Minggu, 07 Juli 2013

Prophetik Education

“Prophetic Education:
 Kontekstualisasi Filsafat dan Budaya Profetik dalam Pendidikan”*
Oleh Abd Qohin

I.     Pendahuluan
Majunya penguasaan tehnologi oleh dunia barat berdampak pada sikap kelimpungan yang ditunjukkan oleh komunitas muslim. Disinyalir ketertinggalan umat Islam disebabkan diantaranya adalah kelemahan pendidikan. Ketika dihadapkan pada situasi demikian, maka secara reaksioner banyak kalangan yang kemudian mengadopsi sistem pendidikan barat yang diramu dengan pendidikan Islam. Hasilnya adalah sikap kebarat-baratan yang semakin menambah komplek persoalan umat muslim.
Sebagian lain, umat Islam merasa tidak peduli terhadap ketertinggalan dan tetap merasa bangga terhadap khazanah keilmuan dan budaya hidupnya. Pengkultusan terhadap tradisi dan pemikiran keagamaan sulit tergeser apalagi dipertanyakan. Sikap demikian mengalami perubahan setelah pesantren dan madrasah melakukan perbaikan kurikulum dan sistem pembelajarannya tahun 1970-an. Di Negara-negara lain juga terjadi reaksi dengan dengan membangun gerakan dan proyek yang digulirkan oleh Syeed Mohammad Naquib Al Attas dan Ismail R. Al Faruqi dengan “Islamisasi Ilmu Pengetahuan” yang lahir dari konferensi Internasional di Makkah. Kemudian direspon oleh Ziaudin Sardar yang kemudian dikoreksi oleh Arkoun dan Fazlur Rahman yang menganggap proyek tersebut sulit direalisasikan. Penolakan lain juga dilakukan oleh Kuntowijoyo dengan menawarkan konsep “Islam sebagai Ilmu”.
Upaya pengembangan Pendidikan Islam selain mengaca pada Negara lain (Barat), juga tidak kalah pentingnya adalah menggali kembali pemikiran filsafat Islam dan budaya luhur bangsa itu sendiri kemudian mengelaborasikan menjadi sebuah pijakan kongrit dalam melakukan pembahuruan pendidikan Islam. Untuk kepentingan itu, pemerintah dan masyarakat harus mengapresiasi budaya baca termasuk membaca karya sastra agar memiliki peran optimal baik dalam kehidupan sosial, politik dan ekonomi. Karya sastra sebagai bacaan (cerita) dapat berperan menjadi  guru bagi pembacanya dan pembaca bisa mengambil pelajaran secara otonom dan mandiri.
Pendidikan Islam dengan menggunakan budaya sangat diperlukan sebagai bagian dari pembentukan jatidiri muslim lewat lingkungan dengan symbol-simbol edukatif-relegius yang dimilikinya. Di samping itu, pendidikan Islam didasarkan pada nilai-nilai Al Qur’an dan Sunnah berdialog secara kontinu dengan tradisi dan budaya setempat sehingga akan saling mempengaruhi sebab keduanya, nilai dan simbol. Di Indonesia budayawan dan sastrawan muslim telah dikenal sejak awal Islam masuk, diantaranya adalah Hamzah Fansuri seorang penyair tasawuf dan yang menawarkan gagasan cinta dengan syair populernya “Syair Perahu”. Hamka seorang penulis kreatif interdisipliner, Emha Ainun Nadjib budayawan nyeleneh dari Jombang dengan kyai kanjengnya, ada juga budayawan sekaligus kyai karismatik K.H Mustofa Bisri dengan puisi “balsem”nya memberikan obat mujarab dan pendidikan bagi pembacanya. Selain di atas ada Ahmad Tohari (kang Tohari) yang dikenal karena memiliki kecenderungan warna daerah pedesaan atau lokal dari Banyumas.
Meski jauh dari hiruk pikuk entertainment namanya sangat meng-internasional  karena sebagian karyanya telah diterjemahkan ke dalam bahasa asing dan telah dijadikan skripsi, tesis dan disertasi. Namanya semakin popular setelah trilogi Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang Kemukus Dini Hari, dan Jantera Bianglala dll. Pengaruh karya kang tohari memiliki nilai pendidikan profetik yaitu pendidikan yang memiliki pilar humanisasi, liberasi (keberpihakan pada rakyat)dan transendensi (ramah lingkungan sebagai bagian bertasbih kepada Allah).
II.     Filsafat dan Budaya Profetik
A.    Pengertian Profetik dan Filsafat Profetik
Profetik berarti kenabian atau berkenaan dengan nabi. Nabi adalah hamba Allah yang ideal secara fisik dan psikis yang telah berintegrasi dengan Allah dan Malikat-Nya, diberi kitab suci dan hikmah dan mampu mengimplementasikan dalam kehidupan dan mengkomunikasikan secara efektif kepada sesame manusia. Dalam Al Qur’an kata nabi beserta derivasinya disebut 69 kali. Sedangkan kenabian  mengandung makna segala ihwal yang berhubungan dengan seseorang yang telah memperoleh potensi kenabian. Potensi itu meliputi kesempurnaan fisik, memiliki nasab keturunan yang mulia, dan ideal dalam kompetensinya sesuai dengan kondisi masa itu.
Filsafat profetik adalah pemikiran filosofis yang didasarkan pada nilai-nilai kenabian dalam Al Qur’an dan Sunnah dengan berbagai upaya pemikiran reflektif-spekulatif sampai pada penelitian empirik sehingga menemukan kebenaran normatif dan faktual-aplikatif yang memiliki daya sebagai penggerak umat sehingga terbentuk khaira ummah atau komunitas ideal.
Secara historis, filsafat profetik diperbincangkan intensif oleh Ibnu Arabi dan Suhrawardi yang secara garis besar mengkritik filsafat dan Yunani serta menawarkan filsafat propetik yang intinya adalah dialektika manusia, alam dan Tuhan dikembangkan untuk mendapatkan produk pemikiran baru sebagai alternatif pemikiran barat yang dinyatakan gagal. Dari filsafat profetik dapat dikembangkan ilmu-ilmu lain seperti Prophetic Psychology atau psikologi kenabian.
B.     Problema Sentral Filsafat Profetik
Menurut Roger Garaudy, Problema sentral dari filsafat Islam adalah bagaimana kenabian (wahyu) itu menjadi mungkin. Dan muara filsafat profetik pada tiga hal, yaitu: Pertama, terdapat hubungan riil dan tidak riil antara “Yang Esa” dengan “yang banyak” antara Tuhan dan manusia. Kedua, berdasar pada kesatuan atau utility di atas muncul hukum bahwa tindakan dan hukum apapun dari seorang muslim merupakan manifestasi ekspresif dari agamanya. Ketiga, orang tidak akan mampu membuktikan adanya Tuhan dengan akal karena manusia belum menemukan cara berfikir untuk menghantarkan iman kepada Tuhan.
C.    Budaya Profetik dan Pilarnya
Kebudayaan Islam adalah budaya profetik yang memiliki tiga unsur yaitu humanisasi, liberasi, dan transendensi. Transendensi diartikan hablum min Allah, ikatan spiritual yang mengikatkan antara manusia dengan Tuhan. Indicator unsure ini adalah: 1) mengakui adanya kekuatan supra natural, Allah. 2) melakukan upaya pendekatan diri. 3) tuhan tempat bergantung. 4) memahami sesuatu dengan pendekatan mistik. 5) mengaitkan perilaku, tindakan dan kejadian dengan ajaran kitab suci.
Liberasi artinya pembebasan dari semua yang berkonotasi dengan signifikansi sosial seperti melarang carok, memberantas judi dll. Sedangkan indicator liberasi dirumuskan dengan, 1) memihak kepentingan rakyat, 2) menegakkan keadilan dan kebenaran; 3) memberantas kebodohan dan ketertinggalan sosial ekonomi; 4) menghilangkan penindasan dan kekerasan.
Humanisasi, artinya memanusiakan manusia, menghilangkan kebendaan dan proses pengembalian jatidiri dan martabat kemanusiaan sebagai mahluk mulia dan berperadaban. Indikatornya adalah: 1) Menjaga persaudaraan sesama meski berbeda agama, keyakinan dan status sosial-ekonomi; 2) memandang seseorang secara total; 3) menghilangkan berbagai bentuk kekerasan; 4) membuang jauh kebencian terhadap sesama. Unsur tersebut harus dimaknai dalam satu kesatuan integratif dan interkoneksi.
Adapun implementasi budaya profetik meliputi: 1) mengembangkan mitologipositif sebagai simbol edukasi; 2) membangun tradisi dan komitmen yang positif; 3) perberdayaan dan peningkatan SDM; 4) Pemberantasan kemiskinan dan kebodohan; 5) Peneguhan Keagamaan Inklusif; 6) dan melalui music edukatif.
D.    Pendidikan Profetik
Filsafat pendidikan profetik merupakan proses transfer knowledge and values untuk pengesaan terhadap Allah yang dilakukan secara kontinu dan dinamis disertai pemahaman bahwa dalam diri ada kelebihan dan kekurangan yang menunjukkan adanya campur tangan yang transenden. Sedangkan pendidikan profetik  adalah proses pengetahuan (transfer knowledge) dan values yang bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Tuhandan alam sekaligus memahaminya untuk membangun komunitas sosial yang ideal (khaira ummah).
III.     Tradisi sebagai Dasar Pendidikan Profetik
A.    Tradisi Islam dalam Masyarakat
Pesantren merupakan salah satu lembaga yang mewakili tradisi pendidikan profetik. Pesantren yang berakulturasi dengan tradisi jawamemiliki cirri yang sangat menonjol yaitu memepertahankan harmonitas sosial dalam konotasi Jawa sanagat dipaksakan dan menunjukkan nilai-nilai feudal dan cenderung kurang responsif terhadap perubahan dan kemajuan. Jargon yang ada di Pesantren al muhafadzah ‘ala al qadim al salih wa al akhzd bi al jadid (mempertahankan masa lalu yang baik dan mengambil hal baru yang lebih baik). Merupakan  odel harmoni yang sehat meskipun selama ini masih belum berjalan dengan sempurna.
Secara historis, penyebaran Islam di Jawa pada awalnya harus berhadapan dengan dua jenis lingkungan, yaitu: budaya kejawen yang merupakan lingkungan budaya istana (Majapahit) yang kental dengan unsur Hindu, dan budaya pedesaan (wong cilik) yang tetap hidup dalam animism dan dinamisme. Dengan masuknya Islam ke Nusantara maka berimplikasi pada dinamika baru terkait dengan kehidupan sosial keagamaan. Asimilasi budaya terjadi yang sebelumnya terjadi konflik dan akomodasi yang pada akhirnya menghasilakn berbagai varian keislaman yang kemudian disebut Islam lokal (Islam Jawa).
Pada masa perumusan dan pelembagaan budaya Jawa, pengaruh Islam yang besar pada wacana yang berkembang Islam telah membentuk substansi utama dalam proses kebangkitan budaya Jawa. Islam sebgai entitas yang hidup dinamis pada akhirnya berkembang dengan dialektika yang dinamis selalu terjadi antara Islam dalam kategori universal-normatif dengan lokalitas-historis dimana ia hidup. Islam yang telah berdialog dengan Jawa mengenal dan akrab dengan hal-hal yang berbau mistis yang nantinya akan melahirkan berbagai aliran kebatinan yang bersifat mistis, akultis, teosofis, serta etis.


B.     Sistim Pendidikan dalam Tradisi Profetik
Tujuan pendidikan profetik sesungguhnya tidak lepas dari prinsip-prinsip pendidikan yang bersumber dari nilai-nilai Al Qur’an dan Sunnah. Pertama, Prinsip Integrasi (Tauhid) yang memandang adanya wujud kesatuan dunia akherat. Karena itu pendidikan akan meletakkan porsi yang seimbang. Kedua, prinsip keseimbangan artinya keseimbangan yang proporsional antara muatan rohaniah dan jasmaniah, antara ilmu murni dan ilmu terapan. Ketiga, prinsip persamaan dan pembebasan. Keempat, prinsip kontinuitas dan berkelanjutan. Kelima prinsip kemaslahatan dan keutamaan.
Adapun materi pendidikan profetik dikelompokan menjadi dua kelompok yaitu: pertama, kelompok Parennial (ilmu-ilmu abadi) yang meliputi Al Qur’an (qiraat, hifz, tafsir), Sunnah, Sirah nabi, tauhid, ushul fiqh, bahasa arab dan materi tambahan yang meliputi filsafat Islam, ushuludin, dan kebudayaan Islam. Kedua, kelompok Acquired (ilmu hasil pencarian manusia) yang terdiri dari: 1. Imajinatif (seni Islam dan arsitektur, bahasa dan satra), 2) Ilmu-ilmu intelektual (sosial, filsafat, pendidikan, ekonomi, politik, sejarah, geografi, sosiologi Psikologi dan antropologi). 3) Ilmu-ilmu pengetahuan alam (filsafat ilmu, fisika, matematika kimia dll). 4) Ilmu terapan (kedokteran, pertanian, kehutanan dll). 5) Ilmu-Ilmu Praktik (perdagangan, administrasi perpustakaan, komunikasi dll).
Mengenai pendidik pendidikan profetik adalah pendidik yang mempunyai kepribadian yang lengkap misalkan ia adalah seseorang yang zuhud dan ikhlas, bersih lahir batin, mengenal peserta didik, bersifat kebapakan dan keibuan dll. Kepribadian pendidik harus merupakan refleksi dari nilai-nilai Islam. Sedangkan peserta didik pendidikan profetik selalu terkait dengan pandangan wahyu tentang hakekat manusia.
Metode dan media dalam pendidikan profetik tidak ada perbedaan dengan pendidikan lain. Pembedanya hanya pada nilai spiritual dan mental yang menyertai pada saat metode tersebut dilaksanakan. Sedangkan untuk evalausi berdasarkan standar keberhasilan pendidikan terletak pada pencapaian tujuan kebahagiaan di dunia dan kebahagian di akherat.
IV.     Kontekstualisasi Pendidikan profetik
Khaira ummah sebagaimana Q.S Ali Imron terdiri dari 3 kata dibelakangnya yaitu kata yang terkait dengan amar ma;ruf (humanisasi), nahi munkar (liberasi), dan iman kepada Allah (transendensi). Apabila dikaitkan dengan ketiga pilar ini pendidikan profetik itu harus dibangun berdasarkan empat syarat dan tiga pilar atau unsure. Dasar bangunan yang bertumpu pada empat hal yaitu komunitas, visi arah tujuan, gerak dinamis atau program kerja, dan kepemimpinan. Bagi komunitas dan pemimpin yang menjadi subjek bagi pelaksanaan visi dan prakteknya, yaitu nilai transendensi yag menjadi orientasi dan visi hidup subjek, humanisasi untuk selalu meningkatkan martabat menuju keterpujian, dan terakhir liberasi untuk membersihkan diri dari kotoran, kelemahan, kekurangan dll. Dalam kerangka itulah Nabi Muhamad membentuk khaira ummah (masyarakat ideal di Madinah) dibawah kepemimpinan yang bijaksana dan berwibawa.
Kontektualisasi pendidikan profetik dapat dilihat dari Model pendidikan profetik yang memiliki potensi kuat untuk dikembangkan dengan paradigm pendidikan profetik. Model pendidikan tersebut diantaranya adalah pendidikan sosial- kerakyatan (homescholing), pendidikan inklusif-multikultural, pendidikan integrative-interkoneksi, pendidikan berdasarkan gerak-kreatif, pendidikan edutainment plus (menyenangkan dan mendisiplinkan).
Selain lembaga di atas, secara kelembagan dalam konteks pendidikan profetik, lembaga pendidikan baik formal maupun non formal serta lembaga yang berada di luar sekolah atau madrasah yang terdiri dari pendidikan di perpustakaan, pendidikan di Pondok Pesantren dan pendidikan ditempat ibadah dapat berintegrasi dalam satu lembaga dengan berpusat pada masjid dan perpustakaan sebagai pusatnya. Desain masjid sebagai pusat pendidikan ini merupakan bagian dari kontekstualisasi pendidikan profetik.
Pendidikan keluarga juga bagian dari kelembagaan profetik yang letak dasarnya ada di dalam tradisi keluarga yang memiliki kesadaran relegius, kepekaan sosial, dan kesiapan untuk selalu melakukan perbaikan untuk kemajuan. Selain keluarga, juga ada masjid sebagai pusat gerakan, memuat daya dobrak tinggi sebab dalam realitasnya setiap orang berbeda-beda.
V.     Pemikiran Ahmad Tohari Dalam Paradigma Profetik
Secara keseluruhan karya kang Tohari  yang telah diterbitkan menjadi buku ada14 buku merupan novel  (9 buku), kumpulan cerpen (2 buku), dan kumpulan esai (3 buku). Kesemua karya Ahmad Tohari memiliki pesan pendidikan profetik sebagai berikut:
1.      Pengakuan sebagai kebutuhan manusia. Hal tersebut dapat dilihat dari karya pertama belia yang berbentuk novel dengan judul Kubah dan novel Lingkar Tanah Lingkar Air.
2.      Memberantas Kemiskinan dan Kebodohan. Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk merupakan symbol protes tersebut. Selain itu juga dalam novel Bekisar merah, Belantik, dan cerpen Senyum Karyamin.
3.      Protes terhadap Ketidakadilan dan korupsi. Hal ini terlihat dalam karya novel Di Kaki Bukit Cibalak  dan novel Orang-orang Proyek.
4.      Nilai Penting klarifikasi dan memaafkan. Hal ini bisa dilihat dalam novel Rusmi Ingin Pulang, Kubah, Mas Mantri Gugat.
Jika dipotret dengan pendekatan strukturalisme genetic, maka karya Ahmad Tohari memiliki pesan dan karakteristik: Pertama, penyadaran sosial lewat sebuah cerita yang syarat dengan masalah kehidupan. Kedua, pilar dan nilai transendensi diceritakan dengan graduasi yang lembut secara bertahap. Ketiga, dari aspek sosial budaya karya Ahmad Tohari membawa misi kovergensi antara budaya Islam, santri (Tradisional-modern) dan abangan yang menunjukkan bukti harmonisasi berkembang di Indonesia. Keempat, dari aspek politis, Ahmad Tohari bersikap anti kekerasan dan pemberontakan.
Potret pemikiran Ahmad Tohari yang santri jawa ini agak berbeda dengan pemikiran santri pada umumnya. Karakteristik pemikirannya tersebut diantaranya: menyampaikan gagasan dan pesan edukasinya lewat karya tulis, mengadopsi kearifan local atau tradisi kejawen, kritik sosial khususnya kekejaman penguasa, kritik terhadap tradisi negatif masyarakat. Sedangkan karya Tohari secara globaldalam perspektif profetik dapat dijelaskan diantaranya adalah mengembangkan keberagamaan inklusif, komitmen pada tradisi positif, keadilan untuk mengangkat posisi perempuan dan pemberantasan kemiskinan dan kebodohan.
Indikator pendidikan profetik Ahmad Tohari dapat di urai sebagi berikut:
a.    Pilar Transendensi:
1.    Terkait dengan kekuatan mistis dan spiritual untuk mengatasi problem kehidupan, belaiu mendialogkan keberagamaan local dengan santri.
2.    Keberagamaan inklusif dan anti kekerasan yang merupakan tampilan model keberagamaan yang sejuk.
3.    Integritas moral-relegius harus diupayakan sampai pada pemaknaan hakiki.
4.    Perlu mengembangkan kesalehan relegius individual dilengkapi kesalihan sosial.
5.    Keyakinan terhadap yang gaib.
6.    Harmonitas.
7.    Kejujuran diri dengan mengikuti hati nurani.
8.    Sikap tawakkal.
9.    Perilaku kesederhanaan. dll
b.    Pilar liberasi:
1.      Penegakan hukum harus dilakukan meskipun langit runtuh.
2.      Pendirian pemerintah yang kuat, bijaksana dan berwibawa.
3.      Menjaga pluralitas
4.      Peningkatan SDM
5.      Penguatan posisi tokoh agama sebagai panutan umat.
6.      Menciptakan lingkungan sosial yang jujur dan bersih.
7.      Menjaga sikap egaliter.
8.      Peningkatan mutu pendidikan.
9.      Menghilangkan kekerasan dalam bentuk apapun dll.
c.    Pilar Humanisasi:
1.      Meningkatkan hidup bersama dengan saling mengerti.
2.      Menjalankan ajaran agama  untuk mengabdi kepada Allah.
3.      Membangun nilai kemanusiaan dengan cinta.
4.      Mempertajam nilai kemanusiaa dengan keyakinan agama.
5.      Hukum darurat sebagai alternatif.
6.      Mudah memaafkan kesalahan orang lain
7.      Dinamika hidup harus dibangun dengan memenej konflik.
8.      Kemanusiaan harus dikembangkan dengan rasa hormat dan saling menghargai.
VI.     Implikasi Nilai Pendidikan Profetik
Diantara implikasi aplikasi dan kontekstualisasi pendidikan profetik dalam bingkai karya sastra Ahmad Tohari diantaranya adalah: pertama, menjadikan tauhid sebagai landasan epistimologi; Kedua, mengintegrasikan moral Tuhan dan menginterkoneksikan ilmu-Nya; Ketiga, pendidikan yang Apresiatif terhadap local wisdom; Keempat, membangun tradisi berfikir dan kritik untuk ilmu; Kelima, membangun pendidikan yang proaktif bukan reaktif; Keenam, gemar membaca sebagai tradisi pendidikan profetik.  
VII.     Penutup
Filsafat profetik adalah pemikiran filosofis yang secara epistimologis merupakan upaya pemikiran reflektif-spekulatif sampai pada pembuktian empirik sehingga menemukan kebenaran normatif dan faktual-aplikatif yang memiliki daya sebagai penggerak umat sehingga terbentuk khaira ummah atau komunitas ideal. Filsafat profetik jika dikontektualisasi dalam pendidikan yang meliputi tujuan pendidikan profetik, materi pembelajaran profetik, metode dan strategi pembelajaran profetik, peserta didik dan pendidik.
Konsep filsafat dan budaya profetik yang terdapat dalam karya-karya Ahmad Tohari memiliki bentuk yang khas yaitu perpaduan antara tradisi Islam Timur tengah, pesantren  dan Jawa yang memuat nilai Transendensi, liberasi dan humanisasi.

·         Rangkuman dari Buku Prophetic Education, Karya Dr. Muh. Roqib, M.Ag

Tidak ada komentar: