Selasa, 17 September 2013

Analisa Sejarah Kurikulum Indonesia

“Analisa Sejarah Kurikulum di Indonesia:
 Perspektif Historis dari Masa Orde Lama sampai Orde Reformasi”
Oleh Abd Qohin

I.     Latar Belakang
Ditinjau dari asal katanya, kurikulum berasal dari bahasa Yunani yang mula-mula digunakan dalam bidang olah raga, yaitu currere, yang berarti jarak tempuh lari. atas dasar tersebut pengertian kurikulum diterapkan dalam bidang pendidikan.[1] Arti sebenarnya dari kata kurikulum dapat ditunjukkan dengan melihat asal-usulnya. Kata kurikulum berasal dari kata Latin yang berarti kursus.  Ketika diterapkan untuk pendidikan, kata kurikulum berarti semua kegiatan yang dilakukan siswa, terutama mereka yang mereka butuhkan untuk mengejar jika mereka menyelesaikan kursus dan untuk mencapai tujuan. Hal ini tidak hanya isi, tetapi juga program, program yang mereka butuhkan untuk menyelesaikan untuk menjadi sukses. Dan itu juga termasuk apa yang mereka lakukan di luar kelas, di lapangan olahraga dan dalam setiap waktu luang yang lembaga sekolah, perguruan tinggi atau pelatihan dapat menyediakan bagi mereka.[2]
Menurut sejarah pendidikan, istilah kurikulum pada awalnya terkait dengan konsep suatu program studi yang diikuti oleh murid dalam lembaga pengajaran. Namun demikian, dalam beberapa dekade terakhir, konsep kurikulum telah berkembang dan semakin penting.[3] Di awal Abad ke-20, studi kurikulum cenderung ke arah perumusan prinsip-prinsip pengembangan kurikulum juga berlaku di kapan saja dan dimana saja. Bahkan, istilah kurikulum ini kebanyakan digunakan untuk merujuk pada kontrak antara masyarakat, para profesional Negara dan pendidikan berkaitan dengan pengalaman pendidikan yang peserta didik harus menjalani selama fase tertentu dalam kehidupan mereka. Bagi sebagian besar penulis dan ahli, kurikulum didefinisikan dengan beberapa pertanyaan: mengapa,  apa, ketika, di mana, bagaimana, dan dengan siapa untuk belajar.[4]
Menurut Wiles, istilah kurikulum pertama kali ditemukan di Skotlandia pada awal tahun 1820 M, dan istilah tersebut secara modern pertama kali digunakan di Amerika Serikat satu abad kemudian.[5] Ada banyak konsepsi dan definisi dari kurikulum misalkan kurikulum  sebagai konten, sebagai pengalaman belajar, sebagai tujuan perilaku, sebagai rencana pengajaran, dan sebagai pendekatan nonteknis.[6] Berbicara kurikulum, maka banyak variasi definisi dari istilah kurikulum. Dari yang sangat sederhana sampai yang sangat mencakup dan lengkap. Pengertian yang sangat disederhanakan misalkan mengatakan bahwa kurikulum adalah sejumlah mata pelajaran yang diikuti peserta didik, sedangkan pengertian yang sangat lengkap mengatakan bahwa kurikulum adalah apa yang dialami seseorang di tempat ia belajar.[7]  Kemudian para ahli pendidikan dan ahli kurikulum membuat macam-macam batasan tentang kurikulum tersebut. Dewasa ini pengertian yang sangat sederhana atau pengertian yang sangat simple seperti di atas sudah banyak ditinggalkan, sedangkan pandangan yang lebih modern dalam pengertian yang lebih kompleks dari kurikulum banyak dipakai.
Kurikulum di Indonesia sudah ada sejak zaman kolonialisme, bahkan bangsa Indonesia sudah mengenal sekolah pada waktu itu. Namun dalam sejarahnya kurikulum Indonesia senantiasa mengalami perubahan. Kurikulum pendidikan di Indonesia senantiasa berubah sesuai dengan zamannya. Kurikulum  silih berganti mulai kurikulum 1975, 1984, 2006 hingga kurikulum terbaru 2013.[8] Pendekatan pembelajaranpun beranjak dari pendekatan struktural dan konvensional menuju pendekatan komunitatif atau istilah sekarang dengan pendekatan aktif, kreatif dan menyenangkan.[9]
 Perubahan-perubahan kurikulum seperti di atas tidak terlepas dari keinginan dari penguasa pada waktu itu dan mungkin juga ditentukan oleh hegemoni yang ada dalam masyarakat pada saat kurikulum itu lahir.[10] Bahkan tak jarang juga terdapat keterkaitan dengan unsur-unsur politis yang mengiringinya.[11] Dalam pengertian bahwa kurikulum di Indonesia kerapkali mengikuti kehendak pemimpin yang berkuasa ketika itu. Ketika masa kolonialisme, maka kurikulum yang berkembang disesuaikan dengan tujuan melanggengkan imprialisme. Begitu pula dengan beberapa masa setelahnya.
Tidak ada yang salah bila terjadi perubahan kurikulum. Jangankan setiap sepuluh tahun sekali, setiap tahun sepuluh kali pun tidak menjadi soal, kalau memang dikehendaki demikian. Yang menjadi soal adalah dengan tujuan dan alasan apakah perubahan itu terjadi, dan apakah tujuan serta alasan itu memang dibenarkan dan dibutuhkan sekarang sebagai antisipasi masa depan. Perubahan kehidupan dan tantangan dunia yang semakin terakselerasi jelas tidak dapat disikapi dengan menciptakan kurikulum yang bersifat statis, defensif, bahkan anti perubahan.[12]
Perubahan-perubahan kurikulum sebagaimana alasan di atas bisa kita lihat dalam perjalanan sejarah sejak Indonesia merdeka atau tahun 1945, kurikulum pendidikan nasional telah banyak mengalami perubahan, yaitu pada tahun 1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, 2004, dan 2006, kurikulum KTSP dan terbaru adalah kurikulum 2013 yang akan dilaksanakan bulan Juli tahun 2013. Perubahan tersebut merupakan konsekuensi logis dari terjadinya perubahan sistem politik, sosial budaya, ekonomi, dan iptek dalam masyarakat berbangsa dan bernegara. Sebab, kurikulum sebagai seperangkat rencana pendidikan perlu dikembangkan secara dinamis sesuai dengan tuntutan dan perubahan yang terjadi di masyarakat.


II.     Pendidikan dan  Kurikulum
Proses pendidikan merupakan suatu life long education[13] yang dilihat dari segi kehidupan masyarakat dapat dikatakan sebagai proses yang tanpa akhir. Proses kependidikan bagi manusia adalah usaha yang sistematis dan berencana untuk menseleksi kemampuan dasar manusia agar dapat berkembang sampai pada titik optimal kemampuannya melalui proses belajar-mengajar. Pendidikan di sekolah dilaksanakan secara berencana dan sistematis. Sedangkan kurikulum adalah bagian yang mutlak dari pendidikan di sekolah.
Kurikulum secara formal diterapkan dalam institusi pendidikan sudah seharusnya  tertulis karena itu merupakan ciri utama pendidikan di sekolah. Di samping itu dalam kerangka menghadapi fenomena perubahan zaman sekaligus mengantisipasi perubahan zaman yang akan datang.[14] Kurikulum memiliki kedudukan sentral dalam seluruh proses pendidikan. Kurikulum mengarahkan segala bentuk aktifitas pendidikan demi tercapainya tujuan-tujuan pendidikan. Begitu juga model yang dikembangkan kurikulum setiap jenjang sekolah adalah model yang berorientasi pada tujuan.[15] Menurut pandangan lama, kurikulum merupakan kumpulan mata pelajaran yang harus disampaikan guru atau dipelajari oleh siswa.[16] Kurikulum di institusi pendidikan juga dapat diinterpretasikan atau ditafsirkan dan didesain berupa pertemuan-pertemuan yang bermakna yang fungsinya sama seperti kelas. Dengan demikian maka kurikulum harus dipersiapkan dan persiapan  anak-anak untuk peran masa depan mereka dibidang pekerjaan atau profesi dan di masyarakat.[17]
Pendapat-pendapat yang muncul selanjutnya telah beralih dari menekankan pada isi menjadi lebih memberikan tekanan pada pengalaman belajar.[18] Dengan demikian konsep kurikulum berkembang sejalan dengan perkembangan teori dan praktik pendidikan, juga bervariasi sesuai dengan aliran atau teori pendidikan yang dianutnya.
III.     Filosofi Perubahan Kurikulum
Kurikulum merupakan alat untuk mencapai tujuan pendidikan, sekaligus sebagai pedoman dalam pelaksanaan pendidikan. Kurikulum mencerminkan falsafah hidup bangsa, ke arah mana dan bagaimana bentuk kehidupan itu kelak akan ditentukan oleh kurikulum yang digunakan oleh bangsa tersebut sekarang. Nilai sosial, kebutuhan dan tuntutan masyarakat cenderung mengalami perubahan antara lain akibat dari kemajuan ilmu pengatahuan dan teknologi. Kurikulum harus dapat mengantisipasi perubahan tersebut, sebab pendidikan adalah cara yang dianggap paling strategis untuk mengimbangi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut.
Salah satu faktor yang mempengaruhi suatu produk kebijakan adalah sistem politik suatu Negara.[19] Apalagi dewasa ini Indonesia dihadapkan pada ragam persoalan internal dan eksternal  yang ditimbulkan oleh berbagai perubahan.[20] Seperti globalisasi, kompleksitas, dinamika, konsolidasi, rasionalisasi dan lain-lain. Begitupun tantangan internal nasional, Indonesia telah mengalami tiga model Rezim pemerintahan, yaitu rezim orde lama, rezim orde baru dan rezim orde reformasi.[21]  Pada setiap rezim pemerintahan memberikan model dan corak pendidikan nasional yang berubah pula, sehingga tidaklah salah apabila sering muncul anggapan dari masyarakat bahwa setiap ganti Menteri ganti pula kurikulum.
Kurikulum dapat memberikan hasil pendidikan (pengajaran) yang diharapkan karena ia menunjukkan apa yang harus dipelajari dan kegiatan apa yang harus dialami oleh peserta didik. Hasil pendidikan kadang-kadang tidak dapat diketahui dengan segera atau setelah peserta didik menyelesaikan suatu program pendidikan.Pembaharuan kurikulum perlu dilakukan sebab tidak ada satu kurikulum yang sesuai dengan sepanjang masa, kurikulum harus dapat menyesuaikan dengan perkembangan zaman yang senantiasa cenderung berubah.
Setiap kurikulum tidak berlaku abadi, tetapi dapat berubah atau diperlukan adanya perbaikan dikarenakan berbagai macam hal. Bisa juga hal itu adalah tujuan pendidikan yang sudak tidak sesuai lagi, atau keadaan masyarakat yang telah berubah, adanya buku baru dan sistem pendidikan baru. Jadi perubahan atau perbaikan kurikulum itu dapat terjadi sewaktu-waktu jika ternyata dipandang perlu.[22]
Perubahan kurikulum adalah sesuatu yang disengaja. Perubahan kurikulum terjadi karena adanya perbedaan satu komponen kurikulum atau lebih dalam dua periode waktu tertentu. Dalam hal ini perubahan kurikulum adalah suatu kegiatan atau usaha yang disengaja untuk mengahasilkan kurikulum baru yang lebih baik. Dari hal tersebut dapat diketahui bahwa perubahan kurikulum dapat bersifat sebagian, tetapi juga dapat terjadi secara menyeluruh.[23] Perubahan kurikulum menyangkut berbagai faktor, baik orang-orang yang terlibat dalam pendidikan dan faktor-faktor penunjang dalam pelaksanaan pendidikan. Sebagai konsekuensi dari perubahan kurikulum juga akan mengakibatkan perubahan dalam operasionalisasi kurikulum tersebut, baik dapat orang yang terlibat dalam pendidikan maupun faktor-faktor penunjang dalam pelaksannaan kurikulum.
Setiap kali mengalami perubahan maka selalu timbul sebuah pertanyaan, siapa yang seharusnya memutuskan apa yang seharusnya diajarkan (dalam hal ini kurikulum) di sekolah? Petanyaan ini telah menjadi bahan perdebatan panas selama sistem persekolahan ada. Tentu saja pertanyaan itu diikuti oleh beberapa pertanyaan lain tentang tujuan kurikulum, Pertanyaan-pertanyaan yang pertama kali muncul adalah apakah yang ingin dicapai, atau pengetahuan ketrampilan, dan sikap apakah yang diharapkan dimiliki siswa setelah mereka menyelasaikan kurikulum. apakah anak-anak harus belajar yang sama dan masih banyak pertanyaan lain yang berkaitan dengan kurikulum.[24]
Dalam bidang kurikulum kita lihat betapa banyaknya ide dan usaha perbaikan kurikulum yang dicetuskan oleh berbagai tokoh pendidikan yang terkenal. Macam-macam kurikulum telah diciptakan dan banyak diantaranya telah dijalankan. Apa yang mula-mula diharapkan, akhirnya ternyata menimbulkan masalah lain, sehingga kurikulum itu ditinggalkan atau dirubah.[25]
Perubahan dan pembaharuan kurikulum dilakukan untuk mengurangi ketidakpuasan atas kurikulum atau program yang telah ada. Agar terdapat kepuasan dari berbagai pihak maka perlu diorganisasikan masalah waktu, perbedaan pendapat, dan juga kekurangan-kekurangan lainnya yang dapat memberikan dasar pengorganisasian program /pembaharuan dan perubahan kurikulum tersebut agar menjadi lebih baik.[26]
Pembaharuan kurikulum perlu dilakukan mengingat kurikulum sebagai alat untuk mencapai tujuan harus menyesuaikan dengan perkembangan masyarakat yang senantiasa berubah dan terus berlangsung. Pembaharuan kurikulum biasanya dimulai dari perubahan konsepsional yang fundamental yang diikuti oleh perubahan struktural. Pembaharuan dikatakan bersifat sebagian bila hanya terjadi pada komponen tertentu saja misalnya pada tujuan saja, isi saja, metode saja, atau sistem penilaiannya saja. Pembaharuan kurikulum bersifat menyeluruh bila mencakup perubahan semua komponen kurikulum.
IV.     Perubahan Kurikulum dari masa ke masa
Memahami sejarah perkembangan kurikulum dari sejak awal berguna untuk menjelajahi masa-masa aliran yang mempengaruhi perubahan kurikulum. Perubahan kurikulum khususnya di negara-negara yang sudah maju sering dipengaruhi oleh dan/atau sebagai perwujudan dari kekuatan masyarakat, dan perubahan itu biasanya menawarkan suatu pandangan yang lebih luas.
Sementara itu, memahami sejarah perkembangan kurikulum[27] pada hakekatnya akan menyadarkan kita bahwa perubahan kurikulum khususnya dalam suatu sistem pendidikan yang sudah mapan dan baik merupakan suatu hal yang dianggap biasa dan selalu terjadi. Perubahan akan dilakukan, baik dalam kurun waktu tertentu dan teratur maupun kapan saja apabila perubahan tersebut dianggap perlu. Perubahan biasanya diarahkan agar kurikulum paling tidak mampu menjawab perubahan kehidupan dan tatanan masyarakat, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta perkembangan-perkembangan lainnya yang mungkin terjadi setiap saat.
Dalam perjalanan sejarah sejak tahun 1945, kurikulum pendidikan nasional telah banyak mengalami perubahan. Perubahan-perubahan tersebut dapat dikalsifikasikan menurut orde penguasa. Berikut matrik perubahan kurikulum dari masa ke masa:
No
Orde Lama
Orde Baru
Orde Reformasi
1
Kurikulum 1947 (Rentjana Peladjaran 1947)
Kurikulum  1968

Kurikulum 2004 (Kurikulum Berbasis Kompetensi)
2
Kurikulum 1952 (Rencana Pelajaran Terurai 1952)
Kurikulum  1975

Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 

3
Kurikulum Rencana Pendidikan 1964
Kurikulum 1984

Kurikulum 2013

4

Kurikulum 1994

Sumber: disarikan dari berbagai sumber
Perubahan tersebut  sebagaimana di atas merupakan konsekuensi logis dari terjadinya perubahan sistem politik, sosial budaya, ekonomi, dan iptek dalam masyarakat berbangsa dan bernegara. Sebab, kurikulum sebagai seperangkat rencana pendidikan perlu dikembangkan secara dinamis sesuai dengan tuntutan dan perubahan yang terjadi di masyarakat. Semua kurikulum nasional dirancang berdasarkan landasan yang sama, yaitu Pancasila dan UUD 1945, perbedaanya pada penekanan pokok dari tujuan pendidikan serta pendekatan dalam merealisasikannya.
Perubahan kurikulum tersebut tentu disertai dengan tujuan pendidikan yang berbeda-beda, karena dalam setiap perubahan tersebut ada suatu tujuan tertentu yang ingin dicapai untuk memajukan pendidikan nasional kita.[28] Perubahan kurikulum di dunia pendidikan Indonesia beserta tujuan yang ingin dicapai dapat diuraikan sebagai berikut:
1.    Kurikulum Pada Masa Orde Lama
a)                            Kurikulum 1947 (Rentjana Peladjaran 1947)
Kurikulum pada masa orde lama di awali dengan sebuah  kurikulum yang  saat itu diberi nama Rentjana Peladjaran 1947. Pada saat itu, kurikulum pendidikan di Indonesia masih dipengaruhi sistem pendidikan kolonial Belanda dan Jepang, sehingga hanya meneruskan yang pernah digunakan sebelumnya. Rentjana Peladjaran 1947 boleh dikatakan sebagai pengganti sistem pendidikan kolonial Belanda. Karena suasana kehidupan berbangsa saat itu masih dalam semangat juang merebut kemerdekaan maka pendidikan sebagai development conformism, bertujuan untuk membentukan karakter manusia Indonesia yang merdeka dan berdaulat dan sejajar dengan bangsa lain di muka bumi ini.[29]
Rencana Pelajaran 1947 mengurangi pendidikan pikiran dalam arti kognitif, namun yang diutamakan pendidikan watak atau perilaku (value , attitude), meliputi : Kesadaran bernegara dan bermasyarakat, Materi pelajaran dihubungkan dengan kejadian sehari-hari, Perhatian terhadap kesenian dan pendidikan jasmani. Pada periode ini sudah masuk pendidikan karakter yang diberi nama pendidikan budi pekerti. Pendidikan budi pekerti menjadi mata pelajaran khusus dari 16 mata pelajaran terpisah dari mata pelajaran Pendidikan Agama Islam. Baru pada kurikulum 1964 pelajaran pendidikan budi pekerti disatukan dengan pendidikan agama menjadi agama (budi pekerti).[30]
Posisi Pendidikan Agama Islam pada masa ini masih belum diperhitungkan. Untuk Sekolah rakyat, PAI hanya diberikan di kelas IV-VI, sedangkan kelas I-III tidak ada pelajaran Agama. Semula, pada awal kemerdekaan sampai tahun 1950, kurikulum termasuk kurikulum Pendidikan Agama Islam (PAI), belum terbentuk secara yuridis-formal, karena kondisi sosial-politik yang belum stabil. Walaupun demikian, kurikulum pendidikan nasional secara praktis telah dilaksanakan di sekolah berupa rencana mengajar atau materi pelajaran. Akibatnya, saat itu kurikulum yang ada bervariasi antara satu sekolah dengan sekolah lainnya, bahkan antara satu guru dengan guru lainnya.
b)   Kurikulum 1952 (Rentjana Peladjaran Terurai 1952)
Setelah Rentjana Pelajaran 1947, pada tahun 1952 kurikulum di Indonesia mengalami penyempurnaan. Pada tahun 1952 ini diberi nama Rentjana Peladjaran Terurai 1952. Kurikulum ini sudah mengarah pada suatu sistem pendidikan nasional. Yang paling menonjol dan sekaligus ciri dari kurikulum 1952 ini bahwa setiap rencana pelajaran harus memperhatikan isi pelajaran yang dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari.[31]
Pendidikan agama yang dipersyaratkan oleh Undang-Undang nomor 4 tahun 1950 harus dilakukan berdasarkan pedoman dari Departemen Agama. Untuk itu maka ditetapkan keputusan bersama antara Menteri PPK dan Menteri Agama pada tanggal 20 Januari 1951 melalui Peraturan Bersama nomor 1432/Kab. (pendidikan) dan nomor K.I./651 (agama) yang merupakan penyempurnaan dari Penetapan bersama sebelumnya yang tertuang dalam surat nomor 1142/Bhg.A (pendidikan) tanggal 2 Desember 1946 dan nomor 1285/K-7 (agama) tanggal 12 Desember 1946. Pendidikan Agama diajarkan mulai di kelas 4 untuk SD sedangkan di sekolah lanjutan dimulai dari kelas pertama. Guru agama diangkat dan digaji oleh Departemen Agama, mengajar di kelas paling sedikit terdiri dari 10 orang yang menganut agama tersebut.[32]
c)    Kurikulum Rencana Pendidikan 1964
Menjelang tahun 1964, pemerintah kembali menyempurnakan sistem kurikulum di Indonesia. Kali ini diberi nama Rentjana Pendidikan 1964. Pokok-pokok pikiran kurikulum 1964 yang menjadi ciri dari kurikulum ini adalah bahwa pemerintah mempunyai keinginan agar rakyat mendapat pengetahuan akademik untuk pembekalan pada jenjang SD, sehingga pembelajaran dipusatkan pada program Pancawardhana yang meliputi pengembangan daya cipta, rasa, karsa, karya, dan moral.[33] Mata pelajaran diklasifikasikan dalam lima kelompok bidang studi: moral, kecerdasan, emosional/artistik, keprigelan (keterampilan), dan jasmani. Pendidikan dasar lebih menekankan pada pengetahuan dan kegiatan fungsional praktis.
Kurikulum PAI di masa ini diselenggarakan oleh masyarakat secara bervariasi, sedang di Sekolah Negeri, sesuai dengan UUPP No.4 tahun 1950, pelaksanaannya amat longgar, disamping jumlah jam pelajarannya relatif minim, mata pelajarannya tidak menentukan kenaikan kelas.[34] Adapun yang menyusun Rencana PAI  di tingkat Sekolah Dasar (SD) dan SMP adalah Departemen Agama setelah disetujui oleh Kementerian Pendidikan, Pengadjaran dan Kebudajaan atas usul instansi agama yang bersangkutan.[35] Sedangkan untuk tingkat SMA, Pendidikan Agama (Budi Pekerti) dikategorikan dalam kelompok dasar dengan alokasi waktu  2 jam pelajaran tiap minggu tiap kelas tanpa membedakan jurusan yang dipilih sejak kelas II.[36] Yang spesifik dalam Rendjana Pendidikan 1964 sehubungan dengan posisi Pendidikan Agama Islam (PAI) adalah bahwa Pelajaran Agama (Islam) merupakan pelajaran alternatif. Artinya apabila seseorang peserta didik tidak mengikuti pelajaran agama (Islam), maka peserta didik tersebut harus mengikuti pelajaran Budi Pekerti.
2.    Kurikulum Pada Masa Orde Baru
a)      Kurikulum  1968
Kurikulum 1968 merupakan pembaharuan dari Kurikulum 1964, yaitu dilakukannya perubahan struktur kurikulum pendidikan dari Pancawardhana menjadi pembinaan jiwa pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus. Kurikulum 1968 merupakan perwujudan dari perubahan orientasi pada pelaksanaan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.
Kurikulum 1968 lahir dengan pertimbangan politik ideologis. Tujuan pendidikan pada kurikulum 1964 yang bertujuan menciptakan masyarakat sosialis Indonesia diberangus, pendidikan pada masa ini lebih ditekankan untuk membentuk manusia pancasila sejati.  Kurikulum 1968 bersifat correlated subject curriculum, artinya materi pelajaran pada tingkat bawah mempunyai korelasi dengan kurikulum sekolah lanjutan. Struktur Kurikulum 1968 lebih sederhana dibandingkan kedua kurikulum yang mendahuluinya. Kurikulum 1968 ini dikelompokkan pada tiga kelompok besar: pembinaan pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus.[37]
Kurikulum baru yang dikenal dengan nama kurikulum 1968 segera menggantikan kurikulum 1966. Struktur kurikulum 1968, atau istilah yang digunakan Rencana Pendidikan mengalami perubahan mendasar dari pancawardana menjadi pembinaan jiwa pancasila, pengetahuan dasar dan kecakapan khusus.[38]
Adanya kelompok Pembinaan Jiwa Pancasila disesuaikan dengan tujuan pendidikan menghasilkan manusia Pancasila sejati yang telah ditetapkan oleh MPRS, menggantikan Kelompok Dasar yang ditetapkan dalam Kurikulum. Jumlah mata pelajaran dalam kelompok Pembinaan Jiwa Pancasila lebih sedikit dibandingkan jumlah mata pelajaran Kelompok Dasar Kurikulum sebelumnya. Demikian pula dengan beban belajar untuk kelompok Pembinaan Jiwa Pancasila lebih sedikit yaitu 11 jam dibandingkan 13 jam pada kelompok Dasar Kurikulum sebelumnya. Mata Pelajaran Sejarah Kebangsaan dan Ilmu Bumi Indonesia dihilangkan dari kelompok Pembinaan Jiwa Pancasila sementara itu mata pelajaran Civics (Kewargaan Negara) diartikan oleh Pendidikan Kewargaan Negara yang didalamnya terdapat unsur Sejarah Indonesia, Ideologi Negara Pancasila, Politik dan Tata Hukum Indonesia.
Dalam kaitannya dengan Pendidikan Agama Islam, dengan perubahan kurikulum yang cukup singkat, namun perubahan yang terjadi cukup dramatis. Pertama, yang semula PAI merupakan pelajaran alternatif bagi pelajaran Budi Pekerti, pada kurikulum 1968 PAI menjadi mata pelajaran yang wajib diikuti oleh murid sejak di Sekolah Dasar (SD) mulai kelas 1 sampai Perguruan Tiggi (PT).
Kedua, dengan dibubarkannya PKI pada tahun 1965, ide manipol diganti dengan upaya pemurnian Pancasila, dimana hal ini mengakibatkan seluruh pembagian mata pelajaran ke dalam kelompok-kelompok yang menjabarkan ide-ide manipol. Seperti mata pelajaran Rasa/karya yang bertujuan untuk membentuk Sosialisme Indonesia, diganti menjadi tiga kelompok mata pelajaran, yaitu : 1. Kelompok Pembinaan Jiwa Pancasila, 2. Kelompok Pembinaan Pengetahuan Dasar, dan . 3. Kelompok Pembinaan dan Kecakapan Khusus.[39] Dan ketiga, kurikulum 1968 telah menyebutkan rincian bahan, tujuan, didaktik, metodik serta petunjuk bagi guru yang mengajar Agama (Islam).[40] Bahan Pelajaran disusun berdasarkan tingkat pendidikan dan materi yang relevan. Tujuan umum Pendidikan Agama Islam adalah menanamkan, memupuk dan mengembangkan sikap cinta dan taqwa kepada Allah.
b)   Kurikulum  1975
Kurikulum 1975 menjadi basis bagi upaya penyempurnaan kurikulum selanjutnya. Aspek baru yang dijumpai dalam kurikulum ini antara lain, pembakuan kurikulum dilakukan dengan menggunakan prinsip fleksibilitas program, prinsip efisiensi dan efektifitas, dan prinsip yang berorientasi pada tujuan. Kurikulum ini lebih menekankan dan berorientasi pada tujuan pendidikan. sistem penyajian kurikulum 1975 mulai memperkenalkan penggunaan pola PPSI (Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional). Dalam realisasinya pola ini menghasilkan penerapan satuan pelajaran (Satpel, Unit lesson), Tujuan Instruksional Umum (TIU), Tujuan Instruksional Khusus (TIK), proses kegiatan belajar mengajar, metode mengajar, alat (sumber) dan evaluasi.[41]
Kurikulum 1975 untuk SD tidak mengenal adanya pengelompokkan mata pelajaran. Dalam kurikulum ini ada 9 mata pelajaran[42] yang semuanya wajib dipelajari peserta didik kecuali Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) untuk peserta didik kelas I dan II SD. Jumlah mata pelajaran berkurang dari kurikulum 1968 yang terdiri atas 10 mata pelajaran. Mata pelajaran PKK dihapuskan sedangkan mata pelajaran Pendidikan Kewargaan Negara diubah menjadi Pendidikan Moral Pancasila (PMP). Nama mata pelajaran berhitung pun diganti menjadi Matematika. Sedangkan nama mata pelajaran Pendidikan Olahraga diganti menjadi Pendidikan Olahraga dan Kesehatan.
Kurikulum SMP tahun 1975 mengenal adanya struktur kurikulum yang terdiri atas kelompok mata pelajaran Pendidikan Umum, Pendidikan Akademis, dan Pendidikan Ketrampilan. Jumlah mata pelajaran pun berkurang seperti yang terjadi pada kurikulum SD. Dalam kurikulum SMP tahun 1968 terdapat 18 mata pelajaran berkurang menjadi 12 mata pelajaran[43] dalam kurikulum SMP tahun 1975. Jumlah jam pelajaran berkurang dari 41 jam per minggu menjadi 37-39 jam per minggu (karena pelajaran bahasa daerah tidak wajib bagi seluruh wilayah Indonesia).
Pada tahun ajaran 1976 diberlakukan kurikulum 1975 untuk SD, SMP, SMA dengan surat keputusan Menteri P & K No. 008/C/U/1975, tanggal 17 febuari 1975. Jam pelajaaran agama untuk SD tetap seperti kurikulum 1968, sedangkan untuk SLTP dan SLA ditetapkan menjadi 2 jam pelajaran dalam setiap minggu.[44] Selanjutnya kurikulum PAI pada masa ini dan kaitannya dengan perubahan pola kurikulum sebelumnya dapat dicatat beberapa hal sebagai berikut : Pertama, adanya upaya peningkatan mutu pendidikan di madrasah, Ponpes, IAIN, kurikulum PAI pada SD,SLP, dan SLA serta berkaitan dengan tenaga kependidikan. Kedua, Kurikulum PAI tahun 1975 ditandai dengan perubahan orientasi kearah pendidikan yang berpusat pada tujuan (pola PPSI). Misalkan menjabarkan pelajaran Agama Islam ke dalam tujuan operasional berupa pengetahuan dan amalan ibadah atau penanaman nilai akhlak. Ketiga, di tingkat SMA, kurikulum 1975 menerapkan tiga penjurusan yaitu : Jurusan IPA, Jurusan IPS dan Jurusan Bahasa.[45] Adapun pelajaran agama Islam tidak mengalami perubahan, tetap diberikan selama 2 jam tiap minggu tiap kelas untuk semua jurusan. Pola kurikulum PAI sebagaimana tersebut di atas dipakai sebagai dasar pijakan bagi penyempurnaan kurikulum 1984.  Adapun kelemahan kurikulum 1975 adalah digantinya buku-buku sebagai acuan sehingga kurikulum menjadi tidak menguntungkan dan kurang memberi makna. Selain itu guru juga belum siap untuk melaksanakannya.
c)    Kurikulum 1984
Kurikulum 1975 hingga menjelang tahun 1983 dianggap sudah tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan masyarakat dan tuntutan ilmu pengetahuan dan teknologi. Bahkan sidang umum MPR 1983 yang produknya tertuang dalam GBHN 1983 menyiratakan keputusan politik yang menghendaki perubahan kurikulum dari kurikulum 1975 ke kurikulum 1984.  
Salah satu perbedaan kurikulum 1975 dengan kurikulum 1984 adalah masalah keikutsertaan peserta didik untuk aktif dalam proses memperoleh hasil belajar serta mengolah perolehan tersebut. Kegiatan belajar mengutaman kesertaan siswa (student-centered) dan kegiatan belajar mengajar dikembangkan melalui Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA).[46] Kurikulum ini berorientasi pada tujuan instruksional. Dalam pembelajaran lebih menekankan penanaman pengertian terlebih dahulu sebelum diberikan latihan. Materi di sajikan berdasarkan tingkat kesiapan atau kematangan siswa. Di samping itu juga menggunakan pendekatan proses sebagai salah satu ciri yang mendasar. Kurikulum 1984 juga sudah mulai memperkenalkan sistem semester untuk tingkat SMP dan SMA, sementara ditingkat SD masih tetap menggunakan sistem Catur Wulan (Cawu). Kurikulum 1984 wajib diajarkan mata pelajaran Pendidikan sejarah Perjuangan bangsa sejak SD sampai SMA. Disamping itu diberikan juga pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) dan Penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila bagi siswa baru pada tingkat SMTP, SMTA maupun Perguruan Tinggi (PT).
Pengelompokan bidang studi hanya terbagi menjadi dua bagian : Program Inti (Core Program), dan Program pilihan (alternative Program).[47] Di sini Pendidikan agama Islam masuk ke dalam kelompok Program Inti.  Pada tahun 1989 diterbitkan Undangi-Undang No.2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional sebagai Pengganti UU No.4 tahun 1950 tentang dasar-dasar pendidikan dan pengajaran di sekolah, maka kedudukan pendidikan agama menjadi semakin kuat. Hal ini bisa dilihat bahwa isi kurikulum setiap jenis, jalur dan jenjang pendidikan selain wajib memuat Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, juga memuat Pendidikan Agama.
d)   Kurikulum 1994
Dasawarasa 1980-an adalah dasawarsa kegairahan mencoba dan menerapkan cara belajar siswa aktif. Proyek Supervisi atau CBSA itu secara resmi diakhiri pada tahun 1992 sejalan dengan keputusan ODA / DFID Pemerintah Inggris mengakhiri bantuan kepada proyek ini. Hasil-hasil pengembangan cara belajar siswa aktif dan supervisi guru ini dimasukkan ke dalam Kurikulum 1994 dan pedoman-pedomannya.[48]
Meski pun Indonesia telah memiliki Undang-Undang pendidikan baru dan banyak kebijakan tentang pendidikan dan kurikulum yang baru tetapi kurikulum tidak segera berubah. Pada tahun 1994, sesuai dengan tradisi sepuluh tahunan, Pemerintah meresmikan kurikulum baru. Kurikulum 1994 ini merupakan revisi terhadap kurikulum 1984 tetapi pada dasarnya keduanya tidak memiliki perbedaan yang prinsipil. Orientasi pendidikan pada pengajaran disiplin ilmu menempatkan kurikulum sebagai instrumen untuk ”transfer of knowledge”.[49] Penyempurnaan terjadi pada materi pendidikan sejarah karena materi pendidikan sejarah yang tercantum dalam kurikulum SMA 1984 (nama baru SMA berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 adalah SMU) dianggap tidak lengkap, maka kurikulum SMU 1994 menyempurnakannya.
Sebagai penyempurnaan kurikulum 1984, hal ini berdampak pada sistem pembagian waktu pelajaran, yaitu dengan mengubah dari sistem semester ke sistem caturwulan. Dengan sistem caturwulan yang pembagiannya dalam satu tahun menjadi tiga tahap diharapkan dapat memberi kesempatan bagi siswa untuk dapat menerima materi pelajaran cukup banyak. Tujuan pengajaran menekankan pada pemahaman konsep dan keterampilan menyelesaikan soal dan pemecahan masalah. Di samping Pembelajaran di sekolah lebih menekankan materi pelajaran yang cukup padat (berorientasi kepada materi pelajaran/isi). Akibat dari kecenderungan kepada pendekatan penguasaan materi (content oriented), maka dalam pelaksanaanya terjadi masalah: pertama, Beban belajar siswa terlalu berat karena banyaknya mata pelajaran dan banyaknya materi/substansi setiap mata pelajaran . kedua, Materi pelajaran dianggap terlalu sukar karena kurang relevan dengan tingkat perkembangan berpikir siswa, dan kurang bermakna karena kurang terkait dengan aplikasi kehidupan sehari-hari.
Adapun pengembangan Kurikulum 1994 mengalami beberapa perubahan yang fundamental, antara lain : pertama, kurikulum 1994 menerapkan pelajaran muatan lokal (mulok),[50]  Kedua, ditingkatkannya wajib belajar yang semula pada 2 Mei 1984 mewajibkan setiap anak usia 7-12 tahun untuk masuk ke Sekolah Dasar (SD) menjadi wajib belajar Sembilan tahun sejak 2 Mei 1994.[51] Ketiga, pada kurikulum 1994 terjadi perubahan nomenklatur dari SMP menjadi SLTP, dari SMA menjadi SMU, dari jurusan A1 (ilmu Fisika), A2 (Ilmu Biologi), A3 (Ilmu Sosial), A4 (Ilmu budaya) dan A5 (Ilmu Agama) di SMU, lalu kembali lagi menjadi jurusan IPA,IPS dan bahasa seperti kurikulum sebelumnya. Pada bagian ini juga terjadi perubahan Pola di SMP dan SMA dari  sistem semester menjadi sistem Catur Wulan (Cawu) sama seperti di SD.[52]
Pada periode ini posisi PAI mengalami penguatan. Jika pada kurikulum sebelumnya pendidikan agama diletakkan pada kelompok mata pelajaran pelenggap dan sejak kurikulum1994 sampai sekarang pendidikan agama Islam masuk pada kelompok mata pelajaran umum. Meskipun waktunya masih sangat terbatas yaitu 2 jam pelajaran dalam setiap pekan.
3.    Kurikulum Pada Masa Orde Reformasi
a)      Kurikulum 2004 (Kurikulum Berbasis Kompetensi)
Kurikulum yang berorientasi pada pencapaian tujuan (1975-1994) berimpilkasi pada penguasaan kognitif lebih dominan namun kurang dalam penguasaan keterampilan (skill). Sehingga lulusan pendidikan kita tidak memiliki kemampuan yang memadai terutama yang bersifat aplikatif, sehingga diperlukan kurikulum yang berorientasi pada penguasaan kompetensi secara holistik.
Kurikulum 2004 lebih populer dengan sebutan KBK (kurikulum Berbasis Kompetensi) merupakan seperangkat rencana dan pengaturan tentang kompetensi dan hasil belajar yang harus dicapai siswa, penilaian, kegiatan belajar mengajar, dan pemberdayaan sumber daya pendidikan dalam mengembangkan kurikulum sekolah.[53] Kemunculan konsep KBK sebagai respon dan sejalan upaya tuntutan reformasi pendidikan, sebagaimana diamanatkan dalam Tap. MPR No.2/GBHN/1999 yang isinya merekomendasikan bahwa kurikulum sekarang perlu dikembangkan, UU No.22 tentang pemerintahan daerah, UU No 25 tahun 2000 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah.[54]
Kompetensi sendiri merupakan pengetahuan, ketrampilan, dan nilai-nilai dasar yang direfleksikan dalam kebiasaan berfikir dan bertindak. Kebiasaan berfikir dan bertindak secara konsisten dan terus menerus memungkinkan seseorang menjadi kompeten. Dengan demikian KBK menitikberatkan pada pengembangan kemampuan untuk melakukan (kompetensi) tugas-tugas tertentu sesuai dengan standar performance yang telah ditetapkan . Dalam KBK tidak lagi mempersoalkan proses belajar, proses pembelajaran dipandang merupakan wilayah otoritas guru, yang terpenting pada tingkatan tertentu peserta didik mencapai kompetensi yang diharapkan serta  mengacu pada upaya penyiapan individu yang mampu melakukan perangkat kompetensi yang telah ditentukan.
Kurikulum 2004 dikembangkan berdasarkan pendekatan kompetensi dan oleh karena itu maka kurikulum ini dikenal juga dengan nama Kurikulum Berbasis Kompetensi.[55] Meski pun secara filosofis pendekatan kompetensi didasarkan pada pemikiran bahwa pendidikan adalah mempersiapkan peserta didik untuk memasuki dunia kerja, dengan demikian maka kurikulum tersebut tidak memperlihatkan pendekatan tersebut. Kajian terhadap pengemasan mata pelajaran dan sumber kompetensi yang dilakukan menunjukkan bahwa kurikulum 2004 sangat sarat dengan pendekatan akademik dan dapat dikatakan bahwa kurikulum tersebut adalah kurikulum akademik.  Dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) Setiap pelajaran diurai berdasar kompetensi apakah yang mesti dicapai siswa. Sayangnya, kerancuan muncul bila dikaitkan dengan alat ukur kompetensi siswa, yakni ujian. Ujian akhir sekolah maupun nasional masih berupa soal pilihan ganda.
Walaupun kurikulum ini sudah canangkan pemerintah, sejumlah masalah tetap masih bermunculan. Keterbatasan kurikulum ini merupakan kendala utama. Masih banyak penyelenggara pendidikan yang masih kurang memahami hakikat kurikulum ini. Selain itu kewenangan guru untuk menjabarkan kurikulum ini sebagai acuan dalam pelajaran juga masih terbatas.
b)     Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) adalah sebuah kurikulum operasional pendidikan yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan di Indonesia. KTSP merupakan kurikulum yang diberlakukan untuk setiap satuan pendidikan khususnya satuan pendidikan dasar dan menengah.[56] Kurikulum ini berorientasi pada hasil belajar (learning outcomes) dan keberagaman. Dengan demikian maka Penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar dalam upaya penguasaan atau pencapaian suatu kompetensi.
Pada prinsipnya, KTSP merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Standar Isi,[57] namun pengembangannya diserahkan kepada sekolah agar sesuai dengan kebutuhan sekolah itu sendiri. Secara umum KTSP  tidak jauh berbeda dengan KBK namun perbedaan yang menonjol terletak pada kewenangan dalam penyusunannya, yaitu mengacu pada desentralisasi sistem pendidikan. Pemerintah pusat menetapkan standar kompetensi dan kompetensi dasar, sedangkan sekolah dituntut untuk mampu mengembangkan dalam bentuk silabus dan penilaiannya sesuai dengan kondisi sekolah dan daerahnya. Esensi isi dan arah pengembangan pembelajaran tetap masih bercirikan tercapainya paket-paket kompetensi (dan bukan pada tuntas tidaknya sebuah subject matter), yaitu: Menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa baik secara individual maupun klasikal. Karena KTSP berdasar pada pelaksanaan KBK, maka siswa juga diberikan kesempatan untuk memperoleh pengetahuan secara terbuka berdasarkan sistem ataupun silabus yang telah ditetapkan oleh masing-masing sekolah.
Kurikulum KTSP yang merupakan perkembangan dari kurikulum 2004 KBK. Kurikulum 2006 yang digunakan merupakan kurikulum yang memberikan otonomi kepada sekolah untuk menyelenggarakan pendidikan yang puncaknya tugas itu akan diemban oleh masing masing pengampu mata pelajaran yaitu guru. Sehingga seorang guru disini benar-benar digerakkan menjadi manusia yang professional yang menuntut kereatifitas seorang guru.  Kurikulum ini juga terdapat beberapa kelemahan di samping kelebihan yang ada. Kekurangannya diantaranya  adalah : pertama, kurangnya sumber manusia yang potensial dalam menjabarkan KTSP dengan kata lain masih rendahnya kualitas seorang guru, karena dalam KTSP seorang guru dituntut untuk lebih kreatif dalam menjalankan pendidikan. Kedua,  kurangnya sarana dan prasarana yang dimillki oleh sekolah.
c)      Kurikulum 2013
Kurikulum 2013 adalah kurikulum yang merupakan lanjutan pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Kurikulum 2013 telah mencoba merespons terhadap peningkatan perkembangan jaman, karena dengan penekanan pada domain ketrampilan (skill) dan Karakter (afektif) secara terencana membentuk dan menyiapkan peserta didik menjadi orang yang tidak hanya mampu dalan aspek teoritis semata, lebih dari itu mereka juga mampu dalam hal ketrampilan yang dibutuhkan di kala dewasa dan karakter positif sesuai dengan norma agama, bangsa dan masyarakat.
Dalam kurikulum ini semangat inovasi akan masuk disemua proses pembelajaran, di antaranya memberikan kemampuan kepada anak untuk bisa me-linked, menyambungkan antara antara yang mereka hadapi di kelas dengan masalah riil di masyarakat. Di samping itu, juga memberikan ruang kepada peserta didik untuk bisa memaknai suatu materi pelajaran itu sangat berguna dalam kehidupan mereka.[58]
Kurikulum terbaru ini sifatnya problem based, yaiu berbasis pada problem-problem yang ada.  Kendatipun guru tidak lagi dipusingkan dengan silabus ataupun RPP, namun dalam kurikulum yang lebih banyak mengarah pada penggunaan IT maka guru harus mempersiapkan dirinya sendiri untuk tidak gagap teknologi sebelum peserta didik diarahkan kesana, karena kurikulum ini tidak ladi mendasarkan pada standar kompetensi lulusan saja, tetapi lebih mendasarkan pembelajaran pada kebutuhan peserta didik.
Masalah persiapan buku pegangan pembelajaran yang terdiri dari buku pegangan siswa, buku pegangan guru, persiapan guru supaya memahami pemanfaatan sumber belajar dan sumber lain yang dapat mereka manfaatkan, guru juga harus mempersiapkan diri untuk dapat mengoperasikan komputer atau sarana IT dalam menunjang pelaksanaan pembelajaran.

V.     Penutup
Setiap kurikulum tidak berlaku abadi, tetapi dapat berubah atau diperlukan adanya perbaikan dikarenakan berbagai macam hal. Perjalanan sebuah kurikulum Pendidikan biasanya sejalan dengan sejarah perkembangan bangsa itu sendiri. Ketika bangsa Indonesia  masih dalam periode penjajahan, maka kurikulum pendidikan yang dikembangkan adalah demi kepentingan penjajah itu sendiri. Pendidikan di Indonesia juga tidak jarang masuk dalam ranah politisi. Ketika orde lama berkuasa, pertentangan ideologi juga menyusupi dalam kurikulum pendidikan di Indonesia. Sekolah sempat dijadikan wahana  penanaman ideologi atau proses internalisasi sosial komunis. Begitu pula ketika orde baru memimpin, maka pelanggengan kekuasaan juga dikoarkan dalam dunia pendidikan dengan pendidikan Pancasilanya, dan menghilangkan hal-hal yang berbau orde lama. Meski demikian, sejarah kurikulum pendidikan nasional senantiasa mencari formula sesuai dengan perkembangan zaman. Ketika posisi sentralisasi pendidikan dianggap sudah usang dan kurang relevan dengan otonomi daerah, maka pendidikan juga turut mengalami desentralisasi dengan memberikan daerah otonomi sendiri.
Terakhir, betapapun di atas kertas kurikulum kita sangat ideal, dalam realisasinya belum tentu menampakkan hasil yang sama antara satu lembaga dengan lembaga lainnya, mengingat bahwa kurikulum merupakan salah satu faktor dari berbagai faktor pendidikan yang mempengaruhi keseluruhan proses pendidikan.














DAFTAR PUSTAKA
Assegaf, Abd. Rahman, (2005), Politik Pendidikan Nasional, Pergerseran Kebijakan Pendidikan Agama Islam dari Proklamasi Ke Reformasi, Yogyakarta: Kurnia Kalam.
Brubaker, DL, (1982), Curriculum Planning: The Dynamics of Teory and Practice, Glenview, Illinosis : Scott Foresman and company.
Carl, Arend E, (2009),Teacher Empowerment Throught Curriculum Development, Theory Into Practice,(Cape Town: Juta and Company Ltd.
Braslavsky, Cecilia,  The Curriculum, dalam www.ibe.unesco.org
Feisal, Jusuf Amir, (1995), Reorientasi Pendidikan Islam, Jakarta: Gema Insani Press.
Hasan, Hamid, Perkembangan Kurikulum: Perkembangan Idiologis dan teoritik Pedagogis (1950-2005), dalam file.UPI.edu
Hamalik, Oemar, (2007), Kurikulum dan Pembelajaran, Jakarta: Bumi Aksara.
_____________, (1993), Model-Model Pengembangan Kurikulum, Bandung: PPs Universitas Pendidikan Indonesia.
Herlina dan Yuke Indrati, (2010), Sejarah Perkembangan Kurikulum Taman Kanak-Kanak di Indonesia dari Masa ke Masa, Jakarta: Pusat Kurikulum Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan Nasional.
Gilbert, Rob, (2011), Professional Learning Flagship Program: Leading Curriculum Change,  Melbourne : The Australian Institute for Teaching and School Leadership (AITSL).
Gora, Winastwan, Sunarto, (2010), Pekematik Strategi Pembelajaran Inovatif berbasis TIK, Jakarta: Elek Media Komputindo.
Kartono, ST, (2009), Sekolah Bukan Pasar, Catatan otokritik seorang guru, Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.
Koesoema, Doni, (2007), Pendidikan Karakter Stategi mendidik anak di jaman global, Jakarta: PT Grasindo,
Lunenburg, Fred C, (2011), “Theorizing about Curriculum:Conceptions and Definitions”, International Journal Of Scholary Academic Intellectual Diversity, Volume 13, Number 1.
Mastuhu, (2003), Menata Ulang Pemikiran Sistem Pendidikan Nasional dalam Abad 21, Jakarta: Safiria Insani Press.
Nawawi, Hadari dan Mimi Martini, (1994), Kebijakan Pendidikan di Indonesia ditinjau dari Sudut Hukum, Yogyakarta, Gadjah Mada University Press.
Pradipto, Dedy Y, (2007), Belajar Sejati Versus Kurikulum Nasional, Konstelasi Kekuasaan dalam Pendidikan Dasar, Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Pembina Mata Kuliah Didaktif Metodik Kurikulum IKIP Surabaya, Pengantar Didaktik Metodik Kurikulum PBM, cet keempat, (Jakarta: Penerbit Rajawali)
Pinar, William F., (2004),  What Is Curriculum Theory?, London: Lawrence Erlbaum Associates Publisher, Mahwah, New Jersey.
Prayitno, (2009), Dasar Teori dan Praksis Pendidikan, Jakarta: PT Grasindo.
Rizali, Ahmad, Indra Djati Sidi dan Satria darma, (2009) Dari Guru Konvensional Menuju Guru Profesional, Jakarta: PT Grasindo.
Roqib, Moh, Ilmu Pendidikan Islam, (2009), Pengembangan Pendidikan Integratif di Sekolah, Keluarga dan Masyarakat, Yogyakarta: LKis,
Sariono, (2013),“Kurikulum 2013: Kurikulum Generasi Emas”, dalam E-Jurnal Dinas Pendidikan Kota Surabaya, Volume 3
Nasution.S, (2001), Asas-asas Kurikulum, cet. keempat, Jakarta: PT Bumi Aksara.
Rogers, A. and P. Taylor, (1998), Participatory Curriculum Development in Agricultural Education. A Training Guide. Rome: FAO.
Ross, Alistair, (2000), Curriculum construction and Critique,  New York: TJ International Ltd
Said,  Hamid Hasan, (2010), Perkembangan Kurikulum SMP, dari Masa Hindia Belanda, Pendudukan Jepang dan Zaman Kemerdekaan, Jakarta: Pusat Kurikulum Kementerian Pendidikan Nasional.
Sariono, (2013),“Kurikulum 2013: Kurikulum Generasi Emas”, dalam E-Jurnal Dinas Pendidikan Kota Surabaya, Volume 3. 
Shaleh, Abdul Rachman, (2000), Pendidikan Agama di Sekolah umum Visi, Misi, dan Aksi, cet kedua, Jakarta: PT Gemawindu Panca Perkasa.
Saylor, J Galen dan Alexander William M, (1996), Curriculum Planning for Better Teaching and Learning, New York: Rinehart and Winstons,Inc.
S, Belen, (2010), Sejarah Kurikulum SD, dari Mengajar Tradisional ke Belajar aktif, Jakarta: Puskur Balitbang.
Subandijah, (1993), Pengembangan dan Inovasi kurikulum, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, cet I.
Surakhmad, Winarno, (2009), Pendidikan Nasional Strategi dan Tragedi, Jakarta: Kompas Media Nusantara.
Sukmadinata, Nana Syaodih, (1999), Pengembangan Kurikulum : Teori dan Praktek, Bandung : Remaja Rosdakarya.
Suplemen Bahan Ajar dalam pjjpgsd.dikti.go.id
Syarif, hamid A, (1996), Pengembangan Kurikulum, Surabaya: PT Bina Ilmu.
Tilaar,HAR, (2003), Kekuasaan dan Pendidikan Suatu Tinjauan dari perspektif Kultural, cet I, Jakarta: Indonesia Tera,
Utomo, Erry,dkk, (1997), Pokok-pokok Pengertian dan Pelaksanaan Kurikulum Muatan Lokal, Jakarta: Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
White, Roger Crombie, (1997), Currikulum Innovation; A celebration of Classroom Practice, Celtic Court: Open University Press,
Zaen, Muhammad,(1985), Asas dan Pengembangan Kurikulum,Yogyakarta:Offset Yogyakarta.



[1] Subandijah, Pengembangan dan Inovasi kurikulum, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, cet I, 1993), hal. 1.
[2] Rogers, A. and P. Taylor, Participatory Curriculum Development in Agricultural Education. A Training Guide, (Rome: FAO, 1998), hal. 9.
[3] Cecilia Braslavsky,  The Curriculum, dalam www.ibe.unesco.org didownload tanggal, 14 Juni 2013.
[4] William F. Pinar, What Is Curriculum Theory?, (London: Lawrence Erlbaum Associates Publisher, Mahwah, New Jersey, 2004),  hal. 93-94.

[5] John Wiles, Leading Curriculum Development, (California: Corwin Press, 1989), hal. 5. Sedangkan Istilah kurikulum mulai masuk ke dalam dunia pendidikan Indonesia dari literatur kependidikan Amerika Serikat menjelang akhir tahun 60-an abad ke 20. Menurut Longstreet dan Shane istilah kurikulum di Amerika baru dikenal umum pada awal abad ke 20 walau pun seperti mereka akui bahwa filosof Jerman Johann Friedrich Herbatt telah mengembangkan pikiran tentang kurikulum sebagai “a systematic approach to the organization and selection of content as well as to instructional delivery” pada pertengahan abad ke 19. Di Amerika Serikat, pemikiran tentang kurikulum pada mulanya berkembang pada akhir abad ke 19 dengan pembentukan Committee of Ten yang antara lain diketuai oleh Charles Eliot dari Harvard University. Lihat Longstreet,W.S. dan Shane dalam Hamid Hasan Said, Perkembangan Kurikulum SMP ( Dari Zaman Hindia Belanda, Pendudukan Jepang dan Zaman Kemerdekaan), (Jakarta: Pusat Kurikulum Kementerian Pendidikan Nasional, 2010), hal. 2.
[6] Fred C. Lunenburg, “Theorizing about Curriculum:Conceptions and Definitions”, International Journal Of Scholary Academic Intellectual Diversity, Volume 13, Number 1, 2011, hal. 5. didownload tanggal, 14 Juni 2013.
[7] DL Brubaker, Curriculum Planning: The Dynamics of Teory and Practice, (Glenview, Illinosis : Scott Foresman and company, 1982), hal. 22.
[8] ST Kartono, Sekolah Bukan Pasar, Catatan Otokritik Seorang Guru, (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2009), hal 127.
[9] Pendekatan konvensional memandang bahwa proses belajar yang dialkukan sebagaimana umumnya guru mengajarkan materi kepada siswanya. Guru mentransfer ilmu pengetahuan kepada siswa, sedangkan siswa lebih banyak sebagai penerima. Pendekatan ini juga sering disebut sebagai “Pengajaran Tradisional”. Dalam pendekatan model seperti ini gurulah yang mendominasi dalam proses pembelajaran. Sedangkan pembelajaran aktif, peran aktif siswa sangat penting dalam rangka pembentukan generasi yang kreatif. Kreatif dimaksudkan agar guru menciptakan kegiatan belajar yang belagam sehingga memenuhi berbagai tingkat kemampuan siswa. Menyenangkan adalah suasana belajar mengajar yang menyenangkan dan siswa memusatkan secara penuh kepada pada belajar sehingga waktu curah perhatian (time on task) tinggi. Lihat Winastwan Gora, Sunarto, Pekematik Strategi Pembelajaran Inovatif Berbasis TIK, (Jakarta: Elek Media Komputindo, 2010), hal. 7-13.
[10] HAR Tilaar, Kekuasaan dan Pendidikan Suatu Tinjauan dari perspektif Kultural, cet I, (Jakarta: Indonesia Tera, 2003), hal. 128.
[11] Pendidikan juga tidak terlepas dari politik sungguhpun pendidikan tidak dapat menggantikan fungsi politik. Kenyataannya adalah meskipun pendidikan tidak dapat menggantikan politik, tetapi tanpa pendidikan, tujuan-tujuan politik sulit untuk terlaksana. Oleh sebab itu fungsi dan peranan pendidikan dalam kehidupan suatu bangsa tidak terlepas dari kehidupan politik termasuk ekonomi, hukum dan kebudayaan pada umumnya. Lihat HAR Tilaar, Paradigma Pendidikan Nasional, (Jakarta: PT Rineke Cipta, 2004), hal.2
[12] Winarno Surakhmad, Pendidikan Nasional Strategi dan Tragedi , (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2009), hal. 86.
[13] Long life Education (Pendidikan seumur hidup) merupakan pendidikan yang berlangsung terus menerus dari masa taman kanak-kanak samapai tua (minat thufulah ila suyukhah). Konsep pendidikan seumur hidup bertumpu pada suatu kenyataan bahwa belajar itu harus dilakukan secara kontinu, walaupun dengan cara dan proses yang berbeda. Jika belajar tidak dilakukan seumur hidup maka nilai kemanusiaan seseorang akan tercerabut sebab potensi yang dimilikinya terhenti. Lihat dalam Moh. Roqib, Ilmu Pendidikan Islam, Pengembangan Pendidikan Integratif di Sekolah, Keluarga dan Masyarakat, (Yogyakarta: LKis, 2009), hal. 63.
[14] Arend E Carl,  Teacher Empowerment Throught Curriculum Development, Theory Into Practice,(Cape Town: Juta and Company Ltd, 2009), hal. 22.
[15] Hamid A Syarif, Pengembangan Kurikulum, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1996), hal.109.
[16] Sukmadinata, Nana Syaodih, Pengembangan Kurikulum , hal. 4.
[17] Alistair Ross, Curriculum  Construction and Critique, ( New York: TJ International Ltd, 2000), hal. 5
[18] Menurut Mauritz Johnson, pengalaman hanya akan muncul apabila terjadi antara peserta didik dengan lingkungannya. Interaksi tersebut tidak disebut kurikulum melainkan suatu bentuk pengajaran. Kurikulum hanya menggambarkan atau mengantisipasi hasil dari pengajaran. Dari pengertian ini menunjukkan bahwa kegiatan-kegiatan kurikulum tidak terlepas dalam ruang kelas saja melainkan mencakup juga kegiatan-kegiatan di luar kelas. Tidak ada pemisahan yang tegas antara intra dan ekstra kurikulum. Semua kegiatan memberikan pengalaman belajar atau pendidikan bagi peserta didik pada hakikatnya adalah kurikulum. Lihat dalam  Oemar Hamalik, Kurikulum dan Pembelajaran, (Jakarta: Bumi Aksara, 2007), hal. 18.
[19] Rosenmund telah menunjukkan bahwa perubahan kurikulum tidak bisa hanya dilihat sebagai sesuatu yang direncanakan "Teknokratik" reformasi untuk meningkatkan produktivitas sistem pendidikan, tetapi juga harus dipahami sebagai tindakan politik yang membentuk hubungan antara individu dan institusi yang Negara bangsa (nation state) melalui seleksi dan organisasi pengetahuan sekolah. Lihat Rob Gilbert, Professional Learning Flagship Program: Leading Curriculum Change, (Melbourne : The Australian Institute for Teaching and School Leadership (AITSL), 2011), hal. 2. didownload tanggal, 16 Juni 2013.
[20] Mastuhu, Menata Ulang Pemikiran Sistem Pendidikan Nasional dalam Abad 21, (Jakarta: Safiria Insani Press, 2003), hal. Viii.
[21] Di bawah rezim orde lama yaitu rezim Soekarno telah terjadi beberapa berupahan kurikulum. Pada rentang waktu 1945-1949 dikeluarkan kurikulum 1947. Tahun 1950-1961 ditetapkan kurikulum 1962. Terakhir pada masa orde lama adalah kurikulum 1964. Di bawah rezim Orde Baru lahir empat kurikulum yaitu kurikulum 1968 dan berlaku sampai dengan tahun 1975. Selanjutnya muncul kurikulum 1975 yang berlaku sampai tahun 1984. Pada tahun 1984 dibuat kurikulum baru lagi dengan nama kurikulum 1975 yang disempurnakan dengan pendekatan Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA). Setelah era CBSA berakhir muncul lagi kurikulum 1994 yang merupakan penyempurnaan dari kurikulum sebelumnya. Era Reformasi memunculkan kurikulum 2004 yang dikenal dengan nama Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang pada tahun 2006 dilengkapi dengan Standar Isi dan standar Kompetensi yang kemudian disempurnakan lagi dengan nama Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Lihat Dedy Y Pradipto, Belajar Sejati Versus Kurikulum Nasional, Konstelasi Kekuasaan dalam Pendidikan Dasar, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2007), hal. 210-201. Setelah era KTSP muncul kurikulum penyempurna KTSP yaitu kurikulum 2013 yang akan mulai dilaksanakan tahun pelajaaran 2013/2014.

[22] Muhammad Zaen, Asas dan Pengembangan Kurikulum, (Yogyakarta: Offset Yogyakarta, 1985), hal. 55
[23] Subandijah, Pengembangan, hal. 78.
[24] Roger Crombie White,  Curriculum Innovation; A celebration of Classroom Practice, (Celtic Court: Open University Press, 1997), hal.  7
[25] S Nasution,  Asas-asas Kurikulum, cet. keempat, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2001), hal. 122
[26] Subandijah, Pengembangan, hal. 82.
[27]Perkembangan kurikulum membutuhkan prinsip-prinsip integral dan praktis yang dapat memberikan petunjuk pada permasalahan kurikulum dan pengambilan keputusan tentang tujuan dan langkah yang diperlukan untuk mencapai kurikulum yang memadai.  Perubahan kurikulum terjadi secara bertahap (sedikit demi sedikit) yang berkembang dari praktik dan pengaruhnya dalam pendidikan; dan itu dipandang tidak memadai. Schwabs mengusulkan agar desain kurikulum dikembangkan menuju arah yang ditetapkan oleh ilmu terapan. Lihat dalam Jusuf Amir Feisal, Reorientasi Pendidikan Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), hal. 56.
[28] Pergeseran dan Perubahan  tujuan pendidikan dapat kita lihat misalkan kurikulum 1946. Penekanan tujuan kurikulum 1946  adalah membentuk warga Negara yang sejati dan dapat menyumbangkan tenaga dan pikiran untuk Negara. Adapun analisa faktor perubahan adalah semangat nasionalisme dan patriotisme bangsa. Kemudian tujuan itu berubah pada tahun 1950 dengan dikeluarkannya UUPP No.4 Tahun 1950. Dengan dikeluarkannya UU tersebut maka tujuan pendidikan berubah menjadi “Membentuk manusia susila yang cakap dan warga Negara yang demokratis serta bertanggungjawab tentang kesejahteraan masyarakat dan tanah air.” Tujuan pendidikan berubah lagi pada tahun 1965 dengan dikeluarkannya KEPPRES RI No.145 karena pengaruh PKI yaitu “Melahirkan warga Negara sosialis Indonesia yang bertanggung jawab atas terselenggaranya masyarakat Indonesia yang adil dan makmur”. Pada tahun 1973 tujuan pendidikan yaitu membentuk manusia pembangunan berPancasila untuk membentuk manusia Indonesia yang sehat Jasmani dan Rohani.  Perubahan tujuan Pendidikan yang terakhir lahir yaitu pada tahun 2003 dengan dikeluarkannya UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Tujuan Pendidikan yang dimaksud dalam UU ini adalah pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Perubahan tujuan pendidikan ini merupakan kebijakan reformasi Pendidikan Nasional. Lihat dalam  Abd. Rahman Assegaf, Politik Pendidikan Nasional, Pergerseran Kebijakan Pendidikan Agama Islam dari Proklamasi Ke Reformasi, (Yogyakarta: Kurnia Kalam, 2005), hal. 98-102.
[29] Suplemen Bahan Ajar, hal. 71 dalam  pjjpgsd.dikti.go.id, didownload tanggal 15 Juni 2013
[30] Doni Koesoema,  Pendidikan Karakter Stategi mendidik anak di jaman global, (Jakarta: PT Grasindo, 2007), hal. 130.
[31] Suplemen Bahan Ajar,  hal. 72.
[32] Hamid Hasan, Perkembangan Kurikulum: Perkembangan Idiologis dan teoritik Pedagogis (1950-2005), dalam file.UPI.edu, hal. 11. didownload tanggal, 14 Juni 2013.
[33] Oemar Hamalik, Model-Model Pengembangan Kurikulum. (Bandung: PPs Universitas Pendidikan Indonesia. 1993), Hal. 204. Pendidikan Pancawardhana ini bertujuan untuk membentuk manusia yang harmonis jasmani dan rokhaninya. Mendidik bukan hanya untuk melatih jasmaninya saja tetapi juga melatih kesanggupan berpikir, memperluas pengalaman dan melatih kemauan, memelihara persaan dan memperkembangkan serta membentuk watak anak, dengan kata lain membentuk pribadi anak sebulat-bulatnya. Lihat dalam Herlina dan Yuke Indrati, Sejarah Perkembangan Kurikulum Taman Kanak-Kanak di Indonesia dari Masa ke Masa, (Jakarta: Pusat Kurikulum Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan Nasional, 2010), hal.34.
[34] Soegarda Poerbakawatja dalam Abd. Rahman Assegaf, Politik Pendidikan, hal. 137.
[35] Untuk SMP mata pelajaran di bagi ke dalam tiga kelompok : 1. Kelompok Dasar (Kelompok A)  dimana Pendidikan Agama dan Budi Pekerti di masukkan di dalamny, selain Civics (Kewarganegaraan), Bahasa Indonesia, Sedjarah Kebangsaan, Ilmu Bumi Indonesia, dan Pendidikan Djasmani/Kesehatan. 2. Kelompok Tjipta (Kelompok B) yang terdiri dari mata pelajaran Bahasa (daerah, inggeris), Ilmu Aldjabar, Ilmu Ukur, Ilmu Alam, Ilmu Hajat, Ilmu Bumi Dunia, Sedjarah Dunia dan Ilmu Administrasi. 3. Kelompok Rasa/ karja (Kelompok C) yang terdiri dari mata pelajaran menggambar, kesenian, prakarja dan kesejahteraan Keluarga. Lihat Lihat  Hamid Hasan Said, Perkembangan Kurikulum, hal. 78-79.
[36] Di SMA kelas I terdapat empat kelompok mata pelajaran, yaitu : 1. Kelompok Dasar yang terdiri dari mata pelajaran Kewarganegaraan, Bahasa dan Kesusatraan Indonesia, Sedjarah Indonesia, Ilmu Bumi Indonesia, pendidikan Agama/Budi Pekerti, dan Pendidikan Djasmani dan Pendidikan Kesehatan. 2. Kelompok Khusus yang terdiri dari mata Pelajaran Ilmu Pasti, Ilmu Alma, Ilmu Kimia, Ilmu Hajat, Sedjarah, Bahasa Inggeris, Salah satu bahasa Timur atau bahasa Asing lainnya, Ekonomi dan Koperasi serta menggambar. 3. Kelompok Prakarja dan, 4. Kelompok krida. Tiap jam pelajaran yang diberikan untuk tiap jenis kegiatan dalam rangka prakarya atau krida diperhitungkan sebagai jam pelajaran resmi. Lihat dalam Hermana Soemantri, Perkembangan Kurikulum Sekolah Menengah Atas Indonesia  (Suatu Perspektif Historis dari Masa Ke Masa), edisi 1, (Jakarta: Pusat Kurikulum, 2010), hal. 86-87.
[37] Untuk kurikulum 1968 terbagi dalam tiga kelompok : 1. Kelompok Pembinaan Jiwa Pancasila terdiri dari empat mata pelajaran yaitu Pendidikan Agama, Pendidikan Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia dan Olahraga. 2. Kelompok Pembinaan Pengetahuan Dasar  yang terdiri dari mata pelajaran Bahasa Inggeris, Ilmu Al Jabar, Ilmu Alam, Ilmu Ukur, Ilmu Hayat, Ilmu Bumi, Sedjarah dan Menggambar. 3. Kelompok Pembinaan dan Kecakapan Khusus terdiri dari Mata Pelajaran Administrasi, Kesenian, Prakarya dan Pendidikan dan Kesejahteraan Keluarga. Lihat dalam Hasan Said Hamid, Perkembangan Kurikulum, hal. 87-99.
[38] Perubahan itu dapat dilihat dalam kurikulum SD, kelompok mata pelajaran yang dulu dinamakan Perkembangan Moral diganti menjadi Pembinaan Jiwa Pancasila dan isinya pun berubah. Kelompok lain dalam kurikulum SD adalah Pembinaan Pengetahuan Dasar dan Pembinaan Kecakapan Khusus. Dalam kelompok Pengembangan Moral terdapat mata pelajaran Kewargaan Negara dan Agama sedangkan dalam kelompok Pembinaan Jiwa Pancasila terdapat mata pelajaran pendidikan agama, pendidikan kewargaan negara (ilmu bumi Indonesia, sejarah Indonesia, dan civics), pendidikan bahasa Indonesia dan pendidikan olahraga. Kelompok mata pelajaran Pembinaan Jiwa Pancasila, terutama materi pelajaran sejarah Indonesia dan civics, mempunyai tugas untuk mengembangkan semangat Pancasila yang bebas dari Manipol-USDEK dan Nasakom. Lihat Belen, S, Sejarah Kurikulum SD, dari Mengajar Tradisional ke Belajar aktif, Jakarta: Puskur Balitbang, 2010, hal. 68.  Sedangkan struktur kurikulum SMP dan SMA juga sama dengan struktur kurikulum SD yaitu Kelompok Pembinaan Jiwa Pancasila, Pembinaan Pengetahuan Dasar, dan Pembinaan Kecakapan Khusus.
[39] Abd. Rahman Assegaf, Politik Pendidikan Nasional, hal. 140.
[40] Didantik/metodik merupakan cara mengajar yang dipakai oleh guru agama. Dalam perkembangannya metodik dalam kurikulum kita sekarang adalah metode pengajaran. Lihat Abd. Rahman Assegaf, Politik Pendidikan Nasional, hal. 141. Didaktik berasal dari kata didaskein atau pengajaran yang berarti  perbuatan atau aktifitas yang menyebabkan timbulnya kegiatan dan kecakapan baru pada orang lain. Sedangkan metodik berarti mengajar, menyelidiki dan cara melakukan sesuatu serta prosedur. Lihat Team Pembina Mata Kuliah Didaktif MetodikKurikulum IKIP Surabaya, Pengantar Didaktik Metodik Kurikulum PBM, cet keempat, (Jakarta: Penerbit Rajawali ), hal. 1-2.
[41] Abd. Rahman Assegaf , Politik Pendidikan Nasional, hal. 142-143.
[42] Kesembilan mata pelajaran tersebut yaitu Agama Pendidikan Moral Pancasila, Bahasa Indonesia, Ilmu Pengetahuan Sosial, Matematika, Ilmu Pengetahuan Alam, Olahraga dan Kesehata, Kesenian dan  Keterampilan Khusus. Lihat dalam Belen,S, Sejarah Kurikulum SD,hal. 69.
[43] Kelompok Mata pelajaran terbagi menjadi 3 program pendidikan yaitu: 1. Pendidikan Umum yang meliputi Pendidikan Agama, Pendidikan Moral Pancasila, Olahraga dan Kesehatan, Pendidikan Kesenian. 2. Pendidikan Akademis yang meliputi Bahasa Indonesia, Bahasa Daerah, Bahasa Inggeris , Ilmu Pengetahuan Sosial, Matematika , Ilmu Pengetahuan Alam. 3. Pendidikan Ketrampilan meliputi pilihan terikat dan pilihan bebas. Lihat Hasan, Said Hamid, Perkembangan Kurikulum SMP, hal. 108.
[44] Abdul Rachman Shaleh, Pendidikan Agama di Sekolah umum Visi, Misi, dan Aksi, cet kedua, (Jakarta: PT Gemawindu Panca Perkasa, 2000), hal. 5
[45] Lihat Garis-Garis Besar Program Pengajaran (GBPP) kurikulum 1975 dalam Hermana Soemantri, Perkembangan Kurikulum, hal.133.
[46] Pendekatan pengajarannya berpusat pada anak didik melalui cara belajar siswa aktif (CBSA) juga sering dinamakan dengan Student Active Learning (SAL). CBSA adalah pendekatan yang diterapkan dalam proses belajar mengajar yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk aktif terlibat secara fisik, mental, intelektual, dan emosional sehingga diperoleh hasil belajar yang berupa keterpaduan antara ranah kognitif, afektif, maupun psikomotor. Lihat Subandijah, Pengembangan, hal. 112
[47] Core Curriculum menunjuk pada suatu rencana yang mengorganisasikan dan mengatur bagian utama dari program umum di Sekolah. lihat Saylor, J Galen dan Alexander, William M, Curriculum Planning for Better Teaching and Learning, (New York: Rinehart and Winstons,Inc, 1996), hal. 130. Program inti merupakan program pendidikan yang wajib diikuti oleh semua siswa, yang diarahkan pada kepentingan pencapaian tujuan pendidikan nasional dan penguasaan pengetahuan, sikap dan ketrampilan minimal.  Program inti di SD meliputi mata Pelajaran Pendidikan Agama, Pendidikan Moral Pancasila, PSBP, Bahasa dan Sastra Indonesia, IPS, Matematika, IPA, Pendidikan olah raga dan Kesehatan, Kesenian, Pendidikan Ketrampilan dan Bahasa Daerah. Lihat S. Belen,S, Sejarah Kurikulum SD, hal. 71-72. Sedangkan program inti untuk SMP terdiri atas mata pelajaran Pendidikan Agma, PMP, PSPB, Bahasa dan Sastra Indonesia, Sejarah Nasional Indonesia dan Sejarah Dunia, IPS, Pendidikan Olahraga dan Kesehatan, Pendidikan Seni, Pendidikan Ketrampilan, Matematika, IPA dibagi menjadi 2 mata pelajaran yaitu Biologi dan Fisika, dan bahasa Inggris.  Lihat Said Hamid Hasan, Perkembangan Kurikulum SMP, hal. 125-126. Sedangkan untuk SMA selain mata pelajaran di SMP ditambah Ekonomi, Geografi dan Kimia. lihat Hermana Soemantri,  Perkembangan Kurikulum SMA, hal. 149-152.
[48] Prinsip-prinsip pengembangan kurikulum pada Kurikulum 1994 meliputi: pertama, Kegiatan belajar-mengajar dilaksanakan dengan sistem klasikal yang mengelompokkan anak dengan usia dan kemampuan rata-rata hampir sama menerima pelajaran dari seorang guru dalam mata pelajaran yang sama dalam waktu dan tempat yang sama. Bila diperlukan dapat dibentuk penglompokan sesuai dengan tujuan dan keperluan pengajaran. Kedua, Kegiatan belajar-mengajar pada dasarnya mengembangkan kemampuan psikis dan fisik serta kemampuan penyesuaian sosial siswa secara utuh. Ketiga,  Mengingat anekaragamnya mata pelajaran, cara penyajian pelajaran hendaknya memanfaatkan berbagai sarana penunjang seperti kepustakaan, alat peraga, lingkungan alam dan budaya, serta masyarakat dan narasumber. Keempat,  Kegiatan belajar-mengajar sebagai pembelajaran tambahan dapat diberikan kepada siswa baik yang akan melanjutkan ke pendidikan menengah maupun yang akan memasuki lapangan kerja / masyarakat umum. Siswa dapat mengikuti satu atau beberapa mata pelajaran sebagai pelajaran tambahan di luar jam pelajaran pada susunan program pengajaran, dengan jatah waktu yang sesuai dengan keadaan. Kegiatan pembelajaran tambahan dapat berupa kegiatan perbaikan atau kegiatan pengayaan. lihat Belen,S, Sejarah Kurikulum SD, hal. 103-104
[49] S Hamid Hasan,  Perkembangan Kurikulum, hal. 26
[50] Muatan  lokal adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar yang ditetapkan oleh daerah sesuai dengan keadaan dan kebutuhan daerah masing-masing. Lihat dalam Erry Utomo,dkk, Pokok-pokok Pengertian dan Pelaksanaan Kurikulum Muatan Lokal, (Jakarta: Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1997), hal.1.
[51] Yang maksud Sembilan tahun yaitu dari SD selama enam tahun ditambah tiga tahun  di SLTP. Pendidikan dasar 9 tahun merupakan kaidah yang bermaksud mengintegrasikan SD dan SLTP secara Konseptual dalam arti tanpa pemisah dan merupakan satu kesatuan pendidikan  pada jenjang yang terendah. Kedua bentuknya tidak diintegrasikan secara fisik, tetapi tetap berbentuk dua lembaga yang terpisah. Lihat Hadari Nawawi dan Mimi Martini, Kebijakan Pendidikan di Indonesia ditinjau dari Sudut Hukum, (Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, 1994) hal.351.
[52] Lihat Abd. Rahman Assegaf, Politik Pendidikan Nasional, hal 149-150.
[53] Nurhadi, Kurikulum 2004, Pertanyaan dan Jawaban, (Jakarta: PT Grasindo, cet kedua, 2005), hal. 16
[54] Abd. Rahman Assegaf, Politik Pendidikan Nasional, hal. 165-166
[55] Meskipun kurikulum 2004 berbasis kompetensi bukan berarti kurikulum-kurikulum sebelumnya sama sekali tidak memuat kompetensi. Baik pada kurikulum 1975, 1984 dan 1994, di dalamnya juga terdapat sederet kompetensi. Hanya saja dalam kurikulum tersebut , setandar kompetensi masih samar-samar, tidak mendapat perhatian lantaran lebih menfokuskan pada perumusan tentang input dan prosesnya.  Dalam kurikulum 2004, kompetensi mendapat tekanan, sementara urusan proses maupun input lebih banyak lebih banyak diserahkan kepada guru. Lihat Ahmad Rizali, Indra Djati Sidi dan Satria darma, Dari Guru Konvensional Menuju Guru Profesional, (Jakarta: PT Grasindo,2009), hal.206
[56] Prayitno, Dasar Teori dan Praksis Pendidikan, (Jakarta: PT Grasindo, 2009), hal. 475.
[57] Standar isi adalah ruang lingkup materi dan tingkat kompetensi yang dituangkan dalam persyaratan kompetensi tamatan, kompetensi bahan kajian kompetensi mata pelajaran, dan silabus pembelajaran yang harus dipenuhi peserta didik pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu.

[58]Sariono, (2013),“Kurikulum 2013: Kurikulum Generasi Emas”, dalam E-Jurnal Dinas Pendidikan Kota Surabaya, Volume 3,  Hal.6. didownload tanggal, 16 Juni 2013.