Selasa, 07 September 2010

untuk apa saya melakukan ini?

Untuk Apa Saya Melakukan Ini ?


Assalamualaikum
Shahabatku yang baik. Semoga Cinta dan Kasih Sayang Allah selalu dapat kita rasakan dengan penuh kesyukuran. Yaitu melalui kerja dan aktivitas kita dihiasi cinta. Sehingga setiap detik yang terus meninggalkan kita, menjadi bukti catatan amal bagi kita kelak, saat Allah membagikan kitab amalan kita masing-masing diyaumil qiyamah.

Dikisahkan adalah seorang murid yang sedang berusaha terus mendekatkan dirinya kepada Allah. Aktivitas nya sehari-hari bekerja sebagai staf perusahaan yang bergerak dibidang jasa. Dia diamanahi pada posisi penanggung jawab, produk development perusahaan tersebut. Dalam perjalanan menggapai Ridho ilahi. Sang murid merenung dan sering melakukan kontemplasi, Apakah yang dia kerjakan sudah diridhoi oleh Allah?

Sementara, dibawah pohon yang rindang itu. Duduklah seorang murid dengan sebuah buku Terapi Ma’rifat bersamanya. Buku itu adalah buku wajib bacaan baginya selama belajar dan berguru dengan gurunya.Halaman demi halaman dia baca. Setiap kata demi kata dia telaah dan cerna maknanya. Kalimat demi kalimat, dia analisa lebih mendalam, bila ada hal yang tidak dia fahami, maka dia tandai untuk disyarah bersama guru nya

Dalam penelaahannya, sang murid duduk merenung. Karena tanpa dia sadari, saat dia mengunyah susunan kalimat dari Ibnu Athailah itu, fikirannya melayang, terbang dengan imajinasi dan tadabur diri. Tiba-tiba saja dia terfikir dengan aktivitas (kerjaan) yang sedang dia lakukan. Sehingga hadirlah pertanyaan ”Untuk Apa aku melakukan ini?”

Sang murid sadar, Sebaik-baiknya keinginan adalah kemauan dan keinginan bersama dengan kehadirat Allah. Yaitu Sesuai dengan kemauan Allah. Lantas dia berfikir dan bertanya kepada dirinya. Apakah yang aku lakukan ini sesuai dengan keinginan Allah ?


Semakin dia berusaha menjawab, semakin kuat pula pertanyaan itu menyapanya. ”Apakah benar, aku melakukan ini semata-mata untuk Allah (mengharap ridho Allah) sehingga bernilai Ibadah?”. Tergambarkan dengan jelas dalam fikirannya, bentuk tulisan penawaran jasanya kepada orang-orang sekitarnya. Tulisan yang sangat jelas ukiran huruf dan warnanya adalah : ”Mengapa Anda harus membeli jasa yang saya tawarkan?”


Sayup-sayup angin sepoi-sepoi menyentuh tubuhnya. Sang murid bertanya kembali dengan apa yang dia janjikan dalam penawarannya. Mengapa Anda harus membeli jasa saya? Bila disana tertuliskan,”Agar Anda bahagia” . Dia bertanya pada dirinya, sudahkah aku bahagia? Agar hidup Anda bermakna. Sudahkah hidupku ini bermakna? Agar Anda lebih dekat dengan Allah. Sudahkah aku dekat dengan Sang Maha Kasih? Agar Anda punya prinsip hidup. Sudahkah aku berprinsip?

Suara datar masuk kesukma, terdengar kembali oleh nya. Nasehat bijak dari Sang Guru. ”Bagaimana mungkin kamu jadi Muslih, sementara kamu belum shalih. Bagaimana kamu bisa jadi murabbi, sementara kamu belum mutarabbi. Bagaimana mungkin engkau menjadi Mu’allim, sementara kamu belum ’Alim?”


Sambil merebahkan badannya dipokok pohon rindang itu. Sang murid terus mencari dan mencari tau kesungguhan niatnya. Karena kayu yang masih hidup itu, merindangi orang-orang yang berada dibawahnya. Dan angin membelai dengan penuh kelembutan, sang muridpun tenggelam dalam tidur bersama renungannya ”Untuk Apa aku melakukan ini? Apa sungguh karena mengharap ridha Allah, ataukah nafsuku saja?”

Surat dari bang rahmadsyah

Jumat, 18 Juni 2010

Belajar dari sekolahnya Manusia

Belajar dari “Sekolahnya Manusia”


Sebuah Pengantar

Perjalanan ke jogja terasa melelahkan ketika kami sampai di ambar ketawang untuk sarapan pagi. Perjalanan yang tadinya melelahkan terasa lenyap saat kami sampai di gedung tempat seminar. Rasa lelah,capek terasa sirna saat kami di sambut dengan dengan Band yang tidak lumrah. Kenapa saya katakana tidak lumrah, karena band yang di namai “Autis Band” dan yang di gawangi Kharisma dan teman-temannya kesemuanya adalah anak-anak yang notabane-nya adalah anaka-anak berkebutuhan khusus. Setelah itu kami juga di suguhi penampilan Andy Wibowo seorangtuna grahita yang sangat mahir menggambar dan melukis Dia juga bisa menggambar dengan dua tangan secara bersamaan berbeda obyek, Rizki bocah 10 tahun penderita autisme yang mempunyai daya ingat luar biasa dari mengingat pidato-pidato para tokoh negara sampai kalender. Dan terakhir saat pak munif chatif (penulis buku Sekolahnya manusia) berbicara dan memanggil muhamad amar dari SMAIT purwokerto untuk tampil di depan dan memamerkan karyanya.



”Akan saya buat sekolah kami sebagai surga bagi anak-anak berkebutuhan khusus.”Ucapan ini barangkali terasa berlebihan bagi telinga kita.Namun, begitulah adanya. Dengan semangat dan kreativitasnya, Drs Ciptono berhasil membuat Sekolah Luar Biasa yang dipimpinnya benar-benar menjadi luar biasa sebagaimana penampilan anak-anak saat seminar.

Pada hakekatnya, manusia di lahirkan ke muka bumi dengan di karunia kecerdasan yang beragam dari Alloh. Jika keberagaman itu, mendapat tempat yang adil akan jadi kekuatan yang dahsyat bagi manusia, untuk mengelola alam dan bumi ciptaan-Nya ini. Masalahnya, bagaimana cara tepat untuk mengelola keberagaman itu?.

Selama ini banyak murid yang mengalami ketidakfahaman bahkan mungkin kebingungan dalam mencerna dan menerima pelajaran serta tidak mampu mencerna materi yang diberikan oleh guru dengan baik.Tak jarang, mereka di beri label “Bodoh” kadang mereka juga dituduh “bermasalah”. Ternyata, dalam beberapa penelitian menunjukkan bahwa kegagalan siswa mencerna informasi dari gurunya disebabkan oleh ketidaksesuaian gaya mengajar guru dan gaya belajar siswa. Padahal, apabila gaya mengajar guru sesuai dengan gaya belajar siswa, semua pelajaran akan terasa sangat mudah dan menyenangkan.

Pemahaman multilple intelligence yang diperkenalkan oleh Howard Gardner, berhasil ditransformasikanoleh Munif chatib menjadi proses pembelajaran yang manusiawi dan aplikasi. Jika selama ini banyak sekolah yang seolah meraba-raba bagaimana mendidik anak dengan tepat sesuai dengan potensi dirinya. Inilah yang di sebut “Sekolahnya Manusia”


Sekolahnya Manusia


Saat ini banyak sekolah yang menggunakan dan terjebak dengan penggunaan istilah “Sekolah unggul” tujuannya satu yaitu untuk menarik minat konsumen pendidikan. Dalam pandangan seorang Munif Chatib istilah ”Sekolah unggul” diubah menjadi ”Sekolah manusia”. Maklumlah, kriteria unggul akan melahirkan banyak versi. Namun, istilah ”manusia” tentu semua orang sepakat. Segala sisi hakikat manusia harus terwakili dalam proses pendidikan manusia itu sendiri.

Dalam Proses pembelajaran di sekolah harus mengandung dan melibatkan kekuatan emosi positif. Mulai proses awal pembelajaran sampai akhir benar-benar menyentuh perasaan siswa. Ada 8 poin yang harus dimiliki sebuah sekolah untuk disebut Sekolahnya Manusia yaitu :

Pertama,Pendidikan di dalamnya mengintegrasi Jasmani dan Ruhani dengan Agama dan Akhlak, memiliki 60% muatan agama dalam koridor Character Building, yang masuk bersama-sama materi Umum. Agama bukan sebagai pelajaran bermuatan kognitif tapi lebih ke pengelolaan akhlak lewat Character Building . Kedua,Sekolah berperan sebagai Agent of Change, mampu merubah kondisi awal siswa yang negatif menjadi positif. Cirinya sekolah ini tidak akan memakai perangkat serentetan tes masuk. Melainkan memakai Multiple Intelegence Research. Siapa saja diterima di sekolah ini, bukan hanya yang ‘dianggap’ bodoh dan nakal, tetapi juga yang dianggap memiliki keterbatasan fisik atau kemampuan otak seperti cacat fisik, CP, autis dsb.



Ketiga, Sekolah harus memiliki The Best Process dalam aktivitas kelas. Belajar dengan cara yang menyenangkan, 30% Teacher Talking Time, sisanya 70% siswa belajar dengan active learning. Learning Style = Teaching Style, hasilnya pelajaran jadi mudah dan menyenangkan. Jauhkan kesan kelas sebagai penjara terkejam, yang hanya mampu menghasilkan manusia bermental robot. Keempat, Sekolah memiliki the best teachers. Kelima,Terjadi Active Learning. Siswa belajar dengan aktif tidak hanya secara pasif mau tidak mau harus mendengar guru. Hasilnya siswa tidak hanya TAHU APA, tapi juga tahu BISA APA. Menggunakan pendekatan strategi mengajar Multiple Intelegence sesuai kerja otak siswa.



Keenam,Ada Applied Learning, sekolah mengaitkan materi belajar dengan kehidupan sehari-hari, sehingga siswa tidak hanya belajar konsep abstrak tapi juga pembelajaran langsung diaplikasikan pada kehidupan sehari-hari. Ketujuh, yang taka kalah pentingnya adalah Mengaplikasikan Pendekatan Multiple Intelegences dan penggunaan MIR, sebagai pemantik kreativitas anak, fasilitator tentang kebiasaan yang perlu dikembangkan ortu dan mempercepat anak menemukan kondisi akhir terbaik bagi dirinya. Dan Terakhir adalah Penilaian otentik diterapkan dalam setiap pengambilan nilai evaluasi hasil belajar. Ciri penilaian otentik adalah : Soal berkualitas dan bisa dikerjakan siswa,.Sifatnya Ability Test bukan Disability Test, Penilaian dapat digunakan untuk Discovering Ability, Kemampuan anak dinilai berdasar perkembangannya dari waktu ke waktu, dan tidak membandingkannya dengan siswa lain, serta Penilaian berbasis proses, bukan pada akhir pembelajaran seperta Ujian Akhir yang ada.

Peran Guru Dalam Multiple Intelegency

Dalam mindset lama, sering kita memahami bahwa seorang guru adalah segala-galanya bagi siswa. Tetapi dalam perkembangannya, mindset tersebut telah mengalami perubahan yang mendasar. Bukan guru sebagai pusat segala-galanya, tetapi siswalah yang berperan banyak dalam proses situ. Pada dasarnya seorang pendidik adalah seorang fasilitator. Maksudnya adalah ia hendaknya mampu membangun suasana belajar yang kondusif-variatif agar siswa mampu belajar-mandiri (self-directed learning).Ia juga hendaknya mampu menjadikan proses pembelajaran sebagai kegiatan eksplorasi diri dan lading kreatifitas untuk anak didiknya. Galileo menegaskan bahwa sebenarnya kita tidak dapat mengajarkan apapun, kita hanya dapat membantu peserta didik untuk menemukan dirinya dan mengaktualisasikan dirinya. Setiap pribadi manusia memiliki “self-hidden potential excellece” (mutiara talenta yang tersembunyi di dalam diri), tugas pendidikan yang sejati adalah membantu peserta didik untuk menemukan dan mengembangkannya seoptimal mungkin

Konsep ini sudah lama didengungkan dan dipraktikkan, namun hanya ”awalnya” yang ”hangat”. Setelah itu, kembali kepada paradigma lama, yaitu 80 persen waktu pembelajaran didominasi guru. Seharusnya, persentase proses siswa belajar harus lebih besar daripada persentase proses guru mengajar.

Selain berperan sebagai fasilitator, dalam pembelajaran berbasis Multiple Intelegency seorang guru harus berperan sebagai katalisator. Maksudnya adalah setiap guru harus terus berusaha menggali kemampuan siswa, termasuk bakatnya. Terutama kepada para siswa yang ”slow learn” dalam menerima dan memahami informasi. Bukan malah memihak kepada siswa yang ”pandai” saja.

Guru yang baik selalu berusaha menyesuaikan gaya mengajarnya dengan gaya belajar siswanya. Apabila proses teaching sytle dan learning style sesuai, akan muncul kondisi sebenarnya tidak ada pelajaran yang sulit dan semua siswa mampu menerima informasi dari guru.

Sebuah Penutup

Pada hakekatnya Pendidikan adalah untuk manusia, begitu juga sekolah adalah sekolahnya manusia.Jadi, lembaga pendidikan seharusnya mengantarkan kemauan atau cita-cita muridnya, bukan sebaliknya murid mengantarkan kemauan atau cita-cita sekolah.

Dan terakhir, Sekali lagi bahwa 'Multiple intelligences 'bukanlah kurikulum..'Multiple Intelligences' adalah strategi pembelajaran berupa rangkaian aktivitas belajar . Maksudnya adalah sekolah yang menerapkan 'multiple intelligences', bukanlah sekolah yang mengklaim : memiliki fasilitas olahraga untuk melatih kecerdasan kinestetik, atau memiliki fasilitas laboratorium untuk melatih kecerdasan logika dll, tetapi sekolah yang menggunakan pendekatan variatif dengan berbasis pada penyesuaian gaya belajar siswa.

Minggu, 02 Mei 2010

kudeta mekkah

Kudeta Mekkah : Sejarah Yang Tak Terkuak



SINOPSIS BUKU

Pada 20 November 1979, sebuah peristiwa besar terjadi di Kota Suci Mekkah. Sekelompok orang bersenjata pimpinan Juhaiman al-Utaibi, seorang Islamis radikal, menguasai Masjid al-Haram. Mereka memprotes kebobrokan Pemerintah Arab Saudi dan aliansinya dengan Barat. Gejolak politik di tanah suci meledak. Lalu, baku tembak antara pengikut Juhaiman dengan tentara Arab Saudi pun tak terelakkan.


Mulanya, tentara Saudi dibuat keteteran oleh perlawanan Juhaiman dan pengikutnya. Tetapi akhirnya, dengan bantuan beberapa pimpinan militer Prancis, tentara Saudi berhasil melumpuhkan "pemberontakan" kelompok Islam radikal tersebut. Sebagai hukumannya, Juhaiman dan pengikutnya yang tertangkap hidup-hidup kemudian dipenggal kepalanya, eksekusi penggal kepala ini dilaksanakan di beberapa kota di Saudi sebagai peringatan bagi siapa pun yang berusaha makar terhadap pemerintah.


Merujuk fatwa para ulama berpengaruh, Pemerintah Saudi mendakwa mereka melakukan tindakan sesat: mendeklarasikan munculnya Imam Mahdi yang tewas dalam pertempuran itu sebagai penyelamat dunia; serta menguasai dan menjadikan Masjid al-Haram, tempat tersuci umat Muslim, sebagai medan pertempuran dan kekerasan, yang sangat jelas dilarang oleh agama.

Peristiwa itu menjadi bagian penting dari sejarah modern Kota Mekkah. Meski demikian, kebanyakan orang, terutama kaum Muslim, tak paham apa yang sejatinya terjadi saat itu. Maklum, ketika peristiwa itu berlangsung, Pemerintah Saudi melarang keras media massa meliput dan memberitakannya. Tak hanya itu, jaringan telepon, telegram, dan surat-menyurat pun diputus. Alhasil, tak ada celah bagi siapa pun untuk dapat mengakses peristiwa itu dari luar tempat kejadian.


Pada tahun 2006, dua puluh tahun kemudian, Yaroslav Trofimov berusaha menyusun kembali serpihan sejarah atas kejadian itu. Untuk menyibak detail peristiwa yang tak terkuak khalayak itu, Trofimov memburu sumber-sumber penting dan tepercaya, antara lain: pelaku ‘gerakan 1979’ yang masih hidup; Paul Barril, kepala misi pasukan Prancis saat itu; tentara Arab Saudi; Perpustakaan British, satu-satunya tempat di Eropa yang menyimpan pelbagai surat kabar Saudi tahun 1979; arsip Pemerintah AS dan Inggris yang berisi laporan rahasia dari para diplomat dan mata-mata; serta CIA dan British Foreign Office.


Para pengamat politik dan sejarawan menganggap kejadian itu sebagai insiden lokal semata dan karena itu tak bersangkut-paut dengan peristiwa internasional yang belakangan merebak: terorisme.

Tetapi penulis buku ini, Yaroslav Trofimov, berpendapat sebaliknya. Menurutnya, peristiwa itu merupakan akar sejarah gerakan terorisme global, terutama yang dimotori al-Qaeda. Siapa dan di mana Osama Bin Laden kala itu, sehingga petinggi al-Qaeda ini dihubung-kaitkan dengan peristiwa tersebut? Padahal ketika peristiwa itu terjadi, keluarga besar Bin Laden termasuk dalam barisan Pemerintah Kerajaan Arab Saudi yang mendukung penumpasan gerakan 1979.



YAROSLAV TROFIMOV adalah koresponden luar negeri The Wall Street Journal. Ia banyak melaporkan tulisannya ihwal agama dan perubahan sosial di wilayah negara Muslim, termasuk Indonesia. Sebelum hijrah ke Amerika Serikat untuk belajar jurnalisme dan ilmu politik di New York University, pria kelahiran Kiev, Ukraina, tahun 1969 ini menghabiskan masa kecilnya di Madagaskar, Afrika. Karyanya, Faith at War: A Journey on the Frontlines of Islam, from Baghdad to Timbuktu, termasuk salah satu buku terbaik versi The Washington Post.


Belum pernah ada tinjauan atas peristiwa 20 November 1979—tidak juga atas tragedi 11 September 2001—yang dilaporkan dengan kemampuan jurnalistik dan tutur sejarah, seperti yang ada dalam karya Yaroslav Trofimov ini. Pada awal abad ke-15 Hijriyah, sebuah kelompok bersenjata pimpinan seorang Islamis radikal bernama Juhaiman al-Utaibi menguasai Masjid al-Haram di Kota Suci Mekkah, salah satu tempat tersuci umat Islam. … Butuh waktu 30 tahun untuk bisa memahami peristiwa ini dalam konteksnya, dan Trofimov bekerja sangat baik dalam memaparkannya secara gamblang.—Kirkus Review


Trofimov merekam sebuah insiden yang tak terpublikasi di Barat: kekerasan dalam pengambil-alihan tempat tersuci umat Islam oleh kaum Muslim fundamentalis pada 1979. Trofimov begitu ahli dalam merangkai cerita sejarah, memadukan teologi mesianistik dengan kekerasan pada tempatnya, serta sangat berani dalam membongkar praktek korupsi yang sangat parah dari suatu negara dengan komplisitas institusi agama. Trofimov dengan tepat menunjukkan masalah-masalah regional yang akut, dengan reaksi abadi terhadap perang melawan teror… Pembaca awam akan sangat terbantu oleh buku ini, untuk memahami kaum fundamentalis Muslim dalam kaitannya dengan terorisme.—Publishers Weekly
Yaroslav Trofimov telah menulis karya yang sangat mengesankan. Diramu dengan begitu hidup, untuk detail-detail peristiwa yang tak tersingkap di masa lalu. Dia mengungkap krisis sandera yang sangat sedikit diketahui di jantung dunia Muslim…. Setelah mulai membaca buku ini, saya pun tak kuasa meletakkannya.

—Rajiv Chandrasekaran, asisten editor pada The Washingtong Post.


Ketika Yaroslav Trofimov memaparkan dengan begitu lengkap dan kuat, kebanyakan partikel radioaktif di dunia kini bukan lagi berada di Korea Utara, Iran, atau bahkan Amerika Serikat. Namun, ada kontradiksi lain yang lebih mengerikan, yakni kerajaan Arab Saudi. … dan dia mengingatkan kita bahwa segala sesuatu yang terjadi atau yang bakal terjadi di sana adalah sumber utama perhatian dunia.

—Tom Bissell, editor pada Virginia Quarterly Review.


Penelitian Trofimov mengenai pengambil-alihan Masjid al-Haram di Mekkah oleh kelompok militan Islam dimulai dengan mengetahui seluruh ancaman politik yang menakutkan. Penulis lalu menguji bagaimana aksi jihad global ini, yang diberitakan di Barat, menginspirasi generasi teroris hari ini. Trofimov, seorang reporter Wall Street Journal, memberi konteks melalui sebuah sejarah yang hidup mengenai akar dan bangkitnya ultra-fundamentalis Wahhabi, serta menghadirkan kembali pertempuran di masjid tersebut dengan begitu eksploratif, seolah menjadi pemandangan yang mengerikan. Kegemparan yang diciptakan secara berkala tersebut tidak mengurangi alasan Trofimov bahwa Osama bin Laden dan gerakannya adalah ideologi warisan kaum radikal Mekkah, tapi dengan sumber daya yang jauh lebih besar.
—Jen Itzenson, Portfolio Magazine


Saat Revolusi Iran tahun 1979 terbentang, orang-orang Saudi dibuat cemas dan malu oleh sebuah tragedi pengambil-alihan Masjid al-Haram di Mekkah pada tahun 1979. Serangan untuk merebut kembali tempat tersuci umat Islam tersebut menyeret pada suasana berdarah, menampakkan kecurangan dan ketidakcakapan pemerintah Saudi pada taraf yang sangat akut. Trofimov menjelaskan, bahwa tekanan yang begitu keras hampir saja menghilangkan sebuah babak dalam kisah teror Muslim radikal. sumber : http://www.bukukita.com

pendidikan carakter

"Pendidikan Berbasis Carakter"

Fenomena Sosial

Akhir-akhir ini kita sering menyaksikan tayangan berita di televisi atau membaca dalam surat kabar, perihal fenomena kekerasan yang terjadi di dalam masyarakat. Hal tersebut tentunya sangat memprihatinkan kita karena warisan budaya nenek moyang kita adalah budaya yang mengedepankan etika, sopan santun dan saling menghargai. Sungguh tak pernah terbayangkan, berbagai fenomena kekerasan muncul di mana-mana. Bahkan kita layak prihatin terhadap perjalanan bangsa ke depan. Kasus markus di perpajakan yang melibatkan para pejabat tinggi Negara dari berbagai instansi membuka mata kita bersama. Dugaan korupsi dari para pejabat yang merugikan Negara milyaran rupiah bahkan trilyun rupiah semakin memprihatinkan kebobrokan mentalitas pejabat-pejabat kita.
Budaya kekerasan seringkali kita lihat belakangan ini. Salah satu yang membuat bangsa kita diklaim sedang kehilangan karakter adalah terjadinya kerusuhan yang melanda Koja Tanjung Priok. Terjadi tontonan yang menonjol kekerasan antara masyarakat di sekitar Koja Tanjung Priok dengan ratusan aparat Satpol PP dan amuk ribuan masa PT Drydock world. Memang selama ini bentrok antara warga negara dengan aparat pemerintah, apakah satpol PP, TNI, Polri sudah seringkali terjadi. Salah satu faktor penyebab adalah persoalan ekonomi. Masyarakat mengklaim sangat sulit untuk mencari makan. Maka berjualan di tempat umum pun menjadi pilihan. Dapat kita bayangkan apa yang terjadi, yang terjadi adalah kemacetan dan ketidakaturan. Hanya saja jika kita mau jujur, apakah masyarakat mau berjualan di tempat itu kalau memang ada tempat yang lebih baik?
Prof Aan hasanah mensinyalir,Sepertinya karakter masyarakat Indonesia yang santun dalam berperilaku, musyawarah mufakat dalam menyelesaikan masalah,, toleransi dan gotong .royong, telah berubah wujud menjadi hegemoni kelompok-kelompok baru yang saling mengalahkan. Apakah pendidikan telah kehilangan sebagian fungsi utamanya? Berkaca pada kondisi ini, sudah sepantasnya jika kita bertanya secara kritis, inikah hasil dari proses pendidikan yang seharusnya menjadi alat transformasi nilai-nilai luhur peradaban? Jangan-jangan pendidikan telah menjadi alat yang secara mekanik hanya menciptakan anak didik yang pintar menguasai bahan ajar untuk sekedar lulus ujian nasional. Kalau betul begitu, pendidikan sedang memperlihatkan sisi gelapnya.
Padahal, pendidikan merupakan proses yang paling bertanggung jawab dalam melahirkan warga negara indonesia yang memiliki karakter kuat sebagai modal dalam membangun peradaban tinggi dan unggul. Karakter bangsa yang kuat merupakan produk dari pendidikan yang bagus dan mengembangkan karakter. Ketika mayoritas karakter masyarakat kuat, positif, tangguh peradaban yang tinggi dapat dibangun dengan baik dan sukses. Sebaliknya, jika mayoritas karakter masyarakat negatif, karakter negatif dan lemah mengakibatkan peradaban yang dibangun pun menjadi lemah sebab peradaban tersebut dibangun dalam fondasi yang amat lemah.
Kenapa Pendidikan?
Pendidikan merupakan hal terpenting membentuk kepribadian. Pendidikan itu tidak selalu berasal dari pendidikan formal seperti sekolah atau perguruan tinggi. Pendidikan informal dan non formal pun memiliki peran yang sama untuk membentuk kepribadian, terutama anak atau peserta didik. Dalam UU Sisdiknas No.20 tahun 2003 kita dapat melihat ketiga perbedaan model lembaga pendidikan tersebut.
Menurut Prof Suyanto Memperhatikan ketiga jenis pendidikan di atas, ada kecenderungan bahwa pendidikan formal, pendidikan informal dan pendidikan non formal yang selama ini berjalan terpisah satu dengan yang lainnya. Mereka tidak saling mendukung untuk peningkatan pembentukan kepribadian peserta didik. Setiap lembaga pendidikan tersebut berjalan masing-masing sehingga yang terjadi sekarang adalah pembentukan pribadi peserta didik menjadi parsial, misalnya anak bersikap baik di rumah, namun ketika keluar rumah atau berada di sekolah ia melakukan perkelahian antarpelajar, memiliki ‘ketertarikan’ bergaul dengan WTS atau melakukan perampokan. Sikap-sikap seperti ini merupakan bagian dari penyimpangan moralitas dan perilaku sosial pelajar
Oleh karena itu, ke depan dalam rangka membangun dan melakukan penguatan peserta didik perlu menyinergiskan ketiga komponen lembaga pendidikan. Upaya yang dapat dilakukan salah satunya adalah pendidik dan orangtua berkumpul bersama mencoba memahami gejala-gejala anak pada fase negatif, ada rasa kegelisahan, ada pertentangan sial, ada kepekaan emosiaonal, kurang percaya diri, mulai timbul minat pada lawan jenis, adanya perasaan malu yang berlebihan, dan kesukaan berkhayal. Dengan mempelajari gejala-gejala negatif yang dimiliki anak remaja pada umumnya, orangtua dan pendidik akan dapat menyadari dan melakukan upaya perbaikan perlakuan sikap terhadap anak dalam proses pendidikan.

Revitalisasi pendidikan carakter

Mengapa Pendidikan karakter begitu penting? Menurut Badjoeri Widagdo Kepentingan nasional Indonesia merupakan kepentingan bangsa dan negara dalam mewujudkan cita-cita dan tujuan nasional Indonesia yang di dalamnya mencakup usaha mencerdaskan kehidupan bangsa. Implementasinya apa? Rumusan mencerdasakan kehidupan bangsa itu memiliki 2 (dua) arti penting yaitu membangun manusia Indonesia yang cerdas dan berbudaya. Pengertian cerdas harus dimaknai, bukan saja sebagai kemampuan dan kapasitas untuk menguasai ilmu pengetahuan dan kapasitas untuk menguasai ilmu pengetahuan, seni dan teknologi yang manusiawi, tetapi cerdas emosional artinya memiliki kecerdasan emosional yang dengan bahasa umum disebut sebagai berkarakter mulia atau berbudi luhur, berakhlak mulia. Sedangkan berbudaya memiliki makna sebagai kemampuan dan kapasitas untuk menangkap dan mengembangkan nilai-nilai moral dan kemanusiaan yang beradab dalam sikap dan tindakan berbangsa dan bernegara
Arti penting dari pendidikan karakter. Mengoptimalkan muatan-muatan karakter baik dan kuat (sifat, sikap, dan perilaku budi luhur, akhlak mulia) yang menjadi pegangan kuat dan modal dasar pengembangan individu dan bangsa nantinya. Dunia barat pun sudah sejak lama menyadari betapa ilmu pengetahuan tanpa karakter menjadi tidak berarti. Daniel Goleman dalam bukunya Emotional Inteligence menyatakan betapa kepribadian manusia mendominasi 80 persen dari kehidupan seseorang, dibanding dengan 20 persen kecerdasan otaknya semata-mata. Para teknokrat di dunia barat sudah sadar bahwa betapa pun sebuah kemajuan dicapai, dapat menjadi perusak bila tidak dibekali dengan perimbangan karakter yang di dalamnya menggabungkan kaidah-kaidah etika, moral dan agama. Karena itu, pendidikan yang sekarang ini dijalankan oleh bangsa Indonesia, harus dapat memberikan andil dalam pembentukan karakter bangsa, akan lebih mudah jika pembelajaran karakter itu direvitalisasi melalui agama.
Untuk itu sudah saatnya dilakukan perubahan mendasar dalam dunia pendidikan. Bagaimana membuat bangunan pendidikan yang didalamnya ditanamkan karakter bangsa dan masyarakat yang membangun. Artinya budaya kekerasan jangan lagi menonjol dan kalau bisa dibabat habis. Dialog yang mengedepankan etika dan saling menghargai sudah saatnya ditanamkan melalui pendidikan. Jika tidak budaya barbarisme yang lebih besar dari masalah tanjung priok bisa terjadi
Di samping itu menurut Prof Didin hafidhuddin perbaikan sistem pendidikan secara totalitas merupakan sebuah kebutuhan sekaligus keniscayaan. Praktik pendidikan, baik dalam proses pembelajaran maupun evaluasi yang hanya mengedepankan aspek kognitif harus segera di perbaharui kea rah yang lebih menyatukan dengan aspek afektif (sikap) dan aspek psikomotorik(ketrampilan beramal saleh). Demikian integrasi nilai agama pada seluruh batang tubuh dan materi pelajaran harus segera di wujudkan. Tidak ada pemisahan antara pendidikan agama pada satu sisi dengan pendidikan umum pada sisi lainnya meskipun materi ajarnya dapat di bedakan dan di pisahkan.
Ke depan, kita berharap bahwa pemerintah mampu mengembalikan fungsi pendidikan tidak untuk membangun kecerdasan intelektual saja, tetapi juga untuk menjadikan manusia Indonesia yang berkarakter mulia dan menjadikan pendidikan karakter sebagai salah satu prioritas utama dalam pembangunan bangsa. Untuk merevitalisasi pendidikan karakter bangsa itu, idealnya substansi karakter dan jati diri bangsa termuat dalam UU Diknas.
Dan tentu kita sepakat dengan character education quality standards yang merekomendasikan bahwa pendidikan akan secara efektif mengembangkan karakter anak didik ketika nilai-nilai dasar etika dijadikan sebagai basis pendidikan, menggunakan pendekatan yang tajam, proaktif dan efektif dalam membangun dan mengembangkan karakter anak didik serta menciptakan komunitas yang peduli, baik di keluarga, sekolah maupun masyarakat sebagai komunitas moral yang berbagi panggung jawab untuk pendidikan yang mengembangkan karakter dan setia dan konsisten kepada nilai dasar yang diusung bersama-sama
Dan terakhir,Mari kita jadikan rumah tangga dan sekolah sebagai -school of love-mendidik dengan kasih sayang karena sesungguhnya anak adalah amanah. Orangtua dan guru dengan penuh tanggungjawab bekerjasama mengarahkan anak menuju kehidupan yang lebih baik. Selamat hari pendidikan Nasional, bangkitlah Pendidikan Indonesia…!

Kamis, 22 April 2010

Pildacil

“Pembunuhan Karakter itu bernama Pildacil ?”
(Perspektif analisis-subjektif)

Membangun Orientasi hidup: persfektif Al Qur’an

Dalam beberapa bulan yang lalu sebuah majalah Islam menerjunkan tajuk yang cukup mengusik hati saya. Tajuk yang ditulis oleh Mohamad Fauzil Adhim yang membuat hati saya resah dan gelisah. Resah karena menyangkut masa depan anak-anak kita. Gelisah karena ini realitas. Dalam tajuk tersebut beliau menyitir kalimat seorang ustadz yang bertindak sebagai juri dalam sebuah kontes yang konon mencari bibit-bibit unggulan Dai muda. Kata seorang juri dalam kontestan tersebut: “Kamu terbaik saat ini. Ini yang di inginkan juri. Beberapa tahun ke depan, rumah dan mobil kamu akan mewah. Kamu juga akan membangun Masjid”. “FANTASTIS”, sebuah nasehat yang membuat miris, sehingga tak hanya cukup dijawab dengan tangis. Anehnya justru para orang tua malah berbangga dengan itu semua. “Nasehat” Ini seharusnya membuat hati orang tua ngeri membayangkan masa depan anak-anaknya. Kecuali jika pertanyaan yang menguasai benak kita tentang anak-anak adalah apa yang akan mereka makan sesudah kita tiada, bukan apa yang mereka sembah, sehingga apa pun yang mereka kerjakan hanya untuk Robbul ‘alaamien. Bukankah setiap hari dalam sholat kita selalu mengajarkan kepada anak kita ayat Al Qu’an : “Sesungguhnya sholat, ibadah, hidup dan matiku hanyalah untuk Alloh, Tuhan semesta Alam, tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang di perintahkan kepadaku dan aku adalah orang pertama-tama menyerahkan diri ( kepada Alloh)”(Qs Al An’am: 162-163)
Inilah orientasi hidup yang harus kita hujamkan ke dada anak-anak kita. Kita hujamkan keinginan menolong agama Alloh ke dalam hati dan sanubari mereka sejak dini dengan sekuat-kuatnya. Semoga dengan itu ia menjadi orang yang ikhlas dalam memberikan hartanya, hidupnya dan dirinya bagi agama Alloh. Sesungguhnya amal itu tergantung dari niat. Jika anak-anak itu kelak menyembah Alloh karena mengharap dunia, mereka tidak akan memperoleh akhirat. Sedangkan dunia belum tentu ia mendapatkan.
Adapun jika mereka membaktikan sholat, ibadah, hidup dan matinya untuk Alloh semata, sesungguhnya Alloh Maha Pemurah Lagi Maha Penyayang. Insyaalloh mereka akan mampu menggenggam dunia dengan tangan kanannya, sedangkan di akherat menanti syurga yang penuh berkah dan mengalir sungai yang sejuk.
Kuatnya orientasi hidup inilah yang harus menjadi perhatian kita, orang tua dan para pendidik di sekolah. Bahkan seandainya yang kita inginkan dari mereka adalah kesuksesan karir di dunia ini, kita harus menanamkan pada anak kita orientasi yang kuat dan bersifat transenden. Bahkan kata seorang Psikolog W.Huitt menunjukkan bahwa seorang yang “Brilliant Star” (Bintang Brilian)- istilah Huitt tentang mereka yang memiliki prestasi yang luar biasa melebihi orang-orang sukses pada umumnya- biasanya memiliki ciri spiritual yang khas yaitu Disciple dan devout. Disciple berarti ia sangat percaya pada gagasan atau ajaran seorang pemimpin besar atau guru spiritual. Sedangkan Devout menunjukkan ketaatan yang sangat kuat.
Kunci pokok untuk menghantarkan anak meraih sukses adalah membentuk jiwanya, membangun motivasinya, membakar semangatnya dan mengarahkan orientasi hidupnya yang berbasis pada ikatan Transenden semenjak dini. Kita bakar semangatnya untuk bersungguh-sungguh melakukan yang terbaik demi sebuah idialisme yang buahnya ada di syurga.
Masih menurut riset W.Huitt, seorang “Brilliant Star” juga memiliki ciri sosial yang Transenden. Apapun yang ia lakukan dalam masyarakat adalah dalam rangka mewujudkan perintah Alloh di muka bumi dan menjadi pelayan yang rendah hati bagi umat manusia. Ia berbuat banyak, bahkan melampaui yang bisa dilakukan orang lain. Ia banyak memberi manfaat, tetapi merasa selalu apa yang ia lakukan belum cukup untuk mensyukuri nikmat Alloh Azza Wajalla.
Paradog PILDACIL; Antara bisnis dan mencetak kader umat
Untuk selanjutnya terlebih dahulu kita paparkan sedikit tentang tahap-tahap perkembangan anak untuk mengupas fenomena Pildacil. Pada masa kanak-kanak, motivasi masih dalam proses perkembangan. Fase pembentukan yang paling penting berada pada rentang usia 0-8 tahun. Selanjutnya usia 9-12 tahun merupakan fase penguatan. Secara umum, anak-anak mencapai kemapanan motivasi pada usia 12 tahun. Artinya, pada usia ini motivasi anak cenderung stabil, meskipun ada kemungkinan berubah. Jika pada usia-usia sebelumnya orang tua dan guru terus-menerus membangun motivasi intrinsik.
Alfie Kohn, seorang Psikolag, menyatakan alasan mendasar mengapa tidak boleh ada lomba yang bersifat kompetisi bagi anak-anak. Alih-alih merangsang motivasi berprestasi, anak-anak justru kehilangan dorongan untuk melakukan hal terbaik secara sungguh-sungguh. Dalam jangka panjang, anak justru kehilangan motivasi berprestasi dan semangat bersaing yang produktif.
Nah, apakah yang di tawarkan dari program Pildacil di salah satu stasiun TV swasta itu? Anak-anak dilatih menirukan ceramah-ceramah -bukan mengekpresikan gagasan atau ide secara ilmiah-untuk meraih mimpi-mimpi tentang uang yang berlimpah, umroh gratis bahkan sekaligus ambisi punya rumah mewah. Akan kita bawa kemana anak-anak kita jika di usianya yang masih belia, sudah sibuk mendakwahkan agama untuk meraih dunia? pada hal, hari ini mereka seharusnya membangun motivasi yang kuat, budaya belajar yang kokoh, integritas yang tinggi, dan visi besar yang bernilai spiritual.
Di luar itu semua, ada beberapa hal yang sangat memprihatinkan bagi perkembangan anak kita dimasa mendatang, terutama jika mengingat bahwa tidak mungkin mereka bisa tampil di Pildacil kecuali karena ada potensi besar pada diri mereka.
Jika melihat cara mereka berbicara dan sorot matanya saat tampil, tampak betul bahwa mereka bukan mengekpresikan gagasan atau ide. Tetapi mereka sedang belajar mengambil jalan pintas. Mereka menjadi kaset yang diputar ulang. Materi ceramah dan gaya bicara, tidak sedikit yang menunjukkan bahwa bukan diri mereka yang tampil. Yang tampil adalah sosok imitasi Aa Gym, Zainudin, sosok Ustad Jefri dll, bukan diri mereka yang sesungguhnya. Barang kali tidak disadari, cara seperti ini merupakan
“Pembunuhan Karakter positif anak”

Di saat anak harus belajar beramal dengan ikhlas dan gigih berusaha, mereka melihat kenyataan bahwa yang membuat mereka hebat bukan usaha keras mereka untuk berbicara sebaik-baiknya, tetapi seberapa banyak SMS yang masuk untuknya. Di banyak tempat pembunuhan karakter berikutnya terjadi; dari orang tua, pejabat pemerintah hingga pemuka agama yang tidak visioner berlomba mengeluarkan dana sekaligus menyeru untuk berkirim SMS sebanyak-banyaknya. Sekali lagi, anak belajar praktek manipulatif. Pada hal orang dewasa -melalui Akademi Fantasi Indonesia (AFI), Indonesian Idol, dll- pun seharusnya belajar untuk secara jujur mengakui keutamaan orang lain dan berusaha mengambil pelajaran orang lain yang lebih baik. Saya masih teingat ketika disolo, wali kota menyerukan warganya saat itu untuk berkirim SMS sebanyak-banyaknya untuk mendukung pemenangan salah satu akademisi yang berasal dari Solo dalam sebuah perlombaan Akademi Fantasi Indonesia. Yang lebih mengherankan lagi, masyarakat semuanya meng-IYA-kan kebijakan Wali kota. Dampak lebih jauh lagi praktek manipulasi suara-sebagian orang tua bahkan sampai menjual harta berharga untuk mendongkrak perolehan suara.
Anak-anak yang seharusnya belajar membangun visi hidup dan orientasi spiritual, justru kehilangan elan vital untuk terus mencari ilmu dengan sebaik-baiknya dengan fokusnya justru bagaimana menarik perhatian publik. Bukan menyampaikan apa yang baik.
Alasan diatas sesungguhnya setidaknya menyadarkan kepada kita semua untuk tidak menjerumuskan anak kita kepada “Kematian Karakter”. Terlalu kecil harga yang mereka terima untuk sebuah kehilangan yang sangat besar. Anak-anak itu sangat besar dan luar biasa potensinya. Pildacil sama sekali bukan masa depan anak kita, dan bukan pembibitan generasi Islam. Pildacil adalah bisnis dan hiburan, karena hanya inilah kamus yang di kenal oleh Televesi. Pandangan ini mungkin bersifat sangat subjektif, bukan maksud apa-apa sebenarnya. Maksud saya begini, setidaknya kita sebagai pendidik atau bahkan orang tua untuk senantiasi waspada terhadap segala tayangan Televesi baik dalam acara apapun. Walau dengan embel-embel wadah pencarian bakat untuk mencetak kader generasi umat yang mumpuni. Karena dengan sikap begitu kita dapat memastikan masa depan mereka untuk tidak menjadi “generasi pengekor”-untuk tidak mengatakan “generasi Pembebek”-(Syech Rombangi)

Matinya sekolah

“Matinya Sekolah?”
Bila Implementasi Pendidikan keluarga telah membumi

Ironi pendidikan kini; Sebuah Elegi masa depan
Pendidikan merupakan lembaga yang dianggap paling bertanggung jawab terhadap perkembangan sebuah bangsa. Tak ayal, ketika produk instansi ini tidak sesuai dengan harapan, maka pihak yang paling sering dipersalahkan adalah sekolah dan lembaga pendidikan. Ini tercermin ketika ada seorang guru yang sudah tua mulai mengeluh ,mengapa setiap terjadi kasus “Kecelakaan” penyaluran bakat remaja, semisal tawuran antar pelajar, perampokan yang dilakukan oleh pelajar, budaya nyabu, ngoplo, nyimeng, sampai kasus “Bandung lautan asmara” dan casting iklan sabun “Kamar kecil biru” diterminal Tirtonadi Solo, selalu saja guru dan lembaga pendidikan yang selalu dipersalahkan dan dipermasalahkan. Mulai dari menyorot soal ketidakseriusan guru mendidik dan krisis keteladanan guru yang tidak patut lagi “di gugu dan ditiru” sampai dengan mempolemikkan perlu tidaknya menghidupkan kembalii mata pelajaran budi pekerti atau bahkan menambah jam pelajaran Agama ditengah pelajaran moral pancasila dan PPKn yang semakin kehilangan orientasi nilai. Tak ayal, sekolah atau lembaga pendidikan seolah menjadi biang kerok atas semua kemelut bangsa dan menjadi pihak yang pertama yang harus diadili. Sungguh ironis, lembaga yang harusnya menjadi “Kawah Condrodimuko” malah menjadi pihak yang mesti dipersoalkan eksistensinya dalam membangun peradaban.
Padahal kalau kita cermati alokasi waktu bagi anak-anak tersebut dalam naungan atap sekolah tidak lebih dari 6 jam dalam 24 jam hidup sehari-hari. Waktu 6 jam pun masih dipotong untuk istirahat, hari libur setiap minggu dan beberapa hari libur insidental yang juga cukup banyak. Dapat di hitung berapa waktu yang mungkin dapat di manfaatkan oleh guru untuk mengontrol semua kegiatan atau aktifitas murid-muridnya. Dalam waktu yang sedikit itu,seorang guru di tuntut harus mencerdaskan,mengadabkan,membudayakan serangkuman materi kedalam otak anak. Mungkinkah semuanya dapat tercapai ?
Seorang guru jelas bukan tukang sulap yang mampu mengubah segala sesuatu dengan mantra “abrakadabra” atau “sim salabim” yang dengan sendiri otomatis menjadi “kunfayakun”, Beliau juga bukan “Superman” yang mampu melakukan semua dengan mudah, pun beliau juga bukan “Uber match”-nya ala neitzhe yang mampu menjalankan fungsinya sebagai manusia yang serba bisa, tetapi Beliau juga manusia biasa yang kadang terhimpit berbagai masalah dan kegetiran hidup yang cukup menyesakkan dada yang membutuhkan alam pikir kreatif. Demikian pula ruang kelas bukanlah mesin foto kopi yang bisa menstranfer seluruh catatan buku pada lembaran kertas yang kosong yang tak terbatas jumlahnya, dan murid pun bukanlah lembaran kertas yang kosong tetapi murid adalah potensi yang harus di kembangkan dengan berbagai kekomplekan poblemnya.
Persoalannya pun tidak cukup berhenti sampai disini. Seorang murid yang baru saja diajar tentang sopan santun berbicara, kalau berbicara harus menghindari kosa kata yang kotor dan tidak pantas, tetapi sampai dirumah orangt tuanya biasa berperang mulut ala telenovela dengan mengobral nama-nama seluruh koleksi kebun binatang. Apakah pelajaran moral yang baru saja didapat didalam ruang kelas tersebut bermanfaat dan membekas didalam hati serta alam bawah sadarnya anak? kalau sekedar mengingatkan dan kemudian menuliskannya didalam lembar jawaban ketika ujian tiba mungkin semua anak dapat melakukanya dengan nominal nilai 10, tetapi untuk menjadikannya menjadi sebuah kebiasaan sehari-hari -yang dalam bahasa agama kita sering sebut “Akhlak”-.tampaknya akan sulit dipastikan keberhasilannya.

Keluarga Sebagai “Soko Guru Peradaban”
Solusi yang sedang dikembangkan dan sedang menjadi trend adalah dengan sekolah “full day” atau “Boarding school”, dengan harapan bisa mengisolasi anak dari pergaulan buruk masyarakat, yang secara teorinya tampak ampuh pada dataran empiriknya acap kali masih jadi tanda Tanya besar ataupun bahkan tampak gagap ketika harus diparalelkan dengan kekomplekan problem hidup kehidupan remaja yang juga butuh bermasyarakat. Inilah cermin kegalauan dan kecemasan masa depan anak kita. Sadar atau tidak suatu saat saya, engkau dan kita semua pasti akan menjadi ayah dan bunda yang akan memandu jalannya masa depan anak kita.
Berangkat dari persepsi perbandingan waktu yang tidak proporsional itu, dalam pandangan seorang P.Mujiran dalam bukunya “Pernak-pernik pendidikan” mengajak mengembalikan tugas pendidikan kepada institusi yang lebih kokoh dan lebih tua dari pendidikan formal sekolah. Instutusi itu adalah keluarga. Dengan mengembalikan tugas pendidikan kepada institusi keluarga , maka sebenarnya juga telah menghidupkan slogan “Belajar seumur hidup” (Life-long education) secara nyata. Sebab begitulah kenyataannya, begitu individu lahir maka dia akan mendaulat ayah dan ibunya sebagai gurunya yang pertama. Walaupun tanpa teks pengangkatan dan surat keputusan (SK). Cara ayah makan dan minum, kebiasaan ibu berbicara dan bersikap akan direkam dalam alam bawah sadar anak sebagai proses pendidikan yang akan menjadi kebiasaan sehari-hari
Keluarga sebagai “Tiang Negara”
Keluarga sebagai umat kecil yang memiliki pimpinan dan anggota, mempunyai pembagian tugas dan kerja, serta hak dan kewajiban bagi masing-masing anggotanya.”Umat besar” atau satu negara demikian pula halnya. Al qur’an menamakan satu komunitas sebagai “Ummat” dan menamakan ib yang melahirkananak keturunan sebagai “Umm”. Menurut Qurais Shihab Kedua kata tersebut terambil dari akar kata yang sama. Mengapa demikian? Agaknya ibu yang melahirkan anak keturunan itu dan yang dipundaknya terutama dibebankan pembinaan dan pendidikan anak.
Keluarga adaah sebagai sekolah tempat putra-putri bangsa belajar. Dari sana mereka mempelajari sifat-sifat mulia, seperti kesetiaan, rahmat, adab, sopan santun (Ahlaqul kariemah) dan kasih sayang, Ghiroh (kecemburuan positif) dan sebagainya. Disinilah tempat mereka belajar. Dari kehidupan keluarga, seorang ayah sekaligus suami memperoleh dan memupuk sifat keberanian dan keuletan sikap dan upaya dalam rangka membela sanak keluarganya dan membahagiakannya mereka pada saat hidupnya dan setelah kematiannya.
Keluarga adalah unit terkecil yang menjadi pendukung dan pembangkit lahirnya bangsa dan masyarakat. Selama pembangkit itu mampu menyalurkan arus yang kuat lagi sehat, selama itu pula masyarakat dan bangsa akan menjadi sehat dan kuat. Nah, disinilah peran besar keluarga yang ikut andil terhadap bangun-runtuhnya suatu masyarakat. Walaupun harus diakui pula bahwa masyarakat secara keseluruhan dapat mempengaruhi pula keadaan para keluarga.
Kalau dalam literatur keagamaan di kenal ungkapan al mar’ah ‘imaadul bilad (wanita dalah tiang negara), maka pada hakikatnya tidaklah meleset bila dikatakan bahwa Al usroh ‘imaadul bilad biha tahya wabiha tamuut (keluarga adalah tiang negara,dengan keluargalah negara bangkit atau runtuh).
Demikianlah, terlihat betapa besar peranan keluarga dan betapa keberhasilan kita secara perorangan atau kolektif, secara pribadi atau sebagai bangsa, didunia dan akherat, banyak sekali ditentukan oleh keberhasilan kita dalam keluarga masing-masing. Wajar jika Alloh berpesan : “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka” (QS 66:6).
Nah, berangkat dari persepsi diatas yang menjadi benang merah bahwa Salah satu tugas yang ditekankan adalah tugas mendidik bukanlah tugas guru dan sekolah semata, akan tetapi juga harus disadari orang tua sebagai tugas yang secara otomatis melekat manakala anak lahir ke dunia dan juga harus diterima sebagi tugas keluarga serta lingkungan, sebagaimana pepatah arab “Al-Insaanu ibnu biah” (manusia itu anak lingkungannya). Tugas ini tidak bisa di pungkiri dan dielak begitu saja dengan membebankan segala proses pendidikan kepada sekolah. Oleh karena keluarga merupakan Institusi yang paling dasar dalam suatu masyarakat dan paling dekat dengan individu-individu, maka tanggung jawab keluarga tidaklah kecil.
Dengan demikian apabila seluruh keluarga telah sadar akan tugas mulia itu, maka kita tidak terlalu cemas dengan pertanda “Kematian Sekolah” seperti yang ditengarai oleh Neill Postman. Juga boleh menganggap “sepi ancaman gurita kapitalisme licik yang mengangkangi sekolah” sebagaimana kecemasan Paulo Freire. Bahkan juga dapat membiarkan peringatan Roem Topatimasang tentang fungsi sekolah yang telah berubah menjadi candu. Sebab, apabila seluruh keluarga sadar akan tugas utamanya maka sesungguhnya sebuah “Masyarakat tanpa sekolah” ( Deschooling Society ) yang pernah diangankan oleh Ivan Illich tanpa terasa telah dibumikan secara nyata. Wallohu a’lamu bisshowab

Matinya sekolah

“Matinya Sekolah?”
Bila Implementasi Pendidikan keluarga telah membumi

Ironi pendidikan kini; Sebuah Elegi masa depan
Pendidikan merupakan lembaga yang dianggap paling bertanggung jawab terhadap perkembangan sebuah bangsa. Tak ayal, ketika produk instansi ini tidak sesuai dengan harapan, maka pihak yang paling sering dipersalahkan adalah sekolah dan lembaga pendidikan. Ini tercermin ketika ada seorang guru yang sudah tua mulai mengeluh ,mengapa setiap terjadi kasus “Kecelakaan” penyaluran bakat remaja, semisal tawuran antar pelajar, perampokan yang dilakukan oleh pelajar, budaya nyabu, ngoplo, nyimeng, sampai kasus “Bandung lautan asmara” dan casting iklan sabun “Kamar kecil biru” diterminal Tirtonadi Solo, selalu saja guru dan lembaga pendidikan yang selalu dipersalahkan dan dipermasalahkan. Mulai dari menyorot soal ketidakseriusan guru mendidik dan krisis keteladanan guru yang tidak patut lagi “di gugu dan ditiru” sampai dengan mempolemikkan perlu tidaknya menghidupkan kembalii mata pelajaran budi pekerti atau bahkan menambah jam pelajaran Agama ditengah pelajaran moral pancasila dan PPKn yang semakin kehilangan orientasi nilai. Tak ayal, sekolah atau lembaga pendidikan seolah menjadi biang kerok atas semua kemelut bangsa dan menjadi pihak yang pertama yang harus diadili. Sungguh ironis, lembaga yang harusnya menjadi “Kawah Condrodimuko” malah menjadi pihak yang mesti dipersoalkan eksistensinya dalam membangun peradaban.
Padahal kalau kita cermati alokasi waktu bagi anak-anak tersebut dalam naungan atap sekolah tidak lebih dari 6 jam dalam 24 jam hidup sehari-hari. Waktu 6 jam pun masih dipotong untuk istirahat, hari libur setiap minggu dan beberapa hari libur insidental yang juga cukup banyak. Dapat di hitung berapa waktu yang mungkin dapat di manfaatkan oleh guru untuk mengontrol semua kegiatan atau aktifitas murid-muridnya. Dalam waktu yang sedikit itu,seorang guru di tuntut harus mencerdaskan,mengadabkan,membudayakan serangkuman materi kedalam otak anak. Mungkinkah semuanya dapat tercapai ?
Seorang guru jelas bukan tukang sulap yang mampu mengubah segala sesuatu dengan mantra “abrakadabra” atau “sim salabim” yang dengan sendiri otomatis menjadi “kunfayakun”, Beliau juga bukan “Superman” yang mampu melakukan semua dengan mudah, pun beliau juga bukan “Uber match”-nya ala neitzhe yang mampu menjalankan fungsinya sebagai manusia yang serba bisa, tetapi Beliau juga manusia biasa yang kadang terhimpit berbagai masalah dan kegetiran hidup yang cukup menyesakkan dada yang membutuhkan alam pikir kreatif. Demikian pula ruang kelas bukanlah mesin foto kopi yang bisa menstranfer seluruh catatan buku pada lembaran kertas yang kosong yang tak terbatas jumlahnya, dan murid pun bukanlah lembaran kertas yang kosong tetapi murid adalah potensi yang harus di kembangkan dengan berbagai kekomplekan poblemnya.
Persoalannya pun tidak cukup berhenti sampai disini. Seorang murid yang baru saja diajar tentang sopan santun berbicara, kalau berbicara harus menghindari kosa kata yang kotor dan tidak pantas, tetapi sampai dirumah orangt tuanya biasa berperang mulut ala telenovela dengan mengobral nama-nama seluruh koleksi kebun binatang. Apakah pelajaran moral yang baru saja didapat didalam ruang kelas tersebut bermanfaat dan membekas didalam hati serta alam bawah sadarnya anak? kalau sekedar mengingatkan dan kemudian menuliskannya didalam lembar jawaban ketika ujian tiba mungkin semua anak dapat melakukanya dengan nominal nilai 10, tetapi untuk menjadikannya menjadi sebuah kebiasaan sehari-hari -yang dalam bahasa agama kita sering sebut “Akhlak”-.tampaknya akan sulit dipastikan keberhasilannya.

Keluarga Sebagai “Soko Guru Peradaban”
Solusi yang sedang dikembangkan dan sedang menjadi trend adalah dengan sekolah “full day” atau “Boarding school”, dengan harapan bisa mengisolasi anak dari pergaulan buruk masyarakat, yang secara teorinya tampak ampuh pada dataran empiriknya acap kali masih jadi tanda Tanya besar ataupun bahkan tampak gagap ketika harus diparalelkan dengan kekomplekan problem hidup kehidupan remaja yang juga butuh bermasyarakat. Inilah cermin kegalauan dan kecemasan masa depan anak kita. Sadar atau tidak suatu saat saya, engkau dan kita semua pasti akan menjadi ayah dan bunda yang akan memandu jalannya masa depan anak kita.
Berangkat dari persepsi perbandingan waktu yang tidak proporsional itu, dalam pandangan seorang P.Mujiran dalam bukunya “Pernak-pernik pendidikan” mengajak mengembalikan tugas pendidikan kepada institusi yang lebih kokoh dan lebih tua dari pendidikan formal sekolah. Instutusi itu adalah keluarga. Dengan mengembalikan tugas pendidikan kepada institusi keluarga , maka sebenarnya juga telah menghidupkan slogan “Belajar seumur hidup” (Life-long education) secara nyata. Sebab begitulah kenyataannya, begitu individu lahir maka dia akan mendaulat ayah dan ibunya sebagai gurunya yang pertama. Walaupun tanpa teks pengangkatan dan surat keputusan (SK). Cara ayah makan dan minum, kebiasaan ibu berbicara dan bersikap akan direkam dalam alam bawah sadar anak sebagai proses pendidikan yang akan menjadi kebiasaan sehari-hari
Keluarga sebagai “Tiang Negara”
Keluarga sebagai umat kecil yang memiliki pimpinan dan anggota, mempunyai pembagian tugas dan kerja, serta hak dan kewajiban bagi masing-masing anggotanya.”Umat besar” atau satu negara demikian pula halnya. Al qur’an menamakan satu komunitas sebagai “Ummat” dan menamakan ib yang melahirkananak keturunan sebagai “Umm”. Menurut Qurais Shihab Kedua kata tersebut terambil dari akar kata yang sama. Mengapa demikian? Agaknya ibu yang melahirkan anak keturunan itu dan yang dipundaknya terutama dibebankan pembinaan dan pendidikan anak.
Keluarga adaah sebagai sekolah tempat putra-putri bangsa belajar. Dari sana mereka mempelajari sifat-sifat mulia, seperti kesetiaan, rahmat, adab, sopan santun (Ahlaqul kariemah) dan kasih sayang, Ghiroh (kecemburuan positif) dan sebagainya. Disinilah tempat mereka belajar. Dari kehidupan keluarga, seorang ayah sekaligus suami memperoleh dan memupuk sifat keberanian dan keuletan sikap dan upaya dalam rangka membela sanak keluarganya dan membahagiakannya mereka pada saat hidupnya dan setelah kematiannya.
Keluarga adalah unit terkecil yang menjadi pendukung dan pembangkit lahirnya bangsa dan masyarakat. Selama pembangkit itu mampu menyalurkan arus yang kuat lagi sehat, selama itu pula masyarakat dan bangsa akan menjadi sehat dan kuat. Nah, disinilah peran besar keluarga yang ikut andil terhadap bangun-runtuhnya suatu masyarakat. Walaupun harus diakui pula bahwa masyarakat secara keseluruhan dapat mempengaruhi pula keadaan para keluarga.
Kalau dalam literatur keagamaan di kenal ungkapan al mar’ah ‘imaadul bilad (wanita dalah tiang negara), maka pada hakikatnya tidaklah meleset bila dikatakan bahwa Al usroh ‘imaadul bilad biha tahya wabiha tamuut (keluarga adalah tiang negara,dengan keluargalah negara bangkit atau runtuh).
Demikianlah, terlihat betapa besar peranan keluarga dan betapa keberhasilan kita secara perorangan atau kolektif, secara pribadi atau sebagai bangsa, didunia dan akherat, banyak sekali ditentukan oleh keberhasilan kita dalam keluarga masing-masing. Wajar jika Alloh berpesan : “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka” (QS 66:6).
Nah, berangkat dari persepsi diatas yang menjadi benang merah bahwa Salah satu tugas yang ditekankan adalah tugas mendidik bukanlah tugas guru dan sekolah semata, akan tetapi juga harus disadari orang tua sebagai tugas yang secara otomatis melekat manakala anak lahir ke dunia dan juga harus diterima sebagi tugas keluarga serta lingkungan, sebagaimana pepatah arab “Al-Insaanu ibnu biah” (manusia itu anak lingkungannya). Tugas ini tidak bisa di pungkiri dan dielak begitu saja dengan membebankan segala proses pendidikan kepada sekolah. Oleh karena keluarga merupakan Institusi yang paling dasar dalam suatu masyarakat dan paling dekat dengan individu-individu, maka tanggung jawab keluarga tidaklah kecil.
Dengan demikian apabila seluruh keluarga telah sadar akan tugas mulia itu, maka kita tidak terlalu cemas dengan pertanda “Kematian Sekolah” seperti yang ditengarai oleh Neill Postman. Juga boleh menganggap “sepi ancaman gurita kapitalisme licik yang mengangkangi sekolah” sebagaimana kecemasan Paulo Freire. Bahkan juga dapat membiarkan peringatan Roem Topatimasang tentang fungsi sekolah yang telah berubah menjadi candu. Sebab, apabila seluruh keluarga sadar akan tugas utamanya maka sesungguhnya sebuah “Masyarakat tanpa sekolah” ( Deschooling Society ) yang pernah diangankan oleh Ivan Illich tanpa terasa telah dibumikan secara nyata. Wallohu a’lamu bisshowab

Sabtu, 13 Maret 2010

inovasi pendidikan

Inovasi Pendidikan ; Tantangan Pendidikan Masa Depan
Abdul Qohin
Sebuah Pengantar

Menurut Prof Dr Yahya Muhaimin Sedikitnya ada tiga hal yang merupakan tantangan bagi pendidikan Indonesia di masa depan. Pertama, arus globalisasi yang berlangsung sejak awal tahun 1990an dan hingga kini masih terasa pengaruhnya. Kedua, sistem pendidikan yang masih mencari kemantapan dan kestabilan. Ketiga, nilai-nilai budaya masyarakat indonesia yang belum bisa mendudukan proses pembaharuan: ”jalan pintas”, tidak disiplin, egosentris, patrimonialisme.

Perkembangan pendidikan secara nasional di era reformasi, yang sering disebut-sebut oleh para pakar pendidikan maupun oleh para birokrasi di bidang pendidikan sebagai sebuah harapan untuk meningkatkan kualitas pendidikan di negeri ini dengan berbagai strategi inovasi, ternyata sampai saat ini masih belum menjadi harapan. Bahkan hampir dikatakan bukan kemajuan yang diperoleh, tapi “sebuah kemunduran yang tak pernah terjadi selama bangsa ini berdiri”.
Kalimat tersebut mungkin sangat radikal untuk diungkapkan, tapi inilah kenyataan yang terjadi dilapangan, sebagai sebuah ungkapan dari seorang guru yang mengkhawatirkan perkembangan pendidikan dewasa ini.
Tidak dapat dipungkiri, berbagai strategi dalam perubahan kurikulum, mulai dari Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) sampai pada penyempurnaannya melalui Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), merupakan sebuah inovasi kurikulum pendidikan yang sangat luar biasa, bahkan sangat berkaitan dengan undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yakni yang menyatakan bahwa pengelolaan satuan pendidikan usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah, dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip MBS.
Dalam penerapan KTSP, pelaksanaan inovasi kurikulum adalah sebuah keniscayaan. Inovasi secara sosialogis adalah menciptakan sesuatu yang baru untuk menjawab tantangan yang muncul. Ini dikenal dengan istilah discoveri. Ada yang benar-benar baru sebagai ujicoba, seperti memanfaatkan HP sebagai media belajar umapamanya, yang hingga kini belum ada yang mencobanya, ini disebut invation
Tantangan Pendidikan Masa depan

Membangun sektor pendidikan tidak akan pernah selesai dan tuntas, sepanjang peradaban manusia itu masih ada. Karena jika suatu bangsa selesai menangani satu masalah pendidikan, akan tumbuh lagi masalah lain yang baru dalam peradaban itu. Hal ini terjadi karena tuntutan jaman selalu berubah, sebagaimana juga pernah digambarkan oleh John F Kennedy dalam sebuah metafora. Change is a way of life. Those who look only to the past or present will miss the future.
Proses pendidikan tidak hanya sekadar mempersiapkan anak didik untuk mampu hidup dalam masyarakat kini, tetapi mereka juga harus disiapkan untuk hidup di masyarakat yang akan datang yang semakin lama semakin sulit diprediksi karakteristiknya.
Kesulitan memprediksi karakteristik masyarakat yang akan datang disebabkan oleh kenyataan bahwa di era global ini perkembangan masyarakat tidak linier lagi. Perkembangan masyarakat penuh dengan diskontinuitas. Oleh karena itu, keberhasilan kita masa lalu belum tentu memiliki validitas untuk menangani dan menyelesaikan persoalan pendidikan masa kini dan masa yang akan datang.
Lebih lanjut Prof Dr Yahya Muhaimin menjelaskan Ada beberapa tantangan yang terbentang di hadapan kita dalam melangkah ke depan, yakni tantangan internal dan eksternal. Tantangan tersebut harus di antisipasi oleh lembaga dalam hal ini adalah sekolah.

Pertama, pada era globalisasi, era abad ke-21, di samping dunia mengalami perkembanagna teknologi yang dahsyat, termasuk teknologi informasi, dunia juga mengalami keterbukaan yang amat sangat, sehingga ummat manusia mengalami mobilitas yang bukan main cepatnya. Karena itu kita juga mengalami perubahan masyarakat yang tidak putus-putusnya, yang menyebabkan ummat juga mengalami ketidak-seimbangan. Konstagnasi ini bisa dilihat dari buah pikiran para pemikir dunia, seperti John Naisbitt, Samuel Huntington, Kenichi Ohmae, Francis Fukuyama, dan lain-lain.

Pada dimensi yang lain, globalisasi akan memudahkan masuknya nilai-nilai baru. Begitu deras nilai-nilai baru itu membanjiri masyarakat sehingga amat sering tidak lagi dapat di kontrol secara memadai. Akhirnya anggota masyarakat menjadi mengalami kebingungan dan ketidak-seimbangan hidup, bahkan shizophrenia. Dalam kondisi seperti itulah maka tidak pernah akan mudah orang memiliki daya kreatifitas dan kompetitif.

Kedua, guna mencapai tujuan tersebut, yakni menciptakan dan memelihara anggota masyarakat menjadi ”kuat” maka lembaga dan sistem pendidikan harus menopangnya, yakni agar lembaga dan sistem pendidikan kita benar-benar berfungsi secara optimal. Sistem ini pada satu segi menyediakan sarana dan prasarana yang memadai, dan pada segi lain juga membina serta memelihara para guru menjadi kuat, menjadi memiliki kompetensi yang memadai antara dengan menjaga harga diri dan wibawa serta kesejahteraan ekonomi para guru sehingga bisa berfungsi secara optimal. Hal yang penting di dalam proses pendidikan tersebut, karena itu, adalah terpeliharanya ”rasa ingin tahu” (curiosity), sebab tanpa adanya curiosity maka sulit bagi kita untuk mempunyai kreativitas dan inovasi.

Ketiga, walaupun kontroversi terhadap dimensi struktural dan kultural hingga kini belum berakhir, namun faktor budaya merupakan faktor yang penting. Nilai-nilai budaya dapat menjadi faktor penunjang yang utama namun juga dapat menjadi tantangan yang serius. Pola budaya yang amat dominan dalam kehidupan orang indonesia adalah patrimonialisme, kolektivisme dan paternalisme. Paternalisme selama ini telah menjadi faktor stabilisator, demikian juga kolektivisme (sharing atau kebersamaan) telah mendorong terpeliharanya harmoni di dalam masyarakat. Pada masa-masa era zaman klasik, patrimonialisme juga telah mendorong berlangsungnya kestabilan. Namun dalam era keterbukaan dan reformasi, maka pola-pola budaya seperti di atas harus mengalami transformasi sebagaimana Jepang mengalami transformasi dari nilai samurai menjadi nilai entrepreneurial yang begitu invatif dan kompetitif
Arah Inovasi Pendidikan
Inovasi pendidikan merupakan upaya dasar dalam memperbaiki aspek-aspek pendidikan dalam praktiknya. Dan lebih detail bahwa inovasi pendidikan adalah ide, barang, metode yang dirasakan atau diamati sebagai hal yang baru bagi seseorang atau sekelompok orang (masyarakat) yang digunakan untuk mencapai tujuan tertentu dalam pendidikan atau memecahkan masalah-masalah pendidikan.
Inovasi pendidikan menurut Tilaar harus didukung oleh kesadaran masyarakat untuk berubah. Apabila suatu masyarakat belum menghendaki suatu sistem pendidikanyang diinginkan maka tidak akan mungkin suatu perubahan atau inovasi pendidikan terjadi.
Inovasi pendidikan di Indonesia dapat dilihat dari empat aspek, yaitu tujuan pendidikan, struktur pendidikan dan pengajaran, metode kurikulum dan pengajaran serta perubahan terhadap aspek-aspek pendidikan dan proses. Aspek ketiga adalah inovasi pendidikan meliputi pembaruan dalam materi dan isi kurikulum dam pengajaran. Inovasi materi atau isi kurikulum, yaitu meliputi inovasi pendidikan yang disajikan. Contohnya, bagaimana meningkatkan mutu proses belajar dan mengajar dan bagaimana menerapkan muatan lokal dari kurikulum nasional.
aspek keempat dalam inovasi pendidikan adalah perubahan terhadap aspek-aspek pendidikan dan proses yang meliputi penggunaan multimode dan multimedia dalam kegiatan belajar. Penggunaan kombinasi metode atau media dilakukan oleh guru pada saat proses berlangsung, dan diharapkan dapat memberikan hasil yang efektif.
Perkembangan suatu inovasi didorong oleh motivasi untuk melakukan inovasi pendidikan itu sendiri. Motivasi itu bersumber pada dua hal, yaitu kemauan sekolah atau lembaga utuk mengadakan respons terhadap tantangan perubahan masyarakt dan adanya usaha untuk mneggunakan sekolah dalam memecahkan masalah yang dihadapi.

Beberapa Contoh Inovasi Pendidikan
Di beberapa sekolah telah di kembangkan berbagai model pembelajaran yang beraneka ragam serta inovatif sesuai dengan tingkat perkembangan peserta didik. Perkembangan inovasi pendidikan pada tingkat pendidikan dasar khususnya sekolah dasar sudah banyak dilakukan oleh para guru. Misalnya, pelaksanaan kegiatan pembelajaran melalui pembelajaran terpadu; penulisan tujuan pembelajaran dengan perumusan yang benar yaitu mengandung unsur Audience, Behavior, Condition, dan Degree, pendekatan pembelajaran melalui cara belajar siswa aktif dan lain-lain,
Sebelum munculnya berbagai variasi model pola Lesson Plan, masih menggunakan pla intruksional. Namun pada perkembangannya dengan masuknya, teknologi pembelajaran Quantum Teaching, dapat digunakan perencanaan pengajaran yang dikenal dengan istilah TANDUR. T : Tumbuhkan minat dengan memuaskan ”Apakah Manfaatnya Bagi-Ku ”(AMBAK), dan manfaatkan kehidupan pelajar. A : Alami,Ciptakan atau datangkan pengalamanumum yang dapat dimengerti semua pelajar. N : Namai, Sediakan kata kunci, konsep, model, rumus, strategi, sebuah masukan. D : Demonstrasikan, Sediakan kesempatan bagi pelajar untuk menunjukkan bahwa mereka tahu. U : Ulangi,Tunjukkan pelajar cara-cara lain untuk mendemonstrasikan bahwa mereka paham. R : Rayakan, Akui setiap Usaha. Pengakuan untuk penyelesaian, partisipasi dan pemerolehan keterampilan dan ilmu pengetahuan.
Di dalam metode belajar terdapat inovasi yang dikenal dengan Accelerated Learning, yaitu belajar dengan menggunakan relaksasi dan perasaan atau emosi yang positif (mengaktifkan kekuatan pikiran bawah sadar untuk mencapai tujuan). Metode ini akan menyempurnakan cara belajar siswa aktif yang telah dikenal selama ini.
Selain itu,penggunaan Internet sudah menjadi keharusan untuk melakukan terobosan dan bahkan beberapa sekolah sudah menerapkan penggunakan media Internet sebagai basis pembelajaran (pembelajaran berbasisi IT) dengan area hot spot di sekolah semakin memudahkan guru untuk dapat mengakses materi-materi pelajaran aktual melalui internet.
Salah satu contoh penggunaan internet dalam bidang pendidikan adalah WEB-CT. WEB-CT adalah software untuk pembelajaran melalui internet yang dikembangkan oleh WEB-CT.com di Kanada. Dengan mengunakan WEB-CT ini siswa cukup duduk di depan komputer, dan siswa dapat langsung mengikuti perkuliahan atau pelajaran dari guru.Siswa juga dapat bertanya atau berdiskusi dengan guru atau dengan temannya. Selain WEB-CT masih banyak website lain yang menawarkan pembelajran melalui internet, seperti safeKids.com, Letsfindout.com.
Tentu masih banyak lagi inovasi pendidikan di berbagai negara yang barang kali tidak semua serupa. Dan perlu di sadari pula sudah menjadi keniscayaan bahwa jika kita tidak melakukan inovasi pembelajaran dan secara umum pendidikan maka kita akan semakin ketinggalan dan akan di tinggalkan oleh konsumen. Inovasi harus menjadi prioritas penting dalam pengembangan sektor pendidikan. Tanpa ada inovasi yang signifikan, pendidikan kita hanya akan menghasilkan lulusan yang tidak mandiri, selalu tergantung pada pihak lain. Dalam perspektif global, hasil pendidikan yang demikian itu justru akan menjadi beban bagi bangsa dan negara republik ini. Dengan demikian, pendidikan harus digunakan sebagai inovasi nasional bagi pencapaian dan peningkatan kualitas outcome secara berkelanjutan dan tersistem agar unggulan kompetitif selalu dapat dipertahankan.

Selasa, 09 Februari 2010

surat buat kang nasir

“Saat Bahagia”
(Buat Kang NasirYang Sedang Bahagia)

“Akhirnya kumenemukanmu
Saat hati ini mulai merapuh
Akhirnya kumenemukanmu
Saat hati ini mulai berlabuh
Ku berharap engkaulah jawaban sglala risau hatiku”

Pertama kali saya menulis ini, saya teringat kawan saya yang minggu-minggu ini sedang berbunga-bunga hatinya. Berbunga karena telah menemukan “Teman sejati” untuk pendamping dan menemani setiap detik yang berlalu. Tentulah kita paham orang macam apa yang senang mendengarkannya lagu milik kelompok “NAFF” yang sempat nge-hit beberapa bulan yang lalu. Dengan judul “Akhirnya Ku Menemukanmu”, sudah jelas apa artinya. Sebuah akhir penantian yang panjang nan amat melelahkan akan segera terobati dengan datangnya “Sang Fajar ” penyelamat ditengah hiruk pikuk kehidupan yang makin hari makin terasa melelahkan.
Tiba-tiba dunia jadi serba indah, seolah dunia begitu bersahabat dan semua masalah memunculkan solusinya masing-masing. Lintasan masa yang sempat teramat berat dijalani jadi seringan kapas. Masa lalu yang begitu pahit seolah lenyap, manakala melihat “Sang Dewi” yang sebentar lagi akan hadir. Masa depan yang samar-samar mulai menyibakkan setitik sinar terang………nun jauh disana.
Ya, itulah gambaran kawanku -bukan hanya kawanku, tapi kawan kita semua- yang sedang kasmaran dan sedang bahagia hari-harinya. Semua memang serba indah saat situasi sedang menyenangkan. Tapi adakah jaminan bahwa segala pengertian, pemaafan dan penerimaan terhadap kesalahan pasangan hidup/orang lain tetap akan sama jika situasinya berubah ? apakah Sang suami/istri masih mau dengan bijak membela kesalahan-kesalahan pasangan hidup saat, “Taruhlah”, kita tak sebagus sekarang.
Jalan hidup masih panjang kawan. Samudra masih terbentang maha luas kawan! Masih ada waktu untuk menyiapkan diri dengan bekal yang secukupnya untuk mengarungi samudra harapan Bos! Kita tak boleh lengah dengan badai yang mungkin akan sedikit menghambat langkah kita.
Ya, kita tunggu hasil akhirnya. Apakah masa bulan madu itu hanya seumur jagung atau bakal terus terjaga sampai penantian itu benar-benar terwujud dalam realita berupa sampainya kalian ke tujuan akhir sebagaimana kapal berlayar yaitu sebuah pulau yang di cita-citakan segenap umat manusia “Pulau Kebahagiaan” atau setidaknya “Mimpi yang sempurna teraih”. Dan apakah semua akan tetap indah sebagaimana indahnya sekarang jika untuk kesekian kalinya harapan menjauh dari pelupuk mata. Aha…..!
Harapan untuk menemukan “Seseorang” memang harus terus di jaga dan diperjuangkan, tetapi tetap dengan jalur-jalur yang baik. Entah esok, entah lusa, jika pun gagal, semoga dunia ini bisa tetap seindah sekarang. Selamat berbahagia kawan, semoga sakinah, mawaddah nan rohmah menyertai setiap jejak langkahmu. Selamat berlayar ke samudra pengharapan menempuh perjalanan panjang dan semoga selamat sampai ke tujuan akhir “Pulau Kebahagian” teraih
Selamat berbahagia kang Nasir, Mudah-mudahan Sakinah Mawaddah Nan Rohmah senantiasa menaungi bahtera perahu yang sedang kalian jalani.

“Jika nanti kusanding dirimu
Milikilah aku dengan segala kelemahanku
Dan bial nanti engkau disampingku
Jangan pernah letih tuk mencintaiku”

Minggu, 07 Februari 2010

Matinya Sekolah

“Matinya Sekolah?”
Bila Implementasi Pendidikan keluarga telah membumi

Ironi pendidikan kini; Sebuah Elegi masa depan
Pendidikan merupakan lembaga yang dianggap paling bertanggung jawab terhadap perkembangan sebuah bangsa. Tak ayal, ketika produk instansi ini tidak sesuai dengan harapan, maka pihak yang paling sering dipersalahkan adalah sekolah dan lembaga pendidikan. Ini tercermin ketika ada seorang guru yang sudah tua mulai mengeluh ,mengapa setiap terjadi kasus “Kecelakaan” penyaluran bakat remaja, semisal tawuran antar pelajar, perampokan yang dilakukan oleh pelajar, budaya nyabu, ngoplo, nyimeng, sampai kasus “Bandung lautan asmara” dan casting iklan sabun “Kamar kecil biru” diterminal Tirtonadi Solo, selalu saja guru dan lembaga pendidikan yang selalu dipersalahkan dan dipermasalahkan. Mulai dari menyorot soal ketidakseriusan guru mendidik dan krisis keteladanan guru yang tidak patut lagi “di gugu dan ditiru” sampai dengan mempolemikkan perlu tidaknya menghidupkan kembalii mata pelajaran budi pekerti atau bahkan menambah jam pelajaran Agama ditengah pelajaran moral pancasila dan PPKn yang semakin kehilangan orientasi nilai. Tak ayal, sekolah atau lembaga pendidikan seolah menjadi biang kerok atas semua kemelut bangsa dan menjadi pihak yang pertama yang harus diadili. Sungguh ironis, lembaga yang harusnya menjadi “Kawah Condrodimuko” malah menjadi pihak yang mesti dipersoalkan eksistensinya dalam membangun peradaban.
Padahal kalau kita cermati alokasi waktu bagi anak-anak tersebut dalam naungan atap sekolah tidak lebih dari 6 jam dalam 24 jam hidup sehari-hari. Waktu 6 jam pun masih dipotong untuk istirahat, hari libur setiap minggu dan beberapa hari libur insidental yang juga cukup banyak. Dapat di hitung berapa waktu yang mungkin dapat di manfaatkan oleh guru untuk mengontrol semua kegiatan atau aktifitas murid-muridnya. Dalam waktu yang sedikit itu,seorang guru di tuntut harus mencerdaskan,mengadabkan,membudayakan serangkuman materi kedalam otak anak. Mungkinkah semuanya dapat tercapai ?
Seorang guru jelas bukan tukang sulap yang mampu mengubah segala sesuatu dengan mantra “abrakadabra” atau “sim salabim” yang dengan sendiri otomatis menjadi “kunfayakun”, Beliau juga bukan “Superman” yang mampu melakukan semua dengan mudah, pun beliau juga bukan “Uber match”-nya ala neitzhe yang mampu menjalankan fungsinya sebagai manusia yang serba bisa, tetapi Beliau juga manusia biasa yang kadang terhimpit berbagai masalah dan kegetiran hidup yang cukup menyesakkan dada yang membutuhkan alam pikir kreatif. Demikian pula ruang kelas bukanlah mesin foto kopi yang bisa menstranfer seluruh catatan buku pada lembaran kertas yang kosong yang tak terbatas jumlahnya, dan murid pun bukanlah lembaran kertas yang kosong tetapi murid adalah potensi yang harus di kembangkan dengan berbagai kekomplekan poblemnya.
Persoalannya pun tidak cukup berhenti sampai disini. Seorang murid yang baru saja diajar tentang sopan santun berbicara, kalau berbicara harus menghindari kosa kata yang kotor dan tidak pantas, tetapi sampai dirumah orangt tuanya biasa berperang mulut ala telenovela dengan mengobral nama-nama seluruh koleksi kebun binatang. Apakah pelajaran moral yang baru saja didapat didalam ruang kelas tersebut bermanfaat dan membekas didalam hati serta alam bawah sadarnya anak? kalau sekedar mengingatkan dan kemudian menuliskannya didalam lembar jawaban ketika ujian tiba mungkin semua anak dapat melakukanya dengan nominal nilai 10, tetapi untuk menjadikannya menjadi sebuah kebiasaan sehari-hari -yang dalam bahasa agama kita sering sebut “Akhlak”-.tampaknya akan sulit dipastikan keberhasilannya.

Keluarga Sebagai “Soko Guru Peradaban”
Solusi yang sedang dikembangkan dan sedang menjadi trend adalah dengan sekolah “full day” atau “Boarding school”, dengan harapan bisa mengisolasi anak dari pergaulan buruk masyarakat, yang secara teorinya tampak ampuh pada dataran empiriknya acap kali masih jadi tanda Tanya besar ataupun bahkan tampak gagap ketika harus diparalelkan dengan kekomplekan problem hidup kehidupan remaja yang juga butuh bermasyarakat. Inilah cermin kegalauan dan kecemasan masa depan anak kita. Sadar atau tidak suatu saat saya, engkau dan kita semua pasti akan menjadi ayah dan bunda yang akan memandu jalannya masa depan anak kita.
Berangkat dari persepsi perbandingan waktu yang tidak proporsional itu, dalam pandangan seorang P.Mujiran dalam bukunya “Pernak-pernik pendidikan” mengajak mengembalikan tugas pendidikan kepada institusi yang lebih kokoh dan lebih tua dari pendidikan formal sekolah. Instutusi itu adalah keluarga. Dengan mengembalikan tugas pendidikan kepada institusi keluarga , maka sebenarnya juga telah menghidupkan slogan “Belajar seumur hidup” (Life-long education) secara nyata. Sebab begitulah kenyataannya, begitu individu lahir maka dia akan mendaulat ayah dan ibunya sebagai gurunya yang pertama. Walaupun tanpa teks pengangkatan dan surat keputusan (SK). Cara ayah makan dan minum, kebiasaan ibu berbicara dan bersikap akan direkam dalam alam bawah sadar anak sebagai proses pendidikan yang akan menjadi kebiasaan sehari-hari
Keluarga sebagai “Tiang Negara”
Keluarga sebagai umat kecil yang memiliki pimpinan dan anggota, mempunyai pembagian tugas dan kerja, serta hak dan kewajiban bagi masing-masing anggotanya.”Umat besar” atau satu negara demikian pula halnya. Al qur’an menamakan satu komunitas sebagai “Ummat” dan menamakan ib yang melahirkananak keturunan sebagai “Umm”. Menurut Qurais Shihab Kedua kata tersebut terambil dari akar kata yang sama. Mengapa demikian? Agaknya ibu yang melahirkan anak keturunan itu dan yang dipundaknya terutama dibebankan pembinaan dan pendidikan anak.
Keluarga adaah sebagai sekolah tempat putra-putri bangsa belajar. Dari sana mereka mempelajari sifat-sifat mulia, seperti kesetiaan, rahmat, adab, sopan santun (Ahlaqul kariemah) dan kasih sayang, Ghiroh (kecemburuan positif) dan sebagainya. Disinilah tempat mereka belajar. Dari kehidupan keluarga, seorang ayah sekaligus suami memperoleh dan memupuk sifat keberanian dan keuletan sikap dan upaya dalam rangka membela sanak keluarganya dan membahagiakannya mereka pada saat hidupnya dan setelah kematiannya.
Keluarga adalah unit terkecil yang menjadi pendukung dan pembangkit lahirnya bangsa dan masyarakat. Selama pembangkit itu mampu menyalurkan arus yang kuat lagi sehat, selama itu pula masyarakat dan bangsa akan menjadi sehat dan kuat. Nah, disinilah peran besar keluarga yang ikut andil terhadap bangun-runtuhnya suatu masyarakat. Walaupun harus diakui pula bahwa masyarakat secara keseluruhan dapat mempengaruhi pula keadaan para keluarga.
Kalau dalam literatur keagamaan di kenal ungkapan al mar’ah ‘imaadul bilad (wanita dalah tiang negara), maka pada hakikatnya tidaklah meleset bila dikatakan bahwa Al usroh ‘imaadul bilad biha tahya wabiha tamuut (keluarga adalah tiang negara,dengan keluargalah negara bangkit atau runtuh).
Demikianlah, terlihat betapa besar peranan keluarga dan betapa keberhasilan kita secara perorangan atau kolektif, secara pribadi atau sebagai bangsa, didunia dan akherat, banyak sekali ditentukan oleh keberhasilan kita dalam keluarga masing-masing. Wajar jika Alloh berpesan : “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka” (QS 66:6).
Nah, berangkat dari persepsi diatas yang menjadi benang merah bahwa Salah satu tugas yang ditekankan adalah tugas mendidik bukanlah tugas guru dan sekolah semata, akan tetapi juga harus disadari orang tua sebagai tugas yang secara otomatis melekat manakala anak lahir ke dunia dan juga harus diterima sebagi tugas keluarga serta lingkungan, sebagaimana pepatah arab “Al-Insaanu ibnu biah” (manusia itu anak lingkungannya). Tugas ini tidak bisa di pungkiri dan dielak begitu saja dengan membebankan segala proses pendidikan kepada sekolah. Oleh karena keluarga merupakan Institusi yang paling dasar dalam suatu masyarakat dan paling dekat dengan individu-individu, maka tanggung jawab keluarga tidaklah kecil.
Dengan demikian apabila seluruh keluarga telah sadar akan tugas mulia itu, maka kita tidak terlalu cemas dengan pertanda “Kematian Sekolah” seperti yang ditengarai oleh Neill Postman. Juga boleh menganggap “sepi ancaman gurita kapitalisme licik yang mengangkangi sekolah” sebagaimana kecemasan Paulo Freire. Bahkan juga dapat membiarkan peringatan Roem Topatimasang tentang fungsi sekolah yang telah berubah menjadi candu. Sebab, apabila seluruh keluarga sadar akan tugas utamanya maka sesungguhnya sebuah “Masyarakat tanpa sekolah” ( Deschooling Society ) yang pernah diangankan oleh Ivan Illich tanpa terasa telah dibumikan secara nyata.

Minggu, 17 Januari 2010

Makna Maulid Nabi

“Makna Maulid Nabi; Meneladani Muhamad Sebagai Pendidik”

Masih Sebatas Seremonial
Kelahiran seorang manusia sebetulnya merupakan perkara yang biasa saja. Bagaimana tidak? Setiap hari, setiap jam, bahkan setiap menit dunia ini tidak henti-hentinya menyambut bayi-bayi manusia yang baru lahir. Karena perkara yang biasa-biasa saja, tidak terasa bahwa dunia ini telah dihuni lebih dari 6 miliar jiwa.
Karena itulah barangkali, Nabi kita, Rasulullah Muhammad saw., tidak menjadikan hari kelahirannya sebagai hari yang istimewa. Demikian juga keluarga maupun para sahabat beliau. Wajar jika dalam Sirah Nabi saw dan dalam sejarah otentik para sahabat beliau, sangat sulit ditemukan tentang adanya fragmen Peringatan Maulid Nabi Muhammad saw., baik yang dilakukan oleh Nabi saw. sendiri maupun oleh para sahabat beliau. Sebab, sebagaimana manusia lainnya, secara fisik atau lahiriah, memang tidak ada yang istimewa pada diri Muhammad sebagai manusia, selain beliau adalah seorang Arab dari keturunan yang dimuliakan di tengah-tengah kaumnya
Fenomena di Indonesia menunjukkan antusiasme masyarakat dalam memperingati maulid Nabi Muhammad SAW sangat luar biasa, di satu sisi memang perlu diapresiasi paling tidak mereka ingat akan Nabi yang menurut mereka membawa pesan Allah dalam rangka memerdekakan manusia. Namun, di sisi lain atusiasme tersebut harus tetap dicermati mengingat kesemarakan di balik antusiasme memperingati kelahiran manusia yang mereka anggap pembawa risalah ketuhanan itu sudah terduksi sedemikian sehingga melupakan aspek mendasar dari kelahiran Nabi Muhammad SAW tersebut.Akibat tereduksinya nilai-nilai mendasar dari makna maulid tersebut tidak sedikit kemudian dijumpai praktik-praktik yang menyimpang dan bisa dikatakan berlawanan dengan peringatan kelahiran Nabi terakhir itu.
Untuk itu, ketika umat Islam ketika memperingati maulid Nabi layak mencermati apakah dari peringatan akan menjadi sebagai momentum untuk merefleksikan diri setiap individu umat Islam atau umat Muhammad sejauh mana mereka telah menjalankan ajaran yang dibawa beliau. Refleksi setiap individu itu sangat mendasar guna mengevaluasi sejauh mana setiap individu dari kita selaku umat Muhammad telah beramaliah sesuai dengan tuntunan syariah yang dibawa beliau ke dunia ini.
Namun, menurut Mahmudi Asyari jika setiap momentum hanya sebatas seremonial, jangankan peringatan maulid Nabi yang tidak ada kaitan secara langsung dengan ibadah, ibadah mahdah yang memerintahkan setiap pelakunya untuk mengimplementasikan kebaikan, tidak akan banyak mempengaruhi perilaku muslim. Dan, fenomena tersebut menemukan contoh kongkritnya di negeri kita yang meskipun penghuni mayoritasnya adalah muslim, korupsi justru sangat marak. Ini, sungguh ironi di mana semestinya melalui ajaran sholat yang dibawa Nabi Muhammad menghindari korupsi, karena hal itu merupakan perbuatan keji dan mungkar, malah masuk kelompok negara terkorup di dunia yang sudah barang tentu muslim lah sebagai grup yang memimpin korupsi. Fenomena tersebut juga menunjukkan bahwa ibadah yang mereka lakukan baru sebatas seremonial tanpa pemaknaan. Begitu juga dengan peringatan hari-hari besar Islam seperti Maulid Nabi yang semestinya dijadikan sebagai momentum peningkatan pemaknaan ibadah dalam rangka menebar kebaikan dan keadilan, akan tereduksi ke dalam bentuk acara kolosal dan pesta yang kesemuanya bermuara kepada satu hal, yaitu konsumerisme. Itu pun jauh lebih baik dibandingkan praktik yang menjurus kepada aspek mistik dan syirk.
Kelahiran Nabi saw : Kelahiran Masyarakat Baru
Sebagaimana diketahui, masa sebelum Islam adalah masa kegelapan, dan masyarakat sebelum Islam adalah masyarakat Jahiliah. Akan tetapi, sejak kelahiran (maulid) Muhammad saw. di tengah-tengah mereka, yang kemudian diangkat oleh Allah sebagai nabi dan rasul pembawa risalah Islam ke tengah-tengah mereka, dalam waktu hanya 23 tahun, masa kegelapan mereka berakhir digantikan dengan masa ‘cahaya'; masyarakat Jahiliah terkubur digantikan dengan lahirnya masyarakat baru, yakni masyarakat Islam.
Sejak itu, Nabi Muhammad saw. adalah pemimpin di segala bidang. Ia memimpin umat di masjid, di pemerintahan, bahkan di medan pertempuran. Ia tampak seperti seorang dokter jiwa yang mengubah jiwa manusia yang biadab menjadi jiwa yang memancarkan peradaban
Ia juga seorang politikus yang berhasil mempersatukan suku-suku Arab hanya dalam waktu kurang dari seperempat abad. Ia juga pemimpin ruhani yang melalui aktivitas ibadahnya telah mengantarkan jiwa para pengikutnya ke alam kelezatan samawiah dan keindahan suasana ilahiah.
Karena itu, kita bisa menyimpulkan bahwa makna terpenting dari kelahiran Nabi Muhammad saw. adalah keberadaannya yang telah mampu membidani kelahiran masyarakat baru, yakni masyarakat Islam; sebuah masyarakat dengan tatanan kehidupannya diatur seluruhnya oleh aturan-aturan Islam yang di bawa oleh Nabi Muhamad.
Meneladani Rosululloh sebagai Pendidik

Sesungguhnya Rasulullah SAW adalah seorang pendidik yang mampu membentuk manusia hingga menjadi manusia yang diridhai Allah SWT. Kebersamaan beliau selama ini dengan kita sesungguhnya adalah pendidikan yang beliau berikan kepada kita.

Menurut Tadjuddin Noor Lc Mencari ilmu, memahami ilmu, dan mengamalkan ilmu adalah ciri seorang guru yang berkualifikasi sebagai mu’alim. Guru yang seperti ini sangat haus akan ilmu dan berusaha mencarinya. Setelah menguasai ilmu, guru ini menebarkan ilmu itu ke lingkungan sekitarnya. Dengan tuntunan wahyu Allah SWT, Rasulullah SAW menebarkan ilmu kepada lingkungan sekitarnya hingga ke seluruh dunia melalui lisan para pengikutnya. Sang guru mengikat mereka dengan pengawasan dan pendekatan yang ketat sehingga amal murid-muridnya berdasarkan ilmu dan ilmu yang diperoleh murid-muridnya dapat diamalkan.


Di sinilah guru membentuk karakter yang islami murid-muridnya. Diperkenalkan kepada muridnya adab-adab atau perilaku yang islami sehingga tampaklah keindahan ajaran Islam dalam diri murid-muridnya. Ia memberi peringatan dan mewanti-wanti agar murid-muridnya tidak terjerumus ke jurang kehinaan, kesengsaraan, dan kekalahan. Ia juga mempersatukan mereka dengan satu tatanan sosial masyarakat atau kelompok sebagai kontrol terhadap perilaku yang dilakukan masing-masing muridnya. Di sini guru sedang membentuk manusia beradab hingga peradaban Islami yang dicita-citakan terwujud, sebuah masyarakat yang di idam-idamkan semua orang yaitu masyarakat madani.

Mendidik dengan Kasih Sayang

Mendidik anak adalah menumbuhkembangkan kepribadian sang anak dengan memberikan kehormatan kepadanya, sehingga Nabi SAW sangat menghormati anak-cucunya. Bila memang sejak kecil ia sudah memiliki perasaan, maka jangan sampai ada perlakuan yang menjadikannya merasa terhina.
Ada sebuah riwayat, seorang anak lelaki digendong oleh Nabi dan anak itu pipis, lantas ibunya langsung merebut anaknya itu dengan kasar. Nabi kemudian bersabda, "Hai, bajuku ini bisa dibersihkan oleh air, tetapi hati seorang anak siapa yang bisa membersihkan". Riwayat lain menyebutkan bahwa Nabi berkata, "Jangan, biarkan ia kencing hingga ia selesai". Dari hal ini, muncul ketentuan, bila anak laki-laki kencing cukup dibasuh, sedangkan bila anak perempuan dicuci dengan sabun. Riwayat tadi memberi pelajaran bahwa sikap kasar terhadap seorang anak dapat mempengaruhi jiwanya sampai kelak ia dewasa.


Namun sisi lain, ada satu hal di mana Nabi SAW sangat hati-hati dalam persoalan anak. Ketika Nabi SAW sedang berada di masjid, ada orang yang mengirim beliau kurma, kemudian cucunya (Hasan) datang dan naluri anak-anak,Hasan mengambil sebuah kurma lalu langsung memakannya. Nabi bertanya kepada Fatimah ibunya, "Cucuku tadi mengambil kurma dari mana?" Sampai akhirnya, dipanggilnya Hasan dengan penuh kasih sayang dan diambil kembali kurma dari mulutnya. Ini maknanya apa? Nabi tidak mau anak cucunya itu memakan sesuatu yang haram, walaupun ia masih kecil dan tidak ada dosa baginya, karena itu akan memberikan pengaruh kepadanya kelak ia besar.
Sebuah Renungan
Dari paparan di atas, jelas bahwa Peringatan Maulid Nabi saw. sejatinya dijadikan momentum bagi kaum Muslim untuk terus berusaha melahirkan kembali masyarakat baru, yakni masyarakat Islam, sebagaimana yang pernah dibidani kelahirannya oleh Rasulullah saw. di Madinah. Sebab, siapapun tahu, masyarakat sekarang ini masih jauh dari tuntunan dari nlai-nilai islami.
Rasulullah tidak hanya menyeru manusia agar beribadah secara ritual kepada Allah dan berakhlak baik, tetapi juga menyeru mereka seluruhnya agar menerapkan semua aturan-aturan Allah dalam seluruh aspek kehidupan mereka. Sejak awal, bahkan para pemuka bangsa Arab saat itu menyadari, bahwa secara politik dakwah Rasulullah saw. akan mengancam kedudukan dan kekuasaan mereka. Itulah yang menjadi alasan orang-orang seperti Abu Jahal, Abu Lahab dan para pemuka bangsa Arab lainnya sangat keras menentang dakwah Rasulullah saw.