“Studi Islam Klasik :
Perkembangan dan
Kontribusinya Bagi Ilmu Pengetahuan ”
Oleh Abd Qohin
I. Latar Belakang
Agama
diturunkan di muka bumi untuk kemaslahatan manusia termasuk kehadiran Agama
Islam. Ajaran Islam yang di bawa oleh tentu dalam rangka kemaslahatan umat
seluruh dunia. Bagi pemeluknya meyakini tujuan Islam hadir di muka bumi ini
tidak lain adalah terwujudnya kehidupan manusia yang sejahtera lahir dan batin.
Dan meyakini Islam sebagai agama yang benar adalah sebuah keniscayaan bagi
pemeluknya, karena di dalamnya berisi petunjuk-petunjuk hidup yang sangat
bermanfaat bagi umat manusia.
Gambaran
Islam yang demikian pernah dibuktikan dalam sejarah dan peradaban Islam. Sejarah dan peradaban Islam
merupakan bagian penting yang tidak mungkin dipisahkan dari kehidupan kaum
muslimin dari masa ke masa. Betapa tidak, dengan memahami sejarah secara baik
dan benar, kaum muslimin dapat bercermin diri untuk mengambil banyak pelajaran
kebaikan dan membenahi kekurangan (kesalahan) mereka guna meraih kejayaan dan kemuliaan
di dunia dan akhirat sebagaimana tujuan Islam hadir di bumi.
Secara umum
sejarah mengandung kegunaan yang sangat besar bagi kehidupan umat manusia.
Karena sejarah menyimpan atau mengandung kekuatan yang dapat menimbulkan
dinamisme dan melahirkan nilai-nilai baru bagi pertumbuhan serta perkembangan
kehidupan umaat manusia. Sumber utama ajaran Islam adalah al qur’anyang
mengandung banyak sekali nilai-nilai kesejarahan, yang langsung dan tidak
langsung mengandung makna besar, pelajaran yang sangat tinggi dan pimpinan
utama, khususnya bagi umat Islam. Maka tarikh dan ilmu mempunyai kegunaan dalam
Islam menduduki arti penting dan mempunyai kegunaan dalam kajian Islam.
Sejarah
islam merupakan bagian dari studi Islam yang banyak menarik perhatian para
sarjana muslim maupun non muslim karena banyak sekali manfaat yang dapat
diambil dari penelitian tersebut. Bagi umat Islam mempelajari sejarah Islam
akan memunculkan kebanggaan tersendiri karena Islam pernah mengalami kemajuan
dan menguasai peradaban beratus-ratus dalam segala bidang. Dengan demikian
mempelajarinya akan membangkitkan semangat dan rasa percaya diri sebagai
seorang muslim. Disamping itu peradaban Islam juga pernah mengalami era
kemunduran dan keterbelakangan. Dengan demikian akan menyadarkan umat muslim
untuk berfikir, bangkit dalam rangka mengembalikan kejayaan yang sebagaimana
pada masa kejayaan Islam.
Selama
15 abad, khazanah Intelektual Islam belum pernah terputus, khasanah intelektual
Islam masih terpelihara kokoh dalam aneka ragam budaya bangsa yang memeluk
agama Islam, baik mengambil bentu literature, lembaga pendidikan agama, seni
bangunan dan lain sebagainya. Sebelum dunia barat memasuki era renaissance
dan aufklarung, peradaban Islam secara historis telah lebih dahulu
mengukir perjalanan peradaban dunia selama 7 abad (dari abad 7 sampai abad 14).[1]
Oleh
karena itu, untuk memperoleh gambaran tentang peradaban Islam yang pernah
mengalami kejayaan tersebut, maka tujuan penulisan makalah ini tidak lain
adalah ingin melihat kejayaan peradaban Islam di era klasik. Tujuannya tidak
lain adalah membangkitkan motivasi dan semangat serta menyadarkan kita untuk
memperbaiki keadaan umat Islam yang
sampai hari ini dalam kategori mengalami kemunduran dalam segala bidang.
Untuk itulah Fokus kajian kita arahkan untuk menggali informasi tentang studi
Islam yang terjadi pada era klasik serta
menelusuri jejak-jejak sejarah peradaban
Islam di tinjau dari aspek metodologi Islam pada ini.
II. Perkembangan Studi Islam Klasik
A.
Periodesasi
Studi Islam Klasik
Secara garis besar sejarah Islam di kelompokkan
dalam tiga periode besar, yaitu periode klasik (650-1250 M), periode
pertengahan (1250-1800 M), dan periode modern (1800 M sampai sekarang). Periode
klasik merupakan jaman kemajuan dan di bagi ke dalam dua fase.[2]
Fase Pertama, fase ekspansi, integrasi dan puncak kemajuan. Di jaman
inilah daerah Islam meluas melalui Afrika utara sampai ke Spanyol di barat dan
melalui Persia sampai India di Timur. Daerah itu tunduk pada kekuasaan khalifah
yang pada mulanya berkedudukan di Madinah, kemudian di Damsyik dan berakhir di
Baghdad. Di masa ini pulalah berkembang dan memuncak ilmu pengetahuan, baik
dalam bidang agama, bidang non agama maupun bidang kebudayaan Islam.
Pada Zaman
ini yang menghasilkan ulama-ulama besar seperti Imam Malik, Imam Abu Hanifah,
Imam Syafii, Imam ibn Hambal dalam bidang hukum; Imam Asy’ari, Imam Al
Maturidi, pemuka-pemuka Mu’tazilah seperti Washil bin Ata, Abu Al Huzail, Al
Nazzam, Al Jubbay dalam bidang teologi ; Zunnun al Misri, Abu Yazid Al Bustami
dan Al Hallaj dalam mistisisme atau tasawuf; Al Kindi, Al Farabi, Ibnu Sina dan
Ibn Miskawih dalam filsafat; Ibn Al Haysam, Ibn Hayyan, Al Khawarizmi, Al
Mas’udi dan Al Razi dalam bidang ilmu pengetahuan.
Periode klasik ini merupakan
periode kebudayaan dan peradaban Islam yang tertinggi dan mempunyai
pengaruh terhadap tercapainya kemajuan atau peradaban modern di Barat
sekarang,sungguhpun tidak dengan secara langsung. Hal ini banyak di akui
sarjana barat sebagaimana yang dikatakan Jacques C. Rislar
yang menyatakan bahwa “ilmu pengetahuan dan teknik Islam amat dalam memengaruhi
kebudayaan Barat. Atau ungkapan Romm Landayu, dari hasil penelitiannya
mengambil kesimpulan bahwa “dari orang Islam periode klasik inilah orang
Barat belajar berfikir serta objektif dan logis, dan belajar lapangdada.
Fase Kedua, fase disintegrasi
(1000-1250 M). Di masa keutuhan umat Islam dalam bidang politik mulai pecah,
kekuasaan khalifah menurun dan akhirnya Baghdad dapat dirampas dan dapat
dihancurkan oleh hulagu di tahun 1258 M. Khalifah sebagai lambang kekuasaan
politik politik umat Islam, hilang.[3]
Fase disintegrasi merupakan fase di mana
pemisahan diri dinasti-dinasti dari kekuasaan pusat, dilanjutkan dengan
perebutan kekuasaan antara dinasti-dinasti tersebut untuk menguasai satu sama
lain.
Akibat dari kebijaksanaan yang lebih menekankan
pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam dari pada persoalan politik itu,
propinsi-propinsi tertentu di pinggiran mulai lepas dari genggaman penguasa
Bani Abbas, dengan berbagai cara di antaranya pemberontakan yang dilakukan oleh
pemimpin lokal dan mereka berhasil memperoleh kemerdekaan penuh.
Disintegrasi
dalam bidang politik sebenarnya sudah mulai terjadi di akhir zaman Bani Umayyah.
Akan tetapi berbicara tentang politik Islam dalam lintasan sejarah, akan
terlihat perbedaan antara pemerintahan Bani Umayyah dengan pemerintahan Bani
Abbas. Wilayah kekuasaan Bani Umayyah, mulai dari awal berdirinya sampai masa
keruntuhannya, sejajar dengan batas-batas wilayah kekuasaan Islam. Hal ini tidak
seluruhnya benar untuk diterapkan pada pemerintahan Bani Abbas. Kekuasaan
dinasti ini tidak pernah diakui di Spanyol dan
seluruh Afrika Utara, kecuali Mesir yang bersifat
sebentar-sebentar dan kebanyakan bersifat nominal. Bahkan dalam kenyataannya,
banyak daerah tidak dikuasai khalifah. Secara riil, daerah-daerah itu berada di
bawah kekuasaan gubernur-gubernur propinsi bersangkutan.[4]
B.
Studi
Islam Pada Masa Nabi
Beberapa
pendapat para ahli tentang periodesasi sejarah Islam dikalangan pada ahli
sejarah terdapat beberapa pandangan tentang kapan di mulainya sejarah Islam
yang telah berusia empat abad ini. Menurut Sa’ad Ramadhan periode klasik
bermula ketika Nabi Muhamad SAW diutus oleh Alloh menjadi Rasul. Ada yang
berpendapat bahwa periode ini ditandai oelh peristiwa hijrah Rasul ke Madinah.
Nabi Muhamad membuat persetujuan dengan sejumlah penduduk Yatsrib yang
terkemuka membuat Nabi beserta pengikutnya diterima di kalangan mereka. Di
dahului kelompok kecil yang bisa dipercaya kemudian Nabi Hijrah ke yatsrib.
Kemudian Yatsrib di sebut Madinah (Madinah Al Rasul).[5]
Nabi
Muhammad di utus dengan Al qur’an sebagai penyangga utama. Pada saat itu
masyarakat jahiliyyah sangat senang dengan kesusasteraan, maka Al Qur’an
diturunkan dengan bahasa sastra seperti yang lazim dipakai oleh masyarakatnya.
Hal tersebut atas dasar pertimbangan untuk menyesuaikan diri dengan tradisi
masyarakat, sehingga dengan demikian bisa komunikatif serta untuk menantang dan
mengungguli syair-syair jahiliyah atau kepandaian orang arab yang bersyair.
Pada periode ini kedudukan Nabi Muhammad adalah
sebagai referensi bagi para sahabat dan umatnya. Setiap ada peristiwa dan ada masalah
semuanya langsung ditanyakan kepada Nabi Muhammad. Pada Masa ini Al Qur’an dan
hadits di jadikan sebagai rujukan langsung setiap ada persoalan. Pada masa ini
kedudukan Al Qur’an sebagai pedoman dan sandaran.
Kendati diwahyukan secara lisan, Al-Qur'an sendiri
secara konsisten menyebut sebagai kitab tertulis. Ini memberi petunjuk bahwa
wahyu tersebut tercatat dalam tulisan. [6]
Penulisan Al Qur’an diyakini telah mulai sejak era Nabi di Makkah.[7]
Tapi penulisannya secara lebih sistematis baru di mulai di Madinah. Khususnya
setelah Nabi menunjuk beberapa sahabatnya untuk melakukan tugas ini. Muawiyah
bin Abi Sofyan, Ubay bin Kaab, Zayd bin Tsabit, dan Abdullah bin Mas’ud, adalah
nama-nama yang biasa disebut sebagai penulis wahyu. Sejak masa Nabi, Al Qur’an
telah di tulis pada beragam medium, sebagian dari para sahabat mengumpulkan
ayat-ayat itu dan menjilidnya menjadi sebuah mushaf. Tapi seperti disinggung di atas, pengumpulan
Al Qur’an menjadi mushaf pada masa Nabi tidak pernah sempurna, karena wahyu
masih terus berjalan. Pada masa Nabi, fragmen-fragmen Al Qur’an lebih banyak
dihafal ketimbang ditulis. Para sarjana Islam seperti Ibn Nadim dan Al Suyuthi
menyebutkan antara 5 hingga 20 sahabat
Nabi yang dikenal sebagai kolektor fragmen-fragmen Al Qur’an dalam bentuk hafalan.[8]
Maka berkaitan dengan sejarah penulisan Al Qur’an
dalam konteks metodologi studi Islam
adakalanya Nabi Muhammad meminta dan mendektekan kepada sahabat untuk
menuliskan wahyu. seperti Ali, Muawiyah, 'Ubai bin K'ab dan Zaid bin Sabit.[9]
Sebagian sahabat menuliskan Qur'an yang turun itu atas kemauan mereka sendiri,
tanpa diperintah oleh nabi; mereka menuliskannya pada pelepah kurma , lempengan
batu, daun lontar, kulit atau daun kayu, pelana, potongan tulang belulang
binatang. Zaid bin Sabit mengatakan : "
Kami menyusun Qur'an dihadapan Rasulullah pada kulit binatang ". Adakalanya
juga Para sahabat senantiasa menyodorkan Al Qur'an kepada Rasulullah baik dalam
bentuk hafalan maupun tulisan.[10]
C.
Studi
Islam Pada Masa Khulafaurrasyidin
Setelah Rasullullah wafat, secara
berturut-turut pemerintahan di pegang oleh Abu Bakar, Umar bin khattab, Ustman
bin Affan dan Ali bin Abi Thalib.[11]
Pada Masa Abu bakar, Abu Bakar menjalankan pemerintahan Islam sesudah
Rasulullah. Ia dihadapkan kepada peristiwa-peristiwa besar berkenaan dengan
kemurtadan sebagian orang arab. Karena itu ia segera menyiapkan pasukan dan
mengirimkannya untuk memerangi orang-orang yang murtad itu. Peperangan Yamamah
yang terjadi pada tahun 12 H melibatkan sejumlah besar sahabat yang hafal
Qur'an. Dalam peperangan ini tujuh puluh qari dari para sahabat gugur. Umar bin
Khatab merasa sangat khawatir melihat kenyataan ini, lalu ia menghadap Abu
Bakar dan mengajukan usul kepadanya agar mengumpulkan dan membukukan Al Qur'an
karena dikhawatirkan akan musnah, sebab peperangan Yamamah telah banyak membunuh
para qarri'. [12]
Disegi lain Umar merasa khawatir juga
kalau-kalau peperangan ditempat-tempat lain akan membunuh banyak qari'
pula sehingga Al Qur'an akan hilang dan musnah, Abu Bakar menolak usulan itu
dan berkeberatan melakukan apa yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah.
Tetapi Umar tetap membujuknya, sehingga Allah membukakan hati Abu Bakar untuk
menerima usulan Umar tersebut. Kemudian dipilihlah zaid bin Tsabit untuk
membukukan Al Qur’an.
Zaid bin Tsabit tidak menganggap cukup
menurut yang dihafal dalam hati dan yang ditulis dengan tangannya serta hasil
pendengaran, tetapi ia bertitik-tolak pada penyelidikan yang mendalam dari dua
sumber yaitu Sumber hafalan yang tersimpan dalam hati para sahabat dan Sumber
tulisan yang ditulis pada zaman Rasulullah SAW.
Dua hal tersebut yaitu hafalan dan tulisan harus
terpenuhi. Karena sangat bersungguh-sungguh dan berhati-hatinya ia tidak
menerima data berupa tulisan sebelum disaksikan oleh dua orang yang adil bahwa
tulisan tersebut ditulis di hadapan Rasulullah SAW.
Pada Masa khalifah Utsman bin affan studi penulisan
Al Qur’an dilakukan karena Cara-cara pembacaan (qiraat) Qur'an yang
berbeda-beda dari suku-suku di arab saat itu. Di tambah laporan dari Hudzaifah
bin Al yaman setelah berperang. Ia banyak melihat perbedaan dalam cara-cara
membaca Al Quran. Sebagian bacaan itu bercampur dengan kesalahan; tetapi
masing-masing mempertahankan dan berpegang pada bacaannya, serta menentang
setiap orang yang menyalahi bacaannya dan bahkan mereka saling mengkafirkan. Maka
ia melaporkan kepada khalifah dan menceritakan apa yang di lihatnya.[13]
Khalifah Ustman
kemudian memerintahkan kepada Abdullah bin Zubair, Said bin 'As, dan
Abdurrahman bin Haris bin Hisyam untuk memperbanyak serta memerintahkan apa
yang diperselisihkan ketiganya dengan Zaid bin Tsabit itu di tulis dengan
bahasa Quraisy, karena Al Qur’an turun dengan logat mereka.
Berbeda
upaya-upaya kodifikasi pra Ustman, kodifikasi yang dilakukan Khalifah Ustman
disepakati oleh hampir seluruh sarjana Al Qur’an, klasik maupun kontemporer,
orientalis maupun sarjana muslim sendiri. Bukti paling kuat terhadap upaya ini
adalah kenyataan bahwa hingga hari ini,
kaum muslimin mneyebut Al Qur’an mereka dengan sebutan Mushaf Ustmani artinya
mushaf yang dikumpulkan oleh Ustman. Selain itu kita juga bisa
menyaksikan manuskrip dari naskah asli mushaf ini dibeberapa museum topkapi di
Turki dan museum Tashkent.[14]
D.
Studi
Islam Pada Masa Dinasti Muawiyah
Dengan
meninggalnya Khalifah Ali Bin Abu Thalib dari Khulafaur Rasyidin, maka bentuk pemerintahan
Islam yang dirintis Nabi Muhamad SAW berubah dari sistem demokrasi menjadi
monarkhi (kerajaan) yaitu Dinasti Bani Umayyah. Dinasti Bani Umayyah didirikan oleh
Muawiyah bin Abi Sufyan bin Harb bin Umayyah. Kekhalifahan Muawiyah diperoleh
melalui kekerasan, diploma dan tipu daya, tidak dengan pemilihan seperti pemerintahan
Khulafaur Rasyidin. Pada masa kekuasaannya, Muawiyah banyak melakukan ekspansi
sehingga membuat Islam menjadi besar. Dari pertemuan dan persatuan berbagai
bangsa, suku dan bahasa, menimbulkan kebudayaan dan peradaban Islam yang baru.[15]
Daulah Umayyah memegang tampuk kekhalifahan selama dua
periode, di Suriah hampir satu abad, yaitu sejak 30-132 H atau 660-750 M dan di
Spanyol selama 275 tahun, yaitu 756-1031 M. Perluasan wilayah kekuasaan Islam
pada masa Daulah Umayyah telah memasuki benua Eropa bahkan telah mencapai
wilayah Byzantium.
Pada masa pemerintahan Mu’awiyah dilakukan berbagai
perubahan dalam pemerintahan. Mengingat berbagai pengamalannya yang pernah
menjadi Gubernur di Syam, Mu’awiyah melakukan perubahan pemerintahan, yaitu
membentuk jawatan perhubungan (jawatan pos) dan jawatan pendaftaran. Mu’awiyah
menduduki jabatan sebagai Khalifah selama hampir 20 tahun.
Masa kejayaan Bani Umayyah
dimulai ketika Abdul Malik bin Marwan memerintah 66-86 H Atau 685-705 M.
Berbagai kemajuan dilakukan Abdul Malik , Ketika kekuasaan Islam berada
di tangan kerajaan Bani Umayyah, seni bangunan, misalnya bangunan Qubatus
Sarkah di Yerussalem dan bangunan Masjid Nabawiyah di Madinah dapat mencapai
ketinggian melampaui batas seni bangun Gothik di Eropa. Sementara itu,
perkembangan ilmu pengetahuan pun tidak ketinggalan. Misalnya, bidang–bidang
kedokteran, filsafat, kimia, astronomi, dan ilmu ukur berkembang dengan sangat
pesat.
Dinasti Umayah berlangsung selama 90 tahun
lamanya dengan beberapa 19 khalifah. Dalam rentang waktu yang sangat panjang
tersebut, tentu saja sudah banyak yang dilakukan oleh dinasti Umayah dalam
memajukan Islam, terutama di sektor pengembangan ilmu pengetahuan. Seperti pada
masa-masa khalifah sebelumnya, masa Bani Umayah, akal dan ilmu juga berjalan
seperti pada masa itu, walaupun ada beberapa kemajuan yang berhasil dilakukan
oleh dinasti Umayah, karena pada waktu telah mulai dirintis jalan ilmu naqli
; berupa filsafat dan eksakta.
Pada
Masa Umayyah, pusat penyebaran ilmu pengetahuan pada terdapat di
masjid-masjid. Di masjid-masjid itulah terdapat
kelompok belajar dengan masing-masing gurunya yang mengajar
ilmu pengetahuan agama dan umum. Ilmu pengetahuan agama yang
berkembang pada saat itu antara lain ialah ilmu qiraat, tafsir,
hadis, fikih, nahwu, balaghah, dan lain-lain.
Ilmu
tafsir pada masa itu belum mengalami perkembangan pesat sebagaimana yang
terjadi pada masa pemerintahan Daulah Bani Abbasiyah. Tafsir berkembang dari
lisan ke lisan sampai akhirnya tertulis.
Ahli
tafsir yang pertama pada masa itu ialah Ibnu Abbas, salah
seorang sahabat yang sekaligus juga paman Nabi SAW yang terkenal.
Bersama muridnya, Mujahid, ia yang pertama kali menghimpun tafsir dalam sebuah
suhuf.
Pada Masa pemerintahan Khalifah Umar
bin Abdul Aziz ra, sejarah penulisan hadist dimulai. Khalifah merasa khawatir
akan merosot dan hilangnya ilmu karena meninggalnya para ulama’ maka ia
mengutus kepada Abu Bakar bin Muhammad bin Amr bin Hazm, dan memerintahkan-nya
untuk membukukan hadis Rasulullah seraya berkata; “Lihatlah, apa yang terjadi
pada hadis Rasulullah saw atau sunnah, atau hadis dari ‘Amrah, maka tulislah
karena aku khawatirkan merosotnya ilmu dan hilangnya ulama.
Ibnu Hazm menjawab, “Pergilah kepada
Ibnu Syihab, niscaya Engkau tidak akan menjumpai seorang pun yang lebih
mengetahui sunnah dari pada dia.”
Peristiwa tersebut terjadi di penghujung abad pertama
Hijriyah. Kemudian setelah az-Zuhri, di pertengahan abad kedua Hijriyah
lahirlah tokoh-tokoh yang membukukan hadis nabi. ke dalam bab-bab tertentu
seperti Ibnu Juraij, Hasyim, Imam Malik, Ma’mar, Ibnu al-Mubarak dan lain-lain.
Dan setelah itu pengumpulan dan kodifikasi hadis berlanjut dengan metode
penulisan yang bermacam-macam, seperti musnad, mushannaf, shahih,
jami’ dan mustakhraj.[16]
Pada masa Dinasti Umayah, ilmu pengetahun
berkembang dalam tiga bidang, yaitu :
1.
Bidang
Diniyah
2.
Bidang
Tarikh, dan
3.
Bidang
Filsafat
Kota-kota yang menjadi pusat ilmu pengetahuan
selama pemerintahan dinasti Umayah, antara lain kota Kairawan, Kordoba, Granada
dan lain sebagainya.
Pada masa Umayah, ilmu pengetahuan terbagi
menjadi dua macam, yaitu :[17]
1. Al-Adaabul Hadits (ilmu-ilmu
baru) yang
meliputi : Al-ulumul Islamiyah (ilmu al-Qur’an, Hadist, Fiqh, al-Ulumul
Lisaniyah, At-Tarikh dan al-Jughrafi), Al-Ulumul Dkhiliyah (ilmu
yang diperlukan untuk kemajuan Islam), yang meliputi : ilmu thib, filsafat,
ilmu pasti, dan ilmu eksakta lainnya yang disalin dari Persia dan Romawi .
2. Al-Adaabul Qadamah (ilmu
lama)
yaitu
ilmu yang telah ada pasa zaman Jahiliyah dan ilmu di zaman khalifah yang empat,
seperti ilmu lughah, syair, khitabah dan amtsal.
E.
Studi
Islam Pada Masa Dinasti Abbasiyah
Khilafah Abbasiyah merupakan kelanjutan dari
khilafah sebelumnya dari bani Umayyah. Popularitas Daulah Abbasiyah mencapai
puncaknya di zaman khalifah Harun Al Rasyid (786-809 M) dan putranya Al Ma’mun
(813-833M). Harun Al Rasyid adalah pelindung seni dan keilmuan . Dan di bawah
putranya Al Ma’mun kebangkitan budaya dan keilmuan mencapai puncaknya. Ketika
Al Ma’mun mendirikan Rumah kebijaksanaan (Baitul Hikmah) di Baghdad.
Kegiatan utamanya adalah penerjemahan karya-karya filsafat dan ilmu pengetahuan
asal Yunani yang sudah di impor sang khalifah dan sangat mempengaruhi
perkembangan pemikiran dan budaya Islam. Lembaga tersebut juga memiliki
observatorium yang memungkinkan para cendekiawan muslim membuat tabel-tabel
astronomi yang baru. Di bagian-bagian dunia Islam juga di bangun banyak rumah
kebijaksanaan dan pengetahuan misalkan akademi yang didirikan di Kairo pada
1005 M oleh khalifah Al Hakim.[18] Dimulai pada masa Al Ma’mun dan berlanjut
pada masa penerusnya, aktifitas intelektual berpusat di Akademi yang baru
didirikan itu. Era penerjemahan oleh dinasti Abbasiyah berlangsung selama
seabad yang dimulai pada tahun 750 M.
Karena kebanyakan penerjemah adalah orang yang berbahasa Aramaik (Suriah), maka
berbagai karya Yunani pertama kali diterjemahkan ke bahasa Aramaik sebelum
akhirnya diterjemahkan ke dalam bahasa arab. Ketika berbentur dengan kalimat-kalimat
yang sulit dipahami dalam bahasa aslinya, terjemahnya dilakukan kata demi kata
dan ketika tidak dijumpai atau dikenal padanannya dalam bahasa arab,
istilah-istilah Yunani itu diterjemahkan secara sederhana dengan beberapa
adaptasi.[19]
Salah satu penerjemah pertama dari bahasa Yunani adalah Abu Yahya Ibn Al
Bathrik yang dikenal karena menterjemahkan karya-karya Galen dan Hippokrates.
Selain Abu Yahya, nama penerjemah yang cukup poluler adalah Hunain Ibn Ishaq Al
Ibadi. Kemampuan Hunain sebagai penerjemah bisa dibuktikan dari laporan yang
menyebutkan bahwa ketika sedang bekerja ia dan penerjemah lain menerima sekitar
500 dinar perbulan. Dan bahwa Al Ma’mun membayarnya dengan emas seberat buku
yang ia terjemahkan. Hunain di nilai oleh Ibn Al Ibri dan Al Qifthi sebagai
”Sumber Ilmu pengetahuan dan tambang kebajikan” dan oleh leclerc sebagai ”tokoh
terbesar abad ke-9” dan bahkan sebagai salah seorang yang paling cerdas yang
pernah dikenal dalam sejarah.[20]
Sejarawan
dan Profesor studi Islam,Philip K Hitti, yakin bahwa Keagungan Zaman Al Ma’un
adalah berkat dorongan yang diberikan khalifah pad kegiatan intelektual dan
pendidikan, ”Mengembangkan zamannya” menjadi salah satu yang paling paling
bersejarah dalam Islam. Orang arab abad sembilan bukanlah sekedar penerjemah
dan penyebar, mereka adalah gudang Ilmu pengetahuan, mereka memiliki banyak
pintu keluar seperti halnya pintu masuknya.[21] Pada Masa ini Kekayaan
negara banyak dimanfaatkan untuk keperluan sosial dan mendirikan rumah sakit,
lembaga pendidikan, kedokteran dan Farmasi. Kesejahteraan, sosial, kesehatan
pendidikan dan ilmu pengetahuan, kebudayaan dan kesusteraan berada pada zaman
keemasannya.[22]
Pada masa Daulah Abbasiyyah kehidupan
peradaban Islam sangat maju, sehingga pada masa itu dikatakan sebagai jaman
keemasan Islam, karena kaum muslim sudah sampai pada puncak kemuliaan, baik
kekayaan, bidang kekuasaan, politik, ekonomi dan keuangan lebih lagi dalam
bidang kebudayaan dan ilmu pengetahuan, baik pengetahuan agama maupun
pengetahuan umum mengalami kemajuan yang sangat pesat.
Aktifitas keilmuan yang bisa dikatakan
sebagai embrio gerakan Intelektual Islam adalah penulisan sejarah. Kajian
sejarah tumbuh pada masa ini, dimulai dari kajian hadist. Dengan demikian ia
merupakan salah satu disiplin ilmu paling awal yang dihasilkan oleh muslim
Arab.[23] Berbagai ilmu telah lahir pada periode
Dinasti ini. Hal ini dikarenakan antara lain: Penerjemahan buku berbahasa asing
seperti halnya Yunani, Mesir, Persia, India dan lain-lain kedalam bahasa Arab
dengan sangat gencar dan penelitian dan pengkajian yang dilakukan oleh kaum
muslimin itu sendiri.
Buku-buku
yang diterjemahkan antara lain : Ilmu kedokteran, Kimia, Ilmu Alam, Mantiq
(logika), Filsaft Al Jabar, Ilmu Falaq, Matematika, Seni dan lain-lain. Dengan
begitu kaum muslimin dapat mempelajari berbagai ilmu dalam bahasa Arab. Dan
hasilya bermunculan sarjana-sarjana besar muslim dari berbagai disiplin ilmu
yang sangat terkenal juga ulama-ulama besar yang sangat tersohor seperti halnya
iman Abu Hanafi, Imam Malik, Imam Syafii, Imam Hambali, Imam Bukhori dan imam
muslim dan lain-lain.
Pengaruh gerakan terjemahan tersebut,
bukan saja membawa kemajuan di bidang ilmu pengetahuan umum, tetapi juga ilmu
pengetahuan agama. Dalam bidang tafsir, sejak awal sudah dikenal dua metode, penafsiran
pertama, tafsir bi al-ma'tsur,
yaitu interpretasi tradisional dengan mengambil interpretasi dari Nabi dan para sahabat. Kedua, tafsir bi al-ra'yi, yaitu metode
rasional yang lebih banyak bertumpu kepada pendapat dan pikiran daripada hadits
dan pendapat sahabat. Kedua metode ini memang berkembang pada masa pemerintahan
Bani Abbas. Akan tetapi jelas sekali bahwa tafsir dengan metode bi al-ra'yi, (tafsir rasional),
sangat dipengaruhi oleh perkembangan pemikiran filsafat dan ilmu pengetahuan.
Hal yang sama juga terlihat dalam ilmu fiqh dan terutama dalam ilmu teologi. Perkembangan logika di kalangan umat
Islam sangat memengaruhi perkembangan dua bidang ilmu tersebut
Ilmu
pengetahuan dipandang sebagai sesuatu yang sangat penting dan mulia.
Para khalifah dan pembesar lainnya membuka peluang seluas-luasnya untuk
kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan, Para khalifah sendiri
pada umumnya adalah ulama-ulama yang mencintai ilmu, menghormati para sarjana
dan memuliakan para pujangga. Mereka benar-benar menjunjung tinggi ilmu
pengetahuan, mereka mempraktekkan syariat islam : bahwa tinggi rendahnya
derajat dan martabat seseorang tergantung pada banyak sedikitnya pengetahuan
yang ia miliki disamping ketakwaannya pada Allah.
Pengaruh gerakan terjemahan terlihat dalam perkembangan
ilmu pengetahuan umum, terutama di bidang astronomi, kedokteran, filsafat, kimia dan
sejarah. Dalam lapangan astronomi terkenal nama al-Fazari sebagai astronom Islam yang pertama
kali menyusun astrolobe. Al-Farghani,
yang dikenal di Eropa dengan nama Al-Faragnus,
menulis ringkasan ilmu astronomi yang diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Gerard
Cremona dan Johannes
Hispalensis. Dalam lapangan kedokteran dikenal nama ar-Razi dan Ibnu Sina. Ar-Razi adalah tokoh pertama yang
membedakan antara penyakit cacar dengan measles. Dia juga orang pertama yang
menyusun buku mengenai kedokteran anak. Sesudahnya, ilmu kedokteraan berada di
tangan Ibn Sina. Ibnu Sina yang
juga seorang filosof berhasil
menemukan sistem peredaran darah pada manusia. Di antara karyanya adalah al-Qoonuun fi al-Thibb yang merupakan ensiklopedi kedokteran
paling besar dalam sejarah.
Dalam bidang optikal Abu Ali al-Hasan ibn al-Haitsami, yang di Eropa
dikenal dengan nama Alhazen, terkenal sebagai orang yang menentang
pendapat bahwa mata mengirim cahaya ke benda yang dilihat. Menurut teorinya
yang kemudian terbukti kebenarannya bendalah yang mengirim cahaya ke mata. Di
bidang kimia,
terkenal nama Jabir ibn Hayyan. Dia berpendapat bahwa logam
seperti timah, besi dan tembaga dapat diubah menjadi emas atau perak dengan
mencampurkan suatu zat tertentu. Di bidang matematika terkenal namaMuhammad ibn Musa al-Khawarizmi, yang juga mahir
dalam bidang astronomi. Dialah yang menciptakan ilmu aljabar. Kata aljabar berasal dari judul bukunya, al-Jabr wa al-Muqoibalah. Dalam
bidang sejarah terkenal nama al-Mas'udi.
Dia juga ahli dalam ilmu geografi. Di antara karyanya adalah Muuruj al-Zahab wa Ma'aadzin
al-Jawahir.[24]
Puncak perkembangan kebudayaan dan pemikiran Islam terjadi
pada masa pemerintahan Bani Abbas. Akan tetapi, tidak berarti seluruhnya
berawal dari kreativitas penguasa Bani Abbas sendiri. Sebagian di antaranya
sudah dimulai sejak awal kebangkitan Islam. Dalam bidang pendidikan, misalnya,
di awal Islam, lembaga pendidikan sudah mulai berkembang. Ketika itu, lembaga
pendidikan terdiri dari dua tingkat:
1. Maktab
atau Kuttab dan masjid, yaitu lembaga pendidikan terendah, tempat anak-anak
mengenal dasar-dasar bacaan, hitungan dan tulisan; dan tempat para remaja
belajar dasar-dasar ilmu agama, seperti tafsir, hadits, fiqh dan bahasa.
2. Tingkat pendalaman, dimana para pelajar yang ingin memperdalam
ilmunya, pergi keluar daerah menuntut ilmu kepada seorang atau beberapa orang
ahli dalam bidangnya masing-masing. Pada umumnya, ilmu yang dituntut adalah
ilmu-ilmu agama. Pengajarannya berlangsung di masjid-masjid atau di rumah-rumah
ulama bersangkutan. Bagi anak penguasa pendidikan bisa berlangsung di istana
atau di rumah penguasa tersebut dengan memanggil ulama ahli ke sana.[25]
Lembaga-lembaga ini kemudian berkembang pada masa pemerintahan
Bani Abbas, dengan berdirinya perpustakaan dan akademi. Perpustakaan pada masa
itu lebih merupakan sebuah universitas, karena di samping terdapat kitab-kitab,
di sana orang juga dapat membaca, menulis dan berdiskusi. Perkembangan lembaga
pendidikan itu mencerminkan terjadinya perkembangan dan kemajuan ilmu
pengetahuan. Hal ini sangat ditentukan oleh perkembangan bahasa Arab, baik sebagai bahasa administrasi
yang sudah berlaku sejak zaman Bani Umayyah, maupun sebagai bahasa ilmu
pengetahuan
Meskipun kedua dinasti ini memegang kekuasaan yang
absolut, masa pemerintahan dinasti Umayyah dan Abasiyah tersebut menghadirkan apa
yang di sebut oleh cendekiawan sebagai masa klasik dalam sejarah Islam. Pada
masa inilah, umat muslim dan yang lain menerjemahkan karya-karya pengetahuan
yang mereka bisa dapatkan (dari Yunani, India, Cina) ke dalam bahasa Arab dan
menyerap serta mengembangkan gagasan mereka. Periode tahun 800 – 1200 M adalah
masa meledaknya pengaruh intelektual Islam.[26]
F.
Studi
Islam Pada Masa Dinasti Fatimiyah
Meskipun masa keemasan dalam sejarah fatimiyyah di
Mesir di mulai periode Al Mu’izz dan memuncak pada masa Al Aziz, pada periode
kekuasaan Al Muntashir, Mesir masih di akui sebagai Negara Islam yang paling
Maju. [27]Hal
ini dapat di lihat dari pendirian Universitas yang di bangun oleh seorang
pelopor pendidikan yang bernama Ibn Killis. Ia mendirikan Universitas dan menghabiskan
ribuan dinar perbulan untuk membiayainya. Sebelum itu, dibawah pemerintahan
Iksidiyyah, muncul seorang sejarawan Muhamad Ibn Al Kindi dan Ibn Salamah Al
Qudhai.
Setelah Mesir di kuasai selama empat tahun (969 -973
M), Dinasti Fatimiyyah telah mengalami masa kejayaan yang ditandai dengan
berpindahnya pusat pemerintahan ke Kairo tahun 973 M. Zaman kejayaan ini di
tandai dengan salah satunya di bidang Ilmu pengetahuan. Para pejabat dan
pemerintah sangat antusias terhadap ilmu pengetahuan. Hal ini terbukti adanya
minat masyarakat yang selalu membanjiri pusat ilmu pengetahuan sehingga membuat
hati senang sang khalifah yang diwujudkan dengan member beasiswa bagi pelajar.[28]
Lembaga pendidikan banyak di bangun antara lain Universitas Al Azhar dan Al
hikmah sekaligus dilengkapi perpustakaan yang selevel dengan masjid kordofa di
Spanyol.
Meskipun beberapa khalifah pertama Dinasti
Fatimiyyah di kenal sebagai khalifah berbudaya, periode mereka bisa dibilang
tidak melahirkan ilmuawan yang kondang dalam sains dan sastra. Seperti
khalifah-khalifah lainnya di Baghdad dan Kordoba, Al Aziz sendiri adalah
seorang penyair dan sangat menyenangi pendidikan. Dialah yang mengembangkan
masjid Agung Al Azhar menjadi Universitas. [29]
III. Penutup
Kemajuan Ilmu pengetahuan khususnya Islam sudah di mulai
pada masa periode Makkah. Hal ini dibuktikan peristiwa masuk Islamnya Umar Bin
khattab takkala mendengar bacaan Al Qur’an yang dibaca adiknya berupa tulisan
Al Qur’an dalam lembaran-lembaran mushaf yang ditulis oleh para sahabat. Pada periode
Madinah penulisan wahyu Al Qur’an pada Masa Nabi dilakukan dengan sistematis
dengan cara menunjuk beberapa sahabat untuk menjadi penulis wahyu.
Pada Masa Khulafaur Rasyidin kodifikasi dan penulisan Al
Qur’an sudah sistematis di mulai dari Masa Khalifah Abu Bakar sampai khalifah
Ustman Bin Affan.
Pada Masa dinasti
Umayyah dan Abasiyah perkembangan Ilmu pengetahuan berkembang pesat dan
menghadirkan apa yang di sebut oleh cendekiawan sebagai masa klasik dalam
sejarah Islam. Pada masa inilah, umat muslim dan yang lain menerjemahkan
karya-karya pengetahuan yang mereka bisa dapatkan (dari Yunani, India, Cina) ke
dalam bahasa Arab dan menyerap serta mengembangkan gagasan mereka. Periode
tahun 800 – 1200 M adalah masa meledaknya pengaruh intelektual Islam. Pada
periode kedua khalifah ini lahirlah tokoh-tokoh dan cendekiawan muslim yang
disegani dalam berbagai bidang, baik bidang ilmu agama maupun ilmu pengetahuan
lainnya. Pada era ini berkembang pula berbagai disiplin ilmu baik yang bercorak
agama (Tafsir, Hadist, ulumul Qur’an, Ulumul Hadist dll) dan juga ilmu yang
bercorak pengetahuan (ilmu sosial dan eksak). Pada era inilah Islam mencapai
puncak keemasan dalam sejarah peradaban Islam. Wallahu a’lam
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah,Amin,
Islamic Studies di Perguruan Tinggi, (Jogjakarta : Pustaka Pelajar,
2006)
Al Buthi, Said
Ramadhan, Sirah Nabawiyah, terj. (Jakarta : Robbani Press, 1995)
Al
Atsari, Abu ihsan, Peristiwa-peristiwa penting menjelang keruntuhan Khilafah
Bani Abbasiyah, dalam majalah As Sunnah, edisi 07 tahun 2011
Arifin,Zaenal
Dinasti Fatimiyyah di Mesir (study tentang perkembangan,kemajuan dan
kemundurannya), dalam Jurnal lentera No 12 Volume 7 tahun, Juli 2008,
Al A'zami, M.M Sejarah Teks Al-Quran - Dari Wahyu Sampai
Kompilasinya,terj. Bandung: Al Kalam Publising, 2011
Ghazali,
Abdul Muqsid dll, Metodologi studi Al Qur’an, Jakarta : Gramedia, 2009
Hatta,
Syamsudin, Ulumul Qur’an, terj kitab " Mabahits Fi Ulumil Qur'an"
karya Syeikh
Manna'ul
Qathan, Solo : Pesma Ar royyan, 2007
http://id.wikipedia.org
Nata, Abudin, Metodologi Studi Islam,
Jakarta: Rajawali pers, 2009
Hitti,
Philip K, History of Arabs, terj, Jakarta : PT Serambi Ilmu Semesta, cet
II, 2006
Nugroho,
Anjar, Diklat Ajar Metodologi Studi Islam, Purwokerto, Fakultas Agama
Islam UMP, 2007
Rauf,Imam
Feisal Abdul, Seruan dari Azan dari puing WTC dakwah Islam di Jantung
Amerika pasca 9/11,terj,Bandung: PT Mizan Pustaka, 2007
Syalaby,
Ahmad, Sejarah dan Kebudayaan islam, I,
trj, Muchtar Yahya, (Jakarta: Pusataka al-Husna, 1983)
[1] Amin Abdullah, Islamic
Studies di Perguruan Tinggi, (Jogjakarta : Pustaka Pelajar, 2006) Hal 290
[2] Abudin Nata, Metodologi Studi
Islam, Jakarta: Rajawali pers, 2009 hal 357
[3]
Abudin Nata, ibid hal
378
[4]
http//www.wikipedia.com
[5]
Said Ramadhan Al Buthi, Sirah
Nabawiyah, terj. (Jakarta : Robbani Press, 1995) hal
[6]M.M al A'zami, Sejarah
Teks Al-Quran - Dari Wahyu Sampai Kompilasinya,terj. Bandung: Al Kalam
Publising, 2011, hal 71
[7]
Kita
bisa melihat kisah tentang masuknya Islamnya Umar bin Khattab bisa dijadikan
contoh bahwa penulisan ayat-ayat Al Qur’an telah dimulai sejak awal
[8]
Taufik Adnan Kamal dalam
Abdul Muqsid Ghazali dll, Metodologi studi Al Qur’an, Jakarta : Gramedia, 2009 hal 10
[9]
M.M al A'zami, ibid
hal 72
[10] Syamsudin Hatta, Ulumul
Qur’an, terj kitab " Mabahits Fi Ulumil Qur'an" karya
Syeikh Manna'ul Qathan, Solo : Pesma Ar royyan, 2007 hal 69
[11]
Abudin Nata, ibid hal
318
[12]
Syamsudin Hatta, ibid hal
70
[13]
Syamsudin Hatta, Ibid hal 72
[14] Abdul Moqsith ghazali dkk, Ibid hal 13
[15]
Anjar Nugroho, Diklat
Ajar Metodologi Studi Islam, Purwokerto, Fakultas Agama Islam UMP, 2007 hal
65
[16] Amru Abdul Mun’im Salim, Taysir
Ulum al-Hadits lil Mubtadi'in; Mudzakkirat Ushul al-Hadits lil Mubtadi'in,
diterjemahkan menjadi Ilmu Hadits Untuk Pemula, 1997 Hal 17-18
[17]
Ahmad Syalaby, Sejarah dan
Kebudayaan islam, I, trj, Muchtar Yahya, (Jakarta: Pusataka al-Husna, 1983), hlm. 33
[18] Imam Feisal Abdul Rauf, Seruan
dari Azan dari puing WTC dakwah Islam di Jantung Amerika pasca 9/11,terj,Bandung:
PT Mizan Pustaka, 2007 Hal 228
[19] Philip K Hitti, History of
Arabs, terj, Jakarta : PT Serambi Ilmu semesta, Cet II, 2006, hal 386-387
[20] L. Leclerc dalam Philip K Hitti,
ibid hal 391
[21]
Philip K Hitti dalam Imam
Feisal Abdul Rauf, Ibid hal 229
[22]
Abu ihsan Al Atsari,
Peristiwa-peristiwa penting menjelang keruntuhan Khilafah Bani Abbasiyah,
dalam majalah As Sunnah, edisi 07 tahun 2011 hal 24
[23]
Philip K Hitti, History
of Arabs, terj, Jakarta : PT Serambi Ilmu Semesta, cet II, 2006, hal 304
[24] http://id.wikipedia.org
[25] ibid
[26]
Imam Feisal Abdul Rauf, Ibid
hal 229
[27] Philip K Hitti, Ibid hal
800
[28] Juzi Zaidan dalam Zaenal Arifin,Dinasti
Fatimiyyah di Mesir (study tentang perkembangan,kemajuan dan kemundurannya),
dalam Jurnal lentera No 12 Volume 7 tahun, Juli 2008, hal 11 (http://isjd.pdii.lipi.go.id)
[29]
Philip K Hitti, Ibid hal
801
Tidak ada komentar:
Posting Komentar