Senin, 02 Juni 2008

Persoalan Lupa

Saya dulu sering kali mendengar Pak Kyai memberi ceramah soal kelemahan manusia. Kata beliau manusia itu tempat salah dan lupa, kalau tidak pernah salah dan lupa namanya bukan manusia, bisa jadi “Malaikat” ujar Beliau. Saya tak menyangsikan perkataan beliau, karena perkataan Beliau disandarkan pada perkataan dan sabda Manusia Agung Muhammad Rosululloh SAW. Tapi bagi saya, bolehlah manusia lupa sekali-dua kali, tapi kalau tiap hari lupa terus itu juga bukan manusia namanya. Saya juga amat tidak suka tiap kesalahan dan lupa dijadikan apologi pembenaran atas kelemahan dasar manusia.

Saya sebenarnya termasuk orang yang sering lupa dalam hal-hal yang sepertinya sepele. Banyak hal dalam kehidupan saya sering terjadi “Penyakit Lupa”. Baru kemaren terjadi, waktu saya lupa memakai seragam dinas sekolah. Anehnya, ketika ingat sudah dalam perjalanan menuju sekolah dan waktu sudah menunjukkan jam 06.42 menit. Dengan setengah terengah-engah akhirnya saya harus balik kos ganti baju sesuai dengan jadwal pemakaian. Untung saja kos saya tak jauh dari sekolah. Dan hampir saja saya telat berangkat kantor.

Baru hari kemarin saya juga lupa soal Flash Disk. Saya sebenarnya masih ingat betul waktu mau pulang dari LPP untuk mengambil Flash Disk. Anehnya, waktu sampai kos saya lupa apa yang mau saya ambil. Akhirnya saya harus balik lagi ke LPP untuk mengingat kembali apa yang mau saya ambil. Untung saja LPP juga tak jauh dari kos saya. Andai jauh, maka banyak waktu yang terbuang akibat penyakit lupa.

Yang sering sekali saya lupa adalah ketika mau berangkat ke sekolah, satu yang sering terlupa adalah soal “peluit” . Pada hal kelihatannya sepele,tapi itu sangat penting dan tidak boleh terlupa ketika pelajaran olah raga. Entah berapa banyak hal lagi yang sering saya lupa.

Lebih sensasi lagi, waktu saya hampir saja lupa nonton konser “Menembus Batas” yang di gagas oleh Ary Ginanjar (penulis buku Spiritual Question) dan Dwiki Darmawan Orkersta bersama musisi Opick, Melly Goslow, Amanda, Snada, Aming Katamsi, Raihan, Sam Bimbo dll. Tak juga ketinggalan pengamat Ekonomi Anggito Abimanyu turut pula menampilkan kemampuannya dalam meniup flute seorang diri membawakan tembang lawas “Damai Bersama-Mu”. Yang lebih berkesan lagi, salah satu penggagas Konser ini Ary Ginanjar selama 10 menit menjelang bubar, dengan suara lirih melafalkan kalimat-kalimat yang mengetuk relung hati. Ini sungguh luar biasa. Saya sebenarnya sudah tak ingat sama sekali kalau konser dilaksanakan malam ini, tetapi saya ingat waktu ada suara televisi milik tetangga yang kebetulan lagi diputar, pas dengan waktu saya lupa. Andai saja saya lupa, rasanya saya akan menyesal seumur hidup. Hahaha………..!

Marilah kita berdoa untuk dilindungi dari penyakit super lupa. Tidak ada yang keliru dari seseorang yang terlupa, maka mari kita percaya bahwa kepada lupa pasti tidak dibebankan dosa. Tapi berdosa atau tidak, lupa adalah penyakit berbahaya karena resiko yang ditimbulkannya. Ada begitu banyak persoalan hidup yang menjadi begitu buruk keadaannya karena persoalan lupa.

Seorang yang lupa membawa kunci mobilnya tetapi sudah keburu mengunci pintunya, sering mengalami soal-soal dramatis yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Seluruh acara penting seharian bisa rusak berantakan. Rencana pertemuan bisnis, makan siang dengan keluarga, atau pergi tamasya bersama keluarga, bisa cuma digantikan dengan sekedar muter-muter mencari tukang kunci.

Seseorang yang ke kantor, suami-istri yang sama-sama bekerja, amat sering menderita jenis lupa ini. Ia pergi dengan sambil masih meninggalkan api. Di rumah kompor belum dimatikan. Ada pasangan yang sama-sama pelupanya, sehingga tabiatnya sering dihafali tetangganya. Jika ia berangkat terburu-buru dan kembali lagi dengan buru-buru, itulah tanda-tanda kompornya masih menyala.

Tapi berangkat untuk kembali lagi untuk mematikan kompor yang belum mati. Ini adalah Cuma salah satu skenario dari kita yang sering punya penyakit pelupa. Skenario kedua bisa berupa cukup hanya dengan telepon tetangga. Maka ada seorang tetangga , yang jika telpnya berdering di jam-jam berangkat kerja. Si pengangkat telpon pasti sudah menduga.”Ini pasti soal kompor lagi!” katanya. Kadang ia mengangkat telponya sampil geli, kadang tulus, kadang mrengut, tetapi akhirnya jengkel juga jika kasusnya berulang-ulang terus.

Ada pula skenario ketiga yakni datang dari keluarga pelupa, tetapi punya perasaan peka yang luar biasa. Meskipun kompornya masih menyala dan ia sudah sampai ketempat kerja, ia tetap teguh ingin pulang walau sudah tak memungkinkan lagi. Untuk menelpon tetangganya hatinya tak tega, takut merepotkan. Pilihan sikap semacam ini berbuntut dua scenario; pertama kompor itu akan mati sendiri karena kehabisan gas, kedua, sebelum gas itu habis, rumahnya yang keburu habis duluan.

Itulah bahaya lupa. Lupa untuk soal-soal yang tampaknya remeh, tetapi betapa dramatik akibatnya. Saya punya cerita yang agak lucu soal lupa. Ada seorang temen yang kelupaan menutup restlingnya. Ia seorang aktifis pergerakan mahasiswa. Namanya cukup dikenal banyak kalangan mahasiswa, apalagi dikalangan aktifis kiri (merah) karena ia sering menjadi koordinator lapangan (korlap) untuk aksi-aksi mahasiswa kala itu. Ia datang dari jurusan yang keliru, sepi dan sendiri dan berjalan menuju pusat gerombolan. Ia seperti jagoan yang melangkah tenang ke sekumpulan Gangster yang meskipun jumlahnya banyak, tapi hanya akan ketakutan kepadanya. Padahal ditempat itu Cuma saya yang dikenalnya. Ia tak mengenal orang-orang disekitar, termasuk para mahasisiwi yang sudah mulai menahan tawa. Beban berat dipundak saya, karena martabat sahabat saya ini tergantung pada apa yang saya putuskan. Jika saya mengingatkan kelalaiannya langsung disaat itu juga, ia pasti akan bunuh diri karena malu tak terkira. Hahaha…….! Tapi jika saya diamkan saja, saya akan menjadi orang terjahat di dunia baginya yang membiarkan aib saudaranya.

Saya dilanda konflik yang hebat. Sebuah konflik yang saya redam hingga kini. Saya tetap mengajak rekan ini berbincang-bincang seolah tak ada apa-apa. Berbincang-bincang soal idiologi-idiologi besar, Teori Perubahan Sosial, konsep Negara, yang menyangkut soal politik dan nasib bangsa. Padahal saya sebenarnya tidak begitu faham benar apa yang saya perbincangkan dengan kawan saya tadi. Saya sengaja bicara tentang politik dan konsep serta persoalan kebangsaan bukan karena saya pinter.Tetapi tak ada jalan lain yang saya bisa perbuat saat itu. Sok sekali perbincangan kami ini (batinku dalam hati). Padahal tak ada apa-apanya sebenarnya. Pun bukan karena kami benar-benar ingin hendak mengurus Negara ini, melainkan agar gerobolan di sekitar kami muak lalu membubarkan diri. Benar saja perkiraanku, orang-orang sekitar mulai muak dan meninggalkan kami berdua.

Hari itu menjadi hari yang paling melelahkan dalam hidup saya demi membuat ketentraman sesama. Seseorang yang harus dibiarkan untuk tidak menyadari, kalau perlu sampai ajal menjemputnya, betapa ia telah menjadi sumber ketawaan diam-diam tanpa ia sadari.”Rasanya memang ada jenis kenyataan, yang tak perlu di beberkan, demi sebuah ketentraman.!” Bagaimana dengan persoalan lupa terhadap pilihan hidup ?” tak usah khawatir gus !hahaha……” ujarku pada temen.

Ini baru persoalan baju, peluit, Flas disk, kompor dan restling yang boleh di bilang persoalan sepele dalam hidup. Nah, Bagaimana kalau hal-hal yang menyangkut persoalan besar dalam hidup. Hal yang menyangkut “Lupa” atas janji sakral untuk “Janji Prasetianing ati !” Banyak kalangan selebritis kita yang sering lupa akan hal ini. Begitu mudahnya mereka saling tuduh dan saling serang terhadap patner hidup untuk mencari seribu macam dalih pembenaran untuk lupa atas janji itu. Masihkan kita akan memafhumi lupa dan menganggap hal yang biasa? Masihkah paradigma kita masih berkutat dan menganggap manusia sebagai tempatnya salah dan lupa sebagai dalih untuk justifikasi pembenaran atas lupa kita? Wallohu a’lam Bisshowaf (Ar-rombangi)

Pojok LPP

Purwokerto,01 September 2006,23.04 WIB

“PERADABAN NAFSU”

Saya teringat kuliahnya pak Toyyibi (dosen UMS,kebetulan dosen saya) yang saat itu bercerita tentang Maju Mundurnya Peradaban. Beliau bercerita tentang Sejumlah mahluk “berkulit putih, berkaki empat, berekor dan bertanduk” sedang naik, atau lebih tepatnya “dinaikkan”, keatas sebuah truk. Agar tidak “Rewel”, mahluk tersebut disuruh berbaris dengan posisi membelakangi sopir. Ketika truk itu berjalan, tau lebih tepat “dijalankan”, mundur,maka mahluk-mahluk yang dinamakan “SAPI” itu mengira bahwa mereka bergerak maju. Namun, ketika sopir menggerakkan truk kedepan, atau tepatnya disebut maju, si sapi menyebutknya mundur.

Pengertian maju atau mundur tidak ditentukan oleh arah sebuah gerakan.Gerak maju sebagian besar sekerup yang bersifat “Clockwise” dianggap identik dengan perputaran kekanan, tetapi sekerup yang bersifat “Counter-Clock wise” perputaran ke kanan justru menghasilkan gerak mundur. Sama halnya dengan gerak maju atau mundur, pengertian perputaran kekanan atau kekiri sebuah sekerup tidak ditentukan oleh gerak berputar itu sendiri, melainkan ditentukan oleh letak kepala sekerup sebagai titik pijak untuk memutarnya. Dengan demikian, konsep kanan-kiri dan maju mundur pada hakekatnya terletak pada titik pandang subjek dan parameter yang di gunakan untuk mendefinisikannya.

Secara historis pengertian sayap kanan dan sayap kiri dalam politik ditentukan tentukan tempat duduk pimpinan sidang, dan parameter yang digunakan adalah dukungan atau tentangn terhadap otoritas raja. Anggota sidang yang paling kuat mendukung raja menduduki tempat atau kursi paling kanan dari arah pemimpin sidang, sedangkan anggota parlemen yang paling keras menentang raja menempati posisi paling kiri dari arah pemimpin sidang. Begitu pula, definisi kemajuan kemajuan dan kemunduran dalam sejarah hidup manusia ditentukan oleh paradigma yang di gunakan sebagai titik pandang beserta seperangkat parameter yang in-heren di dalam paradigma tersebut. Puisi karangan sastrawan Inggris awal abad kedua puluh yang digunakan sebagai epigrap tulisan ini menggoda kita untuk secara lebih kontemplatis meninjau kembali makna konsep kemajuan ( Progress) tersebut. Yang di maksud kemajuan oleh Peter Meinke dalam puisi ini adalah gerak perjalanan sejarah manusia beserta seluruh puncak-puncak pencapaiannya. Konsep tersebut meliputi cara pandang manusia terhadap eksistensi dan peran yang dimainkan di dunia, kebudayaan yang di bangun berdasarkan pandangan dunia tersebut, serta peradaban yang di hasilkannya.

Peradaban modern, menurut Meinke, merupakan puncak pencapaian dari sebuah kebudayaan yang di bangun atas dasar kredo “Libido ergo Sum”, sebuah persekutuan antara rasinalisme Rene Descartes dan Psikoanalisis Freud. Bila kredo Rene Descartes “Cogito Ergo Sum” ( Saya berpikir, maka saya ada ) melihat hakekat manusia terletak pada pikirannya, dan freud memandang bahwa seluruh aktifitas manusia itu digerakan oleh libido, maka kredo “libido Ergo Sum” berarti bahwa hakekat manusia terletak pada nafsunya. Dengan demikian, menurut Meinke peradaban modern adalah peradaban yang dilahirkan oleh paradigma nafsu, atau dapat di sebut “Peradaban Nafsu”, sebuah peradaban maskulin yang rasional, serakah, agresif, eksploitatif, sekuler, tersepih ( Fragmented ), dan tak berperasaan.

Tentu saja Meinke menggunakan istilah kemajuan untuk merujuk peradaban nafsu sebagai ungkapan ironi, seperti tercermin pula dalam parody “Libido ergo Sum” atas rasionalisme dan Psikoanalisis. Maksud meinke yang sesungguhnya adalah bahwa peradaban nafsu merupakan sebuah kemunduran sejarah manusia dalam pengertiannya yang utuh. Kemunduran itu disebabkan oleh pengingkaran manusia atas nuraninya, yaitu sebuah wilayah intuitif yang merupakan bagian integral dari keutuhan jati diri manusia.

Yang menjadi persoalan adalah bahwa usaha-usaha yang dilakukan oleh sebagian orang untuk memasukkan unsur-unsur baru dalam pertimbangan pembuatan keputusan strategis telah mendapatkan tantangan dari pihak-pihak yang fanatik terhadap perspektif itu. Di antara jegalan terawal adalah dalam pengembangan ilmu dengan jurus “Academic Left”,sebuah predikat yang digunakan untuk menohok kehadiran otoritas lain di luar otoritas keilmuan positifistik. Oleh karena itu, pemikiran membangun sebuah “peradaban Transendental” pada hakekatnya adalah membunyikan genderang perang melawan otoritas tersebut.

Relatifis Moral

Resech Kala, mantan Marxis dan Filosof dan imigran Polandia di AS yang pernah menulis tentang “Nihilisme Kognitif”, kesimpulan semacam ini bukanlah kesimpulan yang datang tiba-tiba. Ia adalah ujung dari sebuah “Perjalanan Intelektual “ yang sangat panjang. Pun “Nihilisme Kgnitif” yang pernah diramalkan oleh Frederick Neitzhe pada abad yang lalu, akan menjadi gelombang yang besar abad ini memang tak sepenuhnya menjadi kenyataan, tetapi semakin terasanya pengaruh Relatifisme Moral dalam kehidupan peradaban Modern tidak dapat di sangkal lagi.

Relatifisme Moral adalah permulaan dari proses Nihilisme itu kekuatan penentangnya yang telah lahir dari rahim abad yang sama, kekuatan penentang itu berupa arus yang mulai kuat agar orang mulai kembali berunding dengan Tuhan dalam memecahkan persoalan-persoalan kemanusiaan yang semakin lama semakin rumit dan melelahkan.

Tampaknya sudah semakin disadari bahwa manusia sebagai pemain pada Teater kehidupan ini memang tak mungkin dan tidak masuk akal bila mengikuti paradigma Anti Tuhan. Mulai rontoknya Komunisme-Marxisme di akhir tahun 1965 mungkin dapat dijadikan indikator bahwa sebuah idiologi, pandangan hidup dan peradaban yang bermula anti Tuhan pasti bermuara pada sikap anti manusia.

Micheil Gorbachev, sekalipun belum berterus terang, tampaknya sudah ingin berunding dengan Tuhan setelah Komunisme-Marxisme mengalami “Proses Pembusukan” dari dalam. Maurice Clovel ( Filusuf prancis ), pernah mengatakan “Tuhan telah menjadi Ide besar yang tertindas dalam kultur peradaban Modern dengan segala dampaknya yang Destruktif dalam perjalanan moral manusia”

Nihilisme adalah corak ekstrem dari corak penindasan iru. Untunglah manusia akhirnya sadar akan juga salah langkah fatal yang di perbuatnya selama ini dalam membangun “Peradaban Destruktif”. Dan akhirnya dari itu semua bertujuan agar kita semua membuka mata dan telinga dalam mencermati perkembangan perjalanan sebuah peradaban demi kepentingan wawasan Ke-Indonesiaan dan Ke-Islaman. (Ar-rombangi)

Pojok LPP

Desember 2006

“”Lemari Kehidupan””

“Hidup ini untuk masa depan,bukan untuk masa lalu

Meskipun masa depan tinggal tiga hari

Tetapi lebih berharga dari pada masa lalu yang tiga puluh tahun

Hidup memang penuh dengan kenangan, baik kenangan indah nan manis, pun dengan kenangan yang pahit dan menyesakkan dada. Dan Suatu saat akan menyejarah seiring dengan perputaran roda sang waktu yang terus bergulir tanpa kenal kompromi. Kenangan memang bagian sejarah hidup kita. Orang kadang susah melupakan semua kenangan yang dilalui. Saya yakin bahwa kita pun akan sangat sukar melupakan kenangan, karena itu merupakan bagian dari sejarah hidup kita. Tapi kita pun harus realistis menatap hidup karena bagaimanapun hidup akan terus berlanjut. Kita pun tidak boleh terbuai oleh aroma sejarah hidup kita yang mengharukan maupun yang menyesakkan dada. Cukup kita jadikan referensi kita untuk melangkah menatap jalan yang terbentang panjang nan maha luas untuk kita taklukkan. Ya, misteri hidup yang eksotis-lah yang harus kita singkap, karena kita tak kan pernah tahu apa yang terjadi esok dan dengan siapa kita kan hidup .Yang jelas inilah misteri hidup yang harus kita taklukkan.

Cobalah sesekali kita luangkan waktu untuk menata lemari pakaian kita atau kamar kitalah. Lalu bertanyalah,”apa semua pakaian ini masih layak pakai atau tidak?” atau pun “apakah semua barang-barang yang ada di kamar masih layak pakai atau tidak?”. Sampai kini saya masih dan selalu kesulitan menata atau hanya sekedar beres-beres. Selalu saja ada alasan-alasan untuk menunda, membongkar, membuang pakaian usang, membuang barang yang sudah tak layak pakai kemudian menata ulang agar lebih rapi. Padahal, saya tahu ada banyak barang rongsokan disana. Jangankan dipakai, dilihat pun rasanya tak sedap.

“Sayang ah…..Baju ini pernah ikut menaklukkan dan menghantarkan saya ke Merbabu dan lawu”! “Sayang ah……barang-barang ini penuh kenangan hidup dan amat sayang bila saya buang begitu saja!” Begitu gumamku saat melihat baju dan bunga Edelwis serta barang-barang lainnya yang masih berserakan di kamar. ”Ini adalah spesial” ketika melihat jam beker yang sudah bodol yang dibelikan oleh seorang temen tiga tahun lalu sebagai oleh-oleh waktu beliau liburan ke Bandung. Yang menggelikan lagi, jam beker ini pernah saya Banting waktu pertemananku berantakan…..”hahaha…………!Lucu memang kalau ku ingat semua memori dulu.

Ya, itu baru soal baju dan barang-barang yang penuh kenangan. Bagaimana jika menyangkut orang-orang tercinta? Perkara besar dalam hidup kita? Saya pun teringat Juergen Klinsmen, bagaimana dia menjawab semua Tanya rakyat Jerman waktu di tunjuk mengarsiteki Tim Panser. Ketika dia dipaksa untuk membongkar lemari hidupnya untuk mengambil sebuah keputusan besar dalam hidupnya. Di lemari itu terpajang perjuangannya meyakinkkan seluruh rakyat Jerman tentang perlunya Revolusi Tim Panser. Belajar pula kenangan dua tahun sendirian menghadapi semua makian, cercaan, kritik, pelecehan bahkan kala itu Parlemen Jerman hendak mengadilinya didepan forum rakyat atas prinsip dan kerja kerasnya.

Al hasil, keadaan berbalik 180 derajat mana kala Klinse-sebutan untuk Klinsmen- mampu merevolusi Tim Panser melaju dan menjadi juara ketiga di turnamen paling bergengsi di seantereo jagad ini. Mesti hanya mengantarkan Jerman dudk diperingkat tiga, tim besutannya sudah dianggap telah memenangi kampium supremasi tertinggi sepak bola. Di lemari itu tersimpan harapan 93 % rakyat Jerman, permohonan tertinggi dari petinggi sepak bola dan tokoh politik Jerman yang memintanya untuk bertahan. Apa jawaban Klinsmen, meski dengan raut wajah berat menahan tumpuan air mata “Dua tahun melatih sambutan luar biasa sebulan terakhir ini membuat saya kehabisan tenaga. Saya seperti terbakar. Saya merasa tak mampu lagi meneruskan pekerjaan ini. Saya memutuskan untuk mengundurkan diri untuk menjdi orang biasa bersama keluarga saya”.Ya, akhirnya dia berani membuang semua barang usang. Mengambil, mengepak, melepas semua kelekatan yang memabukkan itu. Dia pun tak segan membuang hal indah yang ada dalam genggamannya, melupakan masa-masa pahit dalam proses menuju itu untuk membuat langkah baru. Panggilan hidup yang dianggap harus dilakukan, tanpa terbebani masa lalu, hari ini, dan hari esok.

Mengambil hal itu rasanya tak ada yang harus disesali bila harus ku ambil,ku kepaki, ku lepas dan kubuang semua masa lalu yang memabukkan itu untuk melangkah menatap hidup dan membuka lembaran baru. Hanya, saya (kadang) merasa lebih nyaman bila semua itu tetap ada dalam lemari hidup saya. Saya kerap lebih nyaman dengan ilusi bahwa segala sesuatu tetap ada menjadi milik kita. Saya sebenarnya mafhum itu hanyalah usaha menipu diri sendiri.

Padahal, sesungguhnya semua itu toh hanya memori yang tak terlalu penting untuk diingat. Kenangan yang cukup hanya diingat dalam memori lemari hidup. Kadang justru menghambat dalam mengambil pilihan-pilihan baru dalam hidup. Saya sebenarnya sadar akan semua itu. Tapi, selalu saja kita tergoda untuk memenuhi dan menjejali lemari kehidupan kita dengan hal-hal yang tak perlu. Akhirnya saya harus sadar diri dan sesadar-sadarnya bahwa itu semua merupakan ilusi dan fatamorgana hidup sesaat yang kadang hanya akan menipu diri kita saja. Cukup kita tutup dan kita kunci lemari itu,biarlah menjadi bagian sejarah hidup. Lemari kehidupan kita harus kita isi dengan lembaran baru yang lebih bermakna. Banyak ruang lemari hati kita yang kosong dan harus kita isi. Walau mungkin satu ruang telah terisi dengan memori buram dalam kelamnya masa lalu hidup. Tapi bukankah ruang lain mungkin lebih indah? Suatu saat kita akan buktikan! Seorang kstria sejati harus berani membuang masa lalu, bukankah masa lalu hanya untuk dikenang saja sewaktu kita butuh itu. Sosok ksatria sejati harus berani membuat dan mengambil pilihan-pilihan independent dalam hidup tanpa harus dipaksa, terpaksa dan terbebani masa lalu. Bukankah itu lebih terhormat ! (kata seorang kawan). Jangan sampai masa lalumu yang buram itu membunuh masa depanmu . Ayolah kawan tersenyumlah karena masa depanmu masih panjang dan indah! (gumamnya seraya senyum)

Ar-rombangi

Purwokerto, 10 agustus 2006,22.35 WIB

“’Saat Menunggu dan Menyongsong sang fajar hidup”