Jumat, 18 Juli 2008

makna kemerdekaan

Refleksi Pendidikan dan kemerdekaan

ng ngarso sung tulodo - di depan memberi teladan
ing madyo mangun karso - di tengah membangun karya
tut wuri handayani - di belakang memberi dorongan

(Ki Hadjar Dewantara)


P
ada bulan Agustus ini banyak kejadian istimewa sebagai catatan sejarah bangsa Indonesia yang menjadi kenangan sepanjang masa. Kenangan tersebut ditulis diatas genangan darah, cucuran keringat dan hembusan napas terakhir para pahlawan bangsa. Perjuangan para pahlawan dalam menghantarkan bangsa Indonesia yang merdeka dan berdaulat menjadi kenyataan sehingga ditetapkannya 17 Agustus 1945 sebagai hari kemerdekaan bangsa Indonesia. 60 tahun lalu gema proklamasi kemerdekaan dikumandangkan oleh sang proklamator sekaligus pemimpin bangsa yaitu Presiden Soekarno bersama wakilnya Muhammad Hatta. Pembacaan proklamasi tersebut membahana keseluruh penjuru dunia sehingga Indonesia menjadi negara yang berdaulat. Oleh karena itu bangsa Indonesia dalam setiap momentum 17 Agustus senantiasa memperingati hari kemerdekaan tersebut sebagai ucapan syukur kepada Yang Maha Kuasa. Mudah-mudahan Peringatan 60 tahun kemerdekaan RI ditahun ini, mungkin layak untuk dijadikan sebagai titik tolak melihat masa depan bangsa.

Peringatan tersebut sebagai upaya melihat posisi yang akurat, dikilometer mana bangsa ini telah sampai sebagai bangsa yang merdeka yang mengetahui posisi strategis dari kemerdekaan yang dianugrahkan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa kepada bangsa ini.Terlepas dari persoalan yang menggurita, yang jelas angka 60 tahun kemerdekaan RI sangat relevan untuk dijadikan sebagai momentum evaluasi dalam mengkaji kembali spirit dan makna kakiki dari kemerdekaan itu sendiri. Perputaran jaman dalam kurun waktu 60 tahun kebelakang telah ikut memproses pergeseran-pergeseran nilai sosial dan budaya, pergeseran tersebut seharusnya di pahami sebagai langkah maju dalam bingkai memanusiakan manusia kearah yang lebih beradab. Kemerdekaan yang diperjuangkan oleh para kusumah bangsa merupakan akumulasi dari proses pematangan nilai perjuangan hak dan cita-cita selama tiga setengah abad, dan mencapai puncaknya pada tanggal 17 Agustus 1945.

Tujuan Indonesia merdeka, agar kita dapat memetik hikmah dan berkah dari perjuangan revolusi merebut kemerdekaan. Hikmahnya kita dapat sekolah dapat lebih terbuka menghayati nilai-nilai sosial dan kehidupan. Berkahnya kita dapat melangsungkan kehidupan. Dapat berbuat banyak dan mesti sanggup mendayagunakan sumber alam kita yang ada yang kita yakini kemurahan kemakmurannya sanggup memberikan penghidupan bagi kita semua. Maka tangan dan pikiran kita mesti bekerja, mesti dimerdekakan dari nafsu keserakahan semata. Kita selayaknya bersama-sama mewujudkan cita-cita meraih kesuksesan dan menangkal segala cara dan kelicikan tangan-tangan asing yang ingin menjajah dan merampas hak-hak kita. Jawaban untuk itu adalah pendidikan bagaimana kita membenahi dunia pendidikan kita yang tidak melulu mengedepankan logika komersial tetapi juga logika kultural.

Kemerdekaan yang Mendidik

Dua hal yang patut kita renungkan dalam konteks "mendownload" semangat kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945- 17 Agustus 2008. Dua hal itu secara semantis memunyai hubungan yang erat dan saling mengkonstruk satu sama lain yakni frasa "Pendidikan yang Memerdekakan" dan "Kemerdekaan yang Mendidik". Pendidikan yang memerdekakan dapat dimaknai seyogyanya memerdekakan manusia dari kebodohan dan ketertindasan budaya menuju taraf hidup yang mencerahkan secara berkeadilan sosial, sejahtera dan bersatu. Pendidikan yang memerdekakan harus diusahakan dan dijayakan.

Kemerdekaan yang Mendidik dapat dimaknai kemerdekaan yang turut mengkonstruksi karakter watak bangsa menuju kedewasaan. Mendidik seyogyanya adalah suatu proses yang secara kontinyu diusahakan dapat membuat bangsa ini cerdas, membentuk pribadi-pribadi yang dewasa dalam nyelesaikan permasalahan-permasalahan sosial dan global. Kemerdekaan yang mendidik dapat kita pahami mengandung spirit nasionalisme dalam memaknai usaha-usaha dan hasil-hasil kita menuju pencerahan sebagai bangsa yang berkeadilan dan sejahtera.

Maka tanah air tercinta ini sebagai nation-state harus terus dimerdekakan dari tangan-tangan penjajah asing dan penjajahan akibat keserakahan kita. Apa gunanya kita meyakini Indonesia ini sebagai bangsa kalau dalam langkah dan perbuatan dan ketika memerintah (menjadi penguasa) misalnya kita abaikan nasionalisme kita, kita biarkan misalnya budaya asing menghisap kebudayaan dan kemandirian kita.

Frasa "Kemerdekaan yang Mendidik" dapat membawa kita pada refleksi tanya: apa, bagaimana dan sejauh mana kemerdekaan telah mendidik kita sebagai bangsa. Bangsa ini di mana kita ada memaknai merdeka sejak 62 tahun lalu tepatnya 17 agustus 1945 dengan penandanya yaitu proklamasi. Apakah kita telah benar-benar menjadikan cita-cita kemerdekaan yang ditancapkan para pendiri bangsa ini telah kita wujudkan yakni hidup rukun, senyum bersatu dalam keanekaragaman budaya.

Apabila kita menengok aspek sosial, politik, ekonomi dan budaya, ternyata masih tergantung pada upaya asing yang memasang imperialismenya secara halus dengan IMF, WTO dll, maka seyogyanya kita menginsyafi dan menyadari bahwa kemerdekaan belum kita jadikan sebagai ruang untuk mendidik kita sebagai bangsa yang mandiri. Bukan berarti bangsa ini tidak boleh bergaul seama bangsa-bansga yang telah lama mengikrarkan eksistensi kemerdekaanya dalam berbagai ikatan asean misalnya tetapi seyogyanya fokus utama kita bagaimana mewujudkan daripada cita-cita kemerdekaan Indonesia itu yakni kita keluar dari berbagai belenggu penjajahan dan kebodohan.

Dalam konteks kemerdekaan RI perlu kiranya kita merenungkan hal itu bahwa bukan untuk menumbuhkan eksistensi sebagai bangsa yang iseng sunyi sendiri. Tapi marilah kita membaca fakta sosial keindonesiaan hari ini. Orang miskin masih berjuta-juta jumlahnya itu yang tercatat sebagai angka pada kenyataannya bisa melampaui perkiraan dan hasil survey mana pun. Pemerataan pembangunan dan akses pendidikan masih bertumpuk di pulau Jawa. Bagaimana dengan Irian Jaya yang belakangan kian kenceng spirit etno-nasionalimsenya untuk mepelaskan diri dari Indonesia. Disparitas dan disintegritas masih mengancam akibat ketidakadilan sosial, akibat kemerdekaan yang telah kita dapatkan tidak dijadikan ruang momentum untuk mewujudkan cita-cita sosial meraih kesejahteraan memberdayakan alam agrasis kita yang luas. Nampaknya pemerintah kita masih mengutamakan kekuasaan ketimbang kepemimpinan yang perspektif bagi kaum miskin dan masyarakat pedesaan.

Kemerdekaan belum mendidik kita sebagai bansga menjadi dewasa dalam pola pikir, martabat dan usaha-usaha sejahtera secara demokrasi nasional. Kemerdekaan hanya menjungkirkan kita untuk semakin tak berdaya, rendah diri di hadapan bangsa lain, krisis yang berkepanjangan yang sampai saat ini belum teratasi.

Kemerdekaan bangsa ini baru ditaburi janji-janji politik dan omong kosong penguasa di mana kebijakan-kebijakannya sekedar menguntungkan pemodal kapitalisme, belum berpihak pada kaum miskin dan buruh baik secara konsep apalagi pada prakteknya. Sebuah kenyataan, rezim Soeharto yang berkuasa 32 tahun lamanya telah membangun pemerintahan diktator di atas kesadaran dirinya sebagai seorang tiran, diktator yang sebatas menumpuk harta tujuh turunan sebagai biang terjadinya krisis bangsa ini. Soeharto telah memutarbalikkan kemerdekaan dan sebatas kamuplase politik hegemoni bahasa. Hanya menjadikan kekuasaan hipokrasi membangun imperium kolusi, korupsi dan nepotisme. Pembangunan dilaksanakan sebatas fisik tidak diarahlkan pada kebangunan karakternasionalitas di bidang pendidikan.

Pendidikan yang Memerdekakan

Secara resiprokal dan dialektik frasa pendidikan yang memerdekakan berhubungan dengan kemerdekaan yang mendidik dalam konteks ini adalah sebuah sinergi dua kekuatan, dua cita-cita yang dapat diarahkan untuk mengkonkretkan kita sebagai bangsa yang mandiri dan tidak bodoh. Untuk membangun bangsa yang kuat dan benar-benar merdeka diperlukan upaya-upaya pendidikan. Pendidikan adalah sebuah ruang proses di mana cita-cita itu dapat diwujudkan. Bagaimana misalnya komunitas Budi Oetomo, komunitas Tiga serangkai mengusung pendidikan sebagai pilar utama dalam meraih kemerdekaan atau membuka akses masyarakat untuk maju.

Maka serara hakiki, cita-cita pendidikan yang memerdekakan dapat disinergikan dengan tujuan kemerdekaan yang mendidik dalam memaknai dan menyalami hari-hari kita sebagai bangsa yang semestinya tak letih-letih berjuang demi keadilan dan kesejahteraan bersama.

Apa kabar pendidikan (di) indonesia? Sudahkah melepaskan rakyat dari jerat-jerat kebodohan dan kemiskinan? Bagaimana gagasan pendidikan kebangsaan kita? Apa kabar 20 %? Halo sertifikasi guru? Halo BHP!, Hallo BHMN, sudahkah berpihak pada kaum miskin sebagai "tangan" pendidikan yang sanggup melepaskan rakyat dari buta hurup dan buta motral serta kemudian mendapatkan akses untuk sejahtera.

Kita dapat merasakan bahwa faktanya membuktikan bahwa kita masih jauh dari pendidikan yang benar-benar memerdekakan bangsa ini dari jerat-jerat ketakutan dan kecemasan akan bagaimana di hari depan. Bangsa yang gemah ripah ini terasa sempoyongan dan terseok-seok.

Pada kenyataannya orang yang suka korupsi itu orang yang mengenyam pendidikan. Pada kenyatannya pejabat yang gila jabatan dan kekuasan itu orang terdidik bahkan paham aturan main pendidikan. Sementara jutaan mulut si miskin menganga penuh kehausan, menjadi buruh ripuh di ranah sendiri yang gemah ripah. Ironi dan ketakutan membayangi dunia pendidikan kita.

Mari kita mengkonkretkan daripada tujuan membangun bangsa ini lewat pendidikan yang memadai. Kita perlu berkaca pada semangat perjuangan para pahlawan pendidikan seperti pada Ki Kadjar Dewantara. Pendidikan yang memerdekakan seyogyanya adalah pendidikan yang ditujukan ke arah kemandirian dan keyakinan dalam mengelola sumber daya manusia Indonesia yang unggul dan bermoral.

Renungan

Kata merdeka hanya menjadi slogan, yang jauh dari makna kemerdekaan sejati. Boleh jadi karena kita memang belum merasa merdeka, masih menjadi kuli dan terjajah di negeri sendiri, dijajah saudara sebangsa dan setanah air kita sendiri.

Memaknai kemerdekaan harus lebih kritis, bukan untuk menggugat dan menggerogoti rasa nasionalisme masyarakat, tetapi harus memberikan pemaknaan secara benar. Menyemarakkan kemerdekaan dengan berbagai assesoris meskipun penting, tetapi kalau sudah memberatkan masyarakat, maka pada akhirnya juga melahirkan makna kemerdekaan secara kontraproduktif.

Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, sesungguhnya hanya merupakan pintu awal menuju tercapainya tujuan yang sesungguhnya. Pemerintah harus paham soal tersebut, agar bisa berbuat yang terbaik untuk memberikan kemerdekaan yang sejati kepada masyarakatnya yang masih banyak hidup yang jauh dari kehidupan orang merdeka pada umumnya.