Senin, 02 Juni 2008

“PERADABAN NAFSU”

Saya teringat kuliahnya pak Toyyibi (dosen UMS,kebetulan dosen saya) yang saat itu bercerita tentang Maju Mundurnya Peradaban. Beliau bercerita tentang Sejumlah mahluk “berkulit putih, berkaki empat, berekor dan bertanduk” sedang naik, atau lebih tepatnya “dinaikkan”, keatas sebuah truk. Agar tidak “Rewel”, mahluk tersebut disuruh berbaris dengan posisi membelakangi sopir. Ketika truk itu berjalan, tau lebih tepat “dijalankan”, mundur,maka mahluk-mahluk yang dinamakan “SAPI” itu mengira bahwa mereka bergerak maju. Namun, ketika sopir menggerakkan truk kedepan, atau tepatnya disebut maju, si sapi menyebutknya mundur.

Pengertian maju atau mundur tidak ditentukan oleh arah sebuah gerakan.Gerak maju sebagian besar sekerup yang bersifat “Clockwise” dianggap identik dengan perputaran kekanan, tetapi sekerup yang bersifat “Counter-Clock wise” perputaran ke kanan justru menghasilkan gerak mundur. Sama halnya dengan gerak maju atau mundur, pengertian perputaran kekanan atau kekiri sebuah sekerup tidak ditentukan oleh gerak berputar itu sendiri, melainkan ditentukan oleh letak kepala sekerup sebagai titik pijak untuk memutarnya. Dengan demikian, konsep kanan-kiri dan maju mundur pada hakekatnya terletak pada titik pandang subjek dan parameter yang di gunakan untuk mendefinisikannya.

Secara historis pengertian sayap kanan dan sayap kiri dalam politik ditentukan tentukan tempat duduk pimpinan sidang, dan parameter yang digunakan adalah dukungan atau tentangn terhadap otoritas raja. Anggota sidang yang paling kuat mendukung raja menduduki tempat atau kursi paling kanan dari arah pemimpin sidang, sedangkan anggota parlemen yang paling keras menentang raja menempati posisi paling kiri dari arah pemimpin sidang. Begitu pula, definisi kemajuan kemajuan dan kemunduran dalam sejarah hidup manusia ditentukan oleh paradigma yang di gunakan sebagai titik pandang beserta seperangkat parameter yang in-heren di dalam paradigma tersebut. Puisi karangan sastrawan Inggris awal abad kedua puluh yang digunakan sebagai epigrap tulisan ini menggoda kita untuk secara lebih kontemplatis meninjau kembali makna konsep kemajuan ( Progress) tersebut. Yang di maksud kemajuan oleh Peter Meinke dalam puisi ini adalah gerak perjalanan sejarah manusia beserta seluruh puncak-puncak pencapaiannya. Konsep tersebut meliputi cara pandang manusia terhadap eksistensi dan peran yang dimainkan di dunia, kebudayaan yang di bangun berdasarkan pandangan dunia tersebut, serta peradaban yang di hasilkannya.

Peradaban modern, menurut Meinke, merupakan puncak pencapaian dari sebuah kebudayaan yang di bangun atas dasar kredo “Libido ergo Sum”, sebuah persekutuan antara rasinalisme Rene Descartes dan Psikoanalisis Freud. Bila kredo Rene Descartes “Cogito Ergo Sum” ( Saya berpikir, maka saya ada ) melihat hakekat manusia terletak pada pikirannya, dan freud memandang bahwa seluruh aktifitas manusia itu digerakan oleh libido, maka kredo “libido Ergo Sum” berarti bahwa hakekat manusia terletak pada nafsunya. Dengan demikian, menurut Meinke peradaban modern adalah peradaban yang dilahirkan oleh paradigma nafsu, atau dapat di sebut “Peradaban Nafsu”, sebuah peradaban maskulin yang rasional, serakah, agresif, eksploitatif, sekuler, tersepih ( Fragmented ), dan tak berperasaan.

Tentu saja Meinke menggunakan istilah kemajuan untuk merujuk peradaban nafsu sebagai ungkapan ironi, seperti tercermin pula dalam parody “Libido ergo Sum” atas rasionalisme dan Psikoanalisis. Maksud meinke yang sesungguhnya adalah bahwa peradaban nafsu merupakan sebuah kemunduran sejarah manusia dalam pengertiannya yang utuh. Kemunduran itu disebabkan oleh pengingkaran manusia atas nuraninya, yaitu sebuah wilayah intuitif yang merupakan bagian integral dari keutuhan jati diri manusia.

Yang menjadi persoalan adalah bahwa usaha-usaha yang dilakukan oleh sebagian orang untuk memasukkan unsur-unsur baru dalam pertimbangan pembuatan keputusan strategis telah mendapatkan tantangan dari pihak-pihak yang fanatik terhadap perspektif itu. Di antara jegalan terawal adalah dalam pengembangan ilmu dengan jurus “Academic Left”,sebuah predikat yang digunakan untuk menohok kehadiran otoritas lain di luar otoritas keilmuan positifistik. Oleh karena itu, pemikiran membangun sebuah “peradaban Transendental” pada hakekatnya adalah membunyikan genderang perang melawan otoritas tersebut.

Relatifis Moral

Resech Kala, mantan Marxis dan Filosof dan imigran Polandia di AS yang pernah menulis tentang “Nihilisme Kognitif”, kesimpulan semacam ini bukanlah kesimpulan yang datang tiba-tiba. Ia adalah ujung dari sebuah “Perjalanan Intelektual “ yang sangat panjang. Pun “Nihilisme Kgnitif” yang pernah diramalkan oleh Frederick Neitzhe pada abad yang lalu, akan menjadi gelombang yang besar abad ini memang tak sepenuhnya menjadi kenyataan, tetapi semakin terasanya pengaruh Relatifisme Moral dalam kehidupan peradaban Modern tidak dapat di sangkal lagi.

Relatifisme Moral adalah permulaan dari proses Nihilisme itu kekuatan penentangnya yang telah lahir dari rahim abad yang sama, kekuatan penentang itu berupa arus yang mulai kuat agar orang mulai kembali berunding dengan Tuhan dalam memecahkan persoalan-persoalan kemanusiaan yang semakin lama semakin rumit dan melelahkan.

Tampaknya sudah semakin disadari bahwa manusia sebagai pemain pada Teater kehidupan ini memang tak mungkin dan tidak masuk akal bila mengikuti paradigma Anti Tuhan. Mulai rontoknya Komunisme-Marxisme di akhir tahun 1965 mungkin dapat dijadikan indikator bahwa sebuah idiologi, pandangan hidup dan peradaban yang bermula anti Tuhan pasti bermuara pada sikap anti manusia.

Micheil Gorbachev, sekalipun belum berterus terang, tampaknya sudah ingin berunding dengan Tuhan setelah Komunisme-Marxisme mengalami “Proses Pembusukan” dari dalam. Maurice Clovel ( Filusuf prancis ), pernah mengatakan “Tuhan telah menjadi Ide besar yang tertindas dalam kultur peradaban Modern dengan segala dampaknya yang Destruktif dalam perjalanan moral manusia”

Nihilisme adalah corak ekstrem dari corak penindasan iru. Untunglah manusia akhirnya sadar akan juga salah langkah fatal yang di perbuatnya selama ini dalam membangun “Peradaban Destruktif”. Dan akhirnya dari itu semua bertujuan agar kita semua membuka mata dan telinga dalam mencermati perkembangan perjalanan sebuah peradaban demi kepentingan wawasan Ke-Indonesiaan dan Ke-Islaman. (Ar-rombangi)

Pojok LPP

Desember 2006

Tidak ada komentar: