Senin, 29 Oktober 2012

Studi Islam Klasik ; Perkembangan dan kontribusinya Bagi Ilmu pengetahuan


“Studi Islam Klasik :
Perkembangan dan Kontribusinya Bagi Ilmu Pengetahuan ”
Oleh Abd Qohin

I.     Latar Belakang
Agama diturunkan di muka bumi untuk kemaslahatan manusia termasuk kehadiran Agama Islam. Ajaran Islam yang di bawa oleh tentu dalam rangka kemaslahatan umat seluruh dunia. Bagi pemeluknya meyakini tujuan Islam hadir di muka bumi ini tidak lain adalah terwujudnya kehidupan manusia yang sejahtera lahir dan batin. Dan meyakini Islam sebagai agama yang benar adalah sebuah keniscayaan bagi pemeluknya, karena di dalamnya berisi petunjuk-petunjuk hidup yang sangat bermanfaat bagi umat manusia.
Gambaran Islam yang demikian pernah dibuktikan dalam sejarah dan peradaban Islam. Sejarah dan peradaban Islam merupakan bagian penting yang tidak mungkin dipisahkan dari kehidupan kaum muslimin dari masa ke masa. Betapa tidak, dengan memahami sejarah secara baik dan benar, kaum muslimin dapat bercermin diri untuk mengambil banyak pelajaran kebaikan dan membenahi kekurangan (kesalahan) mereka guna meraih kejayaan dan kemuliaan di dunia dan akhirat sebagaimana tujuan Islam hadir di bumi.
Secara umum sejarah mengandung kegunaan yang sangat besar bagi kehidupan umat manusia. Karena sejarah menyimpan atau mengandung kekuatan yang dapat menimbulkan dinamisme dan melahirkan nilai-nilai baru bagi pertumbuhan serta perkembangan kehidupan umaat manusia. Sumber utama ajaran Islam adalah al qur’anyang mengandung banyak sekali nilai-nilai kesejarahan, yang langsung dan tidak langsung mengandung makna besar, pelajaran yang sangat tinggi dan pimpinan utama, khususnya bagi umat Islam. Maka tarikh dan ilmu mempunyai kegunaan dalam Islam menduduki arti penting dan mempunyai kegunaan dalam kajian Islam.
Sejarah islam merupakan bagian dari studi Islam yang banyak menarik perhatian para sarjana muslim maupun non muslim karena banyak sekali manfaat yang dapat diambil dari penelitian tersebut. Bagi umat Islam mempelajari sejarah Islam akan memunculkan kebanggaan tersendiri karena Islam pernah mengalami kemajuan dan menguasai peradaban beratus-ratus dalam segala bidang. Dengan demikian mempelajarinya akan membangkitkan semangat dan rasa percaya diri sebagai seorang muslim. Disamping itu peradaban Islam juga pernah mengalami era kemunduran dan keterbelakangan. Dengan demikian akan menyadarkan umat muslim untuk berfikir, bangkit dalam rangka mengembalikan kejayaan yang sebagaimana pada masa kejayaan Islam.
Selama 15 abad, khazanah Intelektual Islam belum pernah terputus, khasanah intelektual Islam masih terpelihara kokoh dalam aneka ragam budaya bangsa yang memeluk agama Islam, baik mengambil bentu literature, lembaga pendidikan agama, seni bangunan dan lain sebagainya. Sebelum dunia barat memasuki era renaissance dan aufklarung, peradaban Islam secara historis telah lebih dahulu mengukir perjalanan peradaban dunia selama 7 abad (dari abad 7 sampai abad 14).[1]
Oleh karena itu, untuk memperoleh gambaran tentang peradaban Islam yang pernah mengalami kejayaan tersebut, maka tujuan penulisan makalah ini tidak lain adalah ingin melihat kejayaan peradaban Islam di era klasik. Tujuannya tidak lain adalah membangkitkan motivasi dan semangat serta menyadarkan kita untuk memperbaiki keadaan umat Islam yang  sampai hari ini dalam kategori mengalami kemunduran dalam segala bidang. Untuk itulah Fokus kajian kita arahkan untuk menggali informasi tentang studi Islam yang terjadi pada era klasik  serta  menelusuri jejak-jejak sejarah peradaban Islam di tinjau dari aspek metodologi Islam pada ini.

II.     Perkembangan Studi Islam Klasik
A.       Periodesasi Studi Islam Klasik
Secara garis besar sejarah Islam di kelompokkan dalam tiga periode besar, yaitu periode klasik (650-1250 M), periode pertengahan (1250-1800 M), dan periode modern (1800 M sampai sekarang). Periode klasik merupakan jaman kemajuan dan di bagi ke dalam dua fase.[2] Fase Pertama, fase ekspansi, integrasi dan puncak kemajuan. Di jaman inilah daerah Islam meluas melalui Afrika utara sampai ke Spanyol di barat dan melalui Persia sampai India di Timur. Daerah itu tunduk pada kekuasaan khalifah yang pada mulanya berkedudukan di Madinah, kemudian di Damsyik dan berakhir di Baghdad. Di masa ini pulalah berkembang dan memuncak ilmu pengetahuan, baik dalam bidang agama, bidang non agama maupun bidang kebudayaan Islam.
Pada  Zaman ini yang menghasilkan ulama-ulama besar seperti Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Syafii, Imam ibn Hambal dalam bidang hukum; Imam Asy’ari, Imam Al Maturidi, pemuka-pemuka Mu’tazilah seperti Washil bin Ata, Abu Al Huzail, Al Nazzam, Al Jubbay dalam bidang teologi ; Zunnun al Misri, Abu Yazid Al Bustami dan Al Hallaj dalam mistisisme atau tasawuf; Al Kindi, Al Farabi, Ibnu Sina dan Ibn Miskawih dalam filsafat; Ibn Al Haysam, Ibn Hayyan, Al Khawarizmi, Al Mas’udi dan Al Razi dalam bidang ilmu pengetahuan.
Periode klasik ini merupakan periode kebudayaan dan peradaban Islam yang tertinggi dan mempunyai pengaruh terhadap tercapainya kemajuan atau peradaban modern di Barat sekarang,sungguhpun tidak dengan secara langsung. Hal ini banyak di akui sarjana barat sebagaimana yang dikatakan Jacques C. Rislar yang menyatakan bahwa “ilmu pengetahuan dan teknik Islam amat dalam memengaruhi kebudayaan Barat. Atau ungkapan Romm Landayu, dari hasil penelitiannya mengambil kesimpulan bahwa “dari orang Islam periode klasik inilah orang Barat belajar berfikir serta objektif dan logis, dan belajar lapangdada.
Fase Kedua, fase disintegrasi (1000-1250 M). Di masa keutuhan umat Islam dalam bidang politik mulai pecah, kekuasaan khalifah menurun dan akhirnya Baghdad dapat dirampas dan dapat dihancurkan oleh hulagu di tahun 1258 M. Khalifah sebagai lambang kekuasaan politik politik umat Islam, hilang.[3] Fase disintegrasi merupakan fase di mana pemisahan diri dinasti-dinasti dari kekuasaan pusat, dilanjutkan dengan perebutan kekuasaan antara dinasti-dinasti tersebut untuk menguasai satu sama lain.
Akibat dari kebijaksanaan yang lebih menekankan pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam dari pada persoalan politik itu, propinsi-propinsi tertentu di pinggiran mulai lepas dari genggaman penguasa Bani Abbas, dengan berbagai cara di antaranya pemberontakan yang dilakukan oleh pemimpin lokal dan mereka berhasil memperoleh kemerdekaan penuh.
Disintegrasi dalam bidang politik sebenarnya sudah mulai terjadi di akhir zaman Bani Umayyah. Akan tetapi berbicara tentang politik Islam dalam lintasan sejarah, akan terlihat perbedaan antara pemerintahan Bani Umayyah dengan pemerintahan Bani Abbas. Wilayah kekuasaan Bani Umayyah, mulai dari awal berdirinya sampai masa keruntuhannya, sejajar dengan batas-batas wilayah kekuasaan Islam. Hal ini tidak seluruhnya benar untuk diterapkan pada pemerintahan Bani Abbas. Kekuasaan dinasti ini tidak pernah diakui di Spanyol dan seluruh Afrika Utara, kecuali Mesir yang bersifat sebentar-sebentar dan kebanyakan bersifat nominal. Bahkan dalam kenyataannya, banyak daerah tidak dikuasai khalifah. Secara riil, daerah-daerah itu berada di bawah kekuasaan gubernur-gubernur propinsi bersangkutan.[4]

B.       Studi Islam Pada Masa Nabi
Beberapa pendapat para ahli tentang periodesasi sejarah Islam dikalangan pada ahli sejarah terdapat beberapa pandangan tentang kapan di mulainya sejarah Islam yang telah berusia empat abad ini. Menurut Sa’ad Ramadhan periode klasik bermula ketika Nabi Muhamad SAW diutus oleh Alloh menjadi Rasul. Ada yang berpendapat bahwa periode ini ditandai oelh peristiwa hijrah Rasul ke Madinah. Nabi Muhamad membuat persetujuan dengan sejumlah penduduk Yatsrib yang terkemuka membuat Nabi beserta pengikutnya diterima di kalangan mereka. Di dahului kelompok kecil yang bisa dipercaya kemudian Nabi Hijrah ke yatsrib. Kemudian Yatsrib di sebut Madinah (Madinah Al Rasul).[5]
Nabi Muhammad di utus dengan Al qur’an sebagai penyangga utama. Pada saat itu masyarakat jahiliyyah sangat senang dengan kesusasteraan, maka Al Qur’an diturunkan dengan bahasa sastra seperti yang lazim dipakai oleh masyarakatnya. Hal tersebut atas dasar pertimbangan untuk menyesuaikan diri dengan tradisi masyarakat, sehingga dengan demikian bisa komunikatif serta untuk menantang dan mengungguli syair-syair jahiliyah atau kepandaian orang arab yang bersyair.
Pada periode ini kedudukan Nabi Muhammad adalah sebagai referensi bagi para sahabat dan umatnya. Setiap ada peristiwa dan ada masalah semuanya langsung ditanyakan kepada Nabi Muhammad. Pada Masa ini Al Qur’an dan hadits di jadikan sebagai rujukan langsung setiap ada persoalan. Pada masa ini kedudukan Al Qur’an sebagai pedoman dan sandaran.
Kendati diwahyukan secara lisan, Al-Qur'an sendiri secara konsisten menyebut sebagai kitab tertulis. Ini memberi petunjuk bahwa wahyu tersebut tercatat dalam tulisan. [6] Penulisan Al Qur’an diyakini telah mulai sejak era Nabi di Makkah.[7] Tapi penulisannya secara lebih sistematis baru di mulai di Madinah. Khususnya setelah Nabi menunjuk beberapa sahabatnya untuk melakukan tugas ini. Muawiyah bin Abi Sofyan, Ubay bin Kaab, Zayd bin Tsabit, dan Abdullah bin Mas’ud, adalah nama-nama yang biasa disebut sebagai penulis wahyu. Sejak masa Nabi, Al Qur’an telah di tulis pada beragam medium, sebagian dari para sahabat mengumpulkan ayat-ayat itu dan menjilidnya menjadi sebuah mushaf.  Tapi seperti disinggung di atas, pengumpulan Al Qur’an menjadi mushaf pada masa Nabi tidak pernah sempurna, karena wahyu masih terus berjalan. Pada masa Nabi, fragmen-fragmen Al Qur’an lebih banyak dihafal ketimbang ditulis. Para sarjana Islam seperti Ibn Nadim dan Al Suyuthi menyebutkan antara 5  hingga 20 sahabat Nabi yang dikenal sebagai kolektor fragmen-fragmen Al Qur’an dalam bentuk hafalan.[8]
Maka berkaitan dengan sejarah penulisan Al Qur’an dalam konteks metodologi studi Islam  adakalanya Nabi Muhammad meminta dan mendektekan kepada sahabat untuk menuliskan wahyu. seperti Ali, Muawiyah, 'Ubai bin K'ab dan Zaid bin Sabit.[9] Sebagian sahabat menuliskan Qur'an yang turun itu atas kemauan mereka sendiri, tanpa diperintah oleh nabi; mereka menuliskannya pada pelepah kurma , lempengan batu, daun lontar, kulit atau daun kayu, pelana, potongan tulang belulang binatang.  Zaid bin Sabit mengatakan : " Kami menyusun Qur'an dihadapan Rasulullah pada kulit binatang ". Adakalanya juga Para sahabat senantiasa menyodorkan Al Qur'an kepada Rasulullah baik dalam bentuk hafalan maupun tulisan.[10]

C.       Studi Islam Pada Masa Khulafaurrasyidin
Setelah Rasullullah wafat, secara berturut-turut pemerintahan di pegang oleh Abu Bakar, Umar bin khattab, Ustman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib.[11] Pada Masa Abu bakar, Abu Bakar menjalankan pemerintahan Islam sesudah Rasulullah. Ia dihadapkan kepada peristiwa-peristiwa besar berkenaan dengan kemurtadan sebagian orang arab. Karena itu ia segera menyiapkan pasukan dan mengirimkannya untuk memerangi orang-orang yang murtad itu. Peperangan Yamamah yang terjadi pada tahun 12 H melibatkan sejumlah besar sahabat yang hafal Qur'an. Dalam peperangan ini tujuh puluh qari dari para sahabat gugur. Umar bin Khatab merasa sangat khawatir melihat kenyataan ini, lalu ia menghadap Abu Bakar dan mengajukan usul kepadanya agar mengumpulkan dan membukukan Al Qur'an karena dikhawatirkan akan musnah, sebab peperangan Yamamah telah banyak membunuh para qarri'. [12]
Disegi lain Umar merasa khawatir juga kalau-kalau peperangan ditempat-tempat lain akan membunuh banyak qari' pula sehingga Al Qur'an akan hilang dan musnah, Abu Bakar menolak usulan itu dan berkeberatan melakukan apa yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah. Tetapi Umar tetap membujuknya, sehingga Allah membukakan hati Abu Bakar untuk menerima usulan Umar tersebut. Kemudian dipilihlah zaid bin Tsabit untuk membukukan Al Qur’an.
Zaid bin Tsabit tidak menganggap cukup menurut yang dihafal dalam hati dan yang ditulis dengan tangannya serta hasil pendengaran, tetapi ia bertitik-tolak pada penyelidikan yang mendalam dari dua sumber yaitu Sumber hafalan yang tersimpan dalam hati para sahabat dan Sumber tulisan yang ditulis pada zaman Rasulullah SAW.
Dua hal tersebut yaitu hafalan dan tulisan harus terpenuhi. Karena sangat bersungguh-sungguh dan berhati-hatinya ia tidak menerima data berupa tulisan sebelum disaksikan oleh dua orang yang adil bahwa tulisan tersebut ditulis di hadapan Rasulullah SAW.
Pada Masa khalifah Utsman bin affan studi penulisan Al Qur’an dilakukan karena Cara-cara pembacaan (qiraat) Qur'an yang berbeda-beda dari suku-suku di arab saat itu. Di tambah laporan dari Hudzaifah bin Al yaman setelah berperang. Ia banyak melihat perbedaan dalam cara-cara membaca Al Quran. Sebagian bacaan itu bercampur dengan kesalahan; tetapi masing-masing mempertahankan dan berpegang pada bacaannya, serta menentang setiap orang yang menyalahi bacaannya dan bahkan mereka saling mengkafirkan. Maka ia melaporkan kepada khalifah dan menceritakan apa yang di lihatnya.[13]
Khalifah Ustman kemudian memerintahkan kepada Abdullah bin Zubair, Said bin 'As, dan Abdurrahman bin Haris bin Hisyam untuk memperbanyak serta memerintahkan apa yang diperselisihkan ketiganya dengan Zaid bin Tsabit itu di tulis dengan bahasa Quraisy, karena Al Qur’an turun dengan logat mereka.
Berbeda upaya-upaya kodifikasi pra Ustman, kodifikasi yang dilakukan Khalifah Ustman disepakati oleh hampir seluruh sarjana Al Qur’an, klasik maupun kontemporer, orientalis maupun sarjana muslim sendiri. Bukti paling kuat terhadap upaya ini adalah kenyataan bahwa hingga  hari ini, kaum muslimin mneyebut Al Qur’an mereka dengan sebutan Mushaf Ustmani artinya mushaf yang dikumpulkan oleh Ustman. Selain itu kita juga bisa menyaksikan manuskrip dari naskah asli mushaf ini dibeberapa museum topkapi di Turki dan museum Tashkent.[14]

D.       Studi Islam Pada Masa Dinasti Muawiyah
Dengan meninggalnya Khalifah Ali Bin Abu Thalib dari Khulafaur  Rasyidin, maka bentuk pemerintahan Islam yang dirintis Nabi Muhamad SAW berubah dari sistem demokrasi menjadi monarkhi (kerajaan) yaitu  Dinasti Bani Umayyah. Dinasti Bani Umayyah didirikan oleh Muawiyah bin Abi Sufyan bin Harb bin Umayyah. Kekhalifahan Muawiyah diperoleh melalui kekerasan,  diploma dan tipu daya, tidak dengan pemilihan seperti pemerintahan Khulafaur  Rasyidin. Pada masa kekuasaannya, Muawiyah banyak melakukan ekspansi sehingga membuat Islam menjadi besar. Dari pertemuan dan persatuan berbagai bangsa, suku dan bahasa, menimbulkan kebudayaan dan peradaban Islam yang baru.[15]
Daulah Umayyah memegang tampuk kekhalifahan selama dua periode, di Suriah hampir satu abad, yaitu sejak 30-132 H atau 660-750 M dan di Spanyol selama 275 tahun, yaitu 756-1031 M. Perluasan wilayah kekuasaan Islam pada masa Daulah Umayyah telah memasuki benua Eropa bahkan telah mencapai wilayah Byzantium.
Pada masa pemerintahan Mu’awiyah dilakukan berbagai perubahan dalam pemerintahan. Mengingat berbagai pengamalannya yang pernah menjadi Gubernur di Syam, Mu’awiyah melakukan perubahan pemerintahan, yaitu membentuk jawatan perhubungan (jawatan pos) dan jawatan pendaftaran. Mu’awiyah menduduki jabatan sebagai Khalifah selama hampir 20 tahun.
Masa kejayaan Bani Umayyah dimulai ketika Abdul Malik bin Marwan memerintah 66-86 H Atau 685-705 M. Berbagai kemajuan dilakukan Abdul Malik , Ketika kekuasaan Islam berada di tangan kerajaan Bani Umayyah, seni bangunan, misalnya bangunan Qubatus Sarkah di Yerussalem dan bangunan Masjid Nabawiyah di Madinah dapat mencapai ketinggian melampaui batas seni bangun Gothik di Eropa. Sementara itu, perkembangan ilmu pengetahuan pun tidak ketinggalan. Misalnya, bidang–bidang kedokteran, filsafat, kimia, astronomi, dan ilmu ukur berkembang dengan sangat pesat.
Dinasti Umayah berlangsung selama 90 tahun lamanya dengan beberapa 19 khalifah. Dalam rentang waktu yang sangat panjang tersebut, tentu saja sudah banyak yang dilakukan oleh dinasti Umayah dalam memajukan Islam, terutama di sektor pengembangan ilmu pengetahuan. Seperti pada masa-masa khalifah sebelumnya, masa Bani Umayah, akal dan ilmu juga berjalan seperti pada masa itu, walaupun ada beberapa kemajuan yang berhasil dilakukan oleh dinasti Umayah, karena pada waktu telah mulai dirintis jalan ilmu naqli ; berupa filsafat dan eksakta.
Pada Masa Umayyah, pusat penyebaran ilmu pengetahuan pada terdapat di masjid-masjid. Di masjid-masjid itulah terdapat kelompok belajar dengan masing-masing gurunya yang mengajar ilmu pengetahuan agama dan umum. Ilmu pengetahuan agama yang berkembang pada saat itu antara lain ialah ilmu qiraat, tafsir, hadis, fikih, nahwu, balaghah, dan lain-lain.
Ilmu tafsir pada masa itu belum mengalami perkembangan pesat sebagaimana yang terjadi pada masa pemerintahan Daulah Bani Abbasiyah. Tafsir berkembang dari lisan ke lisan sampai akhirnya tertulis.
Ahli tafsir yang pertama pada masa itu ialah Ibnu Abbas, salah seorang sahabat yang sekaligus juga paman Nabi SAW yang terkenal. Bersama muridnya, Mujahid, ia yang pertama kali menghimpun tafsir dalam sebuah suhuf.
Pada Masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz ra, sejarah penulisan hadist dimulai. Khalifah merasa khawatir akan merosot dan hilangnya ilmu karena meninggalnya para ulama’ maka ia mengutus kepada Abu Bakar bin Muhammad bin Amr bin Hazm, dan memerintahkan-nya untuk membukukan hadis Rasulullah seraya berkata; “Lihatlah, apa yang terjadi pada hadis Rasulullah saw atau sunnah, atau hadis dari ‘Amrah, maka tulislah karena aku khawatirkan merosotnya ilmu dan hilangnya ulama.
Ibnu Hazm menjawab, “Pergilah kepada Ibnu Syihab, niscaya Engkau tidak akan menjumpai seorang pun yang lebih mengetahui sunnah dari pada dia.”
Peristiwa tersebut terjadi di penghujung abad pertama Hijriyah. Kemudian setelah az-Zuhri, di pertengahan abad kedua Hijriyah lahirlah tokoh-tokoh yang membukukan hadis nabi. ke dalam bab-bab tertentu seperti Ibnu Juraij, Hasyim, Imam Malik, Ma’mar, Ibnu al-Mubarak dan lain-lain. Dan setelah itu pengumpulan dan kodifikasi hadis berlanjut dengan metode penulisan yang bermacam-macam, seperti musnad, mushannaf, shahih, jami’ dan mustakhraj.[16]
Pada masa Dinasti Umayah, ilmu pengetahun berkembang dalam tiga bidang, yaitu :
1.              Bidang Diniyah
2.              Bidang Tarikh, dan
3.              Bidang Filsafat
Kota-kota yang menjadi pusat ilmu pengetahuan selama pemerintahan dinasti Umayah, antara lain kota Kairawan, Kordoba, Granada dan lain sebagainya.
Pada masa Umayah, ilmu pengetahuan terbagi menjadi dua macam, yaitu :[17]
1.    Al-Adaabul Hadits (ilmu-ilmu baru) yang meliputi : Al-ulumul Islamiyah (ilmu al-Qur’an, Hadist, Fiqh, al-Ulumul Lisaniyah, At-Tarikh dan al-Jughrafi), Al-Ulumul Dkhiliyah (ilmu yang diperlukan untuk kemajuan Islam), yang meliputi : ilmu thib, filsafat, ilmu pasti, dan ilmu eksakta lainnya yang disalin dari Persia dan Romawi .
2.    Al-Adaabul Qadamah (ilmu lama) yaitu ilmu yang telah ada pasa zaman Jahiliyah dan ilmu di zaman khalifah yang empat, seperti ilmu lughah, syair, khitabah dan amtsal. 
E.       Studi Islam Pada Masa Dinasti Abbasiyah
Khilafah Abbasiyah merupakan kelanjutan dari khilafah sebelumnya dari bani Umayyah. Popularitas Daulah Abbasiyah mencapai puncaknya di zaman khalifah Harun Al Rasyid (786-809 M) dan putranya Al Ma’mun (813-833M). Harun Al Rasyid adalah pelindung seni dan keilmuan . Dan di bawah putranya Al Ma’mun kebangkitan budaya dan keilmuan mencapai puncaknya. Ketika Al Ma’mun mendirikan Rumah kebijaksanaan (Baitul Hikmah) di Baghdad. Kegiatan utamanya adalah penerjemahan karya-karya filsafat dan ilmu pengetahuan asal Yunani yang sudah di impor sang khalifah dan sangat mempengaruhi perkembangan pemikiran dan budaya Islam. Lembaga tersebut juga memiliki observatorium yang memungkinkan para cendekiawan muslim membuat tabel-tabel astronomi yang baru. Di bagian-bagian dunia Islam juga di bangun banyak rumah kebijaksanaan dan pengetahuan misalkan akademi yang didirikan di Kairo pada 1005 M oleh khalifah Al Hakim.[18]  Dimulai pada masa Al Ma’mun dan berlanjut pada masa penerusnya, aktifitas intelektual berpusat di Akademi yang baru didirikan itu. Era penerjemahan oleh dinasti Abbasiyah berlangsung selama seabad yang dimulai pada tahun  750 M. Karena kebanyakan penerjemah adalah orang yang berbahasa Aramaik (Suriah), maka berbagai karya Yunani pertama kali diterjemahkan ke bahasa Aramaik sebelum akhirnya diterjemahkan ke dalam bahasa arab. Ketika berbentur dengan kalimat-kalimat yang sulit dipahami dalam bahasa aslinya, terjemahnya dilakukan kata demi kata dan ketika tidak dijumpai atau dikenal padanannya dalam bahasa arab, istilah-istilah Yunani itu diterjemahkan secara sederhana dengan beberapa adaptasi.[19] Salah satu penerjemah pertama dari bahasa Yunani adalah Abu Yahya Ibn Al Bathrik yang dikenal karena menterjemahkan karya-karya Galen dan Hippokrates. Selain Abu Yahya, nama penerjemah yang cukup poluler adalah Hunain Ibn Ishaq Al Ibadi. Kemampuan Hunain sebagai penerjemah bisa dibuktikan dari laporan yang menyebutkan bahwa ketika sedang bekerja ia dan penerjemah lain menerima sekitar 500 dinar perbulan. Dan bahwa Al Ma’mun membayarnya dengan emas seberat buku yang ia terjemahkan. Hunain di nilai oleh Ibn Al Ibri dan Al Qifthi sebagai ”Sumber Ilmu pengetahuan dan tambang kebajikan” dan oleh leclerc sebagai ”tokoh terbesar abad ke-9” dan bahkan sebagai salah seorang yang paling cerdas yang pernah dikenal dalam sejarah.[20]
 Sejarawan dan Profesor studi Islam,Philip K Hitti, yakin bahwa Keagungan Zaman Al Ma’un adalah berkat dorongan yang diberikan khalifah pad kegiatan intelektual dan pendidikan, ”Mengembangkan zamannya” menjadi salah satu yang paling paling bersejarah dalam Islam. Orang arab abad sembilan bukanlah sekedar penerjemah dan penyebar, mereka adalah gudang Ilmu pengetahuan, mereka memiliki banyak pintu keluar seperti halnya pintu masuknya.[21] Pada Masa ini Kekayaan negara banyak dimanfaatkan untuk keperluan sosial dan mendirikan rumah sakit, lembaga pendidikan, kedokteran dan Farmasi. Kesejahteraan, sosial, kesehatan pendidikan dan ilmu pengetahuan, kebudayaan dan kesusteraan berada pada zaman keemasannya.[22]
Pada masa Daulah Abbasiyyah kehidupan peradaban Islam sangat maju, sehingga pada masa itu dikatakan sebagai jaman keemasan Islam, karena kaum muslim sudah sampai pada puncak kemuliaan, baik kekayaan, bidang kekuasaan, politik, ekonomi dan keuangan lebih lagi dalam bidang kebudayaan dan ilmu pengetahuan, baik pengetahuan agama maupun pengetahuan umum mengalami kemajuan yang sangat pesat.
Aktifitas keilmuan yang bisa dikatakan sebagai embrio gerakan Intelektual Islam adalah penulisan sejarah. Kajian sejarah tumbuh pada masa ini, dimulai dari kajian hadist. Dengan demikian ia merupakan salah satu disiplin ilmu paling awal yang dihasilkan oleh muslim Arab.[23]  Berbagai ilmu telah lahir pada periode Dinasti ini. Hal ini dikarenakan antara lain: Penerjemahan buku berbahasa asing seperti halnya Yunani, Mesir, Persia, India dan lain-lain kedalam bahasa Arab dengan sangat gencar dan penelitian dan pengkajian yang dilakukan oleh kaum muslimin itu sendiri.
Buku-buku yang diterjemahkan antara lain : Ilmu kedokteran, Kimia, Ilmu Alam, Mantiq (logika), Filsaft Al Jabar, Ilmu Falaq, Matematika, Seni dan lain-lain. Dengan begitu kaum muslimin dapat mempelajari berbagai ilmu dalam bahasa Arab. Dan hasilya bermunculan sarjana-sarjana besar muslim dari berbagai disiplin ilmu yang sangat terkenal juga ulama-ulama besar yang sangat tersohor seperti halnya iman Abu Hanafi, Imam Malik, Imam Syafii, Imam Hambali, Imam Bukhori dan imam muslim dan lain-lain.
Pengaruh gerakan terjemahan tersebut, bukan saja membawa kemajuan di bidang ilmu pengetahuan umum, tetapi juga ilmu pengetahuan agama. Dalam bidang tafsir, sejak awal sudah dikenal dua metode, penafsiran pertama, tafsir bi al-ma'tsur, yaitu interpretasi tradisional dengan mengambil interpretasi dari Nabi dan para sahabat. Kedua, tafsir bi al-ra'yi, yaitu metode rasional yang lebih banyak bertumpu kepada pendapat dan pikiran daripada hadits dan pendapat sahabat. Kedua metode ini memang berkembang pada masa pemerintahan Bani Abbas. Akan tetapi jelas sekali bahwa tafsir dengan metode bi al-ra'yi, (tafsir rasional), sangat dipengaruhi oleh perkembangan pemikiran filsafat dan ilmu pengetahuan. Hal yang sama juga terlihat dalam ilmu fiqh dan terutama dalam ilmu teologi. Perkembangan logika di kalangan umat Islam sangat memengaruhi perkembangan dua bidang ilmu tersebut
Ilmu pengetahuan dipandang sebagai sesuatu yang sangat penting dan mulia. Para khalifah dan pembesar lainnya membuka peluang seluas-luasnya untuk kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan, Para khalifah sendiri pada umumnya adalah ulama-ulama yang mencintai ilmu, menghormati para sarjana dan memuliakan para pujangga. Mereka benar-benar menjunjung tinggi ilmu pengetahuan, mereka mempraktekkan syariat islam : bahwa tinggi rendahnya derajat dan martabat seseorang tergantung pada banyak sedikitnya pengetahuan yang ia miliki disamping ketakwaannya pada Allah.
Pengaruh gerakan terjemahan terlihat dalam perkembangan ilmu pengetahuan umum, terutama di bidang astronomi, kedokteran, filsafat, kimia dan sejarah. Dalam lapangan astronomi terkenal nama al-Fazari sebagai astronom Islam yang pertama kali menyusun astrolobe. Al-Farghani, yang dikenal di Eropa dengan nama Al-Faragnus, menulis ringkasan ilmu astronomi yang diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Gerard Cremona dan Johannes Hispalensis. Dalam lapangan kedokteran dikenal nama ar-Razi dan Ibnu Sina. Ar-Razi adalah tokoh pertama yang membedakan antara penyakit cacar dengan measles. Dia juga orang pertama yang menyusun buku mengenai kedokteran anak. Sesudahnya, ilmu kedokteraan berada di tangan Ibn Sina. Ibnu Sina yang juga seorang filosof berhasil menemukan sistem peredaran darah pada manusia. Di antara karyanya adalah al-Qoonuun fi al-Thibb yang merupakan ensiklopedi kedokteran paling besar dalam sejarah.
Dalam bidang optikal Abu Ali al-Hasan ibn al-Haitsami, yang di Eropa dikenal dengan nama Alhazen, terkenal sebagai orang yang menentang pendapat bahwa mata mengirim cahaya ke benda yang dilihat. Menurut teorinya yang kemudian terbukti kebenarannya bendalah yang mengirim cahaya ke mata. Di bidang kimia, terkenal nama Jabir ibn Hayyan. Dia berpendapat bahwa logam seperti timah, besi dan tembaga dapat diubah menjadi emas atau perak dengan mencampurkan suatu zat tertentu. Di bidang matematika terkenal namaMuhammad ibn Musa al-Khawarizmi, yang juga mahir dalam bidang astronomi. Dialah yang menciptakan ilmu aljabar. Kata aljabar berasal dari judul bukunya, al-Jabr wa al-Muqoibalah. Dalam bidang sejarah terkenal nama al-Mas'udi. Dia juga ahli dalam ilmu geografi. Di antara karyanya adalah Muuruj al-Zahab wa Ma'aadzin al-Jawahir.[24]
Puncak perkembangan kebudayaan dan pemikiran Islam terjadi pada masa pemerintahan Bani Abbas. Akan tetapi, tidak berarti seluruhnya berawal dari kreativitas penguasa Bani Abbas sendiri. Sebagian di antaranya sudah dimulai sejak awal kebangkitan Islam. Dalam bidang pendidikan, misalnya, di awal Islam, lembaga pendidikan sudah mulai berkembang. Ketika itu, lembaga pendidikan terdiri dari dua tingkat:
1.     Maktab atau Kuttab dan masjid, yaitu lembaga pendidikan terendah, tempat anak-anak mengenal dasar-dasar bacaan, hitungan dan tulisan; dan tempat para remaja belajar dasar-dasar ilmu agama, seperti tafsir, hadits, fiqh dan bahasa.
2.     Tingkat pendalaman, dimana para pelajar yang ingin memperdalam ilmunya, pergi keluar daerah menuntut ilmu kepada seorang atau beberapa orang ahli dalam bidangnya masing-masing. Pada umumnya, ilmu yang dituntut adalah ilmu-ilmu agama. Pengajarannya berlangsung di masjid-masjid atau di rumah-rumah ulama bersangkutan. Bagi anak penguasa pendidikan bisa berlangsung di istana atau di rumah penguasa tersebut dengan memanggil ulama ahli ke sana.[25]
Lembaga-lembaga ini kemudian berkembang pada masa pemerintahan Bani Abbas, dengan berdirinya perpustakaan dan akademi. Perpustakaan pada masa itu lebih merupakan sebuah universitas, karena di samping terdapat kitab-kitab, di sana orang juga dapat membaca, menulis dan berdiskusi. Perkembangan lembaga pendidikan itu mencerminkan terjadinya perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan. Hal ini sangat ditentukan oleh perkembangan bahasa Arab, baik sebagai bahasa administrasi yang sudah berlaku sejak zaman Bani Umayyah, maupun sebagai bahasa ilmu pengetahuan
Meskipun kedua dinasti ini memegang kekuasaan yang absolut, masa pemerintahan dinasti Umayyah dan Abasiyah tersebut menghadirkan apa yang di sebut oleh cendekiawan sebagai masa klasik dalam sejarah Islam. Pada masa inilah, umat muslim dan yang lain menerjemahkan karya-karya pengetahuan yang mereka bisa dapatkan (dari Yunani, India, Cina) ke dalam bahasa Arab dan menyerap serta mengembangkan gagasan mereka. Periode tahun 800 – 1200 M adalah masa meledaknya pengaruh intelektual Islam.[26]
F.        Studi Islam Pada Masa Dinasti Fatimiyah
Meskipun masa keemasan dalam sejarah fatimiyyah di Mesir di mulai periode Al Mu’izz dan memuncak pada masa Al Aziz, pada periode kekuasaan Al Muntashir, Mesir masih di akui sebagai Negara Islam yang paling Maju. [27]Hal ini dapat di lihat dari pendirian Universitas yang di bangun oleh seorang pelopor pendidikan yang bernama Ibn Killis. Ia mendirikan Universitas dan menghabiskan ribuan dinar perbulan untuk membiayainya. Sebelum itu, dibawah pemerintahan Iksidiyyah, muncul seorang sejarawan Muhamad Ibn Al Kindi dan Ibn Salamah Al Qudhai.
Setelah Mesir di kuasai selama empat tahun (969 -973 M), Dinasti Fatimiyyah telah mengalami masa kejayaan yang ditandai dengan berpindahnya pusat pemerintahan ke Kairo tahun 973 M. Zaman kejayaan ini di tandai dengan salah satunya di bidang Ilmu pengetahuan. Para pejabat dan pemerintah sangat antusias terhadap ilmu pengetahuan. Hal ini terbukti adanya minat masyarakat yang selalu membanjiri pusat ilmu pengetahuan sehingga membuat hati senang sang khalifah yang diwujudkan dengan member beasiswa bagi pelajar.[28] Lembaga pendidikan banyak di bangun antara lain Universitas Al Azhar dan Al hikmah sekaligus dilengkapi perpustakaan yang selevel dengan masjid kordofa di Spanyol.
Meskipun beberapa khalifah pertama Dinasti Fatimiyyah di kenal sebagai khalifah berbudaya, periode mereka bisa dibilang tidak melahirkan ilmuawan yang kondang dalam sains dan sastra. Seperti khalifah-khalifah lainnya di Baghdad dan Kordoba, Al Aziz sendiri adalah seorang penyair dan sangat menyenangi pendidikan. Dialah yang mengembangkan masjid Agung Al Azhar menjadi Universitas. [29]
III.     Penutup
Kemajuan Ilmu pengetahuan khususnya Islam sudah di mulai pada masa periode Makkah. Hal ini dibuktikan peristiwa masuk Islamnya Umar Bin khattab takkala mendengar bacaan Al Qur’an yang dibaca adiknya berupa tulisan Al Qur’an dalam lembaran-lembaran mushaf yang ditulis oleh para sahabat. Pada periode Madinah penulisan wahyu Al Qur’an pada Masa Nabi dilakukan dengan sistematis dengan cara menunjuk beberapa sahabat untuk menjadi penulis wahyu.
Pada Masa Khulafaur Rasyidin kodifikasi dan penulisan Al Qur’an sudah sistematis di mulai dari Masa Khalifah Abu Bakar sampai khalifah Ustman Bin Affan.
Pada Masa dinasti Umayyah dan Abasiyah perkembangan Ilmu pengetahuan berkembang pesat dan menghadirkan apa yang di sebut oleh cendekiawan sebagai masa klasik dalam sejarah Islam. Pada masa inilah, umat muslim dan yang lain menerjemahkan karya-karya pengetahuan yang mereka bisa dapatkan (dari Yunani, India, Cina) ke dalam bahasa Arab dan menyerap serta mengembangkan gagasan mereka. Periode tahun 800 – 1200 M adalah masa meledaknya pengaruh intelektual Islam. Pada periode kedua khalifah ini lahirlah tokoh-tokoh dan cendekiawan muslim yang disegani dalam berbagai bidang, baik bidang ilmu agama maupun ilmu pengetahuan lainnya. Pada era ini berkembang pula berbagai disiplin ilmu baik yang bercorak agama (Tafsir, Hadist, ulumul Qur’an, Ulumul Hadist dll) dan juga ilmu yang bercorak pengetahuan (ilmu sosial dan eksak). Pada era inilah Islam mencapai puncak keemasan dalam sejarah peradaban Islam. Wallahu a’lam










DAFTAR PUSTAKA
Abdullah,Amin, Islamic Studies di Perguruan Tinggi, (Jogjakarta : Pustaka Pelajar, 2006)

Al Buthi, Said Ramadhan, Sirah Nabawiyah, terj. (Jakarta : Robbani Press, 1995)

Al Atsari, Abu ihsan, Peristiwa-peristiwa penting menjelang keruntuhan Khilafah Bani Abbasiyah, dalam majalah As Sunnah, edisi 07 tahun 2011

Arifin,Zaenal Dinasti Fatimiyyah di Mesir (study tentang perkembangan,kemajuan dan kemundurannya), dalam Jurnal lentera No 12 Volume 7 tahun, Juli 2008,

Al A'zami, M.M Sejarah Teks Al-Quran - Dari Wahyu Sampai Kompilasinya,terj. Bandung: Al Kalam Publising, 2011

Ghazali, Abdul Muqsid dll, Metodologi studi Al Qur’an,  Jakarta : Gramedia, 2009

Hatta, Syamsudin, Ulumul Qur’an, terj kitab " Mabahits Fi Ulumil Qur'an" karya Syeikh
Manna'ul Qathan, Solo : Pesma Ar royyan, 2007
http://id.wikipedia.org

Nata, Abudin, Metodologi Studi Islam, Jakarta: Rajawali pers, 2009

Hitti, Philip K, History of Arabs, terj, Jakarta : PT Serambi Ilmu Semesta, cet II, 2006

Nugroho, Anjar, Diklat Ajar Metodologi Studi Islam, Purwokerto, Fakultas Agama Islam UMP, 2007

Rauf,Imam Feisal Abdul, Seruan dari Azan dari puing WTC dakwah Islam di Jantung Amerika pasca 9/11,terj,Bandung: PT Mizan Pustaka, 2007

Syalaby, Ahmad, Sejarah dan Kebudayaan islam, I, trj, Muchtar Yahya, (Jakarta: Pusataka al-Husna, 1983)


[1] Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi, (Jogjakarta : Pustaka Pelajar, 2006) Hal 290
[2] Abudin Nata, Metodologi Studi Islam, Jakarta: Rajawali pers, 2009 hal 357
[3] Abudin Nata, ibid hal 378
[5] Said Ramadhan Al Buthi, Sirah Nabawiyah, terj. (Jakarta : Robbani Press, 1995) hal
[6]M.M al A'zami, Sejarah Teks Al-Quran - Dari Wahyu Sampai Kompilasinya,terj. Bandung: Al Kalam Publising, 2011, hal 71
[7] Kita bisa melihat kisah tentang masuknya Islamnya Umar bin Khattab bisa dijadikan contoh bahwa penulisan ayat-ayat Al Qur’an telah dimulai sejak awal
[8] Taufik Adnan Kamal dalam Abdul Muqsid Ghazali dll, Metodologi studi Al Qur’an,  Jakarta : Gramedia, 2009  hal 10
[9] M.M al A'zami, ibid hal 72
[10] Syamsudin Hatta, Ulumul Qur’an, terj kitab " Mabahits Fi Ulumil Qur'an" karya Syeikh Manna'ul Qathan, Solo : Pesma Ar royyan, 2007 hal  69
[11] Abudin Nata, ibid hal 318
[12] Syamsudin Hatta, ibid hal 70
[13] Syamsudin Hatta, Ibid  hal 72
[14] Abdul Moqsith ghazali dkk,  Ibid hal 13
[15] Anjar Nugroho, Diklat Ajar Metodologi Studi Islam, Purwokerto, Fakultas Agama Islam UMP, 2007 hal 65

[16] Amru Abdul Mun’im Salim, Taysir Ulum al-Hadits lil Mubtadi'in; Mudzakkirat Ushul al-Hadits lil Mubtadi'in, diterjemahkan menjadi Ilmu Hadits Untuk Pemula, 1997  Hal 17-18

[17] Ahmad  Syalaby, Sejarah dan Kebudayaan islam, I, trj, Muchtar Yahya, (Jakarta: Pusataka al-Husna, 1983), hlm. 33
[18] Imam Feisal Abdul Rauf, Seruan dari Azan dari puing WTC dakwah Islam di Jantung Amerika pasca 9/11,terj,Bandung: PT Mizan Pustaka, 2007 Hal 228
[19] Philip K Hitti, History of Arabs, terj, Jakarta : PT Serambi Ilmu semesta, Cet II, 2006, hal 386-387
[20] L. Leclerc dalam Philip K Hitti, ibid hal 391
[21] Philip K Hitti dalam Imam Feisal Abdul Rauf, Ibid hal 229
[22] Abu ihsan Al Atsari, Peristiwa-peristiwa penting menjelang keruntuhan Khilafah Bani Abbasiyah, dalam majalah As Sunnah, edisi 07 tahun 2011 hal 24
[23] Philip K Hitti, History of Arabs, terj, Jakarta : PT Serambi Ilmu Semesta, cet II, 2006, hal 304
[24] http://id.wikipedia.org
[25] ibid
[26] Imam Feisal Abdul Rauf, Ibid hal 229
[27] Philip K Hitti, Ibid hal 800
[28] Juzi Zaidan dalam Zaenal Arifin,Dinasti Fatimiyyah di Mesir (study tentang perkembangan,kemajuan dan kemundurannya), dalam Jurnal lentera No 12 Volume 7 tahun, Juli 2008, hal 11  (http://isjd.pdii.lipi.go.id)
[29] Philip K Hitti, Ibid hal 801

Tidak ada komentar: