Selasa, 08 September 2009

idealisme guru

“Idealisme Guru”
Oleh Abdul Qohin
Idealisme vs Pragmatisme Guru
Mendengar kata idealisme, kira-kira hal apakah yang seketika itu terlintas dalam pikiran kita ? Suatu nilai luhurkah ? suatu hal yang langka dan sulit ditemui, atau bahkan mungkin mendengar kata idealism, hal yang pertama terlintas dalam pikiran kita adalah suatu hal yang terlalu mengada-ada dan mustahil untuk diwujudkan. Memang tidak dipungkiri bahwa persepsi yang demikian akan banyak dimiliki orang ketika mereka mendengar kata idealism.

Di Indonesia, cita-cita menjadi seorang guru, mungkin termasuk cita-cita yang amat mahal, karena hampir sebagian kecil saja dari orang Indonesia yang bercita-cita atau berminat menjadi seorang guru. Entah karena pekerjaan menjadi guru menuntut keahlian yang khusus, entah pula karena pekerjaan guru tidak menghasilkan imbalan yang menggiurkan.
Setiap pekerjaan paling tidak memuat dua konsekuensi. Pertama, pengabdian dan kedua adalah profesi. Pengabdian bagi seorang guru merupakan bagian yang tak dapat dipisahkan dalam seluruh aktifitasnya. Tentu saja hal ini berlaku bagi mereka yang memahami tugas itu sebenarnya.
Dengan melihat urgensi dari memiliki sebuah idealism, maka tak ragu lagi jika setiap pekerjaan yang kita lakukan, harus dilandasi dengan sebuah konsep idealism. Bila kita melihat lebih dalam lagi, sesungguhnya pekerjaan yang paling mudah untuk kita dalam menerapkan idealism adalah pekerjaan yang berhubungan dengan pengabdian.

Pengabdian, sesungguhnya memang merupakan tugas dan amanah yang diemban oleh tiap-tiap manusia. Pekerjaan ini sungguh sangat mulia untuk dilakukan. Salah satu pekerjaan yang berkaitan dengan pengabdian adalah menjadi seorang guru (pendidik). Menjadi seorang guru (pendidik) bukan perkara yang mudah. Sebab kita tidak hanya dituntut untuk dapat menyampaikan materi kepada peserta didik, tetapi lebuh dari itu, seorang pendidik sejati harus mampu mengubah peserta didiknya menuju ke arah yang lebih baik.

Paham mengenai sikap dan pandangan hidup seseorang yang mendasari pekerjaannya dapat dikatagorikan dua hal, yakni idealisme dan pragmatisme. Orang yang memiliki sikap dan pandangan hidup yang didasarkan pada nilai-nilai luhur dan cita-cita luhur disebut sebagai orang yang memiliki idealisme. Sedangkan orang yang memiliki pandangan dan sikap hidup yang didasarkan pada peroleh manfaat yang sebesar-besarnya dari banyak pilihan yang ada dihadapannya, disebut orang yang pragmatis.
Sejatinya, profesi Guru itu harus didasari oleh nilai-nilai idealisme ketimbang pragmatisme. Hal ini disebabkan karena profesi Guru merupakan profesi yang berhubungan langsung dengan benda hidup (manusia) bukan benda mati. Objek yang menjadi sasaran profesi guru senantiasa dinamis, berubah dan berkembang, sehingga menuntut kearifan dirinya untuk membaca tanda-tanda jaman yang sedang dihadapinya, kemudian ia berbuat sesuatu yang nyata dalam rangka mempersiapkan dan melahirkan generasi-generasi berikutnya yang juga mampu mewarisi kearifan pendahulunya.
Mendamba Guru Yang Idealis
Pernahkah kita menyaksikan film “Laskar Pelangi”? film fenomenal yang mebuat kita bertanya kembali, masih adakah sosok pendidik seperti itu di tanah air kita tercinta ini. Film ini mengisahkan tentang perjuangan anak-anak kampung belitong untuk dapat tetap menuntut ilmu, karena mereka yakin dengan ilmu maka mereka akan mampu mewujudkan mimpi-mimpi mereka. Di tengah kemarginalan yang harus mereka hadapi, semangat mereka untuk menuntut ilmu sungguh tinggi. Dengan dukungan dari dua orang guru yang tetap memegang teguh idealism dan keyakinan meraka untuk tetap mendidik sekelompok anak yang bernama Laskar Pelangi.
Sungguh, proses terbentuknya idealisme dalam diri bu Mus dan pak Arfan benar-benar terlukis dengan baik dalam film tersebut. Dimana idealisme yang awalanya terbangun oleh sebuah naluri kepahlawanan benar-benar terlihat pada diri bu Muslimah dengan melihat sosok ayahnya dan juga sosok pak Arfan. Kamudian naluri kepahlawanan itu diperkuat dengan adanya keberanian yang dimiliki oleh bu Mus dan pak Arfan dalam menghadapi berbagai tantangan yang siap menghadang langkah mereka dalam mendidik Laskar Pelangi. Kemudian nyawa keberanian tersebut dihembuskan oleh adanya kesabaran yang dimiliki baik oleh bu Mus maupun oleh pak Arfan. Lalu itu semua menghasilkan buah idealisme yang akhirnya membuat beliau berdua bertahan dalam mendidik Laskar Pelangi. Bisa saja kalau beliau berdua kehendaki, ketika ujian dan rintangan datang menghadang, mereka berhenti dan menyerah dalam menjadikan Laskar Pelangi menjadi manusia-manusia yang dapat bermanfaat bagi sekitarnya. Seperti semangat dan prinsip yang selalu dipegang teguh oleh pak Arfan yaitu “hidup untuk memberi sebanyak-banyaknya, bukan menerima sebanyak-banyaknya.”
Satu keprihatinan lagi yang muncul ketika kita menelisik lebih jauh lagi mengenai ada tidaknya idealism guru di Indonesia yang juga berhubungan dengan prinsip yang mengawali munculnya idelaisme yaitu berupa naluri kepahlawanan yang didapatkan dari hasil kekaguman. Jika dalam ilmu psikologi, dikenal teori belajar modeling Albert Bandura, maka ini juga yang berlaku dalam penciptaan idealism pada diri seseorang. Rasa kagum yang kemudian menimbulkan hasrat untuk dapat berbuat sama dengan orang dikagumi dapat diartikan sebagai pentingnya keteladanan dalam sistem pendidikan di Indonesia. Keteladanan atau contoh atau modelling dapat diperoleh dari lingkungan. Seorang murid yang kita asumsikan sebagai generasi penerus bangsa tempat ujung tombak bangsa ini ditentukan, akan sangat membutuhkan sosok yang dapat dijadikan sebagai model. Namun sayang dengan melihat kondisi sekarang, nampaknya kita harus bersedih dengan minimnya sosok guru yang dapat dijadikan sebagai model bagi generasi muda Indonesia. Ironi memang ketika akhirnya hal ini harus menjadi seperti “lingkaran setan” yang membayang-bayangi masa depan bangsa ini.
Untuk menghadirkan sosok yang bermutu guna mencapai pendidikan berkualitas, guru harus mendapatkan program-program pelatihan secara tersistem agar tetap memiliki profesionalisme yang tinggi dan siap melakukan inovasi. Penghargaan dan kesejahteraan yang layak atas pengabdian dan jasanya harus diberikan.
Dengan meningkatnya mutu guru, kita akan memiliki para guru yang mampu melahirkan nilai-nilai unggul dalam praktik dunia pendidikan. Karena itu, lahirlah sosok-sosok manusia yang memiliki karakter beriman, amanah, profesional, antusias dan bermotivasi tinggi, bertanggung jawab, kreatif, disiplin, peduli, pembelajar sepanjang hayat, visioner dan berwawasan, menjadi teladan, memotivasi (motivating), mengilhami (inspiring), memberdayakan (empowering), membudayakan (culture-forming), produktif (efektif dan efisien), responsif dan aspiratif, antisipatif dan inovatif, demokratis, berkeadilan, dan inklusif.
Belajar dari Bilal Bin robbah
Berbicara mengenai karakter apa yang harus dimiliki oleh seseorang ketika dia memutuskan untuk menjadi seorang guru (pendidik) dapat mengambil dari inspirasi Bilal bin Robbah, dimana dalam inspirasinya kita disentil akan pentingnya kesadaran dalam melakukan segala tindakan dalam hidup kita. Billal, yang seorang budak, memeluk agama Islam dengan penuh kesadaran. Dia mengerti benar konsekuensi yang harus ia hadapi ketika ia mengambil keputusan tersebut. Billal memeluk agama Islam, dia melakukannya dengan penuh kesadaran akkan pilihanb hidupnya. Inilah yang harus dimiliki oleh para calon pendidik di Indonesia. Mereka harus benar-benar sadar bahwa menjadi pendidik merupakan pilihan hidup mereka, dengan segala konsekuensi yang akan dihadapinya.
Mahdi Ghulsyani seorang cendekiawan muslim memandang guru merupakan kelompok manusia yang memiliki fakultas penalaran, ketakwaan, dan pengetahuan. Ia memiliki karakteristik bermoral, mendengarkan kebenaran, mampu menjauhi kepalsuan ilusi, menyembah Tuhan, bijaksana, menyadari dan mengambil pengalaman-pengalaman.
Dalam pepatah Jawa, guru adalah sosok yang digugu omongane lan ditiru kelakoane (dipercaya ucapannya dan dicontoh tindakannya). Menyandang profesi guru berarti harus menjaga citra, wibawa, keteladanan, integritas, dan kredibilitasnya. Ia tidak hanya mengajar di depan kelas, tapi juga mendidik, membimbing, menuntun, dan membentuk karakter moral yang baik bagi siswa-siswanya. Semoga dengan hal ini, para pendidik Indonesia memiliki idelaisme terhadap karya mereka untuk mencetak para pemimpin bangsa di masa akan datang. Wallohu’alam

Tidak ada komentar: