Selasa, 09 Februari 2010

surat buat kang nasir

“Saat Bahagia”
(Buat Kang NasirYang Sedang Bahagia)

“Akhirnya kumenemukanmu
Saat hati ini mulai merapuh
Akhirnya kumenemukanmu
Saat hati ini mulai berlabuh
Ku berharap engkaulah jawaban sglala risau hatiku”

Pertama kali saya menulis ini, saya teringat kawan saya yang minggu-minggu ini sedang berbunga-bunga hatinya. Berbunga karena telah menemukan “Teman sejati” untuk pendamping dan menemani setiap detik yang berlalu. Tentulah kita paham orang macam apa yang senang mendengarkannya lagu milik kelompok “NAFF” yang sempat nge-hit beberapa bulan yang lalu. Dengan judul “Akhirnya Ku Menemukanmu”, sudah jelas apa artinya. Sebuah akhir penantian yang panjang nan amat melelahkan akan segera terobati dengan datangnya “Sang Fajar ” penyelamat ditengah hiruk pikuk kehidupan yang makin hari makin terasa melelahkan.
Tiba-tiba dunia jadi serba indah, seolah dunia begitu bersahabat dan semua masalah memunculkan solusinya masing-masing. Lintasan masa yang sempat teramat berat dijalani jadi seringan kapas. Masa lalu yang begitu pahit seolah lenyap, manakala melihat “Sang Dewi” yang sebentar lagi akan hadir. Masa depan yang samar-samar mulai menyibakkan setitik sinar terang………nun jauh disana.
Ya, itulah gambaran kawanku -bukan hanya kawanku, tapi kawan kita semua- yang sedang kasmaran dan sedang bahagia hari-harinya. Semua memang serba indah saat situasi sedang menyenangkan. Tapi adakah jaminan bahwa segala pengertian, pemaafan dan penerimaan terhadap kesalahan pasangan hidup/orang lain tetap akan sama jika situasinya berubah ? apakah Sang suami/istri masih mau dengan bijak membela kesalahan-kesalahan pasangan hidup saat, “Taruhlah”, kita tak sebagus sekarang.
Jalan hidup masih panjang kawan. Samudra masih terbentang maha luas kawan! Masih ada waktu untuk menyiapkan diri dengan bekal yang secukupnya untuk mengarungi samudra harapan Bos! Kita tak boleh lengah dengan badai yang mungkin akan sedikit menghambat langkah kita.
Ya, kita tunggu hasil akhirnya. Apakah masa bulan madu itu hanya seumur jagung atau bakal terus terjaga sampai penantian itu benar-benar terwujud dalam realita berupa sampainya kalian ke tujuan akhir sebagaimana kapal berlayar yaitu sebuah pulau yang di cita-citakan segenap umat manusia “Pulau Kebahagiaan” atau setidaknya “Mimpi yang sempurna teraih”. Dan apakah semua akan tetap indah sebagaimana indahnya sekarang jika untuk kesekian kalinya harapan menjauh dari pelupuk mata. Aha…..!
Harapan untuk menemukan “Seseorang” memang harus terus di jaga dan diperjuangkan, tetapi tetap dengan jalur-jalur yang baik. Entah esok, entah lusa, jika pun gagal, semoga dunia ini bisa tetap seindah sekarang. Selamat berbahagia kawan, semoga sakinah, mawaddah nan rohmah menyertai setiap jejak langkahmu. Selamat berlayar ke samudra pengharapan menempuh perjalanan panjang dan semoga selamat sampai ke tujuan akhir “Pulau Kebahagian” teraih
Selamat berbahagia kang Nasir, Mudah-mudahan Sakinah Mawaddah Nan Rohmah senantiasa menaungi bahtera perahu yang sedang kalian jalani.

“Jika nanti kusanding dirimu
Milikilah aku dengan segala kelemahanku
Dan bial nanti engkau disampingku
Jangan pernah letih tuk mencintaiku”

Minggu, 07 Februari 2010

Matinya Sekolah

“Matinya Sekolah?”
Bila Implementasi Pendidikan keluarga telah membumi

Ironi pendidikan kini; Sebuah Elegi masa depan
Pendidikan merupakan lembaga yang dianggap paling bertanggung jawab terhadap perkembangan sebuah bangsa. Tak ayal, ketika produk instansi ini tidak sesuai dengan harapan, maka pihak yang paling sering dipersalahkan adalah sekolah dan lembaga pendidikan. Ini tercermin ketika ada seorang guru yang sudah tua mulai mengeluh ,mengapa setiap terjadi kasus “Kecelakaan” penyaluran bakat remaja, semisal tawuran antar pelajar, perampokan yang dilakukan oleh pelajar, budaya nyabu, ngoplo, nyimeng, sampai kasus “Bandung lautan asmara” dan casting iklan sabun “Kamar kecil biru” diterminal Tirtonadi Solo, selalu saja guru dan lembaga pendidikan yang selalu dipersalahkan dan dipermasalahkan. Mulai dari menyorot soal ketidakseriusan guru mendidik dan krisis keteladanan guru yang tidak patut lagi “di gugu dan ditiru” sampai dengan mempolemikkan perlu tidaknya menghidupkan kembalii mata pelajaran budi pekerti atau bahkan menambah jam pelajaran Agama ditengah pelajaran moral pancasila dan PPKn yang semakin kehilangan orientasi nilai. Tak ayal, sekolah atau lembaga pendidikan seolah menjadi biang kerok atas semua kemelut bangsa dan menjadi pihak yang pertama yang harus diadili. Sungguh ironis, lembaga yang harusnya menjadi “Kawah Condrodimuko” malah menjadi pihak yang mesti dipersoalkan eksistensinya dalam membangun peradaban.
Padahal kalau kita cermati alokasi waktu bagi anak-anak tersebut dalam naungan atap sekolah tidak lebih dari 6 jam dalam 24 jam hidup sehari-hari. Waktu 6 jam pun masih dipotong untuk istirahat, hari libur setiap minggu dan beberapa hari libur insidental yang juga cukup banyak. Dapat di hitung berapa waktu yang mungkin dapat di manfaatkan oleh guru untuk mengontrol semua kegiatan atau aktifitas murid-muridnya. Dalam waktu yang sedikit itu,seorang guru di tuntut harus mencerdaskan,mengadabkan,membudayakan serangkuman materi kedalam otak anak. Mungkinkah semuanya dapat tercapai ?
Seorang guru jelas bukan tukang sulap yang mampu mengubah segala sesuatu dengan mantra “abrakadabra” atau “sim salabim” yang dengan sendiri otomatis menjadi “kunfayakun”, Beliau juga bukan “Superman” yang mampu melakukan semua dengan mudah, pun beliau juga bukan “Uber match”-nya ala neitzhe yang mampu menjalankan fungsinya sebagai manusia yang serba bisa, tetapi Beliau juga manusia biasa yang kadang terhimpit berbagai masalah dan kegetiran hidup yang cukup menyesakkan dada yang membutuhkan alam pikir kreatif. Demikian pula ruang kelas bukanlah mesin foto kopi yang bisa menstranfer seluruh catatan buku pada lembaran kertas yang kosong yang tak terbatas jumlahnya, dan murid pun bukanlah lembaran kertas yang kosong tetapi murid adalah potensi yang harus di kembangkan dengan berbagai kekomplekan poblemnya.
Persoalannya pun tidak cukup berhenti sampai disini. Seorang murid yang baru saja diajar tentang sopan santun berbicara, kalau berbicara harus menghindari kosa kata yang kotor dan tidak pantas, tetapi sampai dirumah orangt tuanya biasa berperang mulut ala telenovela dengan mengobral nama-nama seluruh koleksi kebun binatang. Apakah pelajaran moral yang baru saja didapat didalam ruang kelas tersebut bermanfaat dan membekas didalam hati serta alam bawah sadarnya anak? kalau sekedar mengingatkan dan kemudian menuliskannya didalam lembar jawaban ketika ujian tiba mungkin semua anak dapat melakukanya dengan nominal nilai 10, tetapi untuk menjadikannya menjadi sebuah kebiasaan sehari-hari -yang dalam bahasa agama kita sering sebut “Akhlak”-.tampaknya akan sulit dipastikan keberhasilannya.

Keluarga Sebagai “Soko Guru Peradaban”
Solusi yang sedang dikembangkan dan sedang menjadi trend adalah dengan sekolah “full day” atau “Boarding school”, dengan harapan bisa mengisolasi anak dari pergaulan buruk masyarakat, yang secara teorinya tampak ampuh pada dataran empiriknya acap kali masih jadi tanda Tanya besar ataupun bahkan tampak gagap ketika harus diparalelkan dengan kekomplekan problem hidup kehidupan remaja yang juga butuh bermasyarakat. Inilah cermin kegalauan dan kecemasan masa depan anak kita. Sadar atau tidak suatu saat saya, engkau dan kita semua pasti akan menjadi ayah dan bunda yang akan memandu jalannya masa depan anak kita.
Berangkat dari persepsi perbandingan waktu yang tidak proporsional itu, dalam pandangan seorang P.Mujiran dalam bukunya “Pernak-pernik pendidikan” mengajak mengembalikan tugas pendidikan kepada institusi yang lebih kokoh dan lebih tua dari pendidikan formal sekolah. Instutusi itu adalah keluarga. Dengan mengembalikan tugas pendidikan kepada institusi keluarga , maka sebenarnya juga telah menghidupkan slogan “Belajar seumur hidup” (Life-long education) secara nyata. Sebab begitulah kenyataannya, begitu individu lahir maka dia akan mendaulat ayah dan ibunya sebagai gurunya yang pertama. Walaupun tanpa teks pengangkatan dan surat keputusan (SK). Cara ayah makan dan minum, kebiasaan ibu berbicara dan bersikap akan direkam dalam alam bawah sadar anak sebagai proses pendidikan yang akan menjadi kebiasaan sehari-hari
Keluarga sebagai “Tiang Negara”
Keluarga sebagai umat kecil yang memiliki pimpinan dan anggota, mempunyai pembagian tugas dan kerja, serta hak dan kewajiban bagi masing-masing anggotanya.”Umat besar” atau satu negara demikian pula halnya. Al qur’an menamakan satu komunitas sebagai “Ummat” dan menamakan ib yang melahirkananak keturunan sebagai “Umm”. Menurut Qurais Shihab Kedua kata tersebut terambil dari akar kata yang sama. Mengapa demikian? Agaknya ibu yang melahirkan anak keturunan itu dan yang dipundaknya terutama dibebankan pembinaan dan pendidikan anak.
Keluarga adaah sebagai sekolah tempat putra-putri bangsa belajar. Dari sana mereka mempelajari sifat-sifat mulia, seperti kesetiaan, rahmat, adab, sopan santun (Ahlaqul kariemah) dan kasih sayang, Ghiroh (kecemburuan positif) dan sebagainya. Disinilah tempat mereka belajar. Dari kehidupan keluarga, seorang ayah sekaligus suami memperoleh dan memupuk sifat keberanian dan keuletan sikap dan upaya dalam rangka membela sanak keluarganya dan membahagiakannya mereka pada saat hidupnya dan setelah kematiannya.
Keluarga adalah unit terkecil yang menjadi pendukung dan pembangkit lahirnya bangsa dan masyarakat. Selama pembangkit itu mampu menyalurkan arus yang kuat lagi sehat, selama itu pula masyarakat dan bangsa akan menjadi sehat dan kuat. Nah, disinilah peran besar keluarga yang ikut andil terhadap bangun-runtuhnya suatu masyarakat. Walaupun harus diakui pula bahwa masyarakat secara keseluruhan dapat mempengaruhi pula keadaan para keluarga.
Kalau dalam literatur keagamaan di kenal ungkapan al mar’ah ‘imaadul bilad (wanita dalah tiang negara), maka pada hakikatnya tidaklah meleset bila dikatakan bahwa Al usroh ‘imaadul bilad biha tahya wabiha tamuut (keluarga adalah tiang negara,dengan keluargalah negara bangkit atau runtuh).
Demikianlah, terlihat betapa besar peranan keluarga dan betapa keberhasilan kita secara perorangan atau kolektif, secara pribadi atau sebagai bangsa, didunia dan akherat, banyak sekali ditentukan oleh keberhasilan kita dalam keluarga masing-masing. Wajar jika Alloh berpesan : “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka” (QS 66:6).
Nah, berangkat dari persepsi diatas yang menjadi benang merah bahwa Salah satu tugas yang ditekankan adalah tugas mendidik bukanlah tugas guru dan sekolah semata, akan tetapi juga harus disadari orang tua sebagai tugas yang secara otomatis melekat manakala anak lahir ke dunia dan juga harus diterima sebagi tugas keluarga serta lingkungan, sebagaimana pepatah arab “Al-Insaanu ibnu biah” (manusia itu anak lingkungannya). Tugas ini tidak bisa di pungkiri dan dielak begitu saja dengan membebankan segala proses pendidikan kepada sekolah. Oleh karena keluarga merupakan Institusi yang paling dasar dalam suatu masyarakat dan paling dekat dengan individu-individu, maka tanggung jawab keluarga tidaklah kecil.
Dengan demikian apabila seluruh keluarga telah sadar akan tugas mulia itu, maka kita tidak terlalu cemas dengan pertanda “Kematian Sekolah” seperti yang ditengarai oleh Neill Postman. Juga boleh menganggap “sepi ancaman gurita kapitalisme licik yang mengangkangi sekolah” sebagaimana kecemasan Paulo Freire. Bahkan juga dapat membiarkan peringatan Roem Topatimasang tentang fungsi sekolah yang telah berubah menjadi candu. Sebab, apabila seluruh keluarga sadar akan tugas utamanya maka sesungguhnya sebuah “Masyarakat tanpa sekolah” ( Deschooling Society ) yang pernah diangankan oleh Ivan Illich tanpa terasa telah dibumikan secara nyata.