“Rekomendasi
Kebijakan
Tentang
Bantuan Operasional Sekolah (BOS) ”
Oleh
Abd Qohin
I. Latar Belakang
Dari
sekian banyak kebijakan-kebijakan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah hingga
saat ini, kebijakan di bidang pendidikan merupakan salah satu yang sangat
menjadi perhatian oleh sebagian pihak karena kebijakan di bidang pendidikan
merupakan kebijakan mendasar yang sangat sentral dalam proses bernegara dengan
pertimbangan tujuan akhir dari kebijakan pendidikan itu sendiri. Dalam
perkembangan dunia pendidikan di Indonesia, berbagai program pendidikan telah
diluncurkan oleh pemerintah sendiri seperti program wajib belajar 9 tahun,
kebijakan pendidikan gratis, dan masih banyak program-program dalam upaya
peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia. Salah satu dari berbagai program
yang telah diluncurkan oleh pemerintah tersebut yang masih berlangsung hingga
saat ini ialah pemberian dana Bantuan Operasional Sekolah atau yang disingkat
BOS. Namun dalam pelaksanaannya masih banyak mengalami berbagai praktek
pelanggaran dan berbagai masalah tehnis di lapangan.
Berdasarkan
laporan dari tempo menyatakan bahwa Tim penyidik Kejaksaan Negeri Jember
memanggil dan memeriksa sedikitnya 900 orang kepala sekolah di Kabupaten
Jember. Menurut Kepala Kejaksaan Negeri Jember Wilhelmus Lingitubun, para
Kepala Sekolah itu akan diperiksa terkait kasus dugaan korupsi dalam penggunaan
dana Biaya Operasional Sekolah (BOS) untuk pembelian laptop tahun 2009.[1] Di tempat terpisah, berdasarkan laporan tempo
menyatakan bahwa belasan orang tua siswa
mendatangi kantor Sekolah Menengah Pertama Negeri 2 Rejoso, Nganjuk. Mereka
meminta sekolah menghentikan pungutan pendidikan yang kerap diberlakukan kepada
siswa.[2]
Dengan
melihat persoalan diatas maka kita akan berfikir jauh sebenarnya sudah sesuai
dengan amanah Undang-Undang ataukah belum. Sebagaimana kita ketahui bahwa
pendidikan merupakan sarana untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Oleh karena
itu pendidikan memegang penting dalam mencapai tujuan tersebut. Untuk
mewujudkan tujuan itu diperlukan sistem pendidikan yang baik. Sistem pendidikan
yang baik memerlukan perencanaan pembiayaan agar tidak membebani masyarakat.
Di
dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
pasal 5 dinyatakan bahwa “Setiap warga negara mempunyai hak yang sama
untuk memperoleh pendidikan yang bermutu”. Kemudian di pasal lain “Setiap
warga negara yang berusia 6 (enam) tahun dapat mengikuti program wajib belajar.[3] Disamping itu Undang-Undang juga diamanatkan bahwa
setiap warga negara berusia 7-15 tahun wajib mengikuti pendidikan dasar.
Konsekuensi dari amanat Undang-Undang di atas maka dalam pasal 34 ayat 2
menyebutkan “Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya
wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut
biaya”. Hal ini menjelaskan bahwa pemerintah pusat dan
pemerintah daerah wajib memberikan layanan pendidikan bagi seluruh peserta
didik pada tingkat pendidikan dasar[4] sebagaimana
yang dimaksud dalam Undang-Undang tersebut. Selain itu juga dipertegas lagi
dalam ayat 3 bahwa “Wajib belajar merupakan tanggung jawab negara yang
diselenggarakan oleh lembaga pendidikan Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan
masyarakat.”
Pelaksanaan
mandat konstitusi, UUD 1945, tentang wajib belajar dijalankan dengan serius oleh
Pemerintah. Dan ini ditunjukkan dengan tingginya nilai anggaran yang
dialokasikan untuk bidang ini. Dalam rangka menjalankan amanah
Undang-Undang tersebut, maka Pemerintah telah menyusun skala prioritas dengan
menambah anggaran pendidikan atau bahkan dipenuhinya anggaran pendidikan yang
20 persen.[5] Model sistem pendidikan harus disusun
dengan cermat sebab ini berkaitan dengan hak setiap warga Negara yaitu hak
asasi setiap manusia. Satu catatan terpenting untuk pemerintah dan elit
perguruan tinggi negeri bahwa warga miskin harus tetap bersekolah. Tantangan
ini harus disambut dengan komitmen memberikan subsidi yang memadai dan
menetapkan biaya pendidikan yang terjangkau bagi rakyat miskin.
Dalam rangka penuntasan wajib
belajar (wajar) 9 tahun yang bermutu banyak program yang telah, sedang, dan
akan dilakukan. Salah satu program yang diharapkan berperan besar terhadap
percepatan penuntasan program wajib belajar yang bermutu adalah program Bantuan
Operasional Sekolah (BOS).
Salah satu indikator
penuntasan program Wajib Belajar 9 Tahun dapat diukur dengan Angka Partisipasi
Kasar (APK) SD dan SMP. Pada tahun 2005 APK SD telah mencapai 115%,
sedangkan SMP pada tahun 2009 telah mencapai 98,11%, sehingga program wajar 9
tahun telah tuntas 7 tahun lebih awal dari target deklarasi Education
For All (EFA) di Dakar. Program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang
dimulai sejak bulan Juli 2005, telah berperan secara signifikan dalam
percepatan pencapaian program wajar 9 tahun. Oleh karena itu, mulai tahun 2009
pemerintah telah melakukan perubahan tujuan, pendekatan dan orientasi program
BOS, dari perluasan akses menuju peningkatan kualitas.[6]
Dalam perjalannya banyak terjadi masalah dalam
pendistribusian BOS yang menyebabkan terjadinya keterlambatan, penyelewengan oleh
aparat, dan lain-lain. Oleh karena itu perlu di upayakan solusi yang tepat
untuk mengurai permasalahan terkait dengan BOS. Setelah diurai dan dianalisis
probemnya, maka diperlukan arahan rekomendasi yang tepat guna dalam rangka
memecahkan berbagai masalah BOS. Untuk itu pemakalah berusaha menggali masalah,
dari masalah itu kemudian pemakalah ingin kembangkan dalam bentuk mencari
solusi sekaligus rekomendasi yang diharapkan memberikan sumbangsih akademik dan
bermanfaat bagi para pengambil kebijakan.
II. Pembahasan
A. Gambaran Umum Program BOS
Sebelum
pembahasan panjang lebar tentang Bantuan Operasional Sekolah (BOS), terlebih
dahulu akan penulis jelaskan tentang kebijakan publik. Menurut Thomas Dye
kebijakan Publik adalah apapun pilihan pemerintah untuk melakukan atau tidak
melakukan (Public Policy is wathever government choose to do or not to do).[7] Definisi kebijakan publik tersebut mengandung
makna bahwa kebijakan publik tersebut dibuat oleh badan pemerintah dan bukan
organisasi swasta, kebijakan publik menyangkut pilihan yang harus dilakukan
atau tidak dilakukan oleh badan pemerintah. Dengan adanya bantuan BOS yang
diberikan kepada sekolah atau madrasah merupakan sebuah kebijakan publik dimana
pemerintah memilih mengambil kebijakan tersebut.
James
E Andersen mendefinisikan kebijakan publik sebagai kebijakan yang ditetapkan
oleh badan-badan dan aparat pemerintah.[8] Dalam
hal ini BOS merupakan kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah dalam bidang
pendidikan. Sedangkan Wiliiam N. Dunn menyebut istilah kebijakan publik sebagai
Pola ketergantungan yang kompleks dari pilihan-pilihan kolektif yang saling
tergantung, termasuk keputusan-keputusan untuk tidak bertindak, yang dibuat
oleh badan atau kantor pemerintah.[9] Kebijakan
Publik sesuai apa yang dikemukakan oleh Dunn mengisyaratkan adanya
pilihan-pilihan kolektif yang saling bergantung satu sama lain, termasuk di
dalamnya keputusan-keputusan untuk melakukan tindakan. Kebijakan publik
tersebut dibuat oleh badan atau kantor pemerintah. Suatu kebijakan apabila
sudah dibuat maka harus diimplementasikan untuk dilaksanakan oleh unit-unit
administrasi yang memobilisasikan sumber daya finansial dan manusia.
Adapun
pengertian BOS secara bahasa terdiri dari kata “bantuan” mempunyai arti barang
yang dipakai untuk membantu; pertolongan; sokongan; mendapat kredit dari bank.[10] Penggunaan istilah ’bantuan’ pada Program BOS
menunjukkan sifat dan kedudukannya yang menempatkan Pemerintah sebagai pihak
donatur dan masyarakat yang dibantu sebagai pihak penerima dana. Sehingga
tertangkap makna bahwa pelaksanaan program untuk membebaskan siswa (peserta
didik) dari pungutan pendidikan adalah bantuan, pertolongan, sokongan dari
Pemerintah kepada masyarakat. Sehingga menyiratkan arti bahwa pendidikan itu
kewajiban masyarakat saja. Dan Pemerintah hanya bersifat membantu, menyokong,
menolong dari kewajiban (tugas) masyarakat tersebut. Dari sini dapat dimaknai
bahwa bantuan ini berlangsung sementara, berjangka waktu pendek, darurat, dan
karitatif. Sedangkan operasional mempunyai arti secara (bersifat) operasi;
berhubungan dengan operasi atau pelaksanaan suatu kegiatan yang dilaksanakan
didasarkan pada aturan yang berlaku.[11]
Adapun
sekolah dapat diartikan sebagai bangunan atau lembaga untuk belajar dan
mengajar serta tempat menerima dan member pelajaran, menurut tingkatannya ada
sekolah dasar, lanjutan dan tinggi. Dan sekolah bisa diartikan waktu atau
pertemuan ketika murid diberi pelajaran. Dengan demikian maka penulis dapat
simpulkan bahwa BOS merupakan bantuan yang diberikan oleh pemerintah kepada
suatu lembaga pendidikan (sekolah) untuk membantu kelancaran pelaksanaan
kegiatan belajar mengajar dan disusun dalam rencana kerja beserta aturan-aturan
pelaksanaan.
Pemerintah
secara serius terus menerus memperhatikan sektor pendidikan. Salah satu
terobosan yang dilakukan adalah mencoba membangun pendidikan melalui Bantuan
Operasional Sekolah (BOS). Program ini bertujuan untuk meringankan beban biaya
pendidikan bagi masyarakat yang kurang mampu.[12]
Program
BOS merupakan salah satu program pemerintah dalam rangka untuk mewujudkan
sekolah gratis. Program ini secara khusus bertujuan untuk menggratiskan siswa
miskin ditingkat pendidikan dasar dari beban biaya operasional sekolah, baik
sekolah negeri maupun swasta. Sasaran program BOS adalah semua sekolah SD/MI,
SMP/MTs negeri maupun swasta di seluruh propinsi di Indonesia. Adapun besaran
satuan biaya satuan BOS yang diterima oleh sekolah dihitung berdasarkan jumlah
siswa dengan ketentuan untuk SD/SDLB sebesar Rp 580.000,-/siswa/tahun, sedangkan
SMP/SMPLB sebesar Rp 710.000,-/siswa/tahun.[13]
BOS
adalah program pemerintah yang pada dasarnya adalah untuk penyediaan pendanaan
biaya operasi non Personalia[14] bagi satuan
pendidikan dasar sebagai pelaksana program wajib belajar.[15] Program
BOS muncul sebagai akibat adanya Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan
Bakar Minyak pada Maret 2005 sebesar Rp 6,2 triliun dan telah merelokasikan
sebagian besar anggaran yang dirancang untuk mengurangi beban masyarakat miskin
akibat dampak dari kenaikan bahan bakar minyak. Dan kemudian merealokasi dana
subsidi tersebut ke program-program bantuan sosial, seperti pendidikan,
kesehatan, infrastruktur pedesaan, dan subsidi langsung tunai. Awalnya
Depdiknas mengusulkan sebagai beasiswa bagi 9,6 juta peserta didik disemua
jenjang sekolah. Akan tetapi, dalam perkembangannya BOS beberapa kali mengalami
perubahan.[16] Ada empat sektor alokasi anggaran
subsidi bahan bakar minyak antara lain untuk bidang pendidikan, Bidang
kesehatan, bantuan infrastruktur pedesaan dan subsidi langsung tunai.
Untuk
bidang pendidikan konsep Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar
Minyak (PKPS-BBM) untuk SD dan SMP yang semula program Bantuan Khusus Murid
(BKM) yang langsung diberikan kepada siswa/murid miskin yang telah diseleksi
oleh sekolah sesuai alokasi anggaran yang diterima, program tersebut telah
diubah menjadi Program Bantuan Opersional Sekolah (BOS) yang diberikan kepada
sekolah untuk dikelola sesuai dengan ketentuan. Untuk menyamakan persepsi dan
kesamaan pemahaman BOS secara singkat kita uraikan terlebih dahulu mengenai
definisi Biaya Pendidikan dan terminologi program BOS. Biaya Satuan Pendidikan
(BSP) adalah besarnya biaya yang diperlukan rata-rata tiap siswa tiap tahun,
sehingga mampu menunjang proses belajar mengajar sesuai dengan standar
pelayanan yang telah ditetapkan. Dari cara penggunaannya, BSP dibedakan menjadi
BSP Investasi dan BSP Operasional. BSP Investasi adalah biaya yang dikeluarkan
setiap siswa dalam satu tahun untuk pembiayaan sumberdaya yang tidak habis
pakai dalam waktu lebih dari satu tahun, seperti pengadaan tanah, bangunan,
buku, alat peraga, media, perabot dan alat kantor. Sedangkan BSP Operasional
adalah biaya yang dikeluarkan setiap siswa dalam satu tahun untuk pembiayaan
sumber daya pendidikan yang habis pakai dalam satu tahun atau kurang. BSP
Operasional mencakup biaya personil dan biaya non personil.[17]
Secara
konseptual sekolah menempati posisi kunci dalam penentuan penggunaan dana BOS,
termasuk dalam penggunaan pemberian bantuan khusus untuk peserta didik miskin.
Menurut ketentuan program, dana BOS dikelola oleh kepala sekolah dan guru atau
tenaga administrasi yang telah ditunjuk sebagai bendahara BOS. Uang dikirimkan
langsung ke rekening sekolah. Sekolah boleh menggunakan dana tersebut untuk
beberapa jenis pengeluaran sesuai juklak program dan berdasarkan Rencana
Anggaran Pendapatan Belanja Sekolah (RAPBS) yang disusun oleh kepala sekolah
dan komite sekolah. RAPBS yang merupakan salah satu persyaratan untuk menerima
BOS harus mendapat persetujuan komite sekolah.
Untuk
menghindari dan mengurangi masalah yang berhubungan dengan penyalahgunaan
wewenang, kebocoran dan pemborosan dan pungutan liar pemerintah telah membentuk
tim pengawasan dalam penyelengaraan distribusi BOS melalui pengawas melekat
(Waskat), pengawasan fungsional internal, ekternal, dan pengawasan masyarakat.
Sehingga, melalui sistem pengawasan tersebut dapat diharapkan pendistribusian
dana BOS dapat tepat sasaran bagi masyarakat miskin.
B. Ragam Persoalan BOS
Keberlanjutan
kebijakan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun, yang telah dicanangkan
Pemerintah sejak tahun 2002, melalui Rencana Aksi Nasional Pendidikan Untuk
Semua (RAN PUS), menjadi pertanyaan besar terkait dengan sumber pendanaan
Program BOS. Sebagian pendanaan Program BOS ternyata berasal dari pinjaman luar
negeri. Sumber anggaran Program BOS yang berasal dari hutang/pinjaman luar
negeri ini akan menyebabkan kerentanan bagi keberlanjutan pelaksanaan Program
BOS ini. Apalagi jika Pemerintah tidak memiliki kebijakan fiskal[18] yang
jelas dalam strategi pendanaan pendidikan nasional dalam jangka menengah dan
jangka panjang.
Pinjaman
(hutang luar negeri) ini telah mendanai pelaksanaan program Pemerintah ini
sejak Tahun 2008. Dan akan berjalan sampai 2012. Sumber pendanaan hutang ini
berasal dari World Bank/IBRD sebesar USD 600 juta, dengan nama Bantuan
Operasional Sekolah (School Operational Assistance)-Knowledge
Improvement for Transparency and Accountability Project[19] dan
di 2011 ini ditambah dengan dana hibah dari Pemerintah Australia AUD sebesar 26
juta, dengan nama BOS Training.[20]
Permasalahan
yang muncul dari pinjaman luar negeri tersebut, setidaknya, ada dua. Pertama,
jika Pemerintah gagal dalam melaksanakan Program BOS dan terjadi penyimpangan
penggunaan dana BOS tersebut, maka Pemerintah terancam atau dapat berisiko
terhadap proses replenishment dari Bank Dunia ke Pemerintah
Indonesia. Kedua, jika kebijakan fiskal untuk pendidikan ini
bersifat jangka panjang, mengingat komitmen pinjaman/hibah luar negeri kepada
Pemerintah berjangka waktu cukup lama, membuat kebergantungan pada utang
menjadi makin tinggi. Jika dihitung dari Tahun 2008, maka pendanaan ini sudah
dan akan berlangsung selama 5 (lima) tahun.[21] Ketergantungan terhadap pinjaman/hibah luar negeri
untuk mencapai keberhasilan mandat konstitusi ini sudah barang tentu tidak
semestinya dilanjutkan dan harus diletakkan sebagai stimulus belaka. Stimulus
dari utang atau hibah luar negeri ini sudah semestinya tidak bersifat permanen
ataupun berjangka panjang. Apalagi Program BOS adalah program pendidikan yang
semestinya membebaskan dan tidak menimbulkan beban bunga utang yang akumulatif
bagi generasi muda masa depan, hasil dari Program Pendidikan ini.
Sejak
dilaksanakan pada Tahun 2005, Program ini selalu berada dalam proses perbaikan
terus menerus. Perbaikan-perbaikan baik dalam system atau mekanisme,
persyaratan, peruntukan, dan satuan biaya atau nilai nominalnya di APBN
mengalami kemajuan. Dan kesungguh-sungguhan Pemerintah ini cukup nampak dari terjadinya
perubahan-perubahan kebijakan, di setiap tahunnya. Namun, meskipun telah
diupayakan untuk menyajikan dan menyelenggarakan Program dengan baik, dan
sesuai dengan upaya untuk bekerja menurut kerangka Good Governance,[22] Pemerintah
tidak juga mampu atau berhasil menemukan sebuah formula yang tepat.
Setidaknya, bisa dikatakan bahwa Pemerintah sejauh ini telah berhasil
meramu dengan arah dan bentuk program yang sudah mulai nampak kejelasannya.
Kejelasan dalam format dan penerima manfaatnya. Akan tetapi, di sisi lain,
masih ada saja praktek-praktek mal-administrasi[23] dan
korupsi yang terjadi dan belum juga diperoleh penyelesaiannya. Dan Program BOS
sebagai kebijakan wajib belajar merupakan salah satu program yang belum juga
dapat terhindar dari kedua jenis praktek yang menyimpang dan melanggar hukum
tersebut.
Program Bantuan Operasional Sekolah
(BOS) dari awal program hingga saat ini masih memiliki berbagai macam
masalah dalam implementasinya diantaranya penyaluran dana BOS. Efek atau
akibat yang ditimbulkan dari permasalahan ini adalah terhambatnya pencapaian
tujuan efisiensi dan efektivitas pengelolaan dana BOS tersebut. Dana BOS yang di Implementasikan oleh pemerintah
sebagai kompensasi atas naiknya harga BBM ternyata banyak salah sasarannya.
Total dana BOS tingkat SD dan SLTP tahun 2005 yang telah disalurkan mencapai Rp
5,136 triliun,sedangkan tahun 2006 RP 10,237 triliun. Seperti halnya dengan
bantuan langsung tunai (BLT), implementasi dana BOS juga menuai banyak masalah,
dana yang seharusnya digunakan untuk bantuan operasional sekolah siswa malah
menjadi bancakan sekolah.
Hasil audit yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan dan
Pembangunan (BPKP) tahu 2006 menunjukkan penggelembungan jumlah siswa di
sekolah di 29 Propinsi dan hanya empat Propinsi yang tidak ditemukan kasus
tersebut yaitu Lampung, Jambi, Gorontalo, dan Bali. Sebanyak 71, 6% tersalurkan
dengan baik sedangkan sisanya tidak jelas rimbanya.[24] Berdasarkan hasil kajian Indonesian Coruption Watch (ICW)
tahun 2011 menyampaikan bahwa terjadi korupsi massal dan sistematis dalam
penyelenggaraan dana BOS. Terjadinya Korupsi massal dan sistemis dipicu oleh 2
faktor yaitu keterlambatan penyaluran dan buruknya sistem pengawasan atas
penggunaan dana BOS.[25]
Program Bantuan
Operasional Sekolah (BOS) dinilai banyak kalangan belum transparan. Hal itu
diketahui dari penelitian Bank Dunia yang menyatakan, program dana BOS tidak
diketahui sebagian besar orangtua siswa. Penelitian Bank Dunia terhadap 3.600 orang tua pada
720 sekolah di Indonesia mengungkapkan sebagian besar orang tua pernah
mendengar tentang BOS (86,13 persen). Adapula orangtua yang hanya mengetahui
singkatan BOS (46,67 persen), mengetahui tujuan BOS (44,78 persen), mengetahui
jumlah dana BOS (2,49 persen), dan mengetahui penggunaan BOS (25,51 persen).[26]
Kebijakan
penyaluran dana BOS dari tahun 2005-2011 memiliki sisi positif atau kelebihan
yang dapat diambil yaitu dengan menggunakan sistem kebijakan penyaluran dan
pengelolaan dana tahun 2005-2011 perencanaan menjadi mudah dan cepat karena
dialokasikan via Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) provinsi. Selain itu
penyaluran dana ke sekolah juga cepat dan seragam antara sekolah negeri dan
swasta, dana juga disalurkan sebagai hibah dan dalam sistem ini pemerintah
provinsi berperan dominan sehingga memudahkan untuk dilakukannya monitoring dan
evaluasi secara cepat. Adapun kelemahan dari sistem ini yaitu belum memenuhi
amanat PP 38/2007 yang menyatakan bahwa urusan pendidikan dasar adalah
kewenangan Kabupaten/ Kota sehingga dalam sistem ini peran dari Kabupaten/Kota
menjadi minimalis serta tidak adanya sinkronisasi BOS dengan program Pemda
Kabupaten/ kota. Kelemahan-kelemahan tersebut akhirnya menjadi dasar terjadinya
perubahan mekanisme penyaluran dan pengelolaan dana BOS.
Dengan
pola penyaluran dana BOS yang baru awal tahun 2012,[27] sama sekali tidak berimplikasi pada tertutupnya
potensi masalah lama seperti penyelewengan anggaran, manipulasi data,kelemahan
manajemen dan lain-lain. Justru terindikasikan bahwa pola baru tersebut membawa
masalah baru, yaitu makin terbuka dan tersebarnya modus baru penyelewengan
penggunaan anggaran BOS atas nama kegiatan yang dilakukan lembaga tertentu dan
korupsi atas dana BOS.[28] Masalah itu terkait
pola penyaluran baru seperti keterlambatan dan macetnya penyaluran BOS.
Misalkan yang terjadi di kabupaten Garut[29], kabupaten Banyumas.[30] Sebagian besar terjadi pada saat dana BOS telah
diterima di kas daerah, akan tetapi tidak segera dicairkan untuk
sekolah-sekolah. Beberapa masalah langsung muncul mengikuti keterlambatan
pencairan dana BOS. Beberapa sekolah terpaksa harus menanggung terlebih dahulu
kebutuhan operasional sekolah hingga dana BOS cair. Bahkan, beberapa guru
swasta dan honorer terpaksa tidak menerima gaji akibat BOS yang terlambat.[31] Disinyalir
bahkan terjadi penyelewengan yang dilakukan dengan alasan keterlambatan yang
merupakan upaya yang disengaja untuk mendapatkan bunga dengan diendapkan
dulu di bank.[32] Dalam
beberapa kasus, dana BOS sering dipinjamkan ke pihak lain atau untuk membayar
hutang dan bunga pinjaman. Lalu digunakan untuk membayar bonus dan transportasi
rutin guru atau pihak luar sekolah.
Permasalahan
Program BOS di Indonesia, secara konsep bahwa program Bantuan Operasional
Sekolah (BOS) diberikan untuk mengurangi beban masyarakat, khususnya masyarakat
miskin atau tidak mampu agar mereka dapat memperoleh layanan pendidikan Wajib
Belajar yang memadai dan bermutu. Akan tetapi, kenyataan di lapangan menujukkan
bahwa masih terjadi ketidaksesuaian pengelolaan BOS. Permasalahan yang muncul
seputar Bantuan Operasional Sekolah baik pada taraf nasional maupun pada
tingkat daerah sebagai program penunjang wajib belajar 9 tahun yang dicanangkan
oleh Diknas sangat beragam, mulai dari asal dana hingga penyaluran dan
pengalokasiaannya. Masalah yang muncul saat ini adalah mengenai keterlambatan
penyaluran dana Bantuan Operasional Sekolah sehingga menyebabkan banyaknya
sekolah yang berusaha mencari pinjaman pada pihak ketiga agar dapat tetap
menjalankan aktivitas kegiatan belajar mengajar.
Menurut
laporan Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATIRO)[33] bahwa
keterlambatan penyaluran disebabkan antara lain keterlambatan penerimaan kas
daerah, minimnya sosialisasi dan kapasitas sekolah. Kendala yang berasal
dari kapasitas pihak sekolah. Setidaknya terpantau beberapa penyebab
keterlambatan yang disebabkan kapasitas sekolah tersebut. Misalkan pertama, Pihak
sekolah terlambat menyampaikan RKAS/APBS yang menjadi syarat pencairan dana
BOS. Kedua Terkait kendala kapasitas adalah kesalahan pihak
sekolah swasta dalam menyusun dokumen Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD).
Padahal dokumen tersebut merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh
sekolah swasta sebelum pencairan, ketiga, Sekolah belum dapat
menyusun laporan/surat pertanggungjawaban (SPJ) penggunaan dana BOS secara
efektif dan tepat waktu. Bahkan masih banyak yang melakukan kesalahan dalam
penyusunannya.
Idealnya,
dana BOS seharusnya secara khusus mampu mencapai sasarannya, yaitu
membebaskan iuran siswa sebagaimana tujuan BOS itu sendiri. Namun dalam
realitasnya banyak hal yang tidak sesuai dengan idelaitas. Tidak adil bila
sekolah memaksakan diri “menyempurnakan” bangunan fisik gedung sekolah,
meskipun terkesan gratis tapi di sisi lain pelajar tetap harus
mengeluarkan dana untuk membeli buku pelajaran, perlengkapan sekolah, SPP,
hingga karya wisata. Dana BOS juga tidak hanya diperuntukkan bagi pemenuhan
kesejahteraan tenaga pendidik. Baik pemerintah daerah maupun lembaga pendidikan
harusnya fokus pada sasaran dana BOS sebagaimana yang diamanahkan, yaitu
kepentingan operasional setiap pelajar.
C. Faktor Pendukung dan Penghambat BOS
Sebelum merumuskan rekomendasi kebijakan terkait dengan BOS,
maka akan penulis jelaskan terlebih dahulu faktor-faktor pendukung dan
penghambat BOS dalam pelaksanaannya. Diantara faktor pendukung dari pelaksanaan
program BOS antara lain pertama, adanya komunikasi antara
pemerintah pusat dengan wilayah dalam penyaluran BOS. Karena komunikasi sangat penting dalam penyaluran informasi
agar lebih efektif untuk mewujudkan implementasi, karena jika komunikasi yang
ditujukan secara jelas dan benar maka pihak atau pelaku kebijaksanaan akan
dapat mengetahui dan memahami apa yang disampaikan, seperti isi, tujuan dan
arah kelompok sasaran yang dituju. Agar mereka para pelaku kebijakan
mengetahui dengan benar langkah apa yang akan direncanakan dan dijalankan,
sehingga tujuan dan sasaran utama adanya kebijakan tersebut bisa dapat tercapai
sesuai apa yang telah diharapkan sebelumnya.
Kedua, kerja sama yang baik antara pemerintah, dinas pendidikan, sekolah
dan masyarakat sehingga penggunaan dana BOS menjadi transparan dan terarah
sesuai dengan aturan yang ditetapkan dan peningkatan kualitas mutu pendidikan,
seperti penambahan koleksi buku di perpustakaan dan pengembangan sarana
prasarana semakin meningkat.
Ketiga, yaitu mengenai sumber daya yang ada pada sekolah,
yakni terkait dengan sumber daya manusia dan sumber daya anggaran berupa dana.
Pada sumber daya manusia untuk pelaksana program dana BOS disekolah disebut
dengan Tim Manajemen BOS. Tim Manajemen BOS dibentuk melalui rapat yang
dihadiri oleh kepala sekolah, semua staf dan guru beserta komite sekolah. dan
jika telah disetujui siapa saja yang telah terpilih sebagai tim manajemen BOS maka akan disahkan dengan surat
keputusan yang dibuat oleh kepala sekolah. jumlah Tim Manajemen BOS yang ada di
sekolah sudah mencukupi, dan dibutuhkan persyaratan khusus bagi bendahara BOS.
Sumber daya anggaran adalah dana BOS yang berasal dari Tim Manajemen BOS pusat
diberikan melalui rekening sekolah. Besar dana yang diberikan oleh pemerintah
disesuaikan dengan jumlah berapa siswa yang bersekolah pada masing-masing
sekolah. Berkaitan dengan kecukupan dana, maka dana BOS bisa dikatakan
mencukupi kebutuhan operasional sekolah.
Faktor
yang keempat mengenai disposisi yaitu sikap para
pelaksana kebijakan.[34] Sikap para pelaksana
kebijakan di sekolah menerima dan mendukung sepenuhnya karena telah
diberlakukannya program dana BOS di sekolah. implementasi program dana BOS
adalah semua pihak pelaksana atau Tim Manajemen BOS melakukan semuanya dengan
baik, dan mengikuti sesuai dengan peraturan yang ada. Selain itu dengan adanya buku panduan petunjuk teknis
penggunaan dana BOS yang dapat mempermudah dalam melaksanakan program dana BOS
di sekolah. Buku pedoman tersebut dirasa dalam melakukan program lebih mudah
karena ada yang menjadi acuan. Sehingga dalam pelaksanaannya tidak menyimpang
dari peraturan yang dibuat pemerintah.
Adapun faktor penghambatnya antara lain, pertama, minimnya
dana BOS serta tidak mencukupi untuk melaksanakan semua kegiatan yang ada di
Madrasah, pencairan dana BOS yang terkadang kurang tepat waktu sehingga dapat
menghambat proses pelaksanaan kegiatan yang telah ditetapkan oleh Madrasah.[35] Kedua, minimnya sosialisasi dan
transparansi tentang pelaksanaan program BOS, baik kepada guru maupun kepada
orang tua.[36] Hal ini menyebabkan proses
pengawasan tidak melibatkan orang tua. Selama
ini sosialisasi (kebijakan) dana BOS identik dengan model manajemen informasi
satu arah dan model atas bawah di tubuh pemerintah/birokrasi kepada masyarakat
(publik), padahal informasi yang dimiliki oleh pemerintah tidak bebas nilai,
banyak kasus di lapangan menunjukkan bagaimana institusi pemerintah mencoba
menyuguhkan sekumpulan informasi yang berseberangan dengan kepentingan publik.
Ketiga, jika penyaluran dana BOS tidak tepat
waktu, sehingga sekolah harus mencari pinjaman dahulu untuk membiayai
kebutuhan sekolah. Hal ini terjadi karena sekolah tidak punya cadangan anggaran
untuk membiayai operasional sekolah. Semua tertumpu pada BOS. Keempat, berupa faktor penghambatnya berupa malas
membuat laporan dan tidak ada petugas administrasi yang menangani secara
khusus.
D. Rekomendasi Kebijakan
Rekomendasi
secara bahasa dapat diartikan dalam dua pengertian, 1. hal minta perhatian
bahwa orang yang disebut dapat dipercaya, baik (biasa dinyatakan dengan surat);
penyuguhan; 2. Saran yang menganjurkan, (membenarkan,
menguatkan): pemerintah atau menyetujui. Merekomendasikan artinya memberikan
rekomendasi; menasihatkan; menganjurkan.[37] Sedangkan kebijakan adalah adalah
tindakan-tindakan atau kegiatan yang sengaja dilakukan atau tidak dilakukan
oleh seseorang, suatu kelompok atau pemerintah yang di dalamnya terdapat unsur
keputusan berupa upaya pemilihan diantara berbagai alternatif yang ada guna
mencapai maksud dan tujuan tertentu.
Kebijakan
publik tidak hadir dalam ruang hampa. Kebijakan publik merupakan alat (tool)
dari suatu komunitas yang melembaga untuk mencapai social beliefs about
goodness. keberhasilan atau kegagalan kebijakan publik dalam mencapai goodness secara
efektif akan melahirkan kepercayaan sosial baru. Di satu sisi, keberhasilan
kebijakan publik akan memperkuat (strengthening) kepercayaan sosial yang
dipegang, di sisi yang lain kegagalan kebijakan publik akan melemahkan
bahkan dapat meruntuhkan kepercayaan sosial yang dipegang.[38]
Pembuatan
kebijakan publik biasanya terdiri dari berbagai macam komponen (unsur).
Masing-masing komponen tersebut dihubungkan oleh komunikasi serta mekanisme
umpan balik yang memungkinkan untuk berinteraksi dengan cara yang berlainan.
Proses kebijakan publik pada dasarnya adalah suatu proses, yakni merupakan
suatu kegiatan yang berkesinambungan yang berlangsung dalam satu struktur.
Pembuatan proses kebijakan publik merupakan kegiatan yang dinamis karena ia
dapat berubah sepanjang waktu. Perubahan itu mungkin menyangkut langkah-langkah
atau tahapan-tahapan dari sub-sub prosesnya maupun tahapan-tahapan yang
teradapat didalam sub-sub proses itu sendiri.[39]
Prosedur
analisis kebijakan dari rekomendasi memungkinkan analisis menghasilkan
informasi tentang kemungkinan serangkaian aksi di masa mendatang untuk
menghasilkan konsekuensi yang berharga bagi individu, kelompok, atau masyarakat
seluruhnya. Prosedur rekomendasi meliputi transformasi informasi mengenai
kebijakan di masa depan kedalam informasi mengenai aksi-aksi kebijakan yang
akan menghasilkan keluaran yang bernilai. Untuk merekomendasikan suatu tindakan
kebijakan khusus diperlukan adanya informasi tentang konsekuensi-konsekuensi
dimasa depan setelah dilakukannya berbagai alternatif tindakan. Sementara itu,
membuat rekomendasi kebijakan juga mengharuskan kita menentukan alternatif mana
yang paling baik dan mengapa. Oleh karenanya prosedur analisis kebijakan dari
rekomendasi terkait erat dengan persoalan etika dan moral.[40]
William
N. Dunn mengemukakan beberapa kriteria rekomendasi kebijakan yang sama dengan
kriteria evaluasi kebijakan, kriteria rekomendasi kebijakan terdiri atas
prinsip :[41] pertama, Efektifitas (effectiveness), hal ini berkenaan
dengan apakah suatu alternatif mencapai hasil (akibat) yang diharapkan, atau
mencapai tujuan dari diadakannya tindakan. efektifitas. Kedua, Efisiensi (efficiency), hal
ini berkenaan dengan jumlah usaha yang diperlukan untuk menghasilkan tingkat
efektifitas tertentu. Ketiga, Kecukupan (adequacy),
berkenaan dengan seberapa jauh suatu tingkat efektifitas memuaskan kebutuhan,
nilai, atau kesempatan menumbuhkan adanya masalah. Kriteria kecukupan
menekankan pada kuatnya hubungan antara alternatif kebijakan dan hasil yang
diharapkan. Keempat, perataan (equity), kebijakan
yang akibatnya (misalnya, unit pelayanan atau manfaat moneter) atau usaha
(misalnya biaya moneter) secara adil didistribusikan. Kelima,
Responsivitas (responsiveness), berkenaan dengan seberapa jauh
suatu kebijakan dapat memuaskan kebutuhan, preferensi, atau nilai
kelompok-kelompok masyarakat tertentu. Dan keenam, Ketepatan (appropriateness).
Kriteria ketepatan secara dekat berhubungan dengan rasionalitas, substantif,
karena pertanyaan tentang ketepatan kebijakan tidak berkenaan dengan satuan
kriteria individu tetapi dua atau lebih kriteria secara bersama-sama. Ketepatan
merujuk pada nilai atau harga dari tujuan program dan kepada kuatnya asumsi
yang melandasi tujuan-tujuan tersebut.
Berdasarkan
penelaahan permasalahan di atas maka penulis merekomendasikan beberapa
beberapa rekomendasi kebijakan dapat dirumuskan berikut ini. Pertama, Kebijakan
fiskal Pemerintah terhadap pendidikan sudah seharusnya menempatkan unsur
keberlanjutan dan keadilan sebagai prinsip utama. Keberlanjutan, berarti
keberadaan sumber dana dari pinjaman atau hibah luar negeri harus ditempatkan
sekedar sebagai kontribusi sesaat atau stimulus fiskal bagi Pemerintah. Dan
mengupayakan sumber dana yang berkelanjutan menjadi prioritas nasional yang
semestinya dikejar Pemerintah dalam rentang waktu pendek dan menengah. Sudah
waktunya bagi Pemerintah untuk melepaskan diri dari ketergantungan dari
utang/hibah luar negeri. Dan juga mengupayakan pilihan-pilihan kebijakan fiskal
yang lebih berkelanjutan dan memperkuat desentralisasi dan demokrasi.
Kedua, untuk mendorong agar penyaluran dana BOS tidak lambat,
Pemerintah mesti menyelesaikan terlebih dahulu segala peraturan pelaksanaannya
secara lebih jelas dan mudah dipahami oleh pihak-pihak terkait terutama pihak
sekolah. Kesalahan dalam kelambanan penyaluran sesungguhnya tidak seluruhnya
ada ditangan penyelenggara pendidikan dalam hal ini sekolah.
Ketiga, untuk menghindari keterlambatan BOS maka diperlukan
program Peningkatan kapasitas sekolah, terutama SD/SDLB, mesti menjadi
prioritas sehingga memiliki kemampuan dalam menjalankan program BOS secara
baik, terbuka, dan akuntabel, yang berarti sama artinya mengelola APBS secara
transparan, partisipatif, dan akuntabel. Upaya sosialisasi maupun bimbingan
teknis kepada para aktor atau aparat yang berperan dalam proses penyaluran dana
BOS harus ditingkatkan dikarenakan masalah-masalah yang timbul dalam penggunaan
dana BOS akibat kurang pahamnya para implementator dalam merealisasikan
poin-poin program dalam BOS secara baik. Pada akhirnya dana BOS ditinjau dari
segi benefit sangat membantu masyarakat khususnya bagi mereka yang akan
menyekolahkan anaknya dengan keterbatasan ekonomi, olehnya itu hendaknya
kebijakan ini dapat terus berlanjut dan anggarannya dapat terus ditambah.
Keempat, di samping Point 2, masih terkait soal
keterlambatan BOS maka semuanya akan ditarik kembali oleh pusat. Untuk
selanjutnya akan dipilah daerah mana saja yang dianggap telah siap menyalurkan
dana BOS dan daerah berkomitmen dengan siap diawasi baik oleh komite
sekolah maupun pihak LSM dan pihak-pihak terkait lainnya.
Kelima, Untuk menghindari tindak penyelewengan dan
penyalahgunaan BOS, maka Monitoring dan evaluasi menjadi kunci dalam
penyelenggaraan setiap program Pemerintah termasuk program BOS. Peran
pemerintah dalam pengawasan penyaluran dana BOS menjadi hal penting dalam
realisasi kebijakan BOS ini, hal ini untuk meminimalisir terjadinya
penyimpangan-penyimpangan dalam anggaran BOS, selain itu tim pengawas yang akan
memonitor, ataupun yang akan mengawasi adalah yang memiliki tingkat
profesionalisme dan independensi yang tinggi sehingga proses transparansi dapat
diterima oleh masyarakat. Selain dengan membentuk Tim Monitoring dan
Evaluasi (Monev) dari internal, perlu pelibatan lembaga di luar program
misalnya melibatkan tim monitoring perguruan tinggi, DPR, unsur masyarakat
misal dewan Pendidikan, LSM maupun lembaga-lembaga yang concern terhadap
masalah pendidikan.
Keenam,
sosialisasi program BOS kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Karena
domainnya berada dalam lingkup kebijakan publik maka kebijakan informasi dan
komunikasi menyangkut sosialisasi BOS mesti dirumuskan dengan kebijakan
pemerintah, maka sudut pandangnya isi (content) materi pembahasannya
mesti dikaji dengan berbagai pendekatan disiplin keilmuan. Oleh karena itu,
ketika sosialisasi BOS dinilai sebagai kebijakan komunikasi/informasi dalam
suatu sistem komunikasi negara, maka kecenderungan yang harus dimunculkan
adalah bahwa kebijakan itu menyangkut kepentingan publik (masyarakat alias
orang banyak). Kecenderungan komunikasi itu, juga diharapkan dapat memelopori
perubahan, utamanya perubahan dan peningkatan pemahaman publik terhadap
sosialisasi BOS sebagai sebuah kebijakan publik.[42]
Ketujuh, selain sosialisasi, Tentang kelangkaan pegawai
administrasi di SD/MI, diharapkan pemerintah memberikan perhatian terhadap
masalah ini. Mungkin pemerintah dapat mulai memprogramkan pengangkatan pegawai
administrasi untuk SD/MI. Sementara itu, bagi sekolah yang belum memiliki
pegawai administrasi dapat mengatasinya dengan mengangkat tenaga honor.
Kedelapan, penegakan sanksi tegas juga harus
dilaksanakan. Sanksi yang dapat diberikan kepada mereka yang melakukan
pelanggaran dapat diberikan dalam bentuk misalkan Penerapan sanksi
kepegawaian sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku
(pemberhentian, penurunan pangkat, mutasi kerja), Penerapan tuntutan
perbendaharaan dan ganti rugi, Penerapan proses hukum dan Pemblokiran
dana untuk penyaluran periode berikutnya dan penghentian sementara seluruh
bantuan pada tahun berikutnya kepada Kab/Kota dan Propinsi, bilamana terbukti
pelanggaran tersebut dilakukan secara sengaja dan tersistem untuk memperoleh
keuntungan pribadi, kelompok, atau golongan.
III. Penutup
A. Kesimpulan
Program
BOS merupakan salah satu program pemerintah dalam rangka untuk mewujudkan
sekolah gratis. Program ini secara umum bertujuan untuk meringankan beban
biaya pendidikan bagi masyarakat yang kurang mampu. Dan lebih khusus lagi
bertujuan untuk menggratiskan siswa miskin ditingkat pendidikan dasar dari
beban biaya operasional sekolah, baik sekolah negeri maupun swasta. Sasaran
program BOS adalah semua sekolah SD/MI, SMP/MTs negeri maupun swasta di seluruh
propinsi di Indonesia.
Namun
dalam prakteknya banyak sekali kendala dan masalah yang dihadapi. Diantara
kendala yang dihadapi adalah keterlambatan penyaluran ke sekolah-sekolah,
penyelewengan dan penyalahgunaan BOS, korupsi, dan masih banyak lagi. Untuk itu
perlu diurai dan dianalisis penyebab persoalan tersebut. Setelah dianalisis
maka perlu dirumuskan dan rekomendasi dari pihak berbagai pihak untuk
menyelesaikan masalah tersebut.
B. Saran
Berdasarkan
hasil pembahasan di atas, maka disarankan beberapa hal yang perlu mendapat
perhatian terutama dari para pelaku pendidikan, yang antara lain sebagai
berikut: Perlu peningkatkan partisipasi masarakat melalui pemberdayaan komite
sekolah dan seluruh pengelola sekolah untuk ikut terlibat aktif mengawasi
penggunaan dan BOS
Bagi
pemerintah selaku pembuat kebijakan, Program BOS yang sudah dilaksanakan
hendaknya dapat terus dilanjutkan tetapi tetap dengan mempertimbangkan upaya
peningkatan partisipasi masarakat, Petunjuk teknis tentang pengunaan dana
Program BOS hendaknya lebih disempurnakan sehingga tercipta partisipasi yang
tinggi masalah pendidikan dan pendanaan dari masarakat tetapi tetap berkeadilan
sosial. Disamping itu monitoring dan evaluasi berkala juga harus dilakukan
dengan melibatkan elemen masyarakat yang concern terhadap
masalah BOS.
DAFTAR PUSTAKA
Alam S, Ekonomi 2, (Jakarta: Penerbit
Erlangga, 2007)
Burhan, Bungin. Konstruksi Realitas Sosial
Media Massa. Jakarta: Prenada Media, 2006)
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus
Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, (Jakarta: Balai Pustaka,2005)
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan, Petunjuk Teknis Pengunaan dan
Pertanggungjawaban Keuangan Dana Bantuan Operasional (BOS) Tahun
2013
Dunn, William N, Pengantar Analisis Kebijakan
Publik., edisi kedua, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2003)
Isjoni, Pendidikan sebagai Investasi Masa
Depan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006)
Koirudin, Sketsa Kebijakan Desentralisasi Di
Indonesia Format Masa Depan Otonomi Menuju Kemandirian Daerah, (Malang :
Averroes Press, 2005)
Peraturan Pemerintah No 48 tahun 2008 tentang
Pendanaan Pendidikan
Undang-Undang Sistem Pendidikan
Nasional (Sisdiknas) No. 20 tahun 2003
Panduan Penghitungan Biaya Operasional Satuan
Pendidikan oleh BSNP versi Juni 2011
Nugroho,Riant, Public Policy, (Jakarta :
Elex Media Kopunindo, 2009)
Solichin, Abdul Wahab. Pengantar Analisis
Kebijakan Publik, (Malang : UMM Press, 2008)
Rosihan, Widi Nugroho, Nina Widowati
dan Rihandoyo, Implementasi Kebijakan Penggunaan Dana Bantuan
Operasional Sekolah di Kota Semarang (Studi Kasus di Sekolah SMP Semarang
Selatan Tahun 2011) dalam ejournal-s1.undip.ac.id
Saharudin, Kahar dan Lukman, Peta Masalah
Program BOS Konsistensi Mandat, Keberlanjutan, dan Akuntabilitas, (
Jakarta: Pusat Telaah dan Informasi Regional, 2011)
Subarsono, AG, Analisis Kebijakan
Publik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008)
Thoha, Mifthah, Birokrasi dan Politik
Indonesia, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2003)
Sumber Koran :
“BOS belum juga Cair”, Harian Suara Merdeka, Senin
29 April 2013
Naimah Zahrotun, “Menggugat Korupsi Bantuan
Sekolah”, Jawa Pos, 23 Nopember 2006
Sumber Internet :
Anshori, M, “Akuntabilitas
Pelaksanaan BOS Di Kabupaten Gresik (Studi Tentang Akuntabilitas
Administrasi dan Akuntabilitas Profesional dalam Program Bantuan Operasional
Sekolah (BOS) di Dinas Pendidikan Kabupaten Gresik), lihat http://elibrary.ub.ac.id
“BOS belum juga Cair”, Harian Suara Merdeka, Senin
29 April 2013.
Dianingtyas, Ervin Restu, “Perception Executing
The Implementation Of School Operational Grant Program”, dalam ejournal.unesa.ac.id
Ferdiansyah, Fani,
“Dana BOS belum Cair, Madrasah Bisa Bangkrut” lihat dalam http://sindonews.com
Mahbub, Junaidi, Kasus
Korupsi BOS, 900 Kepala Sekolah diperiksa dalam www.tempo.co
Mutia, Annisa, Program BOS
Belum Transparan, dalam http://www.republika.co.id
“Politisasi Dana BOS” dalam
Koran Jurnal Pusat Kajian Startegis Pembangunan Daerah, dalam http://www.koranjurnalpkspd.com
Triwasono,Hari, Orang tua
Miskin Protes Pungutan, Lihat www.tempo.co
Weda, Sukardi, Efektifitas Program Bantuan
Operasional Sekolah (BOS) untuk Meningkatkan Mutu Layanan Pendidikan Dasar 9
tahun (Tesis) dalam http://lib.ui.ac.id
[1] Berdasarkan informasi yang dihimpun Tempo, Rabu,
4 april 2012, pembelian laptop merupakan kebijakan
Dinas Pendidikan Nasional Jember pada pertengahan 2009 ketika masih dipimpin
Achmad Sudiyono. Sebanyak 1.282 sekolah dasar dan sekolah dasar luar biasa
penerima dana BOS wajib membeli satu unit laptop. Dari 1.282 sekolah penerima
dana BOS, yang diwajibkan membeli laptop itu terdiri dari 918 SD negeri, 1 SD
luar biasa, 95 SD swasta, 85 SMP negeri, serta 183 SMP swasta dan SMP terbuka.
Pembelian laptop sarat dengan penyimpangan. Selain merek sudah ditentukan, yakni
ACER Extensa 4630Z 14 inci, harganya digelembungkan menjadi Rp 10,5 juta per
unit. Padahal harga di pasar saat itu Rp 5,5-6 juta. Pembeliannya pun harus
dilakukan di toko yang sudah ditunjuk. Salah satunya CV Tri Putra Witjaksana
milik David Gunawan yang bekerja sama dengan Enggarwati, seorang rekanan dari
Surabaya. Lihat Mahbub
Junaidi, Kasus Korupsi BOS, 900 Kepala Sekolah diperiksa dalam www.tempo.co tanggal
4 april 2013, di akses 1 Mei 2013, Jam 12.30
[2] Para orang tua meminta seluruh pungutan
biaya pendidikan dihentikan karena memberatkan. "Ini sekolah negeri, masak
bayarnya mahal sekali," kata Rini, salah satu wali murid, Kamis 12 April
2012. Pungutan
tersebut antara lain biaya les atau tambahan pelajaran, pembelian buku
penunjang, pembangunan gedung sekolah, serta sumbangan lain. Nilainyapun, untuk
uang gedung misalnya dipungut Rp 300 ribu. Padahal orang tua siswa kebanyakan
bekerja sebagai buruh tani. Hari Triwasono, Orang tua Miskin Protes Pungutan, Lihat www.tempo.co tanggal
12 april 2013, di akses 1 Mei 2013, Jam 12.30
[3] Lihat
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) No 20 tahun 2003 Bab VIII
pasal 34 ayat 1.
[4] Yang
dimaksud Pendidikan dasar adalah jenjang pendidikan yang melandasi
jenjang pendidikan menengah. Pendidikan dasar berbentuk Sekolah Dasar (SD) dan
Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta Sekolah Menengah
Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat.
Lihat pasal 17 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional
(Sisdiknas) No 20 tahun 2003.
[5] Dana
pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan
minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor
pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Lihat Pasal 49 UU Sisdiknas tentang Pengalokasian Dana Pendidikan.
[6] Direktorat
Jenderal Pendidikan Dasar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Petunjuk
Teknis Pengunaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Dana Bantuan Operasional
(BOS) Tahun 2013, hal. 1
[8] AG Subarsono, Analisis, hal. 2.
[9] William Dunn, Pengantar Analisis Kebijakan Publik., edisi
Kedua, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press : 2003), hal. 132.
[10] Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Balai Pustaka,1989), hal. 79
[12] Isjoni, Pendidikan
sebagai Investasi Masa Depan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006), hal.
58.
[14] Biaya
nonpersonalia meliputi bahan atau peralatan pendidikan habis pakai, dan biaya
tak langsung berupa daya, air, jasa telekomunikasi, pemeliharaan sarana dan
prasarana, uang lembur, transportasi, konsumsi, pajak, asuransi, dan lain
sebagainya. Penjelasan Pasal 3 PP No 48
tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan.
[16] Perubahan
tersebut dapat dilihat misalnya pada tahun 2006 anggaran BOS sebesar Rp 10,29
triliun, pada tahun 2007 sebesar Rp 9,84 triliun, pada tahun 2008
sebesar Rp 10,01 triliun, tahun 2009 sebesar Rp 16,04 triliun, tahun 2010
sebesar Rp 16,52 triliun, tahun 2011 sebesar Rp 16,26 triliun, lihat
Saharudin dan Lukman, Peta Masalah Program BOS Konsistensi
Mandat, Keberlanjutan, dan Akuntabilitas, ( Jakarta: Pusat Telaah dan
Informasi Regional, 2011), hal. 36. Sedangkan tahun 2012 naik menjadi 26,6
triliun.
[17] Lihat
Panduan Penghitungan Biaya Operasional Satuan Pendidikan oleh BSNP versi
Juni 2011, hal 5-6.
[18]Kebijakan
fiskal adalah kebijakan penyesuaian dibidang pengeluaran dan penerimaan
keuangan Negara. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat
dengan cara menyesuaikan pengeluaran dan penerimaan pemerintah. Alam
S, Ekonomi 2, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2007), Hal. 57-58.
[20]Saharudin
dan Lukman, Peta Masalah Program BOS Konsistensi Mandat, Keberlanjutan,
dan Akuntabilitas, ( Jakarta: Pusat Telaah dan Informasi Regional, 2011),
hal. 15.
[22] Konsepsi good
governance muncul dalam pemahaman mengenai perlunya perubahan wacana
pemerintahan, yaitu dari konsep yang selama ini dipakai (pemerintah atau government)
menjadi pemerintahan (governance). Konsep governance lebih
bermakna dinamis dan akan sulit dimanipulasi, sedangkan government lebih
statis sehingga, dengan demikian, akan mudah dimanipulasi oleh pihak yang
mengendalikannya. Lihat Koirudin, Sketsa Kebijakan Desentralisasi
Di Indonesia Format Masa Depan Otonomi Menuju Kemandirian Daerah, (Malang :
Averroes Press, 2005), hal.159. sedangkan menurut United Nations
Development Programme (UNDP) merumuskan istilah governance sebagai
suatu exercise dari kewenangan politik, ekonomi, dan
administrasi untuk menata, mengatur dan mengelola masalah-masalah sosialnya.
Istilah “governance” menunjukkan suatu proses di mana rakyat bisa
mengatur ekonominya, institusi dan sumber-sumber sosial dan politiknya, tidak
hanya dipergunakan untuk pembangunan, tetapi juga untuk menciptakan kohesi,
integrasi dan untuk kesejahteraan rakyatnya. Dengan demikian jelas sekali,
bahwa kemampuan suatu negara mencapai tujuan-tujuan pembangunan itu sangat
tergantung pada kualitas tata kepemerintahannya di mana pemerintah melakukan
interaksi dengan organisasi-organisasi komersial dan civil society. Lihat
Mifthah Thoha, Birokrasi dan Politik Indonesia, (Jakarta : PT Raja
Grafindo Persada, 2003), hal. 63
[23]Misalkan
sekolah membelanjakan Dana BOS secara tidak tepat atau tidak sesuai dengan
peruntukannya. Sekolah melakukan manipulasi terhadap surat pertanggungjawaban
dengan membuat kuitansi fiktif. Seperti kuitansi percetakan soal ujian sekolah,
pembelian buku. Buku yang dibeli dari dana BOS Buku tidak sesuai dengan buku
panduan BOS dan tidak dapat dimanfaatkan.
[25]Rosihan,
Nina Widowati, Rihandoyo, Implementasi Kebijakan Penggunaan Dana
Bantuan Operasional Sekolah di Kota Semarang (Studi Kasus di Sekolah SMP
Semarang Selatan Tahun 2011) dalam ejournal-s1.undip.ac.id
[26] Education Sector Leader World Bank, Mae Chu Chang, mengatakan program yang
dimulai sejak 2005 itu seharusnya diketahui para orangtua untuk mewujudkan
program Wajib Belajar 9 Tahun. Karena, dengan pengetahuan program BOS, biaya
sekolah menjadi murah dan gratis benar-benar dirasakan masyarakat miskin. Dari
hasil analisis penelitian Bank Dunia lainnya, terungkap bahwa sekolah juga
jarang memberikan informasi atau diundang ke sekolah untuk berdialog seputar
program BOS. Bahkan, di sekolah sendiri pun tidak ada pengumaman tentang
penyaluran dana BOS. Biasanya mereka mendapatkan informasi sedikit dari media. Harian Republika, Annisa Mutia, Program
BOS Belum Transparan, 11 Agustus 2010, lihat dalam http://www.republika.co.id di akses
4 April 2013, Pukul 13.00
[27] Secara
umum, penyaluran BOS sebelum tahun 2012 dapat dijelaskan bahwa aliran dana BOS
tersebut dimulai dari Rekening Kas Umum Negara, dana ditransfer ke Rekening Kas
Umum Daerah (tahap pertama), dengan cara pemindahbukuan. Dari Rekening Kas Umum
Daerah, dana yang telah diterima dikirim ke rekening Dinas Pendidikan (tahap
kedua, negeri), lalu dari situ ditransfer ke rekening sekolah negeri (tahap
ketiga), atau dari Rekening Kas Umum Daerah, dana ditransfer ke rekening
sekolah swasta (tahap kedua, swasta). Namun Mulai tahun 2012 terjadi
perubahan pola penyaluran yaitu pemerintah menyalurkan langsung
ke Propinsi dan Propinsi menyalurkan langsung BOS ke rekening Sekolah.
Lihat Program Bantuan Operasional tahun 2012 dalam bos.kemdikbud.co.id,
diakses 2 mei 2013
[28] Di
Indramayu hampir disemua sekolah, APBS (Anggaran Pendapatan dan Belanja
Sekolah) yang dirancang oleh Sekolah bersama (Ketua) Komite Sekolah menjadi
bersifat manipulatif dan tidak realistik. Jauh dari tansparansi dan
akuntabilitas, dan APBS disimpan sendiri oleh Kepala Sekolah dan Ketua Komite
Sekolah. Para orang tua murid tidak bisa melakukan pengawasan terhadap
penyalahgunaan dana BOS, karena APBS tidak diberikan kepada para orang tua
siswa.Terjadinya penyalahgunaan penggunaan dana BOS tersebut di antaranya
adalah dana BOS dipakai untuk kegiatan atas nama pembinaan PB. PGRI, Diklat
Silabus dan RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran), di mana setiap Kepala
Sekolah harus wajib bayar Rp 300.000,00/Dua kali kedatangan sebagai peserta. Guru
yang belum bersertifikasi wajib bayar Rp 300.000,00/Dua kali kedatangan sebagai
peserta dan Guru yang sudah bersertifikasi wajib bayar Rp 450.000,00/Tiga kali
kedatangan sebagai peserta, dengan mendapatkan snack dan makan siang untuk
setiap kali kedatangannya. “Politisasi Dana BOS” dalam Koran Jurnal
Pusat Kajian Startegis Pembangunan Daerah, senin 14 Mei 2012 di http://www.koranjurnalpkspd.com di
akses tanggal 2 Mei 2013 pukul 08.30 WIB
[29] Misalkan
tahun 2011 banyak terjadi kemacatan dan keterlambatan penyaluran BOS sehingga
Kementrerian Pendidikan dan Kebudayaan membentuk Tim Peninjau, lihat Kompas, 20
Januari 2012. Bahkan di Kabupaten Garut, akibat
keterlambatan pencairan dana BOS tahun 2013, menurut Kasi Madrasah pada Kemenag
Kantor Kabupaten Garut, Edi Imroni sejumlah Kepala Madrasah terpaksa
mengeluarkan ternak domba atau sapi yang dimilikinya untuk menutupi kebutuhan
biaya operasional sekolah. Zaenul Muhtar, BOS belum Cair, Kepsek di
Garut Jual Kambing, Lihat dalam www.m.inilah.com diakses tanggal 5 April
2013, Pukul 22.00 WIB. Keterlambatan juga di rasakan di Garut, Jawa Barat
(untuk Tri wulan I tahun 2013). Ratusan Madrasah Ibtidaiyah (MI) dan Madrasah
Tsanawiyah (MTs) belum mendapatkan pencairan BOS. Akibatnya proses belajar
mengajar menjadi terhambat. Fani Ferdiansyah, “Dana BOS belum Cair, Madrasah
Bisa Bangkrut” lihat dalam http://sindonews.com, diakses tanggal 5 April 2013, Pukul 22.10 WIB
[30] Di
Banyumas memasuki pekan akhir bulan april 2013 Bantuan Operasional Sekolah
(BOS) bagi madrasah di kabupaten Banyumas mengalami keterlambatan. Bahkan
menurut Kepala Seksi Mapenda Kemenag Kabupaten Banyumas, Persoalan keterlambatan
dana BOS tidak hanya terjadi pada tahun ini saja, tetapi tahun-tahun sebelumnya
juga pernah terjadi. Lihat “BOS belum juga Cair”, Harian Suara
Merdeka, Senin 29 April 2013.
[31] Gara-gara dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) belum
cair, berimbas kepada gaji para guru di sekolah swasta. Akibatnya sebagian guru
swasta terpaksa berhutang untuk menutupi kebutuhan sehari-harinya sampai
menungu dana BOS cair. “BOS belum Cair, Gaji Guru Swasta Tertunda”, Lihat di http://palembang.tribunnews.com diakses tanggal 5 April 2013, Pukul 22.30 WIB.
[32] Misalkan
menurut Kepala Dinas Pendidikan Sumatera
Utara (Kadisdiksu), Syaiful Safri terdapat 9 daerah Sumut yang
mengendapkan dana BOS. KeSembilan daerah itu adalah Langkat, Pematang Siantar, Tapanuli Tengah, Nias
Selatan, Nias, Gunung Sitoli, Nias Utara, Dairi dan Karo. Prawira Setiabudi, “Sembilan
Daerah Endapkan Dana BOS” http://www.waspada.co.id tanggal 5 April 2013, Pukul 23.00 WIB. Begitu juga
yang terjadi di Makasar, Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) Triwulan I
Tahun 2012 sebesar Rp 32,8 miliar masih mengendap di rekening Dinas Pendidikan
Pemerintah Kota Makassar. Syaekhudin, “Makasar Endapkan Dana BOS RP
32,8 M”, Lihat http://m.tribunnews.com, Jum’at 2 Maret 2012, di
akses tanggal 5 April 2013, Pukul
23.00 WIB.
[34] Tak
kalah pentingnya adalah faktor sekolah, semua sekolah sangat mendukung dengan
hadirnya dana BOS di sekolah karena hal tersebut sangat diperlukan bagi
keberlangsungan siswa yang ingin bersekolah namun tidak memiliki biaya. Lihat
dalam Ervin Restu Dianingtyas, “Perception Executing The Implementation Of
School Operational Grant Program”, dalam ejournal.unesa.ac.id
[35] Hal tersebut dapat dilihat dari beberapa penelitian yang di
lakukan oleh para akademisi misalkan penelitian yang dilakukan oleh M.Anshori
dengan judul “Akuntabilitas Pelaksanaan BOS Di Kabupaten Gresik (Studi
Tentang Akuntabilitas Administrasi dan Akuntabilitas Profesional dalam Program
Bantuan Operasional Sekolah (BOS) di Dinas Pendidikan Kabupaten Gresik), lihat http://elibrary.ub.ac.id diakses tanggal 22 Mei 2013, pukul 09.00 WIB.
[36] Sukardi
Weda, Efektifitas Program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk
Meningkatkan Mutu Layanan Pendidikan Dasar 9 tahun (Tesis) dalam
http://lib.ui.ac.id , diakses 22 Mei 2013, pukul 13.00
[38]Riant Nugroho, Public
Policy. (Jakarta : Elex Media Kopunindo, 2009), hal.40.
[39] Solichin, Pengantar Analisis Kebijakan Publik.
(Malang : UMM Press, 2008), Hal. 56.
[40]William Dunn, Pengantar, hal. 405.
[42] Konstruksi sosial dalam masyarakat dengan pendekatan sistem
cenderung menganggap dan melihat semua aspek sosiokultural dari segi proses,
khususnya jaringan informasi dan komunikasi. Menurut Buckley ada hubungan
antarsistem sosiokultural, sistem mekanis, dan sistem organis. Lebih lanjut
menjelaskan hubungan kontinum antara sistem-sistem itu, bahwa pergerakan
kontinum sistem dimulai dari sistem mekanik ke sistem organis baru ke sistem
sosiokultural. Jadi sistem bergerak dari kompleksitas yang kecil ke
kompleksitas yang paling besar. Buckley dalam Bungin Burhan, Konstruksi
Realitas Sosial Media Massa. (Jakarta: Prenada Media, 2006), hal. 82-83.