Kamis, 24 April 2008

Belajar fun

“Pembelajaran fun sebuah perspektif”

Memahami Makna pembelajaran

Pendidikan adalah fondasi pertama bagi tegaknya agama. Karena itu kalam awal yang dihunjamkan ke dalam dada Muhammad, nabi yang utama, adalah pembacaan (iqra) secara bebas tak terbatas bukan semata terhadap objek yang tertulis (written text) bahkan juga objek yang terhampar (reality) di alam semesta ini yang meliputi makhluk manusia dan non-manusia. Yang pertama membutuhkan instrumen nalar dan intuisi yang prosesnya biasa disebut sebagai tadabbur, sedangkan yang terakhir memerlukan nalar dan indera yang prosesnya sering dinamakan tafakkur
Tadabbur dan tafakkur adalah penanda utama bagi kaum ulul albab, manusia paripurna yang menjadi tujuan dalam proses pendidikan. Melalui instrumen penting itu, manusia bisa mempersepsi, memahami, memaknai, dan merumuskan asumsi-asumsi, hipotesis-hipotesis, hukum-hukum,membuat metode-metode baru dan teori-teori tentang semua yang ada di semesta raya ini baik yang dapat diraba maupun tidak dapat diraba. Termasuk di bidang pendidikan yakni berfikir dan merumuskan bagaimana pembelajaran bisa di pahami dan terima oleh pembelajar. Sering kita menafikkan aspek ini, “yang penting saya sudah ajarkan”. Pada hal semua itu sangat penting untuk keberhasilan sebuah pembelajaran.
Hasil-hasil pengajaran dan pembelajaran berbagai bidang studi terbukti selalu kurang memuaskan berbagai pihak (yang berkepentingan – stakeholder). Hal tersebut setidak-tidaknya disebabkan oleh tiga hal. Pertama, perkembangan kebutuhan dan aktivitas berbagai bidang kehidupan selalu meninggalkan proses/hasil kerja lembaga pendidikan atau melaju lebih dahulu daripada proses pengajaran dan pembelajaran sehingga hasil-hasil pengajaran dan pembelajaran tidak cocok/pas dengan kenyataan kehidupan yang diarungi oleh siswa. Kedua, pandangan-pandangan dan temuan-temuan kajian (yang baru) dari berbagai bidang tentang pembelajaran dan pengajaran membuat metodologi pembelajaran yang ada sekarang tidak memadai atau tidak cocok lagi. Ketiga, berbagai permasalahan dan kenyataan negatif tentang hasil pengajaran dan pembelajaran menuntut diupayakannya pembaharuan metodologi pengajaran dan pembelajaran. Dengan demikian, diharapkan mutu dan hasil pembelajaran dapat makin baik dan meningkat.
Tidak mengherankan, dalam beberapa tahun terakhir ini di Indonesia telah berkelebatan (muncul, populer, surut, tenggelam) berbagai falsafah dan metodologi pembelajaran yang dipandang baru-mutakhir meskipun akar-akar atau sumber-sumber pandangannya sebenarnya sudah ada sebelumnya, malah jauh sebelumnya. Beberapa di antaranya (yang banyak dibicarakan, didiskusikan, dan dicobakan oleh pelbagai kalangan pembelajaran dan sekolah) dapat dikemukakan di sini, yaitu pembelajaran konstruktivis, pembelajaran kooperatif, pembelajaran terpadu, pembelajaran aktif, pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning, CTL), pembelajaran berbasis projek (project based learning), pembelajaran berbasis masalah (problem based learning), pembelajaran interaksi dinamis, dan pembelajaran kuantum (Quantum learning) dan lain-lain yang tentu akan mempermudah proses pembelajaran.

Penggunaan istilah kegiatan belajar, membuat kita jadi sadar bahwa pusat utama dalam proses pembelajaran dalam sebuah komunitas belajar adalah siswa (student centered learning). Hal ini tidak dapat kita pungkiri seiring perkembangan metode pembelajaran yang semakin berkembang, sehingga menyebabkan perubahan paradigma yang semula guru menja pusat (centalistik) menjadi terbalik (justru siswa yang menjadi pusat). Dari paradigm ini akhirnya mengembang menjadi paradigma dengan menggunaan pendekatan-pendekatan mutahir dengan pendekatan berbasis siswa. Munculnya perbagai pendekatan baru dalam dunia pendidikan semakin membuat dunia pendidikan bergairah untuk bangkit membangun bangsa yang sedang mengalami berbagai krisis. Dan dengan munculnya berbagai pendekatan itu pula akhirnya menggeser kebiasaan sekolah tradisinal yang cenderung menempatkan guru sebagai centered student learning . Dulu ketika saya masih kecil dan masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD), pembelajaran masih sangat kuat di dominasi oleh guru artinya yang terlibat aktif justru gurunya ( bukan muridnya) sementara siswa cenderung bersifat pasif atau sebagai partisipan belaka.
Sebagai pusat belajar, siswa di harapkan lebih aktif berkegiatan membangun suatu pemahaman, ketrampilan dan sikap . Aktifitas siswa menjadi penting di tekankan karena belajar itu pada hakekatnya adalah proses yang aktif dimana siswa menggunakan kekuatan pikirannya untuk membangun sebuah pemahaman ( contruktifism). Murid tidak hanya cukup belajar menyerap dan menghafal pengetahuan (Transfer of knowledge ) yang kadang-kadang hany bersifat informasi . Potensi otak manusia terutama murid tidak hanya dapat di fungsikan untuk menghafal dan mengingat, tetapi juga untuk mengolah informasi yang akan diproses dan untuk membangun pengertian-pengertian baru (ketrampilan mengolah informasi). Inilah yang harus kita perhatikan sebagai seorang pendidik dan sering kali jarang kita pahami pula.

Konsep pembelajaran yang fun

Dulu saya cenderung terjebak memahami pembelajaran yang menyenangkan adalah pembelajaran yang menekankan atau dengan identik “yang penting anak senang”. Ternyata Hal ini tidak seluruhnya benar . Kalau hanya sekedar anak senang maka kadang –kadang pembelajaran jadi seperti hampa nilai. Kemuadian setelah saya pelajari dengan berbagai literature ternyata menyenangkan tidak identik dengan yang penting anak senang. Dan dulu saya baca bukunya Hernowo, saya jadi terkejut tentang pemahaman makna menyenangkan. Menyenangkan atau membuat suasana belajar dalam keadaan gembira bukan berarti menciptakan suasana yang rebut atau hura-hura. Kegembiraan ini dapat di artikan dengan bangkitnya minat, adanya keterlibatan penuh dari siswa, tercipnya sebuah makna, pemahaman (penguasaan atas materi yang di pelajari) serta nilai yang membahagiakan pada diri si pembelajar. Paling tidak pembelajaran yang menyenangkan setidaknya mencakup empat hal tersebut.
Dalam realitasnya bangkitnya minat sering kita pahami dengan gairah ( keinginan) yang menggebu-gebu. Jadi kalau kita kontekskan dengan ini maka sikap seorang pembelajar maupun pengajar menjadi sangat gembira lantaran di dalam dirinya memang ada keinginan mengajarkan atau mempelajari pelajaran dengan sungguh-sungguh.
Keterlibatan penuh siswa dalam mempelajari sesuatu , komponen ini sangat tergantung pada komponen pertama. Apakah mungkin seorang pelajar dapat terlibat penuh dalam pelajarannya jika tidak mempunyai keinginan( bangkitnya minat) untuk mengikuti pelajaran? Keterlibatan memerlukan hubungan timbal balik apa yang di pelajari dan siapa yang ingin mempelajari, perlu ada jalinan yang akrab dan saling memahami.
Kebermaknaan, makna tidak mudah didefinisikan. Makna terkait dengan masing-masing pribadi. Kata yang paling mungkin dekat dan mudah di pahami adalah berkaitan dengan makna adalah terbitnya atau munculnya sesuatu yang mengesankan dalam pembelajaran. Biasanya sesuatu yang mengesankan biasanya menghadirkan makna. Jika pembelajaran tidak menimbulkan kesan mendalam terhadap para siswa, maka mustahil ada makna.Pemahaman, jika komponen minat dapat tumbuh, kemudian dia terlibat secara aktif dan penuh dalam membahas materi pelajaran dan ujung-ujungnya dia bisa menemukan makna (terkesan) dengan pelajaran yang diikutinya tentulah pemahaman akan materi yang di pelajrinya dapat muncul secara sangat kuat. Rasa ingin tahu (keinginan berkehendak) untuk menguasai materi yang di pelajarinya akan tumbuh hebat.

Rabu, 23 April 2008

Lemari Hidup

”Lemari Kehidupan”
“Hidup ini untuk masa depan,bukan untuk masa lalu
Meskipun masa depan tinggal tiga hari
Tetapi lebih berharga dari pada masa lalu yang tiga puluh tahun”
Hidup memang penuh dengan kenangan, baik kenangan indah nan manis, pun dengan kenangan yang pahit dan menyesakkan dada. Suatu saat akan menjadi sejarah. Kenangan memang bagian sejarah hidup kita. Orang kadang susah melupakan semua kenangan yang dilalui. Saya yakin bahwa kita pun akan sangat sukar melupakan kenangan, karena itu merupakan bagian dari sejarah hidup kita. Tapi kita pun harus realistis menatap hidup karena bagaimanapun hidup akan terus berlanjut. Kita pun tidak boleh terbuai oleh aroma sejarah hidup kita yang mengharukan maupun yang menyesakkan dada. Cukup kita jadikan referensi kita untuk melangkah menatap jalan yang terbentang panjang nan maha luas untuk kita taklukkan. Ya, misteri hidup yang eksotis-lah yang harus kita singkap, karena kita tak kan pernah tahu apa yang terjadi esok dan dengan siapa kita kan hidup .Yang jelas inilah misteri hidup yang harus kita taklukkan.
Cobalah sesekali kita luangkan waktu untuk menata lemari pakaian kita atau kamar kitalah. Lalu bertanyalah,”apa semua pakaian ini masih layak pakai atau tidak?” atau pun “apakah semua barang-barang yang ada di kamar masih layak pakai atau tidak?”. Sampai kini saya masih dan selalu kesulitan menata atau hanya sekedar beres-beres. Selalu saja ada alasan-alasan untuk menunda, membongkar, membuang pakaian usang, membuang barang yang sudah tak layak pakai kemudian menata ulang agar lebih rapi. Padahal, saya tahu ada banyak barang rongsokan disana. Jangankan dipakai, dilihat pun rasanya tak sedap.
“Sayang ah…..Baju ini pernah ikut menaklukkan dan menghantarkan saya ke Merbabu dan lawu”! “Sayang ah……barang-barang ini penuh kenangan hidup dan amat sayang bila saya buang begitu saja!” Begitu gumamku saat melihat baju dan bunga Edelwis serta barang-barang lainnya yang masih berserakan di kamar. ”Ini adalah spesial” ketika melihat jam beker yang sudah bodol. Jam ini dibelikan oleh seorang temen tiga tahun lalu sebagai oleh-oleh waktu beliau liburan ke Bandung. Yang menggelikan lagi, jam beker ini pernah saya Banting waktu pertemananku berantakan…..”hahaha…………!Lucu memang kalau ku ingat semua memori dulu.
Ya, itu baru soal baju dan barang-barang yang penuh kenangan. Bagaimana jika menyangkut orang-orang tercinta? Perkara besar dalam hidup kita? Saya pun teringat Juergen Klinsmen, bagaimana dia menjawab semua Tanya rakyat Jerman waktu di tunjuk mengarsiteki Tim Panser. Ketika dia dipaksa untuk membongkar lemari hidupnya untuk mengambil sebuah keputusan besar dalam hidupnya. Di lemari itu terpajang perjuangannya meyakinkkan seluruh rakyat Jerman tentang perlunya Revolusi Tim Panser. Belajar pula kenangan dua tahun sendirian menghadapi semua makian, cercaan, kritik, pelecehan bahkan kala itu Parlemen Jerman hendak mengadilinya didepan forum rakyat atas prinsip dan kerja kerasnya.
Al hasil, keadaan berbalik 180 derajat mana kala Klinse-sebutan untuk Klinsmen- mampu merevolusi Tim Panser melaju dan menjadi juara ketiga di turnamen paling bergengsi di seantereo jagad ini. Mesti hanya mengantarkan Jerman dudk diperingkat tiga, tim besutannya sudah dianggap telah memenangi kampium supremasi tertinggi sepak bola. Di lemari itu tersimpan harapan 93 % rakyat Jerman, permohonan tertinggi dari petinggi sepak bola dan tokoh politik Jerman yang memintanya untuk bertahan. Apa jawaban Klinsmen, meski dengan raut wajah berat menahan tumpuan air mata “Dua tahun melatih dengan sambutan yang sangat luar biasa sebulan terakhir ini membuat saya kehabisan tenaga. Saya seperti terbakar. Saya merasa tak mampu lagi meneruskan pekerjaan ini. Saya memutuskan untuk mengundurkan diri untuk menjdi orang biasa bersama keluarga saya”.Ya, akhirnya dia berani membuang semua barang usang. Mengambil, mengepak, melepas semua kelekatan yang memabukkan itu. Dia pun tak segan membuang hal indah yang ada dalam genggamannya, melupakan masa-masa pahit dalam proses menuju itu untuk membuat langkah baru. Panggilan hidup yang dianggap harus dilakukan, tanpa terbebani masa lalu, hari ini, dan hari esok.
Kita juga bisa mengaca dari lemari kehidupan “The Founding Father” Bung Hatta. Bagaimana beliau memilih meninggalkan segala kemewahan dan kemenangan yang sudah di dalam genggamannya untuk menjadi orang biasa. Terlepas persoalan politik yang sedang ia hadapi. Dengan gagah dan lantang beliau akhirnya mengundurkan diri dari kursi wakil Presiden didepan Soekarno. Ini adalah pilihan dalam hidup ketika pintu islah tidak dapat menyatukan lagi “Dwi Tunggal”. Dengan berat hati rakyat pun tak mampu menahan keinginannya untuk mundur.Toh dengan ketegarannya akhirnya beliau berani mengepak, mengambil dan melepaskan segala hal indah yang sudah ada ditangannya. Inilah jalan hidup.
Mengambil hal berharga dari lemari kehidupan Jurgen Klinsmen dan Bung Hatta rasanya tak ada yang harus disesali bila saya harus mengambil, mengepaki, melepaskan dan membuang semua masa lalu yang memabukkan itu untuk melangkah menatap hidup dan membuka lembaran baru. Hanya, saya (kadang) merasa lebih nyaman bila semua itu tetap ada dalam lemari hidup saya. Saya kerap lebih nyaman dengan ilusi bahwa segala sesuatu tetap ada menjadi milik kita. Saya sebenarnya sadar bahwa anggapan itu hanyalah usaha menipu diri sendiri.
Padahal sesungguhnya, semua itu toh hanya memori yang tak terlalu penting untuk diingat. Kenangan yang cukup hanya diingat dalam memori lemari hidup. Malah, Kadang justru hanya menghambat dalam mengambil pilihan-pilihan baru dalam hidup. Saya sebenarnya sadar akan semua itu. Tapi, selalu saja kita tergoda untuk memenuhi dan menjejali lemari kehidupan kita dengan hal-hal yang tak perlu. Akhirnya saya dan kita harus sadar diri dan sesadar-sadarnya bahwa itu semua merupakan ilusi dan fatamorgana hidup sesaat yang kadang hanya akan menipu diri kita saja. Cukup kita tutup dan kita kunci lemari itu, biarlah menjadi bagian sejarah hidup. Lemari kehidupan kita harus kita isi dengan lembaran baru yang lebih bermakna. Banyak ruang lemari hati kita yang kosong dan harus kita isi. Walau mungkin satu ruang telah terisi dengan memori buram dalam kelamnya masa lalu hidup. Tapi bukankah ruang lain mungkin lebih indah? Suatu saat kita akan buktikan! Seorang kstria sejati harus berani membuang masa lalu, masa lalu hanya untuk dikenang saja sewaktu kita butuh itu. Sosok ksatria sejati harus berani membuat dan mengambil pilihan-pilihan independent dalam hidup tanpa harus dipaksa dan terpaksa. Bukankah itu lebih terhormat ! (kata seorang kawan). Jangan sampai masa lalumu yang buram itu membunuh masa depanmu . Ayolah kawan tersenyumlah karena masa depanmu masih panjang dan indah! (gumamnya seraya senyum

menimbang sbi

“Mewujudkan sekolah yang berwawasan Global dan Berstandar Internasional”

Wawasan pendidikan global

Pendidikan dalam konteks upaya merekonstruksi suatu peradaban merupakan salah satu kebutuhan asasi yang dibutuhkan oleh setiap manusia dan kewajiban yang harus diemban oleh negara agar dapat membentuk masyarakat yang memiliki pemahaman dan kemampuan untuk menjalankan fungsi-fungsi kehidupan selaras dengan fitrahnya serta mampu mengembangkan kehidupannya menjadi lebih baik dari setiap masa ke masa berikutnya.

Fitrah kehidupan manusia adalah menjalani kehidupan ini sesuai dengan aturan-aturan kehidupan yang telah ditetapkan oleh penciptanya, yaitu Allah Swt karena Dia yang paling mengetahui segalanya tentang makhluk ciptaan-Nya.

Penguasaan terhadap ilmu, pengetahuan-teknologi, aspek-aspek materi (hasil-hasil teknologi) dan kemajuan-kemajuan lainnya merupakan sesuatu yang harus disadari oleh kaum muslimin sebagai kebutuhan dan kewajiban yang harus selalu dilaksanakan dalam menjaga keberlangsungan kehidupan (peradaban) Islam. Tanpa penguasaan ilmu pengetahuan rasanya tidak akan pernah mungkin untuk membangun sebuah peradaban Islam yang kokoh.

Sejalan dengan hal tersebut maka penguasaan ilmu pengetahuan khususnya pendidikan memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan globalisasi. Dalam menuju era globalisasi, Indonesia harus melakukan reformasi dalam proses pendidikan, yaitu dengan tekanan menciptakan sistem pendidikan yang lebih komprehensif dan fleksibel, sehingga para lulusan dapat berfungsi secara efektif dalam kehidupan masyarakat global-demokratis. Oleh karena itu pendidikan harus di rancang sedemikian rupa agar memungkinan para peserta didik dapat mengembangkan segala potensi yang di miliki secara alami dan kreatif dalam suasana kebersamaan dan tanggung jawab. Selain itu pendidikan harus dapat menghasilkan lulusan yang dapat memahami masyarakatnya dengan segala faktor yang dapat mendukung mencapai sukses ataupun penghalang yang menyebabkan kegagalan di dalam kehidupan masyarakat. Salah satu alternatif yang dapat di lakukan adalah mengembangkan pendidikan yang berwawasan global.

Premis untuk memulai pendidikan berwawasan global adalah informasi dan pengetahuan tentang bagian dunia yang lain harus mengembangkan kesadaran kita bahwa kita dapat memahami lebih baik keadaan diri kita sendiri apabila kita dapat memahami hubungan terhadap masyarakat lain, dan isu-isu global.

Trend positif Sekolah Islam


Sekolah Islam memang menggeliat belakangan ini. Lembaga pendidikan ini tidak lagi dipandang sebelah mata, sebagai lembaga yang kolot dan 'puritan'. Sekolah yang dulunya di katakan kolot dan tidak diminati masyarakat kini semakin menunjukkan jati dirinya sebagai lembaga yang banyak di serbu konsumen pendidikan Maraknya para orang tua menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah Islam belakangan ini, merupakan fenomena yang sangat positif untuk perkembangan sekolah berbasis Islam Plus. Kebutuhan akan nilai plus (ahlak) terasa semakin di perlukan ketika melihat fenomena perubahan masyarakat sebagai efek samping globalisasi

Sekolah-sekolah Islam selain mengutamakan mata pelajaran umum yang sesuai dengan kurikulum Diknas, juga ditambah dengan mata pelajaran agama. Lebih khusus lagi, adalah pada penanaman moral dan pendidikan akhlak. Bukan sekadar pengetahuan agama, tapi lebih kepada penanaman budi pekerti.

Belakangan ini banyak lembaga pendidikan Islam yang telah meningkatkan kualitasnya dengan mengadopsi beberapa model atau kurikulum dari luar negara-negara maju seperti Australia, Jepang, Amerika Serikat dan lainnya (besifat Internasasional). Tujuan tiu semua adalah tak lain untuk memajukan sekolah-sekolah Islam yang berkualitas dan yang berdaya saing menghadapi perubahan yang bersifat global.

Menuju Sekolah Internasional

Pengetahuan Umum dan pengetahuan Islam bagaikan sisi mata uang yang tak terpisahkan satu dengan yang lain. Dengan perpaduan itu, di harapkan setiap anak didik mampu menghadapi persaingan global yang kelak akan di hadapinya dengan tetap berlandaskan dan berpegang teguh pada nilai-nilai ke-Islaman. Oleh karena itu sekolah Islam harus mempersiapkan diri dengan sebaik mungkin menghadapi tantangan ke depan kalau tidak ingin di tinggal oleh konsumen. Dua sisi mata uang itu harus di satukan artinya sekolah harus punya kurikulum plus. Selain menggunakan kurikulum pendidikan nasional sekolah harus punya kurikulum sendiri yang berbasis Islam.

Mungkin kita sudah pernah mendengar sekolah bertaraf internasional (SBI). Keberadaannya sebenarnya sudah mulai di-launching beberapa tahun yang lalu. Sebuah nama sekolah yang amat bergengsi, sesuai dengan Undang-Undang (UU) 20/2003 Pasal 50 Ayat 3 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).

Kita mesti bangga terhadap visi pendidikan yang selangit. Visioner, memang harus mampu merumuskan pendidikan yang terbaik. Tetapi bagaimana SBI itu? Seriuskah Depdiknas, sekolah, guru, murid, dan orang tua mencapai visi itu?

Mari lihat fakta-fakta terlebih dahulu. Berapa investasi Depdiknas untuk melahirkan SBI? Rp 300 juta untuk pengembangan sumber daya manusia (SDM) dan Rp 500 juta untuk sarana dan prasarana. Angka itu jelas tidak lebih besar dari anggaran produksi film bertaraf internasional yang mencapai ratusan miliar rupiah, bahkan sebuah skenario film bertaraf internasional seperti The da Vinci Code berharga Rp 540 miliar, tak termasuk dana pembuatan filmnya.

Anggaran investasi SBI jelas kurang memadai. Ketika pendanaan alternatif dilakukan, yaitu dari orang tua siswa, yang terjadi malah ironi, walaupun tidak disengaja.

Guru sebagai ujung tombak keberhasilan pendidikan masih perlu asupan gizi kompetensi, baik materi pelajaran yang bertaraf internasional, penguasaan bahasa internasional, maupun penguasaan sarana teknologi.

Tidak kalah pentingnya, guru harus memiliki kemampuan mengantarkan peserta didik menjadi manusia seutuhnya yang bisa mengoptimalkan kemampuan yang dimiliki, cakap mengatasi masalah hidup, serta memberi sumbangan kemajuan bagi komunitas dan bangsanya.

Bukan hanya mimpi

Sistem pendidikan bertaraf internasional, dari segi judul memang sepele. Tetapi apakah kita selama ini sudah sadar bahwa pendidikan kita selama ini gagal membangun karakter kabangsaan? Kalau kita mau bertaraf internasional, sudah kokohkah pendidikan yang menjunjung tinggi nilai-nilai budaya bangsa? Kalau tidak, apakah kita tidak sadar sedang mengalami hegomoni dalam dunia pendidikan?

Sistem pendidikan bertaraf internasional harus tetap menjunjung tinggi budi daya kebangsaan baru, memiliki ekspansi bertaraf internasional. Kurikulum nasional dan kurikulum bertaraf internasional harus sinergi, sehingga menghasilkan kurikulum yang mampu memberikan menu pendidikan untuk membangun bangsanya.

Tanpa kesadaran kebangsaan, SBI tidak lebih dari sekolah latah yang lupa akan substansi, yang diingat hanya kulitnya. Kurikulum bertaraf internasional tidak bisa dihasilkan oleh seorang wakil kepala sekolah bidang kurikulum sekalipun. Sebuah kurikulum -apalagi bertaraf internasional- harus dihasilkan melalui workshop bersama, baik dari kalangan pendidik sekolah maupun dari kalangan pakar pendidikan bertaraf internasional dari Depdiknas.

Sarana dan prasarana yang dibutuhkan mesti tersedia, agar proses pembelajaran dapat berjalan sesuai dengan program. Kontrak pembelajaran antara pimpinan sekolah dengan guru dijalankan, berikut evaluasi pembelajaran para guru.

Kebutuhan akan guru yang memiliki kompetensi bertaraf internasional, tidak hanya bisa berbahasa Inggris, menguasai information teknologi, tetapi juga harus memiliki kompetensi isi mata pelajaran bertaraf internasional.

Kompetensi isi mata pelajaran bertaraf internasional pada setiap guru harus digalakkan. Hal tersebut bisa dimulai dari semacam studi banding, bagaimana kurikulum sekolah bertaraf internasional itu, bagaimana isi materi pembelajarannya, bagaimana proses pembelajaran yang dilakukan, bagaimana sistem penjamin mutu atau sistem kontrol dilaksanakan?

Semua itu jelas butuh studi banding yang nyata.. Baru setelah itu beberapa workshop dilakukan, termasuk untuk materi-materi pembelajarannya.

Kompensasi terhardap guru sebagai ujung tombak keberhasilan sebuah pendidikan, khususnya untuk SBI mesti disesuaikan. Percuma sekolah berbicara kualitas pendidikan yang bertaraf internasional, guru-gurunya dibekali dengan seperangkat kompetensi materi dan kompetensi how to transfer of knowledge kepada siswa kalau kompensasi guru tidak disesuaikan. Para guru bisa berdagang pendidikan di luar sekolah, ketimbang berbusa-busa mulitnya mendidik siswa.

Otonomi manajemen SBI harus menjadi solusi kebuntuan proses mencapai cita-cita. Tidak hanya diferensiasi persyaratan calon siswa yang selama ini diberikan kepada SBI, tetapi juga perlu perbedaan pengelolaan sekolah dan perbedaan manajemen pendanaan, sehingga cita-cita mewujudkan SBI bukan hanya mimpi.

Epilog : Sebuah penutup

Berbicara soal sekolah berwawasan global dan berbasis Internasionalisme memang agak cukup rumit dalam hal persyararatan dan lain sebagainya. Namun kita harus sikapi secara positif dengan mempersiapkan diri sebaik mungkin untuk mewujudkannya. Saya yakin bahwa suatu saat kita akan mampu mewujudkan dan menerapkan sekolah berwawasan global dan bertaraf Internasional di lingkungan sekolah-sekolah Al Irsyad Purwokerto. Salah satu hal yang harus di lakukan adalah perlunya keberanian dalam menyelaraskan akses pendidikan melalui kemampuan berkomunikasi aktif menuju sekolah berstandar Internasional. Dalam bidang lain yang perlu di kembangkan adalah sarana dan prasarana sekolah untuk menunjang pembelajaran berkualitas di sekolah, di samping itu kombinasi prestasi akademik dan non akademik di tambah konsep pembelajaran berwawasan global yang bertujuan untuk mengembangkan potensi diri peserta didik harus terus di bangun sehingga akan menempatkan diri sebagai ” Prototype” sekolah bertaraf Internasional.

Bukan tidak mungkin bila itu terpenuhi semua, maka Sekolah-sekolah Al Irssyad ke depan akan jadi pioner dan ujung tombak sekolah-sekolah di banyumas bahkan di Jawa Tengah. Wallohu’alam bissowaf