Selasa, 12 Agustus 2008

Ramadhan dan pendidikan

“Ramadhan dan Momentum kebangkitan Spirit Pendidikan”

“Ada anak bertanya pada bapaknya, buat apa berlapar-lapar puasa ”.

(Bimbo)

Tren Ramadhan dan Ibadah Kolosal

Ada sebuah fenomena dan (mungkin) tren yang cukup membuat kita pilu dan bahkan mungkin ironis di hati kita. Pada setiap datang bulan ramadhan, secara serentak beberapa kantor pemerintahan dan swasta menggelar kegiatan ramadhan. Tidak kalah penting juga media televisi memperbanyak acara religi dengan memperlihatkan suasana puasa. Ini tidak salah, sangat baik untuk syiar Islam. Namun sikap ini hanya sesaat atau dalam pengertian lain hanya pemanis. Maka tidak heran ibadah puasa disebut sebagai ibadah kolosal karena memang secara serentak dilakukan persis sepersis seperti ibadah haji, orang semangat beribadah ketika sampai di tanah suci, tetapi sepulangnya dari tanah suci perilakunya kembali seperti semula.

Kolosal tidak hanya orang yang melakukan ibadahnya, tetapi kolosal juga pembuatan simbol-simbol ramadhan. Kita bisa cek ketika datang bulan ramadhan pemasangan gambar masjid dan orang berkopyah terpasang ditempat-tempat umum. begitu juga tawaran paket ramadhan seperti hotel dan rumah makan secara kolosal ditawarkan

Saya terinspirasi dari tulisan opini Muhammad AS, di Kompas, yang berjudul “tragedi komersialisasi agama” telah menggambarkan realitas keberagamaan umat Islam yang telah terjebak pada praktek ritual formal agama yang menyebabkan kehilangan subtansi agama. Dan tulisan ini tidak dalam rangka mengkritik ibadah puasa, tapi mengkritik realitas umat Islam yang terjebak. Ramadhan yang mestinya menjadi momen bagi umat Islam untuk kontemplasi dalam meningkatkan keimanan dan ketakwaan, serta menjadi ajang memupuk dan mengonsolidasi persaudaraan (ukhuwah) sesama manusia. Misalnya dengan tarawih berjamaah, seorang Muslim diharapkan mampu menjadikan kesempatan itu untuk memecahkan masalah internal umat Islam, lebih-lebih mampu memecahkan persoalan bersama, dalam konteks lingkungan, kebudayaan, pendidikan, ekonomi, dan sebagainya. Momentum untuk membangkitkan jiwa perjuangan seorang (Mujahid) Muslim yang tangguh dalam menyelesaikan problem keberagamaan dan kebangsaan. Namun, yang terjadi ramadhan hanya dijadikan "pemanis" beragama, dan ini menumbulkan kebuntuan dan keterasingan diri, dalam beragama ataupun berbangsa. Tentunya kita bertanya apakah ini tren atau komersialisasi dengan memanfaatkan momentum ramadhan.

Ramadhan sebagai pendidikan afektif

Jika kita cermati, salah satu kelemahan pendidikan kita saat ini terletak pada aspek afektif. Hal itu dapat dibuktikan dengan menunjukkan banyaknya kasus negatif dalam bidang afektif yang mewarnai dunia pendidikan kita. Berbagai kasus pelecehan seksual yang dilakukan oknum guru terhadap murid, tawuran pelajar, penyontekan, menurunnya rasa hormat murid terhadap guru, banyaknya siswa yang terlibat pelanggaran seksual dan narkoba, dan lain-lain merupakan deretan panjang pelanggaran dalam bidang afektif.

Lantas, apa kontribusi pendidikan Ramadhan dalam kaitannya dengan penciptaan iklim pendidikan yang mengedepankan nilai-nilai afektif? Jika dicermati, konsep pendidikan Ramadhan pada prinsipnya sederhana, tetapi mendasar, yakni berlaku mutlaknya suatu peraturan (syariah). Peraturan dalam pendidikan Ramadhan diberlakukan secara tegas, termasuk konsekuensinya, yakni ketaatan pada peraturan dihargai dengan hadiah dan pelanggaran direspons dengan hukuman. Dalam dunia pendidikan kita, konsep seperti itu sebenarnya sudah ada, bahkan sudah lama, tetapi cenderung sebatas konsep. Kalaupun direalisasikan, realisasinya tidak maksimal dan kadang-kadang terkesan diskriminatif.

Hal itu turut menjadi variabel pengganggu yang menyebabkan perealisasian pendidikan afektif tidak sesuai harapan. Idealnya, kepada siswa yang taat dan berprestasi-tanpa memandang siapa, anak siapa dia, dan latar belakangnya bagaimana-pihak sekolah memberi hadiah. Apa pun bentuknya. Bagi pelaku pelanggaran, sekecil apa pun kadar pelanggarannya, hukuman bersifat mendidik harus diberikan. Ini penting untuk mendukung tumbuhnya kesadaran siswa. Dalam hal ini, perlu mendapatkan pemahaman yang benar bahwa hadiah tidak harus diartikan materi dan hukuman tidak harus diartikan hukuman fisik.

Pujian yang tepat konteks, misalnya, merupakan salah satu bentuk hadiah yang baik. Kesan yang selama ini ada dan realitanya memang demikian, hukuman dan hadiah itu dianggap hal sepele sehingga tidak diberikan kecuali dalam momentum monumental, misalnya saat kelulusan. Akibatnya, hadiah dan hukuman yang efek psikologisnya besar bagi siswa tidak memiliki kesempatan untuk mewarnai perilaku afektif siswa.

Ramadhan sebagai pendidikan Asketik

Pendidikan yang terkandung dalam ritual puasa bulan ramadhan adalah pendidikan nilai. Upaya untuk menahan lapar, menahan nafsu, bangun tengah malam, dan ritual lainnya merupakan perwujudan dari proses pendidikan nilai. Inti dari pendidikan nilai adalah penanaman nilai dalam hati sanubari peserta didik yang nantinya berwujud pada akhlakul karimah.

Upaya mewujudkan akhlakul karimah bukanlah sesuatu yang mudah, tidak cukup hanya diajarkan secara formal bersamaan dengan pembelajaran materi pelajaran umum di kelas. Meskipun di kelas telah diupayakan integrasi ataupun interkoneksitas antara sains dan agama ataupun diupayakan tersentuhnya tiga ranah pembelajaran (kognitif, afektif, dan psikomotorik), namun pada kenyataan ranah kognitif dan psikomotorik jauh diutamakan. Akibatnya upaya pembentukan akhlakul karimah terhambat.

Akhlakul karimah hanya bisa terwujud dari dua sumber yakni hati sanubari yang bersih atau regulasi hukum yang jelas dan tegas. Dari dua sumber tersebut akan sangat baik jika muncul dari hati nurani, bukan dipaksakan oleh hukum.Pembentukan hati nurani yang bersih dalam tradisi Islam dapat ditempuh dengan lima cara yakni membaca Qur’an dengan menghayati maknanya, mendirikan sholat malam, dzikir malam, memperbanyak berpuasa, dan berkumpul dengan orang sholeh. Dalam hal berpuasa Allah telah memberikan waktu yakni puasa wajib di bulan Ramadhan dan waktu-waktu tertentu yang telah disunnahkan Nabi saw.

Terminologi asketik dalam dunia filsafat didefinisikan sebagai upaya laku prihatin (atau dengan menyiksa diri) guna mencapai kesuksesan kehidupan akherat. Perintah untuk berperilaku asketik sejatinya given dari Sang Khaliq dalam Alquran maupun sunnah Nabi saw.

Tujuan dari laku asketik menekankan kepada kesuksesan kehidupan akherat, meskipun demikian laku asketik sangat bermanfaat di kehidupan dunia bagi pelakunya. Laku asketik menjauhkan dari penyakit karena pola dan menu makan yang tidak terkontrol, dan laku asketik juga menjauhkan dari kehidupan konsumerisme serta perilaku hedonisme yang kini menjadi bahaya laten dalam kehidupan nasional.

Setiap insan sejatinya dapat melakukan laku asketik, kecuali yang berhalangan serius, sakit atau dalam keadaan tidak suci. Laku asketik di bulan ramadhan idealnya dilakukan secara total, melibatkan seluruh inderawi dan pikiran serta dilakukan selama 24 jam penuh, siang dan malam.

Sebuah Penutup

Sebelum saya akhiri, Marilah kita renungkan sejenak apa yang di katakan Said al-Hawwa dalam Bukunya Al Islam yang melihat bahwa pada hakikatnya Ramadhan merupakan madrasah, jika orang yang berpuasa pandai memanfaatkannya, mereka akan menjadi manusia baru, tidak seperti sebelumnya. Ramadhan adalah madrasah tempat seorang Muslim memperbarui ikatan-ikatan Islam pada dirinya dan mengambil bekal yang dapat menutupi segala kekurangan sebelumnya. Ramadhan merupakan syahru tarbiyah. Dalam bulan ini umat Islam dididik untuk bisa berbuat kebaikan sebanyak-banyaknya, baik dalam konteks vertikal (hubungan dengan Khalik) maupun horizontal (sesama makhluk). Dengan berbuat kebaikan pada dua konteks itu diharapkan tidak hanya tercipta kesalehan religius, tetapi juga kesalehan sosial. Bagi yang berbuat kebaikan disediakan hadiah (reward) berupa pahala, sedangkan bagi yang tidak disediakan hukuman (punishment) dalam bentuk dosa. Jika dikaitkan dengan taksonomi pendidikan model Benjamin S. Bloom, jelas bahwa pendidikan Ramadhan masuk dalam "kapling" pendidikan afektif.

Jika melihat dalam perspektif di atas (afektif maupun asketik) sudah tentu kita jadikan sebagai momen kebangkitan spirit pendidikan. Selamat menunaikan ibadah puasa Ramadhan

Tidak ada komentar: