembang pesat. Tidak pula ditransformasikan dari prinsip-prinsip dan pandangan-pandangan utama fisika kuantum yang dikemukakan oleh Albert Einstein, seorang tokoh terdepan fisika kuantum. Jika ditelaah atau dibandingkan secara cermat, istilah kuantum [quantum] yang melekat pada istilah pembelajaran [learning] ternyata tampak berbeda dengan konsep kuantum dalam fisika kuantum.

Walaupun demikian, serba sedikit tampak juga kemiripannya. Kemiripannya terutama terlihat dalam konsep kuantum. Dalam fisika kuantum, istilah kuantum memang diberi konsep perubahan energi menjadi cahaya selain diyakini adanya ketakteraturan dan indeterminisme alam semesta. Sementara itu, dalam pandangan DePorter, istilah kuantum bermakna “interaksi-interaksi yang mengubah energi menjadi cahaya” dan istilah pembelajaran kuantum bermakna “interaksi-teraksi yang mengubah energi menjadi cahaya karena semua kehidupan adalah energi”.

Di samping itu, dalam pembelajaran kuantum diyakini juga adanya keberagaman dan intedeterminisme. Konsep dan keyakinan ini lebih merupakan analogi rumus Teori Relativitas Einstein, bukan transformasi rumus Teori Relativitas Einstein. Hal ini makin tampak bila disimak pernyataan DePorter bahwa “Rumus yang terkenal dalam fisika kuantum adalah massa kali kecepatan cahaya kuadrat sama dengan energi. Mungkin Anda sudah pernah melihat persamaan ini ditulis sebagai E=mc2.

Tubuh kita secara fisik adalah materi. Sebagai pelajar, tujuan kita adalah meraih sebanyak mungkin cahaya: interaksi, hubungan, inspirasi agar menghasilkan energi cahaya” (1999:16). Jelaslah di sini bahwa prinsip-prinsip pembelajaran kuantum bukan penurunan, adaptasi, modifikasi atau transformasi prinsip-prinsip fisika kuantum, melainkan hanya sebuah analogi prinsip relativitas Einstein, bahkan analogi term/konsep saja. Jadi, akar landasan pembelajaran kuantum bukan fisika kuantum.

Pembelajaran kuantum sesungguhnya merupakan ramuan atau rakitan dari berbagai teori atau pandangan psikologi kognitif dan pemrograman neurologi/neurolinguistik yang jauh sebelumnya sudah ada. Di samping itu, ditambah dengan pandangan-pandangan pribadi dan temuan-temuan empiris yang diperoleh DePorter ketika mengembangkan konstruk awal pembelajaran kuantum. Hal ini diakui sendiri oleh DePorter. Dalam Quantum Learning (1999:16) dia mengatakan sebagai berikut.

Quantum Learning menggabungkan sugestologi, teknik pemercepartan belajar, dan NLP dengan teori, keyakinan, dan metode kami sendiri. Termasuk di antaranya konsep-konsep kunci dari berbagai teori dan strategi belajar yang lain, seperti:
Teori otak kanan/kiri (brain hemisphere)
• Teori otak triune (3 in 1)
• Pilihan modalitas (visual, auditorial, dan kinestetik)
• Teori kecerdasan ganda
• Pendidikan holistik (menyeluruh)
• Belajar berdasarkan pengalaman
• Belajar dengan simbol
• Simulasi/permainan

Sementara itu, dalam Quantum Teaching (2000:4) dikatakannya sebagai berikut.

Quantum Teaching adalah badan ilmu pengetahuan dan metodologi yang digunakan dalam rancangan, penyajian, dan fasilitasi SuperCamp. Diciptakan berdasarkan teori-teori pendidikan seperti Accelerated Learning (Lozanov), Multiple Intelegences (Gardner), Neuro-Linguistic Programming (Grinder dan Bandler), Experiential Learning (Hahn), Socratic Inquiry, Cooperative Learning (Johnson dan Johnson), dan Element of Effective Instruction (Hunter).

Dua kutipan tersebut dengan gamblang menunjukkan bahwa ada bermacam-macam akar pandangan dan pikiran yang menjadi landasan pembelajaran kuantum. Pelbagai akar pandangan dan pikiran itu diramu, bahkan disatukan dalam sebuah model teoretis yang padu dan utuh hingga tidak tampak lagi asalnya – pada gilirannya model teoretis tersebut diujicobakan secara sistemis sampai ditemukan bukti-bukti empirisnya.

Di antara berbagai akar pandangan dan pikiran yang menjadi landasan pembelajaran kuantum yang dikemukakan oleh DePorter di atas, tidak dapat dipungkiri bahwa pandangan-pandangan teori sugestologi atau pembelajaran akseleratif Lozanov, teori kecerdasan ganda Gardner, teori pemrograman neurolinguistik (NLP) Grinder dan Bandler, dan pembelajaran eksperensial [berdasarkan pengalaman] Hahn serta temuan-temuan mutakhir neurolinguistik mengenai peranan dan fungsi otak kanan mendominasi atau mewarnai secara kuat sosok [profil] pembelajaran kuantum.

Teori kecerdasan ganda, teori pemograman neurolinguistik, dan temuan-temuan mutakhir neurolinguistik sangat berpengaruh terhadap pandangan dasar pembelajaran kuantum mengenai kemampuan manusia selaku pembelajar – khususnya kemampuan otak dan pikiran pembelajar. Selain itu, dalam batas tertentu teori dan temuan tersebut juga berpengaruh terhadap pandangan dasar pembelajaran kuantum tentang perancangan, penyajian, dan pemudahan [fasilitasi] proses pembelajaran untuk mengembangkan dan melejitkan potensi-diri pembelajar – khususnya kemampuan dan kekuatan pikiran pembelajar.

Sementara itu, pembelajaran akseleratif, pembelajaran eksperensial, dan pembelajaran kooperatif sangat berpengaruh terhadap pandangan dasar pembelajaran kuantum terhadap kiat-kiat merancang, menyajikan, mengelola, memudahkan, dan atau mengorkestrasi proses pembelajaran yang efektif dan optimal – termasuk kiat memperlakukan faktor-faktor yang menentukan keberhasilan proses pembelajaran.

KARAKTERISTIK UMUM


Walaupun memiliki akar landasan bermacam-macam sebagaimana dikemukakan di atas, pembelajaran kuantum memiliki karakteristik umum yang dapat memantapkan dan menguatkan sosoknya. Beberapa karakteristik umum yang tampak membentuk sosok pembelajaran kuantum sebagai berikut.


• Pembelajaran kuantum berpangkal pada psikologi kognitif, bukan fisika kuantum meskipun serba sedikit istilah dan konsep kuantum dipakai. Oleh karena itu, pandangan tentang pembelajaran, belajar, dan pembelajar diturunkan, ditransformasikan, dan dikembangkan dari berbagai teori psikologi kognitif; bukan teori fisika kuantum. Dapat dikatakan di sini bahwa pembelajaran kuantum tidak berkaitan erat dengan fisika kuantum – kecuali analogi beberapa konsep kuantum. Hal ini membuatnya lebih bersifat kognitif daripada fisis.
• Pembelajaran kuantum lebih bersifat humanistis, bukan positivistis-empiris, “hewan-istis”, dan atau nativistis. Manusia selaku pembelajar menjadi pusat perhatiannya. Potensi diri, kemampuan pikiran, daya motivasi, dan sebagainya dari pembelajar diyakini dapat berkembang secara maksimal atau optimal. Hadiah dan hukuman dipandang tidak ada karena semua usaha yang dilakukan manusia patut dihargai. Kesalahan dipandang sebagai gejala manusiawi. Ini semua menunjukkan bahwa keseluruhan yang ada pada manusia dilihat dalam perspektif humanistis.
• Pembelajaran kuantum lebih bersifat konstruktivis(tis), bukan positivistis-empiris, behavioristis, dan atau maturasionistis. Karena itu, menurut hemat penulis, nuansa konstruktivisme dalam pembelajaran kuantum relatif kuat. Malah dapat dikatakan di sini bahwa pembelajaran kuantum merupakan salah satu cerminan filsafat konstruktivisme kognitif, bukan konstruktivisme sosial. Meskipun demikian, berbeda dengan konstruktivisme kognitif lainnya yang kurang begitu mengedepankan atau mengutamakan lingkungan, pembelajaran kuantum justru menekankan pentingnya peranan lingkungan dalam mewujudkan pembelajaran yang efektif dan optimal dan memudahkan keberhasilan tujuan pembelajaran.
• Pembelajaran kuantum berupaya memadukan [mengintegrasikan], menyinergikan, dan mengolaborasikan faktor potensi-diri manusia selaku pembelajar dengan lingkungan [fisik dan mental] sebagai konteks pembelajaran. Atau lebih tepat dikatakan di sini bahwa pembelajaran kuantum tidak memisahkan dan tidak membedakan antara res cogitans dan res extenza, antara apa yang di dalam dan apa yang di luar. Dalam pandangan pembelajaran kuantum, lingkungan fisikal-mental dan kemampuan pikiran atau diri manusia sama-sama pentingnya dan saling mendukung. Karena itu, baik lingkungan maupun kemampuan pikiran atau potensi diri manusia harus diperlakukan sama dan memperoleh stimulan yang seimbang agar pembelajaran berhasil baik.
• Pembelajaran kuantum memusatkan perhatian pada interaksi yang bermutu dan bermakna, bukan sekadar transaksi makna. Dapat dikatakan bahwa interaksi telah menjadi kata kunci dan konsep sentral dalam pembelajaran kuantum. Karena itu, pembelajaran kuantum memberikan tekanan pada pentingnya interaksi, frekuensi dan akumulasi interaksi yang bermutu dan bermakna. Di sini proses pembelajaran dipandang sebagai penciptaan interaksi-interaksi bermutu dan bermakna yang dapat mengubah energi kemampuan pikiran dan bakat alamiah pembelajar menjadi cahaya-cahaya yang bermanfaat bagi keberhasilan pembelajar. Interaksi yang tidak mampu mengubah energi menjadi cahaya harus dihindari, kalau perlu dibuang jauh dalam proses pembelajaran. Dalam kaitan inilah komunikasi menjadi sangat penting dalam pembelajaran kuantum.
• Pembelajaran kuantum sangat menekankan pada pemercepatan pembelajaran dengan taraf keberhasilan tinggi. Di sini pemercepatan pembelajaran diandaikan sebagai lompatan kuantum. Pendeknya, menurut pembelajaran kuantum, proses pembelajaran harus berlangsung cepat dengan keberhasilan tinggi. Untuk itu, segala hambatan dan halangan yang dapat melambatkan proses pembelajaran harus disingkirkan, dihilangkan, atau dieliminasi. Di sini pelbagai kiat, cara, dan teknik dapat dipergunakan, misalnya pencahayaan, iringan musik, suasana yang menyegarkan, lingkungan yang nyaman, penataan tempat duduk yang rileks, dan sebagainya. Jadi, segala sesuatu yang menghalangi pemercepatan pembelajaran harus dihilangkan pada satu sisi dan pada sisi lain segala sesuatu yang mendukung pemercepatan pembelajaran harus diciptakan dan dikelola sebaik-baiknya.


• Pembelajaran kuantum sangat menekankan kealamiahan dan kewajaran proses pembelajaran, bukan keartifisialan atau keadaan yang dibuat-buat. Kealamiahan dan kewajaran menimbulkan suasana nyaman, segar, sehat, rileks, santai, dan menyenangkan, sedang keartifisialan dan kepura-puraan menimbulkan suasana tegang, kaku, dan membosankan. Karena itu, pembelajaran harus dirancang, disajikan, dikelola, dan difasilitasi sedemikian rupa sehingga dapat diciptakan atau diwujudkan proses pembelajaran yang alamiah dan wajar. Di sinilah para perancang dan pelaksana pembelajaran harus bekerja secara proaktif dan suportif untuk menciptakan kealamiahan dan kewajaran proses pembelajaran.


• Pembelajaran kuantum sangat menekankan kebermaknaan dan kebermutuan proses pembelajaran. Proses pembelajaran yang tidak bermakna dan tidak bermutu membuahkan kegagalan, dalam arti tujuan pembelajaran tidak tercapai. Sebab itu, segala upaya yang memungkinkan terwujudnya kebermaknaan dan kebermutuan pembelajaran harus dilakukan oleh pengajar atau fasilitator. Dalam hubungan inilah perlu dihadirkan pengalaman yang dapat dimengerti dan berarti bagi pembelajar, terutama pengalaman pembelajar perlu diakomodasi secara memadai. Pengalaman yang asing bagi pembelajar tidak perlu dihadirkan karena hal ini hanya membuahkan kehampaan proses pembelajaran. Untuk itu, dapat dilakukan upaya membawa dunia pembelajar ke dalam dunia pengajar pada satu pihak dan pada pihak lain mengantarkan dunia pengajar ke dalam dunia pembelajar. Hal ini perlu dilakukan secara seimbang.
• Pembelajaran kuantum memiliki model yang memadukan konteks dan isi pembelajaran. Konteks pembelajaran meliputi suasana yang memberdayakan, landasan yang kukuh, lingkungan yang menggairahkan atau mendukung, dan rancangan belajar yang dinamis. Isi pembelajaran meliputi penyajian yang prima, pemfasilitasan yang lentur, keterampilan belajar-untuk-belajar, dan keterampilan hidup. Konteks dan isi ini tidak terpisahkan, saling mendukung, bagaikan sebuah orkestra yang memainkan simfoni. Pemisahan keduanya hanya akan membuahkan kegagalan pembelajaran. Kepaduan dan kesesuaian keduanya secara fungsional akan membuahkan keberhasilan pembelajaran yang tinggi; ibaratnya permainan simfoni yang sempurna yang dimainkan dalam sebuah orkestra.


• Pembelajaran kuantum memusatkan perhatian pada pembentukan keterampilan akademis, keterampilan [dalam] hidup, dan prestasi fisikal atau material. Ketiganya harus diperhatikan, diperlakukan, dan dikelola secara seimbang dan relatif sama dalam proses pembelajaran; tidak bisa hanya salah satu di antaranya. Dikatakan demikian karena pembelajaran yang berhasil bukan hanya terbentuknya keterampilan akademis dan prestasi fisikal pembelajar, namun lebih penting lagi adalah terbentuknya keterampilan hidup pembelajar. Untuk itu, kurikulum harus disusun sedemikian rupa sehingga dapat terwujud kombinasi harmonis antara keterampilan akademis, keterampilan hidup, dan prestasi fisikal.


• Pembelajaran kuantum menempatkan nilai dan keyakinan sebagai bagian penting proses pembelajaran. Tanpa nilai dan keyakinan tertentu, proses pembelajaran kurang bermakna. Untuk itu, pembelajar harus memiliki nilai dan keyakinan tertentu yang positif dalam proses pembelajaran. Di samping itu, proses pembelajaran hendaknya menanamkan nilai dan keyakinan positif dalam diri pembelajar. Nilai dan keyakinan negatif akan membuahkan kegagalan proses pembelajaran. Misalnya, pembelajar perlu memiliki keyakinan bahwa kesalahan atau kegagalan merupakan tanda telah belajar; kesalahan atau kegagalan bukan tanda bodoh atau akhir segalanya. Dalam proses pembelajaran dikembangkan nilai dan keyakinan bahwa hukuman dan hadiah (punishment dan reward) tidak diperlukan karena setiap usaha harus diakui dan dihargai. Nilai dan keyakinan positif seperti ini perlu terus-menerus dikembangkan dan dimantapkan. Makin kuat dan mantap nilai dan keyakinan positif yang dimiliki oleh pembelajar, kemungkinan berhasil dalam pembelajaran akan makin tinggi. Dikatakan demikian sebab “Nilai-nilai ini menjadi kacamata yang dengannya kita memandang dunia. Kita mengevaluasi, menetapkan prioritas, menilai, dan bertingkah laku berdasarkan cara kita memandang kehidupan melalui kacamata ini”, ungkap DePorter dalam Quantum Business (2000:54).


• Pembelajaran kuantum mengutamakan keberagaman dan kebebasan, bukan keseragaman dan ketertiban. Keberagaman dan kebebasan dapat dikatakan sebagai kata kunci selain interaksi. Karena itu, dalam pembelajaran kuantum berkembang ucapan: Selamat datang keberagaman dan kebebasan, selamat tinggal keseragaman dan ketertiban!. Di sinilah perlunya diakui keragaman gaya belajar siswa atau pembelajar, dikembangkannya aktivitas-aktivitas pembelajar yang beragam, dan digunakannya bermacam-macam kiat dan metode pembelajaran. Pada sisi lain perlu disingkirkan penyeragaman gaya belajar pembelajar, aktivitas pembelajaran di kelas, dan penggunaan kiat dan metode pembelajaran.
• Pembelajaran kuantum mengintegrasikan totalitas tubuh dan pikiran dalam proses pembelajaran. Aktivitas total antara tubuh dan pikiran membuat pembelajaran bisa berlangsung lebih nyaman dan hasilnya lebih optimal.

PRINSIP-PRINSIP UTAMA


Prinsip dapat berarti (1) aturan aksi atau perbuatan yang diterima atau dikenal dan (2) sebuah hukum, aksioma, atau doktrin fundamental. Pembelajaran kuantum juga dibangun di atas aturan aksi, hukum, aksioma, dan atau doktrin fundamental mengenai dengan pembelajaran dan pembelajar. Setidak-tidaknya ada tiga macam prinsip utama yang membangun sosok pembelajaran kuantum. Ketiga prinsip utama yang dimaksud sebagai berikut.

1. Prinsip utama pembelajaran kuantum berbunyi: Bawalah Dunia Mereka (Pembelajar) ke dalam Dunia Kita (Pengajar), dan Antarkan Dunia Kita (Pengajar) ke dalam Dunia Mereka (Pembelajar). Setiap bentuk interaksi dengan pembelajar, setiap rancangan kurikulum, dan setiap metode pembelajaran harus dibangun di atas prinsip utama tersebut. Prinsip tersebut menuntut pengajar untuk memasuki dunia pembelajar sebagai langkah pertama pembelajaran selain juga mengharuskan pengajar untuk membangun jembatan otentik memasuki kehidupan pembelajar. Untuk itu, pengajar dapat memanfaatkan pengalaman-pengalaman yang dimiliki pembelajar sebagai titik tolaknya. Dengan jalan ini pengajar akan mudah membelajarkan pembelajar baik dalam bentuk memimpin, mendampingi, dan memudahkan pembelajar menuju kesadaran dan ilmu yang lebih luas. Jika hal tersebut dapat dilaksanakan, maka baik pembelajar maupun pembelajar akan memperoleh pemahaman baru. Di samping berarti dunia pembelajar diperluas, hal ini juga berarti dunia pengajar diperluas. Di sinilah Dunia Kita menjadi dunia bersama pengajar dan pembelajar. Inilah dinamika pembelajaran manusia selaku pembelajar.

2. Dalam pembelajaran kuantum juga berlaku prinsip bahwa proses pembelajaran merupakan permainan orkestra simfoni. Selain memiliki lagu atau partitur, pemainan simfoni ini memiliki struktur dasar chord. Struktur dasar chord ini dapat disebut prinsip-prinsip dasar pembelajaran kuantum.

Prinsip-prinsip dasar ini ada lima macam berikut ini.


1. Ketahuilah bahwa Segalanya Berbicara


Dalam pembelajaran kuantum, segala sesuatu mulai lingkungan pembelajaran sampai dengan bahasa tubuh pengajar, penataan ruang sampai sikap guru, mulai kertas yang dibagikan oleh pengajar sampai dengan rancangan pembelajaran, semuanya mengirim pesan tentang pembelajaran.
2. Ketahuilah bahwa Segalanya Betujuan


Semua yang terjadi dalam proses pengubahan energi menjadi cahaya mempunyai tujuan. Tidak ada kejadian yang tidak bertujuan. Baik pembelajar maupun pengajar harus menyadari bahwa kejadian yang dibuatnya selalu bertujuan.


3. Sadarilah bahwa Pengalaman Mendahului Penamaan


Proses pembelajaran paling baik terjadi ketika pembelajar telah mengalami informasi sebelum mereka memperoleh nama untuk apa yang mereka pelajari. Dikatakan demikian karena otak manusia berkembang pesat dengan adanya stimulan yang kompleks, yang selanjutnya akan menggerakkan rasa ingin tahu.


4. Akuilah Setiap Usaha yang Dilakukan dalam Pembelajaran

Pembelajaran atau belajar selalu mengandung risiko besar. Dikatakan demikian karena pembelajaran berarti melangkah keluar dari kenyamanan dan kemapanan di samping berarti membongkar pengetahuan sebelumnya. Pada waktu pembelajar melakukan langkah keluar ini, mereka patut memperoleh pengakuan atas kecakapan dan kepercayaan diri mereka. Bahkan sekalipun mereka berbuat kesalahan, perlu diberi pengakuan atas usaha yang mereka lakukan.
5. Sadarilah bahwa Sesuatu yang Layak Dipelajari Layak Pula Dirayakan
Segala sesuatu yang layak dipelajari oleh pembelajar sudah pasti layak pula dirayakan keberhasilannya. Perayaaan atas apa yang telah dipelajari dapat memberikan balikan mengenai kemajuan dan meningkatkan asosiasi emosi positif dengan pembelajaran.

3. Dalam pembelajaran kuantum juga berlaku prinsip bahwa pembelajaran harus berdampak bagi terbentuknya keunggulan. Dengan kata lain, pembelajaran perlu diartikan sebagai pembentukan keunggulan. Oleh karena itu, keunggulan ini bahkan telah dipandang sebagai jantung fondasi pembelajaran kuantum.

Ada delapan prinsip keunggulan – yang juga disebut delapan kunci keunggulan – yang diyakini dalam pembelajaran kuantum. Delapan kunci keunggulan itu sebagai berikut.
• Terapkanlah Hidup dalam Integritas


Dalam pembelajaran, bersikaplah apa adanya, tulus, dan menyeluruh yang lahir ketika nilai-nilai dan perilaku kita menyatu. Hal ini dapat meningkatkan motivasi belajar yang pada gilirannya mencapai tujuan belajar. Dengan kata lain, integritas dapat membuka pintu jalan menuju prestasi puncak.
• Akuilah Kegagalan Dapat Membawa Kesuksesan


Dalam pembelajaran, kita harus mengerti dan mengakui bahwa kesalahan atau kegagalan dapat memberikan informasi kepada kita yang diperlukan untuk belajar lebih lanjut sehingga kita dapat berhasil. Kegagalan janganlah membuat cemas terus menerus dan diberi hukuman karena kegagalan merupakan tanda bahwa seseorang telah belajar.
• Berbicaralah dengan Niat Baik


Dalam pembelajaran, perlu dikembangkan keterampilan berbicara dalam arti positif dan bertanggung jawab atas komunikasi yang jujur dan langsung. Niat baik berbicara dapat meningkatkan rasa percaya diri dan motivasi belajar pembelajar.
• Tegaskanlah Komitmen


Dalam pembelajaran, baik pengajar maupun pembelajar harus mengikuti visi-misi tanpa ragu-ragu, tetap pada rel yang telah ditetapkan. Untuk itu, mereka perlu melakukan apa saja untuk menyelesaikan pekerjaan. Di sinilah perlu dikembangkan slogan: Saya harus menyelesaikan pekerjaan yang memang harus saya selesaikan, bukan yang hanya saya senangi.
• Jadilah Pemilik


Dalam pembelajaran harus ada tanggung jawab. Tanpa tanggung jawab tidak mungkin terjadi pembelajaran yang bermakna dan bermutu. Karena itu, pengajar dan pembelajar harus bertanggung jawab atas apa yang menjadi tugas mereka. Mereka hendaklah menjadi manusia yang dapat diandalkan, seseorang yang bertanggung jawab.


• Tetaplah Lentur

memperoleh hasil yang diinginkan. Pembelajar, lebih-lebih pengajar, harus pandai-pandai membaca lingkungan dan suasana, dan harus pandai-pandai mengubah lingkungan dan suasana bilamana diperlukan. Misalnya, di kelas guru dapat saja mengubah rencana pembelajaran bilamana diperlukan demi keberhasilan siswa-siswanya; jangan mati-matian mempertahankan rencana pembelajaran yang telah dibuat.

• Pertahankanlah Keseimbangan


Dalam pembelajaran, pertahankan jiwa, tubuh, emosi, dan semangat dalam satu kesatuan dan kesejajaran agar proses dan hasil pembelajaran efektif dan optimal. Tetap dalam keseimbangan merupakan proses berjalan yang membutuhkan penyesuaian terus-menerus sehingga diperlukan sikap dan tindakan cermat dari pembelajar dan pengajar.

PANDANGAN TENTANG PEMBELAJARAN DAN PEMBELAJAR


Selain memiliki karakteristik umum dan prinsip-prinsip utama seperti dikemukakan di atas, pembelajaran kuantum memiliki pandangan tertentu tentang pembelajaran dan pembelajar. Beberapa pandangan mengenai pembelajaran dan pembelajar yang dimaksud dapat dikemukakan secara ringkas berikut.


• Pembelajaran berlangsung secara aktif karena pembelajar itu aktif dan kreatif. Bukti keaktifan dan kekreatifan itu dapat ditemukan dalam peranan dan fungsi otak kanan dan otak kiri pembelajar. Pembelajaran pasif mengingkari kenyataan bahwa pembelajar itu aktif dan kreatif, mengingkari peranan dan fungsi otak kanan dan otak kiri.


• Pembelajaran berlangsung efektif dan optimal bila didasarkan pada karakteristik gaya belajar pembelajar sehingga penting sekali pemahaman atas gaya belajar pembelajar. Setidak-tidaknya ada tiga gaya belajar yang harus diperhitungkan dalam proses pembelajaran, yaitu gaya auditoris, gaya visual, dan gaya kinestetis.

• Pembelajaran berlangsung efektif dan optimal bila tercipta atau terdapat suasana nyaman, menyenangkan, rileks, sehat, dan menggairahkan sehingga kenyamanan, kesenangan, kerileksan, dan kegairahan dalam pembelajaran perlu diciptakan dan dipelihara. Pembelajar dapat mencapai hasil optimal bila berada dalam suasana nyaman, menyenangkan, rileks, sehat, dan menggairahkan. Untuk itu, baik lingkungan fisikal, lingkungan mental, dan suasana harus dirancang sedemikian rupa agar membangkitkan kesan nyaman, rileks, menyenangkan, sehat, dan menggairahkan.


• Pembelajaran melibatkan lingkungan fisikal-mental dan kemampuan pikiran atau potensi diri pembelajar secara serempak. Oleh karena itu, penciptaan dan pemeliharaan lingkungan yang tepat sangat penting bagi tercapainya proses pembelajaran yang efektif dan optimal. Dalam konteks inilah perlu dipelihara suasana positif, aman, suportif, santai, dan menyenangkan; lingkungan belajar yang nyaman, membangkitkan semangat, dan bernuansa musikal; dan lingkungan fisik yang partisipatif, saling menolong, mengandung permainan, dan sejenisnya.
• Pembelajaran terutama pengajaran membutuhkan keserasian konteks dan isi. Segala konteks pembelajaran perlu dikembangkan secara serasi dengan isi pembelajaran. Untuk itulah harus diciptakan dan dipelihara suasana yang memberdayakan atau menggairahkan, landasan yang kukuh, lingkungan fisikal-mental yang mendukung, dan rancangan pembelajaran yang dinamis. Selain itu, perlu juga diciptakan dan dipelihara penyajian yang prima, pemfasilitasan yang lentur, keterampilan belajar yang merangsang untuk belajar, dan keterampilan hidup yang suportif.
• Pembelajaran berlangsung optimal bilamana ada keragaman dan kebebasan karena pada dasarnya pembelajar amat beragam dan memerlukan kebebasan. Karena itu, keragaman dan kebebasan perlu diakui, dihargai, dan diakomodasi dalam proses pembelajaran. Keseragaman dan ketertiban (dalam arti kekakuan) harus dihindari karena mereduksi dan menyederhanakan potensi dan karakteristik pembelajar. Potensi dan karakteristik pembelajar sangat beragam yang memerlukan suasana bebas untuk aktualisasi atau artikulasi.

PENUTUP
Berdasarkan paparan di atas dapat diketahui bahwa pembelajaran kuantum merupakan sebuah falsafah dan metodologi pembelajaran yang umum yang dapat diterapkan baik di dalam lingkungan bisnis, lingkungan rumah, lingkungan perusahanan, maupun di dalam lingkungan sekolah (pengajaran). Secara konseptual, falsafah dan metodologi pembelajaran kuantum membawa angin segar bagi dunia pembelajaran di Indonesia sebab karakteristik, prinsip-prinsip, dan pandangan-pandangannya jauh lebih menyegarkan daripada falsafah dan metodologi pembelajaran yang sudah ada (yang dominan watak behavioristis dan rasionalisme Cartesiannya). Meskipun demikian, secara nyata, keterandalan dan kebaikan falsafah dan metodologi pembelajaran kuantum ini masih perlu diuji dan dikaji lebih lanjut. Lebih-lebih kemungkinan penerapannya dalam lingkungan Indonesia baik lingkungan rumah, lingkungan perusahaan, lingkungan bisnis maupun lingkungan kelas/sekolah (baca: pengajaran). Khusus penerapannya di lingkungan kelas menuntut perubahan pola berpikir para pelaksana pengajaran, budaya pengajaran dan pendidikan, dan struktur organisasi sekolah dan struktur pembelajaran. Jika perubahan-perubahan tersebut dapat dilakukan niscaya pembelajaran kuantum dapat dilaksanakan dengan hasil yang optimal.

DAFTAR RUJUKAN
DePorter, Bobbi dan Mike Hernacki. 1999. Quantum Learning: Membiasakan Belajar Nyaman dan Menyenangkan. Bandung: Penerbit KAIFA.
DePorter, Bobbi dan Mike Hernacki. 2000. Quantum Business: Membiasakan Bisnis secara Etis dan Sehat. Bandung: Penerbit KAIFA.
DePorter, Bobbi, Mark Reardon, dan Sarah Singer-Nourie. 2001. Quantum Teaching: Mempraktikkan Quantum Learning di Ruang-ruang Kelas. Bandung: Penerbit KAIFA.
Dryden, Gordon dan Jeanette Vos. 1999. The Learning Revolution: To Change the Way the World Learns. Selandia Baru: The Learning Web.
Giddens, Anthony. 2001. Runway World. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.
Meier, Dave. 2000. The Accelerated Learning Handbook. New York: McGraw-Hill.
Silberman, Melvin L. 1996. Active Learning: 101 Step to Teach Any Subject. Massachusetts: A Simon and Schuster Company.

Sumber:Fajar Utama’s Blog

Disadur dari Djoko Saryono