Kamis, 22 April 2010

Pildacil

“Pembunuhan Karakter itu bernama Pildacil ?”
(Perspektif analisis-subjektif)

Membangun Orientasi hidup: persfektif Al Qur’an

Dalam beberapa bulan yang lalu sebuah majalah Islam menerjunkan tajuk yang cukup mengusik hati saya. Tajuk yang ditulis oleh Mohamad Fauzil Adhim yang membuat hati saya resah dan gelisah. Resah karena menyangkut masa depan anak-anak kita. Gelisah karena ini realitas. Dalam tajuk tersebut beliau menyitir kalimat seorang ustadz yang bertindak sebagai juri dalam sebuah kontes yang konon mencari bibit-bibit unggulan Dai muda. Kata seorang juri dalam kontestan tersebut: “Kamu terbaik saat ini. Ini yang di inginkan juri. Beberapa tahun ke depan, rumah dan mobil kamu akan mewah. Kamu juga akan membangun Masjid”. “FANTASTIS”, sebuah nasehat yang membuat miris, sehingga tak hanya cukup dijawab dengan tangis. Anehnya justru para orang tua malah berbangga dengan itu semua. “Nasehat” Ini seharusnya membuat hati orang tua ngeri membayangkan masa depan anak-anaknya. Kecuali jika pertanyaan yang menguasai benak kita tentang anak-anak adalah apa yang akan mereka makan sesudah kita tiada, bukan apa yang mereka sembah, sehingga apa pun yang mereka kerjakan hanya untuk Robbul ‘alaamien. Bukankah setiap hari dalam sholat kita selalu mengajarkan kepada anak kita ayat Al Qu’an : “Sesungguhnya sholat, ibadah, hidup dan matiku hanyalah untuk Alloh, Tuhan semesta Alam, tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang di perintahkan kepadaku dan aku adalah orang pertama-tama menyerahkan diri ( kepada Alloh)”(Qs Al An’am: 162-163)
Inilah orientasi hidup yang harus kita hujamkan ke dada anak-anak kita. Kita hujamkan keinginan menolong agama Alloh ke dalam hati dan sanubari mereka sejak dini dengan sekuat-kuatnya. Semoga dengan itu ia menjadi orang yang ikhlas dalam memberikan hartanya, hidupnya dan dirinya bagi agama Alloh. Sesungguhnya amal itu tergantung dari niat. Jika anak-anak itu kelak menyembah Alloh karena mengharap dunia, mereka tidak akan memperoleh akhirat. Sedangkan dunia belum tentu ia mendapatkan.
Adapun jika mereka membaktikan sholat, ibadah, hidup dan matinya untuk Alloh semata, sesungguhnya Alloh Maha Pemurah Lagi Maha Penyayang. Insyaalloh mereka akan mampu menggenggam dunia dengan tangan kanannya, sedangkan di akherat menanti syurga yang penuh berkah dan mengalir sungai yang sejuk.
Kuatnya orientasi hidup inilah yang harus menjadi perhatian kita, orang tua dan para pendidik di sekolah. Bahkan seandainya yang kita inginkan dari mereka adalah kesuksesan karir di dunia ini, kita harus menanamkan pada anak kita orientasi yang kuat dan bersifat transenden. Bahkan kata seorang Psikolog W.Huitt menunjukkan bahwa seorang yang “Brilliant Star” (Bintang Brilian)- istilah Huitt tentang mereka yang memiliki prestasi yang luar biasa melebihi orang-orang sukses pada umumnya- biasanya memiliki ciri spiritual yang khas yaitu Disciple dan devout. Disciple berarti ia sangat percaya pada gagasan atau ajaran seorang pemimpin besar atau guru spiritual. Sedangkan Devout menunjukkan ketaatan yang sangat kuat.
Kunci pokok untuk menghantarkan anak meraih sukses adalah membentuk jiwanya, membangun motivasinya, membakar semangatnya dan mengarahkan orientasi hidupnya yang berbasis pada ikatan Transenden semenjak dini. Kita bakar semangatnya untuk bersungguh-sungguh melakukan yang terbaik demi sebuah idialisme yang buahnya ada di syurga.
Masih menurut riset W.Huitt, seorang “Brilliant Star” juga memiliki ciri sosial yang Transenden. Apapun yang ia lakukan dalam masyarakat adalah dalam rangka mewujudkan perintah Alloh di muka bumi dan menjadi pelayan yang rendah hati bagi umat manusia. Ia berbuat banyak, bahkan melampaui yang bisa dilakukan orang lain. Ia banyak memberi manfaat, tetapi merasa selalu apa yang ia lakukan belum cukup untuk mensyukuri nikmat Alloh Azza Wajalla.
Paradog PILDACIL; Antara bisnis dan mencetak kader umat
Untuk selanjutnya terlebih dahulu kita paparkan sedikit tentang tahap-tahap perkembangan anak untuk mengupas fenomena Pildacil. Pada masa kanak-kanak, motivasi masih dalam proses perkembangan. Fase pembentukan yang paling penting berada pada rentang usia 0-8 tahun. Selanjutnya usia 9-12 tahun merupakan fase penguatan. Secara umum, anak-anak mencapai kemapanan motivasi pada usia 12 tahun. Artinya, pada usia ini motivasi anak cenderung stabil, meskipun ada kemungkinan berubah. Jika pada usia-usia sebelumnya orang tua dan guru terus-menerus membangun motivasi intrinsik.
Alfie Kohn, seorang Psikolag, menyatakan alasan mendasar mengapa tidak boleh ada lomba yang bersifat kompetisi bagi anak-anak. Alih-alih merangsang motivasi berprestasi, anak-anak justru kehilangan dorongan untuk melakukan hal terbaik secara sungguh-sungguh. Dalam jangka panjang, anak justru kehilangan motivasi berprestasi dan semangat bersaing yang produktif.
Nah, apakah yang di tawarkan dari program Pildacil di salah satu stasiun TV swasta itu? Anak-anak dilatih menirukan ceramah-ceramah -bukan mengekpresikan gagasan atau ide secara ilmiah-untuk meraih mimpi-mimpi tentang uang yang berlimpah, umroh gratis bahkan sekaligus ambisi punya rumah mewah. Akan kita bawa kemana anak-anak kita jika di usianya yang masih belia, sudah sibuk mendakwahkan agama untuk meraih dunia? pada hal, hari ini mereka seharusnya membangun motivasi yang kuat, budaya belajar yang kokoh, integritas yang tinggi, dan visi besar yang bernilai spiritual.
Di luar itu semua, ada beberapa hal yang sangat memprihatinkan bagi perkembangan anak kita dimasa mendatang, terutama jika mengingat bahwa tidak mungkin mereka bisa tampil di Pildacil kecuali karena ada potensi besar pada diri mereka.
Jika melihat cara mereka berbicara dan sorot matanya saat tampil, tampak betul bahwa mereka bukan mengekpresikan gagasan atau ide. Tetapi mereka sedang belajar mengambil jalan pintas. Mereka menjadi kaset yang diputar ulang. Materi ceramah dan gaya bicara, tidak sedikit yang menunjukkan bahwa bukan diri mereka yang tampil. Yang tampil adalah sosok imitasi Aa Gym, Zainudin, sosok Ustad Jefri dll, bukan diri mereka yang sesungguhnya. Barang kali tidak disadari, cara seperti ini merupakan
“Pembunuhan Karakter positif anak”

Di saat anak harus belajar beramal dengan ikhlas dan gigih berusaha, mereka melihat kenyataan bahwa yang membuat mereka hebat bukan usaha keras mereka untuk berbicara sebaik-baiknya, tetapi seberapa banyak SMS yang masuk untuknya. Di banyak tempat pembunuhan karakter berikutnya terjadi; dari orang tua, pejabat pemerintah hingga pemuka agama yang tidak visioner berlomba mengeluarkan dana sekaligus menyeru untuk berkirim SMS sebanyak-banyaknya. Sekali lagi, anak belajar praktek manipulatif. Pada hal orang dewasa -melalui Akademi Fantasi Indonesia (AFI), Indonesian Idol, dll- pun seharusnya belajar untuk secara jujur mengakui keutamaan orang lain dan berusaha mengambil pelajaran orang lain yang lebih baik. Saya masih teingat ketika disolo, wali kota menyerukan warganya saat itu untuk berkirim SMS sebanyak-banyaknya untuk mendukung pemenangan salah satu akademisi yang berasal dari Solo dalam sebuah perlombaan Akademi Fantasi Indonesia. Yang lebih mengherankan lagi, masyarakat semuanya meng-IYA-kan kebijakan Wali kota. Dampak lebih jauh lagi praktek manipulasi suara-sebagian orang tua bahkan sampai menjual harta berharga untuk mendongkrak perolehan suara.
Anak-anak yang seharusnya belajar membangun visi hidup dan orientasi spiritual, justru kehilangan elan vital untuk terus mencari ilmu dengan sebaik-baiknya dengan fokusnya justru bagaimana menarik perhatian publik. Bukan menyampaikan apa yang baik.
Alasan diatas sesungguhnya setidaknya menyadarkan kepada kita semua untuk tidak menjerumuskan anak kita kepada “Kematian Karakter”. Terlalu kecil harga yang mereka terima untuk sebuah kehilangan yang sangat besar. Anak-anak itu sangat besar dan luar biasa potensinya. Pildacil sama sekali bukan masa depan anak kita, dan bukan pembibitan generasi Islam. Pildacil adalah bisnis dan hiburan, karena hanya inilah kamus yang di kenal oleh Televesi. Pandangan ini mungkin bersifat sangat subjektif, bukan maksud apa-apa sebenarnya. Maksud saya begini, setidaknya kita sebagai pendidik atau bahkan orang tua untuk senantiasi waspada terhadap segala tayangan Televesi baik dalam acara apapun. Walau dengan embel-embel wadah pencarian bakat untuk mencetak kader generasi umat yang mumpuni. Karena dengan sikap begitu kita dapat memastikan masa depan mereka untuk tidak menjadi “generasi pengekor”-untuk tidak mengatakan “generasi Pembebek”-(Syech Rombangi)

Tidak ada komentar: