”
Membentuk kepribadian anak
Dalam beberapa tahun ini dunia pendidikan di gemparkan dengan peristiwa-peristiwa yang membuat hati kita pilu menatap masa depan anak-didik kita. Rentetan peristiwa yang membuat kita bertanya, ada apa dengan pendidikan kita? Pertanyaan besar yang rasanya cukup sulit di urai benang kusutnya. Belum lagi para Pakar-pakar pendidikan di Indonesia menilai bahwa salah satu sebab utama kegagalan pendidikan kita karena para pendidiknya yang gagal. Kita dalam hal ini berada dalam lingkaran setan, anak didik tidak berkualitas ternyata karena gurunya yang kurang bermutu, akhirnya pendidikannya gagal. Memang salah satu syarat mutlak untuk keberhasilan pendidikan adalah dipilihnya pendidik yang baik dan memberikan contoh yang baik pula.
Di samping itu, Tentu kita sepakat bahwa anak adalah aset masa depan sebuah bangsa dan tentunya menjadi harapan orang tua kelak dimasa yang akan dating. Salah satu upaya orang tua adalah dengan memberi pendidikan yang terbaik. Pendidikan yang benar dan tepat tentu akan membentuk pribadi anak menjadi pribadi yang bermanfaat bagi sesama dan peradaban masa depan. Menjadikan anak sehat dan cerdas belum cukup menjadi bekal anak dalam mengarungi kehidupan di era global yang penuh tantangan. Bekal pendidikan yang penting adalah spiritual yang kuat, karena di dalam pendidikan spiritual tertanam pendidikan akhlak yang sangat kuat dan membentuk karakter yang dibutuhkan anak kelak. Tugas orang tualah sebagai pendidik utama dan pertama yang harus menanamkan spiritualitas anak di samping pendidikan di sekolah.
Menurut Prof Dr Qurais shihab Anak didik dibentuk oleh empat faktor. Pertama, ayah yang berperan utama dalam membentuk kepribadian anak. Bahkan, dalam Al-Quran hampir semua ayat yang berbicara tentang pendidikan anak, yang berperan adalah ayah. Kedua, yang membentuk kepribadiannya juga adalah ibu; ketiga, apa yang dibacanya (ilmu) dan keempat, lingkungan. Kalau ini baik, anak bisa baik, juga sebaliknya.
Sekolah ala Muhammad
Dalam dekade terakhir, dunia psilogi dan pendidikan di kejutkan oleh beberapa penemuan monumental tentang potensi kecerdasan manusia. Pada abad 20, IQ sempat menemukan momentum sebagai satu-satunya alat untuk memahami dan mengukur kecerdasan manusia. Sehingga saat itu orang tua berbondong-bondong melakukan tes IQ untuk anak-anaknya.
Menurut Imas Kurniasih dalam bukunya “Mendidik SQ Anak menurut Nabi Muhammad “ Dalam perkembangannya teori IQ pun mulai runtuh seiring dengan ditemukannya tidak hanya IQ saja yang menjadi tolak ukur, tetapi ada factor lain yang sangat menentukan masa depan anak, factor itu adalah spiritual. Kita bisa mengaca bagaiman nabi kita Muhammad memberikan pelajaran yang tidak hanya menekankan pada aspek IQ, tetapi justru beliau memulai pendidikan kepada murid-muridnya dengan pendidikan agama sebagai basis pendidikan. Tauhid menjadi awal dan dasar bagi pendidikan Ala Muhamad.
Muncul pertanyaan, bagaimana hasil pendidikan Muhammad? Kita bisa saksikan bagaimana sejarah tinta emas mencatat hasil didikan Muhammad. Mereka menjadi manusia-manusia yang sangat luar biasa cerdas dan kepribadiannya tidak perlu di sangsikan lagi. Maka ada ungkapan dari orang-orang barat tentang penilaian dan pandangan terhadap Muhammad SAW “Human Greatness my be measured, we my well ask : is there any man greater than him”.
Disinilah terlihat jelas ungkapan kejujuran orang-barat barat dalam melihat dan menempatkan Nabi Muhammad dalam suatu posisi dan pandangan yang terhormat. Dalam pandanangan seorang Schimmel, menyebut posisi Nabi Muhammad sebagai penengah barzakh , antara yang pasti dan eksistensi yang bergantung, Beliau-baca Muhammad- berperan untuk membumikan ajaran Tuhan, sehingga pada batas-batas yang bisa di kenal oleh manusia sebaik dan sejelas mungkin. Keluhuran dan kearifan dalam mendidik murid-murdnya telah menarik simpati orang-orang kafir disamping memang metode pengajaran dan penyampaian risalah yang diembannya begitu baik dan sangat indah.
Disini kita bisa melihat perubahan besar-besaran di kalangan masyarakat arab pun terjadi. Dalam kurun relative singkat Muhamad telah berhasil mencetak pribadi-pribadi muslim yang tangguh. Dari sekolah model Muhammad banyak sekali lahir pribadi termashur dunia dilahirkan. Lihatlah Thoriq bin ziyad, seorang budak kulit hitam yang dengan begitu berani menaklukan Spanyol. Dialah Victorious commander Uqbah bin naïf,Abdulloh bin mas’ud, khansa, abu bakar, Umar bin khottob dan tentu masih banyak lagi. Kita bisa melihat perubahan besar yang terjadi pada mereka.
Dari sini, semakin jelas dan tidak berlebihan jika kita menyebut Nabi kita sebagai pendidik manusia yang paling ulung. Pendidikan Muhamad tidak hanya menyentuh aspek intelektual semata, tetapi lebih jauh dari itu adalah aspek emosi dan spiritual. Keseimbangan materi yang di ajarkan itulah, maka murid Beliau tidak pernah mengalami krisis multidimensi seperti yang sedang terjadi saat ini.
Mendidik dengan Keteladanan
Kurikulum pendidikan yang sempurna telah dibuat dengan rancangan yang jelas bagi perkembangan manusia melalui sistematisasi bakat, Psikologis, emosi, mental, dan potensi manusia. Namun tidak dapat dipungkiri jika timbul masalah kurikulum seperti itumasih tetap memerlukan pola pendidikan realistic yang di contohkan oleh seorang pendidik melalui prilaku atau akhlak dan metode pendidikan denga tetap ber pegang pada landasan tujuan kurikulum pendidikan. Untuk kebutuhan itulah Alloh mengutus Nabi Muhammad sebagai hamba dan Rosul-Nya menjadi tauladan bagi manusia dalam mewujudkan tujuan pendidikan Islam.
Dalam konteks kekinian, kita bisa melihat bagaimana Cara Rosul mendidik dengan baik. Sebagai pendidik yang baik, tentu Muhamad ingin sekali menyaksikan para sahabat dan murid-muridnya berhasil dengan baik. Hal ini tentunya membutuhkan kesabaran, ketekunan, keuletan, metode serta strategi yang pas untuk mencapai tujuan itu. Dan tak kalah penting metode yang di gunakan oleh Muhammad adalah dengan keteladanan.
Lebih lanjut Imas Kurniasih memberi gambaran tentang keteladan Muhamad. Keteladanan Beliau inilah yang nampaknya menjadi sarana yang paling efektif dalam menyampaikan materi pendidikan. Apapun yang beliau saampaikan tentang kebajikan, maaf, toleransi, ketabahan, kesabaran, kejujuran, keadilan dan lain sebagainya maka Beliaulah orang pertama yang melakukannya. Beliau tampil sebagai contoh kongrit dari semua materi pendidikan yang Beliau sampaikan. Murid-murid beliau tidak perlu lagi bertanya seperti apa contoh kongrit dari kejujuran, toleransi dan lain sebagainya, karena Beliau telah member contohnya dalam bentuk prilaku Beliau. Prof DR Ramakrishna Rao pernah menulis Keluhuran Pribadi Beliau dlam segala aspek kehidupannya yang di saksikan langsung para sahabat dan muridnyamemberei bekas yang dalam dan dalam kepribadian mereka. Mereka betul-betul menemukan figure yang sangat ideal dalam segala aspek kehidupan di tengah kegersangan dan keganasan hidup yang mereka hadapi.
Dan terakhir, Pendeknya dalam sekolah model Muhamad factor spiritual menjadi sangat penting. Selain itu afeksi dan empati juga menentukan dalam komunikasi dan relasi sosial apalagi dalam dunia pendidikan kita di samping factor intelektual. Usia anak yang memasuki masa formatif year sangat menentukan kepribadian anak-anak masa depan. Ajarilah mereka untuk menjalankan hidup dengan mulia dan memuliakan serta saling menghargai sesama sebagai mana Muhammad contohkan. Sehingga suatu saat bangsa ini pandai menghargai dan memuliakan guru yang telah membukakan jendela peradaban dunia. Dan kita pun kelak akan berkata “Aku Bangga menjadi Guru Mereka”
Selasa, 08 Februari 2011
“Hijrah dan pembentukan Carakter Building”
Minim Selebrasi
Hingar bingar tahun baru masehi selalu membuat meriah di setiap pergantian tahun di seantereo jagad. Cara perayaan pun bermacam-macam, seolah-olah akan terjadi perubahan yang besar-besaran setelah tahun baru. Tetapi alangkah kontrasnya ketika pergantian tahun itu bernama Hijriah. Seberapa besar kaum muslimin yang peduli terhadap pergantian tahun itu. Cobalah kita lihat kontrasnya jurang kecenderungan masyarakat untuk merayakannya. Tahun Baru Masehi begitu bingar dirayakan, sedangkan Tahun Baru Hijriah nyaris dilalui dengan aktivitas yang biasa-biasa saja bahkan nyaris sepi dari kegiatan umat islam.
Ada sebagian masyarakat muslim justru memperingatinya dengan berbagai cara yang tidak sesuai dengan syariat. Berbagai selebrasipun di gelar dengan berbagai macam dan cara dalam ritualnya. Adakalanya yang positif tapi tak jarang justru banyak yang kita jumpai malah berbau kesyirikan. Dan banyak kita jumpai justru di isi dengan berbagai kegiatan yang berbau hura-hura di antara para pemuda-pemudi, seperti kesempatan yang tak boleh dilewati tanpa kenangan. Maka dibuat atau dilakukanlah berbagai aktivitas untuk memperingatinya. Tapi lumrahnya, peringatan itu cenderung hedonis materialistik. Seperti tahun-tahun sebelumnya, pemborosan dan kesia-siaan selalu menghiasi perayaan pergantian Tahun Baru
Umat Islam harus secepatnya melakukan muhasabah mengingat kondisi bangsa yang tengah dilanda banyak musibah dimana-mana. Mulai dari banjir wasior, Tsunami di mentawai, erupsi gunung merapi sampai letusan gunung Bromo. Rangkaian musibah itu setidaknya menyadarkan kita untuk secepatnya berbenah diri atas prilaku kita.
Momentum pergantian tahun Hijriah, kita harus mampu menangkap pesan perubahan atau perpindahan dari segala aspek. Dari yang belum baik menjadi pribadi yang lebih baik, Dari wawasan minder menjadi percaya diri, yang selalu terbelakang atau selalu menjadi objek menjadi bisa menunjukan jati diri sesuai dengan makna hijrah. Di samping itu diharapkan mampu memenangkan dalam persaingan yang semakin hari semakin bertambah berat.
Momentum hijrah bagi umat Islam adalah dengan melakukan interospeksi masal, guna melakukan perubahan dari keadaan yang kurang baik menjadi lebih baik sebagai revitalisasi hijrah. Meningkatkan spritualitas dan kesadaran keagamaan menjadi keniscayaan umat Islam Indonesia, terutama ketika bangsa ini dihadapkan dengan berbagai musibah yang sepatutnya direnungkan sebagai momentum menguji kualitas keimanan dan keberislamannya dan patut direnungi untuk diambil hikmahnya.
Makna Hijrah
Setiap tahun umat Islam menyambut tahun hijriyah dengan biasa-biasa saja. Sadar atau tidak kita harus mengakuai meskipun ada sebagian dari kita merayakan dengan penuh kesungguhan mendalami makna hijriah. Cobalah kita tengok makna hirah yang sesungguhnya. Dalam berbagai literatur hijrah sering kita jumpai dan dimaknai secara luas yakni, perpindahan nilai, misalnya hijrah dari nilai budaya yang buruk menuju nilai budaya yang Islami. Dalam pengertian ini, ghirah atau semangat hijrah yang patut diimplementasikan sekarang ini, bukan lagi dalam pengertian fisik, tetapi hijrah secara kontekstual dengan meninggalkan segala peradaban atau nilai-nilai yang tidak baik dan tidak urgen menuju peradaban yang lebih baik yang diridhai Allah dan dapat diterima umat manusia pada umumnya.
Hijrah secara bahasa di maknai perpindahan. Perpindahan ini dalam pandangan para ulama mengandung dua makna : hijrah makani (tempat atau fisik), dan hijrah maknawi (nilai). Hijrah makani artinya berpindah dari suatu tempat yang kurang baik menuju tempat yang lebih baik, dari suatu negeri ke negeri yang lain yang lebih baik. Adapun hijrah maknawi artinya berpindah dari nilai yang kurang baik menuju nilai yang lebih baik, dari kebatilan menuju kebenaran, dari kekufuran menuju keislaman. Atau dengan kata lain, hijrah kepada jalan yang di ridlai Allah dan Rasulnya.
Dalam konteks kekinian, hijrah Maknawi nampaknya yang harus lebih diprioritaskan untuk dikaji, karena mayoritas umat hampir tidak memahami makna hijrah yang sebenarnya yang dapat selalu diaktualisasikan dalam kehidupan nyata. Apabila spirit hijrah secara maknawi ini dapat ditangkap dan dihayati oleh setiap muslim untuk selanjutnya secara konsisten diterapkan dalam sendi-sendi kehidupan, barangkali nasib umat Islam secara umum akan lebih baik dari sekarang. Krisis multidimensional dan tantangan global seerta derasnya demoralisasi dengan sendirinya akan terkikis habis.
Demikian makna hijrah sebagai revitalisasi dalam konteks maknawi. Hal ini sejatinya seorang Muslim menjadikan bulan Muharram yang setiap tahunnya diperingati untuk membangun keshalehan individual dan sosialnya serta bermanfaat untuk umat.
Berkah Hijrah Bagi pendidikan
Dalam kacamata sejarah Nabi Muhammad hijrah bukan dalam rangka melarikan diri dari kaum musrik, tetapi menyelamatkan visi dan misi Islam sebagai rahmad untuk semua. Oleh karena itu pesan moral hijrah yang terpenting adalah pendidikan mental spiritual dengan memurnikan tauhid sekaligus pembebasan umat manusia dari ketertindasan, kezaliman dan penjajahan terutama penjajahan hawa nafsu. Selama proses hijrah nabi Muhamad sungguh menampilakn figure teladan dalam mengawal dan menyelamatkan visi misi islam dengan penuh amanah, kecerdasan intelektual dan emosional maupun spiritual.
Dalam memahami makna hijrah, Kita perlu mengupayakan sebuah perubahan sosial (social engineering) untuk menata kembali dinamika nilai pada individu hingga sistem sosial di tingkat kelompok masyarakat serta institusi negara, terutama menyangkut tema pendidikan. Salah satu ideas yang perlu dikembangkan adalah nilai kepemimpinan (leadership).
Dalam pandangan para pakar pendidikan, sistem pendidikan Indonesia sejauh ini pendidikan kita dinilai hanya mampu mencetak manusia bermental pekerja beserta skill-skill teknis dan praktis. Di kebanyakan ruang-ruang kelas kita senantiasa dimotivasi untuk bagaimana dapat segera lulus dan bekerja sebagai karyawan atau buruh di sebuah perusahaan besar dengan tingkat gaji tinggi.Tidak lebih. Ekstrimnya, mayoritas produk pendidikan Indonesia hanya dapat setara dengan kaum sudra atau kasta terendah dalam kelas sosial. Tak heran sering muncul ledekan sebagai bangsa buruh. Sistem yang sudah tidak relevan dengan tuntutan zaman ini akan menjadikan Indonesia semakin kerdil terinjak hegemoni bangsa asing. Kurikulum kita selama ini belum berorientasi pada pembentukan manusia Indonesia dengan karakter dan kompetensi kepemimpinan dengan basis keilmuannya masing-masing.Sistem pendidikan formal kita belum menjawab kebutuhan akan pentingnya sebuah visi dan misi, komunikasi, kapasitas manajerial, decision making serta sofskill lain yang sebenarnya dapat dipadukan melalui metode belajar mengajar.
Dalam pandangan muhbib abdul wahhab, dengan mengintegrasikan intelektualitas dan karakter kepemimpinan dalam suatu sistem pembelajaran, wacana kebangkitan bangsa ini akan semakin menemukan bentuk riilnya. Kepemimpinan tidak hanya dapat terlahir secara otodidak melalui pengalaman atau gelombang resistensi terhadap kolonal atau rezim tirani seperti yang terjadi pada para tokoh pemimpin bangsa dulu . Melainkan ia harus benar-benar dirumuskan dan dikembangkan sejak dini. Momentum pergantian tahun baru hijriah sudah semestinya menjadi tonggak perubahan atau transformasi. Sudah saatnya kita berubah (mengubah diri) dari bangsa pemalas menjadi bangsa pejuang, dari bangsa pecundang menjadi bangsa pemenang, dari mental dan budaya korup menjadi mental budaya amanah,jujur dan bersih. Yang sangat kita butuhkan kedepan adalah membangun karakter (carakter Building) yang tangguh. Tentu hal ini sejalan dengan tujuan pendidikan Al Irsyad.
Dan terakhir, Kearifan memaknai hijrah dengan melakukan transformasi ke arah yang lebih baik dari sebelumnya, termasuk didalamnya keberanian untuk melakukan rekayasa sosial dengan berbagai varian inovasinya. Dengan begitu, setiap kita sebagai insan beradab melakukan perbaikan dalam belbagai lini kehidupan sebagai cerminan semangat hijrah dan menyambut tahun baru Islam dengan membuka lembaran baru yang lebih baik di hari-hari mendatang. Wallohu a’lam bissowab
Hingar bingar tahun baru masehi selalu membuat meriah di setiap pergantian tahun di seantereo jagad. Cara perayaan pun bermacam-macam, seolah-olah akan terjadi perubahan yang besar-besaran setelah tahun baru. Tetapi alangkah kontrasnya ketika pergantian tahun itu bernama Hijriah. Seberapa besar kaum muslimin yang peduli terhadap pergantian tahun itu. Cobalah kita lihat kontrasnya jurang kecenderungan masyarakat untuk merayakannya. Tahun Baru Masehi begitu bingar dirayakan, sedangkan Tahun Baru Hijriah nyaris dilalui dengan aktivitas yang biasa-biasa saja bahkan nyaris sepi dari kegiatan umat islam.
Ada sebagian masyarakat muslim justru memperingatinya dengan berbagai cara yang tidak sesuai dengan syariat. Berbagai selebrasipun di gelar dengan berbagai macam dan cara dalam ritualnya. Adakalanya yang positif tapi tak jarang justru banyak yang kita jumpai malah berbau kesyirikan. Dan banyak kita jumpai justru di isi dengan berbagai kegiatan yang berbau hura-hura di antara para pemuda-pemudi, seperti kesempatan yang tak boleh dilewati tanpa kenangan. Maka dibuat atau dilakukanlah berbagai aktivitas untuk memperingatinya. Tapi lumrahnya, peringatan itu cenderung hedonis materialistik. Seperti tahun-tahun sebelumnya, pemborosan dan kesia-siaan selalu menghiasi perayaan pergantian Tahun Baru
Umat Islam harus secepatnya melakukan muhasabah mengingat kondisi bangsa yang tengah dilanda banyak musibah dimana-mana. Mulai dari banjir wasior, Tsunami di mentawai, erupsi gunung merapi sampai letusan gunung Bromo. Rangkaian musibah itu setidaknya menyadarkan kita untuk secepatnya berbenah diri atas prilaku kita.
Momentum pergantian tahun Hijriah, kita harus mampu menangkap pesan perubahan atau perpindahan dari segala aspek. Dari yang belum baik menjadi pribadi yang lebih baik, Dari wawasan minder menjadi percaya diri, yang selalu terbelakang atau selalu menjadi objek menjadi bisa menunjukan jati diri sesuai dengan makna hijrah. Di samping itu diharapkan mampu memenangkan dalam persaingan yang semakin hari semakin bertambah berat.
Momentum hijrah bagi umat Islam adalah dengan melakukan interospeksi masal, guna melakukan perubahan dari keadaan yang kurang baik menjadi lebih baik sebagai revitalisasi hijrah. Meningkatkan spritualitas dan kesadaran keagamaan menjadi keniscayaan umat Islam Indonesia, terutama ketika bangsa ini dihadapkan dengan berbagai musibah yang sepatutnya direnungkan sebagai momentum menguji kualitas keimanan dan keberislamannya dan patut direnungi untuk diambil hikmahnya.
Makna Hijrah
Setiap tahun umat Islam menyambut tahun hijriyah dengan biasa-biasa saja. Sadar atau tidak kita harus mengakuai meskipun ada sebagian dari kita merayakan dengan penuh kesungguhan mendalami makna hijriah. Cobalah kita tengok makna hirah yang sesungguhnya. Dalam berbagai literatur hijrah sering kita jumpai dan dimaknai secara luas yakni, perpindahan nilai, misalnya hijrah dari nilai budaya yang buruk menuju nilai budaya yang Islami. Dalam pengertian ini, ghirah atau semangat hijrah yang patut diimplementasikan sekarang ini, bukan lagi dalam pengertian fisik, tetapi hijrah secara kontekstual dengan meninggalkan segala peradaban atau nilai-nilai yang tidak baik dan tidak urgen menuju peradaban yang lebih baik yang diridhai Allah dan dapat diterima umat manusia pada umumnya.
Hijrah secara bahasa di maknai perpindahan. Perpindahan ini dalam pandangan para ulama mengandung dua makna : hijrah makani (tempat atau fisik), dan hijrah maknawi (nilai). Hijrah makani artinya berpindah dari suatu tempat yang kurang baik menuju tempat yang lebih baik, dari suatu negeri ke negeri yang lain yang lebih baik. Adapun hijrah maknawi artinya berpindah dari nilai yang kurang baik menuju nilai yang lebih baik, dari kebatilan menuju kebenaran, dari kekufuran menuju keislaman. Atau dengan kata lain, hijrah kepada jalan yang di ridlai Allah dan Rasulnya.
Dalam konteks kekinian, hijrah Maknawi nampaknya yang harus lebih diprioritaskan untuk dikaji, karena mayoritas umat hampir tidak memahami makna hijrah yang sebenarnya yang dapat selalu diaktualisasikan dalam kehidupan nyata. Apabila spirit hijrah secara maknawi ini dapat ditangkap dan dihayati oleh setiap muslim untuk selanjutnya secara konsisten diterapkan dalam sendi-sendi kehidupan, barangkali nasib umat Islam secara umum akan lebih baik dari sekarang. Krisis multidimensional dan tantangan global seerta derasnya demoralisasi dengan sendirinya akan terkikis habis.
Demikian makna hijrah sebagai revitalisasi dalam konteks maknawi. Hal ini sejatinya seorang Muslim menjadikan bulan Muharram yang setiap tahunnya diperingati untuk membangun keshalehan individual dan sosialnya serta bermanfaat untuk umat.
Berkah Hijrah Bagi pendidikan
Dalam kacamata sejarah Nabi Muhammad hijrah bukan dalam rangka melarikan diri dari kaum musrik, tetapi menyelamatkan visi dan misi Islam sebagai rahmad untuk semua. Oleh karena itu pesan moral hijrah yang terpenting adalah pendidikan mental spiritual dengan memurnikan tauhid sekaligus pembebasan umat manusia dari ketertindasan, kezaliman dan penjajahan terutama penjajahan hawa nafsu. Selama proses hijrah nabi Muhamad sungguh menampilakn figure teladan dalam mengawal dan menyelamatkan visi misi islam dengan penuh amanah, kecerdasan intelektual dan emosional maupun spiritual.
Dalam memahami makna hijrah, Kita perlu mengupayakan sebuah perubahan sosial (social engineering) untuk menata kembali dinamika nilai pada individu hingga sistem sosial di tingkat kelompok masyarakat serta institusi negara, terutama menyangkut tema pendidikan. Salah satu ideas yang perlu dikembangkan adalah nilai kepemimpinan (leadership).
Dalam pandangan para pakar pendidikan, sistem pendidikan Indonesia sejauh ini pendidikan kita dinilai hanya mampu mencetak manusia bermental pekerja beserta skill-skill teknis dan praktis. Di kebanyakan ruang-ruang kelas kita senantiasa dimotivasi untuk bagaimana dapat segera lulus dan bekerja sebagai karyawan atau buruh di sebuah perusahaan besar dengan tingkat gaji tinggi.Tidak lebih. Ekstrimnya, mayoritas produk pendidikan Indonesia hanya dapat setara dengan kaum sudra atau kasta terendah dalam kelas sosial. Tak heran sering muncul ledekan sebagai bangsa buruh. Sistem yang sudah tidak relevan dengan tuntutan zaman ini akan menjadikan Indonesia semakin kerdil terinjak hegemoni bangsa asing. Kurikulum kita selama ini belum berorientasi pada pembentukan manusia Indonesia dengan karakter dan kompetensi kepemimpinan dengan basis keilmuannya masing-masing.Sistem pendidikan formal kita belum menjawab kebutuhan akan pentingnya sebuah visi dan misi, komunikasi, kapasitas manajerial, decision making serta sofskill lain yang sebenarnya dapat dipadukan melalui metode belajar mengajar.
Dalam pandangan muhbib abdul wahhab, dengan mengintegrasikan intelektualitas dan karakter kepemimpinan dalam suatu sistem pembelajaran, wacana kebangkitan bangsa ini akan semakin menemukan bentuk riilnya. Kepemimpinan tidak hanya dapat terlahir secara otodidak melalui pengalaman atau gelombang resistensi terhadap kolonal atau rezim tirani seperti yang terjadi pada para tokoh pemimpin bangsa dulu . Melainkan ia harus benar-benar dirumuskan dan dikembangkan sejak dini. Momentum pergantian tahun baru hijriah sudah semestinya menjadi tonggak perubahan atau transformasi. Sudah saatnya kita berubah (mengubah diri) dari bangsa pemalas menjadi bangsa pejuang, dari bangsa pecundang menjadi bangsa pemenang, dari mental dan budaya korup menjadi mental budaya amanah,jujur dan bersih. Yang sangat kita butuhkan kedepan adalah membangun karakter (carakter Building) yang tangguh. Tentu hal ini sejalan dengan tujuan pendidikan Al Irsyad.
Dan terakhir, Kearifan memaknai hijrah dengan melakukan transformasi ke arah yang lebih baik dari sebelumnya, termasuk didalamnya keberanian untuk melakukan rekayasa sosial dengan berbagai varian inovasinya. Dengan begitu, setiap kita sebagai insan beradab melakukan perbaikan dalam belbagai lini kehidupan sebagai cerminan semangat hijrah dan menyambut tahun baru Islam dengan membuka lembaran baru yang lebih baik di hari-hari mendatang. Wallohu a’lam bissowab
Belajar Dari Pak Budi dalam Menembus Batas
SD Al Irsyad 02 bersama komite sekolah kembali menggelar acara Smart Parent Seminar dengan tema “Membentuk anak berakhlak dan berprestasi” pada tanggal 23 Januari 2011. Kegiatan yang di hadiri sekitar 500 peserta ini sekaligus sosialisasi program sekolah yaitu Program Pendidikan Akhlak (PPA). Seminar ini agak berbeda dengan seminar yang lain karena menghadirkan tokoh yang bukan dari kalangan akademsi. Seorang tokoh Inspirasional dalam buku menembus batas. Dialah Budi Setiadi, seorang pekerja pasar yang mampu menyekolahkan anak-anknya hingga ke luar negeri. Selain itu juga menghadirkan psikolog yang sudah tidak asing lagi yaitu ibu Ratih winanti SPi, psikolog RSUD Banyumas.
Mendidik dengan keteladanan
Seminar ini memberikan dasar bagi para orang tua, bagaimana sebenarnya membangun karakter mental positif, mental sukses dan mental juara dalam diri anak-anak di rumah dan di sekolah. Tentu kita di ingatkan oleh Adil Fathi Abdullah dalam buku“Kaifa Tushbihu Aban Naajihan (Menjadi Ayah yang Sukses)” menekankan bahwa faktor keteladanan ayah sangat berpengaruh pada pendidikan anak, karena pada tahap awal anak belajar dengan cara meniru. Ayahlah yang pertama menjadi teladan untuk urusan akidah, ibadah, akhlak, muammalah, dan segala hal yang ingin diajarkan pada anaknya. Keteladanan sangat membantu dalam pembentukan karakter, dan bisa jadi sangat menghemat tenaga. Tak perlu banyak cakap, anak adalah peniru yang hebat. “Pengaruh perbuatan satu orang terhadap seribu orang lebih besar daripada pengaruh ucapan seribu orang kepada satu orang,” tulis Abdullah menggambarkan kekuatan keteladanan.
Dalam Pandangan Abdurrahman Annablawi dalam bukunya “Pendidikan Islam dirumah,sekolah dan dimasyarakat” beliau memberi contoh Kehidupan Rosululloh SAW sebagai ayah, kebaikannya dalam berinteraksi dengan dengan anak kecil,para sahabat dan tetangganya merupakan keteladanan yang sudah sepatutnya ditiru. Dalam kondisi apapun, Beliau senantiasa teguh dan tidak kehilangan semangat karena beliau meyakini bahwa Alloh senantiasa menjadi sumber kekuatan sehingga beliau tetap memperoleh kesabaran.
Inilah yang barang kali mengilhami budi setiadi dalam mendidik putraputrinya. Dikisahkan dengan sederhana dan suasana yang mencair saat pak budi bercerita tentang perjuangannya mendidik putra putrinya hingga bisa sampai di bangku kuliah. Bayangkan, dengan penghasilan minor seperti itu, pak Budi dapat menyekolahkan ketiga anaknya di fakultas teknik UGM dan ITB, bahkan putri pertamanya mendapat beasiswa S2 di Jerman. Apa yang disampaikan pak budi ini memberikan fakta empiris tentang cara yang dilakukan pak Budi dalam mendidik keenam anak-anaknya.
Sungguh kisah pak budi menohok tajam pola pikir konvensional, di mana alasan ekonomi selalu menjadi alasan orang miskin untuk tidak bersekolah dan juga menohok prilaku orang mampu yang merasa cukup dengan memberikan fasilitas serta sekolah mahal tanpa peduli bhawa anak juga membutuhkan perhatian dan kasih sayang.
Tanpa keteladanan ajakan dan ajaran kita akan kehilangan otoritas sehingga kita di cemooh anak kita dan dianggap munafik. Tanpa keteladanan anak akan kecewa,kehilangan figur atau melakukan yang bukan kita ajarkan, tetapi apa yang kita lakukan sebab anak adalah peniru ulung. Itulah yang diajarkan budi setiadi kepada anak-anaknya
Kisah Sukses
Ditanya mengenai kisah sukses bagaimana pak budi mendidik putra-putrinya. Pak budi pun menjawab dengan santai. Pada dasarnya anak mempunyai bekal kecerdasan yang berbeda, oleh karena itu orang tua harus memutar otak untuk menemukan tipe dan gaya belajar anak agar bisa mendampingi putra-putrinya belajar. Ia mengakui tiap anak mepunyai karakter yang berbeda-beda, kendati satu keluarga. Dengan demikian, kemampuan anakpun akan berbeda-beda pula. Pada anak usia dini, ia menyarankan agar anak diberi kebebasan untuk bermain, sesuai keinginannnya.
Selain itu Pak budi memberi keleluasaan pada anaknya untuk bermain selama fase bermain. Menurutnya, dengan bermain anak sedang mempelajari hal-hal yang ada di sekitarnya. Aktivitas ini akan mengembangkan kemampuan otaknya untuk menganalisis suatu hal. Supaya kecerdasan anak berkembang optimal, orang tua harus mengembangkan interaksi yang dilandasi rasa kasih sayang kepada anak-anaknya.
Tak kalah pentingnya Pak Budi tidak pernah membatasi cita-cita anaknya. Buktinya seperti yang dia lakukan terhadap Sholihah dan Walidah. Mereka diberi kebebasan untuk menentukan pilihan hidup walaupun sebenarnya sudah mendapat tiket untuk belajar ilmu kedokteran.
Dalam Pandangannya ibu Ratih winanti lebih mengamini pendapat pak budi. Ia menekankan agar anak pada usia dini lebih diberi keleluasaan untuk bermain. Untuk memberikan pendidikan kepada anak, ia lebih menekankan pada pemberian motivasi dan ketauladanan. Selaku orang tua hendaknya memberikan contoh baik kepada anak. Dengan demikian, anaknya akan mencontoh perilaku orang tuanya.
Selama ini kita yakin bahwa pendidikan menjadi jembatan emas melakukan mobilitas sosial. Perjuangan Pak Budi dan keluarga merupakan bukti nyata yang terpampang di depan mata. Di tengah semakin mahalnya biaya untuk mengakses pendidikan berkualitas, kita disadarkan untuk menjadi guru utama bagi buah hati harapan kita. Menyinggung keterbatasan biaya, ia yakin selama kita berserah diri, ada jalan keluarnya. Apalagi sekarang banyak beasiswa yang diberikan kepada masyarakat. Dalam pandangannya, ia mengajak agar masyarakat kurang mampu termotivasi bisa menembus batas kemampuannya.
Pak Budi telah berbagi semangat. Ia telah memberikan sebuah kisah kegigihan hidup dan arti penting pengorbanan, meskipun dalam usahanya tak sedikit aral melintang dan badai yang menghambat laju perjalanannya.
Mendidik dengan keteladanan
Seminar ini memberikan dasar bagi para orang tua, bagaimana sebenarnya membangun karakter mental positif, mental sukses dan mental juara dalam diri anak-anak di rumah dan di sekolah. Tentu kita di ingatkan oleh Adil Fathi Abdullah dalam buku“Kaifa Tushbihu Aban Naajihan (Menjadi Ayah yang Sukses)” menekankan bahwa faktor keteladanan ayah sangat berpengaruh pada pendidikan anak, karena pada tahap awal anak belajar dengan cara meniru. Ayahlah yang pertama menjadi teladan untuk urusan akidah, ibadah, akhlak, muammalah, dan segala hal yang ingin diajarkan pada anaknya. Keteladanan sangat membantu dalam pembentukan karakter, dan bisa jadi sangat menghemat tenaga. Tak perlu banyak cakap, anak adalah peniru yang hebat. “Pengaruh perbuatan satu orang terhadap seribu orang lebih besar daripada pengaruh ucapan seribu orang kepada satu orang,” tulis Abdullah menggambarkan kekuatan keteladanan.
Dalam Pandangan Abdurrahman Annablawi dalam bukunya “Pendidikan Islam dirumah,sekolah dan dimasyarakat” beliau memberi contoh Kehidupan Rosululloh SAW sebagai ayah, kebaikannya dalam berinteraksi dengan dengan anak kecil,para sahabat dan tetangganya merupakan keteladanan yang sudah sepatutnya ditiru. Dalam kondisi apapun, Beliau senantiasa teguh dan tidak kehilangan semangat karena beliau meyakini bahwa Alloh senantiasa menjadi sumber kekuatan sehingga beliau tetap memperoleh kesabaran.
Inilah yang barang kali mengilhami budi setiadi dalam mendidik putraputrinya. Dikisahkan dengan sederhana dan suasana yang mencair saat pak budi bercerita tentang perjuangannya mendidik putra putrinya hingga bisa sampai di bangku kuliah. Bayangkan, dengan penghasilan minor seperti itu, pak Budi dapat menyekolahkan ketiga anaknya di fakultas teknik UGM dan ITB, bahkan putri pertamanya mendapat beasiswa S2 di Jerman. Apa yang disampaikan pak budi ini memberikan fakta empiris tentang cara yang dilakukan pak Budi dalam mendidik keenam anak-anaknya.
Sungguh kisah pak budi menohok tajam pola pikir konvensional, di mana alasan ekonomi selalu menjadi alasan orang miskin untuk tidak bersekolah dan juga menohok prilaku orang mampu yang merasa cukup dengan memberikan fasilitas serta sekolah mahal tanpa peduli bhawa anak juga membutuhkan perhatian dan kasih sayang.
Tanpa keteladanan ajakan dan ajaran kita akan kehilangan otoritas sehingga kita di cemooh anak kita dan dianggap munafik. Tanpa keteladanan anak akan kecewa,kehilangan figur atau melakukan yang bukan kita ajarkan, tetapi apa yang kita lakukan sebab anak adalah peniru ulung. Itulah yang diajarkan budi setiadi kepada anak-anaknya
Kisah Sukses
Ditanya mengenai kisah sukses bagaimana pak budi mendidik putra-putrinya. Pak budi pun menjawab dengan santai. Pada dasarnya anak mempunyai bekal kecerdasan yang berbeda, oleh karena itu orang tua harus memutar otak untuk menemukan tipe dan gaya belajar anak agar bisa mendampingi putra-putrinya belajar. Ia mengakui tiap anak mepunyai karakter yang berbeda-beda, kendati satu keluarga. Dengan demikian, kemampuan anakpun akan berbeda-beda pula. Pada anak usia dini, ia menyarankan agar anak diberi kebebasan untuk bermain, sesuai keinginannnya.
Selain itu Pak budi memberi keleluasaan pada anaknya untuk bermain selama fase bermain. Menurutnya, dengan bermain anak sedang mempelajari hal-hal yang ada di sekitarnya. Aktivitas ini akan mengembangkan kemampuan otaknya untuk menganalisis suatu hal. Supaya kecerdasan anak berkembang optimal, orang tua harus mengembangkan interaksi yang dilandasi rasa kasih sayang kepada anak-anaknya.
Tak kalah pentingnya Pak Budi tidak pernah membatasi cita-cita anaknya. Buktinya seperti yang dia lakukan terhadap Sholihah dan Walidah. Mereka diberi kebebasan untuk menentukan pilihan hidup walaupun sebenarnya sudah mendapat tiket untuk belajar ilmu kedokteran.
Dalam Pandangannya ibu Ratih winanti lebih mengamini pendapat pak budi. Ia menekankan agar anak pada usia dini lebih diberi keleluasaan untuk bermain. Untuk memberikan pendidikan kepada anak, ia lebih menekankan pada pemberian motivasi dan ketauladanan. Selaku orang tua hendaknya memberikan contoh baik kepada anak. Dengan demikian, anaknya akan mencontoh perilaku orang tuanya.
Selama ini kita yakin bahwa pendidikan menjadi jembatan emas melakukan mobilitas sosial. Perjuangan Pak Budi dan keluarga merupakan bukti nyata yang terpampang di depan mata. Di tengah semakin mahalnya biaya untuk mengakses pendidikan berkualitas, kita disadarkan untuk menjadi guru utama bagi buah hati harapan kita. Menyinggung keterbatasan biaya, ia yakin selama kita berserah diri, ada jalan keluarnya. Apalagi sekarang banyak beasiswa yang diberikan kepada masyarakat. Dalam pandangannya, ia mengajak agar masyarakat kurang mampu termotivasi bisa menembus batas kemampuannya.
Pak Budi telah berbagi semangat. Ia telah memberikan sebuah kisah kegigihan hidup dan arti penting pengorbanan, meskipun dalam usahanya tak sedikit aral melintang dan badai yang menghambat laju perjalanannya.
Selasa, 07 September 2010
untuk apa saya melakukan ini?
Untuk Apa Saya Melakukan Ini ?
Assalamualaikum
Shahabatku yang baik. Semoga Cinta dan Kasih Sayang Allah selalu dapat kita rasakan dengan penuh kesyukuran. Yaitu melalui kerja dan aktivitas kita dihiasi cinta. Sehingga setiap detik yang terus meninggalkan kita, menjadi bukti catatan amal bagi kita kelak, saat Allah membagikan kitab amalan kita masing-masing diyaumil qiyamah.
Dikisahkan adalah seorang murid yang sedang berusaha terus mendekatkan dirinya kepada Allah. Aktivitas nya sehari-hari bekerja sebagai staf perusahaan yang bergerak dibidang jasa. Dia diamanahi pada posisi penanggung jawab, produk development perusahaan tersebut. Dalam perjalanan menggapai Ridho ilahi. Sang murid merenung dan sering melakukan kontemplasi, Apakah yang dia kerjakan sudah diridhoi oleh Allah?
Sementara, dibawah pohon yang rindang itu. Duduklah seorang murid dengan sebuah buku Terapi Ma’rifat bersamanya. Buku itu adalah buku wajib bacaan baginya selama belajar dan berguru dengan gurunya.Halaman demi halaman dia baca. Setiap kata demi kata dia telaah dan cerna maknanya. Kalimat demi kalimat, dia analisa lebih mendalam, bila ada hal yang tidak dia fahami, maka dia tandai untuk disyarah bersama guru nya
Dalam penelaahannya, sang murid duduk merenung. Karena tanpa dia sadari, saat dia mengunyah susunan kalimat dari Ibnu Athailah itu, fikirannya melayang, terbang dengan imajinasi dan tadabur diri. Tiba-tiba saja dia terfikir dengan aktivitas (kerjaan) yang sedang dia lakukan. Sehingga hadirlah pertanyaan ”Untuk Apa aku melakukan ini?”
Sang murid sadar, Sebaik-baiknya keinginan adalah kemauan dan keinginan bersama dengan kehadirat Allah. Yaitu Sesuai dengan kemauan Allah. Lantas dia berfikir dan bertanya kepada dirinya. Apakah yang aku lakukan ini sesuai dengan keinginan Allah ?
Semakin dia berusaha menjawab, semakin kuat pula pertanyaan itu menyapanya. ”Apakah benar, aku melakukan ini semata-mata untuk Allah (mengharap ridho Allah) sehingga bernilai Ibadah?”. Tergambarkan dengan jelas dalam fikirannya, bentuk tulisan penawaran jasanya kepada orang-orang sekitarnya. Tulisan yang sangat jelas ukiran huruf dan warnanya adalah : ”Mengapa Anda harus membeli jasa yang saya tawarkan?”
Sayup-sayup angin sepoi-sepoi menyentuh tubuhnya. Sang murid bertanya kembali dengan apa yang dia janjikan dalam penawarannya. Mengapa Anda harus membeli jasa saya? Bila disana tertuliskan,”Agar Anda bahagia” . Dia bertanya pada dirinya, sudahkah aku bahagia? Agar hidup Anda bermakna. Sudahkah hidupku ini bermakna? Agar Anda lebih dekat dengan Allah. Sudahkah aku dekat dengan Sang Maha Kasih? Agar Anda punya prinsip hidup. Sudahkah aku berprinsip?
Suara datar masuk kesukma, terdengar kembali oleh nya. Nasehat bijak dari Sang Guru. ”Bagaimana mungkin kamu jadi Muslih, sementara kamu belum shalih. Bagaimana kamu bisa jadi murabbi, sementara kamu belum mutarabbi. Bagaimana mungkin engkau menjadi Mu’allim, sementara kamu belum ’Alim?”
Sambil merebahkan badannya dipokok pohon rindang itu. Sang murid terus mencari dan mencari tau kesungguhan niatnya. Karena kayu yang masih hidup itu, merindangi orang-orang yang berada dibawahnya. Dan angin membelai dengan penuh kelembutan, sang muridpun tenggelam dalam tidur bersama renungannya ”Untuk Apa aku melakukan ini? Apa sungguh karena mengharap ridha Allah, ataukah nafsuku saja?”
Surat dari bang rahmadsyah
Assalamualaikum
Shahabatku yang baik. Semoga Cinta dan Kasih Sayang Allah selalu dapat kita rasakan dengan penuh kesyukuran. Yaitu melalui kerja dan aktivitas kita dihiasi cinta. Sehingga setiap detik yang terus meninggalkan kita, menjadi bukti catatan amal bagi kita kelak, saat Allah membagikan kitab amalan kita masing-masing diyaumil qiyamah.
Dikisahkan adalah seorang murid yang sedang berusaha terus mendekatkan dirinya kepada Allah. Aktivitas nya sehari-hari bekerja sebagai staf perusahaan yang bergerak dibidang jasa. Dia diamanahi pada posisi penanggung jawab, produk development perusahaan tersebut. Dalam perjalanan menggapai Ridho ilahi. Sang murid merenung dan sering melakukan kontemplasi, Apakah yang dia kerjakan sudah diridhoi oleh Allah?
Sementara, dibawah pohon yang rindang itu. Duduklah seorang murid dengan sebuah buku Terapi Ma’rifat bersamanya. Buku itu adalah buku wajib bacaan baginya selama belajar dan berguru dengan gurunya.Halaman demi halaman dia baca. Setiap kata demi kata dia telaah dan cerna maknanya. Kalimat demi kalimat, dia analisa lebih mendalam, bila ada hal yang tidak dia fahami, maka dia tandai untuk disyarah bersama guru nya
Dalam penelaahannya, sang murid duduk merenung. Karena tanpa dia sadari, saat dia mengunyah susunan kalimat dari Ibnu Athailah itu, fikirannya melayang, terbang dengan imajinasi dan tadabur diri. Tiba-tiba saja dia terfikir dengan aktivitas (kerjaan) yang sedang dia lakukan. Sehingga hadirlah pertanyaan ”Untuk Apa aku melakukan ini?”
Sang murid sadar, Sebaik-baiknya keinginan adalah kemauan dan keinginan bersama dengan kehadirat Allah. Yaitu Sesuai dengan kemauan Allah. Lantas dia berfikir dan bertanya kepada dirinya. Apakah yang aku lakukan ini sesuai dengan keinginan Allah ?
Semakin dia berusaha menjawab, semakin kuat pula pertanyaan itu menyapanya. ”Apakah benar, aku melakukan ini semata-mata untuk Allah (mengharap ridho Allah) sehingga bernilai Ibadah?”. Tergambarkan dengan jelas dalam fikirannya, bentuk tulisan penawaran jasanya kepada orang-orang sekitarnya. Tulisan yang sangat jelas ukiran huruf dan warnanya adalah : ”Mengapa Anda harus membeli jasa yang saya tawarkan?”
Sayup-sayup angin sepoi-sepoi menyentuh tubuhnya. Sang murid bertanya kembali dengan apa yang dia janjikan dalam penawarannya. Mengapa Anda harus membeli jasa saya? Bila disana tertuliskan,”Agar Anda bahagia” . Dia bertanya pada dirinya, sudahkah aku bahagia? Agar hidup Anda bermakna. Sudahkah hidupku ini bermakna? Agar Anda lebih dekat dengan Allah. Sudahkah aku dekat dengan Sang Maha Kasih? Agar Anda punya prinsip hidup. Sudahkah aku berprinsip?
Suara datar masuk kesukma, terdengar kembali oleh nya. Nasehat bijak dari Sang Guru. ”Bagaimana mungkin kamu jadi Muslih, sementara kamu belum shalih. Bagaimana kamu bisa jadi murabbi, sementara kamu belum mutarabbi. Bagaimana mungkin engkau menjadi Mu’allim, sementara kamu belum ’Alim?”
Sambil merebahkan badannya dipokok pohon rindang itu. Sang murid terus mencari dan mencari tau kesungguhan niatnya. Karena kayu yang masih hidup itu, merindangi orang-orang yang berada dibawahnya. Dan angin membelai dengan penuh kelembutan, sang muridpun tenggelam dalam tidur bersama renungannya ”Untuk Apa aku melakukan ini? Apa sungguh karena mengharap ridha Allah, ataukah nafsuku saja?”
Surat dari bang rahmadsyah
Jumat, 18 Juni 2010
Belajar dari sekolahnya Manusia
Belajar dari “Sekolahnya Manusia”
Sebuah Pengantar
Perjalanan ke jogja terasa melelahkan ketika kami sampai di ambar ketawang untuk sarapan pagi. Perjalanan yang tadinya melelahkan terasa lenyap saat kami sampai di gedung tempat seminar. Rasa lelah,capek terasa sirna saat kami di sambut dengan dengan Band yang tidak lumrah. Kenapa saya katakana tidak lumrah, karena band yang di namai “Autis Band” dan yang di gawangi Kharisma dan teman-temannya kesemuanya adalah anak-anak yang notabane-nya adalah anaka-anak berkebutuhan khusus. Setelah itu kami juga di suguhi penampilan Andy Wibowo seorangtuna grahita yang sangat mahir menggambar dan melukis Dia juga bisa menggambar dengan dua tangan secara bersamaan berbeda obyek, Rizki bocah 10 tahun penderita autisme yang mempunyai daya ingat luar biasa dari mengingat pidato-pidato para tokoh negara sampai kalender. Dan terakhir saat pak munif chatif (penulis buku Sekolahnya manusia) berbicara dan memanggil muhamad amar dari SMAIT purwokerto untuk tampil di depan dan memamerkan karyanya.
”Akan saya buat sekolah kami sebagai surga bagi anak-anak berkebutuhan khusus.”Ucapan ini barangkali terasa berlebihan bagi telinga kita.Namun, begitulah adanya. Dengan semangat dan kreativitasnya, Drs Ciptono berhasil membuat Sekolah Luar Biasa yang dipimpinnya benar-benar menjadi luar biasa sebagaimana penampilan anak-anak saat seminar.
Pada hakekatnya, manusia di lahirkan ke muka bumi dengan di karunia kecerdasan yang beragam dari Alloh. Jika keberagaman itu, mendapat tempat yang adil akan jadi kekuatan yang dahsyat bagi manusia, untuk mengelola alam dan bumi ciptaan-Nya ini. Masalahnya, bagaimana cara tepat untuk mengelola keberagaman itu?.
Selama ini banyak murid yang mengalami ketidakfahaman bahkan mungkin kebingungan dalam mencerna dan menerima pelajaran serta tidak mampu mencerna materi yang diberikan oleh guru dengan baik.Tak jarang, mereka di beri label “Bodoh” kadang mereka juga dituduh “bermasalah”. Ternyata, dalam beberapa penelitian menunjukkan bahwa kegagalan siswa mencerna informasi dari gurunya disebabkan oleh ketidaksesuaian gaya mengajar guru dan gaya belajar siswa. Padahal, apabila gaya mengajar guru sesuai dengan gaya belajar siswa, semua pelajaran akan terasa sangat mudah dan menyenangkan.
Pemahaman multilple intelligence yang diperkenalkan oleh Howard Gardner, berhasil ditransformasikanoleh Munif chatib menjadi proses pembelajaran yang manusiawi dan aplikasi. Jika selama ini banyak sekolah yang seolah meraba-raba bagaimana mendidik anak dengan tepat sesuai dengan potensi dirinya. Inilah yang di sebut “Sekolahnya Manusia”
Sekolahnya Manusia
Saat ini banyak sekolah yang menggunakan dan terjebak dengan penggunaan istilah “Sekolah unggul” tujuannya satu yaitu untuk menarik minat konsumen pendidikan. Dalam pandangan seorang Munif Chatib istilah ”Sekolah unggul” diubah menjadi ”Sekolah manusia”. Maklumlah, kriteria unggul akan melahirkan banyak versi. Namun, istilah ”manusia” tentu semua orang sepakat. Segala sisi hakikat manusia harus terwakili dalam proses pendidikan manusia itu sendiri.
Dalam Proses pembelajaran di sekolah harus mengandung dan melibatkan kekuatan emosi positif. Mulai proses awal pembelajaran sampai akhir benar-benar menyentuh perasaan siswa. Ada 8 poin yang harus dimiliki sebuah sekolah untuk disebut Sekolahnya Manusia yaitu :
Pertama,Pendidikan di dalamnya mengintegrasi Jasmani dan Ruhani dengan Agama dan Akhlak, memiliki 60% muatan agama dalam koridor Character Building, yang masuk bersama-sama materi Umum. Agama bukan sebagai pelajaran bermuatan kognitif tapi lebih ke pengelolaan akhlak lewat Character Building . Kedua,Sekolah berperan sebagai Agent of Change, mampu merubah kondisi awal siswa yang negatif menjadi positif. Cirinya sekolah ini tidak akan memakai perangkat serentetan tes masuk. Melainkan memakai Multiple Intelegence Research. Siapa saja diterima di sekolah ini, bukan hanya yang ‘dianggap’ bodoh dan nakal, tetapi juga yang dianggap memiliki keterbatasan fisik atau kemampuan otak seperti cacat fisik, CP, autis dsb.
Ketiga, Sekolah harus memiliki The Best Process dalam aktivitas kelas. Belajar dengan cara yang menyenangkan, 30% Teacher Talking Time, sisanya 70% siswa belajar dengan active learning. Learning Style = Teaching Style, hasilnya pelajaran jadi mudah dan menyenangkan. Jauhkan kesan kelas sebagai penjara terkejam, yang hanya mampu menghasilkan manusia bermental robot. Keempat, Sekolah memiliki the best teachers. Kelima,Terjadi Active Learning. Siswa belajar dengan aktif tidak hanya secara pasif mau tidak mau harus mendengar guru. Hasilnya siswa tidak hanya TAHU APA, tapi juga tahu BISA APA. Menggunakan pendekatan strategi mengajar Multiple Intelegence sesuai kerja otak siswa.
Keenam,Ada Applied Learning, sekolah mengaitkan materi belajar dengan kehidupan sehari-hari, sehingga siswa tidak hanya belajar konsep abstrak tapi juga pembelajaran langsung diaplikasikan pada kehidupan sehari-hari. Ketujuh, yang taka kalah pentingnya adalah Mengaplikasikan Pendekatan Multiple Intelegences dan penggunaan MIR, sebagai pemantik kreativitas anak, fasilitator tentang kebiasaan yang perlu dikembangkan ortu dan mempercepat anak menemukan kondisi akhir terbaik bagi dirinya. Dan Terakhir adalah Penilaian otentik diterapkan dalam setiap pengambilan nilai evaluasi hasil belajar. Ciri penilaian otentik adalah : Soal berkualitas dan bisa dikerjakan siswa,.Sifatnya Ability Test bukan Disability Test, Penilaian dapat digunakan untuk Discovering Ability, Kemampuan anak dinilai berdasar perkembangannya dari waktu ke waktu, dan tidak membandingkannya dengan siswa lain, serta Penilaian berbasis proses, bukan pada akhir pembelajaran seperta Ujian Akhir yang ada.
Peran Guru Dalam Multiple Intelegency
Dalam mindset lama, sering kita memahami bahwa seorang guru adalah segala-galanya bagi siswa. Tetapi dalam perkembangannya, mindset tersebut telah mengalami perubahan yang mendasar. Bukan guru sebagai pusat segala-galanya, tetapi siswalah yang berperan banyak dalam proses situ. Pada dasarnya seorang pendidik adalah seorang fasilitator. Maksudnya adalah ia hendaknya mampu membangun suasana belajar yang kondusif-variatif agar siswa mampu belajar-mandiri (self-directed learning).Ia juga hendaknya mampu menjadikan proses pembelajaran sebagai kegiatan eksplorasi diri dan lading kreatifitas untuk anak didiknya. Galileo menegaskan bahwa sebenarnya kita tidak dapat mengajarkan apapun, kita hanya dapat membantu peserta didik untuk menemukan dirinya dan mengaktualisasikan dirinya. Setiap pribadi manusia memiliki “self-hidden potential excellece” (mutiara talenta yang tersembunyi di dalam diri), tugas pendidikan yang sejati adalah membantu peserta didik untuk menemukan dan mengembangkannya seoptimal mungkin
Konsep ini sudah lama didengungkan dan dipraktikkan, namun hanya ”awalnya” yang ”hangat”. Setelah itu, kembali kepada paradigma lama, yaitu 80 persen waktu pembelajaran didominasi guru. Seharusnya, persentase proses siswa belajar harus lebih besar daripada persentase proses guru mengajar.
Selain berperan sebagai fasilitator, dalam pembelajaran berbasis Multiple Intelegency seorang guru harus berperan sebagai katalisator. Maksudnya adalah setiap guru harus terus berusaha menggali kemampuan siswa, termasuk bakatnya. Terutama kepada para siswa yang ”slow learn” dalam menerima dan memahami informasi. Bukan malah memihak kepada siswa yang ”pandai” saja.
Guru yang baik selalu berusaha menyesuaikan gaya mengajarnya dengan gaya belajar siswanya. Apabila proses teaching sytle dan learning style sesuai, akan muncul kondisi sebenarnya tidak ada pelajaran yang sulit dan semua siswa mampu menerima informasi dari guru.
Sebuah Penutup
Pada hakekatnya Pendidikan adalah untuk manusia, begitu juga sekolah adalah sekolahnya manusia.Jadi, lembaga pendidikan seharusnya mengantarkan kemauan atau cita-cita muridnya, bukan sebaliknya murid mengantarkan kemauan atau cita-cita sekolah.
Dan terakhir, Sekali lagi bahwa 'Multiple intelligences 'bukanlah kurikulum..'Multiple Intelligences' adalah strategi pembelajaran berupa rangkaian aktivitas belajar . Maksudnya adalah sekolah yang menerapkan 'multiple intelligences', bukanlah sekolah yang mengklaim : memiliki fasilitas olahraga untuk melatih kecerdasan kinestetik, atau memiliki fasilitas laboratorium untuk melatih kecerdasan logika dll, tetapi sekolah yang menggunakan pendekatan variatif dengan berbasis pada penyesuaian gaya belajar siswa.
Sebuah Pengantar
Perjalanan ke jogja terasa melelahkan ketika kami sampai di ambar ketawang untuk sarapan pagi. Perjalanan yang tadinya melelahkan terasa lenyap saat kami sampai di gedung tempat seminar. Rasa lelah,capek terasa sirna saat kami di sambut dengan dengan Band yang tidak lumrah. Kenapa saya katakana tidak lumrah, karena band yang di namai “Autis Band” dan yang di gawangi Kharisma dan teman-temannya kesemuanya adalah anak-anak yang notabane-nya adalah anaka-anak berkebutuhan khusus. Setelah itu kami juga di suguhi penampilan Andy Wibowo seorangtuna grahita yang sangat mahir menggambar dan melukis Dia juga bisa menggambar dengan dua tangan secara bersamaan berbeda obyek, Rizki bocah 10 tahun penderita autisme yang mempunyai daya ingat luar biasa dari mengingat pidato-pidato para tokoh negara sampai kalender. Dan terakhir saat pak munif chatif (penulis buku Sekolahnya manusia) berbicara dan memanggil muhamad amar dari SMAIT purwokerto untuk tampil di depan dan memamerkan karyanya.
”Akan saya buat sekolah kami sebagai surga bagi anak-anak berkebutuhan khusus.”Ucapan ini barangkali terasa berlebihan bagi telinga kita.Namun, begitulah adanya. Dengan semangat dan kreativitasnya, Drs Ciptono berhasil membuat Sekolah Luar Biasa yang dipimpinnya benar-benar menjadi luar biasa sebagaimana penampilan anak-anak saat seminar.
Pada hakekatnya, manusia di lahirkan ke muka bumi dengan di karunia kecerdasan yang beragam dari Alloh. Jika keberagaman itu, mendapat tempat yang adil akan jadi kekuatan yang dahsyat bagi manusia, untuk mengelola alam dan bumi ciptaan-Nya ini. Masalahnya, bagaimana cara tepat untuk mengelola keberagaman itu?.
Selama ini banyak murid yang mengalami ketidakfahaman bahkan mungkin kebingungan dalam mencerna dan menerima pelajaran serta tidak mampu mencerna materi yang diberikan oleh guru dengan baik.Tak jarang, mereka di beri label “Bodoh” kadang mereka juga dituduh “bermasalah”. Ternyata, dalam beberapa penelitian menunjukkan bahwa kegagalan siswa mencerna informasi dari gurunya disebabkan oleh ketidaksesuaian gaya mengajar guru dan gaya belajar siswa. Padahal, apabila gaya mengajar guru sesuai dengan gaya belajar siswa, semua pelajaran akan terasa sangat mudah dan menyenangkan.
Pemahaman multilple intelligence yang diperkenalkan oleh Howard Gardner, berhasil ditransformasikanoleh Munif chatib menjadi proses pembelajaran yang manusiawi dan aplikasi. Jika selama ini banyak sekolah yang seolah meraba-raba bagaimana mendidik anak dengan tepat sesuai dengan potensi dirinya. Inilah yang di sebut “Sekolahnya Manusia”
Sekolahnya Manusia
Saat ini banyak sekolah yang menggunakan dan terjebak dengan penggunaan istilah “Sekolah unggul” tujuannya satu yaitu untuk menarik minat konsumen pendidikan. Dalam pandangan seorang Munif Chatib istilah ”Sekolah unggul” diubah menjadi ”Sekolah manusia”. Maklumlah, kriteria unggul akan melahirkan banyak versi. Namun, istilah ”manusia” tentu semua orang sepakat. Segala sisi hakikat manusia harus terwakili dalam proses pendidikan manusia itu sendiri.
Dalam Proses pembelajaran di sekolah harus mengandung dan melibatkan kekuatan emosi positif. Mulai proses awal pembelajaran sampai akhir benar-benar menyentuh perasaan siswa. Ada 8 poin yang harus dimiliki sebuah sekolah untuk disebut Sekolahnya Manusia yaitu :
Pertama,Pendidikan di dalamnya mengintegrasi Jasmani dan Ruhani dengan Agama dan Akhlak, memiliki 60% muatan agama dalam koridor Character Building, yang masuk bersama-sama materi Umum. Agama bukan sebagai pelajaran bermuatan kognitif tapi lebih ke pengelolaan akhlak lewat Character Building . Kedua,Sekolah berperan sebagai Agent of Change, mampu merubah kondisi awal siswa yang negatif menjadi positif. Cirinya sekolah ini tidak akan memakai perangkat serentetan tes masuk. Melainkan memakai Multiple Intelegence Research. Siapa saja diterima di sekolah ini, bukan hanya yang ‘dianggap’ bodoh dan nakal, tetapi juga yang dianggap memiliki keterbatasan fisik atau kemampuan otak seperti cacat fisik, CP, autis dsb.
Ketiga, Sekolah harus memiliki The Best Process dalam aktivitas kelas. Belajar dengan cara yang menyenangkan, 30% Teacher Talking Time, sisanya 70% siswa belajar dengan active learning. Learning Style = Teaching Style, hasilnya pelajaran jadi mudah dan menyenangkan. Jauhkan kesan kelas sebagai penjara terkejam, yang hanya mampu menghasilkan manusia bermental robot. Keempat, Sekolah memiliki the best teachers. Kelima,Terjadi Active Learning. Siswa belajar dengan aktif tidak hanya secara pasif mau tidak mau harus mendengar guru. Hasilnya siswa tidak hanya TAHU APA, tapi juga tahu BISA APA. Menggunakan pendekatan strategi mengajar Multiple Intelegence sesuai kerja otak siswa.
Keenam,Ada Applied Learning, sekolah mengaitkan materi belajar dengan kehidupan sehari-hari, sehingga siswa tidak hanya belajar konsep abstrak tapi juga pembelajaran langsung diaplikasikan pada kehidupan sehari-hari. Ketujuh, yang taka kalah pentingnya adalah Mengaplikasikan Pendekatan Multiple Intelegences dan penggunaan MIR, sebagai pemantik kreativitas anak, fasilitator tentang kebiasaan yang perlu dikembangkan ortu dan mempercepat anak menemukan kondisi akhir terbaik bagi dirinya. Dan Terakhir adalah Penilaian otentik diterapkan dalam setiap pengambilan nilai evaluasi hasil belajar. Ciri penilaian otentik adalah : Soal berkualitas dan bisa dikerjakan siswa,.Sifatnya Ability Test bukan Disability Test, Penilaian dapat digunakan untuk Discovering Ability, Kemampuan anak dinilai berdasar perkembangannya dari waktu ke waktu, dan tidak membandingkannya dengan siswa lain, serta Penilaian berbasis proses, bukan pada akhir pembelajaran seperta Ujian Akhir yang ada.
Peran Guru Dalam Multiple Intelegency
Dalam mindset lama, sering kita memahami bahwa seorang guru adalah segala-galanya bagi siswa. Tetapi dalam perkembangannya, mindset tersebut telah mengalami perubahan yang mendasar. Bukan guru sebagai pusat segala-galanya, tetapi siswalah yang berperan banyak dalam proses situ. Pada dasarnya seorang pendidik adalah seorang fasilitator. Maksudnya adalah ia hendaknya mampu membangun suasana belajar yang kondusif-variatif agar siswa mampu belajar-mandiri (self-directed learning).Ia juga hendaknya mampu menjadikan proses pembelajaran sebagai kegiatan eksplorasi diri dan lading kreatifitas untuk anak didiknya. Galileo menegaskan bahwa sebenarnya kita tidak dapat mengajarkan apapun, kita hanya dapat membantu peserta didik untuk menemukan dirinya dan mengaktualisasikan dirinya. Setiap pribadi manusia memiliki “self-hidden potential excellece” (mutiara talenta yang tersembunyi di dalam diri), tugas pendidikan yang sejati adalah membantu peserta didik untuk menemukan dan mengembangkannya seoptimal mungkin
Konsep ini sudah lama didengungkan dan dipraktikkan, namun hanya ”awalnya” yang ”hangat”. Setelah itu, kembali kepada paradigma lama, yaitu 80 persen waktu pembelajaran didominasi guru. Seharusnya, persentase proses siswa belajar harus lebih besar daripada persentase proses guru mengajar.
Selain berperan sebagai fasilitator, dalam pembelajaran berbasis Multiple Intelegency seorang guru harus berperan sebagai katalisator. Maksudnya adalah setiap guru harus terus berusaha menggali kemampuan siswa, termasuk bakatnya. Terutama kepada para siswa yang ”slow learn” dalam menerima dan memahami informasi. Bukan malah memihak kepada siswa yang ”pandai” saja.
Guru yang baik selalu berusaha menyesuaikan gaya mengajarnya dengan gaya belajar siswanya. Apabila proses teaching sytle dan learning style sesuai, akan muncul kondisi sebenarnya tidak ada pelajaran yang sulit dan semua siswa mampu menerima informasi dari guru.
Sebuah Penutup
Pada hakekatnya Pendidikan adalah untuk manusia, begitu juga sekolah adalah sekolahnya manusia.Jadi, lembaga pendidikan seharusnya mengantarkan kemauan atau cita-cita muridnya, bukan sebaliknya murid mengantarkan kemauan atau cita-cita sekolah.
Dan terakhir, Sekali lagi bahwa 'Multiple intelligences 'bukanlah kurikulum..'Multiple Intelligences' adalah strategi pembelajaran berupa rangkaian aktivitas belajar . Maksudnya adalah sekolah yang menerapkan 'multiple intelligences', bukanlah sekolah yang mengklaim : memiliki fasilitas olahraga untuk melatih kecerdasan kinestetik, atau memiliki fasilitas laboratorium untuk melatih kecerdasan logika dll, tetapi sekolah yang menggunakan pendekatan variatif dengan berbasis pada penyesuaian gaya belajar siswa.
Minggu, 02 Mei 2010
kudeta mekkah
Kudeta Mekkah : Sejarah Yang Tak Terkuak
SINOPSIS BUKU
Pada 20 November 1979, sebuah peristiwa besar terjadi di Kota Suci Mekkah. Sekelompok orang bersenjata pimpinan Juhaiman al-Utaibi, seorang Islamis radikal, menguasai Masjid al-Haram. Mereka memprotes kebobrokan Pemerintah Arab Saudi dan aliansinya dengan Barat. Gejolak politik di tanah suci meledak. Lalu, baku tembak antara pengikut Juhaiman dengan tentara Arab Saudi pun tak terelakkan.
Mulanya, tentara Saudi dibuat keteteran oleh perlawanan Juhaiman dan pengikutnya. Tetapi akhirnya, dengan bantuan beberapa pimpinan militer Prancis, tentara Saudi berhasil melumpuhkan "pemberontakan" kelompok Islam radikal tersebut. Sebagai hukumannya, Juhaiman dan pengikutnya yang tertangkap hidup-hidup kemudian dipenggal kepalanya, eksekusi penggal kepala ini dilaksanakan di beberapa kota di Saudi sebagai peringatan bagi siapa pun yang berusaha makar terhadap pemerintah.
Merujuk fatwa para ulama berpengaruh, Pemerintah Saudi mendakwa mereka melakukan tindakan sesat: mendeklarasikan munculnya Imam Mahdi yang tewas dalam pertempuran itu sebagai penyelamat dunia; serta menguasai dan menjadikan Masjid al-Haram, tempat tersuci umat Muslim, sebagai medan pertempuran dan kekerasan, yang sangat jelas dilarang oleh agama.
Peristiwa itu menjadi bagian penting dari sejarah modern Kota Mekkah. Meski demikian, kebanyakan orang, terutama kaum Muslim, tak paham apa yang sejatinya terjadi saat itu. Maklum, ketika peristiwa itu berlangsung, Pemerintah Saudi melarang keras media massa meliput dan memberitakannya. Tak hanya itu, jaringan telepon, telegram, dan surat-menyurat pun diputus. Alhasil, tak ada celah bagi siapa pun untuk dapat mengakses peristiwa itu dari luar tempat kejadian.
Pada tahun 2006, dua puluh tahun kemudian, Yaroslav Trofimov berusaha menyusun kembali serpihan sejarah atas kejadian itu. Untuk menyibak detail peristiwa yang tak terkuak khalayak itu, Trofimov memburu sumber-sumber penting dan tepercaya, antara lain: pelaku ‘gerakan 1979’ yang masih hidup; Paul Barril, kepala misi pasukan Prancis saat itu; tentara Arab Saudi; Perpustakaan British, satu-satunya tempat di Eropa yang menyimpan pelbagai surat kabar Saudi tahun 1979; arsip Pemerintah AS dan Inggris yang berisi laporan rahasia dari para diplomat dan mata-mata; serta CIA dan British Foreign Office.
Para pengamat politik dan sejarawan menganggap kejadian itu sebagai insiden lokal semata dan karena itu tak bersangkut-paut dengan peristiwa internasional yang belakangan merebak: terorisme.
Tetapi penulis buku ini, Yaroslav Trofimov, berpendapat sebaliknya. Menurutnya, peristiwa itu merupakan akar sejarah gerakan terorisme global, terutama yang dimotori al-Qaeda. Siapa dan di mana Osama Bin Laden kala itu, sehingga petinggi al-Qaeda ini dihubung-kaitkan dengan peristiwa tersebut? Padahal ketika peristiwa itu terjadi, keluarga besar Bin Laden termasuk dalam barisan Pemerintah Kerajaan Arab Saudi yang mendukung penumpasan gerakan 1979.
YAROSLAV TROFIMOV adalah koresponden luar negeri The Wall Street Journal. Ia banyak melaporkan tulisannya ihwal agama dan perubahan sosial di wilayah negara Muslim, termasuk Indonesia. Sebelum hijrah ke Amerika Serikat untuk belajar jurnalisme dan ilmu politik di New York University, pria kelahiran Kiev, Ukraina, tahun 1969 ini menghabiskan masa kecilnya di Madagaskar, Afrika. Karyanya, Faith at War: A Journey on the Frontlines of Islam, from Baghdad to Timbuktu, termasuk salah satu buku terbaik versi The Washington Post.
Belum pernah ada tinjauan atas peristiwa 20 November 1979—tidak juga atas tragedi 11 September 2001—yang dilaporkan dengan kemampuan jurnalistik dan tutur sejarah, seperti yang ada dalam karya Yaroslav Trofimov ini. Pada awal abad ke-15 Hijriyah, sebuah kelompok bersenjata pimpinan seorang Islamis radikal bernama Juhaiman al-Utaibi menguasai Masjid al-Haram di Kota Suci Mekkah, salah satu tempat tersuci umat Islam. … Butuh waktu 30 tahun untuk bisa memahami peristiwa ini dalam konteksnya, dan Trofimov bekerja sangat baik dalam memaparkannya secara gamblang.—Kirkus Review
Trofimov merekam sebuah insiden yang tak terpublikasi di Barat: kekerasan dalam pengambil-alihan tempat tersuci umat Islam oleh kaum Muslim fundamentalis pada 1979. Trofimov begitu ahli dalam merangkai cerita sejarah, memadukan teologi mesianistik dengan kekerasan pada tempatnya, serta sangat berani dalam membongkar praktek korupsi yang sangat parah dari suatu negara dengan komplisitas institusi agama. Trofimov dengan tepat menunjukkan masalah-masalah regional yang akut, dengan reaksi abadi terhadap perang melawan teror… Pembaca awam akan sangat terbantu oleh buku ini, untuk memahami kaum fundamentalis Muslim dalam kaitannya dengan terorisme.—Publishers Weekly
Yaroslav Trofimov telah menulis karya yang sangat mengesankan. Diramu dengan begitu hidup, untuk detail-detail peristiwa yang tak tersingkap di masa lalu. Dia mengungkap krisis sandera yang sangat sedikit diketahui di jantung dunia Muslim…. Setelah mulai membaca buku ini, saya pun tak kuasa meletakkannya.
—Rajiv Chandrasekaran, asisten editor pada The Washingtong Post.
Ketika Yaroslav Trofimov memaparkan dengan begitu lengkap dan kuat, kebanyakan partikel radioaktif di dunia kini bukan lagi berada di Korea Utara, Iran, atau bahkan Amerika Serikat. Namun, ada kontradiksi lain yang lebih mengerikan, yakni kerajaan Arab Saudi. … dan dia mengingatkan kita bahwa segala sesuatu yang terjadi atau yang bakal terjadi di sana adalah sumber utama perhatian dunia.
—Tom Bissell, editor pada Virginia Quarterly Review.
Penelitian Trofimov mengenai pengambil-alihan Masjid al-Haram di Mekkah oleh kelompok militan Islam dimulai dengan mengetahui seluruh ancaman politik yang menakutkan. Penulis lalu menguji bagaimana aksi jihad global ini, yang diberitakan di Barat, menginspirasi generasi teroris hari ini. Trofimov, seorang reporter Wall Street Journal, memberi konteks melalui sebuah sejarah yang hidup mengenai akar dan bangkitnya ultra-fundamentalis Wahhabi, serta menghadirkan kembali pertempuran di masjid tersebut dengan begitu eksploratif, seolah menjadi pemandangan yang mengerikan. Kegemparan yang diciptakan secara berkala tersebut tidak mengurangi alasan Trofimov bahwa Osama bin Laden dan gerakannya adalah ideologi warisan kaum radikal Mekkah, tapi dengan sumber daya yang jauh lebih besar.
—Jen Itzenson, Portfolio Magazine
Saat Revolusi Iran tahun 1979 terbentang, orang-orang Saudi dibuat cemas dan malu oleh sebuah tragedi pengambil-alihan Masjid al-Haram di Mekkah pada tahun 1979. Serangan untuk merebut kembali tempat tersuci umat Islam tersebut menyeret pada suasana berdarah, menampakkan kecurangan dan ketidakcakapan pemerintah Saudi pada taraf yang sangat akut. Trofimov menjelaskan, bahwa tekanan yang begitu keras hampir saja menghilangkan sebuah babak dalam kisah teror Muslim radikal. sumber : http://www.bukukita.com
SINOPSIS BUKU
Pada 20 November 1979, sebuah peristiwa besar terjadi di Kota Suci Mekkah. Sekelompok orang bersenjata pimpinan Juhaiman al-Utaibi, seorang Islamis radikal, menguasai Masjid al-Haram. Mereka memprotes kebobrokan Pemerintah Arab Saudi dan aliansinya dengan Barat. Gejolak politik di tanah suci meledak. Lalu, baku tembak antara pengikut Juhaiman dengan tentara Arab Saudi pun tak terelakkan.
Mulanya, tentara Saudi dibuat keteteran oleh perlawanan Juhaiman dan pengikutnya. Tetapi akhirnya, dengan bantuan beberapa pimpinan militer Prancis, tentara Saudi berhasil melumpuhkan "pemberontakan" kelompok Islam radikal tersebut. Sebagai hukumannya, Juhaiman dan pengikutnya yang tertangkap hidup-hidup kemudian dipenggal kepalanya, eksekusi penggal kepala ini dilaksanakan di beberapa kota di Saudi sebagai peringatan bagi siapa pun yang berusaha makar terhadap pemerintah.
Merujuk fatwa para ulama berpengaruh, Pemerintah Saudi mendakwa mereka melakukan tindakan sesat: mendeklarasikan munculnya Imam Mahdi yang tewas dalam pertempuran itu sebagai penyelamat dunia; serta menguasai dan menjadikan Masjid al-Haram, tempat tersuci umat Muslim, sebagai medan pertempuran dan kekerasan, yang sangat jelas dilarang oleh agama.
Peristiwa itu menjadi bagian penting dari sejarah modern Kota Mekkah. Meski demikian, kebanyakan orang, terutama kaum Muslim, tak paham apa yang sejatinya terjadi saat itu. Maklum, ketika peristiwa itu berlangsung, Pemerintah Saudi melarang keras media massa meliput dan memberitakannya. Tak hanya itu, jaringan telepon, telegram, dan surat-menyurat pun diputus. Alhasil, tak ada celah bagi siapa pun untuk dapat mengakses peristiwa itu dari luar tempat kejadian.
Pada tahun 2006, dua puluh tahun kemudian, Yaroslav Trofimov berusaha menyusun kembali serpihan sejarah atas kejadian itu. Untuk menyibak detail peristiwa yang tak terkuak khalayak itu, Trofimov memburu sumber-sumber penting dan tepercaya, antara lain: pelaku ‘gerakan 1979’ yang masih hidup; Paul Barril, kepala misi pasukan Prancis saat itu; tentara Arab Saudi; Perpustakaan British, satu-satunya tempat di Eropa yang menyimpan pelbagai surat kabar Saudi tahun 1979; arsip Pemerintah AS dan Inggris yang berisi laporan rahasia dari para diplomat dan mata-mata; serta CIA dan British Foreign Office.
Para pengamat politik dan sejarawan menganggap kejadian itu sebagai insiden lokal semata dan karena itu tak bersangkut-paut dengan peristiwa internasional yang belakangan merebak: terorisme.
Tetapi penulis buku ini, Yaroslav Trofimov, berpendapat sebaliknya. Menurutnya, peristiwa itu merupakan akar sejarah gerakan terorisme global, terutama yang dimotori al-Qaeda. Siapa dan di mana Osama Bin Laden kala itu, sehingga petinggi al-Qaeda ini dihubung-kaitkan dengan peristiwa tersebut? Padahal ketika peristiwa itu terjadi, keluarga besar Bin Laden termasuk dalam barisan Pemerintah Kerajaan Arab Saudi yang mendukung penumpasan gerakan 1979.
YAROSLAV TROFIMOV adalah koresponden luar negeri The Wall Street Journal. Ia banyak melaporkan tulisannya ihwal agama dan perubahan sosial di wilayah negara Muslim, termasuk Indonesia. Sebelum hijrah ke Amerika Serikat untuk belajar jurnalisme dan ilmu politik di New York University, pria kelahiran Kiev, Ukraina, tahun 1969 ini menghabiskan masa kecilnya di Madagaskar, Afrika. Karyanya, Faith at War: A Journey on the Frontlines of Islam, from Baghdad to Timbuktu, termasuk salah satu buku terbaik versi The Washington Post.
Belum pernah ada tinjauan atas peristiwa 20 November 1979—tidak juga atas tragedi 11 September 2001—yang dilaporkan dengan kemampuan jurnalistik dan tutur sejarah, seperti yang ada dalam karya Yaroslav Trofimov ini. Pada awal abad ke-15 Hijriyah, sebuah kelompok bersenjata pimpinan seorang Islamis radikal bernama Juhaiman al-Utaibi menguasai Masjid al-Haram di Kota Suci Mekkah, salah satu tempat tersuci umat Islam. … Butuh waktu 30 tahun untuk bisa memahami peristiwa ini dalam konteksnya, dan Trofimov bekerja sangat baik dalam memaparkannya secara gamblang.—Kirkus Review
Trofimov merekam sebuah insiden yang tak terpublikasi di Barat: kekerasan dalam pengambil-alihan tempat tersuci umat Islam oleh kaum Muslim fundamentalis pada 1979. Trofimov begitu ahli dalam merangkai cerita sejarah, memadukan teologi mesianistik dengan kekerasan pada tempatnya, serta sangat berani dalam membongkar praktek korupsi yang sangat parah dari suatu negara dengan komplisitas institusi agama. Trofimov dengan tepat menunjukkan masalah-masalah regional yang akut, dengan reaksi abadi terhadap perang melawan teror… Pembaca awam akan sangat terbantu oleh buku ini, untuk memahami kaum fundamentalis Muslim dalam kaitannya dengan terorisme.—Publishers Weekly
Yaroslav Trofimov telah menulis karya yang sangat mengesankan. Diramu dengan begitu hidup, untuk detail-detail peristiwa yang tak tersingkap di masa lalu. Dia mengungkap krisis sandera yang sangat sedikit diketahui di jantung dunia Muslim…. Setelah mulai membaca buku ini, saya pun tak kuasa meletakkannya.
—Rajiv Chandrasekaran, asisten editor pada The Washingtong Post.
Ketika Yaroslav Trofimov memaparkan dengan begitu lengkap dan kuat, kebanyakan partikel radioaktif di dunia kini bukan lagi berada di Korea Utara, Iran, atau bahkan Amerika Serikat. Namun, ada kontradiksi lain yang lebih mengerikan, yakni kerajaan Arab Saudi. … dan dia mengingatkan kita bahwa segala sesuatu yang terjadi atau yang bakal terjadi di sana adalah sumber utama perhatian dunia.
—Tom Bissell, editor pada Virginia Quarterly Review.
Penelitian Trofimov mengenai pengambil-alihan Masjid al-Haram di Mekkah oleh kelompok militan Islam dimulai dengan mengetahui seluruh ancaman politik yang menakutkan. Penulis lalu menguji bagaimana aksi jihad global ini, yang diberitakan di Barat, menginspirasi generasi teroris hari ini. Trofimov, seorang reporter Wall Street Journal, memberi konteks melalui sebuah sejarah yang hidup mengenai akar dan bangkitnya ultra-fundamentalis Wahhabi, serta menghadirkan kembali pertempuran di masjid tersebut dengan begitu eksploratif, seolah menjadi pemandangan yang mengerikan. Kegemparan yang diciptakan secara berkala tersebut tidak mengurangi alasan Trofimov bahwa Osama bin Laden dan gerakannya adalah ideologi warisan kaum radikal Mekkah, tapi dengan sumber daya yang jauh lebih besar.
—Jen Itzenson, Portfolio Magazine
Saat Revolusi Iran tahun 1979 terbentang, orang-orang Saudi dibuat cemas dan malu oleh sebuah tragedi pengambil-alihan Masjid al-Haram di Mekkah pada tahun 1979. Serangan untuk merebut kembali tempat tersuci umat Islam tersebut menyeret pada suasana berdarah, menampakkan kecurangan dan ketidakcakapan pemerintah Saudi pada taraf yang sangat akut. Trofimov menjelaskan, bahwa tekanan yang begitu keras hampir saja menghilangkan sebuah babak dalam kisah teror Muslim radikal. sumber : http://www.bukukita.com
pendidikan carakter
"Pendidikan Berbasis Carakter"
Fenomena Sosial
Akhir-akhir ini kita sering menyaksikan tayangan berita di televisi atau membaca dalam surat kabar, perihal fenomena kekerasan yang terjadi di dalam masyarakat. Hal tersebut tentunya sangat memprihatinkan kita karena warisan budaya nenek moyang kita adalah budaya yang mengedepankan etika, sopan santun dan saling menghargai. Sungguh tak pernah terbayangkan, berbagai fenomena kekerasan muncul di mana-mana. Bahkan kita layak prihatin terhadap perjalanan bangsa ke depan. Kasus markus di perpajakan yang melibatkan para pejabat tinggi Negara dari berbagai instansi membuka mata kita bersama. Dugaan korupsi dari para pejabat yang merugikan Negara milyaran rupiah bahkan trilyun rupiah semakin memprihatinkan kebobrokan mentalitas pejabat-pejabat kita.
Budaya kekerasan seringkali kita lihat belakangan ini. Salah satu yang membuat bangsa kita diklaim sedang kehilangan karakter adalah terjadinya kerusuhan yang melanda Koja Tanjung Priok. Terjadi tontonan yang menonjol kekerasan antara masyarakat di sekitar Koja Tanjung Priok dengan ratusan aparat Satpol PP dan amuk ribuan masa PT Drydock world. Memang selama ini bentrok antara warga negara dengan aparat pemerintah, apakah satpol PP, TNI, Polri sudah seringkali terjadi. Salah satu faktor penyebab adalah persoalan ekonomi. Masyarakat mengklaim sangat sulit untuk mencari makan. Maka berjualan di tempat umum pun menjadi pilihan. Dapat kita bayangkan apa yang terjadi, yang terjadi adalah kemacetan dan ketidakaturan. Hanya saja jika kita mau jujur, apakah masyarakat mau berjualan di tempat itu kalau memang ada tempat yang lebih baik?
Prof Aan hasanah mensinyalir,Sepertinya karakter masyarakat Indonesia yang santun dalam berperilaku, musyawarah mufakat dalam menyelesaikan masalah,, toleransi dan gotong .royong, telah berubah wujud menjadi hegemoni kelompok-kelompok baru yang saling mengalahkan. Apakah pendidikan telah kehilangan sebagian fungsi utamanya? Berkaca pada kondisi ini, sudah sepantasnya jika kita bertanya secara kritis, inikah hasil dari proses pendidikan yang seharusnya menjadi alat transformasi nilai-nilai luhur peradaban? Jangan-jangan pendidikan telah menjadi alat yang secara mekanik hanya menciptakan anak didik yang pintar menguasai bahan ajar untuk sekedar lulus ujian nasional. Kalau betul begitu, pendidikan sedang memperlihatkan sisi gelapnya.
Padahal, pendidikan merupakan proses yang paling bertanggung jawab dalam melahirkan warga negara indonesia yang memiliki karakter kuat sebagai modal dalam membangun peradaban tinggi dan unggul. Karakter bangsa yang kuat merupakan produk dari pendidikan yang bagus dan mengembangkan karakter. Ketika mayoritas karakter masyarakat kuat, positif, tangguh peradaban yang tinggi dapat dibangun dengan baik dan sukses. Sebaliknya, jika mayoritas karakter masyarakat negatif, karakter negatif dan lemah mengakibatkan peradaban yang dibangun pun menjadi lemah sebab peradaban tersebut dibangun dalam fondasi yang amat lemah.
Kenapa Pendidikan?
Pendidikan merupakan hal terpenting membentuk kepribadian. Pendidikan itu tidak selalu berasal dari pendidikan formal seperti sekolah atau perguruan tinggi. Pendidikan informal dan non formal pun memiliki peran yang sama untuk membentuk kepribadian, terutama anak atau peserta didik. Dalam UU Sisdiknas No.20 tahun 2003 kita dapat melihat ketiga perbedaan model lembaga pendidikan tersebut.
Menurut Prof Suyanto Memperhatikan ketiga jenis pendidikan di atas, ada kecenderungan bahwa pendidikan formal, pendidikan informal dan pendidikan non formal yang selama ini berjalan terpisah satu dengan yang lainnya. Mereka tidak saling mendukung untuk peningkatan pembentukan kepribadian peserta didik. Setiap lembaga pendidikan tersebut berjalan masing-masing sehingga yang terjadi sekarang adalah pembentukan pribadi peserta didik menjadi parsial, misalnya anak bersikap baik di rumah, namun ketika keluar rumah atau berada di sekolah ia melakukan perkelahian antarpelajar, memiliki ‘ketertarikan’ bergaul dengan WTS atau melakukan perampokan. Sikap-sikap seperti ini merupakan bagian dari penyimpangan moralitas dan perilaku sosial pelajar
Oleh karena itu, ke depan dalam rangka membangun dan melakukan penguatan peserta didik perlu menyinergiskan ketiga komponen lembaga pendidikan. Upaya yang dapat dilakukan salah satunya adalah pendidik dan orangtua berkumpul bersama mencoba memahami gejala-gejala anak pada fase negatif, ada rasa kegelisahan, ada pertentangan sial, ada kepekaan emosiaonal, kurang percaya diri, mulai timbul minat pada lawan jenis, adanya perasaan malu yang berlebihan, dan kesukaan berkhayal. Dengan mempelajari gejala-gejala negatif yang dimiliki anak remaja pada umumnya, orangtua dan pendidik akan dapat menyadari dan melakukan upaya perbaikan perlakuan sikap terhadap anak dalam proses pendidikan.
Revitalisasi pendidikan carakter
Mengapa Pendidikan karakter begitu penting? Menurut Badjoeri Widagdo Kepentingan nasional Indonesia merupakan kepentingan bangsa dan negara dalam mewujudkan cita-cita dan tujuan nasional Indonesia yang di dalamnya mencakup usaha mencerdaskan kehidupan bangsa. Implementasinya apa? Rumusan mencerdasakan kehidupan bangsa itu memiliki 2 (dua) arti penting yaitu membangun manusia Indonesia yang cerdas dan berbudaya. Pengertian cerdas harus dimaknai, bukan saja sebagai kemampuan dan kapasitas untuk menguasai ilmu pengetahuan dan kapasitas untuk menguasai ilmu pengetahuan, seni dan teknologi yang manusiawi, tetapi cerdas emosional artinya memiliki kecerdasan emosional yang dengan bahasa umum disebut sebagai berkarakter mulia atau berbudi luhur, berakhlak mulia. Sedangkan berbudaya memiliki makna sebagai kemampuan dan kapasitas untuk menangkap dan mengembangkan nilai-nilai moral dan kemanusiaan yang beradab dalam sikap dan tindakan berbangsa dan bernegara
Arti penting dari pendidikan karakter. Mengoptimalkan muatan-muatan karakter baik dan kuat (sifat, sikap, dan perilaku budi luhur, akhlak mulia) yang menjadi pegangan kuat dan modal dasar pengembangan individu dan bangsa nantinya. Dunia barat pun sudah sejak lama menyadari betapa ilmu pengetahuan tanpa karakter menjadi tidak berarti. Daniel Goleman dalam bukunya Emotional Inteligence menyatakan betapa kepribadian manusia mendominasi 80 persen dari kehidupan seseorang, dibanding dengan 20 persen kecerdasan otaknya semata-mata. Para teknokrat di dunia barat sudah sadar bahwa betapa pun sebuah kemajuan dicapai, dapat menjadi perusak bila tidak dibekali dengan perimbangan karakter yang di dalamnya menggabungkan kaidah-kaidah etika, moral dan agama. Karena itu, pendidikan yang sekarang ini dijalankan oleh bangsa Indonesia, harus dapat memberikan andil dalam pembentukan karakter bangsa, akan lebih mudah jika pembelajaran karakter itu direvitalisasi melalui agama.
Untuk itu sudah saatnya dilakukan perubahan mendasar dalam dunia pendidikan. Bagaimana membuat bangunan pendidikan yang didalamnya ditanamkan karakter bangsa dan masyarakat yang membangun. Artinya budaya kekerasan jangan lagi menonjol dan kalau bisa dibabat habis. Dialog yang mengedepankan etika dan saling menghargai sudah saatnya ditanamkan melalui pendidikan. Jika tidak budaya barbarisme yang lebih besar dari masalah tanjung priok bisa terjadi
Di samping itu menurut Prof Didin hafidhuddin perbaikan sistem pendidikan secara totalitas merupakan sebuah kebutuhan sekaligus keniscayaan. Praktik pendidikan, baik dalam proses pembelajaran maupun evaluasi yang hanya mengedepankan aspek kognitif harus segera di perbaharui kea rah yang lebih menyatukan dengan aspek afektif (sikap) dan aspek psikomotorik(ketrampilan beramal saleh). Demikian integrasi nilai agama pada seluruh batang tubuh dan materi pelajaran harus segera di wujudkan. Tidak ada pemisahan antara pendidikan agama pada satu sisi dengan pendidikan umum pada sisi lainnya meskipun materi ajarnya dapat di bedakan dan di pisahkan.
Ke depan, kita berharap bahwa pemerintah mampu mengembalikan fungsi pendidikan tidak untuk membangun kecerdasan intelektual saja, tetapi juga untuk menjadikan manusia Indonesia yang berkarakter mulia dan menjadikan pendidikan karakter sebagai salah satu prioritas utama dalam pembangunan bangsa. Untuk merevitalisasi pendidikan karakter bangsa itu, idealnya substansi karakter dan jati diri bangsa termuat dalam UU Diknas.
Dan tentu kita sepakat dengan character education quality standards yang merekomendasikan bahwa pendidikan akan secara efektif mengembangkan karakter anak didik ketika nilai-nilai dasar etika dijadikan sebagai basis pendidikan, menggunakan pendekatan yang tajam, proaktif dan efektif dalam membangun dan mengembangkan karakter anak didik serta menciptakan komunitas yang peduli, baik di keluarga, sekolah maupun masyarakat sebagai komunitas moral yang berbagi panggung jawab untuk pendidikan yang mengembangkan karakter dan setia dan konsisten kepada nilai dasar yang diusung bersama-sama
Dan terakhir,Mari kita jadikan rumah tangga dan sekolah sebagai -school of love-mendidik dengan kasih sayang karena sesungguhnya anak adalah amanah. Orangtua dan guru dengan penuh tanggungjawab bekerjasama mengarahkan anak menuju kehidupan yang lebih baik. Selamat hari pendidikan Nasional, bangkitlah Pendidikan Indonesia…!
Fenomena Sosial
Akhir-akhir ini kita sering menyaksikan tayangan berita di televisi atau membaca dalam surat kabar, perihal fenomena kekerasan yang terjadi di dalam masyarakat. Hal tersebut tentunya sangat memprihatinkan kita karena warisan budaya nenek moyang kita adalah budaya yang mengedepankan etika, sopan santun dan saling menghargai. Sungguh tak pernah terbayangkan, berbagai fenomena kekerasan muncul di mana-mana. Bahkan kita layak prihatin terhadap perjalanan bangsa ke depan. Kasus markus di perpajakan yang melibatkan para pejabat tinggi Negara dari berbagai instansi membuka mata kita bersama. Dugaan korupsi dari para pejabat yang merugikan Negara milyaran rupiah bahkan trilyun rupiah semakin memprihatinkan kebobrokan mentalitas pejabat-pejabat kita.
Budaya kekerasan seringkali kita lihat belakangan ini. Salah satu yang membuat bangsa kita diklaim sedang kehilangan karakter adalah terjadinya kerusuhan yang melanda Koja Tanjung Priok. Terjadi tontonan yang menonjol kekerasan antara masyarakat di sekitar Koja Tanjung Priok dengan ratusan aparat Satpol PP dan amuk ribuan masa PT Drydock world. Memang selama ini bentrok antara warga negara dengan aparat pemerintah, apakah satpol PP, TNI, Polri sudah seringkali terjadi. Salah satu faktor penyebab adalah persoalan ekonomi. Masyarakat mengklaim sangat sulit untuk mencari makan. Maka berjualan di tempat umum pun menjadi pilihan. Dapat kita bayangkan apa yang terjadi, yang terjadi adalah kemacetan dan ketidakaturan. Hanya saja jika kita mau jujur, apakah masyarakat mau berjualan di tempat itu kalau memang ada tempat yang lebih baik?
Prof Aan hasanah mensinyalir,Sepertinya karakter masyarakat Indonesia yang santun dalam berperilaku, musyawarah mufakat dalam menyelesaikan masalah,, toleransi dan gotong .royong, telah berubah wujud menjadi hegemoni kelompok-kelompok baru yang saling mengalahkan. Apakah pendidikan telah kehilangan sebagian fungsi utamanya? Berkaca pada kondisi ini, sudah sepantasnya jika kita bertanya secara kritis, inikah hasil dari proses pendidikan yang seharusnya menjadi alat transformasi nilai-nilai luhur peradaban? Jangan-jangan pendidikan telah menjadi alat yang secara mekanik hanya menciptakan anak didik yang pintar menguasai bahan ajar untuk sekedar lulus ujian nasional. Kalau betul begitu, pendidikan sedang memperlihatkan sisi gelapnya.
Padahal, pendidikan merupakan proses yang paling bertanggung jawab dalam melahirkan warga negara indonesia yang memiliki karakter kuat sebagai modal dalam membangun peradaban tinggi dan unggul. Karakter bangsa yang kuat merupakan produk dari pendidikan yang bagus dan mengembangkan karakter. Ketika mayoritas karakter masyarakat kuat, positif, tangguh peradaban yang tinggi dapat dibangun dengan baik dan sukses. Sebaliknya, jika mayoritas karakter masyarakat negatif, karakter negatif dan lemah mengakibatkan peradaban yang dibangun pun menjadi lemah sebab peradaban tersebut dibangun dalam fondasi yang amat lemah.
Kenapa Pendidikan?
Pendidikan merupakan hal terpenting membentuk kepribadian. Pendidikan itu tidak selalu berasal dari pendidikan formal seperti sekolah atau perguruan tinggi. Pendidikan informal dan non formal pun memiliki peran yang sama untuk membentuk kepribadian, terutama anak atau peserta didik. Dalam UU Sisdiknas No.20 tahun 2003 kita dapat melihat ketiga perbedaan model lembaga pendidikan tersebut.
Menurut Prof Suyanto Memperhatikan ketiga jenis pendidikan di atas, ada kecenderungan bahwa pendidikan formal, pendidikan informal dan pendidikan non formal yang selama ini berjalan terpisah satu dengan yang lainnya. Mereka tidak saling mendukung untuk peningkatan pembentukan kepribadian peserta didik. Setiap lembaga pendidikan tersebut berjalan masing-masing sehingga yang terjadi sekarang adalah pembentukan pribadi peserta didik menjadi parsial, misalnya anak bersikap baik di rumah, namun ketika keluar rumah atau berada di sekolah ia melakukan perkelahian antarpelajar, memiliki ‘ketertarikan’ bergaul dengan WTS atau melakukan perampokan. Sikap-sikap seperti ini merupakan bagian dari penyimpangan moralitas dan perilaku sosial pelajar
Oleh karena itu, ke depan dalam rangka membangun dan melakukan penguatan peserta didik perlu menyinergiskan ketiga komponen lembaga pendidikan. Upaya yang dapat dilakukan salah satunya adalah pendidik dan orangtua berkumpul bersama mencoba memahami gejala-gejala anak pada fase negatif, ada rasa kegelisahan, ada pertentangan sial, ada kepekaan emosiaonal, kurang percaya diri, mulai timbul minat pada lawan jenis, adanya perasaan malu yang berlebihan, dan kesukaan berkhayal. Dengan mempelajari gejala-gejala negatif yang dimiliki anak remaja pada umumnya, orangtua dan pendidik akan dapat menyadari dan melakukan upaya perbaikan perlakuan sikap terhadap anak dalam proses pendidikan.
Revitalisasi pendidikan carakter
Mengapa Pendidikan karakter begitu penting? Menurut Badjoeri Widagdo Kepentingan nasional Indonesia merupakan kepentingan bangsa dan negara dalam mewujudkan cita-cita dan tujuan nasional Indonesia yang di dalamnya mencakup usaha mencerdaskan kehidupan bangsa. Implementasinya apa? Rumusan mencerdasakan kehidupan bangsa itu memiliki 2 (dua) arti penting yaitu membangun manusia Indonesia yang cerdas dan berbudaya. Pengertian cerdas harus dimaknai, bukan saja sebagai kemampuan dan kapasitas untuk menguasai ilmu pengetahuan dan kapasitas untuk menguasai ilmu pengetahuan, seni dan teknologi yang manusiawi, tetapi cerdas emosional artinya memiliki kecerdasan emosional yang dengan bahasa umum disebut sebagai berkarakter mulia atau berbudi luhur, berakhlak mulia. Sedangkan berbudaya memiliki makna sebagai kemampuan dan kapasitas untuk menangkap dan mengembangkan nilai-nilai moral dan kemanusiaan yang beradab dalam sikap dan tindakan berbangsa dan bernegara
Arti penting dari pendidikan karakter. Mengoptimalkan muatan-muatan karakter baik dan kuat (sifat, sikap, dan perilaku budi luhur, akhlak mulia) yang menjadi pegangan kuat dan modal dasar pengembangan individu dan bangsa nantinya. Dunia barat pun sudah sejak lama menyadari betapa ilmu pengetahuan tanpa karakter menjadi tidak berarti. Daniel Goleman dalam bukunya Emotional Inteligence menyatakan betapa kepribadian manusia mendominasi 80 persen dari kehidupan seseorang, dibanding dengan 20 persen kecerdasan otaknya semata-mata. Para teknokrat di dunia barat sudah sadar bahwa betapa pun sebuah kemajuan dicapai, dapat menjadi perusak bila tidak dibekali dengan perimbangan karakter yang di dalamnya menggabungkan kaidah-kaidah etika, moral dan agama. Karena itu, pendidikan yang sekarang ini dijalankan oleh bangsa Indonesia, harus dapat memberikan andil dalam pembentukan karakter bangsa, akan lebih mudah jika pembelajaran karakter itu direvitalisasi melalui agama.
Untuk itu sudah saatnya dilakukan perubahan mendasar dalam dunia pendidikan. Bagaimana membuat bangunan pendidikan yang didalamnya ditanamkan karakter bangsa dan masyarakat yang membangun. Artinya budaya kekerasan jangan lagi menonjol dan kalau bisa dibabat habis. Dialog yang mengedepankan etika dan saling menghargai sudah saatnya ditanamkan melalui pendidikan. Jika tidak budaya barbarisme yang lebih besar dari masalah tanjung priok bisa terjadi
Di samping itu menurut Prof Didin hafidhuddin perbaikan sistem pendidikan secara totalitas merupakan sebuah kebutuhan sekaligus keniscayaan. Praktik pendidikan, baik dalam proses pembelajaran maupun evaluasi yang hanya mengedepankan aspek kognitif harus segera di perbaharui kea rah yang lebih menyatukan dengan aspek afektif (sikap) dan aspek psikomotorik(ketrampilan beramal saleh). Demikian integrasi nilai agama pada seluruh batang tubuh dan materi pelajaran harus segera di wujudkan. Tidak ada pemisahan antara pendidikan agama pada satu sisi dengan pendidikan umum pada sisi lainnya meskipun materi ajarnya dapat di bedakan dan di pisahkan.
Ke depan, kita berharap bahwa pemerintah mampu mengembalikan fungsi pendidikan tidak untuk membangun kecerdasan intelektual saja, tetapi juga untuk menjadikan manusia Indonesia yang berkarakter mulia dan menjadikan pendidikan karakter sebagai salah satu prioritas utama dalam pembangunan bangsa. Untuk merevitalisasi pendidikan karakter bangsa itu, idealnya substansi karakter dan jati diri bangsa termuat dalam UU Diknas.
Dan tentu kita sepakat dengan character education quality standards yang merekomendasikan bahwa pendidikan akan secara efektif mengembangkan karakter anak didik ketika nilai-nilai dasar etika dijadikan sebagai basis pendidikan, menggunakan pendekatan yang tajam, proaktif dan efektif dalam membangun dan mengembangkan karakter anak didik serta menciptakan komunitas yang peduli, baik di keluarga, sekolah maupun masyarakat sebagai komunitas moral yang berbagi panggung jawab untuk pendidikan yang mengembangkan karakter dan setia dan konsisten kepada nilai dasar yang diusung bersama-sama
Dan terakhir,Mari kita jadikan rumah tangga dan sekolah sebagai -school of love-mendidik dengan kasih sayang karena sesungguhnya anak adalah amanah. Orangtua dan guru dengan penuh tanggungjawab bekerjasama mengarahkan anak menuju kehidupan yang lebih baik. Selamat hari pendidikan Nasional, bangkitlah Pendidikan Indonesia…!
Kamis, 22 April 2010
Pildacil
“Pembunuhan Karakter itu bernama Pildacil ?”
(Perspektif analisis-subjektif)
Membangun Orientasi hidup: persfektif Al Qur’an
Dalam beberapa bulan yang lalu sebuah majalah Islam menerjunkan tajuk yang cukup mengusik hati saya. Tajuk yang ditulis oleh Mohamad Fauzil Adhim yang membuat hati saya resah dan gelisah. Resah karena menyangkut masa depan anak-anak kita. Gelisah karena ini realitas. Dalam tajuk tersebut beliau menyitir kalimat seorang ustadz yang bertindak sebagai juri dalam sebuah kontes yang konon mencari bibit-bibit unggulan Dai muda. Kata seorang juri dalam kontestan tersebut: “Kamu terbaik saat ini. Ini yang di inginkan juri. Beberapa tahun ke depan, rumah dan mobil kamu akan mewah. Kamu juga akan membangun Masjid”. “FANTASTIS”, sebuah nasehat yang membuat miris, sehingga tak hanya cukup dijawab dengan tangis. Anehnya justru para orang tua malah berbangga dengan itu semua. “Nasehat” Ini seharusnya membuat hati orang tua ngeri membayangkan masa depan anak-anaknya. Kecuali jika pertanyaan yang menguasai benak kita tentang anak-anak adalah apa yang akan mereka makan sesudah kita tiada, bukan apa yang mereka sembah, sehingga apa pun yang mereka kerjakan hanya untuk Robbul ‘alaamien. Bukankah setiap hari dalam sholat kita selalu mengajarkan kepada anak kita ayat Al Qu’an : “Sesungguhnya sholat, ibadah, hidup dan matiku hanyalah untuk Alloh, Tuhan semesta Alam, tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang di perintahkan kepadaku dan aku adalah orang pertama-tama menyerahkan diri ( kepada Alloh)”(Qs Al An’am: 162-163)
Inilah orientasi hidup yang harus kita hujamkan ke dada anak-anak kita. Kita hujamkan keinginan menolong agama Alloh ke dalam hati dan sanubari mereka sejak dini dengan sekuat-kuatnya. Semoga dengan itu ia menjadi orang yang ikhlas dalam memberikan hartanya, hidupnya dan dirinya bagi agama Alloh. Sesungguhnya amal itu tergantung dari niat. Jika anak-anak itu kelak menyembah Alloh karena mengharap dunia, mereka tidak akan memperoleh akhirat. Sedangkan dunia belum tentu ia mendapatkan.
Adapun jika mereka membaktikan sholat, ibadah, hidup dan matinya untuk Alloh semata, sesungguhnya Alloh Maha Pemurah Lagi Maha Penyayang. Insyaalloh mereka akan mampu menggenggam dunia dengan tangan kanannya, sedangkan di akherat menanti syurga yang penuh berkah dan mengalir sungai yang sejuk.
Kuatnya orientasi hidup inilah yang harus menjadi perhatian kita, orang tua dan para pendidik di sekolah. Bahkan seandainya yang kita inginkan dari mereka adalah kesuksesan karir di dunia ini, kita harus menanamkan pada anak kita orientasi yang kuat dan bersifat transenden. Bahkan kata seorang Psikolog W.Huitt menunjukkan bahwa seorang yang “Brilliant Star” (Bintang Brilian)- istilah Huitt tentang mereka yang memiliki prestasi yang luar biasa melebihi orang-orang sukses pada umumnya- biasanya memiliki ciri spiritual yang khas yaitu Disciple dan devout. Disciple berarti ia sangat percaya pada gagasan atau ajaran seorang pemimpin besar atau guru spiritual. Sedangkan Devout menunjukkan ketaatan yang sangat kuat.
Kunci pokok untuk menghantarkan anak meraih sukses adalah membentuk jiwanya, membangun motivasinya, membakar semangatnya dan mengarahkan orientasi hidupnya yang berbasis pada ikatan Transenden semenjak dini. Kita bakar semangatnya untuk bersungguh-sungguh melakukan yang terbaik demi sebuah idialisme yang buahnya ada di syurga.
Masih menurut riset W.Huitt, seorang “Brilliant Star” juga memiliki ciri sosial yang Transenden. Apapun yang ia lakukan dalam masyarakat adalah dalam rangka mewujudkan perintah Alloh di muka bumi dan menjadi pelayan yang rendah hati bagi umat manusia. Ia berbuat banyak, bahkan melampaui yang bisa dilakukan orang lain. Ia banyak memberi manfaat, tetapi merasa selalu apa yang ia lakukan belum cukup untuk mensyukuri nikmat Alloh Azza Wajalla.
Paradog PILDACIL; Antara bisnis dan mencetak kader umat
Untuk selanjutnya terlebih dahulu kita paparkan sedikit tentang tahap-tahap perkembangan anak untuk mengupas fenomena Pildacil. Pada masa kanak-kanak, motivasi masih dalam proses perkembangan. Fase pembentukan yang paling penting berada pada rentang usia 0-8 tahun. Selanjutnya usia 9-12 tahun merupakan fase penguatan. Secara umum, anak-anak mencapai kemapanan motivasi pada usia 12 tahun. Artinya, pada usia ini motivasi anak cenderung stabil, meskipun ada kemungkinan berubah. Jika pada usia-usia sebelumnya orang tua dan guru terus-menerus membangun motivasi intrinsik.
Alfie Kohn, seorang Psikolag, menyatakan alasan mendasar mengapa tidak boleh ada lomba yang bersifat kompetisi bagi anak-anak. Alih-alih merangsang motivasi berprestasi, anak-anak justru kehilangan dorongan untuk melakukan hal terbaik secara sungguh-sungguh. Dalam jangka panjang, anak justru kehilangan motivasi berprestasi dan semangat bersaing yang produktif.
Nah, apakah yang di tawarkan dari program Pildacil di salah satu stasiun TV swasta itu? Anak-anak dilatih menirukan ceramah-ceramah -bukan mengekpresikan gagasan atau ide secara ilmiah-untuk meraih mimpi-mimpi tentang uang yang berlimpah, umroh gratis bahkan sekaligus ambisi punya rumah mewah. Akan kita bawa kemana anak-anak kita jika di usianya yang masih belia, sudah sibuk mendakwahkan agama untuk meraih dunia? pada hal, hari ini mereka seharusnya membangun motivasi yang kuat, budaya belajar yang kokoh, integritas yang tinggi, dan visi besar yang bernilai spiritual.
Di luar itu semua, ada beberapa hal yang sangat memprihatinkan bagi perkembangan anak kita dimasa mendatang, terutama jika mengingat bahwa tidak mungkin mereka bisa tampil di Pildacil kecuali karena ada potensi besar pada diri mereka.
Jika melihat cara mereka berbicara dan sorot matanya saat tampil, tampak betul bahwa mereka bukan mengekpresikan gagasan atau ide. Tetapi mereka sedang belajar mengambil jalan pintas. Mereka menjadi kaset yang diputar ulang. Materi ceramah dan gaya bicara, tidak sedikit yang menunjukkan bahwa bukan diri mereka yang tampil. Yang tampil adalah sosok imitasi Aa Gym, Zainudin, sosok Ustad Jefri dll, bukan diri mereka yang sesungguhnya. Barang kali tidak disadari, cara seperti ini merupakan
“Pembunuhan Karakter positif anak”
Di saat anak harus belajar beramal dengan ikhlas dan gigih berusaha, mereka melihat kenyataan bahwa yang membuat mereka hebat bukan usaha keras mereka untuk berbicara sebaik-baiknya, tetapi seberapa banyak SMS yang masuk untuknya. Di banyak tempat pembunuhan karakter berikutnya terjadi; dari orang tua, pejabat pemerintah hingga pemuka agama yang tidak visioner berlomba mengeluarkan dana sekaligus menyeru untuk berkirim SMS sebanyak-banyaknya. Sekali lagi, anak belajar praktek manipulatif. Pada hal orang dewasa -melalui Akademi Fantasi Indonesia (AFI), Indonesian Idol, dll- pun seharusnya belajar untuk secara jujur mengakui keutamaan orang lain dan berusaha mengambil pelajaran orang lain yang lebih baik. Saya masih teingat ketika disolo, wali kota menyerukan warganya saat itu untuk berkirim SMS sebanyak-banyaknya untuk mendukung pemenangan salah satu akademisi yang berasal dari Solo dalam sebuah perlombaan Akademi Fantasi Indonesia. Yang lebih mengherankan lagi, masyarakat semuanya meng-IYA-kan kebijakan Wali kota. Dampak lebih jauh lagi praktek manipulasi suara-sebagian orang tua bahkan sampai menjual harta berharga untuk mendongkrak perolehan suara.
Anak-anak yang seharusnya belajar membangun visi hidup dan orientasi spiritual, justru kehilangan elan vital untuk terus mencari ilmu dengan sebaik-baiknya dengan fokusnya justru bagaimana menarik perhatian publik. Bukan menyampaikan apa yang baik.
Alasan diatas sesungguhnya setidaknya menyadarkan kepada kita semua untuk tidak menjerumuskan anak kita kepada “Kematian Karakter”. Terlalu kecil harga yang mereka terima untuk sebuah kehilangan yang sangat besar. Anak-anak itu sangat besar dan luar biasa potensinya. Pildacil sama sekali bukan masa depan anak kita, dan bukan pembibitan generasi Islam. Pildacil adalah bisnis dan hiburan, karena hanya inilah kamus yang di kenal oleh Televesi. Pandangan ini mungkin bersifat sangat subjektif, bukan maksud apa-apa sebenarnya. Maksud saya begini, setidaknya kita sebagai pendidik atau bahkan orang tua untuk senantiasi waspada terhadap segala tayangan Televesi baik dalam acara apapun. Walau dengan embel-embel wadah pencarian bakat untuk mencetak kader generasi umat yang mumpuni. Karena dengan sikap begitu kita dapat memastikan masa depan mereka untuk tidak menjadi “generasi pengekor”-untuk tidak mengatakan “generasi Pembebek”-(Syech Rombangi)
(Perspektif analisis-subjektif)
Membangun Orientasi hidup: persfektif Al Qur’an
Dalam beberapa bulan yang lalu sebuah majalah Islam menerjunkan tajuk yang cukup mengusik hati saya. Tajuk yang ditulis oleh Mohamad Fauzil Adhim yang membuat hati saya resah dan gelisah. Resah karena menyangkut masa depan anak-anak kita. Gelisah karena ini realitas. Dalam tajuk tersebut beliau menyitir kalimat seorang ustadz yang bertindak sebagai juri dalam sebuah kontes yang konon mencari bibit-bibit unggulan Dai muda. Kata seorang juri dalam kontestan tersebut: “Kamu terbaik saat ini. Ini yang di inginkan juri. Beberapa tahun ke depan, rumah dan mobil kamu akan mewah. Kamu juga akan membangun Masjid”. “FANTASTIS”, sebuah nasehat yang membuat miris, sehingga tak hanya cukup dijawab dengan tangis. Anehnya justru para orang tua malah berbangga dengan itu semua. “Nasehat” Ini seharusnya membuat hati orang tua ngeri membayangkan masa depan anak-anaknya. Kecuali jika pertanyaan yang menguasai benak kita tentang anak-anak adalah apa yang akan mereka makan sesudah kita tiada, bukan apa yang mereka sembah, sehingga apa pun yang mereka kerjakan hanya untuk Robbul ‘alaamien. Bukankah setiap hari dalam sholat kita selalu mengajarkan kepada anak kita ayat Al Qu’an : “Sesungguhnya sholat, ibadah, hidup dan matiku hanyalah untuk Alloh, Tuhan semesta Alam, tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang di perintahkan kepadaku dan aku adalah orang pertama-tama menyerahkan diri ( kepada Alloh)”(Qs Al An’am: 162-163)
Inilah orientasi hidup yang harus kita hujamkan ke dada anak-anak kita. Kita hujamkan keinginan menolong agama Alloh ke dalam hati dan sanubari mereka sejak dini dengan sekuat-kuatnya. Semoga dengan itu ia menjadi orang yang ikhlas dalam memberikan hartanya, hidupnya dan dirinya bagi agama Alloh. Sesungguhnya amal itu tergantung dari niat. Jika anak-anak itu kelak menyembah Alloh karena mengharap dunia, mereka tidak akan memperoleh akhirat. Sedangkan dunia belum tentu ia mendapatkan.
Adapun jika mereka membaktikan sholat, ibadah, hidup dan matinya untuk Alloh semata, sesungguhnya Alloh Maha Pemurah Lagi Maha Penyayang. Insyaalloh mereka akan mampu menggenggam dunia dengan tangan kanannya, sedangkan di akherat menanti syurga yang penuh berkah dan mengalir sungai yang sejuk.
Kuatnya orientasi hidup inilah yang harus menjadi perhatian kita, orang tua dan para pendidik di sekolah. Bahkan seandainya yang kita inginkan dari mereka adalah kesuksesan karir di dunia ini, kita harus menanamkan pada anak kita orientasi yang kuat dan bersifat transenden. Bahkan kata seorang Psikolog W.Huitt menunjukkan bahwa seorang yang “Brilliant Star” (Bintang Brilian)- istilah Huitt tentang mereka yang memiliki prestasi yang luar biasa melebihi orang-orang sukses pada umumnya- biasanya memiliki ciri spiritual yang khas yaitu Disciple dan devout. Disciple berarti ia sangat percaya pada gagasan atau ajaran seorang pemimpin besar atau guru spiritual. Sedangkan Devout menunjukkan ketaatan yang sangat kuat.
Kunci pokok untuk menghantarkan anak meraih sukses adalah membentuk jiwanya, membangun motivasinya, membakar semangatnya dan mengarahkan orientasi hidupnya yang berbasis pada ikatan Transenden semenjak dini. Kita bakar semangatnya untuk bersungguh-sungguh melakukan yang terbaik demi sebuah idialisme yang buahnya ada di syurga.
Masih menurut riset W.Huitt, seorang “Brilliant Star” juga memiliki ciri sosial yang Transenden. Apapun yang ia lakukan dalam masyarakat adalah dalam rangka mewujudkan perintah Alloh di muka bumi dan menjadi pelayan yang rendah hati bagi umat manusia. Ia berbuat banyak, bahkan melampaui yang bisa dilakukan orang lain. Ia banyak memberi manfaat, tetapi merasa selalu apa yang ia lakukan belum cukup untuk mensyukuri nikmat Alloh Azza Wajalla.
Paradog PILDACIL; Antara bisnis dan mencetak kader umat
Untuk selanjutnya terlebih dahulu kita paparkan sedikit tentang tahap-tahap perkembangan anak untuk mengupas fenomena Pildacil. Pada masa kanak-kanak, motivasi masih dalam proses perkembangan. Fase pembentukan yang paling penting berada pada rentang usia 0-8 tahun. Selanjutnya usia 9-12 tahun merupakan fase penguatan. Secara umum, anak-anak mencapai kemapanan motivasi pada usia 12 tahun. Artinya, pada usia ini motivasi anak cenderung stabil, meskipun ada kemungkinan berubah. Jika pada usia-usia sebelumnya orang tua dan guru terus-menerus membangun motivasi intrinsik.
Alfie Kohn, seorang Psikolag, menyatakan alasan mendasar mengapa tidak boleh ada lomba yang bersifat kompetisi bagi anak-anak. Alih-alih merangsang motivasi berprestasi, anak-anak justru kehilangan dorongan untuk melakukan hal terbaik secara sungguh-sungguh. Dalam jangka panjang, anak justru kehilangan motivasi berprestasi dan semangat bersaing yang produktif.
Nah, apakah yang di tawarkan dari program Pildacil di salah satu stasiun TV swasta itu? Anak-anak dilatih menirukan ceramah-ceramah -bukan mengekpresikan gagasan atau ide secara ilmiah-untuk meraih mimpi-mimpi tentang uang yang berlimpah, umroh gratis bahkan sekaligus ambisi punya rumah mewah. Akan kita bawa kemana anak-anak kita jika di usianya yang masih belia, sudah sibuk mendakwahkan agama untuk meraih dunia? pada hal, hari ini mereka seharusnya membangun motivasi yang kuat, budaya belajar yang kokoh, integritas yang tinggi, dan visi besar yang bernilai spiritual.
Di luar itu semua, ada beberapa hal yang sangat memprihatinkan bagi perkembangan anak kita dimasa mendatang, terutama jika mengingat bahwa tidak mungkin mereka bisa tampil di Pildacil kecuali karena ada potensi besar pada diri mereka.
Jika melihat cara mereka berbicara dan sorot matanya saat tampil, tampak betul bahwa mereka bukan mengekpresikan gagasan atau ide. Tetapi mereka sedang belajar mengambil jalan pintas. Mereka menjadi kaset yang diputar ulang. Materi ceramah dan gaya bicara, tidak sedikit yang menunjukkan bahwa bukan diri mereka yang tampil. Yang tampil adalah sosok imitasi Aa Gym, Zainudin, sosok Ustad Jefri dll, bukan diri mereka yang sesungguhnya. Barang kali tidak disadari, cara seperti ini merupakan
“Pembunuhan Karakter positif anak”
Di saat anak harus belajar beramal dengan ikhlas dan gigih berusaha, mereka melihat kenyataan bahwa yang membuat mereka hebat bukan usaha keras mereka untuk berbicara sebaik-baiknya, tetapi seberapa banyak SMS yang masuk untuknya. Di banyak tempat pembunuhan karakter berikutnya terjadi; dari orang tua, pejabat pemerintah hingga pemuka agama yang tidak visioner berlomba mengeluarkan dana sekaligus menyeru untuk berkirim SMS sebanyak-banyaknya. Sekali lagi, anak belajar praktek manipulatif. Pada hal orang dewasa -melalui Akademi Fantasi Indonesia (AFI), Indonesian Idol, dll- pun seharusnya belajar untuk secara jujur mengakui keutamaan orang lain dan berusaha mengambil pelajaran orang lain yang lebih baik. Saya masih teingat ketika disolo, wali kota menyerukan warganya saat itu untuk berkirim SMS sebanyak-banyaknya untuk mendukung pemenangan salah satu akademisi yang berasal dari Solo dalam sebuah perlombaan Akademi Fantasi Indonesia. Yang lebih mengherankan lagi, masyarakat semuanya meng-IYA-kan kebijakan Wali kota. Dampak lebih jauh lagi praktek manipulasi suara-sebagian orang tua bahkan sampai menjual harta berharga untuk mendongkrak perolehan suara.
Anak-anak yang seharusnya belajar membangun visi hidup dan orientasi spiritual, justru kehilangan elan vital untuk terus mencari ilmu dengan sebaik-baiknya dengan fokusnya justru bagaimana menarik perhatian publik. Bukan menyampaikan apa yang baik.
Alasan diatas sesungguhnya setidaknya menyadarkan kepada kita semua untuk tidak menjerumuskan anak kita kepada “Kematian Karakter”. Terlalu kecil harga yang mereka terima untuk sebuah kehilangan yang sangat besar. Anak-anak itu sangat besar dan luar biasa potensinya. Pildacil sama sekali bukan masa depan anak kita, dan bukan pembibitan generasi Islam. Pildacil adalah bisnis dan hiburan, karena hanya inilah kamus yang di kenal oleh Televesi. Pandangan ini mungkin bersifat sangat subjektif, bukan maksud apa-apa sebenarnya. Maksud saya begini, setidaknya kita sebagai pendidik atau bahkan orang tua untuk senantiasi waspada terhadap segala tayangan Televesi baik dalam acara apapun. Walau dengan embel-embel wadah pencarian bakat untuk mencetak kader generasi umat yang mumpuni. Karena dengan sikap begitu kita dapat memastikan masa depan mereka untuk tidak menjadi “generasi pengekor”-untuk tidak mengatakan “generasi Pembebek”-(Syech Rombangi)
Matinya sekolah
“Matinya Sekolah?”
Bila Implementasi Pendidikan keluarga telah membumi
Ironi pendidikan kini; Sebuah Elegi masa depan
Pendidikan merupakan lembaga yang dianggap paling bertanggung jawab terhadap perkembangan sebuah bangsa. Tak ayal, ketika produk instansi ini tidak sesuai dengan harapan, maka pihak yang paling sering dipersalahkan adalah sekolah dan lembaga pendidikan. Ini tercermin ketika ada seorang guru yang sudah tua mulai mengeluh ,mengapa setiap terjadi kasus “Kecelakaan” penyaluran bakat remaja, semisal tawuran antar pelajar, perampokan yang dilakukan oleh pelajar, budaya nyabu, ngoplo, nyimeng, sampai kasus “Bandung lautan asmara” dan casting iklan sabun “Kamar kecil biru” diterminal Tirtonadi Solo, selalu saja guru dan lembaga pendidikan yang selalu dipersalahkan dan dipermasalahkan. Mulai dari menyorot soal ketidakseriusan guru mendidik dan krisis keteladanan guru yang tidak patut lagi “di gugu dan ditiru” sampai dengan mempolemikkan perlu tidaknya menghidupkan kembalii mata pelajaran budi pekerti atau bahkan menambah jam pelajaran Agama ditengah pelajaran moral pancasila dan PPKn yang semakin kehilangan orientasi nilai. Tak ayal, sekolah atau lembaga pendidikan seolah menjadi biang kerok atas semua kemelut bangsa dan menjadi pihak yang pertama yang harus diadili. Sungguh ironis, lembaga yang harusnya menjadi “Kawah Condrodimuko” malah menjadi pihak yang mesti dipersoalkan eksistensinya dalam membangun peradaban.
Padahal kalau kita cermati alokasi waktu bagi anak-anak tersebut dalam naungan atap sekolah tidak lebih dari 6 jam dalam 24 jam hidup sehari-hari. Waktu 6 jam pun masih dipotong untuk istirahat, hari libur setiap minggu dan beberapa hari libur insidental yang juga cukup banyak. Dapat di hitung berapa waktu yang mungkin dapat di manfaatkan oleh guru untuk mengontrol semua kegiatan atau aktifitas murid-muridnya. Dalam waktu yang sedikit itu,seorang guru di tuntut harus mencerdaskan,mengadabkan,membudayakan serangkuman materi kedalam otak anak. Mungkinkah semuanya dapat tercapai ?
Seorang guru jelas bukan tukang sulap yang mampu mengubah segala sesuatu dengan mantra “abrakadabra” atau “sim salabim” yang dengan sendiri otomatis menjadi “kunfayakun”, Beliau juga bukan “Superman” yang mampu melakukan semua dengan mudah, pun beliau juga bukan “Uber match”-nya ala neitzhe yang mampu menjalankan fungsinya sebagai manusia yang serba bisa, tetapi Beliau juga manusia biasa yang kadang terhimpit berbagai masalah dan kegetiran hidup yang cukup menyesakkan dada yang membutuhkan alam pikir kreatif. Demikian pula ruang kelas bukanlah mesin foto kopi yang bisa menstranfer seluruh catatan buku pada lembaran kertas yang kosong yang tak terbatas jumlahnya, dan murid pun bukanlah lembaran kertas yang kosong tetapi murid adalah potensi yang harus di kembangkan dengan berbagai kekomplekan poblemnya.
Persoalannya pun tidak cukup berhenti sampai disini. Seorang murid yang baru saja diajar tentang sopan santun berbicara, kalau berbicara harus menghindari kosa kata yang kotor dan tidak pantas, tetapi sampai dirumah orangt tuanya biasa berperang mulut ala telenovela dengan mengobral nama-nama seluruh koleksi kebun binatang. Apakah pelajaran moral yang baru saja didapat didalam ruang kelas tersebut bermanfaat dan membekas didalam hati serta alam bawah sadarnya anak? kalau sekedar mengingatkan dan kemudian menuliskannya didalam lembar jawaban ketika ujian tiba mungkin semua anak dapat melakukanya dengan nominal nilai 10, tetapi untuk menjadikannya menjadi sebuah kebiasaan sehari-hari -yang dalam bahasa agama kita sering sebut “Akhlak”-.tampaknya akan sulit dipastikan keberhasilannya.
Keluarga Sebagai “Soko Guru Peradaban”
Solusi yang sedang dikembangkan dan sedang menjadi trend adalah dengan sekolah “full day” atau “Boarding school”, dengan harapan bisa mengisolasi anak dari pergaulan buruk masyarakat, yang secara teorinya tampak ampuh pada dataran empiriknya acap kali masih jadi tanda Tanya besar ataupun bahkan tampak gagap ketika harus diparalelkan dengan kekomplekan problem hidup kehidupan remaja yang juga butuh bermasyarakat. Inilah cermin kegalauan dan kecemasan masa depan anak kita. Sadar atau tidak suatu saat saya, engkau dan kita semua pasti akan menjadi ayah dan bunda yang akan memandu jalannya masa depan anak kita.
Berangkat dari persepsi perbandingan waktu yang tidak proporsional itu, dalam pandangan seorang P.Mujiran dalam bukunya “Pernak-pernik pendidikan” mengajak mengembalikan tugas pendidikan kepada institusi yang lebih kokoh dan lebih tua dari pendidikan formal sekolah. Instutusi itu adalah keluarga. Dengan mengembalikan tugas pendidikan kepada institusi keluarga , maka sebenarnya juga telah menghidupkan slogan “Belajar seumur hidup” (Life-long education) secara nyata. Sebab begitulah kenyataannya, begitu individu lahir maka dia akan mendaulat ayah dan ibunya sebagai gurunya yang pertama. Walaupun tanpa teks pengangkatan dan surat keputusan (SK). Cara ayah makan dan minum, kebiasaan ibu berbicara dan bersikap akan direkam dalam alam bawah sadar anak sebagai proses pendidikan yang akan menjadi kebiasaan sehari-hari
Keluarga sebagai “Tiang Negara”
Keluarga sebagai umat kecil yang memiliki pimpinan dan anggota, mempunyai pembagian tugas dan kerja, serta hak dan kewajiban bagi masing-masing anggotanya.”Umat besar” atau satu negara demikian pula halnya. Al qur’an menamakan satu komunitas sebagai “Ummat” dan menamakan ib yang melahirkananak keturunan sebagai “Umm”. Menurut Qurais Shihab Kedua kata tersebut terambil dari akar kata yang sama. Mengapa demikian? Agaknya ibu yang melahirkan anak keturunan itu dan yang dipundaknya terutama dibebankan pembinaan dan pendidikan anak.
Keluarga adaah sebagai sekolah tempat putra-putri bangsa belajar. Dari sana mereka mempelajari sifat-sifat mulia, seperti kesetiaan, rahmat, adab, sopan santun (Ahlaqul kariemah) dan kasih sayang, Ghiroh (kecemburuan positif) dan sebagainya. Disinilah tempat mereka belajar. Dari kehidupan keluarga, seorang ayah sekaligus suami memperoleh dan memupuk sifat keberanian dan keuletan sikap dan upaya dalam rangka membela sanak keluarganya dan membahagiakannya mereka pada saat hidupnya dan setelah kematiannya.
Keluarga adalah unit terkecil yang menjadi pendukung dan pembangkit lahirnya bangsa dan masyarakat. Selama pembangkit itu mampu menyalurkan arus yang kuat lagi sehat, selama itu pula masyarakat dan bangsa akan menjadi sehat dan kuat. Nah, disinilah peran besar keluarga yang ikut andil terhadap bangun-runtuhnya suatu masyarakat. Walaupun harus diakui pula bahwa masyarakat secara keseluruhan dapat mempengaruhi pula keadaan para keluarga.
Kalau dalam literatur keagamaan di kenal ungkapan al mar’ah ‘imaadul bilad (wanita dalah tiang negara), maka pada hakikatnya tidaklah meleset bila dikatakan bahwa Al usroh ‘imaadul bilad biha tahya wabiha tamuut (keluarga adalah tiang negara,dengan keluargalah negara bangkit atau runtuh).
Demikianlah, terlihat betapa besar peranan keluarga dan betapa keberhasilan kita secara perorangan atau kolektif, secara pribadi atau sebagai bangsa, didunia dan akherat, banyak sekali ditentukan oleh keberhasilan kita dalam keluarga masing-masing. Wajar jika Alloh berpesan : “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka” (QS 66:6).
Nah, berangkat dari persepsi diatas yang menjadi benang merah bahwa Salah satu tugas yang ditekankan adalah tugas mendidik bukanlah tugas guru dan sekolah semata, akan tetapi juga harus disadari orang tua sebagai tugas yang secara otomatis melekat manakala anak lahir ke dunia dan juga harus diterima sebagi tugas keluarga serta lingkungan, sebagaimana pepatah arab “Al-Insaanu ibnu biah” (manusia itu anak lingkungannya). Tugas ini tidak bisa di pungkiri dan dielak begitu saja dengan membebankan segala proses pendidikan kepada sekolah. Oleh karena keluarga merupakan Institusi yang paling dasar dalam suatu masyarakat dan paling dekat dengan individu-individu, maka tanggung jawab keluarga tidaklah kecil.
Dengan demikian apabila seluruh keluarga telah sadar akan tugas mulia itu, maka kita tidak terlalu cemas dengan pertanda “Kematian Sekolah” seperti yang ditengarai oleh Neill Postman. Juga boleh menganggap “sepi ancaman gurita kapitalisme licik yang mengangkangi sekolah” sebagaimana kecemasan Paulo Freire. Bahkan juga dapat membiarkan peringatan Roem Topatimasang tentang fungsi sekolah yang telah berubah menjadi candu. Sebab, apabila seluruh keluarga sadar akan tugas utamanya maka sesungguhnya sebuah “Masyarakat tanpa sekolah” ( Deschooling Society ) yang pernah diangankan oleh Ivan Illich tanpa terasa telah dibumikan secara nyata. Wallohu a’lamu bisshowab
Bila Implementasi Pendidikan keluarga telah membumi
Ironi pendidikan kini; Sebuah Elegi masa depan
Pendidikan merupakan lembaga yang dianggap paling bertanggung jawab terhadap perkembangan sebuah bangsa. Tak ayal, ketika produk instansi ini tidak sesuai dengan harapan, maka pihak yang paling sering dipersalahkan adalah sekolah dan lembaga pendidikan. Ini tercermin ketika ada seorang guru yang sudah tua mulai mengeluh ,mengapa setiap terjadi kasus “Kecelakaan” penyaluran bakat remaja, semisal tawuran antar pelajar, perampokan yang dilakukan oleh pelajar, budaya nyabu, ngoplo, nyimeng, sampai kasus “Bandung lautan asmara” dan casting iklan sabun “Kamar kecil biru” diterminal Tirtonadi Solo, selalu saja guru dan lembaga pendidikan yang selalu dipersalahkan dan dipermasalahkan. Mulai dari menyorot soal ketidakseriusan guru mendidik dan krisis keteladanan guru yang tidak patut lagi “di gugu dan ditiru” sampai dengan mempolemikkan perlu tidaknya menghidupkan kembalii mata pelajaran budi pekerti atau bahkan menambah jam pelajaran Agama ditengah pelajaran moral pancasila dan PPKn yang semakin kehilangan orientasi nilai. Tak ayal, sekolah atau lembaga pendidikan seolah menjadi biang kerok atas semua kemelut bangsa dan menjadi pihak yang pertama yang harus diadili. Sungguh ironis, lembaga yang harusnya menjadi “Kawah Condrodimuko” malah menjadi pihak yang mesti dipersoalkan eksistensinya dalam membangun peradaban.
Padahal kalau kita cermati alokasi waktu bagi anak-anak tersebut dalam naungan atap sekolah tidak lebih dari 6 jam dalam 24 jam hidup sehari-hari. Waktu 6 jam pun masih dipotong untuk istirahat, hari libur setiap minggu dan beberapa hari libur insidental yang juga cukup banyak. Dapat di hitung berapa waktu yang mungkin dapat di manfaatkan oleh guru untuk mengontrol semua kegiatan atau aktifitas murid-muridnya. Dalam waktu yang sedikit itu,seorang guru di tuntut harus mencerdaskan,mengadabkan,membudayakan serangkuman materi kedalam otak anak. Mungkinkah semuanya dapat tercapai ?
Seorang guru jelas bukan tukang sulap yang mampu mengubah segala sesuatu dengan mantra “abrakadabra” atau “sim salabim” yang dengan sendiri otomatis menjadi “kunfayakun”, Beliau juga bukan “Superman” yang mampu melakukan semua dengan mudah, pun beliau juga bukan “Uber match”-nya ala neitzhe yang mampu menjalankan fungsinya sebagai manusia yang serba bisa, tetapi Beliau juga manusia biasa yang kadang terhimpit berbagai masalah dan kegetiran hidup yang cukup menyesakkan dada yang membutuhkan alam pikir kreatif. Demikian pula ruang kelas bukanlah mesin foto kopi yang bisa menstranfer seluruh catatan buku pada lembaran kertas yang kosong yang tak terbatas jumlahnya, dan murid pun bukanlah lembaran kertas yang kosong tetapi murid adalah potensi yang harus di kembangkan dengan berbagai kekomplekan poblemnya.
Persoalannya pun tidak cukup berhenti sampai disini. Seorang murid yang baru saja diajar tentang sopan santun berbicara, kalau berbicara harus menghindari kosa kata yang kotor dan tidak pantas, tetapi sampai dirumah orangt tuanya biasa berperang mulut ala telenovela dengan mengobral nama-nama seluruh koleksi kebun binatang. Apakah pelajaran moral yang baru saja didapat didalam ruang kelas tersebut bermanfaat dan membekas didalam hati serta alam bawah sadarnya anak? kalau sekedar mengingatkan dan kemudian menuliskannya didalam lembar jawaban ketika ujian tiba mungkin semua anak dapat melakukanya dengan nominal nilai 10, tetapi untuk menjadikannya menjadi sebuah kebiasaan sehari-hari -yang dalam bahasa agama kita sering sebut “Akhlak”-.tampaknya akan sulit dipastikan keberhasilannya.
Keluarga Sebagai “Soko Guru Peradaban”
Solusi yang sedang dikembangkan dan sedang menjadi trend adalah dengan sekolah “full day” atau “Boarding school”, dengan harapan bisa mengisolasi anak dari pergaulan buruk masyarakat, yang secara teorinya tampak ampuh pada dataran empiriknya acap kali masih jadi tanda Tanya besar ataupun bahkan tampak gagap ketika harus diparalelkan dengan kekomplekan problem hidup kehidupan remaja yang juga butuh bermasyarakat. Inilah cermin kegalauan dan kecemasan masa depan anak kita. Sadar atau tidak suatu saat saya, engkau dan kita semua pasti akan menjadi ayah dan bunda yang akan memandu jalannya masa depan anak kita.
Berangkat dari persepsi perbandingan waktu yang tidak proporsional itu, dalam pandangan seorang P.Mujiran dalam bukunya “Pernak-pernik pendidikan” mengajak mengembalikan tugas pendidikan kepada institusi yang lebih kokoh dan lebih tua dari pendidikan formal sekolah. Instutusi itu adalah keluarga. Dengan mengembalikan tugas pendidikan kepada institusi keluarga , maka sebenarnya juga telah menghidupkan slogan “Belajar seumur hidup” (Life-long education) secara nyata. Sebab begitulah kenyataannya, begitu individu lahir maka dia akan mendaulat ayah dan ibunya sebagai gurunya yang pertama. Walaupun tanpa teks pengangkatan dan surat keputusan (SK). Cara ayah makan dan minum, kebiasaan ibu berbicara dan bersikap akan direkam dalam alam bawah sadar anak sebagai proses pendidikan yang akan menjadi kebiasaan sehari-hari
Keluarga sebagai “Tiang Negara”
Keluarga sebagai umat kecil yang memiliki pimpinan dan anggota, mempunyai pembagian tugas dan kerja, serta hak dan kewajiban bagi masing-masing anggotanya.”Umat besar” atau satu negara demikian pula halnya. Al qur’an menamakan satu komunitas sebagai “Ummat” dan menamakan ib yang melahirkananak keturunan sebagai “Umm”. Menurut Qurais Shihab Kedua kata tersebut terambil dari akar kata yang sama. Mengapa demikian? Agaknya ibu yang melahirkan anak keturunan itu dan yang dipundaknya terutama dibebankan pembinaan dan pendidikan anak.
Keluarga adaah sebagai sekolah tempat putra-putri bangsa belajar. Dari sana mereka mempelajari sifat-sifat mulia, seperti kesetiaan, rahmat, adab, sopan santun (Ahlaqul kariemah) dan kasih sayang, Ghiroh (kecemburuan positif) dan sebagainya. Disinilah tempat mereka belajar. Dari kehidupan keluarga, seorang ayah sekaligus suami memperoleh dan memupuk sifat keberanian dan keuletan sikap dan upaya dalam rangka membela sanak keluarganya dan membahagiakannya mereka pada saat hidupnya dan setelah kematiannya.
Keluarga adalah unit terkecil yang menjadi pendukung dan pembangkit lahirnya bangsa dan masyarakat. Selama pembangkit itu mampu menyalurkan arus yang kuat lagi sehat, selama itu pula masyarakat dan bangsa akan menjadi sehat dan kuat. Nah, disinilah peran besar keluarga yang ikut andil terhadap bangun-runtuhnya suatu masyarakat. Walaupun harus diakui pula bahwa masyarakat secara keseluruhan dapat mempengaruhi pula keadaan para keluarga.
Kalau dalam literatur keagamaan di kenal ungkapan al mar’ah ‘imaadul bilad (wanita dalah tiang negara), maka pada hakikatnya tidaklah meleset bila dikatakan bahwa Al usroh ‘imaadul bilad biha tahya wabiha tamuut (keluarga adalah tiang negara,dengan keluargalah negara bangkit atau runtuh).
Demikianlah, terlihat betapa besar peranan keluarga dan betapa keberhasilan kita secara perorangan atau kolektif, secara pribadi atau sebagai bangsa, didunia dan akherat, banyak sekali ditentukan oleh keberhasilan kita dalam keluarga masing-masing. Wajar jika Alloh berpesan : “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka” (QS 66:6).
Nah, berangkat dari persepsi diatas yang menjadi benang merah bahwa Salah satu tugas yang ditekankan adalah tugas mendidik bukanlah tugas guru dan sekolah semata, akan tetapi juga harus disadari orang tua sebagai tugas yang secara otomatis melekat manakala anak lahir ke dunia dan juga harus diterima sebagi tugas keluarga serta lingkungan, sebagaimana pepatah arab “Al-Insaanu ibnu biah” (manusia itu anak lingkungannya). Tugas ini tidak bisa di pungkiri dan dielak begitu saja dengan membebankan segala proses pendidikan kepada sekolah. Oleh karena keluarga merupakan Institusi yang paling dasar dalam suatu masyarakat dan paling dekat dengan individu-individu, maka tanggung jawab keluarga tidaklah kecil.
Dengan demikian apabila seluruh keluarga telah sadar akan tugas mulia itu, maka kita tidak terlalu cemas dengan pertanda “Kematian Sekolah” seperti yang ditengarai oleh Neill Postman. Juga boleh menganggap “sepi ancaman gurita kapitalisme licik yang mengangkangi sekolah” sebagaimana kecemasan Paulo Freire. Bahkan juga dapat membiarkan peringatan Roem Topatimasang tentang fungsi sekolah yang telah berubah menjadi candu. Sebab, apabila seluruh keluarga sadar akan tugas utamanya maka sesungguhnya sebuah “Masyarakat tanpa sekolah” ( Deschooling Society ) yang pernah diangankan oleh Ivan Illich tanpa terasa telah dibumikan secara nyata. Wallohu a’lamu bisshowab
Matinya sekolah
“Matinya Sekolah?”
Bila Implementasi Pendidikan keluarga telah membumi
Ironi pendidikan kini; Sebuah Elegi masa depan
Pendidikan merupakan lembaga yang dianggap paling bertanggung jawab terhadap perkembangan sebuah bangsa. Tak ayal, ketika produk instansi ini tidak sesuai dengan harapan, maka pihak yang paling sering dipersalahkan adalah sekolah dan lembaga pendidikan. Ini tercermin ketika ada seorang guru yang sudah tua mulai mengeluh ,mengapa setiap terjadi kasus “Kecelakaan” penyaluran bakat remaja, semisal tawuran antar pelajar, perampokan yang dilakukan oleh pelajar, budaya nyabu, ngoplo, nyimeng, sampai kasus “Bandung lautan asmara” dan casting iklan sabun “Kamar kecil biru” diterminal Tirtonadi Solo, selalu saja guru dan lembaga pendidikan yang selalu dipersalahkan dan dipermasalahkan. Mulai dari menyorot soal ketidakseriusan guru mendidik dan krisis keteladanan guru yang tidak patut lagi “di gugu dan ditiru” sampai dengan mempolemikkan perlu tidaknya menghidupkan kembalii mata pelajaran budi pekerti atau bahkan menambah jam pelajaran Agama ditengah pelajaran moral pancasila dan PPKn yang semakin kehilangan orientasi nilai. Tak ayal, sekolah atau lembaga pendidikan seolah menjadi biang kerok atas semua kemelut bangsa dan menjadi pihak yang pertama yang harus diadili. Sungguh ironis, lembaga yang harusnya menjadi “Kawah Condrodimuko” malah menjadi pihak yang mesti dipersoalkan eksistensinya dalam membangun peradaban.
Padahal kalau kita cermati alokasi waktu bagi anak-anak tersebut dalam naungan atap sekolah tidak lebih dari 6 jam dalam 24 jam hidup sehari-hari. Waktu 6 jam pun masih dipotong untuk istirahat, hari libur setiap minggu dan beberapa hari libur insidental yang juga cukup banyak. Dapat di hitung berapa waktu yang mungkin dapat di manfaatkan oleh guru untuk mengontrol semua kegiatan atau aktifitas murid-muridnya. Dalam waktu yang sedikit itu,seorang guru di tuntut harus mencerdaskan,mengadabkan,membudayakan serangkuman materi kedalam otak anak. Mungkinkah semuanya dapat tercapai ?
Seorang guru jelas bukan tukang sulap yang mampu mengubah segala sesuatu dengan mantra “abrakadabra” atau “sim salabim” yang dengan sendiri otomatis menjadi “kunfayakun”, Beliau juga bukan “Superman” yang mampu melakukan semua dengan mudah, pun beliau juga bukan “Uber match”-nya ala neitzhe yang mampu menjalankan fungsinya sebagai manusia yang serba bisa, tetapi Beliau juga manusia biasa yang kadang terhimpit berbagai masalah dan kegetiran hidup yang cukup menyesakkan dada yang membutuhkan alam pikir kreatif. Demikian pula ruang kelas bukanlah mesin foto kopi yang bisa menstranfer seluruh catatan buku pada lembaran kertas yang kosong yang tak terbatas jumlahnya, dan murid pun bukanlah lembaran kertas yang kosong tetapi murid adalah potensi yang harus di kembangkan dengan berbagai kekomplekan poblemnya.
Persoalannya pun tidak cukup berhenti sampai disini. Seorang murid yang baru saja diajar tentang sopan santun berbicara, kalau berbicara harus menghindari kosa kata yang kotor dan tidak pantas, tetapi sampai dirumah orangt tuanya biasa berperang mulut ala telenovela dengan mengobral nama-nama seluruh koleksi kebun binatang. Apakah pelajaran moral yang baru saja didapat didalam ruang kelas tersebut bermanfaat dan membekas didalam hati serta alam bawah sadarnya anak? kalau sekedar mengingatkan dan kemudian menuliskannya didalam lembar jawaban ketika ujian tiba mungkin semua anak dapat melakukanya dengan nominal nilai 10, tetapi untuk menjadikannya menjadi sebuah kebiasaan sehari-hari -yang dalam bahasa agama kita sering sebut “Akhlak”-.tampaknya akan sulit dipastikan keberhasilannya.
Keluarga Sebagai “Soko Guru Peradaban”
Solusi yang sedang dikembangkan dan sedang menjadi trend adalah dengan sekolah “full day” atau “Boarding school”, dengan harapan bisa mengisolasi anak dari pergaulan buruk masyarakat, yang secara teorinya tampak ampuh pada dataran empiriknya acap kali masih jadi tanda Tanya besar ataupun bahkan tampak gagap ketika harus diparalelkan dengan kekomplekan problem hidup kehidupan remaja yang juga butuh bermasyarakat. Inilah cermin kegalauan dan kecemasan masa depan anak kita. Sadar atau tidak suatu saat saya, engkau dan kita semua pasti akan menjadi ayah dan bunda yang akan memandu jalannya masa depan anak kita.
Berangkat dari persepsi perbandingan waktu yang tidak proporsional itu, dalam pandangan seorang P.Mujiran dalam bukunya “Pernak-pernik pendidikan” mengajak mengembalikan tugas pendidikan kepada institusi yang lebih kokoh dan lebih tua dari pendidikan formal sekolah. Instutusi itu adalah keluarga. Dengan mengembalikan tugas pendidikan kepada institusi keluarga , maka sebenarnya juga telah menghidupkan slogan “Belajar seumur hidup” (Life-long education) secara nyata. Sebab begitulah kenyataannya, begitu individu lahir maka dia akan mendaulat ayah dan ibunya sebagai gurunya yang pertama. Walaupun tanpa teks pengangkatan dan surat keputusan (SK). Cara ayah makan dan minum, kebiasaan ibu berbicara dan bersikap akan direkam dalam alam bawah sadar anak sebagai proses pendidikan yang akan menjadi kebiasaan sehari-hari
Keluarga sebagai “Tiang Negara”
Keluarga sebagai umat kecil yang memiliki pimpinan dan anggota, mempunyai pembagian tugas dan kerja, serta hak dan kewajiban bagi masing-masing anggotanya.”Umat besar” atau satu negara demikian pula halnya. Al qur’an menamakan satu komunitas sebagai “Ummat” dan menamakan ib yang melahirkananak keturunan sebagai “Umm”. Menurut Qurais Shihab Kedua kata tersebut terambil dari akar kata yang sama. Mengapa demikian? Agaknya ibu yang melahirkan anak keturunan itu dan yang dipundaknya terutama dibebankan pembinaan dan pendidikan anak.
Keluarga adaah sebagai sekolah tempat putra-putri bangsa belajar. Dari sana mereka mempelajari sifat-sifat mulia, seperti kesetiaan, rahmat, adab, sopan santun (Ahlaqul kariemah) dan kasih sayang, Ghiroh (kecemburuan positif) dan sebagainya. Disinilah tempat mereka belajar. Dari kehidupan keluarga, seorang ayah sekaligus suami memperoleh dan memupuk sifat keberanian dan keuletan sikap dan upaya dalam rangka membela sanak keluarganya dan membahagiakannya mereka pada saat hidupnya dan setelah kematiannya.
Keluarga adalah unit terkecil yang menjadi pendukung dan pembangkit lahirnya bangsa dan masyarakat. Selama pembangkit itu mampu menyalurkan arus yang kuat lagi sehat, selama itu pula masyarakat dan bangsa akan menjadi sehat dan kuat. Nah, disinilah peran besar keluarga yang ikut andil terhadap bangun-runtuhnya suatu masyarakat. Walaupun harus diakui pula bahwa masyarakat secara keseluruhan dapat mempengaruhi pula keadaan para keluarga.
Kalau dalam literatur keagamaan di kenal ungkapan al mar’ah ‘imaadul bilad (wanita dalah tiang negara), maka pada hakikatnya tidaklah meleset bila dikatakan bahwa Al usroh ‘imaadul bilad biha tahya wabiha tamuut (keluarga adalah tiang negara,dengan keluargalah negara bangkit atau runtuh).
Demikianlah, terlihat betapa besar peranan keluarga dan betapa keberhasilan kita secara perorangan atau kolektif, secara pribadi atau sebagai bangsa, didunia dan akherat, banyak sekali ditentukan oleh keberhasilan kita dalam keluarga masing-masing. Wajar jika Alloh berpesan : “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka” (QS 66:6).
Nah, berangkat dari persepsi diatas yang menjadi benang merah bahwa Salah satu tugas yang ditekankan adalah tugas mendidik bukanlah tugas guru dan sekolah semata, akan tetapi juga harus disadari orang tua sebagai tugas yang secara otomatis melekat manakala anak lahir ke dunia dan juga harus diterima sebagi tugas keluarga serta lingkungan, sebagaimana pepatah arab “Al-Insaanu ibnu biah” (manusia itu anak lingkungannya). Tugas ini tidak bisa di pungkiri dan dielak begitu saja dengan membebankan segala proses pendidikan kepada sekolah. Oleh karena keluarga merupakan Institusi yang paling dasar dalam suatu masyarakat dan paling dekat dengan individu-individu, maka tanggung jawab keluarga tidaklah kecil.
Dengan demikian apabila seluruh keluarga telah sadar akan tugas mulia itu, maka kita tidak terlalu cemas dengan pertanda “Kematian Sekolah” seperti yang ditengarai oleh Neill Postman. Juga boleh menganggap “sepi ancaman gurita kapitalisme licik yang mengangkangi sekolah” sebagaimana kecemasan Paulo Freire. Bahkan juga dapat membiarkan peringatan Roem Topatimasang tentang fungsi sekolah yang telah berubah menjadi candu. Sebab, apabila seluruh keluarga sadar akan tugas utamanya maka sesungguhnya sebuah “Masyarakat tanpa sekolah” ( Deschooling Society ) yang pernah diangankan oleh Ivan Illich tanpa terasa telah dibumikan secara nyata. Wallohu a’lamu bisshowab
Bila Implementasi Pendidikan keluarga telah membumi
Ironi pendidikan kini; Sebuah Elegi masa depan
Pendidikan merupakan lembaga yang dianggap paling bertanggung jawab terhadap perkembangan sebuah bangsa. Tak ayal, ketika produk instansi ini tidak sesuai dengan harapan, maka pihak yang paling sering dipersalahkan adalah sekolah dan lembaga pendidikan. Ini tercermin ketika ada seorang guru yang sudah tua mulai mengeluh ,mengapa setiap terjadi kasus “Kecelakaan” penyaluran bakat remaja, semisal tawuran antar pelajar, perampokan yang dilakukan oleh pelajar, budaya nyabu, ngoplo, nyimeng, sampai kasus “Bandung lautan asmara” dan casting iklan sabun “Kamar kecil biru” diterminal Tirtonadi Solo, selalu saja guru dan lembaga pendidikan yang selalu dipersalahkan dan dipermasalahkan. Mulai dari menyorot soal ketidakseriusan guru mendidik dan krisis keteladanan guru yang tidak patut lagi “di gugu dan ditiru” sampai dengan mempolemikkan perlu tidaknya menghidupkan kembalii mata pelajaran budi pekerti atau bahkan menambah jam pelajaran Agama ditengah pelajaran moral pancasila dan PPKn yang semakin kehilangan orientasi nilai. Tak ayal, sekolah atau lembaga pendidikan seolah menjadi biang kerok atas semua kemelut bangsa dan menjadi pihak yang pertama yang harus diadili. Sungguh ironis, lembaga yang harusnya menjadi “Kawah Condrodimuko” malah menjadi pihak yang mesti dipersoalkan eksistensinya dalam membangun peradaban.
Padahal kalau kita cermati alokasi waktu bagi anak-anak tersebut dalam naungan atap sekolah tidak lebih dari 6 jam dalam 24 jam hidup sehari-hari. Waktu 6 jam pun masih dipotong untuk istirahat, hari libur setiap minggu dan beberapa hari libur insidental yang juga cukup banyak. Dapat di hitung berapa waktu yang mungkin dapat di manfaatkan oleh guru untuk mengontrol semua kegiatan atau aktifitas murid-muridnya. Dalam waktu yang sedikit itu,seorang guru di tuntut harus mencerdaskan,mengadabkan,membudayakan serangkuman materi kedalam otak anak. Mungkinkah semuanya dapat tercapai ?
Seorang guru jelas bukan tukang sulap yang mampu mengubah segala sesuatu dengan mantra “abrakadabra” atau “sim salabim” yang dengan sendiri otomatis menjadi “kunfayakun”, Beliau juga bukan “Superman” yang mampu melakukan semua dengan mudah, pun beliau juga bukan “Uber match”-nya ala neitzhe yang mampu menjalankan fungsinya sebagai manusia yang serba bisa, tetapi Beliau juga manusia biasa yang kadang terhimpit berbagai masalah dan kegetiran hidup yang cukup menyesakkan dada yang membutuhkan alam pikir kreatif. Demikian pula ruang kelas bukanlah mesin foto kopi yang bisa menstranfer seluruh catatan buku pada lembaran kertas yang kosong yang tak terbatas jumlahnya, dan murid pun bukanlah lembaran kertas yang kosong tetapi murid adalah potensi yang harus di kembangkan dengan berbagai kekomplekan poblemnya.
Persoalannya pun tidak cukup berhenti sampai disini. Seorang murid yang baru saja diajar tentang sopan santun berbicara, kalau berbicara harus menghindari kosa kata yang kotor dan tidak pantas, tetapi sampai dirumah orangt tuanya biasa berperang mulut ala telenovela dengan mengobral nama-nama seluruh koleksi kebun binatang. Apakah pelajaran moral yang baru saja didapat didalam ruang kelas tersebut bermanfaat dan membekas didalam hati serta alam bawah sadarnya anak? kalau sekedar mengingatkan dan kemudian menuliskannya didalam lembar jawaban ketika ujian tiba mungkin semua anak dapat melakukanya dengan nominal nilai 10, tetapi untuk menjadikannya menjadi sebuah kebiasaan sehari-hari -yang dalam bahasa agama kita sering sebut “Akhlak”-.tampaknya akan sulit dipastikan keberhasilannya.
Keluarga Sebagai “Soko Guru Peradaban”
Solusi yang sedang dikembangkan dan sedang menjadi trend adalah dengan sekolah “full day” atau “Boarding school”, dengan harapan bisa mengisolasi anak dari pergaulan buruk masyarakat, yang secara teorinya tampak ampuh pada dataran empiriknya acap kali masih jadi tanda Tanya besar ataupun bahkan tampak gagap ketika harus diparalelkan dengan kekomplekan problem hidup kehidupan remaja yang juga butuh bermasyarakat. Inilah cermin kegalauan dan kecemasan masa depan anak kita. Sadar atau tidak suatu saat saya, engkau dan kita semua pasti akan menjadi ayah dan bunda yang akan memandu jalannya masa depan anak kita.
Berangkat dari persepsi perbandingan waktu yang tidak proporsional itu, dalam pandangan seorang P.Mujiran dalam bukunya “Pernak-pernik pendidikan” mengajak mengembalikan tugas pendidikan kepada institusi yang lebih kokoh dan lebih tua dari pendidikan formal sekolah. Instutusi itu adalah keluarga. Dengan mengembalikan tugas pendidikan kepada institusi keluarga , maka sebenarnya juga telah menghidupkan slogan “Belajar seumur hidup” (Life-long education) secara nyata. Sebab begitulah kenyataannya, begitu individu lahir maka dia akan mendaulat ayah dan ibunya sebagai gurunya yang pertama. Walaupun tanpa teks pengangkatan dan surat keputusan (SK). Cara ayah makan dan minum, kebiasaan ibu berbicara dan bersikap akan direkam dalam alam bawah sadar anak sebagai proses pendidikan yang akan menjadi kebiasaan sehari-hari
Keluarga sebagai “Tiang Negara”
Keluarga sebagai umat kecil yang memiliki pimpinan dan anggota, mempunyai pembagian tugas dan kerja, serta hak dan kewajiban bagi masing-masing anggotanya.”Umat besar” atau satu negara demikian pula halnya. Al qur’an menamakan satu komunitas sebagai “Ummat” dan menamakan ib yang melahirkananak keturunan sebagai “Umm”. Menurut Qurais Shihab Kedua kata tersebut terambil dari akar kata yang sama. Mengapa demikian? Agaknya ibu yang melahirkan anak keturunan itu dan yang dipundaknya terutama dibebankan pembinaan dan pendidikan anak.
Keluarga adaah sebagai sekolah tempat putra-putri bangsa belajar. Dari sana mereka mempelajari sifat-sifat mulia, seperti kesetiaan, rahmat, adab, sopan santun (Ahlaqul kariemah) dan kasih sayang, Ghiroh (kecemburuan positif) dan sebagainya. Disinilah tempat mereka belajar. Dari kehidupan keluarga, seorang ayah sekaligus suami memperoleh dan memupuk sifat keberanian dan keuletan sikap dan upaya dalam rangka membela sanak keluarganya dan membahagiakannya mereka pada saat hidupnya dan setelah kematiannya.
Keluarga adalah unit terkecil yang menjadi pendukung dan pembangkit lahirnya bangsa dan masyarakat. Selama pembangkit itu mampu menyalurkan arus yang kuat lagi sehat, selama itu pula masyarakat dan bangsa akan menjadi sehat dan kuat. Nah, disinilah peran besar keluarga yang ikut andil terhadap bangun-runtuhnya suatu masyarakat. Walaupun harus diakui pula bahwa masyarakat secara keseluruhan dapat mempengaruhi pula keadaan para keluarga.
Kalau dalam literatur keagamaan di kenal ungkapan al mar’ah ‘imaadul bilad (wanita dalah tiang negara), maka pada hakikatnya tidaklah meleset bila dikatakan bahwa Al usroh ‘imaadul bilad biha tahya wabiha tamuut (keluarga adalah tiang negara,dengan keluargalah negara bangkit atau runtuh).
Demikianlah, terlihat betapa besar peranan keluarga dan betapa keberhasilan kita secara perorangan atau kolektif, secara pribadi atau sebagai bangsa, didunia dan akherat, banyak sekali ditentukan oleh keberhasilan kita dalam keluarga masing-masing. Wajar jika Alloh berpesan : “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka” (QS 66:6).
Nah, berangkat dari persepsi diatas yang menjadi benang merah bahwa Salah satu tugas yang ditekankan adalah tugas mendidik bukanlah tugas guru dan sekolah semata, akan tetapi juga harus disadari orang tua sebagai tugas yang secara otomatis melekat manakala anak lahir ke dunia dan juga harus diterima sebagi tugas keluarga serta lingkungan, sebagaimana pepatah arab “Al-Insaanu ibnu biah” (manusia itu anak lingkungannya). Tugas ini tidak bisa di pungkiri dan dielak begitu saja dengan membebankan segala proses pendidikan kepada sekolah. Oleh karena keluarga merupakan Institusi yang paling dasar dalam suatu masyarakat dan paling dekat dengan individu-individu, maka tanggung jawab keluarga tidaklah kecil.
Dengan demikian apabila seluruh keluarga telah sadar akan tugas mulia itu, maka kita tidak terlalu cemas dengan pertanda “Kematian Sekolah” seperti yang ditengarai oleh Neill Postman. Juga boleh menganggap “sepi ancaman gurita kapitalisme licik yang mengangkangi sekolah” sebagaimana kecemasan Paulo Freire. Bahkan juga dapat membiarkan peringatan Roem Topatimasang tentang fungsi sekolah yang telah berubah menjadi candu. Sebab, apabila seluruh keluarga sadar akan tugas utamanya maka sesungguhnya sebuah “Masyarakat tanpa sekolah” ( Deschooling Society ) yang pernah diangankan oleh Ivan Illich tanpa terasa telah dibumikan secara nyata. Wallohu a’lamu bisshowab
Sabtu, 13 Maret 2010
inovasi pendidikan
Inovasi Pendidikan ; Tantangan Pendidikan Masa Depan
Abdul Qohin
Sebuah Pengantar
Menurut Prof Dr Yahya Muhaimin Sedikitnya ada tiga hal yang merupakan tantangan bagi pendidikan Indonesia di masa depan. Pertama, arus globalisasi yang berlangsung sejak awal tahun 1990an dan hingga kini masih terasa pengaruhnya. Kedua, sistem pendidikan yang masih mencari kemantapan dan kestabilan. Ketiga, nilai-nilai budaya masyarakat indonesia yang belum bisa mendudukan proses pembaharuan: ”jalan pintas”, tidak disiplin, egosentris, patrimonialisme.
Perkembangan pendidikan secara nasional di era reformasi, yang sering disebut-sebut oleh para pakar pendidikan maupun oleh para birokrasi di bidang pendidikan sebagai sebuah harapan untuk meningkatkan kualitas pendidikan di negeri ini dengan berbagai strategi inovasi, ternyata sampai saat ini masih belum menjadi harapan. Bahkan hampir dikatakan bukan kemajuan yang diperoleh, tapi “sebuah kemunduran yang tak pernah terjadi selama bangsa ini berdiri”.
Kalimat tersebut mungkin sangat radikal untuk diungkapkan, tapi inilah kenyataan yang terjadi dilapangan, sebagai sebuah ungkapan dari seorang guru yang mengkhawatirkan perkembangan pendidikan dewasa ini.
Tidak dapat dipungkiri, berbagai strategi dalam perubahan kurikulum, mulai dari Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) sampai pada penyempurnaannya melalui Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), merupakan sebuah inovasi kurikulum pendidikan yang sangat luar biasa, bahkan sangat berkaitan dengan undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yakni yang menyatakan bahwa pengelolaan satuan pendidikan usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah, dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip MBS.
Dalam penerapan KTSP, pelaksanaan inovasi kurikulum adalah sebuah keniscayaan. Inovasi secara sosialogis adalah menciptakan sesuatu yang baru untuk menjawab tantangan yang muncul. Ini dikenal dengan istilah discoveri. Ada yang benar-benar baru sebagai ujicoba, seperti memanfaatkan HP sebagai media belajar umapamanya, yang hingga kini belum ada yang mencobanya, ini disebut invation
Tantangan Pendidikan Masa depan
Membangun sektor pendidikan tidak akan pernah selesai dan tuntas, sepanjang peradaban manusia itu masih ada. Karena jika suatu bangsa selesai menangani satu masalah pendidikan, akan tumbuh lagi masalah lain yang baru dalam peradaban itu. Hal ini terjadi karena tuntutan jaman selalu berubah, sebagaimana juga pernah digambarkan oleh John F Kennedy dalam sebuah metafora. Change is a way of life. Those who look only to the past or present will miss the future.
Proses pendidikan tidak hanya sekadar mempersiapkan anak didik untuk mampu hidup dalam masyarakat kini, tetapi mereka juga harus disiapkan untuk hidup di masyarakat yang akan datang yang semakin lama semakin sulit diprediksi karakteristiknya.
Kesulitan memprediksi karakteristik masyarakat yang akan datang disebabkan oleh kenyataan bahwa di era global ini perkembangan masyarakat tidak linier lagi. Perkembangan masyarakat penuh dengan diskontinuitas. Oleh karena itu, keberhasilan kita masa lalu belum tentu memiliki validitas untuk menangani dan menyelesaikan persoalan pendidikan masa kini dan masa yang akan datang.
Lebih lanjut Prof Dr Yahya Muhaimin menjelaskan Ada beberapa tantangan yang terbentang di hadapan kita dalam melangkah ke depan, yakni tantangan internal dan eksternal. Tantangan tersebut harus di antisipasi oleh lembaga dalam hal ini adalah sekolah.
Pertama, pada era globalisasi, era abad ke-21, di samping dunia mengalami perkembanagna teknologi yang dahsyat, termasuk teknologi informasi, dunia juga mengalami keterbukaan yang amat sangat, sehingga ummat manusia mengalami mobilitas yang bukan main cepatnya. Karena itu kita juga mengalami perubahan masyarakat yang tidak putus-putusnya, yang menyebabkan ummat juga mengalami ketidak-seimbangan. Konstagnasi ini bisa dilihat dari buah pikiran para pemikir dunia, seperti John Naisbitt, Samuel Huntington, Kenichi Ohmae, Francis Fukuyama, dan lain-lain.
Pada dimensi yang lain, globalisasi akan memudahkan masuknya nilai-nilai baru. Begitu deras nilai-nilai baru itu membanjiri masyarakat sehingga amat sering tidak lagi dapat di kontrol secara memadai. Akhirnya anggota masyarakat menjadi mengalami kebingungan dan ketidak-seimbangan hidup, bahkan shizophrenia. Dalam kondisi seperti itulah maka tidak pernah akan mudah orang memiliki daya kreatifitas dan kompetitif.
Kedua, guna mencapai tujuan tersebut, yakni menciptakan dan memelihara anggota masyarakat menjadi ”kuat” maka lembaga dan sistem pendidikan harus menopangnya, yakni agar lembaga dan sistem pendidikan kita benar-benar berfungsi secara optimal. Sistem ini pada satu segi menyediakan sarana dan prasarana yang memadai, dan pada segi lain juga membina serta memelihara para guru menjadi kuat, menjadi memiliki kompetensi yang memadai antara dengan menjaga harga diri dan wibawa serta kesejahteraan ekonomi para guru sehingga bisa berfungsi secara optimal. Hal yang penting di dalam proses pendidikan tersebut, karena itu, adalah terpeliharanya ”rasa ingin tahu” (curiosity), sebab tanpa adanya curiosity maka sulit bagi kita untuk mempunyai kreativitas dan inovasi.
Ketiga, walaupun kontroversi terhadap dimensi struktural dan kultural hingga kini belum berakhir, namun faktor budaya merupakan faktor yang penting. Nilai-nilai budaya dapat menjadi faktor penunjang yang utama namun juga dapat menjadi tantangan yang serius. Pola budaya yang amat dominan dalam kehidupan orang indonesia adalah patrimonialisme, kolektivisme dan paternalisme. Paternalisme selama ini telah menjadi faktor stabilisator, demikian juga kolektivisme (sharing atau kebersamaan) telah mendorong terpeliharanya harmoni di dalam masyarakat. Pada masa-masa era zaman klasik, patrimonialisme juga telah mendorong berlangsungnya kestabilan. Namun dalam era keterbukaan dan reformasi, maka pola-pola budaya seperti di atas harus mengalami transformasi sebagaimana Jepang mengalami transformasi dari nilai samurai menjadi nilai entrepreneurial yang begitu invatif dan kompetitif
Arah Inovasi Pendidikan
Inovasi pendidikan merupakan upaya dasar dalam memperbaiki aspek-aspek pendidikan dalam praktiknya. Dan lebih detail bahwa inovasi pendidikan adalah ide, barang, metode yang dirasakan atau diamati sebagai hal yang baru bagi seseorang atau sekelompok orang (masyarakat) yang digunakan untuk mencapai tujuan tertentu dalam pendidikan atau memecahkan masalah-masalah pendidikan.
Inovasi pendidikan menurut Tilaar harus didukung oleh kesadaran masyarakat untuk berubah. Apabila suatu masyarakat belum menghendaki suatu sistem pendidikanyang diinginkan maka tidak akan mungkin suatu perubahan atau inovasi pendidikan terjadi.
Inovasi pendidikan di Indonesia dapat dilihat dari empat aspek, yaitu tujuan pendidikan, struktur pendidikan dan pengajaran, metode kurikulum dan pengajaran serta perubahan terhadap aspek-aspek pendidikan dan proses. Aspek ketiga adalah inovasi pendidikan meliputi pembaruan dalam materi dan isi kurikulum dam pengajaran. Inovasi materi atau isi kurikulum, yaitu meliputi inovasi pendidikan yang disajikan. Contohnya, bagaimana meningkatkan mutu proses belajar dan mengajar dan bagaimana menerapkan muatan lokal dari kurikulum nasional.
aspek keempat dalam inovasi pendidikan adalah perubahan terhadap aspek-aspek pendidikan dan proses yang meliputi penggunaan multimode dan multimedia dalam kegiatan belajar. Penggunaan kombinasi metode atau media dilakukan oleh guru pada saat proses berlangsung, dan diharapkan dapat memberikan hasil yang efektif.
Perkembangan suatu inovasi didorong oleh motivasi untuk melakukan inovasi pendidikan itu sendiri. Motivasi itu bersumber pada dua hal, yaitu kemauan sekolah atau lembaga utuk mengadakan respons terhadap tantangan perubahan masyarakt dan adanya usaha untuk mneggunakan sekolah dalam memecahkan masalah yang dihadapi.
Beberapa Contoh Inovasi Pendidikan
Di beberapa sekolah telah di kembangkan berbagai model pembelajaran yang beraneka ragam serta inovatif sesuai dengan tingkat perkembangan peserta didik. Perkembangan inovasi pendidikan pada tingkat pendidikan dasar khususnya sekolah dasar sudah banyak dilakukan oleh para guru. Misalnya, pelaksanaan kegiatan pembelajaran melalui pembelajaran terpadu; penulisan tujuan pembelajaran dengan perumusan yang benar yaitu mengandung unsur Audience, Behavior, Condition, dan Degree, pendekatan pembelajaran melalui cara belajar siswa aktif dan lain-lain,
Sebelum munculnya berbagai variasi model pola Lesson Plan, masih menggunakan pla intruksional. Namun pada perkembangannya dengan masuknya, teknologi pembelajaran Quantum Teaching, dapat digunakan perencanaan pengajaran yang dikenal dengan istilah TANDUR. T : Tumbuhkan minat dengan memuaskan ”Apakah Manfaatnya Bagi-Ku ”(AMBAK), dan manfaatkan kehidupan pelajar. A : Alami,Ciptakan atau datangkan pengalamanumum yang dapat dimengerti semua pelajar. N : Namai, Sediakan kata kunci, konsep, model, rumus, strategi, sebuah masukan. D : Demonstrasikan, Sediakan kesempatan bagi pelajar untuk menunjukkan bahwa mereka tahu. U : Ulangi,Tunjukkan pelajar cara-cara lain untuk mendemonstrasikan bahwa mereka paham. R : Rayakan, Akui setiap Usaha. Pengakuan untuk penyelesaian, partisipasi dan pemerolehan keterampilan dan ilmu pengetahuan.
Di dalam metode belajar terdapat inovasi yang dikenal dengan Accelerated Learning, yaitu belajar dengan menggunakan relaksasi dan perasaan atau emosi yang positif (mengaktifkan kekuatan pikiran bawah sadar untuk mencapai tujuan). Metode ini akan menyempurnakan cara belajar siswa aktif yang telah dikenal selama ini.
Selain itu,penggunaan Internet sudah menjadi keharusan untuk melakukan terobosan dan bahkan beberapa sekolah sudah menerapkan penggunakan media Internet sebagai basis pembelajaran (pembelajaran berbasisi IT) dengan area hot spot di sekolah semakin memudahkan guru untuk dapat mengakses materi-materi pelajaran aktual melalui internet.
Salah satu contoh penggunaan internet dalam bidang pendidikan adalah WEB-CT. WEB-CT adalah software untuk pembelajaran melalui internet yang dikembangkan oleh WEB-CT.com di Kanada. Dengan mengunakan WEB-CT ini siswa cukup duduk di depan komputer, dan siswa dapat langsung mengikuti perkuliahan atau pelajaran dari guru.Siswa juga dapat bertanya atau berdiskusi dengan guru atau dengan temannya. Selain WEB-CT masih banyak website lain yang menawarkan pembelajran melalui internet, seperti safeKids.com, Letsfindout.com.
Tentu masih banyak lagi inovasi pendidikan di berbagai negara yang barang kali tidak semua serupa. Dan perlu di sadari pula sudah menjadi keniscayaan bahwa jika kita tidak melakukan inovasi pembelajaran dan secara umum pendidikan maka kita akan semakin ketinggalan dan akan di tinggalkan oleh konsumen. Inovasi harus menjadi prioritas penting dalam pengembangan sektor pendidikan. Tanpa ada inovasi yang signifikan, pendidikan kita hanya akan menghasilkan lulusan yang tidak mandiri, selalu tergantung pada pihak lain. Dalam perspektif global, hasil pendidikan yang demikian itu justru akan menjadi beban bagi bangsa dan negara republik ini. Dengan demikian, pendidikan harus digunakan sebagai inovasi nasional bagi pencapaian dan peningkatan kualitas outcome secara berkelanjutan dan tersistem agar unggulan kompetitif selalu dapat dipertahankan.
Abdul Qohin
Sebuah Pengantar
Menurut Prof Dr Yahya Muhaimin Sedikitnya ada tiga hal yang merupakan tantangan bagi pendidikan Indonesia di masa depan. Pertama, arus globalisasi yang berlangsung sejak awal tahun 1990an dan hingga kini masih terasa pengaruhnya. Kedua, sistem pendidikan yang masih mencari kemantapan dan kestabilan. Ketiga, nilai-nilai budaya masyarakat indonesia yang belum bisa mendudukan proses pembaharuan: ”jalan pintas”, tidak disiplin, egosentris, patrimonialisme.
Perkembangan pendidikan secara nasional di era reformasi, yang sering disebut-sebut oleh para pakar pendidikan maupun oleh para birokrasi di bidang pendidikan sebagai sebuah harapan untuk meningkatkan kualitas pendidikan di negeri ini dengan berbagai strategi inovasi, ternyata sampai saat ini masih belum menjadi harapan. Bahkan hampir dikatakan bukan kemajuan yang diperoleh, tapi “sebuah kemunduran yang tak pernah terjadi selama bangsa ini berdiri”.
Kalimat tersebut mungkin sangat radikal untuk diungkapkan, tapi inilah kenyataan yang terjadi dilapangan, sebagai sebuah ungkapan dari seorang guru yang mengkhawatirkan perkembangan pendidikan dewasa ini.
Tidak dapat dipungkiri, berbagai strategi dalam perubahan kurikulum, mulai dari Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) sampai pada penyempurnaannya melalui Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), merupakan sebuah inovasi kurikulum pendidikan yang sangat luar biasa, bahkan sangat berkaitan dengan undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yakni yang menyatakan bahwa pengelolaan satuan pendidikan usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah, dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip MBS.
Dalam penerapan KTSP, pelaksanaan inovasi kurikulum adalah sebuah keniscayaan. Inovasi secara sosialogis adalah menciptakan sesuatu yang baru untuk menjawab tantangan yang muncul. Ini dikenal dengan istilah discoveri. Ada yang benar-benar baru sebagai ujicoba, seperti memanfaatkan HP sebagai media belajar umapamanya, yang hingga kini belum ada yang mencobanya, ini disebut invation
Tantangan Pendidikan Masa depan
Membangun sektor pendidikan tidak akan pernah selesai dan tuntas, sepanjang peradaban manusia itu masih ada. Karena jika suatu bangsa selesai menangani satu masalah pendidikan, akan tumbuh lagi masalah lain yang baru dalam peradaban itu. Hal ini terjadi karena tuntutan jaman selalu berubah, sebagaimana juga pernah digambarkan oleh John F Kennedy dalam sebuah metafora. Change is a way of life. Those who look only to the past or present will miss the future.
Proses pendidikan tidak hanya sekadar mempersiapkan anak didik untuk mampu hidup dalam masyarakat kini, tetapi mereka juga harus disiapkan untuk hidup di masyarakat yang akan datang yang semakin lama semakin sulit diprediksi karakteristiknya.
Kesulitan memprediksi karakteristik masyarakat yang akan datang disebabkan oleh kenyataan bahwa di era global ini perkembangan masyarakat tidak linier lagi. Perkembangan masyarakat penuh dengan diskontinuitas. Oleh karena itu, keberhasilan kita masa lalu belum tentu memiliki validitas untuk menangani dan menyelesaikan persoalan pendidikan masa kini dan masa yang akan datang.
Lebih lanjut Prof Dr Yahya Muhaimin menjelaskan Ada beberapa tantangan yang terbentang di hadapan kita dalam melangkah ke depan, yakni tantangan internal dan eksternal. Tantangan tersebut harus di antisipasi oleh lembaga dalam hal ini adalah sekolah.
Pertama, pada era globalisasi, era abad ke-21, di samping dunia mengalami perkembanagna teknologi yang dahsyat, termasuk teknologi informasi, dunia juga mengalami keterbukaan yang amat sangat, sehingga ummat manusia mengalami mobilitas yang bukan main cepatnya. Karena itu kita juga mengalami perubahan masyarakat yang tidak putus-putusnya, yang menyebabkan ummat juga mengalami ketidak-seimbangan. Konstagnasi ini bisa dilihat dari buah pikiran para pemikir dunia, seperti John Naisbitt, Samuel Huntington, Kenichi Ohmae, Francis Fukuyama, dan lain-lain.
Pada dimensi yang lain, globalisasi akan memudahkan masuknya nilai-nilai baru. Begitu deras nilai-nilai baru itu membanjiri masyarakat sehingga amat sering tidak lagi dapat di kontrol secara memadai. Akhirnya anggota masyarakat menjadi mengalami kebingungan dan ketidak-seimbangan hidup, bahkan shizophrenia. Dalam kondisi seperti itulah maka tidak pernah akan mudah orang memiliki daya kreatifitas dan kompetitif.
Kedua, guna mencapai tujuan tersebut, yakni menciptakan dan memelihara anggota masyarakat menjadi ”kuat” maka lembaga dan sistem pendidikan harus menopangnya, yakni agar lembaga dan sistem pendidikan kita benar-benar berfungsi secara optimal. Sistem ini pada satu segi menyediakan sarana dan prasarana yang memadai, dan pada segi lain juga membina serta memelihara para guru menjadi kuat, menjadi memiliki kompetensi yang memadai antara dengan menjaga harga diri dan wibawa serta kesejahteraan ekonomi para guru sehingga bisa berfungsi secara optimal. Hal yang penting di dalam proses pendidikan tersebut, karena itu, adalah terpeliharanya ”rasa ingin tahu” (curiosity), sebab tanpa adanya curiosity maka sulit bagi kita untuk mempunyai kreativitas dan inovasi.
Ketiga, walaupun kontroversi terhadap dimensi struktural dan kultural hingga kini belum berakhir, namun faktor budaya merupakan faktor yang penting. Nilai-nilai budaya dapat menjadi faktor penunjang yang utama namun juga dapat menjadi tantangan yang serius. Pola budaya yang amat dominan dalam kehidupan orang indonesia adalah patrimonialisme, kolektivisme dan paternalisme. Paternalisme selama ini telah menjadi faktor stabilisator, demikian juga kolektivisme (sharing atau kebersamaan) telah mendorong terpeliharanya harmoni di dalam masyarakat. Pada masa-masa era zaman klasik, patrimonialisme juga telah mendorong berlangsungnya kestabilan. Namun dalam era keterbukaan dan reformasi, maka pola-pola budaya seperti di atas harus mengalami transformasi sebagaimana Jepang mengalami transformasi dari nilai samurai menjadi nilai entrepreneurial yang begitu invatif dan kompetitif
Arah Inovasi Pendidikan
Inovasi pendidikan merupakan upaya dasar dalam memperbaiki aspek-aspek pendidikan dalam praktiknya. Dan lebih detail bahwa inovasi pendidikan adalah ide, barang, metode yang dirasakan atau diamati sebagai hal yang baru bagi seseorang atau sekelompok orang (masyarakat) yang digunakan untuk mencapai tujuan tertentu dalam pendidikan atau memecahkan masalah-masalah pendidikan.
Inovasi pendidikan menurut Tilaar harus didukung oleh kesadaran masyarakat untuk berubah. Apabila suatu masyarakat belum menghendaki suatu sistem pendidikanyang diinginkan maka tidak akan mungkin suatu perubahan atau inovasi pendidikan terjadi.
Inovasi pendidikan di Indonesia dapat dilihat dari empat aspek, yaitu tujuan pendidikan, struktur pendidikan dan pengajaran, metode kurikulum dan pengajaran serta perubahan terhadap aspek-aspek pendidikan dan proses. Aspek ketiga adalah inovasi pendidikan meliputi pembaruan dalam materi dan isi kurikulum dam pengajaran. Inovasi materi atau isi kurikulum, yaitu meliputi inovasi pendidikan yang disajikan. Contohnya, bagaimana meningkatkan mutu proses belajar dan mengajar dan bagaimana menerapkan muatan lokal dari kurikulum nasional.
aspek keempat dalam inovasi pendidikan adalah perubahan terhadap aspek-aspek pendidikan dan proses yang meliputi penggunaan multimode dan multimedia dalam kegiatan belajar. Penggunaan kombinasi metode atau media dilakukan oleh guru pada saat proses berlangsung, dan diharapkan dapat memberikan hasil yang efektif.
Perkembangan suatu inovasi didorong oleh motivasi untuk melakukan inovasi pendidikan itu sendiri. Motivasi itu bersumber pada dua hal, yaitu kemauan sekolah atau lembaga utuk mengadakan respons terhadap tantangan perubahan masyarakt dan adanya usaha untuk mneggunakan sekolah dalam memecahkan masalah yang dihadapi.
Beberapa Contoh Inovasi Pendidikan
Di beberapa sekolah telah di kembangkan berbagai model pembelajaran yang beraneka ragam serta inovatif sesuai dengan tingkat perkembangan peserta didik. Perkembangan inovasi pendidikan pada tingkat pendidikan dasar khususnya sekolah dasar sudah banyak dilakukan oleh para guru. Misalnya, pelaksanaan kegiatan pembelajaran melalui pembelajaran terpadu; penulisan tujuan pembelajaran dengan perumusan yang benar yaitu mengandung unsur Audience, Behavior, Condition, dan Degree, pendekatan pembelajaran melalui cara belajar siswa aktif dan lain-lain,
Sebelum munculnya berbagai variasi model pola Lesson Plan, masih menggunakan pla intruksional. Namun pada perkembangannya dengan masuknya, teknologi pembelajaran Quantum Teaching, dapat digunakan perencanaan pengajaran yang dikenal dengan istilah TANDUR. T : Tumbuhkan minat dengan memuaskan ”Apakah Manfaatnya Bagi-Ku ”(AMBAK), dan manfaatkan kehidupan pelajar. A : Alami,Ciptakan atau datangkan pengalamanumum yang dapat dimengerti semua pelajar. N : Namai, Sediakan kata kunci, konsep, model, rumus, strategi, sebuah masukan. D : Demonstrasikan, Sediakan kesempatan bagi pelajar untuk menunjukkan bahwa mereka tahu. U : Ulangi,Tunjukkan pelajar cara-cara lain untuk mendemonstrasikan bahwa mereka paham. R : Rayakan, Akui setiap Usaha. Pengakuan untuk penyelesaian, partisipasi dan pemerolehan keterampilan dan ilmu pengetahuan.
Di dalam metode belajar terdapat inovasi yang dikenal dengan Accelerated Learning, yaitu belajar dengan menggunakan relaksasi dan perasaan atau emosi yang positif (mengaktifkan kekuatan pikiran bawah sadar untuk mencapai tujuan). Metode ini akan menyempurnakan cara belajar siswa aktif yang telah dikenal selama ini.
Selain itu,penggunaan Internet sudah menjadi keharusan untuk melakukan terobosan dan bahkan beberapa sekolah sudah menerapkan penggunakan media Internet sebagai basis pembelajaran (pembelajaran berbasisi IT) dengan area hot spot di sekolah semakin memudahkan guru untuk dapat mengakses materi-materi pelajaran aktual melalui internet.
Salah satu contoh penggunaan internet dalam bidang pendidikan adalah WEB-CT. WEB-CT adalah software untuk pembelajaran melalui internet yang dikembangkan oleh WEB-CT.com di Kanada. Dengan mengunakan WEB-CT ini siswa cukup duduk di depan komputer, dan siswa dapat langsung mengikuti perkuliahan atau pelajaran dari guru.Siswa juga dapat bertanya atau berdiskusi dengan guru atau dengan temannya. Selain WEB-CT masih banyak website lain yang menawarkan pembelajran melalui internet, seperti safeKids.com, Letsfindout.com.
Tentu masih banyak lagi inovasi pendidikan di berbagai negara yang barang kali tidak semua serupa. Dan perlu di sadari pula sudah menjadi keniscayaan bahwa jika kita tidak melakukan inovasi pembelajaran dan secara umum pendidikan maka kita akan semakin ketinggalan dan akan di tinggalkan oleh konsumen. Inovasi harus menjadi prioritas penting dalam pengembangan sektor pendidikan. Tanpa ada inovasi yang signifikan, pendidikan kita hanya akan menghasilkan lulusan yang tidak mandiri, selalu tergantung pada pihak lain. Dalam perspektif global, hasil pendidikan yang demikian itu justru akan menjadi beban bagi bangsa dan negara republik ini. Dengan demikian, pendidikan harus digunakan sebagai inovasi nasional bagi pencapaian dan peningkatan kualitas outcome secara berkelanjutan dan tersistem agar unggulan kompetitif selalu dapat dipertahankan.
Selasa, 09 Februari 2010
surat buat kang nasir
“Saat Bahagia”
(Buat Kang NasirYang Sedang Bahagia)
“Akhirnya kumenemukanmu
Saat hati ini mulai merapuh
Akhirnya kumenemukanmu
Saat hati ini mulai berlabuh
Ku berharap engkaulah jawaban sglala risau hatiku”
Pertama kali saya menulis ini, saya teringat kawan saya yang minggu-minggu ini sedang berbunga-bunga hatinya. Berbunga karena telah menemukan “Teman sejati” untuk pendamping dan menemani setiap detik yang berlalu. Tentulah kita paham orang macam apa yang senang mendengarkannya lagu milik kelompok “NAFF” yang sempat nge-hit beberapa bulan yang lalu. Dengan judul “Akhirnya Ku Menemukanmu”, sudah jelas apa artinya. Sebuah akhir penantian yang panjang nan amat melelahkan akan segera terobati dengan datangnya “Sang Fajar ” penyelamat ditengah hiruk pikuk kehidupan yang makin hari makin terasa melelahkan.
Tiba-tiba dunia jadi serba indah, seolah dunia begitu bersahabat dan semua masalah memunculkan solusinya masing-masing. Lintasan masa yang sempat teramat berat dijalani jadi seringan kapas. Masa lalu yang begitu pahit seolah lenyap, manakala melihat “Sang Dewi” yang sebentar lagi akan hadir. Masa depan yang samar-samar mulai menyibakkan setitik sinar terang………nun jauh disana.
Ya, itulah gambaran kawanku -bukan hanya kawanku, tapi kawan kita semua- yang sedang kasmaran dan sedang bahagia hari-harinya. Semua memang serba indah saat situasi sedang menyenangkan. Tapi adakah jaminan bahwa segala pengertian, pemaafan dan penerimaan terhadap kesalahan pasangan hidup/orang lain tetap akan sama jika situasinya berubah ? apakah Sang suami/istri masih mau dengan bijak membela kesalahan-kesalahan pasangan hidup saat, “Taruhlah”, kita tak sebagus sekarang.
Jalan hidup masih panjang kawan. Samudra masih terbentang maha luas kawan! Masih ada waktu untuk menyiapkan diri dengan bekal yang secukupnya untuk mengarungi samudra harapan Bos! Kita tak boleh lengah dengan badai yang mungkin akan sedikit menghambat langkah kita.
Ya, kita tunggu hasil akhirnya. Apakah masa bulan madu itu hanya seumur jagung atau bakal terus terjaga sampai penantian itu benar-benar terwujud dalam realita berupa sampainya kalian ke tujuan akhir sebagaimana kapal berlayar yaitu sebuah pulau yang di cita-citakan segenap umat manusia “Pulau Kebahagiaan” atau setidaknya “Mimpi yang sempurna teraih”. Dan apakah semua akan tetap indah sebagaimana indahnya sekarang jika untuk kesekian kalinya harapan menjauh dari pelupuk mata. Aha…..!
Harapan untuk menemukan “Seseorang” memang harus terus di jaga dan diperjuangkan, tetapi tetap dengan jalur-jalur yang baik. Entah esok, entah lusa, jika pun gagal, semoga dunia ini bisa tetap seindah sekarang. Selamat berbahagia kawan, semoga sakinah, mawaddah nan rohmah menyertai setiap jejak langkahmu. Selamat berlayar ke samudra pengharapan menempuh perjalanan panjang dan semoga selamat sampai ke tujuan akhir “Pulau Kebahagian” teraih
Selamat berbahagia kang Nasir, Mudah-mudahan Sakinah Mawaddah Nan Rohmah senantiasa menaungi bahtera perahu yang sedang kalian jalani.
“Jika nanti kusanding dirimu
Milikilah aku dengan segala kelemahanku
Dan bial nanti engkau disampingku
Jangan pernah letih tuk mencintaiku”
(Buat Kang NasirYang Sedang Bahagia)
“Akhirnya kumenemukanmu
Saat hati ini mulai merapuh
Akhirnya kumenemukanmu
Saat hati ini mulai berlabuh
Ku berharap engkaulah jawaban sglala risau hatiku”
Pertama kali saya menulis ini, saya teringat kawan saya yang minggu-minggu ini sedang berbunga-bunga hatinya. Berbunga karena telah menemukan “Teman sejati” untuk pendamping dan menemani setiap detik yang berlalu. Tentulah kita paham orang macam apa yang senang mendengarkannya lagu milik kelompok “NAFF” yang sempat nge-hit beberapa bulan yang lalu. Dengan judul “Akhirnya Ku Menemukanmu”, sudah jelas apa artinya. Sebuah akhir penantian yang panjang nan amat melelahkan akan segera terobati dengan datangnya “Sang Fajar ” penyelamat ditengah hiruk pikuk kehidupan yang makin hari makin terasa melelahkan.
Tiba-tiba dunia jadi serba indah, seolah dunia begitu bersahabat dan semua masalah memunculkan solusinya masing-masing. Lintasan masa yang sempat teramat berat dijalani jadi seringan kapas. Masa lalu yang begitu pahit seolah lenyap, manakala melihat “Sang Dewi” yang sebentar lagi akan hadir. Masa depan yang samar-samar mulai menyibakkan setitik sinar terang………nun jauh disana.
Ya, itulah gambaran kawanku -bukan hanya kawanku, tapi kawan kita semua- yang sedang kasmaran dan sedang bahagia hari-harinya. Semua memang serba indah saat situasi sedang menyenangkan. Tapi adakah jaminan bahwa segala pengertian, pemaafan dan penerimaan terhadap kesalahan pasangan hidup/orang lain tetap akan sama jika situasinya berubah ? apakah Sang suami/istri masih mau dengan bijak membela kesalahan-kesalahan pasangan hidup saat, “Taruhlah”, kita tak sebagus sekarang.
Jalan hidup masih panjang kawan. Samudra masih terbentang maha luas kawan! Masih ada waktu untuk menyiapkan diri dengan bekal yang secukupnya untuk mengarungi samudra harapan Bos! Kita tak boleh lengah dengan badai yang mungkin akan sedikit menghambat langkah kita.
Ya, kita tunggu hasil akhirnya. Apakah masa bulan madu itu hanya seumur jagung atau bakal terus terjaga sampai penantian itu benar-benar terwujud dalam realita berupa sampainya kalian ke tujuan akhir sebagaimana kapal berlayar yaitu sebuah pulau yang di cita-citakan segenap umat manusia “Pulau Kebahagiaan” atau setidaknya “Mimpi yang sempurna teraih”. Dan apakah semua akan tetap indah sebagaimana indahnya sekarang jika untuk kesekian kalinya harapan menjauh dari pelupuk mata. Aha…..!
Harapan untuk menemukan “Seseorang” memang harus terus di jaga dan diperjuangkan, tetapi tetap dengan jalur-jalur yang baik. Entah esok, entah lusa, jika pun gagal, semoga dunia ini bisa tetap seindah sekarang. Selamat berbahagia kawan, semoga sakinah, mawaddah nan rohmah menyertai setiap jejak langkahmu. Selamat berlayar ke samudra pengharapan menempuh perjalanan panjang dan semoga selamat sampai ke tujuan akhir “Pulau Kebahagian” teraih
Selamat berbahagia kang Nasir, Mudah-mudahan Sakinah Mawaddah Nan Rohmah senantiasa menaungi bahtera perahu yang sedang kalian jalani.
“Jika nanti kusanding dirimu
Milikilah aku dengan segala kelemahanku
Dan bial nanti engkau disampingku
Jangan pernah letih tuk mencintaiku”
Minggu, 07 Februari 2010
Matinya Sekolah
“Matinya Sekolah?”
Bila Implementasi Pendidikan keluarga telah membumi
Ironi pendidikan kini; Sebuah Elegi masa depan
Pendidikan merupakan lembaga yang dianggap paling bertanggung jawab terhadap perkembangan sebuah bangsa. Tak ayal, ketika produk instansi ini tidak sesuai dengan harapan, maka pihak yang paling sering dipersalahkan adalah sekolah dan lembaga pendidikan. Ini tercermin ketika ada seorang guru yang sudah tua mulai mengeluh ,mengapa setiap terjadi kasus “Kecelakaan” penyaluran bakat remaja, semisal tawuran antar pelajar, perampokan yang dilakukan oleh pelajar, budaya nyabu, ngoplo, nyimeng, sampai kasus “Bandung lautan asmara” dan casting iklan sabun “Kamar kecil biru” diterminal Tirtonadi Solo, selalu saja guru dan lembaga pendidikan yang selalu dipersalahkan dan dipermasalahkan. Mulai dari menyorot soal ketidakseriusan guru mendidik dan krisis keteladanan guru yang tidak patut lagi “di gugu dan ditiru” sampai dengan mempolemikkan perlu tidaknya menghidupkan kembalii mata pelajaran budi pekerti atau bahkan menambah jam pelajaran Agama ditengah pelajaran moral pancasila dan PPKn yang semakin kehilangan orientasi nilai. Tak ayal, sekolah atau lembaga pendidikan seolah menjadi biang kerok atas semua kemelut bangsa dan menjadi pihak yang pertama yang harus diadili. Sungguh ironis, lembaga yang harusnya menjadi “Kawah Condrodimuko” malah menjadi pihak yang mesti dipersoalkan eksistensinya dalam membangun peradaban.
Padahal kalau kita cermati alokasi waktu bagi anak-anak tersebut dalam naungan atap sekolah tidak lebih dari 6 jam dalam 24 jam hidup sehari-hari. Waktu 6 jam pun masih dipotong untuk istirahat, hari libur setiap minggu dan beberapa hari libur insidental yang juga cukup banyak. Dapat di hitung berapa waktu yang mungkin dapat di manfaatkan oleh guru untuk mengontrol semua kegiatan atau aktifitas murid-muridnya. Dalam waktu yang sedikit itu,seorang guru di tuntut harus mencerdaskan,mengadabkan,membudayakan serangkuman materi kedalam otak anak. Mungkinkah semuanya dapat tercapai ?
Seorang guru jelas bukan tukang sulap yang mampu mengubah segala sesuatu dengan mantra “abrakadabra” atau “sim salabim” yang dengan sendiri otomatis menjadi “kunfayakun”, Beliau juga bukan “Superman” yang mampu melakukan semua dengan mudah, pun beliau juga bukan “Uber match”-nya ala neitzhe yang mampu menjalankan fungsinya sebagai manusia yang serba bisa, tetapi Beliau juga manusia biasa yang kadang terhimpit berbagai masalah dan kegetiran hidup yang cukup menyesakkan dada yang membutuhkan alam pikir kreatif. Demikian pula ruang kelas bukanlah mesin foto kopi yang bisa menstranfer seluruh catatan buku pada lembaran kertas yang kosong yang tak terbatas jumlahnya, dan murid pun bukanlah lembaran kertas yang kosong tetapi murid adalah potensi yang harus di kembangkan dengan berbagai kekomplekan poblemnya.
Persoalannya pun tidak cukup berhenti sampai disini. Seorang murid yang baru saja diajar tentang sopan santun berbicara, kalau berbicara harus menghindari kosa kata yang kotor dan tidak pantas, tetapi sampai dirumah orangt tuanya biasa berperang mulut ala telenovela dengan mengobral nama-nama seluruh koleksi kebun binatang. Apakah pelajaran moral yang baru saja didapat didalam ruang kelas tersebut bermanfaat dan membekas didalam hati serta alam bawah sadarnya anak? kalau sekedar mengingatkan dan kemudian menuliskannya didalam lembar jawaban ketika ujian tiba mungkin semua anak dapat melakukanya dengan nominal nilai 10, tetapi untuk menjadikannya menjadi sebuah kebiasaan sehari-hari -yang dalam bahasa agama kita sering sebut “Akhlak”-.tampaknya akan sulit dipastikan keberhasilannya.
Keluarga Sebagai “Soko Guru Peradaban”
Solusi yang sedang dikembangkan dan sedang menjadi trend adalah dengan sekolah “full day” atau “Boarding school”, dengan harapan bisa mengisolasi anak dari pergaulan buruk masyarakat, yang secara teorinya tampak ampuh pada dataran empiriknya acap kali masih jadi tanda Tanya besar ataupun bahkan tampak gagap ketika harus diparalelkan dengan kekomplekan problem hidup kehidupan remaja yang juga butuh bermasyarakat. Inilah cermin kegalauan dan kecemasan masa depan anak kita. Sadar atau tidak suatu saat saya, engkau dan kita semua pasti akan menjadi ayah dan bunda yang akan memandu jalannya masa depan anak kita.
Berangkat dari persepsi perbandingan waktu yang tidak proporsional itu, dalam pandangan seorang P.Mujiran dalam bukunya “Pernak-pernik pendidikan” mengajak mengembalikan tugas pendidikan kepada institusi yang lebih kokoh dan lebih tua dari pendidikan formal sekolah. Instutusi itu adalah keluarga. Dengan mengembalikan tugas pendidikan kepada institusi keluarga , maka sebenarnya juga telah menghidupkan slogan “Belajar seumur hidup” (Life-long education) secara nyata. Sebab begitulah kenyataannya, begitu individu lahir maka dia akan mendaulat ayah dan ibunya sebagai gurunya yang pertama. Walaupun tanpa teks pengangkatan dan surat keputusan (SK). Cara ayah makan dan minum, kebiasaan ibu berbicara dan bersikap akan direkam dalam alam bawah sadar anak sebagai proses pendidikan yang akan menjadi kebiasaan sehari-hari
Keluarga sebagai “Tiang Negara”
Keluarga sebagai umat kecil yang memiliki pimpinan dan anggota, mempunyai pembagian tugas dan kerja, serta hak dan kewajiban bagi masing-masing anggotanya.”Umat besar” atau satu negara demikian pula halnya. Al qur’an menamakan satu komunitas sebagai “Ummat” dan menamakan ib yang melahirkananak keturunan sebagai “Umm”. Menurut Qurais Shihab Kedua kata tersebut terambil dari akar kata yang sama. Mengapa demikian? Agaknya ibu yang melahirkan anak keturunan itu dan yang dipundaknya terutama dibebankan pembinaan dan pendidikan anak.
Keluarga adaah sebagai sekolah tempat putra-putri bangsa belajar. Dari sana mereka mempelajari sifat-sifat mulia, seperti kesetiaan, rahmat, adab, sopan santun (Ahlaqul kariemah) dan kasih sayang, Ghiroh (kecemburuan positif) dan sebagainya. Disinilah tempat mereka belajar. Dari kehidupan keluarga, seorang ayah sekaligus suami memperoleh dan memupuk sifat keberanian dan keuletan sikap dan upaya dalam rangka membela sanak keluarganya dan membahagiakannya mereka pada saat hidupnya dan setelah kematiannya.
Keluarga adalah unit terkecil yang menjadi pendukung dan pembangkit lahirnya bangsa dan masyarakat. Selama pembangkit itu mampu menyalurkan arus yang kuat lagi sehat, selama itu pula masyarakat dan bangsa akan menjadi sehat dan kuat. Nah, disinilah peran besar keluarga yang ikut andil terhadap bangun-runtuhnya suatu masyarakat. Walaupun harus diakui pula bahwa masyarakat secara keseluruhan dapat mempengaruhi pula keadaan para keluarga.
Kalau dalam literatur keagamaan di kenal ungkapan al mar’ah ‘imaadul bilad (wanita dalah tiang negara), maka pada hakikatnya tidaklah meleset bila dikatakan bahwa Al usroh ‘imaadul bilad biha tahya wabiha tamuut (keluarga adalah tiang negara,dengan keluargalah negara bangkit atau runtuh).
Demikianlah, terlihat betapa besar peranan keluarga dan betapa keberhasilan kita secara perorangan atau kolektif, secara pribadi atau sebagai bangsa, didunia dan akherat, banyak sekali ditentukan oleh keberhasilan kita dalam keluarga masing-masing. Wajar jika Alloh berpesan : “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka” (QS 66:6).
Nah, berangkat dari persepsi diatas yang menjadi benang merah bahwa Salah satu tugas yang ditekankan adalah tugas mendidik bukanlah tugas guru dan sekolah semata, akan tetapi juga harus disadari orang tua sebagai tugas yang secara otomatis melekat manakala anak lahir ke dunia dan juga harus diterima sebagi tugas keluarga serta lingkungan, sebagaimana pepatah arab “Al-Insaanu ibnu biah” (manusia itu anak lingkungannya). Tugas ini tidak bisa di pungkiri dan dielak begitu saja dengan membebankan segala proses pendidikan kepada sekolah. Oleh karena keluarga merupakan Institusi yang paling dasar dalam suatu masyarakat dan paling dekat dengan individu-individu, maka tanggung jawab keluarga tidaklah kecil.
Dengan demikian apabila seluruh keluarga telah sadar akan tugas mulia itu, maka kita tidak terlalu cemas dengan pertanda “Kematian Sekolah” seperti yang ditengarai oleh Neill Postman. Juga boleh menganggap “sepi ancaman gurita kapitalisme licik yang mengangkangi sekolah” sebagaimana kecemasan Paulo Freire. Bahkan juga dapat membiarkan peringatan Roem Topatimasang tentang fungsi sekolah yang telah berubah menjadi candu. Sebab, apabila seluruh keluarga sadar akan tugas utamanya maka sesungguhnya sebuah “Masyarakat tanpa sekolah” ( Deschooling Society ) yang pernah diangankan oleh Ivan Illich tanpa terasa telah dibumikan secara nyata.
Bila Implementasi Pendidikan keluarga telah membumi
Ironi pendidikan kini; Sebuah Elegi masa depan
Pendidikan merupakan lembaga yang dianggap paling bertanggung jawab terhadap perkembangan sebuah bangsa. Tak ayal, ketika produk instansi ini tidak sesuai dengan harapan, maka pihak yang paling sering dipersalahkan adalah sekolah dan lembaga pendidikan. Ini tercermin ketika ada seorang guru yang sudah tua mulai mengeluh ,mengapa setiap terjadi kasus “Kecelakaan” penyaluran bakat remaja, semisal tawuran antar pelajar, perampokan yang dilakukan oleh pelajar, budaya nyabu, ngoplo, nyimeng, sampai kasus “Bandung lautan asmara” dan casting iklan sabun “Kamar kecil biru” diterminal Tirtonadi Solo, selalu saja guru dan lembaga pendidikan yang selalu dipersalahkan dan dipermasalahkan. Mulai dari menyorot soal ketidakseriusan guru mendidik dan krisis keteladanan guru yang tidak patut lagi “di gugu dan ditiru” sampai dengan mempolemikkan perlu tidaknya menghidupkan kembalii mata pelajaran budi pekerti atau bahkan menambah jam pelajaran Agama ditengah pelajaran moral pancasila dan PPKn yang semakin kehilangan orientasi nilai. Tak ayal, sekolah atau lembaga pendidikan seolah menjadi biang kerok atas semua kemelut bangsa dan menjadi pihak yang pertama yang harus diadili. Sungguh ironis, lembaga yang harusnya menjadi “Kawah Condrodimuko” malah menjadi pihak yang mesti dipersoalkan eksistensinya dalam membangun peradaban.
Padahal kalau kita cermati alokasi waktu bagi anak-anak tersebut dalam naungan atap sekolah tidak lebih dari 6 jam dalam 24 jam hidup sehari-hari. Waktu 6 jam pun masih dipotong untuk istirahat, hari libur setiap minggu dan beberapa hari libur insidental yang juga cukup banyak. Dapat di hitung berapa waktu yang mungkin dapat di manfaatkan oleh guru untuk mengontrol semua kegiatan atau aktifitas murid-muridnya. Dalam waktu yang sedikit itu,seorang guru di tuntut harus mencerdaskan,mengadabkan,membudayakan serangkuman materi kedalam otak anak. Mungkinkah semuanya dapat tercapai ?
Seorang guru jelas bukan tukang sulap yang mampu mengubah segala sesuatu dengan mantra “abrakadabra” atau “sim salabim” yang dengan sendiri otomatis menjadi “kunfayakun”, Beliau juga bukan “Superman” yang mampu melakukan semua dengan mudah, pun beliau juga bukan “Uber match”-nya ala neitzhe yang mampu menjalankan fungsinya sebagai manusia yang serba bisa, tetapi Beliau juga manusia biasa yang kadang terhimpit berbagai masalah dan kegetiran hidup yang cukup menyesakkan dada yang membutuhkan alam pikir kreatif. Demikian pula ruang kelas bukanlah mesin foto kopi yang bisa menstranfer seluruh catatan buku pada lembaran kertas yang kosong yang tak terbatas jumlahnya, dan murid pun bukanlah lembaran kertas yang kosong tetapi murid adalah potensi yang harus di kembangkan dengan berbagai kekomplekan poblemnya.
Persoalannya pun tidak cukup berhenti sampai disini. Seorang murid yang baru saja diajar tentang sopan santun berbicara, kalau berbicara harus menghindari kosa kata yang kotor dan tidak pantas, tetapi sampai dirumah orangt tuanya biasa berperang mulut ala telenovela dengan mengobral nama-nama seluruh koleksi kebun binatang. Apakah pelajaran moral yang baru saja didapat didalam ruang kelas tersebut bermanfaat dan membekas didalam hati serta alam bawah sadarnya anak? kalau sekedar mengingatkan dan kemudian menuliskannya didalam lembar jawaban ketika ujian tiba mungkin semua anak dapat melakukanya dengan nominal nilai 10, tetapi untuk menjadikannya menjadi sebuah kebiasaan sehari-hari -yang dalam bahasa agama kita sering sebut “Akhlak”-.tampaknya akan sulit dipastikan keberhasilannya.
Keluarga Sebagai “Soko Guru Peradaban”
Solusi yang sedang dikembangkan dan sedang menjadi trend adalah dengan sekolah “full day” atau “Boarding school”, dengan harapan bisa mengisolasi anak dari pergaulan buruk masyarakat, yang secara teorinya tampak ampuh pada dataran empiriknya acap kali masih jadi tanda Tanya besar ataupun bahkan tampak gagap ketika harus diparalelkan dengan kekomplekan problem hidup kehidupan remaja yang juga butuh bermasyarakat. Inilah cermin kegalauan dan kecemasan masa depan anak kita. Sadar atau tidak suatu saat saya, engkau dan kita semua pasti akan menjadi ayah dan bunda yang akan memandu jalannya masa depan anak kita.
Berangkat dari persepsi perbandingan waktu yang tidak proporsional itu, dalam pandangan seorang P.Mujiran dalam bukunya “Pernak-pernik pendidikan” mengajak mengembalikan tugas pendidikan kepada institusi yang lebih kokoh dan lebih tua dari pendidikan formal sekolah. Instutusi itu adalah keluarga. Dengan mengembalikan tugas pendidikan kepada institusi keluarga , maka sebenarnya juga telah menghidupkan slogan “Belajar seumur hidup” (Life-long education) secara nyata. Sebab begitulah kenyataannya, begitu individu lahir maka dia akan mendaulat ayah dan ibunya sebagai gurunya yang pertama. Walaupun tanpa teks pengangkatan dan surat keputusan (SK). Cara ayah makan dan minum, kebiasaan ibu berbicara dan bersikap akan direkam dalam alam bawah sadar anak sebagai proses pendidikan yang akan menjadi kebiasaan sehari-hari
Keluarga sebagai “Tiang Negara”
Keluarga sebagai umat kecil yang memiliki pimpinan dan anggota, mempunyai pembagian tugas dan kerja, serta hak dan kewajiban bagi masing-masing anggotanya.”Umat besar” atau satu negara demikian pula halnya. Al qur’an menamakan satu komunitas sebagai “Ummat” dan menamakan ib yang melahirkananak keturunan sebagai “Umm”. Menurut Qurais Shihab Kedua kata tersebut terambil dari akar kata yang sama. Mengapa demikian? Agaknya ibu yang melahirkan anak keturunan itu dan yang dipundaknya terutama dibebankan pembinaan dan pendidikan anak.
Keluarga adaah sebagai sekolah tempat putra-putri bangsa belajar. Dari sana mereka mempelajari sifat-sifat mulia, seperti kesetiaan, rahmat, adab, sopan santun (Ahlaqul kariemah) dan kasih sayang, Ghiroh (kecemburuan positif) dan sebagainya. Disinilah tempat mereka belajar. Dari kehidupan keluarga, seorang ayah sekaligus suami memperoleh dan memupuk sifat keberanian dan keuletan sikap dan upaya dalam rangka membela sanak keluarganya dan membahagiakannya mereka pada saat hidupnya dan setelah kematiannya.
Keluarga adalah unit terkecil yang menjadi pendukung dan pembangkit lahirnya bangsa dan masyarakat. Selama pembangkit itu mampu menyalurkan arus yang kuat lagi sehat, selama itu pula masyarakat dan bangsa akan menjadi sehat dan kuat. Nah, disinilah peran besar keluarga yang ikut andil terhadap bangun-runtuhnya suatu masyarakat. Walaupun harus diakui pula bahwa masyarakat secara keseluruhan dapat mempengaruhi pula keadaan para keluarga.
Kalau dalam literatur keagamaan di kenal ungkapan al mar’ah ‘imaadul bilad (wanita dalah tiang negara), maka pada hakikatnya tidaklah meleset bila dikatakan bahwa Al usroh ‘imaadul bilad biha tahya wabiha tamuut (keluarga adalah tiang negara,dengan keluargalah negara bangkit atau runtuh).
Demikianlah, terlihat betapa besar peranan keluarga dan betapa keberhasilan kita secara perorangan atau kolektif, secara pribadi atau sebagai bangsa, didunia dan akherat, banyak sekali ditentukan oleh keberhasilan kita dalam keluarga masing-masing. Wajar jika Alloh berpesan : “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka” (QS 66:6).
Nah, berangkat dari persepsi diatas yang menjadi benang merah bahwa Salah satu tugas yang ditekankan adalah tugas mendidik bukanlah tugas guru dan sekolah semata, akan tetapi juga harus disadari orang tua sebagai tugas yang secara otomatis melekat manakala anak lahir ke dunia dan juga harus diterima sebagi tugas keluarga serta lingkungan, sebagaimana pepatah arab “Al-Insaanu ibnu biah” (manusia itu anak lingkungannya). Tugas ini tidak bisa di pungkiri dan dielak begitu saja dengan membebankan segala proses pendidikan kepada sekolah. Oleh karena keluarga merupakan Institusi yang paling dasar dalam suatu masyarakat dan paling dekat dengan individu-individu, maka tanggung jawab keluarga tidaklah kecil.
Dengan demikian apabila seluruh keluarga telah sadar akan tugas mulia itu, maka kita tidak terlalu cemas dengan pertanda “Kematian Sekolah” seperti yang ditengarai oleh Neill Postman. Juga boleh menganggap “sepi ancaman gurita kapitalisme licik yang mengangkangi sekolah” sebagaimana kecemasan Paulo Freire. Bahkan juga dapat membiarkan peringatan Roem Topatimasang tentang fungsi sekolah yang telah berubah menjadi candu. Sebab, apabila seluruh keluarga sadar akan tugas utamanya maka sesungguhnya sebuah “Masyarakat tanpa sekolah” ( Deschooling Society ) yang pernah diangankan oleh Ivan Illich tanpa terasa telah dibumikan secara nyata.
Langganan:
Postingan (Atom)