Minggu, 02 Mei 2010

kudeta mekkah

Kudeta Mekkah : Sejarah Yang Tak Terkuak



SINOPSIS BUKU

Pada 20 November 1979, sebuah peristiwa besar terjadi di Kota Suci Mekkah. Sekelompok orang bersenjata pimpinan Juhaiman al-Utaibi, seorang Islamis radikal, menguasai Masjid al-Haram. Mereka memprotes kebobrokan Pemerintah Arab Saudi dan aliansinya dengan Barat. Gejolak politik di tanah suci meledak. Lalu, baku tembak antara pengikut Juhaiman dengan tentara Arab Saudi pun tak terelakkan.


Mulanya, tentara Saudi dibuat keteteran oleh perlawanan Juhaiman dan pengikutnya. Tetapi akhirnya, dengan bantuan beberapa pimpinan militer Prancis, tentara Saudi berhasil melumpuhkan "pemberontakan" kelompok Islam radikal tersebut. Sebagai hukumannya, Juhaiman dan pengikutnya yang tertangkap hidup-hidup kemudian dipenggal kepalanya, eksekusi penggal kepala ini dilaksanakan di beberapa kota di Saudi sebagai peringatan bagi siapa pun yang berusaha makar terhadap pemerintah.


Merujuk fatwa para ulama berpengaruh, Pemerintah Saudi mendakwa mereka melakukan tindakan sesat: mendeklarasikan munculnya Imam Mahdi yang tewas dalam pertempuran itu sebagai penyelamat dunia; serta menguasai dan menjadikan Masjid al-Haram, tempat tersuci umat Muslim, sebagai medan pertempuran dan kekerasan, yang sangat jelas dilarang oleh agama.

Peristiwa itu menjadi bagian penting dari sejarah modern Kota Mekkah. Meski demikian, kebanyakan orang, terutama kaum Muslim, tak paham apa yang sejatinya terjadi saat itu. Maklum, ketika peristiwa itu berlangsung, Pemerintah Saudi melarang keras media massa meliput dan memberitakannya. Tak hanya itu, jaringan telepon, telegram, dan surat-menyurat pun diputus. Alhasil, tak ada celah bagi siapa pun untuk dapat mengakses peristiwa itu dari luar tempat kejadian.


Pada tahun 2006, dua puluh tahun kemudian, Yaroslav Trofimov berusaha menyusun kembali serpihan sejarah atas kejadian itu. Untuk menyibak detail peristiwa yang tak terkuak khalayak itu, Trofimov memburu sumber-sumber penting dan tepercaya, antara lain: pelaku ‘gerakan 1979’ yang masih hidup; Paul Barril, kepala misi pasukan Prancis saat itu; tentara Arab Saudi; Perpustakaan British, satu-satunya tempat di Eropa yang menyimpan pelbagai surat kabar Saudi tahun 1979; arsip Pemerintah AS dan Inggris yang berisi laporan rahasia dari para diplomat dan mata-mata; serta CIA dan British Foreign Office.


Para pengamat politik dan sejarawan menganggap kejadian itu sebagai insiden lokal semata dan karena itu tak bersangkut-paut dengan peristiwa internasional yang belakangan merebak: terorisme.

Tetapi penulis buku ini, Yaroslav Trofimov, berpendapat sebaliknya. Menurutnya, peristiwa itu merupakan akar sejarah gerakan terorisme global, terutama yang dimotori al-Qaeda. Siapa dan di mana Osama Bin Laden kala itu, sehingga petinggi al-Qaeda ini dihubung-kaitkan dengan peristiwa tersebut? Padahal ketika peristiwa itu terjadi, keluarga besar Bin Laden termasuk dalam barisan Pemerintah Kerajaan Arab Saudi yang mendukung penumpasan gerakan 1979.



YAROSLAV TROFIMOV adalah koresponden luar negeri The Wall Street Journal. Ia banyak melaporkan tulisannya ihwal agama dan perubahan sosial di wilayah negara Muslim, termasuk Indonesia. Sebelum hijrah ke Amerika Serikat untuk belajar jurnalisme dan ilmu politik di New York University, pria kelahiran Kiev, Ukraina, tahun 1969 ini menghabiskan masa kecilnya di Madagaskar, Afrika. Karyanya, Faith at War: A Journey on the Frontlines of Islam, from Baghdad to Timbuktu, termasuk salah satu buku terbaik versi The Washington Post.


Belum pernah ada tinjauan atas peristiwa 20 November 1979—tidak juga atas tragedi 11 September 2001—yang dilaporkan dengan kemampuan jurnalistik dan tutur sejarah, seperti yang ada dalam karya Yaroslav Trofimov ini. Pada awal abad ke-15 Hijriyah, sebuah kelompok bersenjata pimpinan seorang Islamis radikal bernama Juhaiman al-Utaibi menguasai Masjid al-Haram di Kota Suci Mekkah, salah satu tempat tersuci umat Islam. … Butuh waktu 30 tahun untuk bisa memahami peristiwa ini dalam konteksnya, dan Trofimov bekerja sangat baik dalam memaparkannya secara gamblang.—Kirkus Review


Trofimov merekam sebuah insiden yang tak terpublikasi di Barat: kekerasan dalam pengambil-alihan tempat tersuci umat Islam oleh kaum Muslim fundamentalis pada 1979. Trofimov begitu ahli dalam merangkai cerita sejarah, memadukan teologi mesianistik dengan kekerasan pada tempatnya, serta sangat berani dalam membongkar praktek korupsi yang sangat parah dari suatu negara dengan komplisitas institusi agama. Trofimov dengan tepat menunjukkan masalah-masalah regional yang akut, dengan reaksi abadi terhadap perang melawan teror… Pembaca awam akan sangat terbantu oleh buku ini, untuk memahami kaum fundamentalis Muslim dalam kaitannya dengan terorisme.—Publishers Weekly
Yaroslav Trofimov telah menulis karya yang sangat mengesankan. Diramu dengan begitu hidup, untuk detail-detail peristiwa yang tak tersingkap di masa lalu. Dia mengungkap krisis sandera yang sangat sedikit diketahui di jantung dunia Muslim…. Setelah mulai membaca buku ini, saya pun tak kuasa meletakkannya.

—Rajiv Chandrasekaran, asisten editor pada The Washingtong Post.


Ketika Yaroslav Trofimov memaparkan dengan begitu lengkap dan kuat, kebanyakan partikel radioaktif di dunia kini bukan lagi berada di Korea Utara, Iran, atau bahkan Amerika Serikat. Namun, ada kontradiksi lain yang lebih mengerikan, yakni kerajaan Arab Saudi. … dan dia mengingatkan kita bahwa segala sesuatu yang terjadi atau yang bakal terjadi di sana adalah sumber utama perhatian dunia.

—Tom Bissell, editor pada Virginia Quarterly Review.


Penelitian Trofimov mengenai pengambil-alihan Masjid al-Haram di Mekkah oleh kelompok militan Islam dimulai dengan mengetahui seluruh ancaman politik yang menakutkan. Penulis lalu menguji bagaimana aksi jihad global ini, yang diberitakan di Barat, menginspirasi generasi teroris hari ini. Trofimov, seorang reporter Wall Street Journal, memberi konteks melalui sebuah sejarah yang hidup mengenai akar dan bangkitnya ultra-fundamentalis Wahhabi, serta menghadirkan kembali pertempuran di masjid tersebut dengan begitu eksploratif, seolah menjadi pemandangan yang mengerikan. Kegemparan yang diciptakan secara berkala tersebut tidak mengurangi alasan Trofimov bahwa Osama bin Laden dan gerakannya adalah ideologi warisan kaum radikal Mekkah, tapi dengan sumber daya yang jauh lebih besar.
—Jen Itzenson, Portfolio Magazine


Saat Revolusi Iran tahun 1979 terbentang, orang-orang Saudi dibuat cemas dan malu oleh sebuah tragedi pengambil-alihan Masjid al-Haram di Mekkah pada tahun 1979. Serangan untuk merebut kembali tempat tersuci umat Islam tersebut menyeret pada suasana berdarah, menampakkan kecurangan dan ketidakcakapan pemerintah Saudi pada taraf yang sangat akut. Trofimov menjelaskan, bahwa tekanan yang begitu keras hampir saja menghilangkan sebuah babak dalam kisah teror Muslim radikal. sumber : http://www.bukukita.com

pendidikan carakter

"Pendidikan Berbasis Carakter"

Fenomena Sosial

Akhir-akhir ini kita sering menyaksikan tayangan berita di televisi atau membaca dalam surat kabar, perihal fenomena kekerasan yang terjadi di dalam masyarakat. Hal tersebut tentunya sangat memprihatinkan kita karena warisan budaya nenek moyang kita adalah budaya yang mengedepankan etika, sopan santun dan saling menghargai. Sungguh tak pernah terbayangkan, berbagai fenomena kekerasan muncul di mana-mana. Bahkan kita layak prihatin terhadap perjalanan bangsa ke depan. Kasus markus di perpajakan yang melibatkan para pejabat tinggi Negara dari berbagai instansi membuka mata kita bersama. Dugaan korupsi dari para pejabat yang merugikan Negara milyaran rupiah bahkan trilyun rupiah semakin memprihatinkan kebobrokan mentalitas pejabat-pejabat kita.
Budaya kekerasan seringkali kita lihat belakangan ini. Salah satu yang membuat bangsa kita diklaim sedang kehilangan karakter adalah terjadinya kerusuhan yang melanda Koja Tanjung Priok. Terjadi tontonan yang menonjol kekerasan antara masyarakat di sekitar Koja Tanjung Priok dengan ratusan aparat Satpol PP dan amuk ribuan masa PT Drydock world. Memang selama ini bentrok antara warga negara dengan aparat pemerintah, apakah satpol PP, TNI, Polri sudah seringkali terjadi. Salah satu faktor penyebab adalah persoalan ekonomi. Masyarakat mengklaim sangat sulit untuk mencari makan. Maka berjualan di tempat umum pun menjadi pilihan. Dapat kita bayangkan apa yang terjadi, yang terjadi adalah kemacetan dan ketidakaturan. Hanya saja jika kita mau jujur, apakah masyarakat mau berjualan di tempat itu kalau memang ada tempat yang lebih baik?
Prof Aan hasanah mensinyalir,Sepertinya karakter masyarakat Indonesia yang santun dalam berperilaku, musyawarah mufakat dalam menyelesaikan masalah,, toleransi dan gotong .royong, telah berubah wujud menjadi hegemoni kelompok-kelompok baru yang saling mengalahkan. Apakah pendidikan telah kehilangan sebagian fungsi utamanya? Berkaca pada kondisi ini, sudah sepantasnya jika kita bertanya secara kritis, inikah hasil dari proses pendidikan yang seharusnya menjadi alat transformasi nilai-nilai luhur peradaban? Jangan-jangan pendidikan telah menjadi alat yang secara mekanik hanya menciptakan anak didik yang pintar menguasai bahan ajar untuk sekedar lulus ujian nasional. Kalau betul begitu, pendidikan sedang memperlihatkan sisi gelapnya.
Padahal, pendidikan merupakan proses yang paling bertanggung jawab dalam melahirkan warga negara indonesia yang memiliki karakter kuat sebagai modal dalam membangun peradaban tinggi dan unggul. Karakter bangsa yang kuat merupakan produk dari pendidikan yang bagus dan mengembangkan karakter. Ketika mayoritas karakter masyarakat kuat, positif, tangguh peradaban yang tinggi dapat dibangun dengan baik dan sukses. Sebaliknya, jika mayoritas karakter masyarakat negatif, karakter negatif dan lemah mengakibatkan peradaban yang dibangun pun menjadi lemah sebab peradaban tersebut dibangun dalam fondasi yang amat lemah.
Kenapa Pendidikan?
Pendidikan merupakan hal terpenting membentuk kepribadian. Pendidikan itu tidak selalu berasal dari pendidikan formal seperti sekolah atau perguruan tinggi. Pendidikan informal dan non formal pun memiliki peran yang sama untuk membentuk kepribadian, terutama anak atau peserta didik. Dalam UU Sisdiknas No.20 tahun 2003 kita dapat melihat ketiga perbedaan model lembaga pendidikan tersebut.
Menurut Prof Suyanto Memperhatikan ketiga jenis pendidikan di atas, ada kecenderungan bahwa pendidikan formal, pendidikan informal dan pendidikan non formal yang selama ini berjalan terpisah satu dengan yang lainnya. Mereka tidak saling mendukung untuk peningkatan pembentukan kepribadian peserta didik. Setiap lembaga pendidikan tersebut berjalan masing-masing sehingga yang terjadi sekarang adalah pembentukan pribadi peserta didik menjadi parsial, misalnya anak bersikap baik di rumah, namun ketika keluar rumah atau berada di sekolah ia melakukan perkelahian antarpelajar, memiliki ‘ketertarikan’ bergaul dengan WTS atau melakukan perampokan. Sikap-sikap seperti ini merupakan bagian dari penyimpangan moralitas dan perilaku sosial pelajar
Oleh karena itu, ke depan dalam rangka membangun dan melakukan penguatan peserta didik perlu menyinergiskan ketiga komponen lembaga pendidikan. Upaya yang dapat dilakukan salah satunya adalah pendidik dan orangtua berkumpul bersama mencoba memahami gejala-gejala anak pada fase negatif, ada rasa kegelisahan, ada pertentangan sial, ada kepekaan emosiaonal, kurang percaya diri, mulai timbul minat pada lawan jenis, adanya perasaan malu yang berlebihan, dan kesukaan berkhayal. Dengan mempelajari gejala-gejala negatif yang dimiliki anak remaja pada umumnya, orangtua dan pendidik akan dapat menyadari dan melakukan upaya perbaikan perlakuan sikap terhadap anak dalam proses pendidikan.

Revitalisasi pendidikan carakter

Mengapa Pendidikan karakter begitu penting? Menurut Badjoeri Widagdo Kepentingan nasional Indonesia merupakan kepentingan bangsa dan negara dalam mewujudkan cita-cita dan tujuan nasional Indonesia yang di dalamnya mencakup usaha mencerdaskan kehidupan bangsa. Implementasinya apa? Rumusan mencerdasakan kehidupan bangsa itu memiliki 2 (dua) arti penting yaitu membangun manusia Indonesia yang cerdas dan berbudaya. Pengertian cerdas harus dimaknai, bukan saja sebagai kemampuan dan kapasitas untuk menguasai ilmu pengetahuan dan kapasitas untuk menguasai ilmu pengetahuan, seni dan teknologi yang manusiawi, tetapi cerdas emosional artinya memiliki kecerdasan emosional yang dengan bahasa umum disebut sebagai berkarakter mulia atau berbudi luhur, berakhlak mulia. Sedangkan berbudaya memiliki makna sebagai kemampuan dan kapasitas untuk menangkap dan mengembangkan nilai-nilai moral dan kemanusiaan yang beradab dalam sikap dan tindakan berbangsa dan bernegara
Arti penting dari pendidikan karakter. Mengoptimalkan muatan-muatan karakter baik dan kuat (sifat, sikap, dan perilaku budi luhur, akhlak mulia) yang menjadi pegangan kuat dan modal dasar pengembangan individu dan bangsa nantinya. Dunia barat pun sudah sejak lama menyadari betapa ilmu pengetahuan tanpa karakter menjadi tidak berarti. Daniel Goleman dalam bukunya Emotional Inteligence menyatakan betapa kepribadian manusia mendominasi 80 persen dari kehidupan seseorang, dibanding dengan 20 persen kecerdasan otaknya semata-mata. Para teknokrat di dunia barat sudah sadar bahwa betapa pun sebuah kemajuan dicapai, dapat menjadi perusak bila tidak dibekali dengan perimbangan karakter yang di dalamnya menggabungkan kaidah-kaidah etika, moral dan agama. Karena itu, pendidikan yang sekarang ini dijalankan oleh bangsa Indonesia, harus dapat memberikan andil dalam pembentukan karakter bangsa, akan lebih mudah jika pembelajaran karakter itu direvitalisasi melalui agama.
Untuk itu sudah saatnya dilakukan perubahan mendasar dalam dunia pendidikan. Bagaimana membuat bangunan pendidikan yang didalamnya ditanamkan karakter bangsa dan masyarakat yang membangun. Artinya budaya kekerasan jangan lagi menonjol dan kalau bisa dibabat habis. Dialog yang mengedepankan etika dan saling menghargai sudah saatnya ditanamkan melalui pendidikan. Jika tidak budaya barbarisme yang lebih besar dari masalah tanjung priok bisa terjadi
Di samping itu menurut Prof Didin hafidhuddin perbaikan sistem pendidikan secara totalitas merupakan sebuah kebutuhan sekaligus keniscayaan. Praktik pendidikan, baik dalam proses pembelajaran maupun evaluasi yang hanya mengedepankan aspek kognitif harus segera di perbaharui kea rah yang lebih menyatukan dengan aspek afektif (sikap) dan aspek psikomotorik(ketrampilan beramal saleh). Demikian integrasi nilai agama pada seluruh batang tubuh dan materi pelajaran harus segera di wujudkan. Tidak ada pemisahan antara pendidikan agama pada satu sisi dengan pendidikan umum pada sisi lainnya meskipun materi ajarnya dapat di bedakan dan di pisahkan.
Ke depan, kita berharap bahwa pemerintah mampu mengembalikan fungsi pendidikan tidak untuk membangun kecerdasan intelektual saja, tetapi juga untuk menjadikan manusia Indonesia yang berkarakter mulia dan menjadikan pendidikan karakter sebagai salah satu prioritas utama dalam pembangunan bangsa. Untuk merevitalisasi pendidikan karakter bangsa itu, idealnya substansi karakter dan jati diri bangsa termuat dalam UU Diknas.
Dan tentu kita sepakat dengan character education quality standards yang merekomendasikan bahwa pendidikan akan secara efektif mengembangkan karakter anak didik ketika nilai-nilai dasar etika dijadikan sebagai basis pendidikan, menggunakan pendekatan yang tajam, proaktif dan efektif dalam membangun dan mengembangkan karakter anak didik serta menciptakan komunitas yang peduli, baik di keluarga, sekolah maupun masyarakat sebagai komunitas moral yang berbagi panggung jawab untuk pendidikan yang mengembangkan karakter dan setia dan konsisten kepada nilai dasar yang diusung bersama-sama
Dan terakhir,Mari kita jadikan rumah tangga dan sekolah sebagai -school of love-mendidik dengan kasih sayang karena sesungguhnya anak adalah amanah. Orangtua dan guru dengan penuh tanggungjawab bekerjasama mengarahkan anak menuju kehidupan yang lebih baik. Selamat hari pendidikan Nasional, bangkitlah Pendidikan Indonesia…!