Kisah
Sahabat Nabi
Seorang pembunuh
terlihat pasrah menyongsong hukuman mati yang akan menimpanya. Sebelum
eksekusi, sang hakim bertanya kepada si terdakwa, “Apakah permintaan
terakhirmu?”
“Bila mungkin, aku
mohon diijinkan pulang ke kampung selama 3 hari,” jawabnya dengan kepala
tertunduk. “Aku ingin pamit dan menyelesaikan amanah dan hutang yang aku pikul
dengan beberapa orang,” lanjutnya.
Mendengar itu, sang
hakim menarik nafas panjang dan berkata, “Permintaanmu bisa kukabulkan, asal
ada seseorang yang menjaminkan diri untukmu. Bila engkau tidak kembali, maka
diri penjaminlah yang dihukum mati.”
Suasana menjadi sepi.
Massa yang berkumpul di lapangan terdiam. Tidak ada seorang pun yang berani
mengambil resiko tersebut.
Di tengah kebisuan,
tiba-tiba maju seorang sahabat Nabi yang sangat terkenal. Ia adalah salah
seorang sahabat yang dijamin masuk syurga. Abu Dzar Al-Ghifari. Ia rela menjadi
penjamin si pembunuh.
Tiga hari telah
berlalu. Batas akhir eksekusi tinggal menunggu menit. Banyak khalayak mulai
gelisah, bahkan menangis. Sebab Abu Dzar akan dieksekusi menggantikan si
pembunuh.
Di tengah-tengah
kekuatiran dan kesedihan tersebut, nampaklah si pembunuh dengan susah payah
berlari-lari menuju tempat eksekusi. “Maaf, aku terlambat, karena ada sedikit
halangan halangan di jalan,” terangnya dengan nafas masih tersengal-sengal.
Mendengar itu, sang
hakim sangat heran dan bertanya, “Wahai terdakwa, mengapa engkau mau kembali
lagi memenuhi hukumanmu? Bukankah engkau dapat saja melarikan diri?”
“Pak Hakim, bisa saja
saya melarikan diri dari hukuman ini. Namun bagaimana saya hendak lari dari
hukuman Allah.” jawabnya dengan tegas.
“Yang tidak kalah
pentingnya Pak Hakim, ini soal harga diri Islam dan seorang muslim. Saya tidak
mau ada catatan sejarah bahwa pernah ada seorang muslim yang lari dari
tanggungjawab serta mengkhianati kepercayaan orang yang telah menolongnya,”
pungkas si pembunuh.
Belum hilang takjub
sang hakim mendengar jawaban tersebut, terdengar suara dari perwakilan keluarga
korban. “Pak Hakim, tolong bebaskan si terdakwa ini. Kami telah memaafkannya,”
pinta mereka.
“Pak Hakim, ini soal
harga diri Islam dan seorang muslim. Kami tidak ingin tercatat dalam sejarah,
ada seorang muslim yang tidak memaafkan kesalahan saudaranya yang Muslim.
Apalagi, dia membunuh bukan karena disengaja,” lanjut mereka.
Sang Hakim diam seribu
bahasa diliputi rasa heran sekaligus haru. Ia pun kemudian memerintahkan untuk
membebaskan si pembunuh. Namun sebelum sidang dbubarkan, sang hakim sempat
bertanya kepada Abu Dzar.
“Wahai Abu Dzar, tolong
jelaskan mengapa engkau berani mengorbankan diri untuk menjamin pembunuh ini?
Bukankah dia bukan keluargamu? Bahkan, dia tidak engkau kenal sama sekali?”
Dengan enggan Abu Dzar
menjawab, “Pak hakim, ini soal harga diri Islam dan seorang Muslim. Aku tidak
ingin ada catatan dalam sejarah, bahwa pernah suatu saat ada kejadian seorang
muslim tidak mau menolong saudaranya yang sedang butuh pertolongan.”
Hikmah
yang bisa diambil dari kisah ini adalah :
1.
Manusia bisa saja bebas dan lepas dari jerat hukum manusia, namun tidak bisa
menghindar dari hukum Allah.
2.
Sudah selayaknya sesama manusia saling percaya dan tidak mengkhianati
kepercayaan orang lain.
3.
Sesama manusia harus saling memaafkan, karena Allah pun Maha Pemaaf.
4.
Sesama manusia sudah selayaknya saling tolong menolong.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar