Kamis, 04 September 2008

Pembelajaran penemuan terbimbing dikembangkan berdasarkan pandangan kognitif tentang pembelajaran dan prinsip-prinsip konstruktivis. Menurut prinsip ini siswa dilatih dan didorong untuk dapat belajar secara mandiri. Dengan kata lain, belajar secara konstruktivis lebih menekankan belajar berpusat pada siswa sedangkan peranan guru adalah membantu siswa menemukan fakta, konsep atau prinsip untuk diri mereka sendiri bukan memberikan ceramah atau mengendalikan seluruh kegiatan kelas.

Konstruktivis adalah salah satu pilar dari Contextual Teaching and Learning, dimana siswa diharapkan membangun pemahaman oleh diri sendiri dari pengalaman-pengalaman baru berdasarkan pada pengalaman awal dan pemahaman yang mendalam dikembangkan melalui pengalaman-pengalaman belajar bermakna.

Pembelajaran penemuan terbimbing mempunyai kesamaan dengan pembelajaran berdasarkan masalah dan inquiri yang juga penerapannya berdasarkan teori konstruktivis, maka penemuan terbimbing termasuk salah satu pembelajaran yang sesuai dengan Contextual Teaching and Learning (CTL).

Menurut Sund (dalam Suryosubroto, 1996: 193), discovery merupakan bagian dari inquiri, atau inquiri merupakan perluasan proses discovery yang digunakan lebih mendalam. Discovery adalah proses mental dimana siswa mengasimilasi suatu konsep atau suatu prinsip. Proses mental tersebut misalnya mengamati, menggolongkan, membuat simpulan dan sebagainya.
Pembelajaran penemuan ada persamaannya dengan pembelajaran berdasarkan masalah.

Menurut Ibrahim dan Nur (2000: 23), kedua model ini menekankan keterlibatan siswa secara aktif, orientasi induktif lebih ditekankan daripada deduktif, dan siswa mengkonstruksi pengetahuan mereka sendiri. Pembelajaran berdasarkan masalah (PBI) membantu siswa menjadi pebelajar yang mandiri dan otonom melalui bimbingan guru yang secara berulang-ulang mendorong dan mengarahkan siswa untuk mencari penyelesaian terhadap masalah nyata. Namun pembelajaran penemuan dan PBI berbeda dalam beberapa hal yang penting yaitu, pada penemuan terbimbing sebagian besar didasarkan pada pertanyaan-pertanyaan berdasarkan disiplin, dan penyelidikan siswa berlangsung di bawah bimbingan guru terbatas pada lingkungan kelas.

Berbeda dengan pembelajaran penemuan terbimbing, pembelajaran berdasarkan masalah dimulai dengan masalah kehidupan nyata yang bermakna yang memberikan kesempatan kepada siswa dalam memilih dan melakukan penyelidikan yang diperlukan untuk memecahkan masalah tersebut. Selain itu, karena masalah itu merupakan masalah kehidupan nyata, pemecahannya memerlukan penyelidikan antara disiplin (Arends, 1997).

Tahap-tahap pembelajaran

1. Orientasi siswa pada masalah
Guru menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan logistik yang dibutuhkan, memotivasi siswa terlibat pada aktivitas pemecahan masalah yang diberikan guru.

2. Mengorganisasikan siswa dalam belajar
Guru membantu siswa mendefenisikan dan mengorganisasikan tugas-tugas yang berkaitan dengan masalah serta menyediakan alat.

3. Membimbing penyelidikan individual maupun kelompok
Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah.

4. Menyajikan / mempresentasikan hasil kegiatan
Guru membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan, video, dan model yang membantu mereka untuk berbagi tugas dengan temannya.

5. Mengevaluasi kegiatan
Guru membantu siswa untuk merefleksi pada penyelidikan dan proses penemuan yang digunakan.
Sumber: (Ibrahim dan Nur, 2000: 13)

Karena pembelajaran penemuan terbimbing merupakan pembelajaran penemuan dan bimbingan guru, dan ada persamaannya dengan pembelajaran berdasarkan masalah, oleh sebab itu dalam penelitian ini menggunakan tahapan dengan mengadaptasi dari tahapan PBI.

Carin (1993a) memberikan petunjuk dalam merencanakan dan menyiapkan pembelajaran penemuan terbimbing sebagai berikut:
1. Menentukan tujuan yang akan dipelajari oleh siswa.
2. Memilih metode yang sesuai dengan kegiatan penemuan.
3. Menentukan lembar pengamatan untuk siswa.
4. Menyiapkan alat dan bahan secara lengkap.
5. Menentukan dengan cermat apakah siswa akan bekerja secara individu atau secara kelompok yang terdiri dari 2,3 atau 4 siswa.
6. Mencoba terlebih dahulu kegiatan yang akan dikerjakan oleh siswa untuk mengetahui kesulitan yang mungkin timbul atau kemungkinan untuk modifikasi.

Selanjutnya, untuk mencapai tujuan di atas Carin (1993a) menyarankan hal-hal sebagai berikut:
a. Memberikan bantuan agar siswa dapat memahami tujuan kegiatan yang dilakukan.
b. Memeriksa bahwa semua siswa memahami tujuan kegiatan prosedur yang harus dilakukan.
c. Sebelum kegiatan dilakukan menjelaskan pada siswa tentang cara bekerja yang aman.
d. Mengamati setiap siswa selama mereka melakukan kegiatan.
e. Memberikan waktu yang cukup kepada siswa untuk mengembalikan alat dan bahan yang digunakan.
f. Melakukan diskusi tentang kesimpulan untuk setiap jenis kegiatan.

pendidikan di Brasil

Mengenal Pendidikan di Brasil


Setelah pendidikan di India pernah dikupas di garduguru ini, penjaga gardu mengedepankan Brasil untuk dikupas pendidikannya senyampang sebulan berlalu tentang pertemua SBY dengan Presiden Brasil. Pada 12 Juli 2008, yang lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyambut kedatangan Presiden Brazil Luiz Inacio Lula Da Silva dalam kunjungan kenegaraan sehari di Indonesia. Presiden Brazil disambut upacara kenegaraan di Istana Merdeka, Jakarta. Rombongan Presiden Brazil berjumlah 68 orang itu disertai oleh Menteri Luar Negeri Brazil, Celso Amorim, Menteri Staf Kepresidenan Dilma Rousseff, serta Menteri Pengembangan Industri dan Perdagangan Luar Negeri Edmundo S Fujita. Kedua kepala negara menyaksikan penandatanganan nota kesepahaman di tiga bidang, yaitu pendidikan, kerjasama teknik produksi bahan bakar etanol, dan perjanjian bebas visa untuk hubungan diplomatik serta pelayanan paspor.

Sistem Pendidikan Brasil mencakup lembaga-lembaga pemerintah (federal, negara-negara bagian dan kotamadya), serta lembaga swasta. Jenjang pendidikan dimulai dari tingkat prasekolah, sekolah dasar (Tingkat Dasar- I Grau ), dan tingkat menengah (Tingkat Kedua- II Grau ) sampai universitas dan tingkat pasca sarjana.

Pendidikan wajib bagi anak usia 7-14 tahun. Undang-Undang Dasar Brasil 1988 mengalokasikan sekurang-kurangnya 25% dari pendapatan pajak negara bagian untuk pendidikan. Di tahun 2000, 91% dari semua anak-anak Brasil usia 10-14 tahun bersekolah. Pemerintah Federal mendirikan sekurang-kurangnya satu universitas federal di setiap negara bagian. Pada tahun 1996 amandemen baru Undang-Undang Dasar dibuat, memungkinkan bagi para professor dan ilmuwan asing untuk menjadi pengajar di universitas Brasil. Kini di Brasil ada lebih dari 1.000 program pasca sarjana yang memiliki dosen pengajar yang mutunya setara dengan institusi sejenis di negara-negara maju.

Masa depan ekonomi Brasil terletak paling vital pada perbaikan pendidikan guna mencapai hasil produktivitas yang "besar sekali", "Kurangnya modal manusia menjadi penghalang tunggal terutama bagi pertumbuhan produktivitas," Organisasi bagi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan mengatakan dalam sebuah survei terhadap ekonomi Brasil. "Ada kesepakatan luas bahwa hasil yang akan diperoleh dari akumulasi modal manusia yang lebih cepat besar sekali." Indikator pendidikan yang jelek adalah lebih merupakan masalah kualitas pendidikan daripada pendanaan.

Brasil memiliki sejarah meledak dan melambat, dan OECD mengatakan potensi bagi pertumbuhan tanpa overheating kini "agak rendah" pada sekitar 3,0-3,5% per tahun. Di wilayah OECD yang terdiri dari negara-negara industri utama, potensi pertumbunan adalah sekitar 2,5% dan diperkirakan akan naik menjadi 3,0-3,5%. Brasil harus mengejar reformasi untuk meningkatkan sekitar lima poin lebih baik, menyiratkan pertumbuhan sekitar 8,0%, untuk diraih seperempat abad mendatang, laporan itu mengatakan.

OECD juga mendapati bahwa "pengurangan hambatan perdagangan nampaknya telah memainkan peran krusial dalam peningkatan produktivitas", dan program privatisasi yang besar juga telah membantu. Ekonomi telah tumbuh dengan 2,3% tahun lalu sesudah 4,9% pertumbuhan pada 2004 dan 0,5% pertumbuhan pada 2003.

Memuji reformasi belakangan ini di Brasil untuk menstabilkan inflasi, memperkuat mata uang dan mengurangi utang, OECD mengatakan bahwa "prospeknya bagus bagi pemulihan yang luas." Namun laporan itu menyoroti tiga bidang dimana aksi yang perkasa diperlukan:
1- Tantangan "dominan" akan "terus berlanjut guna mengurangi utang publik yang mengancam" sementara memperbai keuangan publik dengan kendali pengeluaran bukan terutama dengan kenaikan pajak sejauh ini. Reformasi pensiun khususnya penting.
2- Suatu "tantangan kebijakan utama adalah dengan meningkatkan inovasi di sektor bisnis" karena, meskipun kinerja inovasi membaik dengan cepat, masih terlalu rendah dan didorong terutama oleh negara dan universitas.
3- Kualitas pendidikan harus membaik karena sementara pendanaan naik hingga tingkat OECD hal itu tidak mendukung dengan cukup cepat kualifikasi angkatan kerja.

Pendidikan merupakan salah satu cara untuk mengurangi pasar tenaga kerja yang tak didiumumkan -- tinggi dan merugikan -- laporan tersebut menandaskan, menyebutkan sebuah terbitan bahwa buruh yang tak dideklarasikan berjumlah 37,0% dari angkatan kerja pada 1999. Dan institut itu mendesakkan diciptakannya "sistem sertifikasi keterampilan nasional".

Apa yang disebut "keajaiban Brasil" pada 1960-an dan 1970-an telah menaikkan produk domestik bruto dengan sekitar 7,5% per tahun, namun kebijakan peningkatan tidak berkelanjutan dan pertumbuhan menurun hingga sekitar 2,5% dari 1980 sampai 2005, karena lonjakan diikuti kemerosotan. "Hasilnya adalah bahwa kesenjangan dalam pendapatan per kapita Brasil dibandingkan dengan wilayah OECD (negara-negara industri maju) telah melebar dari sekitar 60% pada 1980 hingga hampir 70% sejak 2000."Untuk menutup kesenjangan ini dalam seperempat abad".

Seperti halnya Ki Hajar Dewantara, Imam Syafii, Bu Kasur, dan tokoh pendidikan yang lainnya, di Brasil juga terdapat tokoh yang dikenal dunia, yakni Paolo Freire, yang telah menyampaikan pemikiran-pemikiran kritisnya tentang realitas pendidikan. Bahwa pendidikan hanya ditakdirkan untuk melayani dominasi atau reproduksi bentuk-bentuk dominasi dari sebuah kekuasaan, telah diuraikan secara panjang lebar oleh Freire dalam sejumlah bukunya.

Menelaah sejumlah karyanya, tampak bagaimana Freire mengkritisi tentang peran reproduksi sekolah atau pendidikan sistematis terhadap ideologi dominan atau ideologi yang berkuasa. Tugas utama pendidikan sistematis adalah reproduksi ideologi kelas dominan, reproduksi kondisi-kondisi untuk memelihara kekuasaan mereka atau kekuasaan kaum borjuis. Namun tepatnya karena hubungan antara pendidikan sistematis sebagai suatu subsistem dengan sistem sosial merupakan hubungan pertentangan dan kontradiksi timbal balik.

Gambaran Freire tentang kondisi pendidikan di Brazil ini tak jauh berbeda ketika masa pemerintahan orde baru. Instrumen-instrumen pendidikan seperti kurikulum, pengajar maupun siswa berada dalam sebuah sistem yang berfungsi untuk mengamankan kekuasaan yang ada. Maka tidak heran jika fungsi pendidikan bukan lagi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, melainkan sebuah bentuk indoktrinasi untuk melanggengkan pemerintahan yang berkuasa.

Terhadap kondisi dunia pendidikan seperti ini, tokoh pendidikan asal Brazil ini memaparkan sejumlah solusinya. Bahwa ketika bicara reproduksi sebagai tugas kelas-kelas dominan, maka ada kemungkinan tugas tandingan terhadap reproduksi ideologi dominan. Kedua tugas ini bersifat dialektik, yang pertama adalah tugas reproduksi dan kedua adalah tugas oposisi pendidikan. Tugas oposisi pendidikan ini adalah bagaimana mengembalikan fungsi pendidikan agar tidak menjadi pelayan dari sebuah kekuasaan dan dinikmati oleh golongan tertentu seperti kaum borjuis melainkan kembali ke cita-citanya untuk membangun manusia yang seutuhnya.

Tantangan yang kemudian muncul dalam menjalankan tugas oposisi pendidikan ini adalah bagaimana memperjuangkan transformasi revolusioner masyarakat borjuis untuk membangun masyarakat sosialis. Revolusi perlu menciptakan dan membantu lahirnya masyarakat baru dan proses kelahiran masyarakat baru ini ada di dalam pendidikan revolusioner. Ketika revolusi meraih kekuasaan itu merupakan bantuan fantastik yang diperlukan untuk membaharui sistem pendidikan. Satu hal yang menjadi pekerjaan sekarang adalah melawan sistem borjuis melalui korps revolusioner untuk mencipta melalui pendidikan.

Pemikiran, kritik dan sebuah solusi yang telah ditawarkan oleh Freire di atas jika dicermati dengan seksama, ternyata begitu dekat dengan realitas dunia pendidikan kita. Bagaimana dengan di Indonesia? Adakah yang menindaklanjuti konsep pendidikan Ki Hajar Dewantara dan Imam Syafii?

sain islam

SAINS DALAM ISLAM

MENCARI MODEL PENGEMBANGAN SAINS
DI DUNIA ISLAM KONTEMPORER
Oleh: Muqowim

Peradaban Islam, khususnya sains pernah berjaya selama sekitar lima abad (abad ke-8 sampai 12) sehingga menjadi kiblat dari bangsa lain. Di antara faktor penyebabnya adalah adanya patron ilmu (penguasa Islam) yang mendukung secara material dan moral, luasnya jaringan perdagangan secara internasional, adanya semangat pluralis dari penguasa dan ilmuwan, dan tingginya etos sains dari para ilmuwan. Yang menjadi persoalan kemudian adalah mengapa kemajuan sains ini kemudian redup dan stagnan? Bahkan, ketika Napoleon Bonaparte ke Mesir tahun 1798 dengan membawa sejumlah saintis dari berbagai cabang ilmu kondisi di Mesir saat itu sangat memprihatinkan. Para ulama (sheikh) sama sekali tidak menunjukkan semangat intelektual Islam yang dinamis sebagaimana ditunjukkan oleh para saintis muslim di era keemasan. Ulama Mesir ketika itu larut dalam dunia mistik dan kehilangan kreatifitas berpikirnya. Kondisi serupa juga dapat dijumpai di dunia Islam yang lain seperti Benua Indo-Pakistan, Asia Tenggara, dan Timur Tengah, meskipun ada beberapa pengecualian di beberapa wilayah seperti Persia. Kondisi semacam ini berlangsung hingga kurun modern, padahal sains dan teknologi menjadi tolok ukuran kemajuan peradaban suatu bangsa saat ini.
Untuk mengembangkan sains dalam Islam pada era globalisasi ini yang pertama perlu dilakukan adalah merekonstruksi sejarah sains dalam Islam klasik secara menyeluruh, ketika peradaban Islam [dalam bidang sains] mencapai era keemasan (al-’asr al-dhahaby). Rekonstruksi dilakukan dengan terlebih dahulu memetakan permasalahan sains yang dihadapi umat Islam saat ini. Dengan demikian, akan ditemukan faktor penyebab yang menjadikan sains di dunia Islam kontemporer tertinggal dengan peradaban lain. Upaya rekonstruksi perlu dilakukan, sebab dalam banyak hal umat Islam tidak cukup kritis dengan sejarahnya sendiri, terutama tentang kemajuan sains pada era klasik. Bahkan, sebagian orang masih belum dapat memisahkan antara wilayah normatif dan historis tentang sains. Seakan-akan dengan datangnya Islam secara otomatis sains juga berkembang. Pandangan idealis-normatif ini perlu dibenturkan dengan kenyataan sejarah, bahwa proses pengembangan sains dalam Islam tidak berjalan secara monolitik-linear, namun terjadi proses yang rumit dan kompleks sehingga perlu pembacaan kritis dan hermeneutis atas fakta sejarah masa lalu.
Selanjutnya, bertolak dari rekonstruksi sejarah sains dalam Islam itu pada akhirnya ditemukan bahwa kemajuan sains dicapai ketika ada paradigma tauhid (tauhidic paradigm) dan etos sains yang dimiliki oleh saintis. Selain itu, peran patron ilmu dan ketersediaan khasanah sains pra-Islam juga mendukung pencapaian ini. Hal ini berujung pada cara pandang umat Islam tentang agamanya. Untuk itu, umat Islam perlu melakukan redefinisi tentang studi Islam; bahwa studi Islam (Islamic studies/dirasat islamiyyah) bukan hanya mencakup al-‘ulum al-naqliyyah saja seperti fiqih, kalam, tasawuf, tafsir dan hadis, namun juga al-‘ulum al-‘aqliyyah juga, seperti sains, humaniora dan humanitis. Yang menjadi ukuran adalah paradigma tauhid, bahwa semua ilmu yang terinspirasi dan didasarkan pada ajaran al-Qur’an dan al-Sunnah, apa pun hasil kesimpulannya, maka termasuk kategori studi Islam.
Selain itu, dalam pemaknaan baru terhadap studi Islam itu tidak ada dikotomi antara wilayah agama dan sains, namun keduanya terintegrasi baik pada level ontologis, epistemologis maupun aksiologis. Dalam pengembangan sains, paradigma bayani, burhani, dan ‘irfani harus dilakukan secara terpadu, bahwa yang menjadi sumber pengetahuan sains meliputi teks, realitas, dan pengalaman atau intuisi. Teks tidak sekedar ayat al-Qur’an dan matan hadis saja, namun juga mencakup referensi ilmu peninggalan saintis muslim ataupun non-muslim. Sementara itu, realitas terkait dengan fenomena alam sekitar yang selalu berubah dan kontekstual. Sedangkan pengalaman memungkinkan saintis bersikap empatik dan menghargai keragaman pendapat yang dihasilkan oleh saintis lain. Untuk itu, sikap inklusif dan pluralis perlu lebih dikepedankan ketimbang penghakiman dan klaim kebenaran sepihak.
Ketiga, paling tidak ada tiga strategi yang dapat dilakukan untuk mengembangkan sains dalam Islam kontemporer, yaitu pergeseran paradigma (shifting paradigm) sains di perguruan tinggi, kemauan politik (political will) penguasa, dan institusioalisasi etos sains. Pertama, paradigma yang dimaksud adalah cara pandang terhadap sains dalam Islam yang merupakan bagian integral dari studi Islam, baik secara ontologis, epistemologis maupun aksiologis. Tanpa paradigma ini pengembangan sains dalam Islam hanya sebagai justifikasi temuan sains dan teknologi dengan ayat dan hadis. Sebab, paradigma ini meniscayakan tidak lagi memisahkan wilayah sains dalam posisi yang diametral dengan agama. Bahwa secara ontologis, untuk memahami Tuhan dapat dilakukan melalui ayat-ayat qawliyah dan kawniyah. Kedua, pengembangan sains sangat dipengaruhi oleh adanya patron ilmu, terutama oleh penguasa, yang diwujudkan dalam bentuk dukungan dana dan pembuatan kebijakan yang pro-sains dan teknologi. Ketiga, perlunya institusionalisasi etos sains, yaitu universalisme, komunalisme, organized skepticism, dan disinterestedness, di perguruan tinggi atau lembaga-lembaga sains dan teknologi lainnya. Wujud dari pelembagaan etos ini atara lain berupa kegiatan konkrit pengembangan sains seperti pengumpulan referensi pokok sains, kegiatan penelitian sains dan teknologi secara terstruktur dalam desain yang jelas, penghargaan terhadap saintis, dan berbagai forum ilmiah penunjang lainnya misalnya diskusi, seminar, lokakarya, simposium, sampai penelitian. Melalui lembaga ini juga perlu dibentuk lembaga riset dan pengadaan laboratorium yang representatif.
Akhirnya, membangun jaringan keilmuan antar saintis dan lembaga sains dari mana pun harus dilakukan. Adanya jaringan yang luas memungkinkan terjadinya dialog dan tukar-menukar ilmu pengetahuan dan teknologi, baik dari sisi sumber daya manusia, literatur ataupun peralatan. Untuk dapat melakukan kerja sama dengan pihak lain ini diperlukan paradigma pengelola lembaga yang terbuka, moderat, dan pluralis tanpa mengorbankan identitas keislaman yang membawa kerahmatan bagi seluruh alam (islam rahmatan li al-’alamin)

Pendidkan islam inklusi

epistemologi pendidikan islam inklusif

EPISTEMOLOGI PENDIDIKAN ISLAM
DALAM KONTEKS MASYARAKAT MAJEMUK
Muqowim[1]

A. Pengantar
Dalam beberapa tahun terakhir bangsa Indonesia dilanda berbagai persoalan, baik bencana alam maupun problem sosial dan ekonomi yang tidak kunjung usai. Tidak heran jika sebagian orang menyebut sebagai tahun vivere pericoloso (tavip), meminjam bahasa Bung Karno, atau jaman kalabendu sebagaimana diramalkan oleh Joyoboyo dalam Serat Kalatida karya Ronggowarsito. Berbagai problem tersebut semakin kompleks dan rumit dengan munculnya problem disintegrasi bangsa yang ditandai dengan terjadinya berbagai kasus kerusuhan dan kekerasan masa yang lebih bernuansa SARA, terutama di Poso.[2] Jika tidak segera dicarikan jalan keluarnya, berbagai persoalan horisontal tersebut akan terekam dalam memori kolektif bangsa Indonesia yang pada akhirnya berpengaruh terhadap sikap dan perilaku masyarakat di masa mendatang.
Secara normatif, pada dasarnya tidak ada satu pun ajaran agama yang mendorong dan menganjurkan pengikutnya untuk melakukan tindak kekerasan (violence) dan kerusuhan (unrest) terhadap pengikut agama lain di luar kelompoknya, atau bahkan pemahaman dan penafsiran yang berbeda terhadap ajaran dalam satu agama.[3] Selain itu, secara budaya, ajaran agama juga mengajarkan umatnya untuk saling mengenal satu sama lain (ta’aruf) karena adanya perbedaan latar belakang budaya, bangsa, bahasa, dan jenis kelamin. Akan tetapi, secara empiris-historis-faktual, sesekali, untuk tidak mengatakan sering kali, dijumpai tindak kekerasan yang dilakukan oleh sebagian anggota masyarakat dengan dalih agama.[4] Meminjam bahasa Paul Tillich, agama mempunyai Janus face, wajah Janus, nama dewa Yunani yang mempunyai dua wajah, di satu sisi berwajah humanis, membawa misi perdamaian, tapi di sisi lain agama berwajah demonik yang memicu terjadinya aksi kekerasan atas nama agama. Misi agama akan sangat dipengaruhi oleh kualitas pemahaman pemeluknya. Meskipun persoalan keindonesiaan dipengaruhi oleh banyak variabel, tetapi harus diakui bahwa faktor kelekatan agama berperan besar sebagai variabel yang mampu membangkitkan emosi masa.
Dikaitkan dengan pendidikan, seakan ada pembenar bahwa praktik pendidikan agama tidak cukup efektif membentuk peserta didik menjadi warga masyarakat yang humanis dan menampilkan wajah agama yang damai. Agaknya, dalam konteks ini sedikit banyak proses pendidikan mempunyai andil dalam membentuk mind-set komunitas yang cenderung monolitik dan kurang menghargai keragaman dalam beragama baik secara internal maupun eksternal. Lalu, praktik pendidikan seperti apa yang menjadikan pola berpikir peserta didik terjebak pada terjadinya konflik horisontal? Tidak ada jawaban yang pasti. Boleh jadi, problem pendidikan terletak pada isi bahan ajarnya, metodologi pembelajarannya, gurunya atau evaluasinya. Tapi yang jelas, tinjauan kritis terhadap praktik pendidikan mendesak dilakukan. Sebab, melalui proses pendidikan dalam arti luaslah, terjadi sosialisasi dan internalisasi nilai dan perspektif dari satu generasi ke generasi berikutnya.[5] Ketika sebuah generasi mewariskan nilai dengan cara yang keliru akan mempunyai dampak panjang (repercussion) terhadap pola perilaku generasi berikutnya. Karena itu, pola penanaman nilai keagamaan melalui proses pendidikan menjadi penting dilakukan.
Tulisan ini berusaha membahas tentang epistemologi pendidikan Islam di tengah tantangan masyarakat yang multikultural. Aspek epistemologi penting dikaji sebab dari sinilah konsep pendidikan Islam dibangun dan dikembangkan yang pada akhirnya dipraktikkan. Apa yang selama ini muncul dalam materi pelajaran di buku, strategi pembelajaran yang dipilih guru, serta evaluasi pendidikan merupakan cermin dari epistemologi pendidikan yang dimiliki praktisi pendidikan. Beberapa hal yang menjadi fokus kajian di sini adalah tentang otasi pendidikan Islam dan gejala pengerasan sikap keagamaan, epistemologi pendidikan Islam inklusif, dan implikasi epistemologi pendidikan dalam praktik pendidikan seperti aspek kurikulum, guru, dan strategi pembelajaran.

B. Pendidikan Profetik dan Pengerasan Sikap Keagamaan
Persoalan horisontal di Indonesia belakangan ini antara lain dapat dilacak dari orientasi pendidikan agama [Islam] yang dikembangkan oleh praktisi pendidikan. Pendidikan yang dimaksud di sini sebenarnya tidak terbatas pada proses pembelajaran di lembaga formal, namun juga di non-formal dan informal. Rumusan orientasi pendidikan tidak terlepas dari aliran filsafat yang dianut, sebab paradigma berpikir inilah yang menjadi inti munculnya berbagai produk kurikulum, pilihan strategi pembelajaran dan evaluasi yang dipilih. Jika seseorang berpegang pada aliran idealisme, tentu berbeda dengan pragmatisme dan rekonstruksionisme. Perbedaan ini terlihat dari cara pandangnya tentang tujuan pendidikan, sosok pendidik, strategi pembelajaran, dan evaluasinya.
Menghadapi berbagai macam orientasi tersebut, bagaimana sebenarnya formulasi yang tepat tentang orientasi pendidikan Islam dihadapkan pada problem kontemporer? Dalam hal ini, gagasan Kuntowijoyo tentang ilmu sosial profetik perlu dicermati, sebab tawaran ini bermula dari semangat al-Qur’an, khususnya surat Ali Imran (3): 110, yang artinya, “Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.” Menurutnya, paling tidak ada empat hal yang terkandung dalam ayat tersebut, yaitu konsep tentang umat terbaik, aktivisme sejarah, pentingnya kesadaran, dan etika profetik.[6]
Lebih jauh Kuntowijoyo menjelaskan, berdasarkan ayat di atas, ilmu sosial profetik mempunyai tiga unsur yang diderivasi dari terma amar ma’ruf, nahi munkar, dan tu’minuna billah. Terma pertama, amar ma’ruf, identik dengan emansipasi. Dalam konteks sehari-hari amar ma’ruf dapat berupa kegiatan berdoa, berdzikir, shalat, menghormati orangtua, menyambung persaudaraan, dan menyantuni anak yatim.[7] Dalam konteks lebih luas terma ini dapat berupa mendirikan clean government, mengupayakan rekonsiliasi antar pihak yang bertikai, ketentuan jaminan sosial bagi karyawan atau buruh, menerapkan manajemen mutu terpadu (TQM), meningkatkan kesejahteraan guru, membuat kurikulum dinamis, sampai penanganan kasus lumpur di Sidoarjo. Terma kedua, nahi munkar, dartikan dengan liberasi, yaitu semangat membebaskan dari berbagai bentuk penyimpangan dan penindasan. Dalam bahasa sehari-hari, liberasi dapat berupa aktifitas mencegah tetangga dari mengkonsumsi putaw, melarang perbuatan selingkuh, memberantas judi togel, memberantas praktik jual beli gelar, memberantas pelanggaran hak cipta dan intelektual, pemberantasan korupsi, sampai memberantas pornoaksi (skandal seks) di kalangan elit politik (DPR). Dengan demikian, terma liberasi harus dikaitkan dengan kepentingan sosial.[8] Akhirnya, terma ketiga, tu’minuna billah, diartikan dengan transendensi, yaitu mendialogkan berbagai urusan dengan Tuhan. Bagi umat Islam, secara sederhana transendensi berarti iman kepada Allah, namun dalam konteks yang lebih luas, semua aktifitas kehidupan harus mempunyai rujukan yang jelas dari semangat ajaran Islam, baik dalam pengertian formal maupun substantif. Sebab, ketika muncul istilah back to the Qur’an and al-al-Hadith sebenarnya dapat ditangkap secara hermeneutis, tergantung ‘sang pembaca’ dan ‘teks’ yang dihadapi sehingga sangat mungkin akan muncul beragam penafsiran, namun sama-sama merujuk pada spiritualitas Islam.
Dikaitkan dengan gagasan tersebut, karakter emansipasi dan liberasi sangat sesuai dengan paradigma pendidikan Islam. Dalam pendidikan Islam karakter transendensi sangat penting, sebab semua aktifitas umat Islam harus diorientasikan pada semangat ketuhanan, bukan anti Tuhan.[9] Namun, dalam realitasnya karakter emansipasi dan liberasi tidak tampak dalam praktek pendidikan Islam, karena itu perlu ada shift of paradigm.[10] Padahal, Nabi Muhammad sendiri merupakan sosok yang sangat liberatif dan transformatif.
Dalam pandangan Iqbal, pendidikan Islam harus mampu mencetak individu yang dapat menyerap cakrawala, bukan orang yang larut dalam cakrawala. Iqbal menyebut yang kedua dengan orang yang mempunyai kesadaran mistik (mystical consciousness) sementara yang pertama dengan orang yang mempunyai kesadaran kenabian (prophetic consciousness). Dengan pengertian ini, produk pendidikan Islam mestinya dapat melahirkan tipe orang kedua, yang mampu menentukan arah perjalanan sejarah, bukan dipermainkan dan teromabng-ambing oleh sejarah. Untuk itu, pendidikan harus dapat menghasilkan individu yang berkesadaran kenabian atau raushan fikr, bukan berkesadaran mistik.[11] Tipe orang pertama selalu terlibat aktif dalam penyelesaian masalah (problem solver), bukan menjadi bagian dari masalah (part of the problem) atau menciptakan masalah (trouble maker).[12] Singkatnya, pendidikan harus dapat menciptakan kesalehan sosial atau fungsional, bukan kesalehan individual yang egois dan individualis.[13]
Dengan pengertian tersebut, di tengah berjibunnya problem kontemporer yang diderita umat Islam, mulai dari persoalan ekonomi, hukum, sosial, budaya, politik, dan moral, konsep dan praktek pendidikan [Islam] diharapkan dapat memberikan alternatif penyelesaian. Hanya saja, jika pendidikan Islam masih berjalan sebagaimana sekarang, maka sulit diharapkan perannya dalam penyelesaian masalah. Agama dan pendidikan harus didekati dengan perspektif kritis dimana keduanya merupakan inspirator munculnya transformasi individu dan masyarakat, dalam arti dapat mencetak individu yang aktif dalam pergumulan sosial dengan spiritualitas Islam serta membentuk masyarakat yang lebih baik. Semua aktifitas pendidikan senantiasa disinari oleh semangat ajaran Islam sebagai agama pembebas, sementara proses pendidikan sebagai upaya membebaskan manusia dari berbagai bentuk ketertindasan.[14]
Dalam pandangan Islam, makna tauhid—sebagai inti ajaran Islam—mempunyai dampak sosial yang luar biasa, dalam arti bahwa tidak ada satu pun orang atau tatanan yang dijadikan sebagai rujukan atau tempat bergantung seseorang kecuali Tuhan sendiri. Dengan prinsip ini, semua aktifitas kehidupan diorientasikan pada pengabdian pada Tuhan, bukan untuk kepentingan materialis-hedonis duniawi. Karena itu, tauhidic paradigm[15] mestinya dapat membebaskan manusia dari berbagai bentuk penindasan dan pengekangan unsur selain Tuhan. Hal ini dapat dilakukan melalui proses dan praktek pendidikan yang membebaskan.
Dengan pemaknaan tersebut, pendidikan Islam pada dasarnya merupakan proses transformasi individu menuju terbentuknya manusia yang berkesadaran kenabian. Sebab, figur konkret yang dijadikan model setiap muslim adalah Muhammad, sebagai individu tercerahkan yang mampu melakukan transformasi sosial di Jazirah Arab ketika itu. Upaya ‘meniru’ pola berpikir dan bertindak tidak sekedar dimaknai secara letterlijk, harfiah, namun harus hermeneutis-kontekstual, seperti mengikuti paradigma berpikir Nabi dalam penyelesaian problem empirik. Karena itu, Sunnah Nabi tidak diartikan sekedar secara literal, namun harus melalui pembacaan hermeneutis sesuai dengan konteks sosial yang dihadapi oleh ‘sang pembaca’. Dalam hal ini kerangka berpikir Rahman,[16] Arkoun,[17] Engineer,[18] maupun Esack perlu dikaji secara seksama, sebab relevan dengan kajian ini. Ketika tercipta manusia tercerahkan maka diharapkan terjadi proses transformasi sosial menuju masyarakat yang berkeadilan, setara, dan damai.
Terkait dengan misi kenabian, menurut Muthahari, secara garis besar ada dua misi utama dari seorang Nabi.[19] Pertama, mengajak umat manusia ke arah pengakuan terhadap Tuhan dan pendekatan diri kepada-Nya.[20] Kedua, menegakkan keadilan dan kesederajatan dalam masyarakat manusia.[21] Sementara itu, menurut al-Tabattaba’i diutusnya seorang rasul disertai dengan bukti yang berupa kitab dan mizan yang dengan itu mereka dapat menegakkan keadilan di antara umat manusia. Ini berarti bahwa para rasul datang untuk menyampaikan ajaran tauhid serta muamalah. Dengan demikian, misi seorang rasul mempunyai dua dimensi, yaitu dimensi horizontal dan dimensi vertikal. Dimensi yang pertama berkaitan dengan aturan bagaimana melakukan muamalah antar sesama makhluk termasuk manusia. Dimensi ini diperlukan agar ketika manusia melakukan muamalah dengan sesamanya bisa berbuat adil, tidak saling merugikan antara satu dengan yang lain.[22] Hal ini harus diwujudkan dalam bidang politik, ekonomi, hukum, budaya, sosial, ataupun relasi gender. Sedangkan dimensi yang kedua berkaitan dengan bagaimana berhubungan dengan Tuhan, yakni menyangkut persoalan ibadah.
Berkaitan dengan misi nabi sebagai seorang pembebas dari penyakit-penyakit sosial, Engineer menegaskan bahwa pengetahuan orang Islam tentang kondisi sosial, politik, relijius, budaya dan ekonomi adalah sebuah keharusan.[23] Sebab, gerakan pembebasan selalu berangkat dari pengetahuan dan kesadaran terhadap kondisi ini. Dikaitkan dengan konteks tersebut, Muhammad telah berhasil membebaskan manusia dari berbagai bentuk penindasan dan keterbelakangan, seperti buta huruf, etnosentris, adanya Tuhan agen, subordinasi dan penindasan kaum perempuan, perbudakan, dan kesenjangan ekonomi. Hal-hal tersebut berhasil dibebaskan dan dihilangkan oleh Muhammad, sehingga kedatangan Islam betul-betul sebagai pembebas dari berbagai penyakit, baik penyakit rohani maupun sosial.
Mencermati sosok Muhammad sebagai pembebas di atas, maka proses pendidikan Islam harus mampu mencetak setiap peserta didik yang cerdas, kreatif, dan aktif membaca problem realitas di sekitarnya untuk kemudian memberikan alternatif pemecahan. Namun, pemberian alternatif ini harus diawali dengan pembacaan ala Hermes ketika menjembatani bahasa langit dan bahasa bumi dalam tradisi Yunani, sehingga yang muncul bukan anarki, tapi kearifan. Sebab, individu yang cerdas belum tentu arif dalam bertindak. Pendidikan Islam dituntut perannya dalam membentuk individu muslim yang penuh kearifan tersebut.
Berdasarkan uraian di atas, orientasi pendidikan Islam pada dasarnya untuk mewujudkan misi profetik-kritis. Hal ini terlihat dari proses kreatif yang dilakukan Nabi sebagai hasil pembacaan terhadap problem realitas. Nabi aktif dalam penyelesaian problem di masyarakat, tidak mengejar kesalehan individual. Tradisi yang menurut masyarakat Arab sebagai sesuatu yang lumrah dan lazim dianggap oleh Nabi sebagai masalah, misalnya posisi kaum perempuan yang selalu mengalami diskriminasi. Menurut masyarakat Arab, hal ini dianggap sebagai sesuatu yang wajar, sebab kaum perempuan secara fisik memang kurang dapat diandalkan untuk membela kepentingan sukunya. Namun, bagi Nabi, perlakuan semacam itu tidak manusiawi karena kedudukan manusia sama di hadapan Tuhan, yang membedakan hanya kualitas taqwa.[24] Hanya saja, proses kreatif Nabi dalam menyelesaikan problem sosial tersebut tidak banyak dipraktekkan oleh pemikir dan praktisi pendidikan mutakhir di Indonesia dalam membentuk peserta didik yang berkarakter emansipatif-liberatif-transendental.
Munculnya berbagai kasus kerusuhan dan kekerasan masa yang terjadi akhir-akhir ini merupakan cermin tidak adanya paradigma profetik dalam pendidikan Islam. Sebab, tidak ada kearifan dalam memecahkan persoalan, yang terjadi adalah pemaksaan kehendak dan kepentingan atas nama "tafsir agama". Hal ini terjadi karena adanya gejala pengerasan sikap keagamaan yang tidak diimbangi oleh sikap kritis-rasional-obyektif serta penghormatan terhadap keragaman pemahaman agama, baik secara internal umat beragama maupun eksternal antar agama. Pengerasan sikap keagamaan ini lebih diartikan pada pola perilaku beragama yang menganggap hasil pemahamannya sebagai yang paling benar dan menganggap pemahaman orang lain kurang benar, untuk tidak mengatakan salah. Gejala ini tidak hanya dijumpai pada sikap beragama pemeluk agama terhadap agama lain, namun juga terjadi pada pemeluk agama dalam satu agama. Kenyataan ini patut disayangkan mengingat terjadinya perbedaan tingkat relijiusitas seseorang pada dasarnya merupakan sesuatu hal yang wajar. Sebab, being religious process ini sangat ditentukan oleh perbedaan tingkat pengetahuan dan pemahaman yang dimiliki oleh setiap orang serta setting sosial yang dihadapinya.
Gejala truth claim dan pengerasan sikap keagamaan tersebut tidak perlu terjadi ketika ada kesadaran bersama bahwa sebaik apa pun hasil pemahaman dan pengetahuan yang dimiliki oleh setiap orang dalam beragama adalah bersifat dzanny, relatif, yang sama-sama menuju kepada kebenaran yang absolut, Tuhan itu sendiri. Menurut Amin Abdullah, kajian Islam dapat diklasifikasikan menjadi dua, yakni Islam normatif dan Islam historis.[25] Yang pertama lebih berarti Islam das Sollen, Islam yang seharusnya dan lebih melihat Islam sebagai doktrin wahyu, sedangkan yang kedua mengacu pada Islam das Sein, yakni Islam pada kenyataannya yang dapat dilihat dalam konteks menyejarah. Gagasan Amin ini senada dengan apa yang dilontarkan oleh Bernard Lewis tentang Islam Ideal yang bersumber pada al-Qur’an dan Hadis Nabi Muhammad saw dan Islam historis yang sudah menyejarah dan empirik.[26]
Pendapat Amin tentang Islam historis dapat dikelompokkan menjadi dua konsep tradisi, yakni tradisi besar (great tradition) dan tradisi kecil (little tradition) yang diintrodusir oleh seorang antropolog Amerika R. Redfield,[27] yang kemudian banyak digunakan oleh para antropolog dalam studi mereka terhadap masyarakat beragama di berbagai negara di Asia, Afrika dan di Amerika sendiri. Kajian Geerts dalam The Religion of Java[28] yang kemudian menjadi masterpiece-nya juga menggunakan kerangka konsep great tradition dan little tradition ini. Yang pertama merupakan tradisi dari mereka yang suka berpikir dan dengan sendirinya mencakup jumlah orang yang relatif sedikit (the reflective few), sedangkan yang kedua sebagai tradisi dari sebagian besar orang yang tidak pernah memikirkan secara mendalam tradisi yang mereka miliki.[29] Tradisi dari para filosof, ulama, dan kaum terpelajar adalah tradisi yang ditanamkan dan diwariskan dengan penuh kesadaran, sementara tradisi orang kebanyakan adalah tradisi yang sebagian diterima dari pendahulu dengan apa adanya (taken for granted) dan tidak pernah diteliti atau disaring pengembangannya.
Sebagaimana Redfield, sebagai gejala budaya Islam juga menjadi perhatian Von Grunebaum. Dua jenis tradisi yang dikemukakan Redfield di atas mirip dengan konsep the Islamic high culture dan the Islamic local culture yang dikemukakan oleh Grunebaum. Yang pertama menggambarkan adanya kesatuan ajaran dalam Islam, sedangkan yang kedua justeru menggambarkan adanya keragaman Islam yang tercermin melalui budaya lokal.[30] Istilah yang digunakan Grunebaum ini mengingatkan pada terma yang digunakan oleh pemikir sosial asal Perancis, Ernest Gellner tentang Islam rendah (low Islam) dan Islam tinggi (high Islam).[31] Bahwa yang pertama lebih bersifat universal, sedangkan yang kedua bersifat partikular. Istilah low Islam bukan berarti merendahkan Islam yang dianut oleh lapisan bawah kaum Muslim. Hal itu hanya berkaitan dengan bentuk ekspresi kebudayaan dari umat Islam.
Beberapa cara pandang terhadap Islam dari para tokoh di atas hanya untuk menggambarkan betapa banyak corak keislaman umat Islam ketika ajaran Islam yang terkandung di dalam al-Qur’an dan al-Sunnah dipahami para pemeluknya. Keragaman ini muncul karena beragamnya cara pandang atau perspektif yang digunakan. Hal ini sangat tergantung pada locus dan tempus masing-masing pemeluk. Bila dicermati, sebenarnya munculnya fenomena keragaman dalam keberagamaan ini lebih pada dataran historis, yakni ketika Islam normatif dipahami umatnya menurut kultur masing-masing. Pengertian kultur ini mengacu pada academic background yang mencakup pengetahuan (knowledge) dan pengalaman (experience) yang dimiliki dan social and cultural setting dari umat Islam.
Untuk memahami ajaran Islam, umat Islam menjadikan al-Qur'an dan al-Sunnah sebagai rujukan utama. Yang menjadi persoalan adalah ketika muncul pandangan sebagian orang, bahwa tafsir tentang kedua sumber tersebut sebagai yang paling benar dan mengabaikan tafsir orang lain. Padahal, berbagai macam tafsir al-Qur’an muncul dalam rangka menangkap kesempurnaan ajaran Islam tersebut. Manusia, sebagai makhluk yang tidak sempurna tentu tidak akan mampu menangkap sepenuhnya kesempurnaan ajaran Tuhan. Di siniliah justru letak esensi dari beragama, yakni ada dinamika, ada pencarian yang terus-menerus (on going quest), dan proses menjadi yang tanpa batas (timeless process of becoming). Makna dari semua ini adalah bahwa keragaman pemahaman umat Islam terhadap ajaran Islam adalah sebuah keniscayaan (unavoidable) yang tidak mungkin dihindari. Keragaman ini muncul karena sangat bergantung pada pemahaman dan pengalaman yang dimiliki tentang agama Islam. Karena itu, hal tersebut harus disikapi dan disadari oleh setiap umat Islam; bahwa pemahaman dan penafsiran yang berbeda terhadap ajaran agama Islam harus dilihat sebagai rahmat Allah yang perlu disyukuri dengan cara saling menghargai dan menghormati satu sama lain.
Kasus pemahaman terhadap ajaran agama secara internal di atas dapat dianalogkan dengan pemahaman seseorang terhadap keragaman agama dan budaya yang terjadi dalam masyarakat. Bahwa berbagai kasus kekerasan bernuansa agama dan etnis lebih dikarenakan oleh kurangnya pemahaman dan penghargaan terhadap ajaran agama dan budaya lain. Tidak adanya penghormatan dan penghargaan terhadap pihak lain ini lebih disebabkan oleh tidak adanya pengetahuan yang dimiliki dan belum adanya upaya untuk lebih mengenal tentang pihak lain tersebut. Karena itu, setiap anggota masyarakat seharusnya sadar bahwa perbedaan dalam hal apa pun, baik dari segi agama, bahasa, etnis, warna kulit, dan sebagainya, merupakan sunnatullah yang perlu dikelola dengan baik. Berkaitan dengan problem yang muncul dari perbedaan cara pandang atau perspektif baik dalam hal agama atau etnis itulah, maka peninjauan ulang terhadap pola pendidikan yang selama ini dipahami dan dilakukan perlu diberikan.

C. Epistemologi Pendidikan Islam
Praktik pendidikan Islam yang selama ini berjalan tidak terlepas dari kerangka epistemologi yang dimiliki para praktisi pendidikan. Sebab, dari model berpikir inilah konstruk pengetahuan dibangun dan disebarluaskan kepada peserta didik. Sebagai ilustrasi, ketika seseorang berpandangan bahwa ilmu pendidikan Islam hanya bersumber dari teks (agama), maka yang diajarkan kepada peserta didik sebatas yang ada dalam buku, tidak ada upaya mendialogkan dengan realitas. Sebaliknya, ketika seseorang berpandangan bahwa yang menjadi sumber pengetahuan hanya realitas, maka dia akan bertumpu pada problem riil saja. Lalu, dihadapkan pada berbagai persoalan di atas, epistemologi seperti apa yang tepat untuk mengembangkan pendidikan Islam. Tulisan ini tidak berpretensi memberikan jawaban secara komprehensif, namun sebagai ikhtiar membangun kerangka epistemologi pendidikan Islam yang dapat memberikan alternatif pemecahan mutakhir pendidikan.
Dalam hal ini pandangan Muhammad 'Abid al-Jabiri tentang tiga kerangka epistemologi pemikiran Islam dapat dijadikan sebagai inspirasi, yaitu bayani, burhani, dan 'irfani. Bayani (explanatory), secara etimologis, mempunyai pengertian penjelasan, pernyataan, dan ketetapan.[32] Sedangkan secara terminologis, bayani berarti pola pikir yang bersumber pada nash, ijma`, dan ijtihad.[33] Dalam pandangan al-Jabiri, secara historis sistem epistemologi bayani merupakan sistem epistemologi yang paling awal muncul dalam pemikiran Arab. Epistemologi ini dominan dalam bidang keilmuan pokok seperti filologi, yurisprudensi, ilmu hukum (fikih), ulum al-Qur'an (interpretasi, hermeneutika, dan eksegesis), teologi dialektis (kalam) dan teori sastra nonfilosofis. Sistem ini muncul sebagai kombinasi dari pelbagai aturan dan prosedur untuk menafsirkan sebuah wacana (interpreting discourse), sekaligus menentukan pelbagai prasyarat bagi pembentukan wacana.[34] Konsepsi dasar dari sistem ini berupaya mengkombinasikan pelbagai metode fikih, yang dikembangkan al-Syafi'i, dengan berbagai metode retorika, yang dikembangkan oleh al-Jaiz. Konsepsi tersebut terpusat pada relasi antara ujaran dan makna, di samping tambahan prasyarat yang dilontarkan oleh fuqaha dan teolog mutakhir, yaitu mengenai kepastian, analogi, materi subyek dari laporan, dan pelbagai tingkat otentisitas.
Berbagai upaya di atas pada akhirnya menghasilkan sebuah teori pengetahuan bayani dalam semua tingkat pengetahuan. Pada level logika internal, teori pengetahuan tersebut diarahkan oleh konsep indikasi, yang berpengaruh pada gaya bahasa puitik, pengungkapan, pemahaman, komunikasi, serta reseptifitas. Demikian juga pada level materi pengetahuan, yang tersusun dari al-Qur'an, hadis, gramatika, fikih, puisi serta prosa Arab, begitu juga pada level ideologis, sebab kekuatan otoritatif yang menentukan di balik pelbagai tingkatan ini adalah dogma Islam. Dengan demikian, berarti bahwa sejak semula telah berlaku larangan untuk menyamakan antara pengetahuan dengan keimanan kepada Allah. Pada level epistemologis, manusia dianggap sebagai makhluk yang diberkati dengan kapasitas bayani-nya, berdasarkan nalar bawaan dan nalar yang diperoleh. Nalar bawaan sebagai pemberian Allah, sementara nalar yang diperoleh dari proses pembentukan adalah tindak lanjut dari proses perenungan yang ditentukan oleh otentisitas transmisi.
Menurut al-Jabiry sumber epistemologi bayani adalah nas atau teks. Dengan kata lain, corak berpikir ini lebih mengandalkan pada otoritas teks, tidak hanya teks wahyu namun juga hasil pemikiran keagamaan yang ditulis oleh para ulama terdahulu. Pendekatan yang digunakan dalam nalar bayani ini adalah lughawiyah.[35] Pola berpikir bayani ini berlaku untuk disiplin ilmu seperti fikih, studi gramatika, filologi, dan kalam. Beberapa prinsip yang dipegangi dalam corak bayani adalah infisal (diskontinu) atau atomistik, tajwiz (tidak ada hukum kausalitas), dan muqarabah (keserupaan atau kedekatan dengan teks).
Kerangka berpikir yang diterapkan dalam disiplin ilmu di atas cenderung deduktif, yaitu berpangkal dari teks. Dalam keilmuan fikih menggunakan qiyas al-'illah sementara dalam disiplin kalam menggunakan qiyas al-dalalah. Selain itu, corak berpikir bayani cenderung mengeluarkan makna yang bertolak dari lafadz, baik yang bersifat 'am, khas, mushtarak, haqiqah, majaz, muhkam, mufassar, zahir, khafi, mushkil, mujmal, dan mutashabih. Metode pengembangan corak berpikir ini adalah dengan cara ijtihadiyah dan qiyas. Yang termasuk proses berpikir ijtihadiyah adalah istinbatiyah, istintajiyah, dan istidlaliyah, sementara yang dimaksud qiyas adalah qiyas al-ghayb 'ala al-ghayb.
Dalam model berpikir bayani, akal berfungsi sebagai pengekang atau pengatur hawa nafsu. Akal cenderung menjalankan fungsi justifikatif, repetitif, dan taqlidy. Otoritas ada pada teks, sehingga hasil pemikiran apa pun tidak boleh bertentangan dengan teks. Karena itu, dalam penalaran ini jenis argumen yang dibuat lebih bersifat dialektik (jadaliyah) dan al-'uqul al-mutanasifah, sehingga cenderung defensif, apologetik, polemik, dan dogmatik. Hal ini antara lain dipengaruhi oleh pola berpikir logika Stoia, bukan logika Aristoteles. Yang dijadikan sebagai tolok ukur kebenaran ilmu model bayani adalah adanya keserupaan atau kedekatan antara teks atau nas dengan realitas.
Dari tiga rumpun keilmuan menurut al-Jabiri, yakni bayani, burhani, dan irfani, agaknya yang pertama yang mendominasi dalam tradisi keilmuan di lingkungan lembaga pendidikan Islam. Sebab, ada kecenderungan dijadikannya hasil pemikiran keagamaan yang ada di berbagai karya para fuqaha dan mutakallim sebagai pijakan utama, bahkan ada keengganan untuk tidak beranjak dari produk keilmuan tersebut sehingga cenderung kurang mampu menjawab dan memberikan alternatif pemecahan terhadap berbagai persoalan kontemporer.
Padahal, menurut Amin Abdullah ada kelemahan mencolok dari nalar epistemologi bayani, yaitu ketika ia harus berhadapan dengan teks-teks keagamaan yang dimiliki oleh komunitas, kultur, bangsa atau masyarakat yang beragama lain. Biasanya, corak berpikir ini cenderung mengambil sikap mental yan bersifat dogmatik, defensif, apologetis, dan polemis dengan semboyan kurang lebih "right or wrong is my country."[36] Hal ini terjadi karena fungsi akal hanya untuk mengukuhkan dan membenarkan otoritas teks. Padahal, dalam realitasnya, seringkali terjadi ada jurang antara yang terdapat dalam teks dengan pelaksanaannya, sebab akan sangat bergantung pada kualitas pemikiran, pengalaman dan lingkungan sosial tempat teks tersebut dipahami dan ditafsirkan. Belum lagi jika hasil pemahaman terhadap teks tersebut dikaitkan dengan pihak lain, baik dari aspek aliran, kelompok, dan kultur lain maka akan menunjukkan kerumitan tersendiri yang tidak dapat diselesaikan sekedar hitam putih karena menyangkut kecenderungan, visi, dan misi yang berbeda meskipun sama-sama bertolak dari teks yang sama.
Sementara itu, jika sumber pengetahuan dalam nalar bayani adalah teks, maka suumber pengetahuan dalam nalar burhani adalah realitas (al-waqi') baik dari alam, sosial, dan humanities. Karena itu, lebih sering disebut sebagai al-'ilm al-husuli. Yaitu, ilmu yang dikonsep, disusun dan disistematisasikan lewat premis-premis logika atau al-mantiq, bukannya lewat otoritas teks atau intuisi. Premis ini disusun lewat kerja sama antara proses abstraksi dan pengamatan inderawi yang sahih atau dengan menggunakan alat-alat yang dapat membantu dan menambah kekuatan indera seperti alat-alat laboratorium, proses penelitian lapangan dan penelitian literer mendalam. Peran akal dalam nalar burhani sangat besar sebab ia diarahkan untuk mencari sebab akibat.
Menurut Amin Abdullah, untuk mencari sebab musabab yang terjadi pada peristiwa alam, sosial, kemanusiaan dan keagamaan, maka akal pikiran tidak memerlukan teks-teks keagamaan. Untuk memahami realitas sosial keagamaan akan lebih tepat jika menggunakan pendekatan semacam antropologi, sosiologi, kebudayan, dan sejarah. Fungsi akan lebih pada analisa dan menguji secara terus-menerus kesimpulan-kesimpulan sementara dan teori yang dirumuskan lewat premis-premis logika keilmuan. Fungsi akan yang lebih bersifat heuristik ini dengan sendirinya akan membentuk budaya kerja penelitian, baik yang bersifat eksplanatif, eksploratif atau verifikatif.
Pendekatan dalam nalar ini adalah filosofis dan saintifik. Nalar ini lebih menekankan pada pemberian argumen dalam mencermati berbagai fenomena empirik sekaligus memberikan alternatif pemecahan. Fenomena sosial dan alam tidak sekedar diterima sebagai hukum sunnatullah yang tiada makna, namun ia menuntut kreatifitas manusia untuk merenungkan tentang tujuan ia diciptakan dan apa manfaat yang dapat diambil oleh manusia. Karena itu, diperlukan pemikir yang berteologi qadariyah dengan pandangannya yang bebas, kreatif dan bertanggung jawab, bukan teologi jabariyah yang berpandangan bahwa manusia ibarat wayang yang cenderung kurang aktif memikirkan fenomena alam.
Bertolak dari uraian di atas, maka diperlukan orang yang bernalar kritis, bukan nalar komunal. Di antara ciri orang dengan nalar kritis adalah dia mempunyai kesadaran tentang problem yang ada di sekitarnya dan aktif mencari dan memberikan alternatif pemecahan. Dalam pandangan Iqbal, orang semacam ini disebut mempunyai kesadaran kenabian, bukan kesadaran mistik, sebagaimana disinggung sebelumnya. Kesadaran kenabian antara lain ditandai oleh kemampuannya membaca problem realitas dan memberikan alternatif pemecahan tetapi tetap dalam eksistensinya sebagai makhluk Tuhan. Selain nalar kritis, epistemologi burhani juga menuntut orang untuk mampu membuat abstraksi dari berbagai fenomena yang dibaca. Apa yang tampak dalam realitas, menurutnya, tidak sekedar dilihat dari yang ada di permukaan, namun ada nomena yang perlu dicermati.
Dengan demikian, jenis argumen yang ada dalam nalar burhani adalah demonstratif, baik secara eksploratif, verifikatif, dan eksplanatif. Dalam nalar ini, lebih banyak dituntut untuk menunjukkan bukti dan penjelasan tentang suatu pemahaman atau fenomena. Nalar ini dipenuhi dengan argumen yang bersifat pembuktian, deskripsi dan elaborasi tentang sesuatu.
Nalar ini berpangkal dari beberapa prinsip dasar yang digunakan, yaitu idrak al-sabab (nizam al-sababiyah al-thabit), prinsip kausalitas; al-hatmiyah (kepastian, certainty); al-mutabaqah bayn al-'aql wa al-nizam al-tabi'ah. Prinsip-prinsip tersebut berpandangan bahwa apa yang terjadi dalam realitas empirik dan fenomena alam pada dasarnya berlaku hukum sebab akibat. Karena itu, untuk memahaminya diperlukan upaya untuk mencari akar penyebab dengan mengkaji penyebab dan akibat sekaligus, akibat yang sama belum tentu penyebabnya sama. Sebaliknya, sebab yang sama belum tentu mempunyai akibat yang sama.
Dalam konteks pendidikan, nalar burhani sangat diperlukan. Sebab, obyek pendidikan adalah manusia dengan berbagai tantangannya. Ketika konsep tentang manusia berubah, maka model pendidikan juga harus diubah. Begitu juga, ketika persoalan yang dihadapi manusia berubah, maka format dan praktik pendidikan juga perlu disesuaikan jika tidak ingin ketinggalan. Kurang berkembangnya pemikiran pendidikan Islam antara lain disebabkan oleh tidak adanya nalar burhani. Pendidikan Islam terjebak pada orientasi melangit yang kurang kontekstual dan aktif memberikan alternatif pemecahan sosial. Tidak heran jika tidak muncul teori-teori pendidikan Islam dari para pemikir pendidikan. Terlebih jika dikaitkan dengan problem masyarakat yang majemuk, pendidikan Islam seakan gagap memberikan alternatif pemecahan yang transformatif sebagaimana diuraikan di atas. Praktisi pendidikan relatif sibuk mencari argumen pembenar berdasarkan teks (keagamaan) dan cenderung defensif, bukan transformatif sebagaimana dicontohkan Nabi.
Sementara itu, kerangka ketiga berpikir yang ditawarkan al-Jabiri adalah 'irfani. Yang menjadi sumber pengetahuan dalam 'irfani adalah pengalaman (experience), yaitu al-ru'yah al-mubashirah, direct experience, al-'ilm al-khuduri, preverbal knowledge. Yang menjadi dasar dari sistem epistemologi irfani adalah adanya prinsip dikotomi antara zahir dengan batin. Batin mempunyai status lebih tinggi dalam hirarki pengetahuan model epistemologi ini. Dalam nalar irfani dan bayani sama-sama ada analogi, namun keduanya berbeda. Analogi dalam nalar irfani didasarkan atas penyerupaan, ia tidak terikat oleh aturan, serta dapat menghasilkan jumlah bentuk yang tidak terbatas, sementara dalam nalar bayani didasarkan pada penyerupaan langsung.
Analogi dalam nalar irfani dapat mengambil bentuk kiasan (tamsil) atau metafor. Al-Jabiri menyatakan bahwa ada tiga tipe analogi dalam epistemologi irfani. Pertama, penyerupaan yang didasarkan pada korespondensi numeris. Kedua, penyerupaan didasarkan pada suatu representasi. Ketiga, penyerupaan retoris dan puitis. Dia memandang bahwa sistem epistemologi ini telah menjadi sistem produktif dalam bidang keilmuan sastra dan seni.
Cara memperoleh nalar ini menurut al-Jabiri adalah dengan al-dhawqiyah (al-tajribah al-batiniyah) dan al-riyadah, al-mujahadah, al-kashfiyah, al-ishraqiyah, al-laduniyah, penghayatan batin/tasawuf. Karena itu, pendekatan yang digunakan dalam nalar ini adalah psiko-gnosis, intuitif, dhawq, al-la 'aqlaniyah.
Dalam epistemologi ini fungsi akal adalah partisipatif, al-hads wa al-wijdan, bila hijab. Nalar ini lebih menekankan pada pengalaman langsung, sehingga yang lebih banyak terlibat adalah rasa. Sebagai contoh, untuk memahami orang yang sakit gigi tidak bisa hanya mengetahui tentang ciri-ciri penyakit gigi dalam buku, namun harus mendasarkan langsung pada orang yang pernah menderita penyakit ini, kalau perlu yang bersangkutan pernah mengalaminya, sehingga gambaran yang dimunculkan lebih sahih meskipin kondisi antara satu orang dengan yang lain kadang berbeda-beda.
Kerangka teori yang digunakan dalam nalar ini mulai dari yang zahir ke batin, tanzil dan ta'wil, nubuwwah dan wilayah, dan haqiqi dan majazi. Dibandingkan dengan nalar bayani, nalar 'irfani lebih bebas dalam memahami yang tersurat. Imajinasi ranah ini lebih luas dan membuka berbagai kemungkinan secara bebas. Karena itu, hasil dari nalar ini adalah kreatifitas dalam pencarian makna sebagai hasil berimajinasi yang kadang hasilnya bertolak belakang dengan hasil nalar bayani. Karena itu, kadang terjadi benturan antara hasil pemahaman bayani dan irfani.
Kalau yang menjadi tolok ukur nalar bayani adalah kesesuaian dengan teks, maka dalam nalar 'irfani yang menjadi tolok ukur adalah memahami perasaan orang lain, simpati, empati. Keputusan tidak didasarkan pada yang tersurat atau formalitas, namun lebih pada yang tersirat dan apa yang dirasakan pihak lain. Karenanya, dalam nalar ini tidak muncul judgment secara satu arah. Kesimpulan hanya muncul setelah mendengar pemahaman dan perasaan pihak lain.
Dalam studi Islam keilmuan yang termasuk dalam kategori ini adalah tasawuf dan akhlak. Konsep tentang Tuhan misalnya, tidak sekedar didasarkan ada dasar tekstual dalam nas, namun apa yang dirasakan oleh seorang hamba ketika berhadapan dengan Tuhan. Konsep mendekatkan diri terhadap Tuhan sangat berbeda dengan nalar bayani. Jika dalam bayani mendekatkan diri pada Tuhan lebih didasarkan pada ukuran formal fiqhiyah, sementara pada nalar 'irfani lebih pada upaya mendekatkan diri secara spiritual dan mental dengan Tuhan, sehingga ukurannya cenderung subyektif meskipun tanpa meninggalkan ajaran formal, namun yang lebih ditekankan adalah aspek esoterik.
Dalam pendidikan Islam di mana makna ajaran Islam cenderung dimaknai secara formal-keilmuan, maka menurut nalar ini, pendidikan berjalan terlalu kering. Sebab, ajaran Islam ibarat hanya berisi tumpukan dogma yang kaku dan cenderung formalis. Kadang pemahaman formalis menyebabkan terjadinya klaim-klaim kebenaran antara satu pihak dengan pihak lain karena menganggap pijakannya paling jelas dan menganggap pihak lain tidak jelas sumbernya.
Dalam pandangan Amin Abdullah ketiga nalar keilmuan di atas tidak dapat berdiri sendiri (isolated entities), namun harus saling berhubungan antara satu nalar dengan yang lain. Dalam diri seseorang harus ada ketiga nalar tersebut sehingga ketika mencermati dan menghadapi sebuah persoalan tidak dipahami secara sepihak dan satu alur, namun dilihat secara komprehensif, baik dari aspek formal, makna, dan penyebab terjadinya hal tersebut. Sebaiknya, pemahaman secara adhoc dan fragmental dihindari sebab akan berakibat pada solusi yang dimunculkan juga akan cenderung kurang lengkap dan parsial.
Begitu juga dengan pendidikan Islam, kerangka epistemologi yang dikembangkan harus memadukan dan mensinergikan ketiga jenis tersebut. Dominannya nalar bayani dalam pendidikan Islam harus diimbangi oleh nalar burhani yang secara kritis dan pro-aktif mencari alternatif pemecahan terhadap berbagai persoalan kontemporer. Dengan nalar burhani, maka akan diketahui apakah praktik pendidikan Islam selama ini sudah efektif dan produktif dalam melakukan transformasi individual dan sosial atau belum. Jika belum, maka perlu ada kajian kritis tentang konsep-konsep pendidikan Islam yang selama ini diterima begitu saja, misalnya konsep tentang peserta didik, konsep tentang pendidik, konsep pembelajaran, konsep kurikulum, konsep evaluasi, dan seterusnya. Pada akhirnya, jika nalar bayani dan burhani berkembang, maka solusi yang ditawarkan melalui proses pendidikan Islam akan selalu aktual, kontekstual, tapi tetap transendental. Untuk itulah, nalar 'irfani juga harus disinergikan dalam praktik pendidikan. Sebab, dalam bahasa Bloom, 'nalar 'irfani analog dengan ranah afektif yang mengembangkan aspek empati dan simpati. Jika hal ini dikembangkan, maka akan muncul banyak kearifan dalam praktik pendidikan. Berbagai perbedaan dalam pemahaman dan penafsiran agama tidak akan menimbulkan prasangka, apalagi konflik, karena ranah afektif (nalar 'irfani) dikembangkan.

D. Implikasi pada Praktik Pendidikan Islam
Bertolak dari kerangka epistemologi yang ditawarkan sebelumnya, yang memadukan nalar bayani, burhani, dan 'irfani, maka praktik pendidikan perlu ada penyesuaian. Sebab, selama ini tujuan pendidikan Islam cenderung normatif.[37] Sebab, dalam realitasnya, pendidikan Islam cenderung ‘idealis’ dan kurang bersentuhan dengan problem realitas-empirik. Hal ini antara lain disebabkan oleh adanya anggapan bahwa segala aktifitas hidup umat Islam, termasuk pendidikan, harus didasarkan pada wahyu yang given dari Tuhan dalam pengertian harfiah sehingga cenderung kurang melihat aspek realitas yang empirik. Karena itu, wajar jika formulasi tentang konsep pendidikan Islam relatif idealis dan kurang ‘membumi’, kurang bersentuhan dengan problem realitas. Padahal, sosok Nabi sendiri yang dijadikan sebagai model bagi pendidikan Islam jelas-jelas terlibat langsung dalam penyelesaian problem di masyarakat.
Karena itu, jika kerangka epistemologi di atas diterima, maka yang perlu dipikirkan adalah tindak lanjut secara praktis, mulai dari perumusan orientasi pendidikan Islam, pembaharuan kurikulum, penyiapan sumber daya manusia, diversifikasi strategi pembelajaran, perubahan model evaluasi, evaluasi kebijakan, dan perubahan manajemen di lembaga pendidikan mulai dari tingkat dasar sampai pendidikan tinggi. Berbagai komponen ini perlu dikaji secara terpadu, simultan, dan komprehensif. Hal ini tidak hanya menjadi tanggung jawab praktisi pendidikan Islam saja, namun semua stakeholder pendidikan harus dilibatkan, mulai dari tenaga kependidikan di lembaga pendidikan formal, peserta didik, alumni, pengguna alumni, orang tua, tokoh masyarakat, kalangan LSM, akademisi, dan pejabat pemerintah terkait. Sebab, proses pendidikan tidak dapat berjalan secara linear dan monolitik, namun secara sirkular dan melibatkan banyak komponen.
Dalam hal orientasi, pendidikan Islam seharusnya tidak sekedar membentuk kesalehan individual semata, atau kesadaran mistik dalam perspektif Iqbal, namun harus membentuk kesalehan sosial juga. Sebagaimana disinyalir Iqbal pada awal abad ke-20 dan hingga sekarang masih terasa, umat Islam di dunia Timur cenderung mengedepankan kesadaran mistik dan kesalehan individual yang diibaratkan dengan larut dengan tasbih, yang penting selamat di akhirat, sementara problem sekitar tidak begitu dipikirkan.[38] Untuk itu, orientasi pendidikan harus diarahkan untuk membentuk individu muslim yang mempunyai kesadaran kenabian dengan karakter emansipatif, liberatif dan transendental yang mampu membaca problem empirik di sekitarnya sehingga ia mampu terlibat dalam penyelesaian problem. Tetapi, di sisi lain, dia juga mampu menyelesaikan setiap problem yang menimpanya.
Perubahan orientasi perlu segera diimbangi dengan perubahan kurikulum yang akan dibekalkan kepada setiap peserta didik. Sebagaimana dirumuskan oleh al-Attas, bahwa kurikulum pendidikan Islam dikonstruk berdasarkan ajaran al-Qur’an dan al-Sunnah, namun harus didialogkan dengan problem realitas sehingga muatannya dinamis sesuai dengan konteks waktu dan tempat.[39] Dalam pengertian ini, sebenarnya perubahan kurikulum dapat dilakukan kapan saja, tanpa menunggu jangka waktu tertentu. Sebab, ketika problem dan tantangan yang dihadapi oleh masyarakat berbeda dan berubah, maka harus diikuti oleh perubahan kurikulum jika tidak ingin tertinggal dengan perubahan. Muatan kurikulum harus mencerminkan adanya dialog antara teks dan konteks, antara wilayah normatif dan historis. Karena itu, akan selalu ada upaya kontekstualisasi teks sehingga mampu menjawab problem bumi. Dalam pandangan Freire, akan selalu ada proses kodifikasi konteks dan dekodifikasi. Kodifikasi konteks berarti mendialogkan, mendiskusikan dan mencari alternatif pemecahan terhadap problem yang berkembang di masyarakat ke dalam ruang ruang kelas, misalnya kemiskinan, pelecehan seksual, pengangguran, dan pelanggaran HAM.[40] Hasil rumusan alternatif ini kemudian dibawa ke masyarakat sebagai sebuah tawaran pemecahan. Dengan demikian, ada proses refleksi di ruang kelas dan proses aksi di luar kelas secara terus-menerus. Ketika problem yang ada di masyarakat berkembang, maka perlu ada kodifikasi kembali dan begitu seterusnya.
Berbagai pesoalan mutakhir harus dikaji secara hermeneutis, dengan selalu mendialogkan ide moral al-Qur'an dan al-Sunnah dengan problem empirik. Hal demikian hanya dapat dilakukan jika umat Islam melakukan kritik sejarah terhadap diturunkannya kitab tersebut. Untuk itu, Rahman menawarkan double movement methodology untuk dapat menangkap ide moral al-Qur’an.[41] Dalam pandangannya, sejak dulu sampai akhir zaman, teks al-Qur’an tetap, namun formulasi untuk pembumiannya dinamis tergantung problem yang berkembang di masyarakat. Selama ini umat Islam cenderung ke arah antiquarianisme dan romantisme dalam memandang sejarahnya.
Berdasarkan pemikiran tersebut, kurikulum dalam pendidikan Islam yang akan diajarkan, mengharuskan ada perpaduan secara dinamis-dialektis antara teks dan konteks. Untuk itu, pendekatan contextual teaching and learning perlu diterapkan, artinya setiap materi yang disampaikan oleh pendidik harus bermakna bagi peserta didik. Apa yang dipelajari di dalam kelas harus selalu dikaitkan dengan problem dan konteks keseharian yang dihadapi peserta didik. Sebagai contoh, ketika berbicara tentang kerusakan lingkungan, harus ada dialog antara teks al-Qur’an dengan problem lingkungan yang ada di sekitar sekolah yang bersangkutan. Jika sekolah itu bertempat di Kalimantan, maka perlu dikaitkan dengan kasus illegal logging atau pembakaran hutan. Kasus ini tidak pas jika diterapkan untuk sekolah yang ada di Yogyakarta, sebab tidak ada hutan di daerah ini, kalaupun ada hanya sedikit. Untuk konteks Yogyakarta, kasus yang tepat adalah kasus penambangan pasir di Sungai Progo atau di lereng Gunung Merapi. Karena itu, dalam kurikulum ini harus lebih banyak memasukkan problem dan kearifan lokal.
Perubahan orientasi dan kurikulum tersebut harus diimbangi dan dibarengi dengan penyiapan sumber daya manusia yang mampu mengimplementasikan orientasi dan kurikulum itu dalam konteks praxis. Dalam sebuah adagium Arab dikenal al-mudarris ahammu min al-maddah wa al-tariqah. Sebaik apa pun materi dan strategi pembelajaran, jika tidak dipahami oleh pendidik, maka tidak akan berjalan secara maksimal. Untuk itu, perubahan mindset di kalangan praktisi pendidikan perlu dilakukan segera. Yang menjadi masalah adalah bahwa merubah kultur berpikir tidak semudah merubah struktur. Jika perubahan struktur dapat dilakukan dalam hitungan hari bahkan jam, maka perubahan kultur [berpikir] memerlukan waktu cukup lama, tidak hanya tahunan bahkan generasi. Tidak mengherankan jika dalam kenyataan telah terjadi perubahan struktur [pemerintahan, pengelola lembaga pendidikan dan kurikulum], namun belum ada perubahan kultur. Sebab, orang yang menjalankan struktur baru tersebut masih sama dengan kultur lama.
Dalam pendidikan Islam, sumber daya manusia pertama yang harus dibenahi adalah pendidik. Ini tidak berarti komponen pendidikan lain tidak perlu dibenahi. Namun, para pendidiklah yang menjadi ujung tombak (avant garde) terjadinya perubahan. Sebab, mereka yang selalu terlibat langsung dengan peserta didik dan yang mengimplementasikan kurikulum. Ini berarti, berhasil tidaknya sebuah rumusan dan konsep kurikulum dalam konteks praktis sangat ditentukan oleh faktor pendidik. Semakin berkualitas pendidik, semakin berhasil dalam membawa perubahan.
Dikaitkan dengan implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), sosok pendidik sangat diharapkan untuk keberhasilan kurikulum baru tersebut. Sebab, dalam pengelolaan kurikulum yang berujung pada penjabaran silabus dan Rencana Pelaksanaan Pengajaran dari rumusan kompetensi minimal yang ditetapkan oleh pemerintah pusat lebih diserahkan kepada pihak sekolah/madrasah, khususnya pendidik. Dalam hal ini mereka dapat bekerja sama dengan berbagai pihak terkait seperti kepala sekolah, akademisi di perguruan tinggi dan tokoh masyarakat, namun yang menjadi inisator adalah pendidik.
Pendidik seharusnya tidak lagi dijadikan sebagai satu-satunya sumber belajar, sebab apa pun dapat dijadikan sebagai sumber belajar selama mendukung pencapaian hasil belajar. Sumber belajar yang dirancang secara khusus, seperti miniatur ka’bah, masjid, atau piramida, ataupun sumber belajar yang tinggal memanfaatkan seperti praktisi perbankan, politisi, tokoh masdyarakat, sungai, internet, radio, dan surat kabar, mempunyai fungsi yang sama dalam mengoptimalkan pencapaian hasil belajar peserta didik. Hal ini menuntut pendidik untuk semakin aktif dan kreatif dalam proses pembelajaran jika tidak ingin ketinggalan dengan peserta didiknya yang dapat belajar dari banyak sumber.
Berdasarkan pemikiran tersebut, diperlukan tenaga kependidikan yang mempunyai pengetahuan luas dan mendalam tentang strategi pembelajaran. Proses pembelajaran harus mampu mengoptimalkan segenap potensi peserta didik dengan cara melibatkan mereka secara fisik dan mental dalam setiap pembelajaran. Untuk itu, strategi pembelajaran yang diterapkan pendidik harus mempertimbangkan setiap kecenderungan tipe belajar setiap peserta didik, apakah tipe somatik, auditif, visual atau intelektual. Peserta didik yang mempunyai kecenderungan somatik tidak akan maksimal dalam belajarnya jika pendidik menggunakan strategi belajar dengan ceramah, sebab metode ini hanya cocok bagi peserta didik dengan tipe belajar auditif. Tipe somatik hanya cocok jika pendidik menggunakan strategi yang membuat peserta didik terlibat secara fisik (learning by doing).[42] Begitu juga, peserta didik dengan tipe belajar visual akan tepat dan maksimal jika pendidik menggunakan strategi pembelajaran dengan contoh-contoh visual atau gambar, sementara peserta didik dengan tipe belajar intelektual akan tepat jika menggunakan strategi pembelajaran dengan penalaran.
Di sisi lain, seorang pendidikan harus kritis mencermati persoalan kependidikan, mulai dari penyimpangan praktik pendidikan di lapangan, kebijakan yang tedak tepat sampai persoalan yang menimpa dirinya sebagai seorang pendidik. Hal ini dilakukan agar pendidik [baca : guru] tidak hanya menjadi sosok manusia yang pasrah dan pasif karena dikenal sebagai pahlawan tanpa tanda jasa atau sosok Umar Bakri yang lugu dan sederhana. Dengan epistemologi di atas, kesederhanaan pendidik tentu masih sangat relevan tetapi tanpa mengabaikan peran dia yang harus kreatif dan kritis dalam menyelesaikan persoalan pendidikan. Masalah pendidikan tidak hanya diserahkan kepada para akademisi di perguruan tinggi atau pengambil keibjakan saja, namun dia juga harus berperan aktif dalam menyelesaikannya dengan kemampuan yang dimiliki.
Berdasarkan elaborasi singkat tersebut tampak bahwa diversifikasi strategi pembelajaran oleh pendidik mutlak diperlukan mengingat dalam satu kelas terdapat banyak peserta didik yang mempunyai banyak kecenderungan tipe belajar. Untuk itu, tidak ada strategi belajar yang paling tepat untuk setiap waktu dan tempat. Hal ini sangat dipengaruhi oleh tujuan pembelajaran, kondisi peserta didik, waktu, fasilitas, dan pendidik. Yang jelas, untuk konteks pendidikan kritis, strategi pembelajaran diabdikan untuk mengoptimalkan potensi peserta didik, bukan untuk memenuhi harapan pendidik dan menghabiskan materi. Pendidik dituntut mengajar peserta didik untuk selalu dalam proses pencarian ilmu yang kritis dan dinamis, agar dia tidak terjebak pada context of justification, namun context of discovery.[43]
Perubahan lain yang perlu dilakukan jika kerangka epistemologi di muka diterima adalah konsep evaluasi. Evaluasi harus dimaknai sebagai upaya untuk mengetahui sejauhmana proses pembelajaran yang dilakukan di sekolah mampu mengoptimalkan potensi yang dimiliki oleh setiap peserta didik. Karena potensi yang dimiliki peserta didik tidak tunggal, maka sasaran evaluasi juga tidak boleh tunggal. Evaluasi harus bertolak dari keragaman potensi yang dimiliki setiap peserta didik. Karena itu, evaluasi yang selama ini lebih melihat pada beberapa mata pelajaran tertentu, seperti mata pelajaran yang di-UAN-kan, dalam perspektif ini adalah tidak tepat. Sebab, yang dihargai hanya beberapa mata pelajaran saja, belum semua mata pelajaran. Ini sama saja hanya menghargai salah satu potensi yang dimiliki peserta didik.
Idealnya, setiap potensi dan kecenderungan peserta didik dihargai. Menurut Gardner, peserta didik paling tidak mempunyai delapan kecenderungan, yang kemudian dia jelaskan menjadi ragam kecerdasan (multiple intelligences), yaitu cerdas angka, kata, ruang, irama, fisik, interpersonal, intrapersonal, dan alam.[44] Dalam perspektif ini, jika selama ini prestasi anak hanya dilihat dari mata pelajaran matematika saja, sebenarnya ini baru melihat satu jenis kecerdasan, yaitu cerdas angka, padahal tidak semua peserta didik mempunyai kecenderungan ini. Untuk itu, dalam perspektif pendidikan kritis, setiap jenis kecerdasan ini harus diapresiasi dan dioptimalkan, sehingga setiap kecenderungan anak diperhatikan. Dalam jangka panjang tidak ada anak yang merasa minder hanya karena ia tidak cerdas angka, padahal ia cerdas kata atau cerdas fisik. Selain itu, tidak ada peserta didik yang merasa ‘di atas angin’ dibandingkan teman-teman yang lain hanya karena dia mempunyai kecerdasan angka.
Berbagai agenda perubahan dalam praktek pendidikan dengan kerangka epistemologi di atas tidak akan berjalan maksimal tanpa adanya dukungan politik dari pihak pemerintah. Untuk konteks keindonesiaan, perubahan manajemen pemerintahan dari sentralisasi ke desentralisasi mengharuskan pemerintah [pusat] mengkondisikan berbagai aturan yang memungkinkan berjalannya konsep otonomi terutama dalam bidang pendidikan. Dalam manajemen baru ini, pemerintah pusat tidak lagi menjadi pemegang otoritas pembuatan kebijakan, apalagi sampai pembuatan juklak dan juknis. Pemerintah hanya membuat rambu-rambu yang bersifat global. Untuk itu, perlu ada evaluasi kebijakan dalam bidang pendidikan, mana kebijakan yang memberikan ruang bagi praktisi pendidikan untuk kreatif dan mana kebijakan yang menghambat dan mengekang.
Dalam konteks otonomi, kreatifitas masyarakat, khususnya pengelola lembaga pendidikan sangat diperlukan. Sebab, merekalah yang paling tahu kebutuhan dirinya. Untuk itu, pengembangan lembaga pendidikan sangat ditentukan oleh pengelola lembaga pendidikan, khususnya kepala sekolah. Munculnya konsep manajemen berbasis sekolah dalam perspektif TQM (total quality management) merupakan wujud adanya pemberian keleluasaan pihak sekolah untuk merumuskan arah kebijakannya sendiri sesuai dengan kebutuhan riil, bukan ditentukan dari atas. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, dia harus mampu memanaj potensi yang ada di sekitarnya, untuk itu harus mampu mensinergikan peran dan potensi para stakeholder pendidikan.

E. Penutup
Dihadapkan dengan berbagai problem keindonesiaan yang majemuk, praktik pendidikan Islam selama ini belum cukup efektif sebagai proses transformasi individu dan masyarakat yang membawa pesan agama seperti kedamaian, rahmatan lil-'alamin, dan sebaik-baik umat. Hal ini antara lain ditandai oleh paradigma berpikir sebagian praktisi pendidikan Islam yang cenderung juastifikatif. Di antara indikator model berpikir ini adalah masih munculnya klaim kebenaran atas penafsiran agama dan memandang penafsiran lain sebagai salah, adanya model berpikir tertutup (closed thinking) dan sempit tentang agama, dan adanya kesadaran seolah realitas keagamaan adalah tunggal yaitu agamanya sendiri atau bahkan kelompok atau paham keagamaan sendiri yang benar. Seharusnya, praktik pendidikan Islam mampu memberikan alternatif berbagai persoalan secara komprehensif, tidak dengan perspektif tunggal. Untuk itu, perspektif kritis-obyektif perlu dimunculkan, bahwa keimanan kita akan semakin kuat justru dengan berinteraksi secara komunikatif dengan agama-agama lain, bahwa realitas keagamaan adalah plural, bagaimana hidup dengan identitas agama sendiri yang kuat tetapi tidak merendahkan eksistensi agama-agama lain, dan dengan mengetahui dan mengenal agama lain bukan melunturkan keyakinan keagamaan sendiri melainkan justru memperkokoh keyakinan keagamaan sendiri, setidaknya menilai pemahaman orang lain tentang agama atas dasar ilmu dan tidak semata-mata sikap emosional secara buta. Untuk itu, sikap terbuka dan berdialog secara kritis perlu dikedepankan, bukan a priori.
Paradigma kritis tersebut akan muncul jika kerangka epistemologi pendidikan Islam digeser dari yang cenderung mengedepankan nalar bayani ke keterpaduan antara bayani, burhani, dan 'irfani. Ketiganya tidak berjalan secara adhoc, tapi sinergis. Bahwa dengan nalar bayani menjadikan teks sebagai inspirasi yang harus dibenturkan dengan problem empirik. Untuk itu, nalar burhani yang kritis harus muncul sehingga format dan praktik pendidikan Islam yang tidak kontekstual harus diubah. Sementara itu, ranah 'irfani yang mengasah aspek afektif harus dikembangkan juga, sehingga praktik pendidikan Islam tidak menjadikan umat Islam sebagai islamolog secara kognitif saja, namun juga harus mampu menghayati dan sekaligus mengamalkan dalam kehidupan nyata. Hasil pengamalan terhadap ajaran agama ini tampak ketika umat Islam aktif dan kritis dalam mencari alternatif pemecahan dengan prinsip liberasi, emansipasi, dan transendensi.
Kerangka epistemologi tersebut akan berpengaruh terhadap praktik pendidikan Islam. Pendidikan agama yang diajarkan di lembaga pendidikan perlu dilakukan penyesuaian terkait dengan perspektif kritis. Sebab, munculnya berbagai kasus konflik dan kerusuhan masa bernuansa etnis dan agama lebih disebabkan oleh minimnya pemahaman terhadap problem empirik seperti keragaman budaya yang sudah menjadi keniscayaan. Karena itu, tantangan dalam pendidikan tersebut harus direspons secara positif dan kreatif, dalam arti perlu segera dipersiapkan sejumlah perlengkapan baik yang menyangkut hardware maupun software-nya. Perangkat keras berkaitan dengan sarana dan prasarana yang memadai, sedangkan perangkat lunak terkait dengan sikap dan pola pikir. Meskipun kedua perangkat tersebut sama-sama penting, namun yang lebih esensial pada dasarnya adalah perangkat yang kedua, sebab dengan penyiapan sumber daya manusia yang handal, mampu berpikir kritis-analitis dan sistematis, maka problem yang dihadapi umat beragama dalam masyarakat majemuk relatif dapat diatasi. Cara paling efektif untuk mempersiapkan software tersebut adalah melalui media pendidikan. Dengan pendidikan umat beragama akan menyadari eksistensinya sebagai makhluk Tuhan yang hidup di tengah masyarakat yang plural.
Paradigma pendidikan agama yang selama ini berjalan perlu dikaji secara obyektif, sebab paradigma yang selama ini dijalankan ternyata lebih cenderung membentuk manusia beragama yang bersikap egois, close-minded, dan berorientasi pada kesalehan individual.[45] Karena itu, menghadapi kehidupan di tengah masyarakat yang majemuk ini, selain pendidikan dengan paradigma to think, to do, dan to be, juga perlu paradigma to live together dan learning how to learn. Untuk merubah paradigma pembelajaran agama di sekolah antara lain melalui tiga komponen penting pendidikan, yaitu kurikulum, guru, dan strategi pembelajaran. Kurikulum pendidikan agama hendaknya dirancang dengan memadukan ajaran yang terkandung dalam teks dan tantangan dan kebutuhan konteks masyarakat sehingga ada proses dialog yang fungsional antara teks dan konteks. Guru yang mengajarkan pendidikan agama harus mempunyai pemahaman yang memadai tentang teks agama dan konteks masyarakat dimana agama tersebut dilaksanakan. Selain itu, seorang pendidik agama juga harus mengikuti dan menguasai perkembangan isu-isu aktual di masyarakat seperti demokrasi, hak asasi manusia, masyarakat madani, pluralisme, dan kesetaraan gender. Akhirnya, strategi pembelajaran yang diterapkan guru harus memungkinkan peserta didik terlibat dan menghayati berbagai permasalahan agama dan budaya yang berkembang di masyarakat. Karena itu, strategi pembelajaran lebih diarahkan pada penyelesaian problem realitas dalam perspektif agama dan budaya.
Wallahu a'lam bi al-sawab

[1] Dosen Fakultas Tarbiyah dan Direktur Pusat Kajian Dinamika Agama, Budaya dan Masyarakat (PUSKADIABUMA) Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
[2] Sebuah penelitian tentang berbagai kasus kerusuhan masa yang terjadi di berbagai wilayah di Indonesia dapat dilihat lebih jauh dalam Laporan Akhir Pusat Penelitian Pembangunan Pedesaan dan Kawasan UGM dengan Departemen Agama RI, Perilaku Kekerasan Kolektif: Kondisi dan Pemicu, (Yogyakarta: P3PK, 1997).
[3] Tentang ambivalensi agama, yang di satu sisi mempunyai misi perdamaian, tapi di sisi lain menjadi media paling ampuh untuk membangkitkan emosi masa yang mengarah pada tindak kekerasan atas nama agama dapat dilihat lebih jauh dalam Ihsan Ali-Fauzi, “Ambivalensi sebagai Peluang: Agama, Kekerasan dan Upaya Perdamaian,” dalam Syifaul Arifin dkk. (ed.), Melawan Kekerasan tanpa Kekerasan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar-The Asia Foundation-IRM, 2000), 67-82.
[4] M. Amin Abdullah, Rekonstruksi Metodologi Studi Agama dalam Masyarakat Multikultural dan Multirelijius, Pidato pengukuhan Guru Besar Ilmu Filsafat yang disampaikan di hadapan Rapat Senat Terbuka IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 13 Mei 2000, 2.
[5] Abdul Munir Mulkhan, “Dunia Pendidikan sebagai Perang Kekerasan,” dalam Syifaul Arifin dkk. (ed.), Melawan Kekerasan, 167-176.
[6] Kuntowijoyo, “Ilmu Sosial Profetik: Etika Pengembangan Ilmu-ilmu Sosial” dalam Al-Jami’ah Journal of Islamic Studies, No. 61/1998: 64.
[7] Ibid., 69.
[8] Ibid., 70.
[9] Syed Muhammad al-Naquib al-Attas (ed.), Aims and Objectives of Islamic Education (Jeddah: King Abdulaziz University, 1981), 7.
[10] Abdul Haq Ansari, “Transformation of the Perspective” dalam Syed Muhammad al-Naquib al-Attas (ed.), Aims and Objectives, 118-125.
[11] Bandingkan dengan pendapat Driyarkara yang menyatakan bahwa pendidikan sebagai proses hominisasi dan humanisasi. Bahwa pendidikan harus memanusiakan manusia dengan memaksimalkan potensi individualitas seseorang secara integratif, tapi pada saat yang sama pendidikan juga harus mampu menjadikan seseorang berperan aktif secara sosial dalam memecahkan probem sekitar sebagai makhluk budaya. Libih jauh lihat, A. Sudiarja, SJ dkk. (peny.), Karya Lengkap Sriyarkara: Esei-esei Filsafat Pemikir yang Terlibat Penuh dalam Perjuangan Bangsanya (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006), 261-420.
[12] Bandingkan dengan pandangan Driyarkara yang mengatakan bahwa pendidikan merupakan proses hominisasi dan humanisasi, yaitu memanusiakan manusia secara individual dan secara sosial. Setiap individu harus mampu mewujudkan diri sebagai person sebagai sosok yang mengintegrasikan semua potensi, tetapi di sisi lain dia juga harus mampu membangun komuinitas sekitarnya ke arah lebih baik. Lihat lebih jauh dalam A. Sudiarja, SJ, dkk. (peny.), Karya Lengkap Driyarkara: Esei-esei Filsafat Pemikir yang Terlibat Penuh dalam Perjuangan Bangsanya (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006),
[13] Abdul Munir Mulkhan, Nalar Spiritual Pendidikan (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002), 207.
[14] Baca Farid Esack, Qur’an, Liberation and Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligious Solidarity against Oppression (Oxford: Oneworld, 1997).
[15] Gagasan ini dilontarkan oleh Ismail Raji al-Faruqi dalam karyanya Tauhid (USA: IIIT, 1986).
[16] Fazlur Rahman, Islam and Modernity Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago and London: The University of Chicago Press, 1984), 4-7.
[17] Mohammed Arkoun, Tarikhiyyah al-Fikr al-‘Araby al-Islamy (Libanon: Markaz al-Inma’ al-Qawmy, 1986), 51-63.
[18] Asghar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan terj. Agung Prihantoro (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000).
[19] Murtadha Muthahhari, Falsafah Kenabian (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1991), 29.
[20] Misi pertama mengacu pada surat al-Ahzab (33): 45-46, yang artinya, “Wahai Nabi, sesungguhnya Kami mengutusmu untuk menjadi saksi, dan pembawa kabar gembira serta pemberi peringatan, dan untuk menjadi penyeru kepada agama Allah dengan izin-Nya, dan sebagai cahaya yang menerangi.”
[21] Misi kedua mengacu pada surat al-Hadid (57): 25, yang berarti, “Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata, dan telah kami turunkan bersama mereka al-Kitab dan neraca supaya manusia dapat melaksanakan keadilan.”
[22] Al-Tabattaba’i, Mizan, Vol. 7, 178.
[23] Asghar Ali Engineer, Islam, 41.
[24] Q.S. al-Hujurat: 13.
[25] Amin Abdullah, Studi Agama: Normatifitas atau Historisitas? (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996).
[26] M. Dawam Rahardjo, “Islam Faktual: Antara Tradisi Besar dan Tradisi Kecil,” dalam M. Bambang Pranowo, Islam Faktua Antara Tradisi dan Relasi Kuasa (Yogyakarta: Adicita Karya Nusa, 1998)l, vii.
[27] R. Redfield, Peasant Society and Culture: An Anthropological Approach to Civilization (Chicago: The University of Chicago Press, 1956), 70.
[28] Clifford Geertz, The Religion of Java (New York: The Free Press of Glencoe, 1960).
[29] M. Bambang Pranowo, Islam Faktual Antara Tradisi dan Relasi Kuasa (Yogyakarta: Adicita Karya Nusa, 1998), 3.
[30] G.E. Von Grunebaum (ed.), Unity and Variety in Muslim Civilization (Chicago: The University of Chicago Press, 1955).
[31] M. Dawam Rahardjo, “Islam Faktual”, viii,
[32] Andy Dermawan, Ibda Bi Nafsika Tafsir Baru Keilmuan Dakwah (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2005), hlm. 63.
[33] Muhammed `Abid al-Jabiri, Bunyah al`Aql al-`Arabiy, (Beirut: al-Markaz al-Tsaqafi al-`Arabiy, 1993), hlm. 383-384.
[34] Muhammad Abed al-Jabiri, Kritik Kontemporer atas Filsafat Arab-Islam, terj. M. Nur Ichwan (Yogyakarta: Islamika, 2003), hlm. xxvii
[35] M. Amin Abdullah, "al-Ta'wil al-'Ilmi: Ke Arah Perubahan Paradigma Penafsiran Kitab Suci," dalam M. Amin Abdullah dkk., Tafsir Baru Studi Islam dalam Era Multikultural (Yogyakarta: IAIN Su-Ka dan Kurnia Kalam Semesta, 2002), hlm. 23.
[36] Ibid., 16.
[37] Baca kajian Azyumardi Azra tentang literature pendidikan Islam yang ada di Indonesia. Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru (Jakarta: Logos, 1999), 90-93. Bandingkan dengan Muqowim, “Dinamika Kajian Islam “Mazhab Sapen” Pemetaan atas Karya Disertasi di Program Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta” dalam Profetika Jurnal Studi Islam, Vol. 6, No. 1, Januari 2004: 53-57.
[38] K.G. Saiyidain, “Progressive Trends in Iqbal’s Thought” in Eminent Scholars, Iqbal as A Thinker (Lahore: Sh. Muhammad Ashraf, 1991), 56.
[39] Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-Attas, terj. Hamid Fahmy dkk. (Bandung: Mizan, 2003), 266.
[40] Peter McLaren, “Liberatory Politics and Critical Pedagogy”, 142.
[41] Fazlur Rahman, Islam and Modernity, 15.
[42] Dave Meier, The Accelerated Learning Handbook (USA: McGraw-Hill Co., 2000), 41-52.
[43] M. Amin Abdullah, “Preliminary Remarks on the Philosophy of Islamic Relious Sciences” dalam Al-Jami’ah Journal of Islamic Studies, No. 61 tahun 1998, 6.
[44] Gordon Dryden and Jeannette Vos, The Learning Revolution To Change the Way the World Learns (USA: The Learning Web, 1999), 443 dan 489; Thomas Armstrong, Multiple Intelligence in the Classroom (ASCD, 1994).
[45] Lebih jauh Abdul Munir Mulkhan, Nalar Spiritual Pendidikan, 117-224.

pendidikan transformatif

Mengenal pendidikan islam transformatif

MENGENAL PENDIDIKAN ISLAM TRANSFORMATIF

A. Prawacana
Secara ontologis pendidikan pada hakikatnya adalah manusia, sebab ia merupakan hasil pemikiran yang dilakukan oleh dan untuk manusia guna mencapai aktualisasi diri di dunia. Sebagai produk pemikiran manusia, pendidikan bersifat relatif dan sangat tergantung pada kemampuan dan kualitas perumusnya. Di sisi lain, secara epistemologis sebaik apapun hasil pemikiran manusia tentang pendidikan bersifat relatif, sebab ia sangat tergantung pada konteks sosial dan tingkat pengalaman dan pengetahuan manusia, sementara manusia sendiri bersifat terbatas. Dengan pemahaman ini tidak ada alasan untuk men-taqdis-kan hasil pemikiran manusia di masa lalu yang dianggap baku (mabni) dan statis, sebab ketika realitas –yang dibatasi ruang dan waktu—berubah dan berbeda, maka respon manusia juga harus berubah jika tidak ingin jumud.
Sebenarnya berbicara tentang persoalan pendidikan sama halnya membicarakan tentang kehidupan manusia, sebab pendidikan merupakan proses yang dilakukan oleh setiap individu menuju ke arah yang lebih baik sesuai dengan potensi kemanusiaannya, mulai dari ayunan hingga liang lahad, min al-mahd ila al-lahd. Proses ini hanya berhenti ketika nyawa sudah tidak ada dalam raga manusia. Dalam Islam pendidikan diperlukan untuk membantu meneguhkan eksistensi dalam mengemban fungsi ‘abid dan khalifah. Eksistensi manusia sangat ditentukan oleh sejauhmana ia mampu menjalankan kedua fungsi tersebut. Selain itu, pendidikan pada hakikatnya merupakan proses memanusiakan manusia (humanizing human being). Karena itu, semua treatment yang ada dalam praktek pendidikan mestinya selalu memperhatikan hakikat manusia sebagai makhluk yang unik dan multidimensional, baik sebagai makhluk Tuhan dengan fitrah yang dimiliki, sebagai makhluk individu yang khas dengan berbagai potensinya, dan sebagai makhluk sosial yang hidup dalam realitas sosial yang majemuk. Untuk itu, pemahaman yang utuh tentang karakter manusia harus dilakukan sebelum proses pendidikan dilaksanakan.
Namun demikian, dalam realitasnya banyak praktek pendidikan yang tidak sesuai dengan misi di atas. Dalam prakteknya, pendidikan tidak berfungsi sebagai proses transformasi pada diri peserta didik dan masyarakat. Bahkan, praktek pendidikan seringkali menjadi biang terjadinya problem sosial. Hal ini antara lain dapat dilihat dari adanya kenyataan bahwa proses pendidikan yang ada cenderung berjalan monoton, indoktrinatif, teacher-centered, top-down, sentralistis, mekanis, verbalis, kognitif, dan misi pendidikan telah misleading. Tidak heran jika ada kesan bahwa praktek dan proses pendidikan Islam steril dari konteks realitas, sehingga tidak mampu memberikan kontribusi yang jelas terhadap berbagai problem yang muncul. Praktek pendidikan Islam yang dianggap misleading ini merupakan bukti bahwa belum ada pemahaman yang memadai tentang konsep dan implementasi pendidikan Islam dalam era kontemporer. Pendidikan Islam banyak mengalami reduksi, baik dari aspek makna maupun prakteknya.
Tidak berdayanya (powerlessness) pendidikan Islam tersebut menjadi keprihatinan bersama, mulai dari pakar dan praktisi pendidikan di lembaga pendidikan formal, tokoh masyarakat hingga orang tua di rumah. Pendidikan (khususnya agama) dianggap tidak cukup efektif memberikan kontribusi dalam penyelesaian masalah. Bahkan, ia menjadi part of the problem. Karena itu, banyak gagasan muncul tentang perlunya melakukan reinterpretasi dan reorientasi, termasuk melakukan perubahan paradigma dari praktek pendidikan yang selama ini berjalan. Perubahan paradigma tersebut antara lain berkaitan tentang pendidikan yang harus diselenggarakan dengan pendekatan akademis, bukan birokratis, pendidikan harus berorientasi mencetak peserta didik bermental mencari ilmu, bukan menunggu ilmu, peserta didik harus dididik mencadi orang aktif, bukan pasif, pendidikan harus berorientasi pada peserta didik (student-oriented), bukan pendidik atau negara (teacher and state-oriented), manusia harus dilihat secara antroposentris yang teosentrik, bukan hanya antroposentris, pengelolaan pendidikan tidak boleh sentralistis, tapi harus desentralistis, pendidikan agama tidak boleh disampaikan secara dogmatis saja, dan pendidikan harus bersifat inklusif, integralistik dan holistik.[1]
Yang jelas, pola pendidikan Islam yang selama ini berjalan harus dilakukan pergeseran atau perubahan menjadi pola lain yang lebih membumi terhadap realitas empirik. Ini berarti perlu melakukan transformasi dari ­the existing education ke the other new and better one.[2] Terma transformasi dalam tulisan ini mengimplikasikan perlunya melakukan pergeseran dari pola pendidikan Islam konvensional, menjadi pola baru yang mampu menjawab tantangan zaman.[3] Hanya saja, perubahan ini tidak akan berjalan efektif jika dilakukan secara ad hoc dan fragmental, namun harus secara integrated dan holistik, dalam arti bahwa peninjauan harus dilakukan secara menyeluruh terhadap aspek-aspek dalam pendidikan. Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk memberikan ulasan secara utuh dan instant terhadap persoalan perubahan paradigma pendidikan, namun hanya sebagai bahan diskusi untuk mengurai benang kusut problem pendidikan Islam, khususnya yang ada di Indonesia.

B. Problem Pendidikan Islam Kontemporer: Kasus Indonesia
Sebelum pembicaraan diarahkan pada transformasi dengan segala aspeknya perlu dikemukakan terlebih dahulu tentang problem pendidikan keindonesiaan, yang pada dasarnya juga sebagai problem pendidikan Islam dengan asumsi bahwa mayoritas penduduk di negeri ini adalah muslim. Dalam kesempatan ini akan disinggung tentang tantangan dan problem pendidikan nasional yang menyangkut empat hal, yakni persoalan pemerataan pendidikan, mutu, relevansi, dan efisiensi, sebagaimana disinyalir oleh Tim Komite Reformasi Pendidikan.
Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Balitbang Diknas tahun 2000, dari segi pemerataan, Angka Partisipasi Murni (APM) untuk anak usia SD pada tahun 1999 mencapai 94,4%. Angka ini tergolong tinggi jika dibandingkan dengan APM di level SLTP yang hanya mencapai 54,8%. Lebih rendah lagi angka partisipasi pendidikan untuk jenjang pendidikan menengah dan pendidikan tinggi, masing-masing 31,5% dan 11,6%. Dilihat dari layanan pendidikan usia dini, fasilitas yang disediakan pemerintah baru mencapai 1% untuk anak usia 0-5 tahun melalui jalur penitipan anak, 12,65% untuk anak usia 5-6 tahun melalui TK, dan 0,24% melalui kelompok bermain (playgroup). Data lain menunjukkan bahwa masih terdapat 11.298.070 anak usia 4-6 tahun yang perlu diberi layanan pendidikan prasekolah. Selain itu, data tentang program pemberantasan buta aksara fungsional yang terkenal dengan Kejar Paket A (setingkat SD) dan Paket B (setingkat SLTP) menunjukkan bahwa pada tahun 2000 masih terdapat 17.079.220 orang yang masih buta aksara. Padahal realisasi program tersebut selama tahun 1998-2000 baru menjangkau 171.837 orang untuk Paket A dan 733.606 orang untuk Paket B (sekitar 10%). Hal ini ditambah lagi dengan angka putus sekolah anak SD diperkirakan setiap tahunnya sekitar satu juta anak. Akhirnya, dari segi pertumbuhan penduduk, dengan asumsi rasio pertumbuhan 1,04% untuk tahun 2005-2010 dan 0,66 untuk tahun 2010-2020, maka pada tahun 2020 jumlah penduduk Indonesia diperkirakan mencapai 253,7 juta jiwa dengan perkiraan 26,0 juta penduduk usia 7-12 tahun, 12,9 juta penduduk usia 13-15 tahun, 12,3 juta untuk penduduk usia 16-18 tahun, dan 24,7 juta penduduk usia 19-24 tahun. Dari total penduduk tersebut 60% tinggal di pulau Jawa,[4] sementara luas pulau ini hanya 6% dari seluruh wilayah Indonesia. Kondisi pemerataan ini tentu akan berdampak sangat besar bagi penyelenggaraan pendidikan nasional. Problem pemerataan ini terkait khususnya bagi masyarakat pedesaan dan atau masyarakat terpencil, keluarga kurang beruntung secara ekonomi, sosial, dan budaya, wanita, dan penyandang cacat.
Dalam hal mutu, kinerja sistem pendidikan nasional juga tidak bisa diandalkan, bahkan ada kecenderungan mengalami penurunan. Berdasarkan data Laporan Bank Dunia No. 16369-IND (studi I tentang International Association for the Evaluation of Educational Achievement di Asia Timur) menunjukkan bahwa keterampilan membaca siswa kelas IV SD berada pada tingkat terendah dalam skala internasional. Rata-rata skor tes membaca untuk siswa SD di Hongkong 75,5, Singapura 74,0, Thailand 65,1, Filipina 52,6, dan Indonesia 51,7. Anak-anak SD Indonesia hanya mampu menguasai 30% dari materi bacaan.[5] Mereka sulit sekali menjawab soal-soal berbentuk uraian yang menuntut kegiatan penalaran.[6] Selain itu, menurut studi dari The Third International Mathematics and Science Study tahun 1999, di antara 38 negara peserta, prestasi siswa SLTP kelas II Indonesia berada pada urutan ke-32 untuk IPA dan 34 untuk Matematika. Anak-anak di Indonesia masih terbiasa mengembangkan kemampuan akademik pada tingkat rendah, seperti menghafal, belum ke arah kemampuan berpikir kritis apalagi kemampuan memecahkan masalah.[7]
Selain itu, berdasarkan data dari UNESCO tahun 2000 tentang Human Development Index (HDI), yakni tentang komposisi pencapaian pendidikan, kesehatan dan penghasilan per kepala, menunjukkan bahwa pengembangan manusia Indonesia mengalami penurunan. Dari 174 negara di dunia, Indonesia menempati urutan ke-102 pada tahun 1996, urutan ke-99 tahun 1997, urutan ke-105 tahun 1998, dan urutan ke-109 pada tahun 1999. Rendahnya HDI tersebut menunjukkan rendahnya daya saing bangsa dalam kehidupan global. Menurut The World Economic Forum tahun 2000, daya saing Indonesia menduduki urutan ke-37 dari 57 negara yang disurvai. Tentu banyak faktor yang menyebabkan rendahnya mutu pendidikan Indonesia ini, salah satunya adalah rendahnya kualitas pendidik.
Berdasarkan data Balitbang Depdikbud tahun 1998, sekitar 1,2 juta guru SD/MI hanya 13,8% yang berpendidikan diploma dua (D2)-Kependidikan ke atas, sekitar 680.000 guru SLTP/MTs baru 38,8% yang berpendidikan diploma tiga (D3)-Kependidikan ke atas, dari 337.503 guru SLTA/MA baru 57,8% yang berpendidikan S1 ke atas, dan dari 181.544 dosen baru 18,86% yang berpendidikan S2 ke atas (hanya 3,48% yang berpendidikan S3).[8] Data ini untuk tahun 2003 tentu sudah mengalami perubahan, namun paling tidak gambaran tersebut menunjukkan betapa kualitas tenaga kependidikan masih sangat rendah. Kondisi ini semakini semakin parah jika dikaitkan dengan banyaknya tenaga kependidikan yang "salah kamar" (mismatch), dalam arti guru yang mengajar tidak sesuai dengan bidang keilmuannya, misalnya alumnus Jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI) Fakultas Tarbiyah mengajar matapelajaran Bahasa Inggris atau Matematika.
Aspek lain dari rendahnya kualitas pendidikan nasional adalah terjadinya degradasi moral masyarakat. Indikator tentang hal ini antara lain ditunjukkan oleh terjadinya praktek KKN, berbagai pelanggaran hukum dan hak-hak asasi manusia, eksploitasi calon-calon ibu anak, pengedaran narkoba, penyebaran HIV/AIDS, dan banyaknya tawuran yang dilakukan oleh pelajar dan mahasiswa.
Problem pendidikan nasional berikutnya adalah terkait dengan relevansi antara lulusan pendidikan dengan tuntutan perkembangan kehidupan masyarakat. Banyak lulusan pendidikan yang masih menganggur (unemployment). Berdasarkan data BAPPENAS tahun 1996 yang dikumpulkan sejak tahun 1990, angka pengangguran terbuka yang dihadapi oleh lulusan SMU sebesar 25,47%, Diploma/S0 sebesar 27,5%, dan PT sebesar 36,60%. Data ini tentu mengalami peningkatan sejak terjadinya krisis ekonomi berkepanjangan tahun 1997 yang ditandai dengan kolapsnya perusahaan, likuidasi bank, terbakarnya tempat-tempat usaha (misalnya: kasus kebakaran Pasar Tanah Abang), dan sebagainya. Menurut data Balitbang Diknas tahun 1999, setiap tahunnya sekitar tiga juta anak yang putus sekolah dan tidak melanjutkan sekolah. Tantangan lain dari segi relevansi adalah adanya perubahan struktur ekonomi dari agroindustri dan manufaktur ke teknologi informasi dan komunikasi dalam era globalisasi. Dalam struktur yang pertama manajemen produksi dan SDM masih bertumpu pada teknologi mekanik dan produksi masal dengan orientasi pasar regional, sementara struktur yang kedua manajemen produksi dan SDM bertumpu pada teknologi digital dan networking dengan orientasi pasar bebas dan global.
Problem pendidikan nasional yang terakhir adalah rendahnya efisiensi. Hal ini antara lain terlihat dari penyebaran guru yang tidak merata, bangunan fisik gedung sekolah yang cepat rusak dalam kurun pendek, jam pelajaran yang tersedia tidak digunakan secara optimal, dan pengalokasian dana pendidikan yang tidak fleksibel. Berdasarkan data BKN tahun 1997 yang terkait dengan penyebaran guru menunjukkan bahwa SD di suatu daerah kekurangan guru 156.454 orang, sementara di daerah lain surplus guru 12.917 orang. Di SLTP dan SMU terdapat sejumlah guru bidang studi tertentu yang merangkap mengajar bidang studi lain yang tidak sesuai dengan bidangnya atau salah kamar. Adanya angka tingkat putus sekolah tahun 1999 3,4% di SD/MI, 4,01% di SLTP/MTs, 2,1% di SMU/MA, 3,5% di SMK, dan 1,4% di PT/PTAI juga menunjukkan tingkat efisiensi penyelenggaraan pendidikan yang belum optimal. Sementara itu, dari segi bangunan fisik, pada tahun 1998/1999 telah dibangun 173.000 SD-MI di seluruh Indonesia, namun dari jumlah tersebut 19.000 sekolah berada dalam kondisi rusak berat (gedung-gedung inilah yang pada beberapa minggu terakhir dilaporkan roboh). Akhirnya, alokasi dan anggaran pendidikan sampai tahun 2000 masih tergolong sangat rendah, yakni 6,3% dari APBN, jauh lebih rendah dari Korea, Thailand, dan Singapura yang menganggarkan tidak kurang dari 20 persen dari APBN.[9]
Akhirnya, dalam konteks pemaknaan tentang pendidikan Islam di Indonesia, ada persoalan serius yang perlu dicermati. Hal ini terkait dengan makna pendidikan Islam yang banyak mengalami reduksi. Paling tidak reduksi ini dapat dilihat dari beberapa sudut. Pertama, secara kelembagaan, selama ini pendidikan Islam cenderung dipahami sebagai pendidikan yang diselenggarakan oleh institusi pendidikan yang berlabel Islam atau lembaga yang mengajarkan ilmu-ilmu agama dalam pengertian al-‘ulum al-naqliyyah. Karena itu, yang termasuk kategori ini adalah pondok pesantren, madrasah, sekolah dengan label Islam, atau IAIN. Kedua, pendidikan Islam lebih diartikan sebagai pendidikan tentang ilmu agama, sementara yang dimaksud dengan ilmu agama adalah ilmu-ilmu yang selama ini termasuk kategori ilmu naqliyyah seperti fiqih, tafsir, hadis, akhlak, aqidah, dan bahasa Arab, untuk tidak menyebut semuanya secara rinci. Lebih reduksi lagi, pendidikan Islam (agama) dimaknai sebagai mata pelajaran di sekolah umum yang hanya berbobot 2 atau 3 sks. Dengan pemahaman ini mata pelajaran non-agama bukan bagian dari pendidikan Islam. Dalam perspektif Rahman, ini merupakan implikasi dari dikotomi ilmu dalam Islam yang sudah berjalan sekian lama.[10]

C. Makna Pendidikan dan Manusia: Kembali ke Khittah
Berbagai permasalahan di atas sebenarnya tidak perlu terjadi jika praktek dan proses pendidikan dilandasi oleh adanya kesadaran terhadap makna pendidikan dan manusia. Keduanya saling terkait karena ketika berbicara tentang pendidikan berarti berbicara tentang manusia dengan berbagai potensinya. Sebaliknya, ketika berbicara tentang manusia juga pasti berbicara tentang upaya mengoptimalkan potensi kemanusiaannya melalui pendidikan, meskipun pendidikan yang dimaksud di sini tidak sebatas pendidikan formal yang ternyata justru banyak memenjarakan manusia.[11] Berubahnya praktek pendidikan (Islam) yang antara lain ditandai oleh fenomena lembaga pendidikan alternatif, seperti lembaga pendidikan Islam terpadu, alternatif strategi pembelajaran, kurikulum yang dinamis, dan evaluasi yang menghargai potensi siswa pada dasarnya merupakan wujud adanya cara pandang yang berubah tentang makna manusia sebagai peserta didik.[12]
Pendidikan harus dimaknai sebagai upaya untuk membantu manusia mencapai realisasi diri dengan mengoptimalkan semua potensi kemanusiaannya. Dengan pengertian ini, semua proses yang menuju pada terwujudnya optimalisasi potensi manusia ini, tanpa memandang tempat dan waktu, dikategorikan sebagai kegiatan pendidikan. Sebaliknya, ketika ada praktek yang katanya disebut pendidikan ternyata justru menghambat berkembangnya potensi kemanusiaan dengan berbagai bentuknya, maka ini justru bukan praktek pendidikan. Hanya saja, harus disadari bahwa memang ada perbedaan cara atau strategi antara satu tempat dan waktu tertentu dengan tempat dan waktu yang lain, namun mestinya perbedaan tersebut hanya sebatas teknis pelaksanaan, bukan pemaknaan tentang hakikat pendidikan itu sendiri. Munculnya tujuh penyakit pendidikan di Barat, sebagaimana disinyalir oleh Dave Meier dalam The Accelerated Learning­-nya, merupakan wujud adanya cara pandang yang keliru tentang hakikat pendidikan.[13] Selain sebagai upaya untuk melakukan transformasi bagi peserta didik ke arah yang lebih baik, pendidikan juga harus dapat mentransformasi masyarakat ke arah terbentuknya masyarakat madani, yang terbuka, demokratis, humanis, dan pluralis.
Terma berikutnya yang perlu dicermati dalam konteks pendidikan adalah tentang manusia sebagai makhluk pembelajar (learner). Lengkap tidaknya sebuah pemahaman tentang konsep manusia akan berakibat pada baik-buruknya praktek pendidikan. Karena secara ontologis ilmu adalah manusia, maka konsep (ilmu) tentang manusia juga sangat dipengaruhi oleh manusia itu sendiri, yang ditentukan oleh tingkat pengalaman dan pengetahuan serta setting sosial-masyarakatnya. Dalam konteks Islam, makna manusia ditentukan juga oleh seberapa jauh pemahaman umat Islam tentang manusia yang terdapat dalam al-Qur’an dan al-Sunnah. Meskipun rujukan utama umat Islam sama, namun ketika ia dipahami oleh seribu kepala akan muncul seribu pemahaman (penafsiran). Karena itu, tidak ada alasan untuk berbegang pada satu pemahaman tentang makna manusia yang dapat dipakai likulli zamanin makanin.
Sebagai makhluk yang unik dan multidimenional, tidak ada yang tahu secara persis tentang hakikat manusia. Sepanjang sejarah, tidak ada yang berhasil merumuskan secara baku dan komprehensif tentang makna manusia. Ketika filosof mendekatai terma ini akan berbeda rumusannya dengan psikolog meskipun ­nash-nya sama. Manusia tetap menjadi misteri bagi kehidupan. Tidak heran jika Carel Alexis, salah seorang pemenang Nobel, membuat karya berjudul The Unknown Man. Karena keterbatasan-keterbatasan inilah, maka diperlukan banyak perspektif dalam memahami hakikat manusia. Satu disiplin ilmu tidak boleh terlalu "PD" (Percaya Diri) dengan rumusannya, ia harus bekerjasama dengan disiplin ilmu lain. Paling tidak, perspektif yang harus digunakan dalam memahami makna manusia antara lain filsafat, yang mengkaji manusia secara radikal dari sisi ontologi, epistemologi, dan aksiologi, psikologi, yang membahas manusia dari aspek kejiwaannya, biologi, yang mencermati manusia dari aspek struktur fisiknya sebagai makhluk hidup, antropologi, yang mendekati manusia sebagai makhuk budaya yang unik, dan al-Qur’an, yang mendekati makna manusia secara preskriptif, meskipun kualitas pemahaman terhadap al-Qur’an sangat ditentukan oleh kualitas penafsirnya. Dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan, maka akan semakin banyak perspektif yang harus digunakan. Lebih-lebih disiplin filsafat, psikologi, biologi, maupun antropologi sendiri telah mengalami diversifikasi.
Ketika rumusan tentang makna pendidikan dan hakikat manusia dari multi perspektif tersebut diperoleh, maka praktek dan pola pendidikan baru dirumuskan, meskipun pemahaman yang komprehensif dan final tentang kedua terma tersebut tidak mungkin diperoleh secara final, sebab jaman dengan berbagai tantangannya selalu berubah. Justru karena adanya kesadaran bahwa konsep tentang pendidikan dan manusia yang terus berubah inilah, maka praktek pendidikan juga harus selalu berubah. Karena itu, upaya untuk selalu melakukan perubahan paradigma pola pendidikan harus dilakukan.

D. Melihat Orientasi Pendidikan Islam dalam Sejarah: Prophetic Paradigm
Sebuah pencarian format pendidikan Islam yang ideal akan mengalami kesulitan, untuk tidak mengatakan gagal, jika tidak disertai dengan upaya melakukan rekonstruksi sejarah terhadap pola pendidikan Islam yang pernah dipraktekkan oleh generasi Islam awal. Hal ini bukan berarti sebagai bentuk romantisme sejarah, namun sosok ideal pendidikan Islam ketika itu memang dipraktekkan. Tentu hal ini tidak ada pretensi untuk kembali ke masa lalu secara letterlick karena hanya akan membuat langkah regresif, namun tetap berpijak pada konteks realitas modern yang terus berubah. Meminjam istilah Rahman, upaya historical criticism (naqd al-tarikh) harus tetap dilakukan. Yang pertama harus dicermati adalah praktek pendidikan Islam oleh Rasulullah. Ketika itu Rasulullah tampil sebagai raushan fikr yang mampu mereformasi secara total terhadap tatanan kehidupan sosial kemasyarakatan jahiliyah[14] yang menyimpang. Paling tidak, secara umum misi kenabian Muhammad saw dapat dibagi ke dalam dua hal, yakni sebagai respon terhadap penyimpangan tauhid dan ketimpangan sosial (social discrepancy).[15] Kedatangan Islam berada dalam konteks realitas yang ketika itu sarat persoalan yang harus segera mendapat jawaban. Sosok Nabi hadir sebagai individu paripurna yang mempunyai kesadaran eksistensialis-teistik dan liberatif, yakni adanya kesadaran untuk menghilangkan penyakit vertikal dan horisontal.[16] Living sunnah yang dipraktekkan oleh Nabi inilah yang pertama harus dilihat. Islam hadir bukan sebagai agama yang teralienasi dari konteks, tapi involved dalam penyelesaian problem realitas.
Dengan mencermati misi profetik yang merupakan inti orientasi pendidikan dalam Islam di atas, maka proses pendidikan seharusnya diorientasikan pada pembentukan kepribadian muslim yang mempunyai prophetic consciousness, di mana ia mempunyai kesadaran eksistensialis yang teistik, bahwa ia harus mempunyai kesadaran vertikal (vertical consciousness) sekaligus horisontal (horizontal consciousness). Kesadaran pertama mempunyai makna bahwa setiap individu harus sadar tentang relasi antara dirinya sebagai makhluq dan khaliq-Nya sehingga ia menyadari kewajiban yang harus dipenuhi sebagai ‘abid. Sedangkan kesadaran kedua mempunyai pengertian bahwa individu harus sadar terhadap konteks realitas sosial yang ada di sekitarnya yang selalu berubah dan penuh tantangan. Dengan kesadaran ini ia hendaknya aktif memberikan kontribusi terhadap penyelesaian problem sosial, bukan lari dari masalah. Kedua kesadaran tersebut bukan berdiri sendiri-sendiri, namun terkait secara padu.[17]
Momen lain yang juga perlu dicermati dari sejarah pendidikan Islam adalah ketika peradaban Islam mengalami masa kejayaan (golden ages) yang antara lain ditandai oleh semaraknya berbagai temuan dalam bidang ilmu pengetahuan,[18] baik yang termasuk kategori al-‘ulum al-naqliyyah maupun al-‘ulum al-‘aqliyyah.[19] Periode ini terjadi ketika peradaban Islam berada di bawah pemerintahan Dinasti Abbasiyah di Baghdad, khususnya masa Harun al-Rasyid dan al-Makmun, dan Bani Umayah di Andalusia.[20] Ketika itu khalifah turun tangan langsung menggerakkan berbagai kajian ilmu, yang tidak terbatas pada ilmu-ilmu ‘agama’ saja namun juga ilmu-ilmu ‘non-keagamaan’. Di tangan kedua khalifah tersebut (Bani Abbasiyah) kemajuan ilmu pengetahuan mendapatkan momentumnya. Banyak upaya dilakukan oleh khalifah untuk menggairahkan kajian ilmu pengetahuan, misalnya melakukan kontak dengan kerajaan lain yang kaya akan tradisi intelektualnya, misalnya dari tradisi keilmuan Yunani, Persia, China, dan India.
Dinamika dan gairah keilmuan ini paling tidak didorong oleh dua motivasi. Pertama, motivasi normatif, yakni semangat ajaran Islam, baik yang terkandung dalam al-Qur’an[21] maupun al-Hadis,[22] yang sangat mendorong umatnya untuk menuntut dan menguasai ilmu. Kedua, motivasi dan respon sejarah, bahwa umat Islam harus mampu membumikan ajaran Islam sehingga ia benar-benar dapat menjadi rahmat bagi seluruh alam. Untuk itu, satu-satunya jalan adalah harus terlibat dalam percaturan ilmu dan merespon tantangan realitas. Hal ini terbukti dengan banyaknya ilmuwan muslim yang mengadakan kajian intensif dalam pengembangan ilmu yang ketika itu dipusatkan di Baghdad.[23] Di antara tokoh yang terlibat aktif di pusat ilmu tersebut adalah al-Kindi, al-Razi, dan al-Farabi.[24] Mereka datang dari berbagai penjuru, misalnya Khwaraizm, Nishapur, Tus, Samarqand, Kufah, dan Shiraz.[25] Di pusat keilmuan inilah mereka mendialogkan temuan-temuannya, sebagaimana Muhammad al-Khawarizmi yang mendialogkan temuan angka nolnya dengan ilmuwan lain di Baghdad. Yang perlu dicermati juga adalah bahwa dialog keilmuan tidak terbatas antar ilmuwan muslim saja, namun juga dengan ilmuwan non-muslim. Tidak mengherankan jika dilihat dari sanad keilmuan (intellectual genealogy) banyak guru ilmuwan muslim yang beragama Kristen, Yahudi bahkan Majusi.[26] Karena itu, belajar terhadap peradaban lain tidak boleh dipandang sebagai sesuatu yang ‘haram’ dilakukan, namun justru dianjurkan.[27] Tidak heran jika masyarakat pada era ini dijuluki sebagai masyarakat pembelajar (learning society), yakni hampir semua anggota masyarakat tergerak untuk terlibat dalam pengembangan ilmu.
Yang menarik untuk dicermati, sebagaimana pernah dikaji oleh sejarawan Barat maupun muslim, bahwa ilmu pengetahuan dan ilmuwan yang lahir pada periode keemasan itu bukan merupakan produk ‘lembaga pendidikan formal’ sebagaimana yang dikenal pada periode modern. Ilmu pengetahuan, baik yang tergolong ‘ilmu-ilmu agama’ maupun ilmu sains muncul sebagai hasil kajian intensif ilmuwan muslim secara individual atau paling tidak melalui dialog keilmuan yang diselenggarakan di rumah-rumah ilmuwan itu sendiri. Yang lebih menonjol adalah semangat individual studies. Justru ketika lembaga pendidikan formal muncul seperti madrasah, dinamika keilmuan Islam mulai redup seiring dengan saratnya muatan politik dalam pendirian sebuah lembaga pendidikan (bandingkan dengan realitas pendidikan modern dalam konteks politik pendidikan!). Madrasah lebih dijadikan sebagai media untuk melanggengkan kekuasaan, atau paling tidak memperkuat paham ortodoksi sebagaimana yang dianut oleh penguasa.[28] Karena itu, hampir dapat dipastikan bahwa kemajuan ilmu pengetahuan, khususnya sains bukan lahir dari lembaga pendidikan madrasah.[29]
Kemajuan sains yang dicapai oleh orang Islam tersebut pada dasarnya disebabkan oleh banyak faktor baik yang bersifat internal maupun eksternal. Pertama, adanya semangat normatif orang Islam yang terinspirasi dari ajaran al-Qur’an[30] dan al-Hadis[31] tentang konsep ilmu dan pengembangannya. Dalam dua rujukan pokok Islam tersebut banyak ditemukan ajaran yang berkaitan dengan konsep ilmu dan keutamaan menuntutnya. Menurut Nasr, ilmu pengetahuan dalam Islam bersifat hirarkhis dan terpadu yang puncaknya adalah Allah itu sendiri sebagai pemilik ilmu pengetahuan.[32] Semua ilmu diperlukan untuk lebih mengenal dan mendekatkan diri seorang muslim dengan-Nya. Kedua, adanya dukungan penuh dari khalifah dalam pengembangan ilmu pengetahuan meskipun harus diakui bahwa tidak semua khalifah concern terhadap persoalan ilmu pengetahuan. Dalam beberapa hal, khalifah bahkan tampil bukan sekedar sebagai fasilitator tetapi sebagai inisiator ilmu. Sebagai contoh, berdirinya lembaga Baitul Hikmah dengan berbagai kegiatan di dalamnya merupakan bukti kepedulian khalifah al-Makmun dalam memberikan mediasi kajian keilmuan.[33] Selain itu, banyaknya majelis al-mujadalah juga sebagai cermin besarnya perhatian penguasa Islam terhadap ilmu pengetahuan.[34]
Adanya sikap ilmiah yang terbuka, obyektif dan kritis dari ilmuwan muslim merupakan pendorong lain terjadinya kemajuan ilmu pengetahuan. Rahman menyebut hal ini sebagai pemikiran filosofis dari ilmuwan muslim.[35] Tanpa sikap tersebut, tidak ada kegiatan riset dan kajian tentang ilmu pengetahuan, sebab pendorong utama berkembangnya ilmu adalah adanya kegelisahan akademik (sense of curiosity) dalam diri ilmuwan dalam mencermati setiap persoalan.[36] Harus diakui bahwa berkembangnya teologi Mu’tazilah pada periode Abbasiyah mempunyai peran dalam perkembangan rasionalitas ini.[37] Dibandingkan dengan aliran teologi lain dalam Islam, aliran Mu’tazilah dikenal sebagai aliran teologi yang paling rasional. Aliran ini sangat mendukung perkembangan keilmuan dalam Islam, sebab gejala berpikir kritis di kalangan umat Islam terbukti semakin redup seiring dengan hilangnya aliran ini dalam dunia Islam.[38] Akhirnya, luasnya daerah kekuasaan Islam juga mempengaruhi berkembangnya ilmu pengetahuan. Pada periode Islam klasik, kekuasaan Islam terbentang dari wilayah Barat, yakni Andalusia, Afrika, sampai wilayah Timur, seperti Asia Tengah dan Timur Tengah.[39] Banyak wilayah tersebut yang mempunyai tradisi intelektual dan peradaban yang tinggi dan cukup tua, misalnya di Baghdad,[40] Ray, Damaskus, Isfahan, Kairo, Aleppo, Khairawan, Fez, Cordova, Alexandria, Edessa, Beirut, Jundishapur, Nisibis, Antioch, dan Harran.[41]

E. Menuju Pendidikan Islam Transformatif
Beberapa uraian di atas paling tidak dapat dijadikan sebagai bahan kajian selanjutnya bahwa pendidikan dalam Islam harus bersifat dinamis, ia merupakan upaya yang dilakukan secara sadar untuk melakukan perubahan pada diri individu dan merombak tatanan masyarakat yang menyimpang. Karena itu, gagasan untuk merubah pola pendidikan konvensional menuju bentuk baru yang transformatif harus dilakukan secara serius. Istilah pendidikan Islam konvensional (PIK) dipakai untuk menunjukkan pola dan praktek pendidikan yang berjalan secara monoton, top-down, guruisme, sentralistik, uniform, eksklusif, formalis, alienated dan indoktrinatif. Praktek pendidikan tersebut dianggap tidak mampu menjawab tantangan zaman dan terkesan menjadikan pendidikan Islam anti realitas. Bahkan, ada anggapan bahwa pola semacam inilah yang menjadikan dan membentuk perilaku masyarakat Islam eksklusif dan gagap terhadap perubahan dan perbedaan. Karena itu, pendidikan Islam transformatif (PIT), sebuah istilah tentatif sebagai counternarrative dari PIK, perlu dimunculkan sebagai pembanding dan teman dialog untuk ‘menghidupkan dan membumikan’ pendidikan Islam dalam konteks hereness dan nowness. Istilah transformasi itu sendiri seringkali dimunculkan oleh Lyotard ketika membahas wacana posmodernisme sebagai lawan dari modernisme. Posmodernisme merupakan kondisi budaya yang memunculkan banyak transformasi yang mengubah rule of the game dalam bidang sains, sastra, dan seni. Di bidang pendidikan, transformasi berupa perubahan aturan main dalam hal konsep, praktek, dan institusi pendidikan yang bertanggung jawab dalam mentransmisikan ilmu pengetahuan dan seni.[42] Dengan menggunakan kerangka semacam ini, bagaimana pola pendidikan Islam mampu melakukan transformasi dari praktek pendidikan yang telah ada menuju kondisi yang lebih baik, mulai dari aspek konseptualisasi hingga implementasi, seperti kelembagaan, kurikulum, strategi pembelajaran, dan penyediaan SDM.
PIT mengharuskan adanya perubahan cara pandang terhadap proses pendidikan dalam banyak faktor yang terkait dengan pendidikan, seperti orientasi, peserta didik, pendidikan, kurikulum, strategi, evaluasi, lingkungan, dan sumber belajar. Dalam hal tujuan, pendidikan harus diorientasikan untuk mencetak individu yang berkesadaran kenabian, yang mempunyai misi liberatif terhadap berbagai persoalan sosial. Pendidikan dianggap berhasil jika mampu mencetak individu yang kritis terhadap persoalan lingkungan dengan spiritualitas Islam. Untuk menghasilkan pribadi yang semacam itu, berbagai elemen pendidikan perlu ditinjau ulang. Kurikulum harus selalu dikaitkan dengan current issues di masyarakat sehingga dapat memberikan bekal pengetahuan dan pengalaman kepada peserta didik tentang problem riil tersebut. Strategi pembelajaran harus diorientasikan untuk menghargai dan mengoptimalkan setiap potensi yang dimiliki oleh peserta didik. Karena itu, evaluasi pendidikan harus lebih berpijak pada potensi kemanusiaan peserta didik, bukan uniform yang dipaksakan oleh pendidik. Dalam hal pengelolaan, pengelola lembaga pendidikan harus mampu menggerakkan dan mengaktifkan setiap potensi yang ada di sekitarnya untuk ikut memikirkan persoalan pendidikan. Akhirnya, pendidikan tidak harus dimaknai sebagai proses yang berlangsung di ruang kelas saja, namun juga terjadi di luar kelas. Karena itu, upaya mensinergikan antara unit keluarga, sekolah, dan masyarakat perlu dilakukan.

F. Agenda Aksi
Muhammad Iqbal, yang kemudian diamini oleh Fazlur Rahman, dalam The Reconstruction of Religious Thought in Islam mengatakan bahwa al-Qur’an lebih menekankan pada tindakan (deed) ketimbang kata (idea).[43] Sebaik apapun konsep jika tidak disertai dan dibarengi dengan upaya konkret hanya ibarat sampah saja. Meminjam statemen Musa Asy’arie, Bangsa Indonesia ini terpuruk dalam krisis berkepanjangan hanya karena terlalu banyak konsep yang bertumpuk-tumpuk tapi miskin implementasi. Karena itu, dialektika konteks teoritis dengan konteks realitas harus selalu dilakukan dalam upaya mengubah paradigma pendidikan Islam dari konvensional menuju transformatif. Upaya kodifikasi konteks realitas empirik ke dalam realitas teoritik mutlak diperlukan. Tanpa hal tersebut, pendidikan Islam hanya ibarat gundukan konsep yang tak bermakna, sebab kebermaknaan sesuatu sangat ditentukan dan tergantung pada eksistensinya bagi dunia empirik.
Berdasarkan pemikiran tersebut, banyak hal yang harus segera dicermati, dikritisi dan dicarikan solusinya bagi praktek pendidikan Islam, mulai dari dataran konseptual hingga praksis. Berikut ini adalah beberapa hal perlu menjadi perhatian:
1. Perlu melakukan pemaknaan kembali tentang hakikat peserta didik. Peserta didik tidak harus dimaknai atau identik dengan anak usia sekolah dengan usia kronologis tertentu, sebab hal ini tidak sesuai dengan pandangan Islam yang menempatkan setiap individu muslim sebagai manusia pembelajar, mulai dari ayunan hingga meninggal dunia. Dengan pengertian ini, life-long education justru ditekankan. Implikasi lain dari pengertian tersebut adalah pandangan Islam sangat relevan terhadap paradigma baru pendidikan yang menempatkan murid dan guru sebagai obyek dan subyek sekaligus. Hal ini mengimplikasikan bahwa keduanya sama-sama sebagai makhluk pembelajar (learner). Arti penting lain dari pemaknaan kembali peserta didik adalah bahwa fokus utama proses pendidikan adalah untuk dan demi kepentingan peserta didik itu sendiri. Karena itu, cara pandang secara holistik terhadap potensi dan sosok peserta didik mutlak diperlukan, sebab dari sinilah treatment pendidikan akan dilakukan. Pandangan tentang peserta didik akan menentukan bentuk kurikulum, evaluasi, dan metode pembelajaran. Karena itu, makna peserta didik harus didekati dari banyak perspektif.
2. Pemaknaan kembali tentang hakikat pendidikan yang digunakan sebagai upaya transformasi bagi peserta didik dan masyarakat, bahkan dunia.
3. Perlu melakukan pemaknaan kembali terhadap perspektif Islam dalam memandang manusia dan pendidikan seperti yang terkandung dalam nash dan historisitas Islam. Sosok ideal yang perlu dilihat adalah Nabi Muhammad sebagai pembebas.
4. Praktek pendidikan sangat terkait dengan ruang dan waktu. Karena itu, kajian secara kritis tentang konteks realitas tempat pendidikan tersebut dipraktekkan mutlak dilakukan, sebab proses pendidikan pada dasarnya merupakan upaya mempersiapkan peserta didik sesuai dengan kondisi masyarakat setempat. Karena itu, dalam perspektif Islam, akan banyak model pendidikan di dunia Islam karena adanya perbedaan kondisi lokal masyarakat, meskipun sama-sama dengan spiritualitas Islam. Praktek pendidikan akan mengalami kegagalan jika tidak ada kesadaran akan kondisi lokal, baik secara sosiologis, historis, maupun antropologis.
5. Berpijak pada pemahaman poin-poin tersebut di atas, maka peninjauan terhadap semua faktor yang ada dalam pendidikan dilakukan, baik dari segi tujuan, pendidik, kurikulum, strategi pembelajaran, evaluasi, sumber belajar, dan lingkungan. Dalam hal orientasi, pendidikan Islam harus diarahkan sebagai upaya optimalisasi potensi kemanusiaan yang bertolak dari spiritualitas Islam dan mempertimbangkan kondisi lokalitasnya. Pendidik harus ditempatkan sebagai manusia pembelajar yang sama kedudukannya dengan peserta didik, sehingga terjadi proses dialog yang sejajar, meskipun boleh jadi secara keilmuan banyak yang telah dikuasai oleh pendidik. Pendidik dalam Islam justru diharapkan dapat dijadikan sebagai model dalam berperilaku bagi siswa sehingga ia tidak sekedar mengemban fungsi penyampai ilmu, tapi juga nilai. Kurikulum yang dikembangkan harus tetap mengacu pada upaya pemberian pengalaman dan pengetahuan kepada peserta didik agar potensi kemanusiaannya optimal. Selain itu, kurikulum yang dikembangkan harus mempertimbangkan kondisi kontekstual tempat pendidikan berlangsung, sehingga materi yang diberikan tidak ahistoris, anti-realitas, dan teralienasi dari konteks. Strategi pembelajaran yang dipraktekkan pun juga harus melihat sosok peserta didik yang unik dengan berbagai potensi yang dimiliki sehingga penerapan sebuah strategi bergantung pada kondisi peserta didik dan lingkungan yang dihadapi. Sementara itu, evaluasi yang dilakukan harus mengacu pada upaya mengetahui sejauhmana praktek pendidikan telah memanusiakan peserta didik dan berhasil mengoptimalkan potensinya. Karena itu, upaya penciptaan lingkungan yang kondusif harus dilakukan. Hal ini harus ditempuh secara sinergis, baik antara pengelola lembaga pendidikan, keluarga, dan masyarakat. Yang jelas, dalam perumusan konsep pendidikan, pengelola pendidikan formal harus mendengar stakeholder pendidikannya.
Akhirnya, untuk menutup diskusi tentang pendidikan Islam transformatif ini di bawah dikemukakan di antara pesan Iqbal dalam syairnya:

Mengapa bertanya siapa aku dan dari mana?
Di laut ini aku ombak yang selalu mendebur
Menggerakkan diri dan karena itu aku hidup
Jika aku berhenti, akan berhenti pula menjadi[44]

Gelisah tak henti-henti adalah kehidupan bagi kami
Seperti ikan kami harus tetap bergerak
Dan menyinari pantai, sebab sejenak saja beriak
Lalu berhenti merupakan bahaya[45]

Pantai tak bergerak berkata, “Walau aku lama di sini
Aku belum mengenal pribadiku.”
Ombak yang selalu bergolak mendebur dan berkata,
“Bagiku beriak adalah menjadi, diam terbaring belum menjadi.”[46]

[1] Gagasan Mastuhu ini dapat dilihat dalam Mastuhu, “Pendidikan Islam di Indonesia Masih Berkutat pada Nalar Islami Klasik” dalam Tashfirul Afkar Jurnal Refleksi Pemikiran Keagamaan dan Kebudayaan, No. 11 Tahun 2001: 77-83.
[2] Keprihatinan terhadap praktek pendidikan, khususnya pendidikan agama, belakangan banyak disorot oleh berbagai kalangan karena dianggap tidak mampu memberikan nilai, etika, dan moral bagi peserta didik. Bahkan, pendidikan agama seringkali menjadi alat politik atau kepentingan kelompok tertentu. Untuk menyebut beberapa nama yang ­concern terhadap hal ini adalah Musa Asy'arie, Haidar Baqir, Frans Magnis Suseno, dan Azyumardi Azra.
[3] Di antara tulisan yang mencoba menitikberatkan pada pencarian format baru pendidikan Islam adalah artikel penulis dalam Jurnal Ta’dib dengan judul “Mencari Format Baru Pendidikan Islam dalam Masyarakat Plural”, Vol. IV No. 02, September 2001: 89-113 dan “Shifting Paradigm Pendidikan Islam dalam Masyarakat Plural” dalam M. Amin Abdullah dkk., Tafsir Baru Studi Islam dalam Era Multikultural (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga dan KLS, 2002), 345-374.
[4] Banyak alasan kenapa banyak orang memilih Jawa sebagai tempat tinggal atau tempat mengadu nasib. Harus diakui, hal ini pada dasarnya merupakan dampak kebijakan pemerintah Orde Baru yang sentralistis, di mana pemerintah pusat mengeruk sebanyak mungkin pendapatan asli daerah untuk kepentingan pusat (Jakarta), sementara return benefit bagi daerah sangat minim, untuk tidak mengatakan tidak ada. Konsekuensinya, peredaran uang terbesar berada di Jakarta, khususnya, dan Jawa, umumnya, yang notabene dekat dengan kekuasaan. Tidak heran jika banyak orang berbondong-bondong ke Jawa untuk mengadu nasib. Situasi ini tentu akan berubah seiring dengan adanya perubahan paradigma pengelolaan negara dari sentralisasi ke desentralisasi, yang antara lain ditandai oleh keluarnya UU tentang Otonomi Daerah.
[5] Rendahnya minat baca masyarakat Indonesia ini diperparah lagi dengan tingginya harga buku yang tidak terjangkau oleh kalangan masyarakat menengah ke bawah, seiring dengan terjadinya krisis ekonomi berkepanjangan.
[6] Sulitnya peserta didik di Indonesia untuk menggunakan penalaran ini antara lain dipengaruhi oleh sistem pembelajaran yang dilakukan di lembaga pendidikan, baik sekolah maupun madrasah, yang cenderung monoton, guruisme, text-book-centered, dan berkembangnya budaya "minta petunjuk" (Ingat perkataan menteri Orba: "Menurut Petunjuk Bapak Presiden".
[7] Dengan menggunakan perspektif Bloom dalam hal klasifikasi ranah, yakni kognitif, afektif, dan psiko-motorik, anak-anak di Indonesia hanya dibiasakan pada ranah pertama, sementara ranah kedua dan ketiga kurang ditekankan. Lebih jauh, dari ranah kognitif pun, anak-anak lebih dibiasakan pada level rendah, seperti mengetahui atau memahami, kurang ditekankan pada level analisa atau evaluasi.
[8] Bandingkan perbandingan jumlah tenaga kependidikan bergelar doktor dengan jumlah penduduk antara di Indonesia dengan negara lain, di mana hanya ada 65 orang per satu juta penduduk di Indonesia, sementara Amerika Serikat dan Jepang ada 6.000 orang per satu juta penduduk.
[9] Ada harapan besar, meskipun belum saepenuhnya dapat diharapkan, tentang akan adanya perubahan anggaran "besar-besaran" pasca diundangkannya UU Sisdiknas tahun 2003, di mana dalam salah satu pasalnya menyebutkan anggaran untuk pendidikan 20%. Hanya saja, agaknya cukup ironis jika hal ini dikaitkan dengan "swastanisasi" PTN yang menjadikan biaya pendidikan di PTN membengkak. Akibat dari kebijakan ini, antara lain, banyak calon pemimpin bangsa masa depan yang tidak dapat melanjutkan ke pendidikan tinggi hanya karena tidak mampu secara ekonomi.
[10] Fazlur Rahman, "The Qur'anic Solution of Pakistan's Educational Problems," dalam Islamic Studies 6, No. 4 (December 1967), 317.
[11] Ingat kritik yang dilontarkan oleh beberapa pemikir pendidikan kontemporer, seperti Neil Postman dengan The End of Education-nya, Ivan Ilich dengan Deschooling Society-nya, dan Paulo Freire dengan Paedagogy of the Oppressed-nya. Mereka mengkritik tajam tentang praktek pendidikan di sekolah yang justru tidak memanusiakan peserta didik, membelenggu, dan mematikan potensi.
[12] Gagasan Howard Gardner, yang kemudian didukung oleh para koleganya, seperti Thomas Armstrong, tentang multiple intelligence [kecerdasan majemuk] merupakan cermin adanya perubahan paradigma secara radikal tentang teori kecerdasan yang selama ini dipahami. Menurut Gardner, kecerdasan manusia tidak hanya tunggal, tapi banyak. Paling tidak dia mensinyalir adanya sembilan jenis kecerdasan, yakni kecerdasan linguistik, matematis-logis, spasial, musikal, kinestetis-jasmani, interpersonal, intrapersonal, natural, dan eksistensial. Hal ini menggugurkan teori IQ yang digagas oleh Alfred Binet. Lihat, antara lain dalam, Thomas Armstrong, Kecerdasan Majemuk, terj. Kaifa (Bandung: Kaifa, 2003).
[13] Lihat Muqowim, “Sistem Belajar Cepat dan Efektif” dalam Al-Jami’ah Journal of Islamic Studies, Vol. 40, No. 1, January-June 2002: 237-254.
[14] Terma ini sering digunakan untuk memaknai periode sejarah Arab pra-Islam. Sebenatnya, istilah tersebut tidak bisa dimaknai sebagai ‘zaman kebodohan’ atau ‘kebodohan’ yang dilawankan dengan kepandaian. Namun, ia lebih berarti sebagai masa dimana banyak praktek barbarian, perilaku buas, kesombongan suku, kultus/tradisi balas dendam perilaku pagan dilakukan oleh orang Arab. Lihat Duncan B. Macdonald, Development of Muslim Theology, Jurisprudence and Constitutional Theory, (New York: Charles Scribner’s Sons, 1903), 8; Ignaz Goldziher, Mohammedanische Studien, Halle: 1971, 223; dan Munir-ud-Din Ahmed, Muslim Education and the Scholars’ Social Status, (Zurich: Verlag ‘Der Islam’, 1965), 25.
[15] Dua misi besar kenabian ini antara lain dapat dilihat dalam Murtadha Muthahhari, Falsafah Kenabian (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1991), 29; lihat juga Muqowim, “Kenabian dalam al-Qur’an,” dalam Jurnal Dakwah, No. 3 Tahun II, Juli-Desember 2001: 113-129.
[16] Gambaran tentang figur Nabi yang membawa semangat pembebasan ini diulas secara agak panjang lebar oleh Engineer. Selanjutnya lihat, Asghar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan, terj. Agung Prihantoro, cet. II (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), 41-56.
[17] Iqbal, seorang penyair dan filosof asal Indo-Pakistan, membagi kesadaran menjadi dua, yakni kesadaran kenabian dan kesadaran mistik. Lebih jauh ia menggambarkan kedua kesadaran tersebut dalam salah satu syairnya, bahwa orang yang mempunyai kesadaran kenabian ditandai oleh keterlibatannya secara aktif dalam realitas alam semesta. Cakrawala berada dalam genggamannya. Sementara itu, orang yang mempunyai kesadaran mistik ditandai dengan larutnya ia dalam cakrawala, ia cenderung lari dan mengasingkan diri dari problem realitas untuk mengejar kesalehan individual.
[18] Sebuah kajian cukup mendalam dilakukan oleh Fazlur Rahman tentang dinamika intelektual Islam sejak periode Islam awal hingga kurun modern. Selanjutnya, lihat Rahman, Fazlur, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition, (Chicago: University of Chicago Press, 1982).
[19] Karya yang banyak mengungkap tradisi keilmuan Islam pada era ini antara lain A.S. Tritton, Materials on Muslim Education in the Middle Ages, (London: Luzac, 1957); C. Michael Stanton, Higher Learning in Islam: The Classical Ages A.D. 700-1300, (New York: Rowman & Littlefield Publishers, Inc., 1991); Ahmad Shalaby, History of Muslim Education, (Beirut: Dar al-Rashshaf, 1954); Rahman, Fazlur, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition, (Chicago: University of Chicago Press, 1982); George Makdisi, The Rise of Colleges: Institutions of Learning in Islam and the West, (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981); dan S.H. Nasr, Science and Civilization in Islam, (New York: New American Library, 1968).
[20] Lihat Philip K. Hitty, History of the Arabs, (London: Macmillan, 1974), 297-316.
[21] Di antara ayat al-Qur’an yang mendorong umat Islam untuk mencari ilmu adalah Q.S. al-‘Alaq (96): 1-5; Q.S. al-Mujadalah (58): 11; Q.S. al-Tawbah (9): 122; Q.S. al-Nahl (16): 43; Q.S. al-Zumar (39): 9; dan Q.S. Taha (20): 114.
[22] Banyak di antara matan Hadis yang menyebutkan tentang perlunya mempunyai dan mencari ilmu, misalnya “carilah ilmu walau sampai ke negeri China,” “menuntut ilmu diwajibkan bagi orang muslim laki-laki (dan perempuan), dan sebagainya.
[23] Ibrahim Madkour, “Al-Farabi,” dalam M.M. Sharif, A History of Muslim Philosophy, Vol. I (Delhi: Low Price Publications, 1961), 451.
[24] Ulasan secara panjang lebar tentang ilmuwan muslim ditulis oleh banyak pemikir Islam modern. Lihat karya M.M. Sharif (ed.), A History of Muslim Philosophy, Vol. I (Delhi: Low Price Publications, 1961) yang terdiri dari dua volume. Hal yang sama juga dilakukan oleh Seyyed Hossein Nasr (ed.), History of Islamic Philosophy (London & New York: Routledge, 1996) yang juga terdiri dari dua volume.
[25] Bulliet pernah melakukan kajian khusus tentang dinamika keilmuan di wilayah kekuasaan Islam, khususnya di daerah Nishapur. Lihat Bulliet, Richard W., The Patricians of Nishapur: A Study in Medieval Islamic Social History, (Cambridge, 1972).
[26] Hal ini tampak dari sinyalemen yang dikemukakan oleh Bernard Lewis, seorang ilmuwan Barat yang menekuni sejarah peradaban Islam. Lihat Bernard Lewis, The Jews of Islam (Princeton: Princeton University Press, 1987), 3-4; lebih jauh lihat Muqowim, ”Mencari Format Baru Pendidikan Islam dalam Masyarakat Plural,” dalam Jurnal Ta’dib, Vol. IV No. 02, September 2001: 89-113.
[27] Hal ini tampak dari upaya khalifah al-Makmun yang mempekerjakan tokoh-tokoh non-Islam untuk memimpin proyek penerjemahan dari tradisi keilmuan Yunani ke Islam (bahasa Arab). Tokoh Hunain bin Ishaq, Thabit bin Qurrah, dan Ishaq bin Hunain adalah di antara ilmuwan non-muslim yang terlibat sangat intens dalam program ini. Selanjutnya baca Philip K. Hitty, History, 297-316.
[28] Selanjutnya baca George Makdisi, The Rise of Colleges, 9-15; The Rise of Humanism (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1990); Azyumardi Azra, Pendidikan Islam, ix.
[29] Fazlur Rahman, Islam, khususnya “Bagian Pendidikan” terj. Ahsin Mohammad, (Bandung: Pustaka, 1994), 263-281.
[30] Untuk menyebut beberapa ayat yang berkaitan dengan ilmu adalah Q.S. al-Baqarah (2): 30-33; Q.S. al-‘Alaq (96): 1-5; dan Q.S. al-Mujadalah (58): 11.
[31] Dalam al-Hadis banyak ditemukan anjuran kepada umat Islam untuk menuntut ilmu, misalnya “Menuntut ilmu diwajibkan bagi orang Islam laki-laki [dan perempuan]”; Imam Jamaluddin Abdurrahman bin Abi Bakr al-Sayuti, al-Jami’ al-Saghir fi Ahadith al-Bashir al-Nadhir, (kairo: Dar al-Katib al-‘Arabi, 1967), 194; dan “Orang-orang yang menyembunyikan ilmu akan dilaknat oleh semua makhluk, termasuk ikan di laut dan burung di langit” Al-Saiyid Ahmad al-Hashimi Bek, Mukhtar al-Ahadith al-Nabawiyyah, (Qahirah: Matba’ al-Hijazi, 1948), 128..
[32] S.H. Nasr, Science and Civilization in Islam (Cambridge: Cambridge University Press, 1988), 21-40.
[33] Lihat Philip K. Hitty, History, 310.
[34] Maraknya kajian dan perdebatan ilmu ini dapat dilihat dari laporan yang dibuat oleh al-Baghdadi pada abad ke-11. Lihat Al-Khatib al-Baghdady, Tarikh Baghdad, 14 vol. (Mesir: Maktabah al-Khandji, 1931). Lihat juga Munir-ud-Din Ahmed, Muslim Education and the Scholars’ Social Status, (Zurich: Verlag ‘Der Islam’, 1965), 52-85.
[35] Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition, (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 157-158. Lihat juga M. Amin Abdullah, “Kajian Ilmu Kalam,” dalam Komaruddin Hidayat dan Hendro Prasetyo (ed.), Problem dan Prospek IAIN: Antologi Pendidikan Tinggi Islam (Jakarta: Ditbinperta, 2000), 223.
[36] Iqbal menyebut kegelisahan intelektual ini sebagai the principle of movement sebagai inti dinamika Islam. Prinsip tersebut sama dengan konsep ijtihad yang intinya optimalisasi fungsi akal untuk berpikir dan memecahkan persoalan dengan perspektif Islam secara maksimal. Lihat M. Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam, (Lahore: Sh. Muhammad Ashraf, 1965), khususnya pada Bab “The Principle of Movement.”.
[37] Muktazilah didirikan oleh Wasil bin Ato’ pada tahun. Harun al-Rasyid dan al-Makmun, yang pada periode ini ilmu pengetahuan mencapai masa keemasan, termasuk di antara pendukung aliran teologi Muktazilah. Lihat Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Beberapa Aspeknya, 40.
[38] Azyumardi Azra, Pendidikan Islam, xiii.
[39] Philip K. Hitty, History, 298.
[40] Sayang sekali, banyak peninggalan bersejarah di Baghdad belakangan hancur akibat perang antara Amerika dan sekutunya dengan Irak.
[41] Mehdi Nakosteen, Kontribusi Islam, 15. Lihat juga Mohammed Arkoun, Rethinking Islam, terj. Yudian W. Asmin dan Lathiful Khuluq, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), 126.
[42] Untuk selanjutnya, lihat tulisan Michael Peters dan Colin Lankshear, “Postmodern Counternarratives” dalam Henry Giroux, et al., Counternarratives Cultural Studies and Critical Pedagogies in Postmodern Spaces (New York & London: Routledge, 1996), 9.
[43] Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam, (New Delhi: Kitab Bhavan, 1981), v.
[44] Muhammad Iqbal, Payam-I-Mashriq (Pesan dari Timur), terj. Abdul Hadi WM (Bandung: Pustaka, 1985), 17.
[45] Ibid., 22.
[46] Ibid., 81.