Selasa, 29 September 2015

Rekomendasi Kebijakan BOS



“Rekomendasi Kebijakan
Tentang Bantuan Operasional Sekolah (BOS) ”
Oleh Abd Qohin

I.     Latar Belakang
Dari sekian banyak kebijakan-kebijakan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah hingga saat ini, kebijakan di bidang pendidikan merupakan salah satu yang sangat menjadi perhatian oleh sebagian pihak karena kebijakan di bidang pendidikan merupakan kebijakan mendasar yang sangat sentral dalam proses bernegara dengan pertimbangan tujuan akhir dari kebijakan pendidikan itu sendiri. Dalam perkembangan dunia pendidikan di Indonesia, berbagai program pendidikan telah diluncurkan oleh pemerintah sendiri seperti program wajib belajar 9 tahun, kebijakan pendidikan gratis, dan masih banyak program-program dalam upaya peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia. Salah satu dari berbagai program yang telah diluncurkan oleh pemerintah tersebut yang masih berlangsung hingga saat ini ialah pemberian dana Bantuan Operasional Sekolah atau yang disingkat BOS. Namun dalam pelaksanaannya masih banyak mengalami berbagai praktek  pelanggaran dan berbagai masalah tehnis di lapangan.
Berdasarkan laporan dari tempo menyatakan bahwa Tim penyidik Kejaksaan Negeri Jember memanggil dan memeriksa sedikitnya 900 orang kepala sekolah di Kabupaten Jember. Menurut Kepala Kejaksaan Negeri Jember Wilhelmus Lingitubun, para Kepala Sekolah itu akan diperiksa terkait kasus dugaan korupsi dalam penggunaan dana Biaya Operasional Sekolah (BOS) untuk pembelian laptop tahun 2009.[1] Di tempat terpisah, berdasarkan laporan tempo menyatakan bahwa belasan orang tua siswa mendatangi kantor Sekolah Menengah Pertama Negeri 2 Rejoso, Nganjuk. Mereka meminta sekolah menghentikan pungutan pendidikan yang kerap diberlakukan kepada siswa.[2]
Dengan melihat persoalan diatas maka kita akan berfikir jauh sebenarnya sudah sesuai dengan amanah Undang-Undang ataukah belum. Sebagaimana kita ketahui bahwa pendidikan merupakan sarana untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Oleh karena itu pendidikan memegang penting dalam mencapai tujuan tersebut. Untuk mewujudkan tujuan itu diperlukan sistem pendidikan yang baik. Sistem pendidikan yang baik memerlukan perencanaan pembiayaan agar tidak membebani masyarakat.
Di dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 5 dinyatakan bahwa “Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu”. Kemudian di pasal lain “Setiap warga negara yang berusia 6 (enam) tahun dapat mengikuti program wajib belajar.[3] Disamping itu Undang-Undang juga diamanatkan bahwa setiap warga negara berusia 7-15 tahun wajib mengikuti pendidikan dasar. Konsekuensi dari amanat Undang-Undang di atas maka dalam pasal 34 ayat 2 menyebutkan “Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya”. Hal ini menjelaskan bahwa pemerintah pusat dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan pendidikan bagi seluruh peserta didik pada tingkat pendidikan dasar[4] sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang tersebut. Selain itu juga dipertegas lagi dalam ayat 3 bahwa “Wajib belajar merupakan tanggung jawab negara yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat.”
Pelaksanaan mandat konstitusi, UUD 1945, tentang wajib belajar dijalankan dengan serius oleh Pemerintah. Dan ini ditunjukkan dengan tingginya nilai anggaran yang dialokasikan untuk bidang ini. Dalam rangka menjalankan amanah Undang-Undang tersebut, maka Pemerintah telah menyusun skala prioritas dengan menambah anggaran pendidikan atau bahkan dipenuhinya anggaran pendidikan yang 20 persen.[5] Model sistem pendidikan harus disusun dengan cermat sebab ini berkaitan dengan hak setiap warga Negara yaitu hak asasi setiap manusia. Satu catatan terpenting untuk pemerintah dan elit perguruan tinggi negeri bahwa warga miskin harus tetap bersekolah. Tantangan ini harus disambut dengan komitmen memberikan subsidi yang memadai dan menetapkan biaya pendidikan yang terjangkau bagi rakyat miskin.
Dalam rangka penuntasan wajib belajar (wajar) 9 tahun yang bermutu banyak program yang telah, sedang, dan akan dilakukan. Salah satu program yang diharapkan berperan besar terhadap percepatan penuntasan program wajib belajar yang bermutu adalah program Bantuan Operasional Sekolah (BOS).
            Salah satu indikator penuntasan program Wajib Belajar 9 Tahun dapat diukur dengan Angka Partisipasi Kasar (APK) SD dan SMP.  Pada tahun 2005  APK SD telah mencapai 115%, sedangkan SMP pada tahun 2009 telah mencapai 98,11%, sehingga program wajar 9 tahun telah tuntas 7 tahun lebih awal dari target deklarasi Education For All (EFA) di Dakar. Program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang dimulai sejak bulan Juli 2005, telah berperan secara signifikan dalam percepatan pencapaian program wajar 9 tahun. Oleh karena itu, mulai tahun 2009 pemerintah telah melakukan perubahan tujuan, pendekatan dan orientasi program BOS, dari perluasan akses menuju peningkatan kualitas.[6]
Dalam perjalannya banyak terjadi masalah dalam pendistribusian BOS yang menyebabkan terjadinya keterlambatan, penyelewengan oleh aparat, dan lain-lain. Oleh karena itu perlu di upayakan solusi yang tepat untuk mengurai permasalahan terkait dengan BOS. Setelah diurai dan dianalisis probemnya, maka diperlukan arahan rekomendasi yang tepat guna dalam rangka memecahkan berbagai masalah BOS. Untuk itu pemakalah berusaha menggali masalah, dari masalah itu kemudian pemakalah ingin kembangkan dalam bentuk mencari solusi sekaligus rekomendasi yang diharapkan memberikan sumbangsih akademik dan bermanfaat bagi para pengambil kebijakan.
II.     Pembahasan
A.  Gambaran Umum Program BOS
Sebelum pembahasan panjang lebar tentang Bantuan Operasional Sekolah (BOS), terlebih dahulu akan penulis jelaskan tentang kebijakan publik. Menurut Thomas Dye kebijakan Publik adalah apapun pilihan pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan (Public Policy is wathever government choose to do or not to do).[7] Definisi kebijakan publik tersebut mengandung makna bahwa kebijakan publik tersebut dibuat oleh badan pemerintah dan bukan organisasi swasta, kebijakan publik menyangkut pilihan yang harus dilakukan atau tidak dilakukan oleh badan pemerintah. Dengan adanya bantuan BOS yang diberikan kepada sekolah atau madrasah merupakan sebuah kebijakan publik dimana pemerintah memilih mengambil kebijakan tersebut.
James E Andersen mendefinisikan kebijakan publik sebagai kebijakan yang ditetapkan oleh badan-badan dan aparat pemerintah.[8] Dalam hal ini BOS merupakan kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah dalam bidang pendidikan. Sedangkan Wiliiam N. Dunn menyebut istilah kebijakan publik sebagai Pola ketergantungan yang kompleks dari pilihan-pilihan kolektif yang saling tergantung, termasuk keputusan-keputusan untuk tidak bertindak, yang dibuat oleh badan atau kantor pemerintah.[9]  Kebijakan Publik sesuai apa yang dikemukakan oleh Dunn mengisyaratkan adanya pilihan-pilihan kolektif yang saling bergantung satu sama lain, termasuk di dalamnya keputusan-keputusan untuk melakukan tindakan. Kebijakan publik tersebut dibuat oleh badan atau kantor pemerintah. Suatu kebijakan apabila sudah dibuat maka harus diimplementasikan untuk dilaksanakan oleh unit-unit administrasi yang memobilisasikan sumber daya finansial dan manusia.
Adapun pengertian BOS secara bahasa terdiri dari kata “bantuan” mempunyai arti barang yang dipakai untuk membantu; pertolongan; sokongan; mendapat kredit dari bank.[10] Penggunaan istilah ’bantuan’ pada Program BOS menunjukkan sifat dan kedudukannya yang menempatkan Pemerintah sebagai pihak donatur dan masyarakat yang dibantu sebagai pihak penerima dana. Sehingga tertangkap makna bahwa pelaksanaan program untuk membebaskan siswa (peserta didik) dari pungutan pendidikan adalah bantuan, pertolongan, sokongan dari Pemerintah kepada masyarakat. Sehingga menyiratkan arti bahwa pendidikan itu kewajiban masyarakat saja. Dan Pemerintah hanya bersifat membantu, menyokong, menolong dari kewajiban (tugas) masyarakat tersebut. Dari sini dapat dimaknai bahwa bantuan ini berlangsung sementara, berjangka waktu pendek, darurat, dan karitatif. Sedangkan operasional mempunyai arti secara (bersifat) operasi; berhubungan dengan operasi atau pelaksanaan suatu kegiatan yang dilaksanakan didasarkan pada aturan yang berlaku.[11]
Adapun sekolah dapat diartikan sebagai bangunan atau lembaga untuk belajar dan mengajar serta tempat menerima dan member pelajaran, menurut tingkatannya ada sekolah dasar, lanjutan dan tinggi. Dan sekolah bisa diartikan waktu atau pertemuan ketika murid diberi pelajaran. Dengan demikian maka penulis dapat simpulkan bahwa BOS merupakan bantuan yang diberikan oleh pemerintah kepada suatu lembaga pendidikan (sekolah) untuk membantu kelancaran pelaksanaan kegiatan belajar mengajar dan disusun dalam rencana kerja beserta aturan-aturan pelaksanaan.
Pemerintah secara serius terus menerus memperhatikan sektor pendidikan. Salah satu terobosan yang dilakukan adalah mencoba membangun pendidikan melalui Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Program ini bertujuan untuk meringankan beban biaya pendidikan bagi masyarakat yang kurang mampu.[12]
Program BOS merupakan salah satu program pemerintah dalam rangka untuk mewujudkan sekolah gratis. Program ini secara khusus bertujuan untuk menggratiskan siswa miskin ditingkat pendidikan dasar dari beban biaya operasional sekolah, baik sekolah negeri maupun swasta. Sasaran program BOS adalah semua sekolah SD/MI, SMP/MTs negeri maupun swasta di seluruh propinsi di Indonesia. Adapun besaran satuan biaya satuan BOS yang diterima oleh sekolah dihitung berdasarkan jumlah siswa dengan ketentuan untuk SD/SDLB sebesar Rp 580.000,-/siswa/tahun, sedangkan SMP/SMPLB sebesar Rp 710.000,-/siswa/tahun.[13]
BOS adalah program pemerintah yang pada dasarnya adalah untuk penyediaan pendanaan biaya operasi non Personalia[14] bagi satuan pendidikan dasar sebagai pelaksana program wajib belajar.[15] Program BOS muncul sebagai akibat adanya Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak pada Maret 2005 sebesar Rp 6,2 triliun dan telah merelokasikan sebagian besar anggaran yang dirancang untuk mengurangi beban masyarakat miskin akibat dampak dari kenaikan bahan bakar minyak. Dan kemudian merealokasi dana subsidi tersebut ke program-program bantuan sosial, seperti pendidikan, kesehatan, infrastruktur pedesaan, dan subsidi langsung tunai. Awalnya Depdiknas mengusulkan sebagai beasiswa bagi 9,6 juta peserta didik disemua jenjang sekolah. Akan tetapi, dalam perkembangannya BOS beberapa kali mengalami perubahan.[16] Ada empat sektor alokasi anggaran subsidi bahan bakar minyak antara lain untuk bidang pendidikan, Bidang kesehatan, bantuan infrastruktur pedesaan dan subsidi langsung tunai.
Untuk bidang pendidikan konsep Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak (PKPS-BBM) untuk SD dan SMP yang semula program Bantuan Khusus Murid (BKM) yang langsung diberikan kepada siswa/murid miskin yang telah diseleksi oleh sekolah sesuai alokasi anggaran yang diterima, program tersebut telah diubah menjadi Program Bantuan Opersional Sekolah (BOS) yang diberikan kepada sekolah untuk dikelola sesuai dengan ketentuan. Untuk menyamakan persepsi dan kesamaan pemahaman BOS secara singkat kita uraikan terlebih dahulu mengenai definisi Biaya Pendidikan dan terminologi program BOS. Biaya Satuan Pendidikan (BSP) adalah besarnya biaya yang diperlukan rata-rata tiap siswa tiap tahun, sehingga mampu menunjang proses belajar mengajar sesuai dengan standar pelayanan yang telah ditetapkan. Dari cara penggunaannya, BSP dibedakan menjadi BSP Investasi dan BSP Operasional. BSP Investasi adalah biaya yang dikeluarkan setiap siswa dalam satu tahun untuk pembiayaan sumberdaya yang tidak habis pakai dalam waktu lebih dari satu tahun, seperti pengadaan tanah, bangunan, buku, alat peraga, media, perabot dan alat kantor. Sedangkan BSP Operasional adalah biaya yang dikeluarkan setiap siswa dalam satu tahun untuk pembiayaan sumber daya pendidikan yang habis pakai dalam satu tahun atau kurang. BSP Operasional mencakup biaya personil dan biaya non personil.[17]
Secara konseptual sekolah menempati posisi kunci dalam penentuan penggunaan dana BOS, termasuk dalam penggunaan pemberian bantuan khusus untuk peserta didik miskin. Menurut ketentuan program, dana BOS dikelola oleh kepala sekolah dan guru atau tenaga administrasi yang telah ditunjuk sebagai bendahara BOS. Uang dikirimkan langsung ke rekening sekolah. Sekolah boleh menggunakan dana tersebut untuk beberapa jenis pengeluaran sesuai juklak program dan berdasarkan Rencana Anggaran Pendapatan Belanja Sekolah (RAPBS) yang disusun oleh kepala sekolah dan komite sekolah. RAPBS yang merupakan salah satu persyaratan untuk menerima BOS harus mendapat persetujuan komite sekolah.
Untuk menghindari dan mengurangi masalah yang berhubungan dengan penyalahgunaan wewenang, kebocoran dan pemborosan dan pungutan liar pemerintah telah membentuk tim pengawasan dalam penyelengaraan distribusi BOS melalui pengawas melekat (Waskat), pengawasan fungsional internal, ekternal, dan pengawasan masyarakat. Sehingga, melalui sistem pengawasan tersebut dapat diharapkan pendistribusian dana BOS dapat tepat sasaran bagi masyarakat miskin.   
B.  Ragam Persoalan BOS
          Keberlanjutan kebijakan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun, yang telah dicanangkan Pemerintah sejak tahun 2002, melalui Rencana Aksi Nasional Pendidikan Untuk Semua (RAN PUS), menjadi pertanyaan besar terkait dengan sumber pendanaan Program BOS. Sebagian pendanaan Program BOS ternyata berasal dari pinjaman luar negeri. Sumber anggaran Program BOS yang berasal dari hutang/pinjaman luar negeri ini akan menyebabkan kerentanan bagi keberlanjutan pelaksanaan Program BOS ini. Apalagi jika Pemerintah tidak memiliki kebijakan fiskal[18] yang jelas dalam strategi pendanaan pendidikan nasional dalam jangka menengah dan jangka panjang.
Pinjaman (hutang luar negeri) ini telah mendanai pelaksanaan program Pemerintah ini sejak Tahun 2008. Dan akan berjalan sampai 2012. Sumber pendanaan hutang ini berasal dari World Bank/IBRD sebesar USD 600 juta, dengan nama Bantuan Operasional Sekolah (School Operational Assistance)-Knowledge Improvement for Transparency and Accountability Project[19] dan di 2011 ini ditambah dengan dana hibah dari Pemerintah Australia AUD sebesar 26 juta, dengan nama BOS Training.[20]
Permasalahan yang muncul dari pinjaman luar negeri tersebut, setidaknya, ada dua. Pertama, jika Pemerintah gagal dalam melaksanakan Program BOS dan terjadi penyimpangan penggunaan dana BOS tersebut, maka Pemerintah terancam atau dapat berisiko terhadap proses replenishment dari Bank Dunia ke Pemerintah Indonesia. Kedua, jika kebijakan fiskal untuk pendidikan ini bersifat jangka panjang, mengingat komitmen pinjaman/hibah luar negeri kepada Pemerintah berjangka waktu cukup lama, membuat kebergantungan pada utang menjadi makin tinggi. Jika dihitung dari Tahun 2008, maka pendanaan ini sudah dan akan berlangsung selama 5 (lima) tahun.[21] Ketergantungan terhadap pinjaman/hibah luar negeri untuk mencapai keberhasilan mandat konstitusi ini sudah barang tentu tidak semestinya dilanjutkan dan harus diletakkan sebagai stimulus belaka. Stimulus dari utang atau hibah luar negeri ini sudah semestinya tidak bersifat permanen ataupun berjangka panjang. Apalagi Program BOS adalah program pendidikan yang semestinya membebaskan dan tidak menimbulkan beban bunga utang yang akumulatif bagi generasi muda masa depan, hasil dari Program Pendidikan ini.
Sejak dilaksanakan pada Tahun 2005, Program ini selalu berada dalam proses perbaikan terus menerus. Perbaikan-perbaikan baik dalam system atau mekanisme, persyaratan, peruntukan, dan satuan biaya atau nilai nominalnya di APBN mengalami kemajuan. Dan kesungguh-sungguhan Pemerintah ini cukup nampak dari terjadinya perubahan-perubahan kebijakan, di setiap tahunnya. Namun, meskipun telah diupayakan untuk menyajikan dan menyelenggarakan Program dengan baik, dan sesuai dengan upaya untuk bekerja menurut kerangka Good Governance,[22] Pemerintah tidak juga mampu atau berhasil menemukan sebuah formula yang tepat. Setidaknya,  bisa dikatakan bahwa Pemerintah sejauh ini telah berhasil meramu dengan arah dan bentuk program yang sudah mulai nampak kejelasannya. Kejelasan dalam format dan penerima manfaatnya. Akan tetapi, di sisi lain, masih ada saja praktek-praktek mal-administrasi[23] dan korupsi yang terjadi dan belum juga diperoleh penyelesaiannya. Dan Program BOS sebagai kebijakan wajib belajar merupakan salah satu program yang belum juga dapat terhindar dari kedua jenis praktek yang menyimpang dan melanggar hukum tersebut.
Program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dari awal program hingga saat ini masih memiliki berbagai macam masalah dalam implementasinya diantaranya penyaluran dana BOS. Efek atau akibat yang ditimbulkan dari permasalahan ini adalah terhambatnya pencapaian tujuan efisiensi dan efektivitas pengelolaan dana BOS tersebut. Dana BOS yang di Implementasikan oleh pemerintah sebagai kompensasi atas naiknya harga BBM ternyata banyak salah sasarannya. Total dana BOS tingkat SD dan SLTP tahun 2005 yang telah disalurkan mencapai Rp 5,136 triliun,sedangkan tahun 2006 RP 10,237 triliun. Seperti halnya dengan bantuan langsung tunai (BLT), implementasi dana BOS juga menuai banyak masalah, dana yang seharusnya digunakan untuk bantuan operasional sekolah siswa malah menjadi bancakan sekolah.
Hasil audit yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) tahu 2006 menunjukkan penggelembungan jumlah siswa di sekolah di 29 Propinsi dan hanya empat Propinsi yang tidak ditemukan kasus tersebut yaitu Lampung, Jambi, Gorontalo, dan Bali. Sebanyak 71, 6% tersalurkan dengan baik sedangkan sisanya tidak jelas rimbanya.[24]  Berdasarkan hasil kajian Indonesian Coruption Watch (ICW) tahun 2011 menyampaikan bahwa terjadi korupsi massal dan sistematis dalam penyelenggaraan dana BOS. Terjadinya Korupsi massal dan sistemis dipicu oleh 2 faktor yaitu keterlambatan penyaluran dan buruknya sistem pengawasan atas penggunaan dana BOS.[25]
Program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dinilai banyak kalangan belum transparan. Hal itu diketahui dari penelitian Bank Dunia yang menyatakan, program dana BOS tidak diketahui sebagian besar orangtua siswa. Penelitian Bank Dunia terhadap 3.600 orang tua pada 720 sekolah di Indonesia mengungkapkan sebagian besar orang tua pernah mendengar tentang BOS (86,13 persen). Adapula orangtua yang hanya mengetahui singkatan BOS (46,67 persen), mengetahui tujuan BOS (44,78 persen), mengetahui jumlah dana BOS (2,49 persen), dan mengetahui penggunaan BOS (25,51 persen).[26]
Kebijakan penyaluran dana BOS dari tahun 2005-2011 memiliki sisi positif atau kelebihan yang dapat diambil yaitu dengan menggunakan sistem kebijakan penyaluran dan pengelolaan dana tahun 2005-2011 perencanaan menjadi mudah dan cepat karena dialokasikan via Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) provinsi. Selain itu penyaluran dana ke sekolah juga cepat dan seragam antara sekolah negeri dan swasta, dana juga disalurkan sebagai hibah dan dalam sistem ini pemerintah provinsi berperan dominan sehingga memudahkan untuk dilakukannya monitoring dan evaluasi secara cepat. Adapun kelemahan dari sistem ini yaitu belum memenuhi amanat PP 38/2007 yang menyatakan bahwa urusan pendidikan dasar adalah kewenangan Kabupaten/ Kota sehingga dalam sistem ini peran dari Kabupaten/Kota menjadi minimalis serta tidak adanya sinkronisasi BOS dengan program Pemda Kabupaten/ kota. Kelemahan-kelemahan tersebut akhirnya menjadi dasar terjadinya perubahan mekanisme penyaluran dan pengelolaan dana BOS.
Dengan pola penyaluran dana BOS yang baru awal tahun 2012,[27] sama sekali tidak berimplikasi pada tertutupnya potensi masalah lama seperti penyelewengan anggaran, manipulasi data,kelemahan manajemen dan lain-lain. Justru terindikasikan bahwa pola baru tersebut membawa masalah baru, yaitu makin terbuka dan tersebarnya modus baru penyelewengan penggunaan anggaran BOS atas nama kegiatan yang dilakukan lembaga tertentu dan korupsi atas dana BOS.[28] Masalah itu terkait pola penyaluran baru seperti keterlambatan dan macetnya penyaluran BOS. Misalkan yang terjadi di kabupaten Garut[29], kabupaten Banyumas.[30] Sebagian besar terjadi pada saat dana BOS telah diterima di kas daerah, akan tetapi tidak segera dicairkan untuk sekolah-sekolah. Beberapa masalah langsung muncul mengikuti keterlambatan pencairan dana BOS. Beberapa sekolah terpaksa harus menanggung terlebih dahulu kebutuhan operasional sekolah hingga dana BOS cair. Bahkan, beberapa guru swasta dan honorer terpaksa tidak menerima gaji akibat BOS yang terlambat.[31] Disinyalir bahkan terjadi penyelewengan yang dilakukan dengan alasan keterlambatan yang  merupakan upaya yang disengaja untuk mendapatkan bunga dengan diendapkan dulu di bank.[32] Dalam beberapa kasus, dana BOS sering dipinjamkan ke pihak lain atau untuk membayar hutang dan bunga pinjaman. Lalu digunakan untuk membayar bonus dan transportasi rutin guru atau pihak luar sekolah.
Permasalahan Program BOS di Indonesia, secara konsep bahwa program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) diberikan untuk mengurangi beban masyarakat, khususnya masyarakat miskin atau tidak mampu agar mereka dapat memperoleh layanan pendidikan Wajib Belajar yang memadai dan bermutu. Akan tetapi, kenyataan di lapangan menujukkan bahwa masih terjadi ketidaksesuaian pengelolaan BOS. Permasalahan yang muncul seputar Bantuan Operasional Sekolah baik pada taraf nasional maupun pada tingkat daerah sebagai program penunjang wajib belajar 9 tahun yang dicanangkan oleh Diknas sangat beragam, mulai dari asal dana hingga penyaluran dan pengalokasiaannya. Masalah yang muncul saat ini adalah mengenai keterlambatan penyaluran dana Bantuan Operasional Sekolah sehingga menyebabkan banyaknya sekolah yang berusaha mencari pinjaman pada pihak ketiga agar dapat tetap menjalankan aktivitas kegiatan belajar mengajar.
Menurut laporan Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATIRO)[33] bahwa keterlambatan penyaluran disebabkan antara lain keterlambatan penerimaan kas daerah, minimnya sosialisasi dan kapasitas sekolah. Kendala yang berasal dari  kapasitas pihak sekolah. Setidaknya terpantau beberapa penyebab keterlambatan yang disebabkan kapasitas sekolah tersebut. Misalkan pertama, Pihak sekolah terlambat menyampaikan RKAS/APBS yang menjadi syarat pencairan dana BOS. Kedua Terkait kendala kapasitas adalah kesalahan pihak sekolah swasta dalam menyusun dokumen Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD). Padahal dokumen tersebut merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh sekolah swasta sebelum pencairan, ketiga, Sekolah belum dapat menyusun laporan/surat pertanggungjawaban (SPJ) penggunaan dana BOS secara efektif dan tepat waktu. Bahkan masih banyak yang melakukan kesalahan dalam penyusunannya.
Idealnya, dana BOS  seharusnya secara khusus  mampu mencapai sasarannya, yaitu membebaskan iuran siswa sebagaimana tujuan BOS itu sendiri. Namun dalam realitasnya banyak hal yang tidak sesuai dengan idelaitas. Tidak adil bila sekolah memaksakan diri “menyempurnakan” bangunan fisik gedung sekolah, meskipun terkesan gratis  tapi di sisi lain pelajar tetap harus mengeluarkan dana untuk membeli buku pelajaran, perlengkapan sekolah, SPP, hingga karya wisata. Dana BOS juga tidak hanya diperuntukkan bagi pemenuhan kesejahteraan tenaga pendidik. Baik pemerintah daerah maupun lembaga pendidikan harusnya fokus pada sasaran dana BOS sebagaimana yang diamanahkan, yaitu kepentingan operasional setiap pelajar.
C.  Faktor Pendukung dan Penghambat BOS
Sebelum merumuskan rekomendasi kebijakan terkait dengan BOS, maka akan penulis jelaskan terlebih dahulu faktor-faktor pendukung dan penghambat BOS dalam pelaksanaannya. Diantara faktor pendukung dari pelaksanaan program BOS antara lain pertama, adanya komunikasi antara pemerintah pusat dengan wilayah dalam penyaluran BOS. Karena komunikasi sangat penting dalam penyaluran informasi agar lebih efektif untuk mewujudkan implementasi, karena jika komunikasi yang ditujukan secara jelas dan benar maka pihak atau pelaku kebijaksanaan akan dapat mengetahui dan memahami apa yang disampaikan, seperti isi, tujuan dan arah kelompok sasaran yang dituju.  Agar mereka para pelaku kebijakan mengetahui dengan benar langkah apa yang akan direncanakan dan dijalankan, sehingga tujuan dan sasaran utama adanya kebijakan tersebut bisa dapat tercapai sesuai apa yang telah diharapkan sebelumnya.
Kedua, kerja sama yang baik antara pemerintah, dinas pendidikan, sekolah dan masyarakat sehingga penggunaan dana BOS menjadi transparan dan terarah sesuai dengan aturan yang ditetapkan dan peningkatan kualitas mutu pendidikan, seperti penambahan koleksi buku di perpustakaan dan pengembangan sarana prasarana semakin meningkat.
Ketiga, yaitu mengenai sumber daya yang ada pada sekolah, yakni terkait dengan sumber daya manusia dan sumber daya anggaran berupa dana. Pada sumber daya manusia untuk pelaksana program dana BOS disekolah disebut dengan Tim Manajemen BOS. Tim Manajemen BOS dibentuk melalui rapat yang dihadiri oleh kepala sekolah, semua staf dan guru beserta komite sekolah. dan jika telah disetujui siapa saja yang telah terpilih sebagai tim manajemen BOS maka akan disahkan dengan surat keputusan yang dibuat oleh kepala sekolah. jumlah Tim Manajemen BOS yang ada di sekolah sudah mencukupi, dan dibutuhkan persyaratan khusus bagi bendahara BOS. Sumber daya anggaran adalah dana BOS yang berasal dari Tim Manajemen BOS pusat diberikan melalui rekening sekolah. Besar dana yang diberikan oleh pemerintah disesuaikan dengan jumlah berapa siswa yang bersekolah pada masing-masing sekolah. Berkaitan dengan kecukupan dana, maka dana BOS bisa dikatakan mencukupi kebutuhan operasional sekolah.
Faktor yang keempat  mengenai disposisi yaitu sikap para pelaksana kebijakan.[34] Sikap para pelaksana kebijakan di sekolah menerima dan mendukung sepenuhnya karena telah diberlakukannya program dana BOS di sekolah. implementasi program dana BOS adalah semua pihak pelaksana atau Tim Manajemen BOS melakukan semuanya dengan baik, dan mengikuti sesuai dengan peraturan yang ada. Selain itu dengan adanya buku panduan petunjuk teknis penggunaan dana BOS yang dapat mempermudah dalam melaksanakan program dana BOS di sekolah. Buku pedoman tersebut dirasa dalam melakukan program lebih mudah karena ada yang menjadi acuan. Sehingga dalam pelaksanaannya tidak menyimpang dari peraturan yang dibuat pemerintah.
Adapun faktor penghambatnya antara lain, pertama,  minimnya dana BOS serta tidak mencukupi untuk melaksanakan semua kegiatan yang ada di Madrasah, pencairan dana BOS yang terkadang kurang tepat waktu sehingga dapat menghambat proses pelaksanaan kegiatan yang telah ditetapkan oleh Madrasah.[35] Kedua, minimnya sosialisasi dan transparansi tentang pelaksanaan program BOS, baik kepada guru maupun kepada orang tua.[36] Hal ini menyebabkan proses pengawasan tidak melibatkan orang tua. Selama ini sosialisasi (kebijakan) dana BOS identik dengan model manajemen informasi satu arah dan model atas bawah di tubuh pemerintah/birokrasi kepada masyarakat (publik), padahal informasi yang dimiliki oleh pemerintah tidak bebas nilai, banyak kasus di lapangan menunjukkan bagaimana institusi pemerintah mencoba menyuguhkan sekumpulan informasi yang berseberangan dengan kepentingan publik.
Ketigajika penyaluran dana BOS tidak tepat waktu, sehingga sekolah harus  mencari pinjaman dahulu untuk membiayai kebutuhan sekolah. Hal ini terjadi karena sekolah tidak punya cadangan anggaran untuk membiayai operasional sekolah. Semua tertumpu pada BOS. Keempatberupa faktor  penghambatnya berupa malas membuat laporan dan tidak ada petugas administrasi yang menangani secara khusus.
D.  Rekomendasi Kebijakan
Rekomendasi secara bahasa dapat diartikan dalam dua pengertian, 1. hal minta perhatian bahwa orang yang disebut dapat dipercaya, baik (biasa dinyatakan dengan surat); penyuguhan; 2. Saran yang menganjurkan, (membenarkan, menguatkan): pemerintah atau menyetujui. Merekomendasikan artinya  memberikan rekomendasi; menasihatkan; menganjurkan.[37]  Sedangkan kebijakan adalah  adalah tindakan-tindakan atau kegiatan yang sengaja dilakukan atau tidak dilakukan oleh seseorang, suatu kelompok atau pemerintah yang di dalamnya terdapat unsur keputusan berupa upaya pemilihan diantara berbagai alternatif yang ada guna mencapai maksud dan tujuan tertentu.
Kebijakan publik tidak hadir dalam ruang hampa. Kebijakan publik merupakan alat (tool) dari suatu komunitas yang melembaga untuk mencapai social beliefs about goodness. keberhasilan atau kegagalan kebijakan publik dalam mencapai goodness secara efektif akan melahirkan kepercayaan sosial baru. Di satu sisi, keberhasilan kebijakan publik akan memperkuat (strengthening) kepercayaan sosial yang dipegang, di sisi yang lain kegagalan kebijakan publik akan melemahkan bahkan dapat meruntuhkan kepercayaan sosial yang dipegang.[38]
Pembuatan kebijakan publik biasanya terdiri dari berbagai macam komponen (unsur). Masing-masing komponen tersebut dihubungkan oleh komunikasi serta mekanisme umpan balik yang memungkinkan untuk berinteraksi dengan cara yang berlainan. Proses kebijakan publik pada dasarnya adalah suatu proses, yakni merupakan suatu kegiatan yang berkesinambungan yang berlangsung dalam satu struktur. Pembuatan proses kebijakan publik merupakan kegiatan yang dinamis karena ia dapat berubah sepanjang waktu. Perubahan itu mungkin menyangkut langkah-langkah atau tahapan-tahapan dari sub-sub prosesnya maupun tahapan-tahapan yang teradapat didalam sub-sub proses itu sendiri.[39]
Prosedur analisis kebijakan dari rekomendasi memungkinkan analisis menghasilkan informasi tentang kemungkinan serangkaian aksi di masa mendatang untuk menghasilkan konsekuensi yang berharga bagi individu, kelompok, atau masyarakat seluruhnya. Prosedur rekomendasi meliputi transformasi informasi mengenai kebijakan di masa depan kedalam informasi mengenai aksi-aksi kebijakan yang akan menghasilkan keluaran yang bernilai. Untuk merekomendasikan suatu tindakan kebijakan khusus diperlukan adanya informasi tentang konsekuensi-konsekuensi dimasa depan setelah dilakukannya berbagai alternatif tindakan. Sementara itu, membuat rekomendasi kebijakan juga mengharuskan kita menentukan alternatif mana yang paling baik dan mengapa. Oleh karenanya prosedur analisis kebijakan dari rekomendasi terkait erat dengan persoalan etika dan moral.[40]
William N. Dunn mengemukakan beberapa kriteria rekomendasi kebijakan yang sama dengan kriteria evaluasi kebijakan, kriteria rekomendasi kebijakan terdiri atas prinsip :[41] pertama, Efektifitas (effectiveness), hal ini berkenaan dengan apakah suatu alternatif mencapai hasil (akibat) yang diharapkan, atau mencapai tujuan dari diadakannya tindakan. efektifitas. Kedua, Efisiensi (efficiency), hal ini berkenaan dengan jumlah usaha yang diperlukan untuk menghasilkan tingkat efektifitas tertentu. Ketiga, Kecukupan (adequacy), berkenaan dengan seberapa jauh suatu tingkat efektifitas memuaskan kebutuhan, nilai, atau kesempatan menumbuhkan adanya masalah. Kriteria kecukupan menekankan pada kuatnya hubungan antara alternatif kebijakan dan hasil yang diharapkan. Keempat, perataan (equity), kebijakan yang akibatnya (misalnya, unit pelayanan atau manfaat moneter) atau usaha (misalnya biaya moneter) secara adil didistribusikan. Kelima, Responsivitas (responsiveness), berkenaan dengan seberapa jauh suatu kebijakan dapat memuaskan kebutuhan, preferensi, atau nilai kelompok-kelompok masyarakat tertentu. Dan keenam, Ketepatan (appropriateness). Kriteria ketepatan secara dekat berhubungan dengan rasionalitas, substantif, karena pertanyaan tentang ketepatan kebijakan tidak berkenaan dengan satuan kriteria individu tetapi dua atau lebih kriteria secara bersama-sama. Ketepatan merujuk pada nilai atau harga dari tujuan program dan kepada kuatnya asumsi yang melandasi tujuan-tujuan tersebut.
Berdasarkan penelaahan permasalahan di atas maka penulis  merekomendasikan beberapa beberapa rekomendasi kebijakan dapat dirumuskan berikut ini. Pertama, Kebijakan fiskal Pemerintah terhadap pendidikan sudah seharusnya menempatkan unsur keberlanjutan dan keadilan sebagai prinsip utama. Keberlanjutan, berarti keberadaan sumber dana dari pinjaman atau hibah luar negeri harus ditempatkan sekedar sebagai kontribusi sesaat atau stimulus fiskal bagi Pemerintah. Dan mengupayakan sumber dana yang berkelanjutan menjadi prioritas nasional yang semestinya dikejar Pemerintah dalam rentang waktu pendek dan menengah. Sudah waktunya bagi Pemerintah untuk melepaskan diri dari ketergantungan dari utang/hibah luar negeri. Dan juga mengupayakan pilihan-pilihan kebijakan fiskal yang lebih berkelanjutan dan memperkuat desentralisasi dan demokrasi.
Kedua, untuk mendorong agar penyaluran dana BOS tidak lambat, Pemerintah mesti menyelesaikan terlebih dahulu segala peraturan pelaksanaannya secara lebih jelas dan mudah dipahami oleh pihak-pihak terkait terutama pihak sekolah. Kesalahan dalam kelambanan penyaluran sesungguhnya tidak seluruhnya ada ditangan penyelenggara pendidikan dalam hal ini sekolah.
Ketiga, untuk menghindari keterlambatan BOS maka diperlukan program Peningkatan kapasitas sekolah, terutama SD/SDLB, mesti menjadi prioritas sehingga memiliki kemampuan dalam menjalankan program BOS secara baik, terbuka, dan akuntabel, yang berarti sama artinya mengelola APBS secara transparan, partisipatif, dan akuntabel. Upaya sosialisasi maupun bimbingan teknis kepada para aktor atau aparat yang berperan dalam proses penyaluran dana BOS harus ditingkatkan dikarenakan masalah-masalah yang timbul dalam penggunaan dana BOS akibat kurang pahamnya para implementator dalam merealisasikan poin-poin program dalam BOS secara baik. Pada akhirnya dana BOS ditinjau dari segi benefit sangat membantu masyarakat khususnya bagi mereka yang akan menyekolahkan anaknya dengan keterbatasan ekonomi, olehnya itu hendaknya kebijakan ini dapat terus berlanjut dan anggarannya dapat terus ditambah.
Keempat, di samping Point 2, masih  terkait soal  keterlambatan BOS maka  semuanya akan ditarik kembali oleh pusat. Untuk selanjutnya akan dipilah daerah mana saja yang dianggap telah siap menyalurkan dana BOS dan daerah berkomitmen dengan siap diawasi baik oleh komite sekolah maupun pihak LSM dan pihak-pihak terkait lainnya.
Kelima, Untuk menghindari tindak penyelewengan dan penyalahgunaan BOS, maka Monitoring dan evaluasi menjadi kunci dalam penyelenggaraan setiap program Pemerintah termasuk program BOS. Peran pemerintah dalam pengawasan penyaluran dana BOS menjadi hal penting dalam realisasi kebijakan BOS ini, hal ini untuk meminimalisir terjadinya penyimpangan-penyimpangan dalam anggaran BOS, selain itu tim pengawas yang akan memonitor, ataupun yang akan mengawasi adalah yang memiliki tingkat profesionalisme dan independensi yang tinggi sehingga proses transparansi dapat diterima oleh masyarakat. Selain dengan membentuk Tim Monitoring dan Evaluasi (Monev) dari internal, perlu pelibatan lembaga di luar program misalnya melibatkan tim monitoring perguruan tinggi, DPR, unsur masyarakat misal dewan Pendidikan, LSM maupun lembaga-lembaga yang concern terhadap masalah pendidikan.
 Keenam, sosialisasi program BOS kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Karena domainnya berada dalam lingkup kebijakan publik maka kebijakan informasi dan komunikasi menyangkut sosialisasi BOS mesti dirumuskan dengan kebijakan pemerintah, maka sudut pandangnya isi (content) materi pembahasannya mesti dikaji dengan berbagai pendekatan disiplin keilmuan. Oleh karena itu, ketika sosialisasi BOS dinilai sebagai kebijakan komunikasi/informasi dalam suatu sistem komunikasi negara, maka kecenderungan yang harus dimunculkan adalah bahwa kebijakan itu menyangkut kepentingan publik (masyarakat alias orang banyak). Kecenderungan komunikasi itu, juga diharapkan dapat memelopori perubahan, utamanya perubahan dan peningkatan pemahaman publik terhadap sosialisasi BOS sebagai sebuah kebijakan publik.[42]
Ketujuh, selain sosialisasi, Tentang kelangkaan pegawai administrasi di SD/MI, diharapkan pemerintah memberikan perhatian terhadap masalah ini. Mungkin pemerintah dapat mulai memprogramkan pengangkatan pegawai administrasi untuk SD/MI. Sementara itu, bagi sekolah yang belum memiliki pegawai administrasi dapat mengatasinya dengan mengangkat tenaga honor.
Kedelapan,  penegakan sanksi tegas juga harus dilaksanakan. Sanksi yang dapat diberikan kepada mereka yang melakukan pelanggaran dapat diberikan dalam bentuk misalkan Penerapan sanksi kepegawaian sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku (pemberhentian, penurunan pangkat, mutasi kerja), Penerapan tuntutan perbendaharaan dan ganti rugi, Penerapan proses hukum dan  Pemblokiran dana untuk penyaluran periode berikutnya dan penghentian sementara seluruh bantuan pada tahun berikutnya kepada Kab/Kota dan Propinsi, bilamana terbukti pelanggaran tersebut dilakukan secara sengaja dan tersistem untuk memperoleh keuntungan pribadi, kelompok, atau golongan.
III.     Penutup
A.  Kesimpulan
Program BOS merupakan salah satu program pemerintah dalam rangka untuk mewujudkan sekolah gratis. Program ini secara umum  bertujuan untuk meringankan beban biaya pendidikan bagi masyarakat yang kurang mampu. Dan lebih khusus lagi bertujuan untuk menggratiskan siswa miskin ditingkat pendidikan dasar dari beban biaya operasional sekolah, baik sekolah negeri maupun swasta. Sasaran program BOS adalah semua sekolah SD/MI, SMP/MTs negeri maupun swasta di seluruh propinsi di Indonesia.
Namun dalam prakteknya banyak sekali kendala dan masalah yang dihadapi. Diantara kendala yang dihadapi adalah keterlambatan penyaluran ke sekolah-sekolah, penyelewengan dan penyalahgunaan BOS, korupsi, dan masih banyak lagi. Untuk itu perlu diurai dan dianalisis penyebab persoalan tersebut. Setelah dianalisis maka perlu dirumuskan dan  rekomendasi dari pihak berbagai pihak untuk menyelesaikan masalah tersebut.
B.  Saran
Berdasarkan hasil pembahasan di atas, maka disarankan beberapa hal yang perlu mendapat perhatian terutama dari para pelaku pendidikan, yang antara lain sebagai berikut: Perlu peningkatkan partisipasi masarakat melalui pemberdayaan komite sekolah dan seluruh pengelola sekolah untuk ikut terlibat aktif mengawasi penggunaan dan BOS
Bagi pemerintah selaku pembuat kebijakan, Program BOS yang sudah dilaksanakan hendaknya dapat terus dilanjutkan tetapi tetap dengan mempertimbangkan upaya peningkatan partisipasi masarakat, Petunjuk teknis tentang pengunaan dana Program BOS hendaknya lebih disempurnakan sehingga tercipta partisipasi yang tinggi masalah pendidikan dan pendanaan dari masarakat tetapi tetap berkeadilan sosial. Disamping itu monitoring dan evaluasi berkala juga harus dilakukan dengan melibatkan elemen masyarakat yang concern terhadap masalah BOS.

DAFTAR PUSTAKA
Alam S, Ekonomi 2, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2007)
Burhan, Bungin. Konstruksi Realitas Sosial Media Massa. Jakarta: Prenada Media, 2006)
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, (Jakarta: Balai Pustaka,2005)
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Petunjuk  Teknis Pengunaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Dana Bantuan Operasional  (BOS) Tahun 2013
Dunn, William N, Pengantar Analisis Kebijakan Publik., edisi kedua, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2003)
Isjoni, Pendidikan sebagai Investasi Masa Depan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006)
Koirudin, Sketsa Kebijakan Desentralisasi Di Indonesia Format Masa Depan Otonomi Menuju Kemandirian Daerah, (Malang : Averroes Press, 2005)
Peraturan Pemerintah  No 48 tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) No. 20 tahun 2003
Panduan Penghitungan Biaya Operasional Satuan Pendidikan oleh BSNP  versi Juni 2011
Nugroho,Riant,  Public Policy, (Jakarta : Elex Media Kopunindo, 2009)
Solichin, Abdul Wahab. Pengantar Analisis Kebijakan Publik, (Malang : UMM Press, 2008)
Rosihan, Widi Nugroho, Nina Widowati dan Rihandoyo, Implementasi Kebijakan Penggunaan Dana Bantuan Operasional Sekolah di Kota Semarang (Studi Kasus di Sekolah SMP Semarang Selatan Tahun 2011) dalam ejournal-s1.undip.ac.id
Saharudin, Kahar dan Lukman, Peta Masalah Program BOS Konsistensi Mandat, Keberlanjutan, dan Akuntabilitas, ( Jakarta: Pusat Telaah dan Informasi Regional, 2011)
Subarsono, AG, Analisis  Kebijakan Publik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008)
Thoha, Mifthah, Birokrasi dan Politik Indonesia, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2003)
Sumber Koran :
“BOS belum juga Cair”, Harian Suara Merdeka, Senin 29 April 2013
Naimah Zahrotun, “Menggugat Korupsi Bantuan Sekolah”, Jawa Pos, 23 Nopember 2006
Sumber Internet :
Anshori, M, “Akuntabilitas Pelaksanaan BOS Di Kabupaten Gresik (Studi Tentang Akuntabilitas Administrasi dan Akuntabilitas Profesional dalam Program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) di Dinas Pendidikan Kabupaten Gresik), lihat http://elibrary.ub.ac.id
“BOS belum juga Cair”, Harian Suara Merdeka, Senin 29 April 2013.
BOS belum Cair, Gaji Guru Swasta Tertunda”Lihat di http://palembang.tribunnews.com
Dianingtyas, Ervin Restu, “Perception Executing The Implementation Of School Operational Grant Program”, dalam ejournal.unesa.ac.id
Ferdiansyah, Fani, “Dana BOS belum Cair, Madrasah Bisa Bangkrut” lihat dalam http://sindonews.com
Mahbub, Junaidi, Kasus Korupsi BOS, 900 Kepala Sekolah diperiksa dalam www.tempo.co
Mutia, Annisa, Program BOS Belum Transparan, dalam http://www.republika.co.id
Politisasi Dana BOS” dalam Koran Jurnal Pusat Kajian Startegis Pembangunan Daerah, dalam http://www.koranjurnalpkspd.com
Setiabudi, Prawira, “Sembilan Daerah Endapkan Dana BOS” http://www.waspada.co.id
Syaekhudin, “Makasar Endapkan Dana BOS RP 32,8 M”, Lihat http://m.tribunnews.com
Triwasono,Hari, Orang tua Miskin Protes Pungutan, Lihat www.tempo.co
Weda, Sukardi, Efektifitas Program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk Meningkatkan Mutu Layanan Pendidikan Dasar 9 tahun (Tesis) dalam http://lib.ui.ac.id
Zaenul, Muhtar, BOS belum Cair, Kepsek di Garut Jual Kambing, Lihat dalam www.m.inilah.com 



[1] Berdasarkan informasi yang dihimpun Tempo, Rabu, 4 april 2012, pembelian laptop merupakan kebijakan Dinas Pendidikan Nasional Jember pada pertengahan 2009 ketika masih dipimpin Achmad Sudiyono. Sebanyak 1.282 sekolah dasar dan sekolah dasar luar biasa penerima dana BOS wajib membeli satu unit laptop. Dari 1.282 sekolah penerima dana BOS, yang diwajibkan membeli laptop itu terdiri dari 918 SD negeri, 1 SD luar biasa, 95 SD swasta, 85 SMP negeri, serta 183 SMP swasta dan SMP terbuka. Pembelian laptop sarat dengan penyimpangan. Selain merek sudah ditentukan, yakni ACER Extensa 4630Z 14 inci, harganya digelembungkan menjadi Rp 10,5 juta per unit. Padahal harga di pasar saat itu Rp 5,5-6 juta. Pembeliannya pun harus dilakukan di toko yang sudah ditunjuk. Salah satunya CV Tri Putra Witjaksana milik David Gunawan yang bekerja sama dengan Enggarwati, seorang rekanan dari Surabaya. Lihat Mahbub Junaidi, Kasus Korupsi BOS, 900 Kepala Sekolah diperiksa dalam www.tempo.co tanggal 4 april 2013, di akses 1 Mei 2013, Jam 12.30
[2] Para orang tua meminta seluruh pungutan biaya pendidikan dihentikan karena memberatkan. "Ini sekolah negeri, masak bayarnya mahal sekali," kata Rini, salah satu wali murid, Kamis 12 April 2012. Pungutan tersebut antara lain biaya les atau tambahan pelajaran, pembelian buku penunjang, pembangunan gedung sekolah, serta sumbangan lain. Nilainyapun, untuk uang gedung misalnya dipungut Rp 300 ribu. Padahal orang tua siswa kebanyakan bekerja sebagai buruh tani. Hari Triwasono, Orang tua Miskin Protes PungutanLihat www.tempo.co tanggal 12 april 2013, di akses 1 Mei 2013, Jam 12.30
[3] Lihat Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) No 20 tahun 2003 Bab VIII pasal 34 ayat 1. 
[4] Yang dimaksud  Pendidikan dasar adalah jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah. Pendidikan dasar berbentuk Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat. Lihat pasal 17 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) No 20 tahun 2003.
[5] Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Lihat Pasal 49 UU Sisdiknas tentang Pengalokasian Dana Pendidikan.
[6] Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Petunjuk Teknis Pengunaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Dana Bantuan Operasional  (BOS) Tahun 2013, hal. 1
[7] AG Subarsono, Analisis  Kebijakan Publik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hal. 2.
[8] AG Subarsono, Analisis, hal. 2.
[9] William Dunn, Pengantar Analisis Kebijakan Publik., edisi Kedua, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press : 2003), hal. 132.
[10] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,1989), hal. 79
[11] Ibid, hal. 800.
[12] Isjoni, Pendidikan sebagai Investasi Masa Depan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006), hal. 58.
[13] Lihat Petunjuk Tehnik Penggunaan dan Pertanggungjawaban Keuangan BOS 2013
[14] Biaya nonpersonalia meliputi bahan atau peralatan pendidikan habis pakai, dan biaya tak langsung berupa daya, air, jasa telekomunikasi, pemeliharaan sarana dan prasarana, uang lembur, transportasi, konsumsi, pajak, asuransi, dan lain sebagainya. Penjelasan Pasal 3 PP No 48 tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan.
[15] Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Petunjuk, hal. 2
[16] Perubahan tersebut dapat dilihat misalnya pada tahun 2006 anggaran BOS sebesar Rp 10,29 triliun, pada tahun 2007 sebesar  Rp 9,84 triliun, pada tahun 2008  sebesar Rp 10,01 triliun, tahun 2009 sebesar Rp 16,04 triliun, tahun 2010 sebesar Rp 16,52 triliun, tahun 2011 sebesar Rp 16,26 triliun, lihat  Saharudin dan Lukman, Peta Masalah Program BOS Konsistensi Mandat, Keberlanjutan, dan Akuntabilitas, ( Jakarta: Pusat Telaah dan Informasi Regional, 2011), hal. 36. Sedangkan tahun 2012 naik menjadi 26,6 triliun.
[17] Lihat Panduan Penghitungan Biaya Operasional Satuan Pendidikan oleh BSNP  versi Juni 2011, hal 5-6.
[18]Kebijakan fiskal adalah kebijakan penyesuaian dibidang pengeluaran dan penerimaan keuangan Negara.  Tujuannya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan cara menyesuaikan pengeluaran dan penerimaan pemerintah.  Alam S, Ekonomi 2, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2007), Hal. 57-58.
[19]Disingkat dengan istilah BOS-KITA.
[20]Saharudin dan Lukman, Peta Masalah Program BOS Konsistensi Mandat, Keberlanjutan, dan Akuntabilitas, ( Jakarta: Pusat Telaah dan Informasi Regional, 2011), hal. 15.
[21] Saharudin dan Lukman, Peta, hal.17.
[22] Konsepsi good governance muncul dalam pemahaman mengenai perlunya perubahan wacana pemerintahan, yaitu dari konsep yang selama ini dipakai (pemerintah atau government) menjadi pemerintahan (governance). Konsep governance lebih bermakna dinamis dan akan sulit dimanipulasi, sedangkan government lebih statis sehingga, dengan demikian, akan mudah dimanipulasi oleh pihak yang mengendalikannya. Lihat  Koirudin, Sketsa Kebijakan Desentralisasi Di Indonesia Format Masa Depan Otonomi Menuju Kemandirian Daerah, (Malang : Averroes Press, 2005), hal.159.  sedangkan menurut United Nations Development Programme (UNDP) merumuskan istilah governance sebagai suatu exercise dari kewenangan politik, ekonomi, dan administrasi untuk menata, mengatur dan mengelola masalah-masalah sosialnya. Istilah “governance” menunjukkan suatu proses di mana rakyat bisa mengatur ekonominya, institusi dan sumber-sumber sosial dan politiknya, tidak hanya dipergunakan untuk pembangunan, tetapi juga untuk menciptakan kohesi, integrasi dan untuk kesejahteraan rakyatnya. Dengan demikian jelas sekali, bahwa kemampuan suatu negara mencapai tujuan-tujuan pembangunan itu sangat tergantung pada kualitas tata kepemerintahannya di mana pemerintah melakukan interaksi dengan organisasi-organisasi komersial dan civil society. Lihat Mifthah Thoha, Birokrasi dan Politik Indonesia, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2003), hal. 63 
[23]Misalkan sekolah membelanjakan Dana BOS secara tidak tepat atau tidak sesuai dengan peruntukannya. Sekolah melakukan manipulasi terhadap surat pertanggungjawaban dengan membuat kuitansi fiktif. Seperti kuitansi percetakan soal ujian sekolah, pembelian buku. Buku yang dibeli dari dana BOS Buku tidak sesuai dengan buku panduan BOS dan tidak dapat dimanfaatkan.
[24] Naimah Zahrotun, “Menggugat Korupsi Bantuan Sekolah”, Jawa Pos, 23 Nopember 2006
[25]Rosihan, Nina Widowati, Rihandoyo, Implementasi Kebijakan Penggunaan Dana Bantuan Operasional Sekolah di Kota Semarang (Studi Kasus di Sekolah SMP Semarang Selatan Tahun 2011) dalam ejournal-s1.undip.ac.id
[26] Education Sector Leader World Bank, Mae Chu Chang, mengatakan program yang dimulai sejak 2005 itu seharusnya diketahui para orangtua untuk mewujudkan program Wajib Belajar 9 Tahun. Karena, dengan pengetahuan program BOS, biaya sekolah menjadi murah dan gratis benar-benar dirasakan masyarakat miskin. Dari hasil analisis penelitian Bank Dunia lainnya, terungkap bahwa sekolah juga jarang memberikan informasi atau diundang ke sekolah untuk berdialog seputar program BOS. Bahkan, di sekolah sendiri pun tidak ada pengumaman tentang penyaluran dana BOS. Biasanya mereka mendapatkan informasi sedikit dari media. Harian Republika, Annisa Mutia, Program BOS Belum Transparan, 11 Agustus 2010, lihat dalam http://www.republika.co.id di akses 4 April 2013, Pukul 13.00
[27] Secara umum, penyaluran BOS sebelum tahun 2012 dapat dijelaskan bahwa aliran dana BOS tersebut dimulai dari Rekening Kas Umum Negara, dana ditransfer ke Rekening Kas Umum Daerah (tahap pertama), dengan cara pemindahbukuan. Dari Rekening Kas Umum Daerah, dana yang telah diterima dikirim ke rekening Dinas Pendidikan (tahap kedua, negeri), lalu dari situ ditransfer ke rekening sekolah negeri (tahap ketiga), atau dari Rekening Kas Umum Daerah, dana ditransfer ke rekening sekolah swasta (tahap kedua, swasta). Namun Mulai tahun 2012 terjadi perubahan pola penyaluran yaitu  pemerintah menyalurkan langsung ke Propinsi dan Propinsi menyalurkan langsung BOS ke rekening Sekolah. Lihat Program Bantuan Operasional tahun 2012 dalam bos.kemdikbud.co.id, diakses 2 mei 2013
[28] Di Indramayu hampir disemua sekolah, APBS (Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah) yang dirancang oleh Sekolah bersama (Ketua) Komite Sekolah menjadi bersifat manipulatif dan tidak realistik. Jauh dari tansparansi dan akuntabilitas, dan APBS disimpan sendiri oleh Kepala Sekolah dan Ketua Komite Sekolah. Para orang tua murid tidak bisa melakukan pengawasan terhadap penyalahgunaan dana BOS, karena APBS tidak diberikan kepada para orang tua siswa.Terjadinya penyalahgunaan penggunaan dana BOS tersebut di antaranya adalah dana BOS dipakai untuk kegiatan atas nama pembinaan PB. PGRI, Diklat Silabus dan RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran), di mana setiap Kepala Sekolah harus wajib bayar Rp 300.000,00/Dua kali kedatangan sebagai peserta. Guru yang belum bersertifikasi wajib bayar Rp 300.000,00/Dua kali kedatangan sebagai peserta dan Guru yang sudah bersertifikasi wajib bayar Rp 450.000,00/Tiga kali kedatangan sebagai peserta, dengan mendapatkan snack dan makan siang untuk setiap kali kedatangannya. “Politisasi Dana BOS” dalam Koran Jurnal Pusat Kajian Startegis Pembangunan Daerah, senin 14 Mei 2012 di http://www.koranjurnalpkspd.com di akses tanggal 2 Mei 2013 pukul 08.30 WIB
[29] Misalkan tahun 2011 banyak terjadi kemacatan dan keterlambatan penyaluran BOS sehingga Kementrerian Pendidikan dan Kebudayaan membentuk Tim Peninjau, lihat Kompas, 20 Januari 2012. Bahkan di Kabupaten Garut, akibat keterlambatan pencairan dana BOS tahun 2013, menurut Kasi Madrasah pada Kemenag Kantor Kabupaten Garut, Edi Imroni sejumlah Kepala Madrasah terpaksa mengeluarkan ternak domba atau sapi yang dimilikinya untuk menutupi kebutuhan biaya operasional sekolah. Zaenul Muhtar, BOS belum Cair, Kepsek di Garut Jual Kambing, Lihat dalam www.m.inilah.com diakses tanggal 5 April 2013, Pukul 22.00 WIB. Keterlambatan juga di rasakan di Garut, Jawa Barat (untuk Tri wulan I tahun 2013). Ratusan Madrasah Ibtidaiyah (MI) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs) belum mendapatkan pencairan BOS. Akibatnya proses belajar mengajar menjadi terhambat. Fani Ferdiansyah, “Dana BOS belum Cair, Madrasah Bisa Bangkrut” lihat dalam http://sindonews.comdiakses tanggal 5 April 2013, Pukul 22.10 WIB
[30] Di Banyumas memasuki pekan akhir bulan april 2013 Bantuan Operasional Sekolah (BOS) bagi madrasah di kabupaten Banyumas mengalami keterlambatan. Bahkan menurut Kepala Seksi Mapenda Kemenag Kabupaten Banyumas, Persoalan keterlambatan dana BOS tidak hanya terjadi pada tahun ini saja, tetapi tahun-tahun sebelumnya juga pernah terjadi. Lihat “BOS belum juga Cair”, Harian Suara Merdeka, Senin 29 April 2013.
[31] Gara-gara dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) belum cair, berimbas kepada gaji para guru di sekolah swasta. Akibatnya sebagian guru swasta terpaksa berhutang untuk menutupi kebutuhan sehari-harinya sampai menungu dana BOS cair. BOS belum Cair, Gaji Guru Swasta Tertunda”Lihat di http://palembang.tribunnews.com diakses tanggal 5 April 2013, Pukul 22.30 WIB.
[32] Misalkan menurut Kepala Dinas Pendidikan Sumatera Utara (Kadisdiksu), Syaiful Safri terdapat 9 daerah Sumut yang mengendapkan dana BOS. KeSembilan daerah itu adalah Langkat, Pematang Siantar, Tapanuli Tengah, Nias Selatan, Nias, Gunung Sitoli, Nias Utara, Dairi dan Karo. Prawira Setiabudi, “Sembilan Daerah Endapkan Dana BOS” http://www.waspada.co.id tanggal 5 April 2013, Pukul 23.00 WIB. Begitu juga yang terjadi di Makasar, Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) Triwulan I Tahun 2012 sebesar Rp 32,8 miliar masih mengendap di rekening Dinas Pendidikan Pemerintah Kota Makassar. Syaekhudin, “Makasar Endapkan Dana BOS RP 32,8 M”, Lihat http://m.tribunnews.com, Jum’at 2 Maret 2012, di akses  tanggal 5 April 2013, Pukul 23.00 WIB.
[33] Saharudin dan Lukman, Peta, hal.25-27.
[34] Tak kalah pentingnya adalah faktor sekolah, semua sekolah sangat mendukung dengan hadirnya dana BOS di sekolah karena hal tersebut sangat diperlukan bagi keberlangsungan siswa yang ingin bersekolah namun tidak memiliki biaya. Lihat dalam Ervin Restu Dianingtyas, “Perception Executing The Implementation Of School Operational Grant Program”, dalam ejournal.unesa.ac.id
[35] Hal tersebut dapat dilihat dari beberapa penelitian yang di lakukan oleh para akademisi misalkan penelitian yang dilakukan oleh M.Anshori dengan judul “Akuntabilitas Pelaksanaan BOS Di Kabupaten Gresik (Studi Tentang Akuntabilitas Administrasi dan Akuntabilitas Profesional dalam Program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) di Dinas Pendidikan Kabupaten Gresik), lihat http://elibrary.ub.ac.id diakses tanggal 22 Mei 2013, pukul 09.00 WIB.
[36] Sukardi Weda, Efektifitas Program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk Meningkatkan Mutu Layanan Pendidikan Dasar 9 tahun (Tesis) dalam http://lib.ui.ac.id , diakses 22 Mei 2013, pukul 13.00
[37] http://www.artikata.com di akses tanggal 1 mei 2013,pukul 09.00 WIB
[38]Riant  Nugroho, Public Policy. (Jakarta : Elex Media Kopunindo, 2009), hal.40.
[39] Solichin, Pengantar Analisis Kebijakan Publik. (Malang : UMM Press, 2008), Hal. 56.
[40]William Dunn, Pengantar, hal. 405.
[41] Ibid,  hal. 429-438
[42] Konstruksi sosial dalam masyarakat dengan pendekatan sistem cenderung menganggap dan melihat semua aspek sosiokultural dari segi proses, khususnya jaringan informasi dan komunikasi. Menurut Buckley  ada hubungan antarsistem sosiokultural, sistem mekanis, dan sistem organis. Lebih lanjut menjelaskan hubungan kontinum antara sistem-sistem itu, bahwa pergerakan kontinum sistem dimulai dari sistem mekanik ke sistem organis baru ke sistem sosiokultural. Jadi sistem bergerak dari kompleksitas yang kecil ke kompleksitas yang paling besar. Buckley dalam Bungin Burhan, Konstruksi Realitas Sosial Media Massa. (Jakarta: Prenada Media, 2006), hal. 82-83.