“Kepribadian Guru Dalam
Perspektif Islam”
Oleh
Abd Qohin
I. Latar Belakang
Guru dalam masyarakat Jawa dikenal
sebagai singkatan dari digugu omongane lan ditiru kelakoane (dipercaya
ucapannya dan ditiru tindakannya). Istilah ini mengandung makna bahwa “guru itu
perkataannya selalu diperhatikan dan perbuatannya selalu menjadi teladan”.
Menjadi guru merupakan cita-cita bagi kebanyakan anak pada zaman dulu, karena
guru menempati status sosial yang tinggi di mata masyarakat.
Menyandang profesi guru saat itu bagaikan
seorang pejabat publik yang memiliki kharisma baik bagi dirinya maupun bagi
keluarganya. Dalam hal ini masyarakat menempatkan guru pada tempat yang
terhormat dilingkungannya karena dari seorang guru diharapkan masyarakat dapat
memperoleh ilmu pengetahuan.[1]Masyarakat selalu memperhatikan
setiap tindak tanduk mereka dalam berinteraksi dengan lingkungan. Citra ini
terbangun karena seorang guru benar-benar menjaga integritas dan kredibilitasnya.
Ia tidak hanya mengajar di depan kelas, tapi juga mendidik, membimbing,
menuntun, dan membentuk karakter moral yang baik bagi siswa-siswanya.[2]
Siapapun
tentu sependapat bahwa
guru merupakan komponen
sentral atau unsur utama dalam keseluruhan proses pendidikan diantara
komponen yang lain.[3] Guru
menjadi komponen titik sentral dan awal dari semua pembangunan pendidikan
dan pembangunan yang
lebih luas dan
menyeluruh. Karena Prinsip inilah
yang ditanamkan negara Jepang yang banyak diikuti negara lain sehingga
cepat maju pembangunannnya, misalnya Singapura, Malaysia, Thailan, dan bahkan
Vietnam sekalipun. Ketika Provinsi Hirosima dan Nagasaki di Jepang diluluh lanta bom atom pada perang
dunia II (1945), Kaisar Jepang bertanya, “masih adakah
guru yang hidup”?
Ini berarti, betapa
besar perhatian Kaisar Jepang
terhadap pendidikan dan
betapa besar peranan guru dalam pembangunan suatu bangsa.[4]
Dewasa
ini profil guru agak sedikit menjadi sorotan dengan merebaknya berbagai fenomena tindakan
amoral di kalangan remaja seperti
penggunaan narkoba, tawuran pelajar, pornografi, perkosaan, merusak milik
orang, merampas, menipu, mencari bocoran soal ujian, perjudian, pelacuran,
pembunuhan, dan lain-lain sudah menjadi masalah sosial yang sampai saat ini
belum dapat diatasi secara tuntas. Akibat yang ditimbulkan cukup serius
dan tidak dapat lagi dianggap sebagai suatu persoalan sederhana, karena sudah
menjurus ke tindak kriminal. Kondisi ini sangat memprihatinkan masyarakat
khususnya para orang tua dan para guru (pendidik), sebab pelaku-pelaku beserta
korbannya adalah kaum remaja, terutama para pelajar dan mahasiswa.
Banyak orang berpandangan bahwa
kondisi demikian diduga dimulai dari apa yang dihasilkan oleh dunia
pendidikan. Pendidikanlah yang sebenarnya paling besar memberi kontribusi
terhadap situasi seperti ini. Apalagi jika komunitas suatu sekolah terdiri
dari berbagai suku bangsa, agama, dan ras, berbagai konflik akan dengan mudah
bermunculan. Jika kondisi semacam ini tidak di atasi maka akan timbul
konflik-konflik yang lebih besar. Akibatnya masalah moral, etika akan
terabaikan begitu saja. Maka wajar setiap terjadi dekadensi (Kerusakan) moral
masyarakat semua pihak akan segera menoreh pada lembaga pendidikan dan seakan
menuduhnya tidak becus mendidik anak bangsa. Tuduhan berikutnya kepada pendidik
yang dianggap tidak professional dalam menjaga gawang moralitas bangsa.[5] Sikap dan perilaku
masyarakat tersebut bukanlah tanpa alasan, karena memang ada sebagian kecil
oknum guru yang melanggar atau menyimpang dari kode etiknya.
Berbagai kasus yang
disebabkan oleh kepribadian guru yang kurang mantap, kurang stabil dan kurang
dewasa, sering kita dengar di berita-berita elektronik atau kita baca di
majalah dan surat kabar. Misalnya: adanya oknum guru yang
menghamili peserta didik,
adanya oknum guru
yang terlibat pencurian,
penipuan, dan kasus-kasus lain yang tidak pantas dilakukan oleh guru.[6]
Kepribadian yang
mantap, sifat-sifat yang luhur dan
suri teladan yang
baik merupakan solusi yang dapat meningkatkan
kewibawaan guru dan menumbuhkan kemantapan
belajar siswa. Sehingga
siswapun akan dengan senang hati menerima setiap materi
pelajaran yang disampaikan guru. Kepribadian adalah faktor terpenting bagi
seorang guru. Kepribadian itulah yang akan menentukan apakah ia menjadi pendidik
dan pembina yang baik bagi anak didiknya, ataukah akan menjadi perusak atau
penghancur bagi hari depan anak didik, terutama bagi anak didik yang masih
kecil (tingkat Sekolah Dasar) dan
mereka yang sedang
mengalami kegoncangan jiwa (Tingkat Menengah).[7]
Masalah kepribadian
guru menjadi prioritas utama dan perhatian yang besar dikalangan ulama dari
masa ke masa. Sehingga banyak diantara mereka seperti al-Ghazali,
al-Kanani, al-Zarnuji, Ibnu
Khaldun, Imam al-Nawawi
dan lain-lain yang telah
berusaha menyusun beberapa
kompetensi personal/kepribadian yang perlu
dimiliki oleh guru karena kegelisahannya terkait begitu
pentingnya masalah kepribadian guru.
II. Redefinisi Makna Guru
Subyek Pendidikan atau yang lazim
disebut sebagai ”pendidik”, sebagaimana dijelaskan W.J.S Poerwadarminta adalah
orang yang mendidik.[8]
Pengertian ini memberikan kesan bahwa pendidik adalah orang yang melakukan
kegiatan dalam bidang mendidik. Dalam bahasa Inggris kata pendidikan sering
kita jumpai seperti teacher
yang diartikan guru atau
pengajar dan tutor yang berarti guru pribadi atau guru yang mengajar di rumah. Dalam
konteks keindonesiaan di samping dikenal dengan istilah guru, juga dikenal
dengan istilah pendidik. Pendidik bertugas sebagaimana tugas yang dilaksanakan
oleh guru. Guru sebagai pribadi teladan minimal bagi peserta didiknya di
sekolah sehingga muncul adagium guru adalah pribadi yang harus digugu
dan ditiru segala sikap dan perilakunya. Sedangkan pendidik adalah
orang dewasa yang bertanggung jawab memberi bimbingan atau bantuan kepada
peserta didik dalam perkembangan jasmani dan rohaninya agar mencapai
kedewasaannya, mampu melaksanakan tugasnya sebagai makhluk Allah, khalifah
di muka bumi, sebagai makhluk sosial dan sebagai individu yang sanggup berdiri
sendiri.[9] Jadi pendidik merupakan
istilah lain yang dipergunakan untuk menunjuk makna guru.
Pendidik di lembaga
persekolahan disebut guru.[10]
Istilah lazim yang dipergunakan untuk pendidik adalah guru. Kedua istilah
tersebut bersesuain artinya bedanya adalah
terletak pada lingkungannya. Kalau guru hanya di lingkungan pendidikan formal
sedang pendidik itu di lingkungan pendidikan formal, informal maupun non
formal. Yang dalam hal ini meliputi guru Madrasah dan Sekolah umum dari tingkat
taman kanak-kanak (TK) sampai perguruan tinggi (PT), termasuk juga kyai di
Pondok Pesantren dan lain sebagaianya. Di samping itu, guru juga merupakan abu
al ruh (bapak ruhani) bagi peserta didiknya.[11]
Dialah yang memberikan santapan ruhani dan memperbaiki tingkah laku peserta didik.
Selanjutnya dalam bahasa Arab dijumpai kata ustadz,
mudarris, mu’allim dan
muaddib.
Kata ustadz yang berarti teacher
(guru), profesor (gelar akademik),
jenjang di bidang intelektual, pelatih,
penulis dan penyair. Adapun kata mudarris berarti teacher
(guru), instructur
(pelatih) dan lecture
(dosen). Sedangkan kata
mu’allim yang juga
berarti teacher (guru), instructur (pelatih), trainer
(pemandu).
Selanjutnya, kata muaddib
berarti educator
pendidik atau teacher
in Koranic School (guru
dalam lembaga pendidikan al-Qur’an).[12]
Dalam hazanah pemikiran Islam, istilah guru memiliki
beberapa istilah seperti “ustadz”, “mu’allim”, “muaddib” , “murabbi” dan
"mursyid". Beberapa istilah untuk sebutan “guru” itu berkait
dengan beberapa istilah untuk pendidikan yaitu “ta’lim”, ta’dib” dan “tarbiyah”
sebagaimana telah dikemukakan terdahulu. Istilah mu’allim lebih
menekankan guru sebagai pengajar, penyampai pengetahuan (knowlwdge) dan
ilmu (science); istilah mu’addib lebih menekankan guru sebagai
pembina moralitas dan akhlak peserta didik dengan keteladanan; dan istilah murabbi
lebih menekankan pengembangan dan pemeliharaan baik aspek jasmaniah maupun
ruhaniah.[13]
Sedangkan istilah yang umum dipakai dan memiliki cakupan makna yang luas dan
netral adalah ustadz yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan “guru”.
Dalam bahasa Indonesia terdapat istilah guru,
disamping istilah pengajar dan pendidik. Dua istilah terakhir yang merupakan
bagian tugas terpenting dari guru yaitu mengajar dan sekaligus mendidik
siswanya. Walaupun antara guru dan ustadz pengertiannya sama, namun
dalam praktek khususnya di lingkungan sekolah-sekolah Islam, istilah guru
dipakai secara umum, sedangkan istilah ustadz dipakai untuk sebutan guru
khusus yaitu yang memiliki pengetahuan dan pengamalan agama yang “mendalam”.
Dalam wacana yang lebih luas, istilah guru bukan hanya terbatas pada lembaga
persekolahan atau lembaga keguruan semata. Istilah guru sering dikaitkan dengan
istilah bangsa sehingga menjadi guru bangsa. Istilah guru bangsa muncul ketika
sebuah bangsa mengalami kegoncangan struktural dan kultural sehingga
hampir-hampir terjerumus dalam kehancuran. Guru Bangsa adalah orang yang dengan
keluasan pengetahuan, keteguhan komitmen dan kebesaran jiwa dan pengaruh serta
keteladanannya dapat mencerahkan bangsa dari kegelapan. Guru bangsa dapat lahir
dari ulama/agamawan, intelektual, pengusaha pejuang, birokrat dan lain-lain.
Pendek kata, dalam istilah guru mengandung nilai, kedudukan dan peranan mulia.
Karena itu di dunia ini banyak orang yang bekerja sebagai guru, akan tetapi
mungkin hanya sedikit yang bisa menjadi guru yaitu yang bisa digugu dan ditiru.
Dalam pengertian yang lebih luas
pendidik dalam perspektif pendidikan islam adalah orang yang bertanggung jawab
terhadap upaya pertumbuhan jasmani dan perkembangan rohani peserta didik agar
ia mampu menunaikan tugas-tugas kemanusiaannya (baik sebagai khalifah fi
al-ardh maupun ‘abd) sesuai dengan nilai-nilai ajaran islam. Oleh
karena itu pendidik dalam konteks ini bukan hanya terbatas pada orang-orang
yang bertugas di sekolah tetapi semua orang yang terlibat dalam proses
pendidikan anak mulai sejak alam kandungan hingga ia dewasa, bahkan sampai
meninggal dunia.
III. Tugas dan Tanggung Jawab Guru
Setelah
dijelaskan pengertian, tugas seorang guru, maka dalam pembahasan ini dibahas tugas
dan tanggung jawab guru. Guru adalah komponen yang penting dalam
pendidikan, yakni orang yang bertanggung jawab mencerdaskan kehidupan anak
didik, dan bertanggung jawab atas segala sikap, tingkah laku dan perbuatan
dalam rangka membina anak didik agar menjadi orang yang bersusila yang cakap,
berguna bagi nusa dan bangsa di masa yang akan datang.
Tugas guru adalah tugas yang mulia sebagaimana dikatakan
oleh Abdullāh ‘Ulwan
bahwa tugas guru
ialah melaksanakan pendidikan ilmiah, karena ilmu mempunyai pengaruh
yang besar terhadap pembentukan kepribadian dan emansipasi harkat manusia.[14]
Allah juga mengisyaratkan bahwa tugas pokok Rasululloh saw. ialah mengajarkan
al kitab dan al-hikmah
kepada manusia serta mensucikan mereka, yakni mengembangkan
dan membersihkan jiwa mereka.[15]
Menurut al-Nahlawi
bahwa tugas pokok
guru dalam pendidikan
Islam adalah yaitu:[16]
Pertama, tugas pensucian artinya guru hendaknya mengembangkan dan
membersihkan jiwa peserta
didik agar dapat
mendekatkan diri kepada Allah,
menjauhkannya dari keburukan
dan menjaganya agar tetap
berada pada fitrahnya. Kedua,
Tugas pengajaran. Guru hendaknya
menyampaikan berbagai pengetahuan dan pengalaman kepada peserta didik untuk
diterjemahkan dalam tingkah laku kehidupannya.
Sebagai
seorang guru, tentu saja pertama-tama harus bertanggung jawab kepada tugasnya
sebagai guru, yaitu mengajar dan mendidik anak-anak yang telah dipercayakan
kepadanya.[17]
Di katakan oleh Husein Syahatah, tanggung jawab seorang guru adalah mengajarkan
kepada anak didiknya ilmu yang bermanfaat dan berguna seluas-luasnya bagi
kepentingan seluruh umat manusia.[18]
Secara
umum, pendidik adalah orang yang memiliki tanggung jawab untuk mendidik.
Sementara secara khusus, pendidik dalam perspektif Islam adalah orang-orang
yang bertanggung jawab terhadap perkembangan peserta didik, baik potensi
afektif, kognitif, maupun psikomotorik sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam.[19] Setiap guru harus memenuhi peryaratan sebagai manusia yang bertanggung jawab dalam bidang pendidika. Guru sebagai pendidik
bertanggung jawab untuk mewariskan nilai-nilai dan
norma-norma kepada generasi berikutnya, sehingga terjadi proses konservasi nilai. Sedangkan menurut Mulyasa tanggung jawab guru dapat dijabarkan ke
dalam sejumlah kompetensi yang lebih khusus, yaitu; tanggung jawab moral,
tanggung jawab dalam bidang pendidikan di sekolah, tanggung jawab dalam bidang
kemasyarakatan dan tanggung jawab dalam bidang keilmuan.[20]
Dalam lembaga persekolahan, tugas utama guru adalah
mendidik dan mengajar. Dan agar tugas utama tersebut dapat dilaksanakan dengan
baik, maka ia perlu memiliki kualifikasi tertentu yaitu profesionalisme:
memiliki kompetensi dalam ilmu pengetahuan, kredibilitas moral, dedikasi dalam
menjalankan tugas, kematangan jiwa (kedewasaan) dan memiliki keterampilan
teknis mengajar, mampu membangkitkan etos dan motivasi anak didik dalam belajar
dan meraih kesuksesan. Dengan kualifikasi tersebut diharapkan guru dapat
menjalankan tugasnya sebagai pendidik dan pengajar mulai dari perencanakan
program pembelajaran, mampu memberikan keteladanan dalam banyak hal, mampu
menggerakkan etos anak didik sampai pada evaluasi.
a. Guru sebagai Pengajar
Sebagai pengajar,
guru berkewajiban membantu
peserta didik yang sedang berkembang untuk mempelajari
sesuatu yang belum diketahuinya, membentuk
kompetensi, dan memahami
materi standar yang
dipelajari.[21] Ini berarti
bahwa sebagai pengajar,
guru hanya dituntut
untuk memberikan pelajaran
kepada peserta didik
supaya mereka cerdas
dan dapat memahami pelajaran
yang diberikan. Artinya, sebagai tugas pengajar, yang diutamakan adalah membina
kecerdasan intelektual peserta didik.
b. Guru sebagai Pendidik
Sebagai
pendidik, guru adalah tokoh, panutan para peserta didik dan lingkungannya. Oleh karena itu,guru dituntut untuk memiliki
standar kualitas pribadi tertentu, yang mencakup tanggung jawab, wibawa,
kemandirian, disiplin, dan kompetensi
serta profesionalisme. Pada guru dituntut tanggung jawab dan kepribadian
yang utuh. Menurut Zakiah Daradjat,
kepribadian itulah yang akan
menentukan apakah ia menjadi pendidik
dan pembina yang baik bagi anak
didiknya, ataukah akan menjadi perusak bagi hari depan anak didik (terutama
pada tingkat dasar) dan mereka yang sedang
mengalami kegoncangan jiwa(peserta didik tingkat sekolah menengah).[22]
Berkaitan
dengan tanggung jawab, menurut pandangan penulis, guru harus mengetahui serta
memahami nilai budaya, norma agama, serta berusaha berperilaku
dan berbuat sesuai
nilai budaya dan
norma agama yang berakar kuat di
masyarakat. Guru harus bertanggung jawab melaksanakan pembelajaran
untuk mengembangkan peserta
didik menjadi cerdas dan sekaligus berbudi pekerti luhur
sesuai dengan nilai budaya dan norma agama yang berkembang di masyarakat.
Dengan demikian,
guru sebagai pendidik berarti bahwa selain mengajar,ia juga
mendidik anak menjadi
berbudi pekerti luhur. Artinya, selain membina
kecerdasan intektual anak, ia juga
membina kecerdasan
emosional, kecerdasan spiritual, dan kecerdasan sosial peserta
didik. Oleh karena itu, seorang
guru harus melaksanakan
tugasnya secara profesional dan
mesti memiliki kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, dan kompetensi
sosial.[23]
IV. Pendidik Ideal; Aspek-aspek Kepribadian
Kepribadian erat
kaitannya dengan sifat-sifat dan akhlak yang dimiliki guru. Agar guru berhasil
melaksanakan tugasnya, al-Ghazali menyarankan
guru memiliki akhlak
yang baik. Hal
ini disebabkan anak didik
itu akan selalu
melihat kepadanya sebagai
contoh yang harus selalu diikuti.[24]
Kepribadian yang sesungguhnya
adalah abstrak (maknawi), sukar diketahui secara
nyata. Yang dapat diketahui adalah penampilan atau bekasnya
dalam segala segi
dan aspek kehidupan.
Misalnya dalam tindakannya, ucapan, caranya bergaul, berpakaian dan
dalam menghadapi berbagai persoalan atau masalah, baik
yang ringan maupun yang berat.[25]
Pribadi guru
memiliki andil yang sangat besar
terhadap keberhasilan pendidikan, khususnya dalam kegiatan
pembelajaran. Pribadi guru juga sangat berperan dalam membentuk pribadi
peserta didik. Ini dapat dimaklumi karena manusia merupakan makhluk yang suka
mencontoh, termasuk mencontoh pribadi
gurunya dalam membentuk pribadinya.[26]
Oleh karena itulah guru dalam pendidikan Islam
harus membekali dirinya
dengan akhlak- akhlak yang mulia. Sehingga kedudukan guru tidak
merosot, penghormatan dan penghargaan murid terhadap guru tidak menurun.
Selain
hal di atas, Kepribadian merupakan suatu istilah yang lazim dipergunakan dalam
ilmu psikologi guna menelaah sifat, sikap, kebiasaan atau perilaku yang mencerminkan
dan memberikan gambaran tentang jati diri orang tersebut.[27]
Kepribadian sendiri ialah kumpulan sifat-sifat yang huwiyyah, aniyyah,
dzatiyyah, nafsiyyah, khuluqiyyah, dan syahsiyyah[28]
yang biasa membedakan seseorang dengan orang lain. Dengan mengetahui
kepribadian diri sendiri, individu telah mengetahui ranah apa yang menjadi
kekuatan dan kelemahan dari dirinya. Selain itu, kepribadian seseorang
berpengaruh besar dalam setiap profesi yang digeluti oleh setiap orang. Setiap
profesi dituntut dan harus memiliki kepribadian yang merepresentasikan
keprofesiannya, dengan hadirnya kepribadian yang unggul (seharusnya), maka
berimplikasi besar pada pihakpihak yang dilibatkan dan berkorelasi dengan
profesi tersebut.
Kita sering mendengar ungkapan guru atau pendidik; digugu
lan ditiru. Ungkapan ini jelas-jelas mengarah pada makna semangat profil guru
ideal. Kita menyadari, kerinduan akan sosok-sosok guru ideal pada dunia
pendidikan kita telah menjadi kerinduan bersama. Guru yang ideal adalah guru
yang dijadikan figur lekatan oleh siswanya.[29]
Figur
lekatan pada siswa tidak bisa dibuat-buat atau dipaksa-paksa. Ia hadir atas
dasar pengakuan. Dan ini tidak akan dapat direkayasa oleh tehnologi secanggih
apapun. Jika guru ingin menginginkan dirinya menjadi figure lekatan pada
siswanya maka guru tersebut haruslah mencintai siswanya dengan setulus hati.
Jika cinta seorang guru telah dicurahkannya paling tidak ada tiga hal yang bisa
diperoleh guru sebagai respon balik dari siswa. Pertama, seluruh tutur
katanya akan didengar oleh siswanya. Kedua, siswa akan merasa aman untuk
menjadikan guru sebagai tempat mengadu dan kawan terdekat. Ketiga, anak
terdorong untuk mempersembahkan apa saja yang terbaik bagi gurunya kelak.
Profesi guru seharusnya diisi oleh manusia-manusia
yang idealis. Karena para gurulah yang akan mendidik generasi bangsa yang akan
datang. Bila guru tidak mengajarkan idealisme, tidak mengajarkan nilai luhur,
nilai-nilai utama, baik dalam ucapan, sikap maupun keteladanan atas pilihan
gaya hidupnya kepada mereka semua, maka dapat dibayangkan apa yang akan
terjadi. Oleh karena itu untuk mengemban
amanah yang begitu besar maka dibutuhkan sosok guru dengan kompetensi dan berkepribadian
yang ideal.
Kompetensi
kepribadian sangat besar pengaruhnya terhadap pertumbuhan dan perkembangan
pribadi para peserta didik. Kompetensi kepribadian ini memiliki peran dan fungsi
yang sangat penting dalam membentuk kepribadian anak, guna menyiapkan dan
mengembangkan sumber daya manusia (SDM), serta mensejahterakan masyarakat,
kemajuan negara, dan bangsa pada umumnya.[30] Berangkat dari hal tersebut maka
sebelum membangun kepribadian anak, maka seorang guru juga harus mempunyai
kepribadian yang baik.
Dari uraian
tersebut, maka dapat dirumuskan ruang lingkup kompetensi kepribadian guru dalam
pendidikan Islam, sebagimana yang di jelaskan Muhaimin, bahwa Imam Al-Ghazali,
Al-Nahlawy, Al-Abrasyi, Al- Kailany, Al-Qurasyi dalam dimensi personal atau
kepribadian menyatakan bahwa seorang guru harus meneladani Rasulullah, dalam
arti tujuan, tingkah laku, dan pola pikirnya bersifat Rabbani; ikhlash
dalam bekerja atau bekerja karena mencari ridlo Allah SWT; menjaga harga diri
dan kehormatan; menjadi teladan bagi para peserta didiknya; menerapkan ilmunya
dalam bentuk perbuatan; sabar dalam mengajarkan ilmunya kepada peserta didik
dan tidak mau meremehkan mata pelajaran lainnya.[31]
Menurut Al Ghazali,
sebagaimana dikutib oleh Muhaimin menyatakan bahwa, kompetensi personal-religius
mencakup: (1) kasih sayang terhadap peserta didik dan memperlakukannya
sebagaimana anaknya sendiri; (2) peneladanan pribadi Rasulullah Saw; (3)
bersikap objektif; (4) bersikap luwes dan bijaksana dalam menghadapi peserta
didik; (5) bersedia mengamalkan ilmunya.[32]
Sedangkan Ahmad Tafsir mengemukakan
bahwa sifat-sifat yang
perlu dimiliki guru adalah Kasih sayang kepada anak didik, Lemah lembut,
Rendah hati, Menghormati ilmu yang bukan pegangannya, Adil, Menyenangi ijtihad,
Konsekuen, perkataan sesuai dengan perbuatan, Sederhana.[33]
Mengenai kompetensi kepribadian seorang guru minimal
dapat dijelaskan dalam beberapa kepribadian yaitu; pertama, mempunyai
kematangan, artinya Kematangan (mantap) diperlukan oleh orang yang mengharapkan
kepribadiannya dihormati dan dihargai oleh manusia, terlebih seorang guru dan
teladan generasi muda. Orang-orang yang tidak matang kepribadiannya, prilaku
mereka mengisyaratkan adanya kekurangan pada akal dan sifat kejantanan yang
sempurna, serta hilangnya kehormatan ilmu. Orang yang kondisinya seperti ini
membuat murid-murid mencemooh dan melecehkannya.[34]
Kedua, dewasa artinya Tugas mendidik antara lain, harus dilakukan bagi
seorang pendidik yang sudah dewasa, baik dewasa dalam ilmunya dan juga umurnya.
Sebab anak-anak tidak dapat dimintai pertanggung jawaban. Di negara kita
Indonesia, seseorang dianggap dewasa sejak ia berumur 18 tahun atau dia sudah
kawin. Menurut ilmu pendidikan adalah 21 tahun bagi laki-laki dan 18 bagi
seorang perempuan. Bagi pendidik asli, yaitu orang tua anak, maka mereka boleh
mendidik anaknya.[35]
Ketiga, arif dan bijaksana artinya Allah memerintahkan umat Islam untuk
mengembangkan sikap arif dan bijaksana dalam melakukan dan menyelesaikan suatu
aktivitas, seperti mengajar, mendidik para murit-muritnya (berdiskusi dan
bermusyawarah) serta bertawakal kepada Allah Swt.[36]
Keempat,
berwibawa diartikan sebagai sikap atau penampilan yang dapat menimbulkan rasa
segan dan hormat, sehingga anak didik merasa memperoleh pengayoman dan
perlindungan. Kelima, menjadi suri tauladan yang baik (Uswatun
hasanah) artinya Seorang
guru adalah sebagai panutan para murit-muritnya. Keteladanan dalam pendidikan
merupakan metode yang berpengaruh dan terbukti paling berhasil dalam
mempersiapkan dan membentuk aspek moral, spiritual, dan etos sosial anak. Seorang pendidik tidak
dapat mendidik murid-muridnya dengan sifat utama kecuali apabila ia memiliki
sifat utama dan ia tidak dapat memperbaiki mereka kecualai saat shalih, karena
murid-murid akan mengambil keteladan darinya lebih banyak dari pada mengambil
kata-katanya.[37]
Mengingat
pendidik adalah seorang figur terbaik dalam pandangan anak, yang tindak-
tanduk, dan sopan santunnya, disadari atau tidak, akan ditiru oleh mereka.
Bahkan bentuk perkataan, perbuatan dan tindak tanduknya, akan senantiasa
tertanam dalam kepribadian anak.[38]
Seorang anak, bagaimana pun besarnya
usaha yang dipersiapkan untuk kebaikannya, bagaimana pun sucinya fitrah, ia
tidak akan mampu memenuhi prinsip-prinsip kebaikan dan pokok-pokok pendidikan
utama, selama ia tidak melihat sang pendidik sebagai teladan dari nilai-nilai
moral yang tinggi.
Keenam, berakhlak mulia. Akhlaq
merupakan fitrah bagi setiap insan. Diatasnyalah risalah Islam tumbuh dan
karenalah Rasulullah saw diutus. Allah telah memuji utusan-Nya tersebut sebagai
sosok yang memiliki kesempurnaan akhlak mulia.[39]
Aisyah
mengatakan ”Akhlak beliau adalah Al-Qur’an”. Seorang pendidik harus
memiliki akhlak yang baik dan terpuji
agar dapat menarik simpati masyarakat dan bisa bersabar dalam menghadapinya.
Jika seorang pendidik, tidak berakhlak mulia, ilmu dan amalnya tidak akan
bermanfaat.[40]
Kedelapan, keikhlasan artinya merupakan
sebagian sifat-sifat guru pendidikan Islam yang harus dimiliki. Pendidik
hendaknya mencanangkan niatnya semata-mata karena Allah dalam seluruh pekerjaan
edukatifnya, baik berupa perintah, larangan, nasehat, pengawasan, atau
hukuman.[41]
Kesembilan, Sabar
dalam mengajarkan ilmu. Menurut Al-Ghazali, karakter shobir
(sabar) terkait dengan dua aspek,
yaitu: pertama, fisik (badani), yaitu menahan diri (sabar) dari
kesulitan dan kelelahan badan dalam menjalankan perbuatan yang baik. Dalam
kesabaran ini sering kali mendatangkan rasa sakit, luka dan memikul beban yang
berat; kedua, psikis (nafsi), yaitu menahan diri dari natur dan
tuntutan hawa nafsu.[42]
Menurut Menurut Moh. ’Athiyah al-Abrasyi guru harus
bersifat pemaaf terhadap muridnya, ia sanggup menahan diri, menahan kemarahan,
lapang hati, banyak bersabar dan jangan pemarah karena sebab-sebab yang kecil.
Berpribadi dan mempunyai
harga diri.[43]
Pribadi yang arif
bijaksana seperti ini sangat perlu dimiliki seorang guru yang
menginginkan anak didiknya memiliki perilaku-prilaku yang baik menurut syariat
V. Penutup
Guru adalah
unsur utama dalam
keseluruhan proses pembelajaran. Tanpa guru, pendidikan hanya
akan menjadi pembicaraan yang omong kosong. Peran dan fungsi yang
cukup berat untuk diemban ini tentu saja membutuhkan sosok seorang guru atau
pendidikan yang utuh dan tahu dengan kewajiban dan tanggungjawab sebagai
seorang pendidik.Selain mahir dibidangnya, seorang guru tentu saja dituntut untuk
menjadi figur yang baik, prilaku seorang guru senantiasa menjadi sorotan
masyarakat terutama para muridnya, tidak sedikit murid yang mengagumi gurunya
bukan hanya karena kepintaran dibidang ilmunya, tetapi justru karena prilakunya
yang baik, bersikap ramah, adil dan jujur kepada murid-muridnya.
Hal lain yang dapat dilakukan oleh seorang guru
agar dapat menjadi teladan yang baik adalah dengan selalu mengadakan muhasabah
pada diri sendiri, mengoreksi akan kekurangan-kekurangan diri dan berusaha
untuk memperbaikinya karena bagaimana mungkin guru akan menjadi teladan
sedangkan dirinya penuh dengan kekurangan, bagaimana mungkin guru dapat
menundukan kekurangan-kekurangan itu sedangkan dirinya cenderung kepada akhlak
yang tercela, bagaimana mungkin guru dapat menasehati murid-muridnya sedangkan
dirinya belum mencerminkan kesempurnaan akhlak.
DAFTAR PUSTAKA
Ad-Duweisy,
Muhammad Abdullah,(2006), Menjadi
Guru Yang Sukses dan Berpengaruh, Surabaya: Penerbit Elba,
Al-Hamd,
Muhammad bin Ibrahim, (2002), Ma'al Mu'alim (terj.), Jakarta: Darul
Haq, Jakarta.
Aly, Hery
Noer, (1999), Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Al-Fattah,
Abd, (2005), 40 Setrategi Pembelajaran Rasulullah, Yogyakarta: Tiara wacana, cetakan ke-1
Azra, Azyumardi, (1998), Esei-esei Intelektual
Muslim dan Pendidikan
Islam, Jakarta: Logos Wacana
Ilmu.
Darajat, Zakiyah, (2005), Kepribadian Guru,
Jakarta: Bulan Bintang.
Effendi, Muhadjir, (2013), “Tantangan Pendidikan Masa Kini dalam Perpektif Islam” dalam www.umm.ac.id , diakses tanggal 10 Juni 2013,
pukul 21.00 Wib
Hakim , Lucky Maulana, (2012), “The Great Teacher:
Membedah Aspek-Aspek Kepribadian Guru Ideal dan Pembentukan Perilaku Siswa
dalam Novel “Pertemuan Dua Hati” Karya NH Dini, Jurnal Pendidikan
Dompet Dhuafa, Vol. 2, No. 1, Mei 2012
Mujib, Abdul, (2006), Ilmu Pendidikan Islam,
Semarang: Prenada Kencana.
Munir, Abdullah, (2006), Spiritual Teaching, Yogyakarta:
Pustaka Insan Madani,
Muhaimin, (2003), Arah Baru Pengembangan
Pendidikan Islam, Bandung: Nuansa.
Mulyasa, E, (2008),Standar Kompetensi dan
Sertifikasi Guru, Bandung: Remaja Rosdakarya.
__________, (2005),Menjadi Guru Profesional, Bandung:
Remaja Rosda Karya.
Mujib, Abdul, (2006),Kepribadian dalam Psikologi Islam,Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
Natsir, Nanat Fatah,
(2007), “Peningkatan Kualitas Guru dalam Perspektif
Pendidikan Islam” dalam Jurnal Educationist, No. I Vol. I Januari 2007
Purwanto, M. Ngalim, (1997), Ilmu Pendidikan,
Teoritis dan Praktis, Bandung: Rosda karya.
Purwodarminto, WJS, (2002), Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional Indonesia.
Rama, Bahaking,(2007), “Beberapa Pandangan Tentang
Guru Sebagai Pendidik”, dalam Jurnal Lentera Pendidikan, Edisi X, No.1,
Juni 2007
Roqib, Moh, (2009), Ilmu Pendidikan Islam, Yogyakarta:
LKis,
Ramayulis, (2006), Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta:
Kalam Mulia,
Samsul,
Nizar,(2002), Filsafat Pendidikan Islam, Pendekatan
Historis, Teoritis,Praktis. Jakarta: Ciputat Pers.
Shihab, M.
Quraish, (2002), Tafsir Al-Mishbah;Pesan, Kesan dan
Keserasian Al Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, Volume 15,
Sumitro, dkk, (2006),Pengantar Ilmu Pendidikan,
Yogyakarta: UNY Press,
Surya, Mohamad, (2006), Percikan Perjuangan Guru
Menuju Guru Profesional, Sejahtera dan Terlindungi, Bandung: Pustaka Bani
Quraisy.
Tafsir ,Ahmad, (1994), Ilmu Pendidikan dalam
Perspektif Islam, Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Usman, Moh. Uzer, (2000), Menjadi Guru
Profesional, (Bandung: PT Rosda Karya,), cet kesebelas,
Ulum,
Samsul, Triyo Supriyatno, (2006), Tarbiyah Qur’aniyyah, Malang: UIN Press,
Ulwan,
Abdullah Nashih, (1999), Pendidikan Anak Dalam Islam, Jakarta: Pustaka amani, Cetakan ke-2
Uhbiyati, Nur, (1997), Ilmu Pendidikan Islam
(IPI), Bandung: Pustaka Setia.
[1] Tampaknya masyarakat
mendudukkan posisi guru pada tempat yang terhormat dalam kehidupan masyarakat,
yakni di depan member suri tauladan, di tengah-tengah membangun, dan di
belakang memberikan dorongan dan motivasi. Ing ngarso sung tulodo, ing madya
mangun karsa, tut wuri handayani. Moh. Uzer Usman, Menjadi Guru
Profesional, (Bandung: PT Rosda Karya, 2000), cet kesebelas, hal. 7-8.
[2] Nanat Fatah Natsir, “Peningkatan Kualitas Guru dalam Perspektif Pendidikan
Islam” dalam Jurnal
Educationist, No. I
Vol. I Januari 2007, hal.
20.
[3] Komponen-komponen pendidikan
itu adalah tujuan pendidikan, peserta didik, pendidik/guru, isi pendidikan,
metode pendidikan, alat pendidikan,
dan lingkungan pendidikan.
Sumitro, dkk., Pengantar Ilmu Pendidikan, (Yogyakarta: UNY Press,
2006), hal. 30. Sedangkan guru sebagai komponen sentral guru merupakan komponen
terpenting yang harus ada dalam proses belajar mengajar. Karena Guru sangat
berperan dalam usaha pembentukan sumber daya manusia yang potensial di segala
bidang. Siapapun sependapat bahwa
guru merupakan unsur
utama dalam keseluruhan proses
pendidikan khususnya di
tingkat institusional dan instruksional. Tanpa
guru, pendidikan hanya
akan menjadi slogan
muluk karena segala bentuk kebijakan dan
program pada akhirnya akan ditentukan oleh kinerja pihak yang berada yang
berada di garis terdepan yaitu guru.
Lihat Mohamad Surya, Percikan Perjuangan Guru Menuju Guru Profesional,
Sejahtera dan Terlindungi, (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2006), hal. 44.
[4] Bahaking Rama, “Beberapa
Pandangan Tentang Guru Sebagai Pendidik”, dalam Jurnal Lentera Pendidikan, Edisi X,
No.1, Juni 2007, hal. 18
[5] Lebih lengkapnya lihat dalam
Moh.Roqib, Ilmu Pendidikan Islam, (Yogyakarta: LKis, 2009), cet I, hal
35. Senada dengan hal itu menurut Azyumardi Azra bahwa kemerosotan moral
para siswa tersebut
mereka anggap karena kegagalan guru dalam mendidik dan memberi suri
tauladan kepada para siswanya. Bila guru dahulu berarti orang yang berilmu,
yang arif dan bijaksana, kini guru dilihat tidak lebih sebagai fungsionaris
pendidikan yang mengajar atas dasar kualifikasi keilmuan dan akademis tertentu.
Faktor- faktor lain seperti
kearifan dan kebijaksanaan
yang merupakan sikap
dan tingkah laku moral
tidak lagi signifikan.
Sebaliknya dalam konsep
klasik, faktor moral berada
dikualifikasi pertama, sedangkan
faktor kompetensi keilmuan dan
akademis berada di
bawah kualifikasi moral. Kearifan dan kebijaksanaan yang
jarang dimiliki oleh
guru dewasa ini
menjadikan para siswa kesulitan
untuk mencari sosok
idola panutan dan
teladan mereka, sedang anak-anak
yang berada dalam usia remaja atau diambang kedewasaan sangat mencari dan
merindukan figur keteladanan dan tokoh identifikasi yang akan diterima dan
diikuti langkahnya. Azyumardi Azra, Esei-esei Intelektual
Muslim dan Pendidikan
Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1998), hal. 165. Sedangkan
menurut Muhadjir Effendi bahwa diakui atau tidak,
bahwa proses modernisasi dalam berbagai
dimensi akan menimbulkan ekses sampingan bagi masyarakat terutama lahirnya
kecenderungan masyarakat kepada hal-hal yang bersifat konsumtif, materialistik
dan individualistik. Hal tersebut terjadi dikarenakan masing-masing individu
dituntut untuk memenuhi kebutuhan riil sesuai dengan tuntutan pembangunan. Muhadjir
Effendi, “Tantangan Pendidikan Masa Kini dalam Perpektif Islam” dalam www.umm.ac.id , diakses tanggal 10 Juni 2013,
pukul 21.00 Wib.
[6] E. Mulyasa, Standar
Kompetensi dan Sertifikasi Guru, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2008), hal.
121.
[7] Zakiyah Darajat, Kepribadian
Guru, (Jakarta: Bulan Bintang, 2005), hal. 9.
[8] WJS
Purwodarminto, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Departemen Pendidikan
Nasional Indonesia. 2002),
hal 61
[11]Ramayulis, Ilmu,
hal. 66. Pandangan yang serupa juga menyatakan bahwa guru merupakan orang
dewasa yang bertanggung jawab memberi pertolongan pada anak didiknya dalam
perkembangan jasmani dan rohaninya, agar mencapai tingkat kedewasaan,mampu
berdiri sendiri,dan memenuhi tingkat kedewasaan,mampu mandiri dalam memenuhi
tuganya sebagai hamba dan khalifah Allah SWT. Lihat Abdul Mujib, Ilmu
Pendidikan Islam, (Semarang: Prenada Kencana, 2006), hal.87
[13]
Penggunaan
istilah tersebut diperjelas oleh Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir. Murabbi adalah
orang yang mendidik dan mempersiapkan peserta didik agar mampu berkreasi serta
mampu mengatur dan memelihara hasil kreasinya untuk tidak menimbulkan mala
petaka bagi dirinya. Mu’allim adalah orang yang menguasai ilmu dan mampu
mengembangkannya serta menjelaskan fungsinya dalam kehidupan, menjelaskan dimensi
teoritis dan praktisnya, sekaligus melakukan transfer ilmu
pengetahuan, internalisasi, serta implementasi (amaliah). Mudarris
adalah orang yang memiliki kepekaan intelektual dan informasi serta
memperbarui pengetahuan dan keahliannya secara berkelanjutan, dan berusaha
mencerdaskan peserta didiknya, memberantas kebodohan mereka, serta melatih
keterampilan sesui dengan bakat, minat, dan kemampuannya. Muaddib adalah
orang yang mampu manyiapkan peserta didik untuk bertanggung jawab dalam
membangun peradaban yang berkualitas dimasa depan.Ustadz adalah orang
yang berkomitmen dengan profesionalitas, yang melekat pada dirinya sikap
dedikatif, komitmen terhadap mutu proses dan hasil kerja, serta sikap continuous
improvement. Mursyid adalah orang yang mampu menjadi model atau
sentral identifikasi diri atau menjadi pusat anutan, teladan, dan
konsultan bagi peserta didiknya. Lihat Abdul
Mujib, Jusuf Mudzakir. Ilmu Pendidikan
Islam. ( Jakarta: Kencana, 2006), hal. 87.
[14] ’Abdullah ’Ulwan, Abdullah Nashih Ulwan, Pendidikan Anak Dalam Islam, (Jaklarta: Pustaka amani,1999), Cetakan ke-2. Hal. 142
[15] Hal tersebut mengacu pada ayat
Al Qur’an QS. Al-Baqarah: 129 yang Artinya: “Ya Tuhan Kami, utuslah untuk
mereka sesorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka
ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al kitab (Al Quran) dan
Al-Hikmah (As-Sunnah) serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha
Kuasa lagi Maha Bijaksana.” Depag RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta:
Putra Sejati Raya, 2003), hal. 33.
[16] Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan
Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hal. 96.
[17] M. Ngalim
Purwanto, Ilmu Pendidikan, Teoritis dan Praktis, (Bandung: Rosda
karya,1997). hal. 142
[18] Husein Syahatah, Quantum
Learning (Bandung: Mizan, 2004). hal. 46
[19] Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, Pendekatan
Historis, Teoritis,Praktis. (Jakarta:
Ciputat Pers. 2002), hal.
42
[20] Mulyasa, Standar kompetensi,
hal. 18
[23] Kompetensi pedagogik
adalah kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik. Kompetensi kepribadian
adalah kemampuan kepribadian yang mantap, berakhlak mulia, arif, dan berwibawa
serta menjadi teladan peserta didik. Kompetensi
profesional adalah kemampuan penguasaan materi pelajaran secara luas dan
mendalam. Dan kompetensi sosial adalah kemampuan guru untuk berkomunikasi dan
berinteraksi secara efektif dan efisien dengan peserta didik, sesama guru,
orangtua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar. Lihat Penjelasan Pasal 10
ayat 1 Undang-Undang RI No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
[24] Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan
Islam (IPI), (Bandung: Pustaka Setia, 1997), hal. 93.
[25] Zakiyah Darajat, Kepribadian
Guru, hal. 9.
[26] E. Mulyasa, Standar
Kompetensi dan Sertifikasi Guru, hal. 117.
[27]Lucky Maulana
Hakim, “The Great Teacher:
Membedah Aspek-Aspek Kepribadian Guru Ideal dan Pembentukan Perilaku Siswa
dalam Novel “Pertemuan Dua Hati” Karya NH Dini, Jurnal Pendidikan
Dompet Dhuafa, Vol. 2, No. 1, Mei 2012
[28]Huwiyyah berasal dari kata huwa (kata
ganti orang ketiga tunggal) yang memiliki arti ”dia”. Nafsiyyah berasal dari kata ”nafs” yang berarti pribadi. Orang arab
sering menyesali dirinya dengan sebutan nafsi(oh diriku atau oh pribadiku ! Dzatiyyah memiliki arti identity, personality, dan subjectivity.
Dalam teminologi psikologi, dzatiyyah memiliki
arti “tendensi” individu pada dirinya yang berasal dari substansinya sendiri. Khuluqiyyah
adalah bentuk jama’ dari kata akhlaq yang memiliki arti character, disposition
dan moral constitution. Syakhshiyyah berasal dari kata ”Syakhsh” yang berarti ”pribadi” kata itu kemudian diberi ya’ nisbah, sehingga menjadi kata benda buatan (masdar shina’a).
Syakhshiyyah yang berarti ”kepribadian”. Dalam kamus bahasa Arab modern,
istilah Syakhshiyyah
digunakan untuk maksud personality (kepribadian). Lihat Abdul Mujib, Kepribadian
Dalam Psikologi Islam (Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 2006), hal. 18-19
[30] E Mulyasa, Standar Kompetensi, hal. 177. Dalam bahasa arab kepribadian
sering disebut Syakhshiyyah. Syakhshiyyah berasal dari kata ”Syakhsh” yang berarti ”pribadi” kata itu kemudian diberi ya’ nisbah, sehingga menjadi kata benda buatan (masdar shina’a)
Syakhshiyyah yang berarti ”kepribadian”. Dalam kamus bahasa Arab modern,
istilah Syakhshiyyah
digunakan untuk maksud personality (kepribadian). Lihat Abdul Mujib, Kepribadian
dalam Psikologi Islam. hal. 25.
[31] Muhaimin, Arah
Baru Pengembangan Pendidikan Islam, (Bandung: Nuansa. 2003), hal.155.
[32] Muhaimin, Arah, hal.97-98
[33] Ahmad Tafsir, Ilmu
Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), hal. 84.
[34]
Muhammad Abdullah Ad-Duweisy, Menjadi Guru Yang
Sukses dan Berpengaruh, (Surabaya:
Penerbit Elba, 2006),
hal. 69.
[35] Ahmad Tafsir, Ilmu
Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: Rosdakarya, 2005), Cetakan ke
lima. hal. 80.
[37] Muhammad bin Ibrahim al-Hamd, Ma'al
Mu'alim (terj.), (Jakarta: Darul Haq, Jakarta, 2002), hal. 27.
[39]
Kesempurnaan akhlak Rasulullah saw,
yaitu terdiri atas 6 hal, yaitu: Pertama, kekuatan akal, ketajaman perasaan dan ketepatan firasat. Sungguh
dalam diri Rasulullah terdapat cara berpikir yang sehat, managemen berfikir
yang benar, dan sistematika berfikir yang baik.Kedua, gigih dalam menghadapi kesulitan. Sikap semacam ini
merupakan tuntutan bagi beliau dalam menghadapi para musuh.Ketiga, zuhud terhadap kesenangan duniawi, qona’ah (rela menerima), tidak mudah condong kepada keindahan dunia,
dan tidak lengah (larut) dalam kenikmatannya. Dengan prilaku zuhud semacam itu
beliau mampu mengajak (mendidik) para sahabat bersikap zuhud serta tidak mencari keuntungan duniawi dengan mendustakan asma Allah. Keempat, tawadhu’ terhadap
orang lain, meskipun terhadap muritmuritnya sendiri, serta rendah hati meskipun
beliau adalah orang yang sangat ditaati (pemimpin). Kelima, bermurah hati dan tenang dalam menghadapi sesuatu yang
terasa mengancam, ataupun dalam menyikapi suatu kebodohan yang sering kali memaksanya
marah.Keenam,
menjaga dan menepati janji. Sebagaimana
pada diri Rasulullah telah tertanam ke-enam sifat-sifat terpuji tersebut. Lihat
Abd Al-Fattah Abu Ghuddah, 40 Setrategi Pembelajaran Rasulullah, (Yogyakarta: Tiara wacana, 2005), cetakan ke-1, hal. 35-39.
[40] Musthafa Muhammad Thahan, Pemikiran Moderat Hasan Al banna (Bandung: PT Syamil Cipa Media, 2007), hal. 195. Sedangkan menurut Mulyasa Guru harus
berakhlak mulia, karena ia adalah seorang penasehat bagi peserta didik, bahkan
bagi orang tua, meskipun mereka tidak memiliki latihan khusus sebagai penasehat
dan dalam beberapa hal tidak dapat berharap untuk menasehati orang. Lihat E.
Mulyasa, Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru, hal. 129.
[41]
Abdullah Nashih Ulwan, Pendidikan
anak ,
hal. 337. Dalam hal ikhlas Quraish
Shihab mendefinisikan ikhlash
sebagai upaya memurnikan dan menyucikan
hati, sehingga benar-benar hanya terarah kepada Allah semata, sedang sebelum
keberhasilan usaha itu, hati masih diliputi atau di hinggapi oleh sesuatu
selain Allah, misalnya pamrih dan semacamnya.
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah;Pesan, Kesan dan
Keserasian Al Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2002) Volume 15, hal.
446
[42] Abdul Mujib, Kepribadian
dalam Psikologi Islam. (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006), hal. 323
Tidak ada komentar:
Posting Komentar