Jumat, 18 Juni 2010

Belajar dari sekolahnya Manusia

Belajar dari “Sekolahnya Manusia”


Sebuah Pengantar

Perjalanan ke jogja terasa melelahkan ketika kami sampai di ambar ketawang untuk sarapan pagi. Perjalanan yang tadinya melelahkan terasa lenyap saat kami sampai di gedung tempat seminar. Rasa lelah,capek terasa sirna saat kami di sambut dengan dengan Band yang tidak lumrah. Kenapa saya katakana tidak lumrah, karena band yang di namai “Autis Band” dan yang di gawangi Kharisma dan teman-temannya kesemuanya adalah anak-anak yang notabane-nya adalah anaka-anak berkebutuhan khusus. Setelah itu kami juga di suguhi penampilan Andy Wibowo seorangtuna grahita yang sangat mahir menggambar dan melukis Dia juga bisa menggambar dengan dua tangan secara bersamaan berbeda obyek, Rizki bocah 10 tahun penderita autisme yang mempunyai daya ingat luar biasa dari mengingat pidato-pidato para tokoh negara sampai kalender. Dan terakhir saat pak munif chatif (penulis buku Sekolahnya manusia) berbicara dan memanggil muhamad amar dari SMAIT purwokerto untuk tampil di depan dan memamerkan karyanya.



”Akan saya buat sekolah kami sebagai surga bagi anak-anak berkebutuhan khusus.”Ucapan ini barangkali terasa berlebihan bagi telinga kita.Namun, begitulah adanya. Dengan semangat dan kreativitasnya, Drs Ciptono berhasil membuat Sekolah Luar Biasa yang dipimpinnya benar-benar menjadi luar biasa sebagaimana penampilan anak-anak saat seminar.

Pada hakekatnya, manusia di lahirkan ke muka bumi dengan di karunia kecerdasan yang beragam dari Alloh. Jika keberagaman itu, mendapat tempat yang adil akan jadi kekuatan yang dahsyat bagi manusia, untuk mengelola alam dan bumi ciptaan-Nya ini. Masalahnya, bagaimana cara tepat untuk mengelola keberagaman itu?.

Selama ini banyak murid yang mengalami ketidakfahaman bahkan mungkin kebingungan dalam mencerna dan menerima pelajaran serta tidak mampu mencerna materi yang diberikan oleh guru dengan baik.Tak jarang, mereka di beri label “Bodoh” kadang mereka juga dituduh “bermasalah”. Ternyata, dalam beberapa penelitian menunjukkan bahwa kegagalan siswa mencerna informasi dari gurunya disebabkan oleh ketidaksesuaian gaya mengajar guru dan gaya belajar siswa. Padahal, apabila gaya mengajar guru sesuai dengan gaya belajar siswa, semua pelajaran akan terasa sangat mudah dan menyenangkan.

Pemahaman multilple intelligence yang diperkenalkan oleh Howard Gardner, berhasil ditransformasikanoleh Munif chatib menjadi proses pembelajaran yang manusiawi dan aplikasi. Jika selama ini banyak sekolah yang seolah meraba-raba bagaimana mendidik anak dengan tepat sesuai dengan potensi dirinya. Inilah yang di sebut “Sekolahnya Manusia”


Sekolahnya Manusia


Saat ini banyak sekolah yang menggunakan dan terjebak dengan penggunaan istilah “Sekolah unggul” tujuannya satu yaitu untuk menarik minat konsumen pendidikan. Dalam pandangan seorang Munif Chatib istilah ”Sekolah unggul” diubah menjadi ”Sekolah manusia”. Maklumlah, kriteria unggul akan melahirkan banyak versi. Namun, istilah ”manusia” tentu semua orang sepakat. Segala sisi hakikat manusia harus terwakili dalam proses pendidikan manusia itu sendiri.

Dalam Proses pembelajaran di sekolah harus mengandung dan melibatkan kekuatan emosi positif. Mulai proses awal pembelajaran sampai akhir benar-benar menyentuh perasaan siswa. Ada 8 poin yang harus dimiliki sebuah sekolah untuk disebut Sekolahnya Manusia yaitu :

Pertama,Pendidikan di dalamnya mengintegrasi Jasmani dan Ruhani dengan Agama dan Akhlak, memiliki 60% muatan agama dalam koridor Character Building, yang masuk bersama-sama materi Umum. Agama bukan sebagai pelajaran bermuatan kognitif tapi lebih ke pengelolaan akhlak lewat Character Building . Kedua,Sekolah berperan sebagai Agent of Change, mampu merubah kondisi awal siswa yang negatif menjadi positif. Cirinya sekolah ini tidak akan memakai perangkat serentetan tes masuk. Melainkan memakai Multiple Intelegence Research. Siapa saja diterima di sekolah ini, bukan hanya yang ‘dianggap’ bodoh dan nakal, tetapi juga yang dianggap memiliki keterbatasan fisik atau kemampuan otak seperti cacat fisik, CP, autis dsb.



Ketiga, Sekolah harus memiliki The Best Process dalam aktivitas kelas. Belajar dengan cara yang menyenangkan, 30% Teacher Talking Time, sisanya 70% siswa belajar dengan active learning. Learning Style = Teaching Style, hasilnya pelajaran jadi mudah dan menyenangkan. Jauhkan kesan kelas sebagai penjara terkejam, yang hanya mampu menghasilkan manusia bermental robot. Keempat, Sekolah memiliki the best teachers. Kelima,Terjadi Active Learning. Siswa belajar dengan aktif tidak hanya secara pasif mau tidak mau harus mendengar guru. Hasilnya siswa tidak hanya TAHU APA, tapi juga tahu BISA APA. Menggunakan pendekatan strategi mengajar Multiple Intelegence sesuai kerja otak siswa.



Keenam,Ada Applied Learning, sekolah mengaitkan materi belajar dengan kehidupan sehari-hari, sehingga siswa tidak hanya belajar konsep abstrak tapi juga pembelajaran langsung diaplikasikan pada kehidupan sehari-hari. Ketujuh, yang taka kalah pentingnya adalah Mengaplikasikan Pendekatan Multiple Intelegences dan penggunaan MIR, sebagai pemantik kreativitas anak, fasilitator tentang kebiasaan yang perlu dikembangkan ortu dan mempercepat anak menemukan kondisi akhir terbaik bagi dirinya. Dan Terakhir adalah Penilaian otentik diterapkan dalam setiap pengambilan nilai evaluasi hasil belajar. Ciri penilaian otentik adalah : Soal berkualitas dan bisa dikerjakan siswa,.Sifatnya Ability Test bukan Disability Test, Penilaian dapat digunakan untuk Discovering Ability, Kemampuan anak dinilai berdasar perkembangannya dari waktu ke waktu, dan tidak membandingkannya dengan siswa lain, serta Penilaian berbasis proses, bukan pada akhir pembelajaran seperta Ujian Akhir yang ada.

Peran Guru Dalam Multiple Intelegency

Dalam mindset lama, sering kita memahami bahwa seorang guru adalah segala-galanya bagi siswa. Tetapi dalam perkembangannya, mindset tersebut telah mengalami perubahan yang mendasar. Bukan guru sebagai pusat segala-galanya, tetapi siswalah yang berperan banyak dalam proses situ. Pada dasarnya seorang pendidik adalah seorang fasilitator. Maksudnya adalah ia hendaknya mampu membangun suasana belajar yang kondusif-variatif agar siswa mampu belajar-mandiri (self-directed learning).Ia juga hendaknya mampu menjadikan proses pembelajaran sebagai kegiatan eksplorasi diri dan lading kreatifitas untuk anak didiknya. Galileo menegaskan bahwa sebenarnya kita tidak dapat mengajarkan apapun, kita hanya dapat membantu peserta didik untuk menemukan dirinya dan mengaktualisasikan dirinya. Setiap pribadi manusia memiliki “self-hidden potential excellece” (mutiara talenta yang tersembunyi di dalam diri), tugas pendidikan yang sejati adalah membantu peserta didik untuk menemukan dan mengembangkannya seoptimal mungkin

Konsep ini sudah lama didengungkan dan dipraktikkan, namun hanya ”awalnya” yang ”hangat”. Setelah itu, kembali kepada paradigma lama, yaitu 80 persen waktu pembelajaran didominasi guru. Seharusnya, persentase proses siswa belajar harus lebih besar daripada persentase proses guru mengajar.

Selain berperan sebagai fasilitator, dalam pembelajaran berbasis Multiple Intelegency seorang guru harus berperan sebagai katalisator. Maksudnya adalah setiap guru harus terus berusaha menggali kemampuan siswa, termasuk bakatnya. Terutama kepada para siswa yang ”slow learn” dalam menerima dan memahami informasi. Bukan malah memihak kepada siswa yang ”pandai” saja.

Guru yang baik selalu berusaha menyesuaikan gaya mengajarnya dengan gaya belajar siswanya. Apabila proses teaching sytle dan learning style sesuai, akan muncul kondisi sebenarnya tidak ada pelajaran yang sulit dan semua siswa mampu menerima informasi dari guru.

Sebuah Penutup

Pada hakekatnya Pendidikan adalah untuk manusia, begitu juga sekolah adalah sekolahnya manusia.Jadi, lembaga pendidikan seharusnya mengantarkan kemauan atau cita-cita muridnya, bukan sebaliknya murid mengantarkan kemauan atau cita-cita sekolah.

Dan terakhir, Sekali lagi bahwa 'Multiple intelligences 'bukanlah kurikulum..'Multiple Intelligences' adalah strategi pembelajaran berupa rangkaian aktivitas belajar . Maksudnya adalah sekolah yang menerapkan 'multiple intelligences', bukanlah sekolah yang mengklaim : memiliki fasilitas olahraga untuk melatih kecerdasan kinestetik, atau memiliki fasilitas laboratorium untuk melatih kecerdasan logika dll, tetapi sekolah yang menggunakan pendekatan variatif dengan berbasis pada penyesuaian gaya belajar siswa.