Selasa, 08 September 2009

kembali fitri

“Memaknai Kembali Fitri : Spirit baru membangun Pendidikan”
Oleh Abdul Qohin*

Budaya shopaholic
Taqabalallahu Minna Wa Minkum.Maaf.Satu kata sederhana yang mudah diucapkan.. Tapi seringkali hanya diucapkan oleh lisan tanpa dibarengi dengan hati yang tulus meminta. Mudah-mudahan kita termasuk orang-orang yang tidak hanya mengucap maaf oleh lisan dan semoga di hari yang Fitri ini kita bisa kembali pada Fitrah.
Sampai detik dan hari ini kita sudah menapaki Idul Fitri berkali-kali. Namun kita bisa bayangkan secara individu maupun sebagai bangsa, kualitas kita masih jauh dari harapan. Perilaku individu dan sebagian besar pemimpin kita masih jauh dari harapan. Detik demi detik selalu terdengar di telinga kita tentang merebaknya kemiskinan, kebodohan, kriminalitas, dan korupsi. Saat itu juga kita bisa melihat betapa banyak kaum Muslim di Indonesia yang tiba-tiba seperti terjangkit penyakit gila belanja (shopaholic). Tradisi menghambur-hamburkan uang untuk membeli hal-hal yang serba baru seakan-akan menjadi hal yang lumrah. Entah itu membeli pakaian baru, celana baru, sepatu baru, handphone baru, perabotan rumah yang baru, membuat penganan yang lezat-lezat, bahkan sampai mainan anak-anak yang baru dan sebagainya.
Penyakit gila belanja (shopaholic), pada akhirnya, hanya akan mereduksi makna substantif Iedul Fitri. Padahal, kita mestinya menjadikan Iedul Fitri, setelah melalui puasa Ramadhan selama 1 bulan penuh, sebagai awal menuju transformasi dan perubahan diri, baik yang menyangkut sikap maupun perilaku, ke arah yang lebih baik. Iedul Fitri adalah saat dimana manusia kembali kepada fitrahnya. Fitrah di sini biasanya di artikan sebagai kesucian dari dosa. Pada hari itu, manusia kembali seperti saat dilahirkan, bersih tanpa dosa, ibarat selembar kertas: putih tanpa noda.
Lebaran yang telah berlalu menyisakan sebuah momentum menawan bagi seluruh Muslim di dunia, tak terkecuali umat Muslim Indonesia. Kurang lebih 80 persen penduduk Indonesia beragama Islam. Suasana hiruk-pikuk Idul Fitri seakan merasuk secara mendalam ke seluruh pelosok negeri. Jutaan manusia berbondong-bondong melakukan mudik. Dari rakyat kecil hingga pejabat tak mau ketinggalan untuk bisa berlebaran di kampung halaman masing-masing.
Akan tetapi di balik itu semua seakan kita lupa tentang makna Idul Fitri itu sendiri. Kita merayakan seolah hanya merupakan seremoni dari perayaan tersebut yang sering menghiasi layar media. Padahal Idul Fitri mempunyai makna yang lebih mendalam. Secara individual, seseorang yang benar-benar khusyuk dan ikhlas menjalani puasa maka dia akan kembali suci. Dengan modal itu, tentunya kita akan menapaki bulan-bulan berikutnya dengan kualitas yang lebih baik. Keberhasilan Ramadhan akan ditentukan oleh perilaku kita pasca-Ramadhan ini.
Orang YangKembali
Setelah Sebulan penuh kita berpuasa, memperbanyak zikir dan sedekah, serta tadabbur dan tafakkur pada malam hari. Kini, kita mengakhiri di puncak pencapaian Idul Fitri, yaitu kembali pada sifat dasar kesucian manusia.
Maka, lengkaplah puasa sebagai proses pendidikan dan latihan olah jiwa massal untuk membangun peradaban, mencintai kemanusiaan, dan mewujudkan kebenaran, kebaikan, dan keindahan dalam kesatuan kehidupan.
Sudah ratusan, bahkan ribuan tahun umat Islam menjalankan ibadah puasa, tetapi mengapa, dalam kenyataan, perilaku antiperadaban justru kian meluas, seperti terjadinya konflik kekerasan dalam menghadapi perbedaan pemikiran dan keyakinan, makin merajalelanya korupsi yang jelas merugikan kehidupan rakyat, serta pemujaan atas kekuasaan yang mendegradasikan etika sosial- keagamaan.
Sudah saatnyalah kita kembali kepada fitroh kita sebagai pondasi untuk membangun peradaban yang lebih mengedepankan etika social keagamaan. Dengan demikian berarti kita telah kembali kepada fitroh kita. Ada beberapa ciri orang yang kembali kepada fitrah-Nya. Diantara cirri orang yang kembali adalah : ia Memiliki kecerdasan emosi misal : jiwa pemaaf, dermawan, membalas keburukan orang lain dengan kebaikan, rajin intropeksi dan selalu memperbaiki diri, ia juga Merasakan kerinduan kepada Allah, hatinya terbuka dengan nasihat, memiliki jiwa tawakal, rajin mendirikan shalat dan memiliki kepekaan sosial, Merasa mudah dalam beramal soleh, Memiliki kebutuhan untuk bergabung dalam lingkungan yang sholeh,Rajin berdoa,Memiliki kesholehan vertical dan Memiliki keshalehan sosial
Memaknai Idul Fitri
Setelah sebulan penuh kita melaksanakan ibadah puasa dengan semangat iman dan mengharap balasan Allah (ihtisaaban) semata. Maka, memasuki hari raya Idul Fitri ini, berarti kita kembali kepada fitrah (kesucian). Jiwa kita telah fitri (suci) tanpa dosa. Bagaimana setelah Ramadhan? Romadhan memang telah selesai tetapi tidak berarti secara kuantitas kita harus sama persis seperti ketika bulan Ramadhan dalam beribadah kepada Allah. Tapi, yang dituntut dari kita adalah mempertahankan keistiqomahan dalam menapaki jalan Allah yang lurus, memelihara kualitas semangat beribadah dan kesinambungan menta'ati Allah.

Karena itu, sepatutnyalah jiwa yang sudah fitri ini diupayakan secara maksimal untuk dipertahankan dan dijaga dengan penunaian berbagai bentuk amal shalih pasca Ramadhan. Sebab, keberhasilan meraih derajat taqwa melalui ibadah puasa bukan ditandai berakhirnya bulan Ramadban. Melainkan, sejauh mana konsistensi orang-orang yang berpuasa dalam melakukan ibadah pasca bulan Ramadhan. Sejauh mana kesinambungan harmonisasi hubungan dengan Sang Khaliq terpelihara secara baik pasca Ramadhan.

Bulan Ramadhan memang telah berlalu, tapi musim-musim kebaikan lain segera menyusul. Boleh jadi amal shalih kita pasca Ramadhan secara kuantitas menurun. Tapi, yang penting kontinyu dan inilah yang terbaik, Shalat lima waktu yang merupakan perbuatan agung dan hal pertama yang akan dihisab di hari kiamat nanti, tidak berhenti dengan berakhirnya Ramadhan.
Jika puasa Ramadhan berakhir, maka puasa-puasa sunnah yang berpahala tidak kecil, tidaklah berakhir bahkan menanti sentuhan kita. Seperti, puasa enam hari di bulan Syawal, puasa Senin-Kamis, puasa tiga hari dalam sebulan , puasa Asyura' (tgl 10 Muharram), puasa Arofah dan lain-lain.Jika Qiyam Ramadhan dan Tarawih telah lewat. Maka, Qiyamullail (Tahajjud) tetap disyari'atkan tiap malam, meskipun ramadhan telah usai. Jika zakat Fitrah berlalu, maka zakat wajib dan pintu sedekah masih terbuka lebar pada waktu-waktu yang lain.

Jangan sampai prestasi cemerlang yang diraih dengan kerja keras selama sebulan penuh, terhapus oleh keburukan yang menyusul. Jangan sampai kesucian jiwa yang dibangun susah payah selama bulan Ramadhan, tercemari oleh perbuatan maksiat, begitu sayonara (berpisah) dengan Ramadhan. Jika ini yang terjadi, maka sama halnya dengan orang yang mendirikan bangunan indah nan megah dengan biaya mahal, lalu Ia sendiri yang merobohkannya.

Relasi idul fitri dan pendidikan
Dunia pendidikan dan pengajaran dalam kehidupan kita, yang selama ini di rasakan kurang menyentuh aspek moralitas, harus dikembalikan kepada pendidikan dan pengajaran untuk memajukan peradaban. Jika tahun ini alokasi pendidikan pada APBN 2009 maupun 2010 mencapai 20 persen, pendidikan peradaban ini penting diperhatikan agar pendidikan nasional dapat memajukan peradaban bangsa, agar peradaban kita sejajar dengan bangsa lain.
Menurut Prof Musa Asyari pendidikan nasional Pada hakikatnya,adalah bagian dari peradaban bangsa, yang bertugas mengembangkan intelektualisme, menghargai keanekaragaman, meninggikan etika-moralitas dan kebersatuan. Karena itu, pendidikan nasional sebenarnya tidak boleh mendegradasi peradaban bangsa itu sendiri, seperti terlihat gejalanya sekarang, di mana konflik kekerasan justru terjadi di dunia pendidikan, seperti tawuran dan perusakan pilar-pilar akademik yang menjunjung tinggi rasionalitas, justru terjadi di perguruan tinggi kita yang seharusnya dijauhkan dari sikap-sikap antiperadaban. Perguruan tinggi adalah pusat peradaban, bukan pusat kebiadaban.
Kini, kita semua berada dalam suasana Idul Fitri, karena setelah melakukan olah jiwa massal selama sebulan, mereka kembali pada fitrahnya yang suci, seperti bayi yang dilahirkan kembali, bersih tanpa dosa. Sebagai bayi, kesucian yang dicapai melalui olah jiwa massal tidak akan berarti jika mereka kemudian kembali terjebak dalam kehidupan lama yang antiperadaban, sebagaimana perkembangan seseorang dari bayi hingga dewasa akan dipengaruhi pendidikan, pengajaran, dan lingkungan sosialnya.
Idul Fitri adalah momen kemanusiaan yang tidak boleh berlalu begitu saja karena semangat untuk kembali pada kesucian dasar manusia, pada hakikatnya, merupakan tonggak pencapaian spiritualitas baru untuk menghadapi tekanan kekuasaan duniawi yang kian vulgar. Tanpa kembali pada kesucian dasar manusia, tidak ada jalan keluar untuk membangun peradaban baru yang lebih manusiawi.

*PJ Biah Islamiyyah
SD Al Irsyad Al Islamiyyah 02 Purwokerto

idealisme guru

“Idealisme Guru”
Oleh Abdul Qohin
Idealisme vs Pragmatisme Guru
Mendengar kata idealisme, kira-kira hal apakah yang seketika itu terlintas dalam pikiran kita ? Suatu nilai luhurkah ? suatu hal yang langka dan sulit ditemui, atau bahkan mungkin mendengar kata idealism, hal yang pertama terlintas dalam pikiran kita adalah suatu hal yang terlalu mengada-ada dan mustahil untuk diwujudkan. Memang tidak dipungkiri bahwa persepsi yang demikian akan banyak dimiliki orang ketika mereka mendengar kata idealism.

Di Indonesia, cita-cita menjadi seorang guru, mungkin termasuk cita-cita yang amat mahal, karena hampir sebagian kecil saja dari orang Indonesia yang bercita-cita atau berminat menjadi seorang guru. Entah karena pekerjaan menjadi guru menuntut keahlian yang khusus, entah pula karena pekerjaan guru tidak menghasilkan imbalan yang menggiurkan.
Setiap pekerjaan paling tidak memuat dua konsekuensi. Pertama, pengabdian dan kedua adalah profesi. Pengabdian bagi seorang guru merupakan bagian yang tak dapat dipisahkan dalam seluruh aktifitasnya. Tentu saja hal ini berlaku bagi mereka yang memahami tugas itu sebenarnya.
Dengan melihat urgensi dari memiliki sebuah idealism, maka tak ragu lagi jika setiap pekerjaan yang kita lakukan, harus dilandasi dengan sebuah konsep idealism. Bila kita melihat lebih dalam lagi, sesungguhnya pekerjaan yang paling mudah untuk kita dalam menerapkan idealism adalah pekerjaan yang berhubungan dengan pengabdian.

Pengabdian, sesungguhnya memang merupakan tugas dan amanah yang diemban oleh tiap-tiap manusia. Pekerjaan ini sungguh sangat mulia untuk dilakukan. Salah satu pekerjaan yang berkaitan dengan pengabdian adalah menjadi seorang guru (pendidik). Menjadi seorang guru (pendidik) bukan perkara yang mudah. Sebab kita tidak hanya dituntut untuk dapat menyampaikan materi kepada peserta didik, tetapi lebuh dari itu, seorang pendidik sejati harus mampu mengubah peserta didiknya menuju ke arah yang lebih baik.

Paham mengenai sikap dan pandangan hidup seseorang yang mendasari pekerjaannya dapat dikatagorikan dua hal, yakni idealisme dan pragmatisme. Orang yang memiliki sikap dan pandangan hidup yang didasarkan pada nilai-nilai luhur dan cita-cita luhur disebut sebagai orang yang memiliki idealisme. Sedangkan orang yang memiliki pandangan dan sikap hidup yang didasarkan pada peroleh manfaat yang sebesar-besarnya dari banyak pilihan yang ada dihadapannya, disebut orang yang pragmatis.
Sejatinya, profesi Guru itu harus didasari oleh nilai-nilai idealisme ketimbang pragmatisme. Hal ini disebabkan karena profesi Guru merupakan profesi yang berhubungan langsung dengan benda hidup (manusia) bukan benda mati. Objek yang menjadi sasaran profesi guru senantiasa dinamis, berubah dan berkembang, sehingga menuntut kearifan dirinya untuk membaca tanda-tanda jaman yang sedang dihadapinya, kemudian ia berbuat sesuatu yang nyata dalam rangka mempersiapkan dan melahirkan generasi-generasi berikutnya yang juga mampu mewarisi kearifan pendahulunya.
Mendamba Guru Yang Idealis
Pernahkah kita menyaksikan film “Laskar Pelangi”? film fenomenal yang mebuat kita bertanya kembali, masih adakah sosok pendidik seperti itu di tanah air kita tercinta ini. Film ini mengisahkan tentang perjuangan anak-anak kampung belitong untuk dapat tetap menuntut ilmu, karena mereka yakin dengan ilmu maka mereka akan mampu mewujudkan mimpi-mimpi mereka. Di tengah kemarginalan yang harus mereka hadapi, semangat mereka untuk menuntut ilmu sungguh tinggi. Dengan dukungan dari dua orang guru yang tetap memegang teguh idealism dan keyakinan meraka untuk tetap mendidik sekelompok anak yang bernama Laskar Pelangi.
Sungguh, proses terbentuknya idealisme dalam diri bu Mus dan pak Arfan benar-benar terlukis dengan baik dalam film tersebut. Dimana idealisme yang awalanya terbangun oleh sebuah naluri kepahlawanan benar-benar terlihat pada diri bu Muslimah dengan melihat sosok ayahnya dan juga sosok pak Arfan. Kamudian naluri kepahlawanan itu diperkuat dengan adanya keberanian yang dimiliki oleh bu Mus dan pak Arfan dalam menghadapi berbagai tantangan yang siap menghadang langkah mereka dalam mendidik Laskar Pelangi. Kemudian nyawa keberanian tersebut dihembuskan oleh adanya kesabaran yang dimiliki baik oleh bu Mus maupun oleh pak Arfan. Lalu itu semua menghasilkan buah idealisme yang akhirnya membuat beliau berdua bertahan dalam mendidik Laskar Pelangi. Bisa saja kalau beliau berdua kehendaki, ketika ujian dan rintangan datang menghadang, mereka berhenti dan menyerah dalam menjadikan Laskar Pelangi menjadi manusia-manusia yang dapat bermanfaat bagi sekitarnya. Seperti semangat dan prinsip yang selalu dipegang teguh oleh pak Arfan yaitu “hidup untuk memberi sebanyak-banyaknya, bukan menerima sebanyak-banyaknya.”
Satu keprihatinan lagi yang muncul ketika kita menelisik lebih jauh lagi mengenai ada tidaknya idealism guru di Indonesia yang juga berhubungan dengan prinsip yang mengawali munculnya idelaisme yaitu berupa naluri kepahlawanan yang didapatkan dari hasil kekaguman. Jika dalam ilmu psikologi, dikenal teori belajar modeling Albert Bandura, maka ini juga yang berlaku dalam penciptaan idealism pada diri seseorang. Rasa kagum yang kemudian menimbulkan hasrat untuk dapat berbuat sama dengan orang dikagumi dapat diartikan sebagai pentingnya keteladanan dalam sistem pendidikan di Indonesia. Keteladanan atau contoh atau modelling dapat diperoleh dari lingkungan. Seorang murid yang kita asumsikan sebagai generasi penerus bangsa tempat ujung tombak bangsa ini ditentukan, akan sangat membutuhkan sosok yang dapat dijadikan sebagai model. Namun sayang dengan melihat kondisi sekarang, nampaknya kita harus bersedih dengan minimnya sosok guru yang dapat dijadikan sebagai model bagi generasi muda Indonesia. Ironi memang ketika akhirnya hal ini harus menjadi seperti “lingkaran setan” yang membayang-bayangi masa depan bangsa ini.
Untuk menghadirkan sosok yang bermutu guna mencapai pendidikan berkualitas, guru harus mendapatkan program-program pelatihan secara tersistem agar tetap memiliki profesionalisme yang tinggi dan siap melakukan inovasi. Penghargaan dan kesejahteraan yang layak atas pengabdian dan jasanya harus diberikan.
Dengan meningkatnya mutu guru, kita akan memiliki para guru yang mampu melahirkan nilai-nilai unggul dalam praktik dunia pendidikan. Karena itu, lahirlah sosok-sosok manusia yang memiliki karakter beriman, amanah, profesional, antusias dan bermotivasi tinggi, bertanggung jawab, kreatif, disiplin, peduli, pembelajar sepanjang hayat, visioner dan berwawasan, menjadi teladan, memotivasi (motivating), mengilhami (inspiring), memberdayakan (empowering), membudayakan (culture-forming), produktif (efektif dan efisien), responsif dan aspiratif, antisipatif dan inovatif, demokratis, berkeadilan, dan inklusif.
Belajar dari Bilal Bin robbah
Berbicara mengenai karakter apa yang harus dimiliki oleh seseorang ketika dia memutuskan untuk menjadi seorang guru (pendidik) dapat mengambil dari inspirasi Bilal bin Robbah, dimana dalam inspirasinya kita disentil akan pentingnya kesadaran dalam melakukan segala tindakan dalam hidup kita. Billal, yang seorang budak, memeluk agama Islam dengan penuh kesadaran. Dia mengerti benar konsekuensi yang harus ia hadapi ketika ia mengambil keputusan tersebut. Billal memeluk agama Islam, dia melakukannya dengan penuh kesadaran akkan pilihanb hidupnya. Inilah yang harus dimiliki oleh para calon pendidik di Indonesia. Mereka harus benar-benar sadar bahwa menjadi pendidik merupakan pilihan hidup mereka, dengan segala konsekuensi yang akan dihadapinya.
Mahdi Ghulsyani seorang cendekiawan muslim memandang guru merupakan kelompok manusia yang memiliki fakultas penalaran, ketakwaan, dan pengetahuan. Ia memiliki karakteristik bermoral, mendengarkan kebenaran, mampu menjauhi kepalsuan ilusi, menyembah Tuhan, bijaksana, menyadari dan mengambil pengalaman-pengalaman.
Dalam pepatah Jawa, guru adalah sosok yang digugu omongane lan ditiru kelakoane (dipercaya ucapannya dan dicontoh tindakannya). Menyandang profesi guru berarti harus menjaga citra, wibawa, keteladanan, integritas, dan kredibilitasnya. Ia tidak hanya mengajar di depan kelas, tapi juga mendidik, membimbing, menuntun, dan membentuk karakter moral yang baik bagi siswa-siswanya. Semoga dengan hal ini, para pendidik Indonesia memiliki idelaisme terhadap karya mereka untuk mencetak para pemimpin bangsa di masa akan datang. Wallohu’alam