“Al Qur’an :
Sejarah Kodifikasi dan Metodologi Penafsiran”
Oleh Abd Qohin
I.
Pengertian
Al Qur’an
Dalam pembahasan tentang arti al Qur’an
akan ditinjau dari dua segi, yaitu arti
al-Qur’an menurut bahasa (etimologi) dan arti al Qur’an menurut istilah
(terminologi).
a. Pengertian
Al-Quran secara bahasa (Etimologi)
Kata
al-Qur’an berasal dari kata qara’a, yaqra’u, qur’anan yang artinya: “bacaan
atau yang dibaca”. Lafadzh Qara’a
mempunyai arti mengumpulkan dan menghimpun, dan qira’ah berarti
menghimpun huruf-huruf dan kata-kata satu dengan yang lain dalam suatu ucapan
yang tersusun rapih. Al Qur’an pada mulanya seperti qira’ah , yaitu masdar
(infinitif) dari kata qara’ qira’atan, qur’anan. Sebagaimana
dalam firman Allah SWT :
¨bÎ) $uZøn=tã
¼çmyè÷Hsd
¼çmtR#uäöè%ur ÇÊÐÈ
“Sesungguhnya
atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai)
membacanya” (Al Qiyamah 17)
Sedangkan menurut Subhi As Shalih, “al
Qur’an berarti bacaan‟, asal kata qara’a.
kata al Qur’an itu berbentuk masdar dengan arti isim maf‟ul yaitu maqru‟
(dibaca).
Qur`anah
berarti qiraatun (bacaannya/cara membacanya). Jadi kata itu adalah masdar
menurut wazan (tasrrif, konjugasi) fu’la dengan vokal “u”
seperti gufran dan syukran.Kita dapat mengatakan qara’tuhu
, qur`an, qira’atan wa qur’anan, artinya sama saja. Di sini maqru’
(apa yang dibaca diberi nama qur`an (bacaan) yakni penamaan maf`ul
dengan masdar.
b. Pengertian
Al-Quran secara Istilah (Terminologi)
Para
ulama menyebutkan definisi Al Qur’an yang mendekati maknanya dan membedakannya dari yang lain
dengan menyebutkan bahwa:
القرآن هو كلام
الله المنزل على محمد عليه السلام المتعبد بتلاوته
Al
Quran adalah kalam atau firman Allah yang diturunkan kepada Muhamad saw dan
yang pembacanya merupakan suatu ibadah.
Penjelasan
Arti Qur’an secara istilah, adalah sebagai berikut :
1. Definisi
kalam (ucapan) merupakan kelompok jenis yang meliputi segala kalam. Dan dengan
menghubungkannya dengan Allah ( kalamullah) berarti tidak semua masuk
dalam kalam manusia, jin dan Malaikat.
2. Batasan
dengan kata-kata (al unazzal) yang diturunkan maka tidak termasuk kalam
Allah yang sudah khusus menjadi
milik-Nya. Sebagaimana disebutkan dalam Firman Allah :”Katakanlah: Sekiranya
lautan menjadi tinta untuk kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu
sebelum habis kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan
sebanyak itu”.(al-Kahfi: 109)
3. Batasan
dengan definisi hanya kepada Muhamad saw tidak termasuk yang diturunkan kepada
nabi-nabi sebelunya seperti taurat, injil dan yang lain.
4. Sedangkan
batasan (al-muta'abbad bi tilawatihi) yang pembacanya merupakan suatu
Ibadah mengecualikan hadist ahad dan hadis-hadis qudsi .
Jadi
secara istilah definisi al-Qur’an ialah kalam Allah SWT yang merupakan mu’jizat yang diturunkan (diwahyukan)
kepada Nabi Muhammad saw dan yang ditulis di mushaf dan diriwayatkan dengan mutawatir
serta membacanya adalah ibadah
II.
Sejarah
Kodifikasi Al Qur’an
A. Pengumpulan Al Qur’an Dalam Masa Nabi
Realitas penghimpunan Al Qur’an pada
masa nabi dapat dijelaskan dengan point-point sebagai berikut :
1.
Pengumpulan
Al-Quran dalam Penghafalan di masa Nabi.
Para sahabat telah
dikenal dengan kecintaan mereka dan semangat mereka dalam menghafal Al Qur’an.
Dalam kitab sahihnya Bukhori telah
mengemukakan adanya tujuh huffadz
di masa sahabat, melalui tiga
riwayat. Mereka adalah Abdullah bin Mas’ud, Salim bin Ma’qal bekas budak Abu
Huzaifah, Muaz bin Jabal, Ubai bin Kaab, Zaid bin Sabit, Abu Zaid bin
Sakan dan Abu Darda
Penyebutan para hafiz
yang tujuh atau delapan ini tidak berarti pembatasan, karena beberapa
keterangan dalam kitab-kitab sejarah dan sunan menunjukkan bahwa para sahabat
berlomba menghafalkan Al Qur'an dan mereka memerintahkan anak-anak dan
ister-isteri mereka untuk menghafalkannya.
2.
Pengumpulan
Al Qur'an dalam Arti Penulisannya pada Masa Nabi
Beberapa penjelasan
terkait penulisan al Qur’an dimasa nabi adalah sebagai berikut :
a. Rasulullah
meminta beberapa sahabat untuk menuliskan wahyu. Rasullullah telah mengangkat
para penulis wahyu Al Qur'an dari sahabat-sahabat terkemuka, seperti Ali,
Muawiyah, Ubai bin Ka'ab dan Zaid bin Sabit, bila ayat turun ia memerintahkan
mereka menulisnya dan menunjukkan tempat ayat tersebut dalam surah, sehingga
penulisan pada lembar itu membantu penghafalan didalam hati.
b. Beberapa
sahabat berinisiatif menuliskan secara sendiri-sendiri. Sebagian sahabat menuliskan
Al Qur'an yang turun itu atas kemauan mereka sendiri, tanpa diperintahkan oleh
nabi, mereka menuliskannya pada pelepah
kurma , lempengan batu, daun lontar, kulit atau daun kayu, pelana, potongan
tulang belulang binatang. Zaid bin Sabit mengatakan : " Kami menyusun
Qur'an dihadapan Rasulullah pada kulit binatang "
c. Para
sahabat senantiasa menyodorkan Al Qur'an kepada Rasulullah baik dalam bentuk
hafalan maupun tulisan. Tulisan-tulisan Al Qur'an pada masa Nabi tidak
terkumpul dalam satu mushaf yang ada
pada seseorang belum tentu dimiliki orang lain. Rasulullah berpulang
kerahmatullah disaat Al Qur'an telah dihafal dan tertulis dalam mushaf dengan
susunan seperti disebutkan diatas, ayat-ayat dan surat-surat dipisah-pisahkan,
atau diterbitkan ayat-ayatnya saja dan setiap surat berada dalam satu lembar
secara terpisah dalam tujuh huruf. Tetapi Al Qur’an belum dikumpulkan dalam
satu mushaf yang menyuruluh (lengkap)
B. Pengumpulan Al Qur'an pada Masa Abu Bakar
Abu
Bakar menjalankan pemerintahan Islam sesudah Rasulullah. Ia dihadapkan kepada
peristiwa-peristiwa besar berkenaan dengan kemurtadan sebagian orang arab.
Karena itu ia segera menyiapkan pasukan dan mengirimkannya untuk memerangi
orang-orang yang murtad itu. Peperangan Yamamah
yang terjadi pada tahun 12 H melibatkan sejumlah besar sahabat yang
hafal Al Qur'an. Dalam peperangan ini tujuh puluh qari dari para sahabat gugur.
Umar bin Khatab merasa sangat khawatir
melihat kenyataan ini, lalu ia menghadap Abu Bakar dan mengajukan usul
kepadanya agar mengumpulkan dan membukukan Al Qur’an karena dikhawatirkan akan musnah, sebab
peperangan Yamamah telah banyak membunuh
para qarri'.
Disegi
lain Umar merasa khawatir juga kalau-kalau peperangan ditempat-tempat lain
Akan membunuh banyak qari' pula
sehingga Al Qur'an akan hilang dan musnah, Abu Bakar menolak usulan itu dan
berkeberatan melakukan apa yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah. Tetapi
Umar tetap membujuknya, sehingga Allah
membukakan hati Abu Bakar untuk menerima usulan Umar tersebut. Maka ditunjuklah Zaid Bin tsabit
untuk mengumpulkan dan menulis Al Qur’an.
Dalam usaha pengumpulan Al-Qur'an
Zaid bin Tsabit telah mengambil langkah yang tepat, teliti dan mantap. Langkah
tersebut adalah suatu jaminan (yang pantas) dalam penulisan Al-Qur'an dengan mantap
dan penuh ketelitian. Zaid bin Tsabit tidak menganggap cukup menurut yang
dihafal dalam hati dan yang ditulis dengan tangannya serta hasil pendengaran,
tetapi ia bertitik-tolak pada penyelidikan yang mendalam dari dua sumber:
1) Sumber
hafalan yang tersimpan dalam hati para sahabat dan
2) Sumber
tulisan yang ditulis pada zaman Rasulullah SAW.
Dua
hal tersebut yaitu hafalan dan tulisan harus terpenuhi. Karena sangat
bersungguh sungguh dan berhati-hatinya ia tidak menerima data berupa tulisan
sebelum disaksikan oleh dua orang yang adil bahwa tulisan tersebut ditulis di
hadapan Rasulullah SAW.
C. Pengumpulan Al Qur'an pada Masa Ustman Bin Affan
Penyebaran
Islam bertambah dan para qurra pun tersebar di berbagai wilayah, dan
penduduk disetiap wilayah itu mempelajari qira'at (bacaan) dari qari yang
dikirim kepada mereka. Cara-cara pembacaan (qiraat) Al Qur'an yang
mereka bawakan berbeda-beda sejalan dengan perbedaan huruf yang dengannya Al Qur'an diturunkan. Apabila
mereka berkumpul disuatu pertemuan atau disuatu medan peperangan, sebagian
mereka merasa heran dengan adanya perbedaan qiraat ini. Sebagian mereka
menganggapnya wajar, karena mengetahui bahwa perbedaan-perbedaan itu semuanya
disandarkan kepada Rasulullah.
Ketika terjadi perang Armenia dan
Azarbaijan dengan penduduk Iraq, diantara orang yang ikut menyerbu kedua tempat
itu ialah Huzaifah bin al-Yaman. Ia banyak melihat perbedaan dalam cara-cara
membaca Al Qur’an. Sebagian bacaan itu
bercampur dengan kesalahan, tetapi masing-masing mempertahankan dan berpegang
pada bacaannya, serta menentang setiap orang yang menyalahi bacaannya dan
bahkan mereka saling mengkafirkan. Melihat kenyataan demikian Huzaifah segara
menghadap Usman dan melaporkan kepadanya apa yang telah dilihatnya. Usman juga
memberitahukan kepada Huzaifah bahwa sebagian perbedaan itu pun akan terjadi
pada orang-orang yang mengajarkan Qiraat pada anak-anak. Anak-anak itu
akan tumbuh, sedang diantara mereka terdapat perbedaan dalam qiraat.
Para sahabat memprihatinkan kenyataan ini karena takut kalau-kalau perbedaan
itu akan menimbulkan penyimpangan dan perubaban. Mereka bersepakat untuk
menyalin lembaran-lembaran yang pertama yang ada pada Abu Bakar dan menyatukan
umat islam pada lembaran-lembaran itu dengan bacaan tetap pada satu huruf.
Utsman kemudian mengirimkan utusan
kepada Hafsah (untuk meminjamkan mushaf Abu Bakar yang ada padanya) dan Hafsah
pun mengirimkan lembaran-lembaran itu kepadanya. Kemudian Usman memmanggil :
-
Zaid bin Sabit
al-Ansari,
-
Abdullah bin
Zubair,
-
Said bin 'As,
dan
-
Abdurrahman bin
Haris bin Hisyam.
Ketiga
orang terkahir ini adalah orang quraisy, lalu Ustman memerintahkan mereka agar
menyalin dan memperbanyak mushaf, serta memerintahkan pula agar apa yang
diperselisihkan Zaid dengan ketiga orang quraisy itu ditulis dalam bahasa
quraisy, karena Al Qur'an turun dengan logat mereka
Kemudian
Ustman memerintahkan kepada Zaid bin tsabit, Abdullah bin Zubair, Said bin As,
dan Abdurrahman bin haris untuk menyalin dan memperbanyak mushaf serta
memerintahkan pula agar apa yang di perselisihkan dengan ketika orang Qurays itu
di tulis dalam bahasa Quraysi karena Al Qur’an turun dengan logat mereka.
III.
ILMU
UNTUK MENGUASAI AL QUR’AN
A. Imu Tajwid
Tajwid secara
bahasa artinya at-tahsiin wal ijaadah,
baik dan membaguskan. Secara Istilah Tajwid berarti memberikan setiap huruf hak-haknya dan
susunannya, mengembalikan huruf pada makhrojnya dan asalnya, menghaluskan
pelafalan pada kondisi yang sempurna, tanpa berlebihan dan pembebanan.
Sedangkan ilmu
tajwid diartikan sebagai ilmu yang menjelaskan hukum-hukum dan kaidah-kaidah
yang harus dijaga pada saat membaca Al Quran, sesuai dengan apa yang
dipraktekkan kaum muslimin, dari
generasi ke generasi , dari Rasulullah SAW.
B. Ilmu Qiroat
Al-Qira'aat
adalah jamak dari kata qiro'ah yang
berasal dari qara'a - yaqra'u qira'atan. Menurut istilah qira'at
adalah salah satu aliran dalam pelafalan/pengucapan Al Qur'an yang dipakai oleh
salah seorang imam qura' yang
berbeda dengan lainnya dalam hal ucapan Al Qur'anul Karim. Qira'at ini
berdasarkan sanad-sanadnya sampai kepada Rasulullah SAW.
IV.
Tafsir
berdasarkan Metodologi
A.
Metode Ijmali
Metode
tafsir ijmali yaitu menafsirkan al-Qur’an dengan cara singkat dan global tanpa
uraian panjang lebar. Metode Ijmali (global) menjelaskan ayat-ayat
Qur’an secara ringkas
tapi mencakup dengan bahasa
yang lebih umum dikenal lebih luas, mudah dimengerti,
dan enak dibaca. Sistimatika penulisannya mengikuti susunan ayat-ayat di
dalam mushaf. Penyajiannya, tidak terlalu jauh dari gaya bahasa al-Qur’an.
Dengan demikian, ciri-ciri dan
jenis tafsir Ijmali mengikuti
urut-urutan ayat demi ayat menurut tertib mushaf, seperti halnya tafsir tahlili.
Perbedaannya dengan tafsir tahlili adalah dalam tafsir ijmali makna
ayatnya diungkapkan secara ringkas dan global tetapi cukup jelas, sedangkan
tafsir tahlili makna ayat diuraikan secara terperinci dengan tinjauan berbagai
segi dan aspek yang diulas secara panjang lebar.
Ciri umum metode ijmali adalah
(1) cara seorang mufassir melakukan penafsiran, di mana seorang mufassir
langsug menafsirkan ayat al-Qur'an dari awal sampai akhir tanpa perbandingan
dan penetapan judul, (2) mufassir tidak banyak mengemukakan pendapat dan
idenya, (3) mufassir tidak banyak memberikan penafsiran secara rinci tetapi
ringkas dan umum, meskipun pada beberapa ayat tertentu memberikan penafsiran
yang agak luas, namun tidak pada wilayah analitis.
Sebagai contoh: Penafsiran yang
diberikan tafsir al-Jalalain terhadap 5
ayat pertama dari
surat al-Baqarah, tampak
tafsirnya sangat singkat dan
global hingga tidak
ditemui rincian atau
penjelasan yang memadai. Penafsiran
tentang الم) (misalnya, dia
hanya berkata: Allah Maha Tahu
maksudnya. Dengan demikian pula kata al kitaaba penafsiran hanya
dikatakan: Yang dibacakan oleh Muhammad. Begitu seterusnya,
tanpa ada rincian sehingga penafsiran
lima ayat itu
hanya dalam beberapa
baris saja.
Di antara kitab-kitab tafsir
dengan metode ijmali, yaitu tafsir al-Jalalain karya Jalal al-Din
al-Suyuthy dan Jalal al-Din al-Mahally, Tafsir al-Qur’an al-’Adhin olah
Ustadz Muhammad Farid Wajdy, Shafwah al-Bayan li Ma’any al-Qur’an
karangan Syaikh Husanain Muhammad Makhlut, al-Tafsir
al-Muyassar karangan Syaikh Abdul al-Jalil Isa, Al-Tafsiir
al-Wasiit.
B.
Metode Tahlili (Analitis)
Metode Tafsir analisis ialah menafsirkan ayat-ayat
al-Qur’an dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat
yang ditafsirkan itu serta menerangkan makna-makna yang tercakup di
dalamnya sesuai dengan keahlian dan
kecenderungan mufassir yang
menafsirkan ayat-ayat tersebut. Mufassir membahas al-Qur’an ayat demi ayat,
sesuai dengan rangkaian ayat yang tersusun
di dalam al-Qur’an. Tafsir yang memakai
pendekatan ini mengikuti naskah
al-Qur’an dan menjelaskannya dengan cara sedikit demi sedikit, dengan menggunakan alat-alat
penafsiran yang diyakini
efektif (seperti mengandalkan pada arti-arti harfiah, hadis atau
ayat-ayat lain yang mempunyai beberapa kata atau pengertian yang sama dengan
ayat yang sedang dikaji), sebatas kemampuannya di dalam membantu menerangkan
makna bagian yang
sedang ditafsirkan, sambil memperhatikan konteks naskah tersebut.
Contoh tafsir model ini yaitu
- Ma’alim al-Tazil karangan al-Baghawi
- Tafsir
al-Qur’an al-’Azhim (terkenal dengan tafsir Ibn Katsir) karangan Ibn Katsir
- al-Durr al-Mantsur fi al-tafsir bi al-Ma’tsur karangan al-Suyuthi
- Anwar
al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil karangan al-Baydhawi
- al-Kasysyaf karangan al-Zamakhsyari
- al-Jawahir fi
Tafsir al-Qur’an karangan Thanthawi Jauhari,
- Tafsir al-Manar
karangan Muhammad Rasyid Ridha
C.
Metode
Muqarin (Komparatif)
Tafsir ini menggunakan
metode perbandingan antara ayat dengan ayat, atau ayat dengan hadits, atau antara
pendapat-pendapat para ulama tafsir
dengan menonjolkan perbedaan tertentu dari obyek yang diperbandingkan. Jadi yang dimaksud dengan metode komporatif ialah:
-
Membandingkan teks (nash) ayat-ayat al-Qur’an yang
memiliki persamaan atau kemiripan redaksi dalam dua kasus atau lebih, dan atau
memiliki redaksi yang berbeda bagi suatu kasus yang sama,
-
Membandingkan ayat al-Qur’an dengan hadis yang pada
lahirnya terlihat bertentangan,
-
Membandingkan berbagai pendapat ulama tafsir dalam
menafsirkan al-Qur’an.
D.
Metode Maudhu’i
(Tematik)
Metode
tematik ialah metode yang membahas
ayat-ayat al-Qur’an sesuai
dengan tema atau judul yang
telah ditetapkan. Semua ayat yang berkaitan dihimpun,
kemudian dikaji secara mendalam dan
tuntas dari berbagai aspek yang
terkait dengannya, seperti asbab al-nuzul, kosakata, dan sebagainya. Semua
dijelaskan dengan rinci dan tuntas, serta didukung oleh dalil-dalil atau
fakta-fakta yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, baik argumen yang
berasal dari al-Qur’an, hadis, maupun pemikiran rasional.
Dalam metode ini, tafsir al-Qur’an tidak dilakukan ayat
demi ayat. al-Qur’an
dikaji dengan mengambil
sebuah tema khusus dari berbagai
macam tema doktrinal, sosial, dan kosmologis yang dibahas oleh al-Qur’an.
Misalnya ia mengkaji dan membahas doktrin Tauhid di dalam al-Qur’an, konsep nubuwwah
di dalam al-Qur’an, pendekatan al-Qur’an terhadap ekonomi, Musyawarah dalam
Qur’an dan sebagainya.
Ciri metode ini ialah menonjolkan tema. Judul atau topik
pembahasan, sehingga tidak salah jika dikatakan bahwa metode ini juga disebut
metode topikal. Jadi, mufassir mencari tema-tema atau topik-topik yang ada di
tengah masyarakat atau berasal dari al-Qur’an itu sendiri, atau dari lain-lain.
Kemudian tema-tema yang sudah dipilih itu dikaji secara tuntas dan menyeluruh
dari berbagai aspeknya sesuai dengan kapasitas atau petunjuk yang termuat di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan
tersebut. Jadi penafsiranyang diberikan tidak boleh jauh dari pemahaman
ayat-ayat al-Qur’an agar tidak terkesan penafsiran tersebut berangkat dari
pemikiran atau terkaan berkala (al-ra’y al-mahdh). Oleh karena itu dalam
pemakainnya, metode ini tetap menggunakan kaidah-kaidah yang berlaku secara
umum di dalam ilmu tafsir.
Diantara karya-karya tafsir yang menggunakan metode
ini adalah Kitab Min Huda
al-Qur’an karya Syaikh Mahmud
Syaltut, al-Mar’ah fi al-Qur’an karangan Abbas Mahmud al-Aqqad, al-Riba fi al-Qur’an karya Abu al-A’la
al-Maududy, al-Aqidah fi al-Qur’an karya Muhammad Abu
Zahroh, Ayat al-Qasam fi al-Qur’an karangan Ahmad Kamal Mahdy, Muqawwamat al-Insaniyah fi al-Qur’an
karya Ahmad Ibrahim Mahna, Tafsir Surat Yaasin karya Ali Hasan
al-Aridl, Tafsir Surat al-Fath karya Ahmad Sayyid al-Kumy, Adam fi al-Qur’an
karangan Ali Nashr al-Din. Seorang
pakar dan dosen tafsir di al-Azhar Mesir, Al-Husaini Abu Farhah menulis buku tafsir dengan tema “Al-Futuhat
al-Rabbaniyah fi al-Tafsir al-Maudu’iy Li al-Ayat
al-Qur’aniyah” dalam dua
jilid dengan memilih
banyak topik yang dibicarakan al-Qur’an.
Sumber
:
Sanaky, Hujair A. H. Metode Tafsir (Perkembangan Metode
Tafsir Mengikuti Warna atau Corak Mufassirin) dalam Jurnal Al
Mawarid, edisi XVIII, 2008,
Syamsudin,
Hatta, Modul Mata Kuliah Ulumul Qur’an (1),Ringkasan Praktis
Sistematis dari Terjemahan Kitab " Mabahits Fi Ulumil Qur'an"
karya Syeikh Manna'ul Qathan, Surakarta 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar