Kamis, 22 April 2010

Pildacil

“Pembunuhan Karakter itu bernama Pildacil ?”
(Perspektif analisis-subjektif)

Membangun Orientasi hidup: persfektif Al Qur’an

Dalam beberapa bulan yang lalu sebuah majalah Islam menerjunkan tajuk yang cukup mengusik hati saya. Tajuk yang ditulis oleh Mohamad Fauzil Adhim yang membuat hati saya resah dan gelisah. Resah karena menyangkut masa depan anak-anak kita. Gelisah karena ini realitas. Dalam tajuk tersebut beliau menyitir kalimat seorang ustadz yang bertindak sebagai juri dalam sebuah kontes yang konon mencari bibit-bibit unggulan Dai muda. Kata seorang juri dalam kontestan tersebut: “Kamu terbaik saat ini. Ini yang di inginkan juri. Beberapa tahun ke depan, rumah dan mobil kamu akan mewah. Kamu juga akan membangun Masjid”. “FANTASTIS”, sebuah nasehat yang membuat miris, sehingga tak hanya cukup dijawab dengan tangis. Anehnya justru para orang tua malah berbangga dengan itu semua. “Nasehat” Ini seharusnya membuat hati orang tua ngeri membayangkan masa depan anak-anaknya. Kecuali jika pertanyaan yang menguasai benak kita tentang anak-anak adalah apa yang akan mereka makan sesudah kita tiada, bukan apa yang mereka sembah, sehingga apa pun yang mereka kerjakan hanya untuk Robbul ‘alaamien. Bukankah setiap hari dalam sholat kita selalu mengajarkan kepada anak kita ayat Al Qu’an : “Sesungguhnya sholat, ibadah, hidup dan matiku hanyalah untuk Alloh, Tuhan semesta Alam, tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang di perintahkan kepadaku dan aku adalah orang pertama-tama menyerahkan diri ( kepada Alloh)”(Qs Al An’am: 162-163)
Inilah orientasi hidup yang harus kita hujamkan ke dada anak-anak kita. Kita hujamkan keinginan menolong agama Alloh ke dalam hati dan sanubari mereka sejak dini dengan sekuat-kuatnya. Semoga dengan itu ia menjadi orang yang ikhlas dalam memberikan hartanya, hidupnya dan dirinya bagi agama Alloh. Sesungguhnya amal itu tergantung dari niat. Jika anak-anak itu kelak menyembah Alloh karena mengharap dunia, mereka tidak akan memperoleh akhirat. Sedangkan dunia belum tentu ia mendapatkan.
Adapun jika mereka membaktikan sholat, ibadah, hidup dan matinya untuk Alloh semata, sesungguhnya Alloh Maha Pemurah Lagi Maha Penyayang. Insyaalloh mereka akan mampu menggenggam dunia dengan tangan kanannya, sedangkan di akherat menanti syurga yang penuh berkah dan mengalir sungai yang sejuk.
Kuatnya orientasi hidup inilah yang harus menjadi perhatian kita, orang tua dan para pendidik di sekolah. Bahkan seandainya yang kita inginkan dari mereka adalah kesuksesan karir di dunia ini, kita harus menanamkan pada anak kita orientasi yang kuat dan bersifat transenden. Bahkan kata seorang Psikolog W.Huitt menunjukkan bahwa seorang yang “Brilliant Star” (Bintang Brilian)- istilah Huitt tentang mereka yang memiliki prestasi yang luar biasa melebihi orang-orang sukses pada umumnya- biasanya memiliki ciri spiritual yang khas yaitu Disciple dan devout. Disciple berarti ia sangat percaya pada gagasan atau ajaran seorang pemimpin besar atau guru spiritual. Sedangkan Devout menunjukkan ketaatan yang sangat kuat.
Kunci pokok untuk menghantarkan anak meraih sukses adalah membentuk jiwanya, membangun motivasinya, membakar semangatnya dan mengarahkan orientasi hidupnya yang berbasis pada ikatan Transenden semenjak dini. Kita bakar semangatnya untuk bersungguh-sungguh melakukan yang terbaik demi sebuah idialisme yang buahnya ada di syurga.
Masih menurut riset W.Huitt, seorang “Brilliant Star” juga memiliki ciri sosial yang Transenden. Apapun yang ia lakukan dalam masyarakat adalah dalam rangka mewujudkan perintah Alloh di muka bumi dan menjadi pelayan yang rendah hati bagi umat manusia. Ia berbuat banyak, bahkan melampaui yang bisa dilakukan orang lain. Ia banyak memberi manfaat, tetapi merasa selalu apa yang ia lakukan belum cukup untuk mensyukuri nikmat Alloh Azza Wajalla.
Paradog PILDACIL; Antara bisnis dan mencetak kader umat
Untuk selanjutnya terlebih dahulu kita paparkan sedikit tentang tahap-tahap perkembangan anak untuk mengupas fenomena Pildacil. Pada masa kanak-kanak, motivasi masih dalam proses perkembangan. Fase pembentukan yang paling penting berada pada rentang usia 0-8 tahun. Selanjutnya usia 9-12 tahun merupakan fase penguatan. Secara umum, anak-anak mencapai kemapanan motivasi pada usia 12 tahun. Artinya, pada usia ini motivasi anak cenderung stabil, meskipun ada kemungkinan berubah. Jika pada usia-usia sebelumnya orang tua dan guru terus-menerus membangun motivasi intrinsik.
Alfie Kohn, seorang Psikolag, menyatakan alasan mendasar mengapa tidak boleh ada lomba yang bersifat kompetisi bagi anak-anak. Alih-alih merangsang motivasi berprestasi, anak-anak justru kehilangan dorongan untuk melakukan hal terbaik secara sungguh-sungguh. Dalam jangka panjang, anak justru kehilangan motivasi berprestasi dan semangat bersaing yang produktif.
Nah, apakah yang di tawarkan dari program Pildacil di salah satu stasiun TV swasta itu? Anak-anak dilatih menirukan ceramah-ceramah -bukan mengekpresikan gagasan atau ide secara ilmiah-untuk meraih mimpi-mimpi tentang uang yang berlimpah, umroh gratis bahkan sekaligus ambisi punya rumah mewah. Akan kita bawa kemana anak-anak kita jika di usianya yang masih belia, sudah sibuk mendakwahkan agama untuk meraih dunia? pada hal, hari ini mereka seharusnya membangun motivasi yang kuat, budaya belajar yang kokoh, integritas yang tinggi, dan visi besar yang bernilai spiritual.
Di luar itu semua, ada beberapa hal yang sangat memprihatinkan bagi perkembangan anak kita dimasa mendatang, terutama jika mengingat bahwa tidak mungkin mereka bisa tampil di Pildacil kecuali karena ada potensi besar pada diri mereka.
Jika melihat cara mereka berbicara dan sorot matanya saat tampil, tampak betul bahwa mereka bukan mengekpresikan gagasan atau ide. Tetapi mereka sedang belajar mengambil jalan pintas. Mereka menjadi kaset yang diputar ulang. Materi ceramah dan gaya bicara, tidak sedikit yang menunjukkan bahwa bukan diri mereka yang tampil. Yang tampil adalah sosok imitasi Aa Gym, Zainudin, sosok Ustad Jefri dll, bukan diri mereka yang sesungguhnya. Barang kali tidak disadari, cara seperti ini merupakan
“Pembunuhan Karakter positif anak”

Di saat anak harus belajar beramal dengan ikhlas dan gigih berusaha, mereka melihat kenyataan bahwa yang membuat mereka hebat bukan usaha keras mereka untuk berbicara sebaik-baiknya, tetapi seberapa banyak SMS yang masuk untuknya. Di banyak tempat pembunuhan karakter berikutnya terjadi; dari orang tua, pejabat pemerintah hingga pemuka agama yang tidak visioner berlomba mengeluarkan dana sekaligus menyeru untuk berkirim SMS sebanyak-banyaknya. Sekali lagi, anak belajar praktek manipulatif. Pada hal orang dewasa -melalui Akademi Fantasi Indonesia (AFI), Indonesian Idol, dll- pun seharusnya belajar untuk secara jujur mengakui keutamaan orang lain dan berusaha mengambil pelajaran orang lain yang lebih baik. Saya masih teingat ketika disolo, wali kota menyerukan warganya saat itu untuk berkirim SMS sebanyak-banyaknya untuk mendukung pemenangan salah satu akademisi yang berasal dari Solo dalam sebuah perlombaan Akademi Fantasi Indonesia. Yang lebih mengherankan lagi, masyarakat semuanya meng-IYA-kan kebijakan Wali kota. Dampak lebih jauh lagi praktek manipulasi suara-sebagian orang tua bahkan sampai menjual harta berharga untuk mendongkrak perolehan suara.
Anak-anak yang seharusnya belajar membangun visi hidup dan orientasi spiritual, justru kehilangan elan vital untuk terus mencari ilmu dengan sebaik-baiknya dengan fokusnya justru bagaimana menarik perhatian publik. Bukan menyampaikan apa yang baik.
Alasan diatas sesungguhnya setidaknya menyadarkan kepada kita semua untuk tidak menjerumuskan anak kita kepada “Kematian Karakter”. Terlalu kecil harga yang mereka terima untuk sebuah kehilangan yang sangat besar. Anak-anak itu sangat besar dan luar biasa potensinya. Pildacil sama sekali bukan masa depan anak kita, dan bukan pembibitan generasi Islam. Pildacil adalah bisnis dan hiburan, karena hanya inilah kamus yang di kenal oleh Televesi. Pandangan ini mungkin bersifat sangat subjektif, bukan maksud apa-apa sebenarnya. Maksud saya begini, setidaknya kita sebagai pendidik atau bahkan orang tua untuk senantiasi waspada terhadap segala tayangan Televesi baik dalam acara apapun. Walau dengan embel-embel wadah pencarian bakat untuk mencetak kader generasi umat yang mumpuni. Karena dengan sikap begitu kita dapat memastikan masa depan mereka untuk tidak menjadi “generasi pengekor”-untuk tidak mengatakan “generasi Pembebek”-(Syech Rombangi)

Matinya sekolah

“Matinya Sekolah?”
Bila Implementasi Pendidikan keluarga telah membumi

Ironi pendidikan kini; Sebuah Elegi masa depan
Pendidikan merupakan lembaga yang dianggap paling bertanggung jawab terhadap perkembangan sebuah bangsa. Tak ayal, ketika produk instansi ini tidak sesuai dengan harapan, maka pihak yang paling sering dipersalahkan adalah sekolah dan lembaga pendidikan. Ini tercermin ketika ada seorang guru yang sudah tua mulai mengeluh ,mengapa setiap terjadi kasus “Kecelakaan” penyaluran bakat remaja, semisal tawuran antar pelajar, perampokan yang dilakukan oleh pelajar, budaya nyabu, ngoplo, nyimeng, sampai kasus “Bandung lautan asmara” dan casting iklan sabun “Kamar kecil biru” diterminal Tirtonadi Solo, selalu saja guru dan lembaga pendidikan yang selalu dipersalahkan dan dipermasalahkan. Mulai dari menyorot soal ketidakseriusan guru mendidik dan krisis keteladanan guru yang tidak patut lagi “di gugu dan ditiru” sampai dengan mempolemikkan perlu tidaknya menghidupkan kembalii mata pelajaran budi pekerti atau bahkan menambah jam pelajaran Agama ditengah pelajaran moral pancasila dan PPKn yang semakin kehilangan orientasi nilai. Tak ayal, sekolah atau lembaga pendidikan seolah menjadi biang kerok atas semua kemelut bangsa dan menjadi pihak yang pertama yang harus diadili. Sungguh ironis, lembaga yang harusnya menjadi “Kawah Condrodimuko” malah menjadi pihak yang mesti dipersoalkan eksistensinya dalam membangun peradaban.
Padahal kalau kita cermati alokasi waktu bagi anak-anak tersebut dalam naungan atap sekolah tidak lebih dari 6 jam dalam 24 jam hidup sehari-hari. Waktu 6 jam pun masih dipotong untuk istirahat, hari libur setiap minggu dan beberapa hari libur insidental yang juga cukup banyak. Dapat di hitung berapa waktu yang mungkin dapat di manfaatkan oleh guru untuk mengontrol semua kegiatan atau aktifitas murid-muridnya. Dalam waktu yang sedikit itu,seorang guru di tuntut harus mencerdaskan,mengadabkan,membudayakan serangkuman materi kedalam otak anak. Mungkinkah semuanya dapat tercapai ?
Seorang guru jelas bukan tukang sulap yang mampu mengubah segala sesuatu dengan mantra “abrakadabra” atau “sim salabim” yang dengan sendiri otomatis menjadi “kunfayakun”, Beliau juga bukan “Superman” yang mampu melakukan semua dengan mudah, pun beliau juga bukan “Uber match”-nya ala neitzhe yang mampu menjalankan fungsinya sebagai manusia yang serba bisa, tetapi Beliau juga manusia biasa yang kadang terhimpit berbagai masalah dan kegetiran hidup yang cukup menyesakkan dada yang membutuhkan alam pikir kreatif. Demikian pula ruang kelas bukanlah mesin foto kopi yang bisa menstranfer seluruh catatan buku pada lembaran kertas yang kosong yang tak terbatas jumlahnya, dan murid pun bukanlah lembaran kertas yang kosong tetapi murid adalah potensi yang harus di kembangkan dengan berbagai kekomplekan poblemnya.
Persoalannya pun tidak cukup berhenti sampai disini. Seorang murid yang baru saja diajar tentang sopan santun berbicara, kalau berbicara harus menghindari kosa kata yang kotor dan tidak pantas, tetapi sampai dirumah orangt tuanya biasa berperang mulut ala telenovela dengan mengobral nama-nama seluruh koleksi kebun binatang. Apakah pelajaran moral yang baru saja didapat didalam ruang kelas tersebut bermanfaat dan membekas didalam hati serta alam bawah sadarnya anak? kalau sekedar mengingatkan dan kemudian menuliskannya didalam lembar jawaban ketika ujian tiba mungkin semua anak dapat melakukanya dengan nominal nilai 10, tetapi untuk menjadikannya menjadi sebuah kebiasaan sehari-hari -yang dalam bahasa agama kita sering sebut “Akhlak”-.tampaknya akan sulit dipastikan keberhasilannya.

Keluarga Sebagai “Soko Guru Peradaban”
Solusi yang sedang dikembangkan dan sedang menjadi trend adalah dengan sekolah “full day” atau “Boarding school”, dengan harapan bisa mengisolasi anak dari pergaulan buruk masyarakat, yang secara teorinya tampak ampuh pada dataran empiriknya acap kali masih jadi tanda Tanya besar ataupun bahkan tampak gagap ketika harus diparalelkan dengan kekomplekan problem hidup kehidupan remaja yang juga butuh bermasyarakat. Inilah cermin kegalauan dan kecemasan masa depan anak kita. Sadar atau tidak suatu saat saya, engkau dan kita semua pasti akan menjadi ayah dan bunda yang akan memandu jalannya masa depan anak kita.
Berangkat dari persepsi perbandingan waktu yang tidak proporsional itu, dalam pandangan seorang P.Mujiran dalam bukunya “Pernak-pernik pendidikan” mengajak mengembalikan tugas pendidikan kepada institusi yang lebih kokoh dan lebih tua dari pendidikan formal sekolah. Instutusi itu adalah keluarga. Dengan mengembalikan tugas pendidikan kepada institusi keluarga , maka sebenarnya juga telah menghidupkan slogan “Belajar seumur hidup” (Life-long education) secara nyata. Sebab begitulah kenyataannya, begitu individu lahir maka dia akan mendaulat ayah dan ibunya sebagai gurunya yang pertama. Walaupun tanpa teks pengangkatan dan surat keputusan (SK). Cara ayah makan dan minum, kebiasaan ibu berbicara dan bersikap akan direkam dalam alam bawah sadar anak sebagai proses pendidikan yang akan menjadi kebiasaan sehari-hari
Keluarga sebagai “Tiang Negara”
Keluarga sebagai umat kecil yang memiliki pimpinan dan anggota, mempunyai pembagian tugas dan kerja, serta hak dan kewajiban bagi masing-masing anggotanya.”Umat besar” atau satu negara demikian pula halnya. Al qur’an menamakan satu komunitas sebagai “Ummat” dan menamakan ib yang melahirkananak keturunan sebagai “Umm”. Menurut Qurais Shihab Kedua kata tersebut terambil dari akar kata yang sama. Mengapa demikian? Agaknya ibu yang melahirkan anak keturunan itu dan yang dipundaknya terutama dibebankan pembinaan dan pendidikan anak.
Keluarga adaah sebagai sekolah tempat putra-putri bangsa belajar. Dari sana mereka mempelajari sifat-sifat mulia, seperti kesetiaan, rahmat, adab, sopan santun (Ahlaqul kariemah) dan kasih sayang, Ghiroh (kecemburuan positif) dan sebagainya. Disinilah tempat mereka belajar. Dari kehidupan keluarga, seorang ayah sekaligus suami memperoleh dan memupuk sifat keberanian dan keuletan sikap dan upaya dalam rangka membela sanak keluarganya dan membahagiakannya mereka pada saat hidupnya dan setelah kematiannya.
Keluarga adalah unit terkecil yang menjadi pendukung dan pembangkit lahirnya bangsa dan masyarakat. Selama pembangkit itu mampu menyalurkan arus yang kuat lagi sehat, selama itu pula masyarakat dan bangsa akan menjadi sehat dan kuat. Nah, disinilah peran besar keluarga yang ikut andil terhadap bangun-runtuhnya suatu masyarakat. Walaupun harus diakui pula bahwa masyarakat secara keseluruhan dapat mempengaruhi pula keadaan para keluarga.
Kalau dalam literatur keagamaan di kenal ungkapan al mar’ah ‘imaadul bilad (wanita dalah tiang negara), maka pada hakikatnya tidaklah meleset bila dikatakan bahwa Al usroh ‘imaadul bilad biha tahya wabiha tamuut (keluarga adalah tiang negara,dengan keluargalah negara bangkit atau runtuh).
Demikianlah, terlihat betapa besar peranan keluarga dan betapa keberhasilan kita secara perorangan atau kolektif, secara pribadi atau sebagai bangsa, didunia dan akherat, banyak sekali ditentukan oleh keberhasilan kita dalam keluarga masing-masing. Wajar jika Alloh berpesan : “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka” (QS 66:6).
Nah, berangkat dari persepsi diatas yang menjadi benang merah bahwa Salah satu tugas yang ditekankan adalah tugas mendidik bukanlah tugas guru dan sekolah semata, akan tetapi juga harus disadari orang tua sebagai tugas yang secara otomatis melekat manakala anak lahir ke dunia dan juga harus diterima sebagi tugas keluarga serta lingkungan, sebagaimana pepatah arab “Al-Insaanu ibnu biah” (manusia itu anak lingkungannya). Tugas ini tidak bisa di pungkiri dan dielak begitu saja dengan membebankan segala proses pendidikan kepada sekolah. Oleh karena keluarga merupakan Institusi yang paling dasar dalam suatu masyarakat dan paling dekat dengan individu-individu, maka tanggung jawab keluarga tidaklah kecil.
Dengan demikian apabila seluruh keluarga telah sadar akan tugas mulia itu, maka kita tidak terlalu cemas dengan pertanda “Kematian Sekolah” seperti yang ditengarai oleh Neill Postman. Juga boleh menganggap “sepi ancaman gurita kapitalisme licik yang mengangkangi sekolah” sebagaimana kecemasan Paulo Freire. Bahkan juga dapat membiarkan peringatan Roem Topatimasang tentang fungsi sekolah yang telah berubah menjadi candu. Sebab, apabila seluruh keluarga sadar akan tugas utamanya maka sesungguhnya sebuah “Masyarakat tanpa sekolah” ( Deschooling Society ) yang pernah diangankan oleh Ivan Illich tanpa terasa telah dibumikan secara nyata. Wallohu a’lamu bisshowab

Matinya sekolah

“Matinya Sekolah?”
Bila Implementasi Pendidikan keluarga telah membumi

Ironi pendidikan kini; Sebuah Elegi masa depan
Pendidikan merupakan lembaga yang dianggap paling bertanggung jawab terhadap perkembangan sebuah bangsa. Tak ayal, ketika produk instansi ini tidak sesuai dengan harapan, maka pihak yang paling sering dipersalahkan adalah sekolah dan lembaga pendidikan. Ini tercermin ketika ada seorang guru yang sudah tua mulai mengeluh ,mengapa setiap terjadi kasus “Kecelakaan” penyaluran bakat remaja, semisal tawuran antar pelajar, perampokan yang dilakukan oleh pelajar, budaya nyabu, ngoplo, nyimeng, sampai kasus “Bandung lautan asmara” dan casting iklan sabun “Kamar kecil biru” diterminal Tirtonadi Solo, selalu saja guru dan lembaga pendidikan yang selalu dipersalahkan dan dipermasalahkan. Mulai dari menyorot soal ketidakseriusan guru mendidik dan krisis keteladanan guru yang tidak patut lagi “di gugu dan ditiru” sampai dengan mempolemikkan perlu tidaknya menghidupkan kembalii mata pelajaran budi pekerti atau bahkan menambah jam pelajaran Agama ditengah pelajaran moral pancasila dan PPKn yang semakin kehilangan orientasi nilai. Tak ayal, sekolah atau lembaga pendidikan seolah menjadi biang kerok atas semua kemelut bangsa dan menjadi pihak yang pertama yang harus diadili. Sungguh ironis, lembaga yang harusnya menjadi “Kawah Condrodimuko” malah menjadi pihak yang mesti dipersoalkan eksistensinya dalam membangun peradaban.
Padahal kalau kita cermati alokasi waktu bagi anak-anak tersebut dalam naungan atap sekolah tidak lebih dari 6 jam dalam 24 jam hidup sehari-hari. Waktu 6 jam pun masih dipotong untuk istirahat, hari libur setiap minggu dan beberapa hari libur insidental yang juga cukup banyak. Dapat di hitung berapa waktu yang mungkin dapat di manfaatkan oleh guru untuk mengontrol semua kegiatan atau aktifitas murid-muridnya. Dalam waktu yang sedikit itu,seorang guru di tuntut harus mencerdaskan,mengadabkan,membudayakan serangkuman materi kedalam otak anak. Mungkinkah semuanya dapat tercapai ?
Seorang guru jelas bukan tukang sulap yang mampu mengubah segala sesuatu dengan mantra “abrakadabra” atau “sim salabim” yang dengan sendiri otomatis menjadi “kunfayakun”, Beliau juga bukan “Superman” yang mampu melakukan semua dengan mudah, pun beliau juga bukan “Uber match”-nya ala neitzhe yang mampu menjalankan fungsinya sebagai manusia yang serba bisa, tetapi Beliau juga manusia biasa yang kadang terhimpit berbagai masalah dan kegetiran hidup yang cukup menyesakkan dada yang membutuhkan alam pikir kreatif. Demikian pula ruang kelas bukanlah mesin foto kopi yang bisa menstranfer seluruh catatan buku pada lembaran kertas yang kosong yang tak terbatas jumlahnya, dan murid pun bukanlah lembaran kertas yang kosong tetapi murid adalah potensi yang harus di kembangkan dengan berbagai kekomplekan poblemnya.
Persoalannya pun tidak cukup berhenti sampai disini. Seorang murid yang baru saja diajar tentang sopan santun berbicara, kalau berbicara harus menghindari kosa kata yang kotor dan tidak pantas, tetapi sampai dirumah orangt tuanya biasa berperang mulut ala telenovela dengan mengobral nama-nama seluruh koleksi kebun binatang. Apakah pelajaran moral yang baru saja didapat didalam ruang kelas tersebut bermanfaat dan membekas didalam hati serta alam bawah sadarnya anak? kalau sekedar mengingatkan dan kemudian menuliskannya didalam lembar jawaban ketika ujian tiba mungkin semua anak dapat melakukanya dengan nominal nilai 10, tetapi untuk menjadikannya menjadi sebuah kebiasaan sehari-hari -yang dalam bahasa agama kita sering sebut “Akhlak”-.tampaknya akan sulit dipastikan keberhasilannya.

Keluarga Sebagai “Soko Guru Peradaban”
Solusi yang sedang dikembangkan dan sedang menjadi trend adalah dengan sekolah “full day” atau “Boarding school”, dengan harapan bisa mengisolasi anak dari pergaulan buruk masyarakat, yang secara teorinya tampak ampuh pada dataran empiriknya acap kali masih jadi tanda Tanya besar ataupun bahkan tampak gagap ketika harus diparalelkan dengan kekomplekan problem hidup kehidupan remaja yang juga butuh bermasyarakat. Inilah cermin kegalauan dan kecemasan masa depan anak kita. Sadar atau tidak suatu saat saya, engkau dan kita semua pasti akan menjadi ayah dan bunda yang akan memandu jalannya masa depan anak kita.
Berangkat dari persepsi perbandingan waktu yang tidak proporsional itu, dalam pandangan seorang P.Mujiran dalam bukunya “Pernak-pernik pendidikan” mengajak mengembalikan tugas pendidikan kepada institusi yang lebih kokoh dan lebih tua dari pendidikan formal sekolah. Instutusi itu adalah keluarga. Dengan mengembalikan tugas pendidikan kepada institusi keluarga , maka sebenarnya juga telah menghidupkan slogan “Belajar seumur hidup” (Life-long education) secara nyata. Sebab begitulah kenyataannya, begitu individu lahir maka dia akan mendaulat ayah dan ibunya sebagai gurunya yang pertama. Walaupun tanpa teks pengangkatan dan surat keputusan (SK). Cara ayah makan dan minum, kebiasaan ibu berbicara dan bersikap akan direkam dalam alam bawah sadar anak sebagai proses pendidikan yang akan menjadi kebiasaan sehari-hari
Keluarga sebagai “Tiang Negara”
Keluarga sebagai umat kecil yang memiliki pimpinan dan anggota, mempunyai pembagian tugas dan kerja, serta hak dan kewajiban bagi masing-masing anggotanya.”Umat besar” atau satu negara demikian pula halnya. Al qur’an menamakan satu komunitas sebagai “Ummat” dan menamakan ib yang melahirkananak keturunan sebagai “Umm”. Menurut Qurais Shihab Kedua kata tersebut terambil dari akar kata yang sama. Mengapa demikian? Agaknya ibu yang melahirkan anak keturunan itu dan yang dipundaknya terutama dibebankan pembinaan dan pendidikan anak.
Keluarga adaah sebagai sekolah tempat putra-putri bangsa belajar. Dari sana mereka mempelajari sifat-sifat mulia, seperti kesetiaan, rahmat, adab, sopan santun (Ahlaqul kariemah) dan kasih sayang, Ghiroh (kecemburuan positif) dan sebagainya. Disinilah tempat mereka belajar. Dari kehidupan keluarga, seorang ayah sekaligus suami memperoleh dan memupuk sifat keberanian dan keuletan sikap dan upaya dalam rangka membela sanak keluarganya dan membahagiakannya mereka pada saat hidupnya dan setelah kematiannya.
Keluarga adalah unit terkecil yang menjadi pendukung dan pembangkit lahirnya bangsa dan masyarakat. Selama pembangkit itu mampu menyalurkan arus yang kuat lagi sehat, selama itu pula masyarakat dan bangsa akan menjadi sehat dan kuat. Nah, disinilah peran besar keluarga yang ikut andil terhadap bangun-runtuhnya suatu masyarakat. Walaupun harus diakui pula bahwa masyarakat secara keseluruhan dapat mempengaruhi pula keadaan para keluarga.
Kalau dalam literatur keagamaan di kenal ungkapan al mar’ah ‘imaadul bilad (wanita dalah tiang negara), maka pada hakikatnya tidaklah meleset bila dikatakan bahwa Al usroh ‘imaadul bilad biha tahya wabiha tamuut (keluarga adalah tiang negara,dengan keluargalah negara bangkit atau runtuh).
Demikianlah, terlihat betapa besar peranan keluarga dan betapa keberhasilan kita secara perorangan atau kolektif, secara pribadi atau sebagai bangsa, didunia dan akherat, banyak sekali ditentukan oleh keberhasilan kita dalam keluarga masing-masing. Wajar jika Alloh berpesan : “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka” (QS 66:6).
Nah, berangkat dari persepsi diatas yang menjadi benang merah bahwa Salah satu tugas yang ditekankan adalah tugas mendidik bukanlah tugas guru dan sekolah semata, akan tetapi juga harus disadari orang tua sebagai tugas yang secara otomatis melekat manakala anak lahir ke dunia dan juga harus diterima sebagi tugas keluarga serta lingkungan, sebagaimana pepatah arab “Al-Insaanu ibnu biah” (manusia itu anak lingkungannya). Tugas ini tidak bisa di pungkiri dan dielak begitu saja dengan membebankan segala proses pendidikan kepada sekolah. Oleh karena keluarga merupakan Institusi yang paling dasar dalam suatu masyarakat dan paling dekat dengan individu-individu, maka tanggung jawab keluarga tidaklah kecil.
Dengan demikian apabila seluruh keluarga telah sadar akan tugas mulia itu, maka kita tidak terlalu cemas dengan pertanda “Kematian Sekolah” seperti yang ditengarai oleh Neill Postman. Juga boleh menganggap “sepi ancaman gurita kapitalisme licik yang mengangkangi sekolah” sebagaimana kecemasan Paulo Freire. Bahkan juga dapat membiarkan peringatan Roem Topatimasang tentang fungsi sekolah yang telah berubah menjadi candu. Sebab, apabila seluruh keluarga sadar akan tugas utamanya maka sesungguhnya sebuah “Masyarakat tanpa sekolah” ( Deschooling Society ) yang pernah diangankan oleh Ivan Illich tanpa terasa telah dibumikan secara nyata. Wallohu a’lamu bisshowab