Senin, 11 Agustus 2008

Renunganku

”Renunganku”

Hidup kadang dan bahkan pasti terjadi paradog! Kontras antara dua orang manusia ataupun kelompok atau lebih dalam stratifikasi sosial yang berbeda. Si miskin dan si kaya, si anak bangsawan dan si anak sudra, si pejabat dan si jelata. Setelah kupahami dan kurenungkan memang kadang-kadang masih banyak jenis kenyataan bahwa seseorang melihat dari ukuran status dalam paradigma stratifikasi sosial. Itu realitas masyarakat kita. Semakin tinggi status sosial seseorang maka tingkat ke-AKU-annya semakin besar. ”Siapa kamu ? siapa saya?” Ini tidak klaim, tapi kebanyakan kita masih begitu, walau tidak semuanya begitu.
Idiom-idiom yang sering akrab ditelinga kita sejak kecil telah mengilhami lahirnya satu budaya materialisme. Kamu dari mana? Kamu anak siapa? Apa pekerjaanmu? Budaya inilah yang mengilhami terjadinya stratifikasi sosial berbasis penindasan struktur kelas. Dan dari dulu telah menjadi tradisi yang turun-menurun walaupun terjadi pergeseran ke arah budaya egaliter. Namun pergeseran gerak kearah itu tidak terlalu kentara.
Renungan ini mungkin terkesan sangat subjektif, tapi setidaknya telah menimbulkan keinsyafan yang mendalam tentang pentingnya menyadari posisi kita masing-masing di lingkungan sosial kita yang masih memegang tradisi pengkotak-kotakan orang, atau bahkan secepatnya menyadari jangan sampai terlena dan larut dalam pikiran-pikiran yang akan semakin membuatku pesimis menatap masa depan. Dan yang jelas aku ingin mengabdikan hidupku untuk Dzat Maha Kuasa dari segala Kuasa dan untuk sesuatu yang barang kali akan menjadi bekalku dalam perjalanan panjangku nanti.
Aku sepenuhnya menyadari betapa hidup kita, aku dan kamu akan berakhir pada akhirnya. Cepat atau lambat dan kita tak pernah tahu Kapan malaikat maut akan menjemput. Oleh karena itu kita atau mungkin aku dan engkau tidak bisa terlalu yakin bahwa kita masih punya kesempatan, karena seberapa waktu yang dijatahkan kepada kita, tetap saja di hadapan Alloh bahkan di bandingkan dengan skala umur saja waktu kita tetap sempit dan karena itu tidak boleh membuat kita terlena mengulur waktu, menangguh-nangguhkan kesempatan. Kalau tidak, kita akan tiba-tiba dijemput malaikat maut, kesempatan kita akan hilang sebelum kita berbuat apa-apa. Pada hal karier hidup kita di dunia juga akan berakhir sampai itu.
Sempitnya waktu yang kita miliki dan ketidakmampuan kita memprediksi masa depan dan kematian, semua telah menjadi dorongan yang kuat buatku untuk sadar dan bertindak kapan saja ada peluang. Bagaimana denganmu ? Kita tidak pernah tahu apa yang terajdi esok hari, karena dengan begitu kita akan memastikan bahwa dengan keyakinanlah kita bisa hidup.

Tidak ada komentar: