Senin, 14 Desember 2009

renungan akhir tahun

“Pendidikan untuk masa depan”
(Renungan Akhir Tahun)

Oleh Abdul Qohin

Belajar Dari Jepang
Menurut Prof. Dr. Winarno Surakhmad, M.Sc Di dalam dunia pendidikan, sambil berpijak pada masa kini, kita mempersoalkan masa depan. Masa depan ditanggapi sebagai serangkaian persoalan kelangsungan hidup dengan sifat serba terbuka, serba masalah, serba tantangan. Dengan sifat-sifat itu, Yang diperlukan oleh bangsa yang berpikir, sebagai prakondisi untuk mengembangkan diri sendiri adalah menemukan diri sendiri dan memberi arti kepada kehidupan itu sendiri.
Marilah kita sejenak merenungkan dan belajar dari jepang tentang pendidikannya. Tahun 1945, ketika Nagasaki dan Hirosima dilululantahkan oleh sekutu, 200.000 penduduknya tewas dan hanya ada tanah dan air yang tersisa. Kemegahan bangunan pupus sudah. Menariknya pemimpin mereka saat itu, Kaisar Hirohito tidak menanyakan berapa jumlah tentara yang tersisa untuk melawan musuh, tetapi justru mendata berapa jumlah guru yang masih hidup. Kenapa mesti Guru yang dipertanyakan. Hirohito sadar benar bahwa membangun bangsa berawal dari Guru sebagai pendidik. Guru merupakan penopang utama sumberdaya manusia.

Dalam masa yang relatif singkat Jepang berhasil membangun negara mereka menjadi negara yang kuat dalam bidang ekonomi dan pendidikan. Bahkan merupakan negara ekonomi terkuat yang menjadi ancaman bagi AS sendiri. Coba kita bandingkan dengan Indonesia yang mulai membangun diri pada waktu yang sama dengan Jepang (kita merdeka 1945 dan Jepang di bom atom 1945). Jepang telah berlari jauh di depan, kita malah masih tertatih-tatih bahkan jalan di tempat dan kadang kala juga mundur ke balakang.
Contoh nyata dari kemajuan pendidikan di Jepang adalah berubahnya pengertian buta huruf dikalangan rakyat Jepang. Buta huruf yang sudah tidak ada lagi di Jepang mempunyai pengertian “tidak bisa menggunakan komputer”. Betapa jauhnya pengertian ini dengan pengertian aslinya di kalangan bangsa berkembang (dunia ketiga), yang berarti tidak bisa tulis dan baca.

Pendidikan Humanistik
Sekolah selama ini banyak dijadikan sebagai sebuah pabrik, di mana lulusan-lulusannya siap menjadi tenaga kerja siap pakai. Maka sebagian fungsi sekolah yang ada di Indonesia tidak lebih hanya sebagai cara untuk mencari bekal untuk kerja. Tidak mengherankan ketika siswa tidak menjadi semakin cerdas, tapi menjadi semakin beringas dan brutal.
Tawuran pelajar terjadi dimana-mana dan banyak sekali penyalahgunaan NARKOBA yang dilakukan oleh pelajar. Hal itu merupakan bukti ketidakberhasilan sekolah untuk membentuk siswa menjadi manusia pembelajar. Pembelajar adalah individu-individu yang dapat memilah dan memilih mana yang baik dan yang buruk.
Beberapa contoh di atas merupakan pertanda bahwa pendidikan hanya dijadikan ajang penindasan bagi siswa. Erat kaitannya dengan hal tersebut, Freire yang adalah seorang tokoh pendidikan menggagas adanya concientizacao ( kesadaran untuk melakukan ). Concientizacao adalah kesadaran untuk melakukan pembelaan kemanusiaan. Dapat memberantas buta huruf di kalangan orang dewasa misalnya, dimaknai sebagai usaha membebaskan manusia dari belenggu kebodohan.
Sebagian pakar pendidikan beranggapan bahwa Pendidikian yang sesuai dengan tujuan ini adalah pendidikan humanistik yaitu pendidikan yang bertujuan memanusiakan manusia. Manusia didudukkan kembali dalam peranannya dimuka bumi sebagai khalifah dan sebagai hamba. Ada dua sisi manusia yang menjadi kekuatan dasar disini yaitu manusia yang ingin memahami segalanya dan manusia yang menyadari bahwa dia tidak mungkin memahami segalanya.
Ada beberapa nilai dan sikap dasar manusia yang ingin diwujudkan melalui pendidikan humanistik yaitu: Manusia yang menghargai dirinya sendiri sebagai manusia, Manusia yang menghargai manusia lain seperti halnya dia menghargai dirinya sendiri., Manusia memahami dan melaksanakan kewajiban dan hak-haknya sebagai manusia, Manusia memanfaatkan seluruh potensi dirinya sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya., Manusia menyadari adanya Kekuatan Akhir yang mengatur seluruh hidup manusia. .
Apakah dalam pendidikan humanistik setiap manusia diperlakukan sama? Pendidikan yang manusiawi justru harus menghargai perbedaan individual. Kenyataan keunikan manusia harus diakui.
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pendidikan jika ingin pendidikan lebih manusiawi,diantara hal-hal tersebut adalah penerimaan setiap anak apa adanya, lengkap dengan kekurangan dan kelebihannya, Memberikan anak pengalaman sukses sehingga tumbuh percaya diri,, tidak memaksakan kehendak, karena tanpa dipaksa setiap individu akan bergerak untuk memnuhi kebutuhannya, Ukuran keberhasilan tiap anak berbeda-beda. Yang harus dilakukan adalah membantu anak sesuai dengan kemampuannya, memberikan anak toleransi, dorongan semangat, penghargaan serta rasa persahabatan.,selain itu juga memberi anak kebebasan yang disertai rasa hormat dan tanggung jawab
Pendidikan harus Mencerahkan

Pada prinsipnya manusia adalah makhluk yang disamping harus dan dapat dididik juga harus dan dapat mendidik. Dalam hai ini diharapkan proses dididik dan mendidik dapat berkelanjutan atau terus-menerus. Sadar ataupun tidak sadar pendidikan adalah alat pengontrol emosi terutama tentang cara seseorang menyikapi berbagai permasalahan hidup dengan mencari jalan terbaik. Mengapa bisa demikian? Karena dalam pendidikan ada suatu pencerahan hati. Dalam pendidikan tersirat makna tentang hakekat diciptaknnya manusia dalam bumi ini. Hakekat kita hidup di dunia ini adalah mencari sebuah kebenaran suatu hal dan merenungkan tentang apa yang telah kita perbuat serta berusaha melakukan hal-hal yang berguna dalam hidup.

Pendidikan membebaskan peserta didik dari sekat primordial dan menumbuhkan sikap kebersamaan dalam kebhinekaan. Keadaan semacam ini mendorong tercapainya pengembangan peserta didik agar tahu bagaimana menghargai perbedaan dan peka terhadap nilai-nilai kemanusiaan universal. Lebih jauh, peserta didik akan terinspirasi untuk menghormati martabat tanpa syarat sebagai sesuatu yang melekat (inheren) dan tak bisa diganggu gugat (inviolable). Bila nilai pendidikan semacam ini tak bisa dicapai, maka yang muncul dari keniscayaan pluralitas masyarakat justru akan menimbulkan sikap-sikap amoral, intolerant, anarkisme, dan anti kemanusiaan.

Sikap-sikap di atas tidak dapat ditangkal dengan cara instan ketika keadaan pendidikan masih menghadapi pemiskinan berpikir dan pembodohan berperilaku. Banyak aspek yang harus digarap, namun mulailah dari lingkungan terkecil yakni keluarga. Kemudian pendidikan formal disekolah-sekolah melengkapinya dengan materi-materi ilmu pengetahuan yang memberi manfaat nyata bagi kehidupan bermasyarakat (contextual). Materi Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) membekali kesadaran akan pluralitas sosial kemasyarakatan, memaknai peran kepahlawanan dalam mencapai kemerdekaan dan memahami hakikat negara kepulauan terbesar di dunia sebagai negaranya. Demikian pula halnya Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) membekali kesadaran akan pentingnya kedudukan manusia terhadap alam dan lingkungannya sehingga tumbuh sikap memeliharanya. Dan tidak kalah penting Pendidikan Agama mampu membekali kesadaran kolektif yang positif berdasarkan nilai kasih sayang (Ar-Rahman; Ar-Rahim) dan penghargaan terhadap kemanusiaan dan kehidupan. Semua ini didukung oleh contoh-contoh perilaku baik oleh para pemimpin, tokoh masyarakat dan guru-guru kita. Guru hadir sebagai agen perubahan dan rekonsiliasi yang kreatif mempraktekkan hidup damai dalam kebhinekaan di masyarakat. Guru tidak saja menjadi pengajar (teacher) namun juga berperan sebagai pembelajar (learner). Ia tidak hanya pandai dalam ilmu pengetahuan (smart teacher) dan sukses membangun perilaku (success learner) namun juga harus mencerahkan jiwa (delight learner). Pendidikan semacam inilah kiranya yang akan mampu membebaskan dari pemiskinan berpikir dan pembodohan perilaku, atau disebut pendidikan yang mencerahkan. Pendidikan yang mencerahkan akan memanusiakan manusia yang artinya adalah kita yang akan memiliki kepribadian yang lebih toleran dan tidak berpikiran sempit.