Senin, 29 Oktober 2012

Al Qur'an : Sejarah Kodifikasi dan Metodologi Penafsiran


“Al Qur’an :  Sejarah Kodifikasi dan Metodologi Penafsiran”
Oleh Abd Qohin

I.              Pengertian Al Qur’an
Dalam pembahasan tentang arti al Qur’an akan ditinjau dari dua  segi, yaitu arti al-Qur’an menurut bahasa (etimologi) dan arti al Qur’an menurut istilah (terminologi).
a.       Pengertian Al-Quran secara bahasa (Etimologi)
Kata al-Qur’an berasal dari kata qara’a, yaqra’u, qur’anan yang artinya: “bacaan atau yang dibaca”.  Lafadzh Qara’a mempunyai arti mengumpulkan dan menghimpun, dan qira’ah berarti menghimpun huruf-huruf dan kata-kata satu dengan yang lain dalam suatu ucapan yang tersusun rapih. Al Qur’an pada mulanya seperti qira’ah , yaitu masdar (infinitif) dari kata qara’ qira’atan, qur’anan. Sebagaimana dalam firman Allah SWT :
¨bÎ) $uZøŠn=tã ¼çmyè÷Hsd ¼çmtR#uäöè%ur ÇÊÐÈ  
“Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya” (Al Qiyamah 17)
Sedangkan menurut Subhi As Shalih, “al Qur’an berarti bacaan‟, asal kata  qara’a. kata al Qur’an itu berbentuk masdar dengan arti isim maf‟ul yaitu maqru‟ (dibaca).
Qur`anah berarti qiraatun (bacaannya/cara membacanya). Jadi kata itu adalah masdar menurut wazan (tasrrif, konjugasi) fu’la dengan vokal “u” seperti gufran dan syukran.Kita dapat mengatakan qara’tuhu , qur`an, qira’atan wa qur’anan, artinya sama saja. Di sini maqru’ (apa yang dibaca diberi nama qur`an (bacaan) yakni penamaan maf`ul dengan masdar.

b.      Pengertian Al-Quran secara Istilah (Terminologi)
Para ulama menyebutkan definisi Al Qur’an yang mendekati  maknanya dan membedakannya dari yang lain dengan menyebutkan bahwa:
القرآن هو كلام الله المنزل على محمد عليه السلام المتعبد بتلاوته
Al Quran adalah kalam atau firman Allah yang diturunkan kepada Muhamad saw dan yang pembacanya merupakan suatu ibadah.
Penjelasan Arti Qur’an secara istilah, adalah sebagai berikut :
1.      Definisi kalam (ucapan) merupakan kelompok jenis yang meliputi segala kalam. Dan dengan menghubungkannya dengan Allah ( kalamullah) berarti tidak semua masuk dalam kalam manusia, jin dan Malaikat.
2.      Batasan dengan kata-kata (al unazzal) yang diturunkan maka tidak termasuk kalam Allah  yang sudah khusus menjadi milik-Nya. Sebagaimana disebutkan dalam Firman Allah :”Katakanlah: Sekiranya lautan menjadi tinta untuk kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu”.(al-Kahfi: 109)
3.      Batasan dengan definisi hanya kepada Muhamad saw tidak termasuk yang diturunkan kepada nabi-nabi sebelunya seperti taurat, injil dan yang lain.
4.      Sedangkan batasan (al-muta'abbad bi tilawatihi) yang pembacanya merupakan suatu Ibadah mengecualikan hadist ahad dan hadis-hadis qudsi .
Jadi secara istilah definisi al-Qur’an ialah kalam Allah SWT yang  merupakan mu’jizat yang diturunkan (diwahyukan) kepada Nabi Muhammad saw dan yang ditulis di mushaf dan diriwayatkan dengan mutawatir serta membacanya adalah ibadah

II.              Sejarah Kodifikasi Al Qur’an
A.    Pengumpulan Al Qur’an Dalam Masa Nabi
Realitas penghimpunan Al Qur’an pada masa nabi dapat dijelaskan dengan point-point sebagai berikut :
1.         Pengumpulan Al-Quran dalam Penghafalan di masa Nabi.
Para sahabat telah dikenal dengan kecintaan mereka dan semangat mereka dalam menghafal Al Qur’an. Dalam kitab sahihnya Bukhori telah  mengemukakan adanya tujuh  huffadz  di masa sahabat, melalui tiga riwayat. Mereka adalah Abdullah bin Mas’ud, Salim bin Ma’qal bekas budak Abu Huzaifah, Muaz bin Jabal, Ubai bin Kaab, Zaid bin Sabit, Abu Zaid bin Sakan  dan Abu Darda
Penyebutan para hafiz yang tujuh atau delapan ini tidak berarti pembatasan, karena beberapa keterangan dalam kitab-kitab sejarah dan sunan menunjukkan bahwa para sahabat berlomba menghafalkan Al Qur'an dan mereka memerintahkan anak-anak dan ister-isteri mereka untuk menghafalkannya.
2.    Pengumpulan Al Qur'an dalam Arti Penulisannya pada Masa Nabi
Beberapa penjelasan terkait penulisan al Qur’an dimasa nabi adalah sebagai berikut :
a.    Rasulullah meminta beberapa sahabat untuk menuliskan wahyu. Rasullullah telah mengangkat para penulis wahyu Al Qur'an dari sahabat-sahabat terkemuka, seperti Ali, Muawiyah, Ubai bin Ka'ab dan Zaid bin Sabit, bila ayat turun ia memerintahkan mereka menulisnya dan menunjukkan tempat ayat tersebut dalam surah, sehingga penulisan pada lembar itu membantu penghafalan didalam hati.
b.    Beberapa sahabat berinisiatif menuliskan secara sendiri-sendiri. Sebagian sahabat menuliskan Al Qur'an yang turun itu atas kemauan mereka sendiri, tanpa diperintahkan oleh nabi,  mereka menuliskannya pada pelepah kurma , lempengan batu, daun lontar, kulit atau daun kayu, pelana, potongan tulang belulang binatang. Zaid bin Sabit mengatakan : " Kami menyusun Qur'an dihadapan Rasulullah pada kulit binatang "
c.    Para sahabat senantiasa menyodorkan Al Qur'an kepada Rasulullah baik dalam bentuk hafalan maupun tulisan. Tulisan-tulisan Al Qur'an pada masa Nabi tidak terkumpul dalam satu mushaf  yang ada pada seseorang belum tentu dimiliki orang lain. Rasulullah berpulang kerahmatullah disaat Al Qur'an telah dihafal dan tertulis dalam mushaf dengan susunan seperti disebutkan diatas, ayat-ayat dan surat-surat dipisah-pisahkan, atau diterbitkan ayat-ayatnya saja dan setiap surat berada dalam satu lembar secara terpisah dalam tujuh huruf. Tetapi Al Qur’an belum dikumpulkan dalam satu mushaf yang menyuruluh (lengkap)
B.     Pengumpulan Al Qur'an pada Masa Abu Bakar
Abu Bakar menjalankan pemerintahan Islam sesudah Rasulullah. Ia dihadapkan kepada peristiwa-peristiwa besar berkenaan dengan kemurtadan sebagian orang arab. Karena itu ia segera menyiapkan pasukan dan mengirimkannya untuk memerangi orang-orang yang murtad itu. Peperangan Yamamah  yang terjadi pada tahun 12 H melibatkan sejumlah besar sahabat yang hafal Al Qur'an. Dalam peperangan ini tujuh puluh qari dari para sahabat gugur. Umar bin Khatab merasa sangat khawatir  melihat kenyataan ini, lalu ia menghadap Abu Bakar dan mengajukan usul kepadanya agar mengumpulkan dan membukukan Al Qur’an  karena dikhawatirkan akan musnah, sebab peperangan Yamamah  telah banyak membunuh para qarri'.
Disegi lain Umar merasa khawatir juga kalau-kalau peperangan ditempat-tempat lain Akan  membunuh banyak qari' pula sehingga Al Qur'an akan hilang dan musnah, Abu Bakar menolak usulan itu dan berkeberatan melakukan apa yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah. Tetapi Umar  tetap membujuknya, sehingga Allah membukakan hati Abu Bakar untuk menerima usulan Umar  tersebut. Maka ditunjuklah Zaid Bin tsabit untuk mengumpulkan dan menulis Al Qur’an.
Dalam usaha pengumpulan Al-Qur'an Zaid bin Tsabit telah mengambil langkah yang tepat, teliti dan mantap. Langkah tersebut adalah suatu jaminan (yang pantas) dalam penulisan Al-Qur'an dengan mantap dan penuh ketelitian. Zaid bin Tsabit tidak menganggap cukup menurut yang dihafal dalam hati dan yang ditulis dengan tangannya serta hasil pendengaran, tetapi ia bertitik-tolak pada penyelidikan yang mendalam dari dua sumber:
1)   Sumber hafalan yang tersimpan dalam hati para sahabat dan
2)   Sumber tulisan yang ditulis pada zaman Rasulullah SAW.
Dua hal tersebut yaitu hafalan dan tulisan harus terpenuhi. Karena sangat bersungguh sungguh dan berhati-hatinya ia tidak menerima data berupa tulisan sebelum disaksikan oleh dua orang yang adil bahwa tulisan tersebut ditulis di hadapan Rasulullah SAW.
C.    Pengumpulan Al Qur'an pada Masa Ustman Bin Affan
Penyebaran Islam bertambah dan para qurra pun tersebar di berbagai wilayah, dan penduduk disetiap wilayah itu mempelajari qira'at (bacaan) dari qari yang dikirim kepada mereka. Cara-cara pembacaan (qiraat) Al Qur'an yang mereka bawakan berbeda-beda sejalan dengan perbedaan huruf  yang dengannya Al Qur'an diturunkan. Apabila mereka berkumpul disuatu pertemuan atau disuatu medan peperangan, sebagian mereka merasa heran dengan adanya perbedaan qiraat ini. Sebagian mereka menganggapnya wajar, karena mengetahui bahwa perbedaan-perbedaan itu semuanya disandarkan kepada Rasulullah.
Ketika terjadi perang Armenia dan Azarbaijan dengan penduduk Iraq, diantara orang yang ikut menyerbu kedua tempat itu ialah Huzaifah bin al-Yaman. Ia banyak melihat perbedaan dalam cara-cara membaca  Al Qur’an. Sebagian bacaan itu bercampur dengan kesalahan, tetapi masing-masing mempertahankan dan berpegang pada bacaannya, serta menentang setiap orang yang menyalahi bacaannya dan bahkan mereka saling mengkafirkan. Melihat kenyataan demikian Huzaifah segara menghadap Usman dan melaporkan kepadanya apa yang telah dilihatnya. Usman juga memberitahukan kepada Huzaifah bahwa sebagian perbedaan itu pun akan terjadi pada orang-orang yang mengajarkan Qiraat pada anak-anak. Anak-anak itu akan tumbuh, sedang diantara mereka terdapat perbedaan dalam qiraat. Para sahabat memprihatinkan kenyataan ini karena takut kalau-kalau perbedaan itu akan menimbulkan penyimpangan dan perubaban. Mereka bersepakat untuk menyalin lembaran-lembaran yang pertama yang ada pada Abu Bakar dan menyatukan umat islam pada lembaran-lembaran itu dengan bacaan tetap pada satu huruf.
Utsman kemudian mengirimkan utusan kepada Hafsah (untuk meminjamkan mushaf Abu Bakar yang ada padanya) dan Hafsah pun mengirimkan lembaran-lembaran itu kepadanya. Kemudian Usman memmanggil :
-            Zaid bin Sabit al-Ansari,
-            Abdullah bin Zubair,
-            Said bin 'As, dan
-            Abdurrahman bin Haris bin Hisyam.
Ketiga orang terkahir ini adalah orang quraisy, lalu Ustman memerintahkan mereka agar menyalin dan memperbanyak mushaf, serta memerintahkan pula agar apa yang diperselisihkan Zaid dengan ketiga orang quraisy itu ditulis dalam bahasa quraisy, karena Al Qur'an turun dengan logat mereka
Kemudian Ustman memerintahkan kepada Zaid bin tsabit, Abdullah bin Zubair, Said bin As, dan Abdurrahman bin haris untuk menyalin dan memperbanyak mushaf serta memerintahkan pula agar apa yang di perselisihkan dengan ketika orang Qurays itu di tulis dalam bahasa Quraysi karena Al Qur’an turun dengan logat mereka.

III.              ILMU UNTUK MENGUASAI AL QUR’AN
A.    Imu Tajwid
Tajwid secara bahasa artinya at-tahsiin wal ijaadah,  baik dan membaguskan. Secara Istilah Tajwid berarti  memberikan setiap huruf hak-haknya dan susunannya, mengembalikan huruf pada makhrojnya dan asalnya, menghaluskan pelafalan pada kondisi yang sempurna, tanpa berlebihan dan pembebanan.
Sedangkan ilmu tajwid diartikan sebagai ilmu yang menjelaskan hukum-hukum dan kaidah-kaidah yang harus dijaga pada saat membaca Al Quran, sesuai dengan apa yang dipraktekkan kaum  muslimin, dari generasi ke generasi , dari Rasulullah SAW.

B.     Ilmu Qiroat
Al-Qira'aat adalah  jamak dari kata qiro'ah yang berasal dari qara'a - yaqra'u qira'atan. Menurut istilah qira'at adalah salah satu aliran dalam pelafalan/pengucapan Al Qur'an yang dipakai oleh salah seorang imam  qura' yang berbeda dengan lainnya dalam hal ucapan Al Qur'anul Karim. Qira'at ini berdasarkan sanad-sanadnya sampai kepada Rasulullah SAW.
IV.              Tafsir berdasarkan Metodologi
A.     Metode Ijmali
Metode tafsir ijmali yaitu menafsirkan al-Qur’an dengan cara singkat dan global tanpa uraian panjang lebar. Metode Ijmali (global) menjelaskan ayat-ayat Qur’an  secara  ringkas  tapi mencakup  dengan  bahasa  yang lebih umum dikenal lebih luas, mudah  dimengerti,  dan  enak  dibaca. Sistimatika  penulisannya mengikuti susunan ayat-ayat di dalam mushaf. Penyajiannya, tidak terlalu jauh dari gaya bahasa al-Qur’an.
Dengan demikian, ciri-ciri dan jenis tafsir  Ijmali mengikuti urut-urutan ayat demi ayat menurut tertib mushaf, seperti halnya tafsir tahlili. Perbedaannya dengan tafsir tahlili adalah dalam tafsir ijmali makna ayatnya diungkapkan secara ringkas dan global tetapi cukup jelas, sedangkan tafsir tahlili makna ayat diuraikan secara terperinci dengan tinjauan berbagai segi dan aspek yang diulas secara panjang lebar.
Ciri umum metode ijmali adalah (1) cara seorang mufassir melakukan penafsiran, di mana seorang mufassir langsug menafsirkan ayat al-Qur'an dari awal sampai akhir tanpa perbandingan dan penetapan judul, (2) mufassir tidak banyak mengemukakan pendapat dan idenya, (3) mufassir tidak banyak memberikan penafsiran secara rinci tetapi ringkas dan umum, meskipun pada beberapa ayat tertentu memberikan penafsiran yang agak luas, namun tidak pada wilayah analitis.
Sebagai contoh: Penafsiran yang diberikan tafsir al-Jalalain terhadap 5  ayat  pertama  dari  surat  al-Baqarah,  tampak  tafsirnya  sangat  singkat dan  global  hingga  tidak  ditemui  rincian  atau  penjelasan  yang memadai.  Penafsiran  tentang  الم) (misalnya,  dia  hanya  berkata: Allah Maha Tahu maksudnya. Dengan demikian pula kata al kitaaba penafsiran hanya dikatakan: Yang  dibacakan  oleh Muhammad. Begitu  seterusnya,  tanpa  ada  rincian sehingga  penafsiran  lima  ayat  itu  hanya  dalam  beberapa  baris  saja.
Di antara kitab-kitab tafsir dengan metode ijmali, yaitu tafsir al-Jalalain karya Jalal al-Din al-Suyuthy dan Jalal al-Din al-Mahally, Tafsir al-Qur’an al-’Adhin olah Ustadz Muhammad Farid Wajdy, Shafwah al-Bayan li Ma’any  al-Qur’an  karangan Syaikh Husanain Muhammad Makhlut,  al-Tafsir  al-Muyassar karangan Syaikh Abdul al-Jalil Isa, Al-Tafsiir al-Wasiit.

B.       Metode Tahlili (Analitis)
Metode Tafsir analisis ialah menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan itu serta menerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya  sesuai dengan  keahlian dan  kecenderungan mufassir  yang menafsirkan ayat-ayat tersebut. Mufassir membahas al-Qur’an ayat demi ayat, sesuai dengan rangkaian ayat yang tersusun  di  dalam  al-Qur’an. Tafsir  yang memakai  pendekatan  ini mengikuti naskah al-Qur’an dan menjelaskannya dengan cara sedikit demi sedikit,  dengan menggunakan  alat-alat  penafsiran  yang  diyakini  efektif (seperti mengandalkan pada arti-arti harfiah, hadis atau ayat-ayat lain yang mempunyai beberapa kata atau pengertian yang sama dengan ayat yang sedang dikaji), sebatas kemampuannya di dalam membantu menerangkan makna  bagian  yang  sedang  ditafsirkan,  sambil memperhatikan  konteks naskah tersebut.
            Contoh tafsir model ini yaitu
    • Ma’alim  al-Tazil karangan al-Baghawi
    • Tafsir al-Qur’an al-’Azhim (terkenal dengan  tafsir  Ibn Katsir)  karangan  Ibn Katsir 
    • al-Durr  al-Mantsur fi al-tafsir bi al-Ma’tsur karangan al-Suyuthi
    • Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil karangan  al-Baydhawi
    • al-Kasysyaf karangan al-Zamakhsyari
    • al-Jawahir fi Tafsir al-Qur’an karangan Thanthawi Jauhari,
    • Tafsir al-Manar karangan Muhammad Rasyid Ridha
C.    Metode Muqarin (Komparatif)
Tafsir ini menggunakan metode perbandingan antara ayat dengan ayat, atau ayat dengan hadits, atau antara pendapat-pendapat para ulama tafsir dengan menonjolkan perbedaan tertentu dari obyek yang diperbandingkan. Jadi yang dimaksud dengan metode komporatif ialah:
-          Membandingkan teks (nash) ayat-ayat al-Qur’an yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi dalam dua kasus atau lebih, dan atau memiliki redaksi yang berbeda bagi suatu kasus yang sama,
-          Membandingkan ayat al-Qur’an dengan hadis yang pada lahirnya terlihat bertentangan,
-          Membandingkan berbagai pendapat ulama tafsir dalam menafsirkan al-Qur’an.

D.    Metode Maudhu’i (Tematik)
Metode  tematik  ialah metode  yang membahas  ayat-ayat  al-Qur’an sesuai dengan  tema atau  judul yang  telah ditetapkan. Semua ayat yang berkaitan  dihimpun,  kemudian  dikaji  secara mendalam  dan  tuntas  dari berbagai aspek yang terkait dengannya, seperti asbab al-nuzul, kosakata, dan sebagainya. Semua dijelaskan dengan rinci dan tuntas, serta didukung oleh dalil-dalil atau fakta-fakta yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, baik argumen yang berasal dari al-Qur’an, hadis, maupun pemikiran rasional.
Dalam metode ini, tafsir al-Qur’an tidak dilakukan ayat demi ayat.  al-Qur’an  dikaji dengan mengambil  sebuah  tema khusus dari berbagai macam tema doktrinal, sosial, dan kosmologis yang dibahas oleh al-Qur’an. Misalnya ia mengkaji dan membahas doktrin Tauhid di dalam al-Qur’an, konsep nubuwwah di dalam al-Qur’an, pendekatan al-Qur’an terhadap ekonomi, Musyawarah dalam Qur’an  dan sebagainya.
Ciri metode ini ialah menonjolkan tema. Judul atau topik pembahasan, sehingga tidak salah jika dikatakan bahwa metode ini juga disebut metode topikal. Jadi, mufassir mencari tema-tema atau topik-topik yang ada di tengah masyarakat atau berasal dari al-Qur’an itu sendiri, atau dari lain-lain. Kemudian tema-tema yang sudah dipilih itu dikaji secara tuntas dan menyeluruh dari berbagai aspeknya sesuai dengan kapasitas atau petunjuk yang  termuat di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan tersebut. Jadi penafsiranyang diberikan tidak boleh jauh dari pemahaman ayat-ayat al-Qur’an agar tidak terkesan penafsiran tersebut berangkat dari pemikiran atau terkaan berkala (al-ra’y al-mahdh). Oleh karena itu dalam pemakainnya, metode ini tetap menggunakan kaidah-kaidah yang berlaku secara umum di dalam ilmu tafsir.
Diantara karya-karya tafsir yang menggunakan metode ini adalah Kitab Min Huda al-Qur’an karya Syaikh Mahmud Syaltut, al-Mar’ah fi al-Qur’an karangan Abbas Mahmud al-Aqqad, al-Riba fi al-Qur’an karya Abu al-A’la al-Maududy, al-Aqidah fi al-Qur’an karya Muhammad Abu Zahroh, Ayat al-Qasam fi al-Qur’an karangan  Ahmad Kamal Mahdy,  Muqawwamat al-Insaniyah fi  al-Qur’an  karya Ahmad Ibrahim Mahna, Tafsir Surat Yaasin karya Ali Hasan al-Aridl, Tafsir Surat al-Fath karya Ahmad Sayyid al-Kumy, Adam fi al-Qur’an karangan Ali Nashr al-Din. Seorang pakar dan dosen tafsir di al-Azhar Mesir, Al-Husaini Abu Farhah menulis buku tafsir dengan tema “Al-Futuhat al-Rabbaniyah fi al-Tafsir al-Maudu’iy Li  al-Ayat  al-Qur’aniyah”  dalam  dua  jilid  dengan  memilih  banyak  topik  yang dibicarakan  al-Qur’an. 


Sumber :
Sanaky, Hujair A. H. Metode Tafsir (Perkembangan Metode Tafsir Mengikuti Warna atau Corak Mufassirin) dalam Jurnal Al Mawarid, edisi XVIII, 2008,
Syamsudin, Hatta,  Modul Mata Kuliah Ulumul Qur’an (1),Ringkasan  Praktis Sistematis dari Terjemahan Kitab " Mabahits Fi Ulumil Qur'an" karya Syeikh Manna'ul Qathan, Surakarta 2008























Tidak ada komentar: