Selasa, 08 September 2009

kembali fitri

“Memaknai Kembali Fitri : Spirit baru membangun Pendidikan”
Oleh Abdul Qohin*

Budaya shopaholic
Taqabalallahu Minna Wa Minkum.Maaf.Satu kata sederhana yang mudah diucapkan.. Tapi seringkali hanya diucapkan oleh lisan tanpa dibarengi dengan hati yang tulus meminta. Mudah-mudahan kita termasuk orang-orang yang tidak hanya mengucap maaf oleh lisan dan semoga di hari yang Fitri ini kita bisa kembali pada Fitrah.
Sampai detik dan hari ini kita sudah menapaki Idul Fitri berkali-kali. Namun kita bisa bayangkan secara individu maupun sebagai bangsa, kualitas kita masih jauh dari harapan. Perilaku individu dan sebagian besar pemimpin kita masih jauh dari harapan. Detik demi detik selalu terdengar di telinga kita tentang merebaknya kemiskinan, kebodohan, kriminalitas, dan korupsi. Saat itu juga kita bisa melihat betapa banyak kaum Muslim di Indonesia yang tiba-tiba seperti terjangkit penyakit gila belanja (shopaholic). Tradisi menghambur-hamburkan uang untuk membeli hal-hal yang serba baru seakan-akan menjadi hal yang lumrah. Entah itu membeli pakaian baru, celana baru, sepatu baru, handphone baru, perabotan rumah yang baru, membuat penganan yang lezat-lezat, bahkan sampai mainan anak-anak yang baru dan sebagainya.
Penyakit gila belanja (shopaholic), pada akhirnya, hanya akan mereduksi makna substantif Iedul Fitri. Padahal, kita mestinya menjadikan Iedul Fitri, setelah melalui puasa Ramadhan selama 1 bulan penuh, sebagai awal menuju transformasi dan perubahan diri, baik yang menyangkut sikap maupun perilaku, ke arah yang lebih baik. Iedul Fitri adalah saat dimana manusia kembali kepada fitrahnya. Fitrah di sini biasanya di artikan sebagai kesucian dari dosa. Pada hari itu, manusia kembali seperti saat dilahirkan, bersih tanpa dosa, ibarat selembar kertas: putih tanpa noda.
Lebaran yang telah berlalu menyisakan sebuah momentum menawan bagi seluruh Muslim di dunia, tak terkecuali umat Muslim Indonesia. Kurang lebih 80 persen penduduk Indonesia beragama Islam. Suasana hiruk-pikuk Idul Fitri seakan merasuk secara mendalam ke seluruh pelosok negeri. Jutaan manusia berbondong-bondong melakukan mudik. Dari rakyat kecil hingga pejabat tak mau ketinggalan untuk bisa berlebaran di kampung halaman masing-masing.
Akan tetapi di balik itu semua seakan kita lupa tentang makna Idul Fitri itu sendiri. Kita merayakan seolah hanya merupakan seremoni dari perayaan tersebut yang sering menghiasi layar media. Padahal Idul Fitri mempunyai makna yang lebih mendalam. Secara individual, seseorang yang benar-benar khusyuk dan ikhlas menjalani puasa maka dia akan kembali suci. Dengan modal itu, tentunya kita akan menapaki bulan-bulan berikutnya dengan kualitas yang lebih baik. Keberhasilan Ramadhan akan ditentukan oleh perilaku kita pasca-Ramadhan ini.
Orang YangKembali
Setelah Sebulan penuh kita berpuasa, memperbanyak zikir dan sedekah, serta tadabbur dan tafakkur pada malam hari. Kini, kita mengakhiri di puncak pencapaian Idul Fitri, yaitu kembali pada sifat dasar kesucian manusia.
Maka, lengkaplah puasa sebagai proses pendidikan dan latihan olah jiwa massal untuk membangun peradaban, mencintai kemanusiaan, dan mewujudkan kebenaran, kebaikan, dan keindahan dalam kesatuan kehidupan.
Sudah ratusan, bahkan ribuan tahun umat Islam menjalankan ibadah puasa, tetapi mengapa, dalam kenyataan, perilaku antiperadaban justru kian meluas, seperti terjadinya konflik kekerasan dalam menghadapi perbedaan pemikiran dan keyakinan, makin merajalelanya korupsi yang jelas merugikan kehidupan rakyat, serta pemujaan atas kekuasaan yang mendegradasikan etika sosial- keagamaan.
Sudah saatnyalah kita kembali kepada fitroh kita sebagai pondasi untuk membangun peradaban yang lebih mengedepankan etika social keagamaan. Dengan demikian berarti kita telah kembali kepada fitroh kita. Ada beberapa ciri orang yang kembali kepada fitrah-Nya. Diantara cirri orang yang kembali adalah : ia Memiliki kecerdasan emosi misal : jiwa pemaaf, dermawan, membalas keburukan orang lain dengan kebaikan, rajin intropeksi dan selalu memperbaiki diri, ia juga Merasakan kerinduan kepada Allah, hatinya terbuka dengan nasihat, memiliki jiwa tawakal, rajin mendirikan shalat dan memiliki kepekaan sosial, Merasa mudah dalam beramal soleh, Memiliki kebutuhan untuk bergabung dalam lingkungan yang sholeh,Rajin berdoa,Memiliki kesholehan vertical dan Memiliki keshalehan sosial
Memaknai Idul Fitri
Setelah sebulan penuh kita melaksanakan ibadah puasa dengan semangat iman dan mengharap balasan Allah (ihtisaaban) semata. Maka, memasuki hari raya Idul Fitri ini, berarti kita kembali kepada fitrah (kesucian). Jiwa kita telah fitri (suci) tanpa dosa. Bagaimana setelah Ramadhan? Romadhan memang telah selesai tetapi tidak berarti secara kuantitas kita harus sama persis seperti ketika bulan Ramadhan dalam beribadah kepada Allah. Tapi, yang dituntut dari kita adalah mempertahankan keistiqomahan dalam menapaki jalan Allah yang lurus, memelihara kualitas semangat beribadah dan kesinambungan menta'ati Allah.

Karena itu, sepatutnyalah jiwa yang sudah fitri ini diupayakan secara maksimal untuk dipertahankan dan dijaga dengan penunaian berbagai bentuk amal shalih pasca Ramadhan. Sebab, keberhasilan meraih derajat taqwa melalui ibadah puasa bukan ditandai berakhirnya bulan Ramadban. Melainkan, sejauh mana konsistensi orang-orang yang berpuasa dalam melakukan ibadah pasca bulan Ramadhan. Sejauh mana kesinambungan harmonisasi hubungan dengan Sang Khaliq terpelihara secara baik pasca Ramadhan.

Bulan Ramadhan memang telah berlalu, tapi musim-musim kebaikan lain segera menyusul. Boleh jadi amal shalih kita pasca Ramadhan secara kuantitas menurun. Tapi, yang penting kontinyu dan inilah yang terbaik, Shalat lima waktu yang merupakan perbuatan agung dan hal pertama yang akan dihisab di hari kiamat nanti, tidak berhenti dengan berakhirnya Ramadhan.
Jika puasa Ramadhan berakhir, maka puasa-puasa sunnah yang berpahala tidak kecil, tidaklah berakhir bahkan menanti sentuhan kita. Seperti, puasa enam hari di bulan Syawal, puasa Senin-Kamis, puasa tiga hari dalam sebulan , puasa Asyura' (tgl 10 Muharram), puasa Arofah dan lain-lain.Jika Qiyam Ramadhan dan Tarawih telah lewat. Maka, Qiyamullail (Tahajjud) tetap disyari'atkan tiap malam, meskipun ramadhan telah usai. Jika zakat Fitrah berlalu, maka zakat wajib dan pintu sedekah masih terbuka lebar pada waktu-waktu yang lain.

Jangan sampai prestasi cemerlang yang diraih dengan kerja keras selama sebulan penuh, terhapus oleh keburukan yang menyusul. Jangan sampai kesucian jiwa yang dibangun susah payah selama bulan Ramadhan, tercemari oleh perbuatan maksiat, begitu sayonara (berpisah) dengan Ramadhan. Jika ini yang terjadi, maka sama halnya dengan orang yang mendirikan bangunan indah nan megah dengan biaya mahal, lalu Ia sendiri yang merobohkannya.

Relasi idul fitri dan pendidikan
Dunia pendidikan dan pengajaran dalam kehidupan kita, yang selama ini di rasakan kurang menyentuh aspek moralitas, harus dikembalikan kepada pendidikan dan pengajaran untuk memajukan peradaban. Jika tahun ini alokasi pendidikan pada APBN 2009 maupun 2010 mencapai 20 persen, pendidikan peradaban ini penting diperhatikan agar pendidikan nasional dapat memajukan peradaban bangsa, agar peradaban kita sejajar dengan bangsa lain.
Menurut Prof Musa Asyari pendidikan nasional Pada hakikatnya,adalah bagian dari peradaban bangsa, yang bertugas mengembangkan intelektualisme, menghargai keanekaragaman, meninggikan etika-moralitas dan kebersatuan. Karena itu, pendidikan nasional sebenarnya tidak boleh mendegradasi peradaban bangsa itu sendiri, seperti terlihat gejalanya sekarang, di mana konflik kekerasan justru terjadi di dunia pendidikan, seperti tawuran dan perusakan pilar-pilar akademik yang menjunjung tinggi rasionalitas, justru terjadi di perguruan tinggi kita yang seharusnya dijauhkan dari sikap-sikap antiperadaban. Perguruan tinggi adalah pusat peradaban, bukan pusat kebiadaban.
Kini, kita semua berada dalam suasana Idul Fitri, karena setelah melakukan olah jiwa massal selama sebulan, mereka kembali pada fitrahnya yang suci, seperti bayi yang dilahirkan kembali, bersih tanpa dosa. Sebagai bayi, kesucian yang dicapai melalui olah jiwa massal tidak akan berarti jika mereka kemudian kembali terjebak dalam kehidupan lama yang antiperadaban, sebagaimana perkembangan seseorang dari bayi hingga dewasa akan dipengaruhi pendidikan, pengajaran, dan lingkungan sosialnya.
Idul Fitri adalah momen kemanusiaan yang tidak boleh berlalu begitu saja karena semangat untuk kembali pada kesucian dasar manusia, pada hakikatnya, merupakan tonggak pencapaian spiritualitas baru untuk menghadapi tekanan kekuasaan duniawi yang kian vulgar. Tanpa kembali pada kesucian dasar manusia, tidak ada jalan keluar untuk membangun peradaban baru yang lebih manusiawi.

*PJ Biah Islamiyyah
SD Al Irsyad Al Islamiyyah 02 Purwokerto

idealisme guru

“Idealisme Guru”
Oleh Abdul Qohin
Idealisme vs Pragmatisme Guru
Mendengar kata idealisme, kira-kira hal apakah yang seketika itu terlintas dalam pikiran kita ? Suatu nilai luhurkah ? suatu hal yang langka dan sulit ditemui, atau bahkan mungkin mendengar kata idealism, hal yang pertama terlintas dalam pikiran kita adalah suatu hal yang terlalu mengada-ada dan mustahil untuk diwujudkan. Memang tidak dipungkiri bahwa persepsi yang demikian akan banyak dimiliki orang ketika mereka mendengar kata idealism.

Di Indonesia, cita-cita menjadi seorang guru, mungkin termasuk cita-cita yang amat mahal, karena hampir sebagian kecil saja dari orang Indonesia yang bercita-cita atau berminat menjadi seorang guru. Entah karena pekerjaan menjadi guru menuntut keahlian yang khusus, entah pula karena pekerjaan guru tidak menghasilkan imbalan yang menggiurkan.
Setiap pekerjaan paling tidak memuat dua konsekuensi. Pertama, pengabdian dan kedua adalah profesi. Pengabdian bagi seorang guru merupakan bagian yang tak dapat dipisahkan dalam seluruh aktifitasnya. Tentu saja hal ini berlaku bagi mereka yang memahami tugas itu sebenarnya.
Dengan melihat urgensi dari memiliki sebuah idealism, maka tak ragu lagi jika setiap pekerjaan yang kita lakukan, harus dilandasi dengan sebuah konsep idealism. Bila kita melihat lebih dalam lagi, sesungguhnya pekerjaan yang paling mudah untuk kita dalam menerapkan idealism adalah pekerjaan yang berhubungan dengan pengabdian.

Pengabdian, sesungguhnya memang merupakan tugas dan amanah yang diemban oleh tiap-tiap manusia. Pekerjaan ini sungguh sangat mulia untuk dilakukan. Salah satu pekerjaan yang berkaitan dengan pengabdian adalah menjadi seorang guru (pendidik). Menjadi seorang guru (pendidik) bukan perkara yang mudah. Sebab kita tidak hanya dituntut untuk dapat menyampaikan materi kepada peserta didik, tetapi lebuh dari itu, seorang pendidik sejati harus mampu mengubah peserta didiknya menuju ke arah yang lebih baik.

Paham mengenai sikap dan pandangan hidup seseorang yang mendasari pekerjaannya dapat dikatagorikan dua hal, yakni idealisme dan pragmatisme. Orang yang memiliki sikap dan pandangan hidup yang didasarkan pada nilai-nilai luhur dan cita-cita luhur disebut sebagai orang yang memiliki idealisme. Sedangkan orang yang memiliki pandangan dan sikap hidup yang didasarkan pada peroleh manfaat yang sebesar-besarnya dari banyak pilihan yang ada dihadapannya, disebut orang yang pragmatis.
Sejatinya, profesi Guru itu harus didasari oleh nilai-nilai idealisme ketimbang pragmatisme. Hal ini disebabkan karena profesi Guru merupakan profesi yang berhubungan langsung dengan benda hidup (manusia) bukan benda mati. Objek yang menjadi sasaran profesi guru senantiasa dinamis, berubah dan berkembang, sehingga menuntut kearifan dirinya untuk membaca tanda-tanda jaman yang sedang dihadapinya, kemudian ia berbuat sesuatu yang nyata dalam rangka mempersiapkan dan melahirkan generasi-generasi berikutnya yang juga mampu mewarisi kearifan pendahulunya.
Mendamba Guru Yang Idealis
Pernahkah kita menyaksikan film “Laskar Pelangi”? film fenomenal yang mebuat kita bertanya kembali, masih adakah sosok pendidik seperti itu di tanah air kita tercinta ini. Film ini mengisahkan tentang perjuangan anak-anak kampung belitong untuk dapat tetap menuntut ilmu, karena mereka yakin dengan ilmu maka mereka akan mampu mewujudkan mimpi-mimpi mereka. Di tengah kemarginalan yang harus mereka hadapi, semangat mereka untuk menuntut ilmu sungguh tinggi. Dengan dukungan dari dua orang guru yang tetap memegang teguh idealism dan keyakinan meraka untuk tetap mendidik sekelompok anak yang bernama Laskar Pelangi.
Sungguh, proses terbentuknya idealisme dalam diri bu Mus dan pak Arfan benar-benar terlukis dengan baik dalam film tersebut. Dimana idealisme yang awalanya terbangun oleh sebuah naluri kepahlawanan benar-benar terlihat pada diri bu Muslimah dengan melihat sosok ayahnya dan juga sosok pak Arfan. Kamudian naluri kepahlawanan itu diperkuat dengan adanya keberanian yang dimiliki oleh bu Mus dan pak Arfan dalam menghadapi berbagai tantangan yang siap menghadang langkah mereka dalam mendidik Laskar Pelangi. Kemudian nyawa keberanian tersebut dihembuskan oleh adanya kesabaran yang dimiliki baik oleh bu Mus maupun oleh pak Arfan. Lalu itu semua menghasilkan buah idealisme yang akhirnya membuat beliau berdua bertahan dalam mendidik Laskar Pelangi. Bisa saja kalau beliau berdua kehendaki, ketika ujian dan rintangan datang menghadang, mereka berhenti dan menyerah dalam menjadikan Laskar Pelangi menjadi manusia-manusia yang dapat bermanfaat bagi sekitarnya. Seperti semangat dan prinsip yang selalu dipegang teguh oleh pak Arfan yaitu “hidup untuk memberi sebanyak-banyaknya, bukan menerima sebanyak-banyaknya.”
Satu keprihatinan lagi yang muncul ketika kita menelisik lebih jauh lagi mengenai ada tidaknya idealism guru di Indonesia yang juga berhubungan dengan prinsip yang mengawali munculnya idelaisme yaitu berupa naluri kepahlawanan yang didapatkan dari hasil kekaguman. Jika dalam ilmu psikologi, dikenal teori belajar modeling Albert Bandura, maka ini juga yang berlaku dalam penciptaan idealism pada diri seseorang. Rasa kagum yang kemudian menimbulkan hasrat untuk dapat berbuat sama dengan orang dikagumi dapat diartikan sebagai pentingnya keteladanan dalam sistem pendidikan di Indonesia. Keteladanan atau contoh atau modelling dapat diperoleh dari lingkungan. Seorang murid yang kita asumsikan sebagai generasi penerus bangsa tempat ujung tombak bangsa ini ditentukan, akan sangat membutuhkan sosok yang dapat dijadikan sebagai model. Namun sayang dengan melihat kondisi sekarang, nampaknya kita harus bersedih dengan minimnya sosok guru yang dapat dijadikan sebagai model bagi generasi muda Indonesia. Ironi memang ketika akhirnya hal ini harus menjadi seperti “lingkaran setan” yang membayang-bayangi masa depan bangsa ini.
Untuk menghadirkan sosok yang bermutu guna mencapai pendidikan berkualitas, guru harus mendapatkan program-program pelatihan secara tersistem agar tetap memiliki profesionalisme yang tinggi dan siap melakukan inovasi. Penghargaan dan kesejahteraan yang layak atas pengabdian dan jasanya harus diberikan.
Dengan meningkatnya mutu guru, kita akan memiliki para guru yang mampu melahirkan nilai-nilai unggul dalam praktik dunia pendidikan. Karena itu, lahirlah sosok-sosok manusia yang memiliki karakter beriman, amanah, profesional, antusias dan bermotivasi tinggi, bertanggung jawab, kreatif, disiplin, peduli, pembelajar sepanjang hayat, visioner dan berwawasan, menjadi teladan, memotivasi (motivating), mengilhami (inspiring), memberdayakan (empowering), membudayakan (culture-forming), produktif (efektif dan efisien), responsif dan aspiratif, antisipatif dan inovatif, demokratis, berkeadilan, dan inklusif.
Belajar dari Bilal Bin robbah
Berbicara mengenai karakter apa yang harus dimiliki oleh seseorang ketika dia memutuskan untuk menjadi seorang guru (pendidik) dapat mengambil dari inspirasi Bilal bin Robbah, dimana dalam inspirasinya kita disentil akan pentingnya kesadaran dalam melakukan segala tindakan dalam hidup kita. Billal, yang seorang budak, memeluk agama Islam dengan penuh kesadaran. Dia mengerti benar konsekuensi yang harus ia hadapi ketika ia mengambil keputusan tersebut. Billal memeluk agama Islam, dia melakukannya dengan penuh kesadaran akkan pilihanb hidupnya. Inilah yang harus dimiliki oleh para calon pendidik di Indonesia. Mereka harus benar-benar sadar bahwa menjadi pendidik merupakan pilihan hidup mereka, dengan segala konsekuensi yang akan dihadapinya.
Mahdi Ghulsyani seorang cendekiawan muslim memandang guru merupakan kelompok manusia yang memiliki fakultas penalaran, ketakwaan, dan pengetahuan. Ia memiliki karakteristik bermoral, mendengarkan kebenaran, mampu menjauhi kepalsuan ilusi, menyembah Tuhan, bijaksana, menyadari dan mengambil pengalaman-pengalaman.
Dalam pepatah Jawa, guru adalah sosok yang digugu omongane lan ditiru kelakoane (dipercaya ucapannya dan dicontoh tindakannya). Menyandang profesi guru berarti harus menjaga citra, wibawa, keteladanan, integritas, dan kredibilitasnya. Ia tidak hanya mengajar di depan kelas, tapi juga mendidik, membimbing, menuntun, dan membentuk karakter moral yang baik bagi siswa-siswanya. Semoga dengan hal ini, para pendidik Indonesia memiliki idelaisme terhadap karya mereka untuk mencetak para pemimpin bangsa di masa akan datang. Wallohu’alam

Selasa, 21 Juli 2009

Hp untuk anak

“HP untuk anak sekolah, Perlukah?”
Abdul Qohin

“Haree geene ngak punya handphone?” aneh alias sudah bukan waktunya lagi bagi manusia yang tinggal di perkotaan untuk tidak punya Hp alias telepon seluler (Ponsel). Tapi bagaimana dengan anak-anak? Kapan mereka boleh punya ponsel pribadi?
Fenomena dewasa ini, sudah menjadi hal yang tak terelakan manakala murid-murid sekolah banyak menggunakan Hp. Dari Mahasiswa, anak-anak SMA bahkan sampai anak-anak SD pun tak ketinggalan dengan mereka yang sudah besar. Tidak sedikit orang tua murid yang beranggapan memberikan Hp untuk anak-anak mereka bisa membuat mereka lebih berlega hati, kebanyakan siswa juga beranggapan menggunakan Hp adalah semacam tren masa kini dan harus di ikuti. “Tidak mengikuti tren ini berarti di bilang kuno, katanya”. Tetapi para pakar umumnya berpendapat keuntungannya hanya sedikit, sedang kerugian yang diakibatkan sangat banyak. Pertama-tama kita perlu menganalisa keuntungan dan kerugiannya bersama-sama sebelum kita membelikan hp untuk anak.
Hp sesungguhnya bisa membuat anak-anak menjaga hubungan erat dengan para orang tua mereka, setiap saat mengetahui keberadaan dari mereka, di saat anak menjumpai masalah yang mendesak juga bisa segera memberitahu orang tua mereka. Tetapi dampak negatifnya juga harus di perhatikan oleh orang tua.
Kebutuhan atau gaya
Seberapa penting ponsel untuk anak anda? Menurut Psikolog keluarga Sarah handayani Data statistik kepemilikan ponsel pada anak di dunia menunjukkan pentingnya ponsel bagi mereka. Di inggris, 9 dari 10 anak memiliki ponsel. Sementara di australia, pada tahun 2003, sekitar 2% anak-anak usia 5-9 tahun, dan 33 % anak usia 10-14 tahun juga memiliki ponsel sendiri. Di jepang, 60 % remaja sudah berponsel.
Belum ada data resmi di Indonesia. Namun setidaknya riset sriwijaya Pos di kota palembang dapat mewakili kota besar seperti Jakarta, Surabaya atau Bandung. Berdasarkan risetnta tahun 2004, di kota Palembang, sekitar 6% atau 28.000orang adalah usia SD dan remaja (7 sampai 12 tahun). Jadi jumlah pemilik ponsel yang masih berusia SD dan Remaja cukup banyak. Di tahun 2009 tentunya pengguna hp di kalangan anak akan bertambah banyak seiring dengan jenis hp yang setiap saat setiap perusahaan selalu mendesain dan mengeluarkan jenis hp-hp yang menarik.
Tingkat kepemilikan ponsel yang cukup tinggi di kalangan anak dan remaja di negara-negara maju memang di sebabkan oleh kebutuhan dan fungsinya. Dinamika bentuk ponsel yang setiap waktu semakin canggih dan lengkap fitur-fiturnya menambah minat beli di kalangan anak dan remaja meningkat pesat. Banyak anak yang meminta ponsel yang keren karena pertimbangan gaya dan gengsi. Banyak fitur-fitur dan layanan game yang mudah di akses lewat internet. Begitu juga dengan musik, tampilan kamera yang telah di rubah menjadi camera yang super keren menggantikan fungsi kamera yang biasa. Selain kebutuhan, di Jepang tahun 2007 ponsel pada anak akan di coba di pakai sebagai sistem pelacakan model baru sang anak. Sehingga keberadaan anak akan dapat di lacak melalui gelombang radio.
HP untuk anak sekolah
Membiarkan anak membawa Hp memang lebih leluasa, tetapi apakah sangat diperlukan? Dalam situasi pada umumnya, asalkan anak sedang mengikuti kegiatan di area sekolah, jika ada kepentingan yang mendesak, para pendidik tentu dapat menghubungi orang tua anak-anak didik mereka melalui sekolah. Jika menjumpai keadaan khusus seperti kunjungan keluar sekolah atau pergi bertamasya, anak juga bisa dibawakan Hp untuk sementara.
Mengapa dikatakan membawa Hp pergi ke sekolah keuntungannya sedikit dan kerugiannya banyak? Sekolah adalah tempat para murid menimba ilmu, ketika pelajaran berlangsung deringan telpon atau menjawab telpon akan bisa mengganggu secara serius ketertiban dalam kelas, membuat murid seluruh kelas tidak bisa konsentrasi pada pelajaran, mempengaruhi keefektifan belajar.
Kebanyakan sekolah melarang murid-murid membawa Hp ke sekolah, tetapi ada pula sekolah yang meminta para muridnya menyetel Hp mereka menjadi silence (diam) di saat pelajaran berlangsung. Tetapi, fungsi Hp yang hanya menerima berita pendek pun, sedikit banyak bisa memecah konsentrasi para murid dalam menerima pelajaran.
Lagi pula Hp sekarang bagaikan sebuah mesin game yang memiliki multifungsi, banyak murid yang tidak dapat mengendalikan diri dengan baik, tidak dapat menahan diri bermain game atau mendengarkan lagu di waktu pelajaran, juga bisa mempengaruhi teman kelas yang berada di sekitarnya mendengarkan pelajaran.
Dan ada sebagian murid yang tidak bisa membedakan waktu pelajaran atau waktu istirahat, mereka tak bosan-bosannya dengan rajin mengirim SMS untuk mengobrol dengan orang lain, sangat serius telah mempengaruhi kegiatan yang normal.
Bahkan ada pula yang berada hanya beberapa langkah dari temannya, tetapi mereka lebih memilih menggunakan berita pendek untuk mengadakan komunikasi, sehingga teknik berkomunikasi secara berhadap-hadapan tidak bisa berkembang secara sehat. juga sudah pasti merasakan gangguan semacam ini.
Yang terpenting adalah mengarahkan anak untuk bisa berpikir, sebenarnya kembali ke sekolah itu untuk apa? Anda boleh dengan jelas memberitahukan kepada anak, “Bukan hanya belajar teknik dan pengetahuan, yang lebih penting adalah membina kualitas pribadi yang baik.” Segala macam situasi yang dijumpai bisa dipergunakan untuk melatih kemampuan kita untuk menahan diri, jika keteguhan hati dibina dengan baik, maka di kemudian hari saat harus menghadapi pekerjaan apa pun, untuk dapat menggapai kesuksesan tidaklah terlalu sulit.
Selain itu kita bisa berdiskusi bersama dengan anak Anda, “Apakah perlu membawa Hp pergi ke sekolah?” “Bagaimana memastikan tidak terpengaruh oleh keadaan di sekeliling, bisa berkonsentrasi dalam pelajaran?”
Bukan hanya pada anak remaja, pada orang dewasa gangguan konsentrasipun sering terjadi saat belajar , kuliah rapat ataupun seminar. Hingga sudah umum bila kita menemukan tulisan “Mohon matikan Handphone” di ruang-ruang tersebut. Bahkan di beberapa sekolah yang notabenenya adalah sekolah terpadu menerapkan aturan “Anak-anak sekolah di larang membawa HP” atau “ Pada saat jam pelajaran, hp di kumpulkan di depan kelas”
Dampak buruk hp bagi anak?
Menurut Psikolog Bibiana Dyah Sucahyani Yang perlu diingat jangan karena trend atau sekadar ikut-ikutan tanpa manfaat yang jelas. Bahkan bisa jadi membekali anak dengan handphone malah membawa dampak yang negatif, misalnya:
a. Anak menjadikan handphone sebagai symbol ‘lebih’ dari temannya.
b. Anak menjadi lebih senang ngobrol lewat handphone daripada bicara langsung
c. Menjadikan anak konsumtif, anak ikut-ikutan kuis dengan tarif premium, bahkan kecanduan untuk mendapatkan hadiah yang menggiurkan.
d. Anak menjadi tidak terkontrol ketika yang dihubungi adalah nomor-nomor layanan untuk orang dewasa
e. Bisa mengundang tindak kriminal. Karena sebagaian orang masih menganggap membawa hp adalah orang mampu, sehingga menjadi target kejahatan.
f. Penyalahgunaan kelebihan handphone, misalnya kalkulator dipakai saat mengerjaan PR matematika, dll. Selain itu juga cara untuk menyontek dan bertukar jawaban saat test atau ujian.
g. Sebagai media penyebaran porgagrafi.
Jika memang orangtua akan membekali anak dengan handphone, sebaiknya anak yang sudah bisa mengatur keuangan, tahu memprioritaskan kebutuhan serta yang bisa memanfaatkan handphone dengan benar, juga yang bisa diberi kepercayaan mengelola handphone. Perlu juga orangtua selain membekali handphone, bekal lainnya adalah perjanjian tentang misalnya untuk apa handphone tersebut dibawa, pulsa maksimal yang bisa dipakai, serta pengamanannya.
Usia anak yang dapat diberi kepercayaan seperti ini sekitar mulai kelas tiga SD misalnya. Untuk anak usia balita, sebaiknya dititipkan saja pada pengasuhnya, jika memang diperlukan.
Sekolah sebaiknya juga menyiapkan peraturan tentang penggunaan handphone di lingkungan sekolah. Misalnya kapan saja handphone harus dinonaktifkan, dimana handphone harus disimpan, serta tanggungjawab terhadap anak terhadap handphone tersebut. Sedemikian rupa, sehingga jangan sampai handphone mengganggu konsentrasi belajar anak.

"Mendesain Ramadhan Untuk anak"

“Mendesain Ramadhan untuk anak”
Oleh Abdul Qohin

Melatih Puasa sejak dini
Marhaban ya Ramadhan! Ya Syahrut Tarbiyah, Ya syahrul Magfiroh!Bagi Kaum Muslimin, pengidentifikasian nama-nama bulan Ramadhan dengan berbagai sinonimnya sebenarnya mengandung maksud. Nama-nama itu diungkapkan dengan singkat dan tepat sebagai “pengingat cepat atau penggugah” dan “keywords” tentang apa yang sebaiknya dilakukan di bulan tersebut. Selain itu, nama-nama bulan Ramadhan juga menyatakan berkah dan maghfirah yang dapat diraih pada kondisi dan suasana paling baik selama satu tahun ke belakang dan ke depan (Ramadhan tahun depan seandainya masih bisa diberi umur). Bagi para orang tua, yang telah berpuluh kali menjalani puasa tentu sudah tahu apa tujuan, makna dan manfaat puasa, tapi bagaimana dengan anak-anak kita? Sudahkah mereka mengerti dan faham arti bulan tersebut?
Dalam beberapa tahun terakhir banyak sekali peristiwa yang memilukan yang terjadi pada anak-anak kita. Ini semua tentunya mendorong kita untuk semakin memperhatikan pendidikan anak-anak kita agar mereka bisa menjadi anak-anak yang sholeh dan solihah . Untuk itu kita -sebagai guru- harus manfaatkan semaksimal mungkin kesempatan emas dengan datangnya Ramadhan yang mulia ini untuk memberikan latihan-latihan ruhiyah bagi anak-anak kita baik di sekolah maupun di rumah, dengan mempersiapkan dan melatih mereka menjalankan ibadah puasa agar lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya.
Kapan anak-anak berlatih berpuasa? Mendidik anak tidak sama dengan mengajar. Mendidik anak adalah membantu anak mencapai kedewasaan baik dari segi akal, ruhiyah dan fisik. Jadi apa yang kita lakukan adalah membantu anak untuk kenal dan tahu sesuatu, kemudian dia mau dan bisa kemudian menjadi biasa dan terampil mengamalkannya. Hal ini bukan saja membutuhkan waktu yang lama tetapi juga kemauan yang kuat, kasabaran, keuletan dan semakin awal memulainya semakin baik.Untuk menjawab pertanyaan ini marilah kita simak sebuah hadits ketika seseorang bertanya kepada Rosulullah tentang : Kapan seorang anak dilatih untuk shalat? Rosulullah menjawab: Jika ia sudah dapat membedakan tangan kanan dan tangan kirinya. Kalau kita memperhatikan hadits di atas, tentunya kita dapat memprediksi usia anak yang bisa membedakan tangan kanan dan tangan kiri. Tentunya sekitar 2 sampai 3 tahun. Pada hadits masyhur yang lain Rosulullah saw bersabda: Perintahkanlah anak-anak kalian untuk shalat pada usia 7 tahun dan pukulah ia pada usia 10 tahun (jika meninggalkannya ).
Abdullah Nashih Ulwan dalam bukunya Tarbiyatul Aulad fil Islam mengatakan bahwa perintah mengajar shalat ini dapat disamakan untuk ibadah lainnya seperti puasa dan haji bila telah mampu. Mengikuti kedua hadits dan pendapat di atas,dapat dikatakan bahwa seperti halnya shalat maka puasapun sudah dapat diperkenalkan pada anak sejak mereka berusia dua atau tiga tahun, yaitu ketika mereka sudah tahu membedakan tangan kanan dan tangan kirinya..
Landasan di atas di perkuat dengan penemuan ilmiah tentang otak yang dipublikasikan bulan Oktober tahun 1997 di Amerika. Dalam penemuan itu menunjukkan bahwa pada saat lahir Allah iu membekali manusia dengan 1 milyar sel-sel otak yang belum terhubungkan satu dengan yang lainnya. Sel-sel ini akan saling berhubungan bila anak mendapat perlakuan yang penuh kasih sayang, perhatian, belaian bahkan bau keringat orang tuanya. Hubungnan sel-sel tersebut mencapai trilliun begitu anak berusia 3 tahun.
Dari usia 3 sampai 11 tahun terjadi apa yang disebut proses Restrukturisasi atau pembentukan kembali sambungan-sambungan tersebut. Hal-hal yang tidak diulang-ulang akan menjadi lapuk dan gugur. Bila temuan ini kita hubungkan dengan hadits di atas, maka benar Rosulullah bahwa kita perlu memperkenalkan berbagai hal kepada anak kita termasuk di dalamnya masalah beribadah sedini mungkin dan mengulang-ulangnya selama 7 tahun, sehingga pada usia 10 tahun anak kita bukan saja sudah mampu melakukannya dengan baik tapi juga telah memahami makna pentingnya ibadah tersebut sehingga ia rela menerima sanksi bila ia tidak menunaikan ibadah tersebut dengan baik.
Membangun kreativitas dan inovatif.
Kreatifitas itu dimulai dari suatu gagasan yang interaktif, maka dorongan dari luar juga diperlukan untuk memunculkan suatu gagasan. Dalam hal ini para orangtua banyak berperan. Dengan komunikasi dialogis dan kemampuan mendengar aktif maka anak akan merasa dipercaya, dihargaai, diperhatikan, dikasihi, didengarkan, dimengerti, didukung, dilibatkan dan diterima segala kelemahan dan keterbatasannya. Dengan ini anak akan memiliki dorongan yang kuat untuk secara berani dan lancar mengemukakan gagasan-gagasannya. Selain komunikasi dialogis dan mengdengar aktif, untuk memotivasi anak agar lebih kreatif, sudah seharusnya kita memberikan perhatian serius kepada aktifitas yang tengah dilakukan oleh anak kita. Seperti misalnya melakukan aktifitas bersama-sama mereka. Kalau kita biasa melakukan shoum dan shalat bersama anak-anak kita, mengapa untuk aktifitas yang lain kita tidak dapat melakukannya ? Bukanlah lebih mudah untuk mentransfer suatu kebiasaan yang sama ketimbang harus memulai suatu kebiasaan yang sama sekali baru ? Dengan demikian sesungguhnya seorang muslim memiliki peluang yang lebih besar untuk menjadikan anak-anak mereka kreatif. Tinggallah sekarang bagaimana kita sebagai orangtua muslim senantiasa berusaha untuk memperkenalkan anak-anak kita dengan berbagai hal dan sesuatu yang baru untuk memenuhi aspek kognitif mereka. Agar mereka lebih terdorong lagi untuk berpikir dan berbuat secara kreatif.
Mengantarkan anak untuk berpuasa dan memahami maknanya, bukanlah pekerjaan mudah. Keberhasilan yang kita harapkan memerlukan persiapan sejak jauh hari. Meskipun Idul Fitri masih jauh karena baru mulai Ramadan, bagus juga mendorong anak-anak untuk berkreasi menyambut hari kemenangan itu. Bisa dengan membuat kartu-kartu ucapan yang indah, atau mengajak mereka mengatur rumah agar lebih terasa nyaman untuk menerima tamu-tamu.
Menurut Psikolag anak Ekorini Kuntowati, Untuk mengalihkan perhatian anak-anak dari rasa lapar, juga bisa menggunakan berbagai jenis permainan. Buku-buku yang berisi permainan yang bisa kita rancang sendiri banyak tersedia di toko buku. Jenis-jenis kerajinan tangan pun bukan main banyaknya. Dengan bahan kertas aneka jenis dan aneka warna, dengan kain, dengan pelepah pisang, daun, ranting hingga biji. Dengan monte, manik-manik, atau sekedar spidol dan pensil warna.
Segala sesuatu bisa digunting, dirobek, dibakar, dilem atau dibentuk menjadi sebuah hasil karya menarik. Kegiatan istimewa lainnya selain bermain juga bisa dirancang sejak dini. Misalnya memasak kue-kue ringan untuk dibawa berkunjung ke panti asuhan, atau untuk berbuka puasa di rumah, berkebun dan banyak lagi.
Sejak di jaman kehidupan Rasulullah saw, para sahabat muslimah telah merancang kreativitas bagi putra-putrinya, khusus untuk menggembirakan hati mereka agar melupakan waktu yang terasa berjalan lambat selama saum. Hal ini nampak dalam sebuah kisah, ketika Rasulullah Saw mengutus seseorang pada hari Asyura ke perkampungan orang-orang Anshar dan berkata, “Siapa yang pagi ini berpuasa hendaklah ia berpuasa dan menyempurnakan puasanya. Maka kami pun menyempurnakan puasa hari itu dan kami mengajak anak-anak kami puasa. Mereka kami ajak ke masjid, lalu kami beri mereka mainan dari benang sutra. Jika mereka menangis minta makan kami berikan mainan itu. sampai datang waktu berbuka.” (HR Bukhari-Muslim)
Amaliah dan Reward Ramadhan
Memperbanyak amaliah bulan Ramadhan akan memberikan suasana khas keceriaan
Ramadhan yang turut membantu membangkitkan semangat berpuasa anak-anak. Mempersering
membaca al-Qur'an, shalat tarawih dan mengikuti pengajian harian, misalnya. Juga
memperbanyak sedekah, saling berkirim makanan buka puasa antar tetangga. Dan khusus di sekolah bisa di ciptakan lingkungan yang kondusif melalui berbagai aktifitas yang bisa berupa semarak ramadhan, gebyar ramadhan, pesantren ramadhan dan kegiatan-kegiatan lain yang mendukung itu semua. Semua itu akan membuat anak merasakan kehadiran ramadhan dengan penuh semangat.
Dan tidak kalah penting adalah Memberi hadiah atas usaha anak untuk berpuasa sehingga bisa menambah motivasi. Kepada anak berusia di atas tujuh tahun, imbalan hadiah di akhir bulan
Ramadhan akan cukup membuat mereka bersemangat. Akan tetapi bagi anak yang
lebih kecil, akan lebih efektif jika hadiah harian pun mereka terima. Hadiah harian bisa berupa barang sederhana, atau bahkan hanya berupa bintang dari kertas emas yang ditempel di dinding.
Janjikan sebuah hadiah jika bintang mereka mencapai sepuluh, dua puluh, atau tiga puluh. Hadiah bulanan bisa merupakan kelanjutan dari hadiah harian, dan merupakan satu jenis kebutuhan yang sangat diharap-harapkan anak-anak. Katakan bahwa hadiah itu adalah pertanda kemenangan bagi usaha mereka mengalahkan hawa nafsu.
Waspadai saat-saat kritis
Sebelum saya akhiri, yang perlu di perhatikan oleh orang tua adalah Ada saat di mana biasanya anak begitu bergairah untuk berpuasa dan melakukan ibadah lain di bulan Ramadan. Biasanya ini terjadi di awal-awal, tetapi menjelang pertengahan bulan, anak mungkin sudah merasa lelah, sehingga enggan berpuasa. Orang tua harus mengantisipasi saat-saat kritis ini justru dengan memberikan kegiatan dan kreativitas yang paling menarik bagi anak.
Dan tidak kalah penting adalah -Menurut Ekorini Kuntowati - Berhati-hati pula dengan saat-saat usai Ashar setiap harinya. Di sore hari seperti ini anak mungkin merasa sangat lapar, lelah, dan jemu menunggu. Di saat-saat ini mereka sangat membutuhkan perhatian dan dorongan dari ayah dan ibunya. Jangan hanya sibuk menyiapkan buka puasa sehingga menelantarkan mereka. Justru di saat-saat inilah orang tua perlu mengajak anak untuk melakukan berbagai jenis kegiatan yang tidak membutuhkan bayak kekuatan fisik.

Selasa, 11 November 2008

“Kantin Kejujuran ; Pendidikan Anti Korupsi”

“Kantin Kejujuran ; Pendidikan Anti Korupsi”
Abd Qohin


Laboratorium Moral di sekolah

Salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan nasional, berbagai inovasi sangat dibutuhkan. Pemerintah maupun lembaga-lembaga yang consens terhadap dunia pendidikan untuk terus melakukan berbagai inovasi yang tidak hanya peningkatan kualitas akademik an sich, akan tetapi pembinaan akhlak pun mendapat perhatian. Salah satu di antaranya adalah dengan membuat “kantin kejujuran”.
Beberapa bulan lalu Jaksa Agung Hendarman Supanji meresmikan kantin Kejujuran di di SMAN 42 Jakarta yang ke-1000. Kenapa ini menarik untuk kita bicarakan? Tentunya kita berharap dengan model pembelajaran seperti ini di harapkan akan tercipta sebuah kejujuran dari seluruh elemen sekolah. Di harapkan kelak dengan adanya kantin kejujuran tidak muncul orang-orang yang berjiwa koruptor. Dan beberapa daerah bahkan sudah mulai mempraktekkan dan menerapkan “kantin kejujuran” misal di Jakarta,Bali,Jambi dan Riau, Siswa bebas ambil jajanan, mau berbohong, mau “nembak”, terserah.
Menurut M Syahroni Program kantin kejujuran yang di buat oleh Kejaksaan Agung merupakan salah satu bukti program yang cukup memberikan pelajaran berharga bagi para penerus bangsa untuk tetap mempertahankan kejujuran yang menjadi tonggak utama dari kehidupan sebuah bangsa dan negara. Ide pengembangan yang di laksanakan oleh Tim Galaksi (Gerakan Aksi Langsung Anti Korupsi Sejak Dini) ini memang sangat baik untuk memberikan gambaran tentang masyarakat terdidik di Indonesia. Mulai dari sekolah sampai karang taruna menjadi sasaran untuk program ini. Seandainya penerapan ini dapat di lakukan di Masyarakat mungkin negara ini akan menjadi sebuah negara yang sangat di hormati di dunia. Tidak sedikit dari para pengelola kantin kejujuran ini juga sempat menahan emosi lantaran masih juga ada yang tidak jujur. Tetapi secara keseluruhan ide pengembangan ini adalah salah satu ide yang sangat bagus.
Di beberapa negara sebenarnya sudah merepkan Sejak lama. Tidak hanya sekolah saja tetapi beberapa tempat atau instansi juga bisa di terapkan. Sebutlah di beberapa negara Eropa yang menerapkan model kantin kejujuran ini di masyarakat seperti Pom Bensin, Supermarket sampai kepada lalu lintas. Bagaimana kita memulai sebuah budaya untuk jujur kepada diri sendiri dan orang lain agar tidak saling merugikan menjadi sangat penting apalagi ketika melihat kondisi negara ini yang mungkin akan di penuhi oleh para koruptor yang semakin hari semakin banyak.
Tidak hanya itu saja mungkin kantin kejujuran ini tidak hanya di terapkan di sekolah atau organisasi masyarakat saja tetapi justru harus di tempat seperti Departemen Pemerintahan yang menjadi salah satu pusat ketidak jujuran. Entah apakah hal tersebut di mungkinkan ?
Bagaimana model kantin kejujuran ini? Di seluruh kantin kejujuran, kita tidak akan melihat seorang penjualpun melayani anda. Ada makanan dan minuman, daftar harga, tempat menyimpan uang pembayaran dan tempat uang kembalian.
Kantin kejujuran merupakan upaya untuk mendidik akhlak siswa agar berperilaku jujur. Kantin kejujuran adalah kantin yang menjual makanan kecil dan minuman. Kantin kejujuran tidak memiliki penjual dan tidak dijaga. Makanan atau minuman dipajang dalam kantin. Dalam kantin tersedia kotak uang, yang berguna menampung pembayaran dari siswa yang membeli makanan atau minuman. Bila ada kembalian, siswa mengambil dan menghitung sendiri uang kembalian dari dalam kotak tersebut. Di kantin ini, kesadaran siswa sangat dituntut untuk berbelanja dengan membayar dan mengambil uang kembalian jika memang berlebih, tanpa harus diawasi oleh guru atau pegawai kantin. Kantin Kejujuran merupakan salah satu bentuk kegiatan dalam pendidikan Antikorupsi. Tidak dapat dipungkiri bahwa salah satu problema bangsa yang hingga kini belum tuntas diselesaikan adalah praktik korupsi. Virus korupsi yang telah mewabah dan tumbuh subur di masa orde baru telah mengakibatkan kesengsaraan rakyat yang berkepanjangan, bahkan rnenghambat kemajuan bangsa dan negara. Sangat sulit untuk memutus tali rantai virus tersebut. Meskipun demikian, putra-putri bangsa yang masih memegang idealisme yang tinggi dan merindukan keadilan di negeri ini akan tetap berupaya untuk memberangus virus korupsi. (M.Qosim:2008 )

Pendidikan Anti Korupsi

Korupsi merupakan penyakit masyarakat, bukanlah budaya. Sebab, budaya bangsa Indonesia yang Iuhur tidak pernah mengajarkan apalagi melestarikan penyakit tersebut. Praktik korupsi juga ditolak oleh agama, terlepas agama apa pun dia. Oleh karena itu, sifat jujur merupakan penangkal yang efektif dari virus korupsi. Bahkan dalam ajaran Islam, sifat jujur akan mengantarkan seseorang kepada perbuatan-perbuatan yang bernilai. Dalam hal ini, Nabi Muhammad SAW bersabda: “Sesungguhnyva kejujuran itu akan mengantarkan kepada jalan kebaikan, dan sesungguhnya kebaikan itu akan mengantarkan ke dalam al- jannah (surga), sesungguhnya orang yang benar-benar jujur akan dicacat di sisi Allah sebagai ash-shidiq (orang yang jujur). Dan sesungguhnya orang yang dusta akan mengantarkan ke jalan kejelekan, dan sesungguhnya kejelekan itu akan mengantarkan ke dalam an- naar (neraka), sesungguhnya orang yang benar-benar dusta akan dicatat di sisi Allah sebagai pendusta. “ (HR. Al Bukhari )

Tanpa kejujuran, praktik korupsi, kolusi, nepotisme, dan segala bentuk manipulasi lainnya akan tetap subur di negeri ini. Untuk itu, kantin kejujuran yang merupakan pendidikan Antikorupsi perlu diterapkan sebagai upaya prepentif bagi generasi muda. Sebab, prevention is better than cure, pencegahan lebih baik dari pada mengobati. Namun pelaksanaan kantin kejujuran akan sukses dengan dukungan bersama dari warga sekolah. Program tersebut tidak hanya keinginan dari atasan, akan tetapi kebijakan pemerintah justru patut diberikan apresiasi yang tinggi dengan mensukseskannya secara bersama. Bukan berarti program ini menambah beban bagi sekolah, terutama bagi guru. Justru melalui program ini mempermudah guru untuk mendidik akhlak siswa. Sebab, tugas guru tidak hanya melaksanakan proses pembelajaran di dalam kelas, tetapi lebih dari itu guru turut bertanggung jawab dalam membina kepribadian siswa.

Untuk di Renungankan

Pemberantasan korupsi tidak akan berhasil selama tak ada peran serta seluruh masyarakat, termasuk siswa sebagai generasi penerus bangsa. Apabila kejujuran sudah diterapkan sejak dini, diharapkan akan dapat menyukseskan pemberantasan korupsi pada masa yang akan dating.Kantin Kejujuran ini juga menjadi ajang pembelajaran bagi peserta didik di sekolah maupun generasi muda tentang pentingnya kejujuran terhadap diri sendiri, lingkungan, hingga bangsa dan negara, kita berharap, tak akan ada lagi praktik "darmaji" alias dahar lima ngaku siji (makan lima tetapi mengaku satu) dalam kehidupan sehari-hari. Jika praktik kejujuran ini mulai dapat diterapkan pada pelajar, maka diharapkan mereka akan menjadi penerus bangsa yang jujur untuk memajukan bangsa ini.


Kantin Kejujuran dapat merefleksikan tabiat para siswa yang ada di sekolah itu. Jika kantin tak bertahan lama karena bangkrut, maka hampir dipastikan para siswa di sekolah itu tak lagi berlaku jujur. Sebaliknya, kantin akan semakin maju saat semua siswa memegang tinggi asas kejujuran dalam kesehariannya.
Sekali lagi, tugas guru tidak hanya mengajarkan materi an sich, tetapi berupaya semaksimal mungkin untuk membentuk kepribadian (ahlak) peserta didik yang sempurna. Selain itu, orangtua juga perlu memberikan motivasi dan pembinaan anak-anaknya agar selalu berperilaku jujur di sekolah, di rumah, maupun di lingkungan masyarakat. Dengan adanya kerja sama yang baik antara orangtua, sekolah, pemerintah, dan masyarakat lnsya’ Allah kita akan mampu mendidik generasi muda berperilaku jujur dan berakhlak mulia sebagai modal utama untuk membangun bangsa yang berperadaban tinggi bebas dari korupsi.

Rabu, 05 November 2008

“Supercamp : Pembelaran berbasis pengalaman dan life skill”

“Supercamp : Pembelaran berbasis pengalaman dan life skill”

Abd Qohin

Supercamp dan pembelajaran

Fenomena menarik di bidang pendidikan saat ini adalah lahirnya berbagai model pendidikan yang menjadikan alam sebagai tempat dan pusat kegiatan pembelajarannya. Pembelajaran tidak lagi dilakukan di dalam kelas yang dibatasi oleh ruang dan waktu an sich, tetapi lebih fokus pada pemanfaatan alam sebagai tempat dan sumber belajar. Belajar di alam dengan alam yang telah menyediakan beragam fasilitas dan tantangan bagi peserta didik akan sangat menyenangkan. Tinggal kemampuan kita bagaimana "mengekploirasi" sumber daya alam menjadi media, sumber dan materi pembelajaran yang sangat berguna.

Dalam buku Quantum Learning Bobbi De Porter mengatakan "Dengan mengendalikan lingkungan Anda, Anda melakukan langkah efektif pertama untuk mengendalikan seluruh pengalaman belajar Anda". Bahkan sekiranya saya harus menyebutkan salah satu alasan mengapa program kami berhasil membuat orang belajar lebik baik, saya harus menyebutkan karena kami berusaha menciptakan lingkungan optimal, baik secara fisik maupun emosional.
Bobbi De Porter juga yang pertama kali mengenalkan model pendidikan Quantum secara terprogram dengan nama Super Camp yaitu sebuah program pembelajaran dan pelatihan bagi siswa agar kecerdasannya bertambah dua kali lipat dari sebelumnya. Supercamp menggabungkan Neuro Linguistik Programming (NLP), sugestologi, accelerated learning (teori pemercepatan belajar), dan beberapa metode yang diciptakan sendiri oleh Bobbi DePorter. Ia menjadikan alam sebagai tempat pembelajaran. Peserta didik dengan bebas "mengeksploirasi" apa yang mereka lihat, dengar, dan rasakan di alam. Guru menempatkan dirinya sebagai mitra peserta didik dalam berdiskusi menyelesaikan problem yang ditemukan di alam. Out put dari model pendidikan Quantum ini terbukti memiliki keunggulan kompetitif lebih baik dibandingkan out put model pendidikan konvensional yang dilakukan di dalam kelas. Melalui Super Camp peserta didik lebih leluasa memanifestasikan subyektifitasnya yang sangat jarang ditemukan dalam praktik pendidikan konvensioal dalam kelas di sekolah.


Jika di dalam kelas subyektifitas peserta didik tertekan oleh otoritas guru, maka di alam, guru dan peserta didik dapat dengan leluasa menciptakan hubungan yang lebih akrab satu sama lain. Dari hubungan yang akrab ini lebih lanjut terjadi hubungan emosional yang mendalam antara guru dengan peserta didiknya. Dalam kondisi seperti ini, subyektifitas peserta didik dengan sendirinya akan mengalir dalam diskusi dengan guru di mana telah tercipta suasana belajar yang kondusif.


Menyatunya para siswa dengan alam sebagai tempat belajar dapat memuaskan keingintahuannya (curiousity), sebab mereka secara langsung face to face berhadapan dengan sumber dan materi pembelajaran secara riil. Hal yang sangat jarang terjadi pada pembelajaran di dalam kelas. Di alam mereka akan melihat langsung bagaimana sapi merumput, mereka mendengar kicau burung, mereka juga merasakan sejuknya air, mencium harum bunga, memetik sayur dan buah yang semuanya merupakan pengalaman nyata tidak terlupakan. Mereka belajar dengan nyaman, asyik dan berlangsung dalam suasana menyenangkan, sehingga informasi terekam dengan lebih baik dalam otak para siswa. Melalui proses eksploratoris seperti di atas, para siswa telah melakukan apa yang dikenal dengan istilah global learning (belajar global), sebuah cara belajar yang begitu efektif dan alamiah bagi manusia.

Kurikulum dan Game

Kurikulum di supercamp adalah kombinasi dari berbagai unsur yang di kembangkan dari suatu falsafah belajar dapat dan harus menyenangkan. Artinya yang mendasari kurikulum ini adalah falsafah belajar efektif dan belajar menyenangkan, dengan kata lain bahwa proses belajar adalah seumur hidup yang dapat dilakukan dengan menyenangkan dan berhasil.
Kurikulum dalam supercamp setidaknya menyangkut tiga hal yaitu : ketrampilan akademis, ketrampilan hidup (life skill) dan tantangan fisik serta memadukan dengan nilai-nilai fitri agama. Dengan kombinasi itu di harapkan akan menghasilkan pribadi yang kuat secara fisik, akademik maupun secara moral. Ketiga kurikulum itu merupakan campuran yang menghasilkan perbedaan besar dalam kehidupan ribuan siswa. Karena setiap program terdiri dari gabungan para siswa dan para Pembina yang benar-benar baru, maka masing-masing merupakan pengalaman yang unik. Pelajaran dan game dalam lapangan di ajarkan secara bervariasi.

Biasanya penerapan metode yang banyak di gunakan dalam supercamp adalah penggunaan model Quantum learning. Oleh karena itu dalam menerapkan model quantum learning pada program supercamp, games dan diskusi serta lingkungan belajar harus betul-betul ditata sedemikian rupa agar membuat peserta supercamp menjadi senang mengikuti semua materi yang disampaikan. Karena pada dasarnya proses pembelajar di supercamp itu adalah usaha untuk membuat belajar menjadi menyenangkan, baik oleh pembelajar maupun terhadap pebelajar, maka semua metode yang dirancang atau pun lingkungan belajar harus ditata agar membuat pebelajar menjadi senang. Berdasarkan pemantauan penulis dalam observasi di lapangan dan didukung oleh intervieu terhadap pembelajar dan pebelajar, dalam menerapkan model quantum learning, pola komunikasi yang paling dominan dilakukan adalah pola komunikasi multi arah. Pada proses pembelajarannya, khususnya dalam games dan diskusi pembelajar saling berinteraksi dengan para pebelajar, demikian juga para pebelajar saling berinteraksi dengan sesama pebelajar.Pelaksanaan supercamp dirancang sedemikian rupa, sehingga selama pebelajar berada di lokasi supercamp selama itu pula proses pembelajaran berlangsungsBentuk-bentuk komunikasi yang banyak diterapkan pada Quantum Learning adalah bentuk komunikasi kelompok.
Menurut Yoga Kuswandono Ada tiga fase besar digunakan belajar di alam terbuka. Fase pertama dinamakan Challenge SoulBrain. Selama dua hari mereka diajak untuk berada di alam bebas (boleh di sekitar lokasi sekolah atau di luar sekolah). Mereka disadarkan sebagai bagian dari lingkungan, ajaklah untuk melihat pencemaran yang terjadi.
Mereka diharuskan dapat melakukan sesuatu (tentunya tidak harus saat itu juga) sebagai respon terhadap masalah itu. Kemudian disajikan berbagai permainan yang menantang fisik (outbond dan lainnya) tidak peduli mereka berhasil atau tidak melewati permainan demi permainan yang diberikan.
Tanamkan pada dirinya bahwa sebenarnya tidak ada yang tidak bisa dilakukan asal ada kemauan dan usaha keras walaupun hasilnya ternyata tidak sesuai dengan yang diharapkan. Tetapi pengalaman pada saat melakukannya dapat menjadi pelajaran berharga untuk digunakan di kemudian hari.
Dibuat kelompok-kelompok kecil dan diciptakan iklim kompetitif dan kerjasama. Ini berguna untuk melatih dan mengembangkan semangat bekerjasama dalam tim. Sistem evaluasi hasil kerja tim lewat diskusi kelompok.
Setelah itu evaluasi lagi dengan cara yang sama. Challenge SoulBrain ditutup dengan refleksi singkat. Berupa evaluasi dan saling membagikan kesan-kesannya selama dua hari.
Fase kedua adalah Spirituality SoulBrain. Pemulihan dari pengalaman trauma dan luka batin serta penetapan tujuan ke depan menjadi fokus utama pelatihan ini.
Ada cara-cara praktis yang sebenarnya dapat dilakukan oleh orang awam selain psikolog sehingga guru-guru pembimbing dapat mempraktikkannya dengan mudah.
Fase ketiga adalah Academic SoulBrain. Fase ini ingin memadukan semua jenis gaya belajar baik itu somatis, audio, visual, dan intelektual. Asumsi ini mengumpamakan jika kita kembali lagi pada cara belajar waktu masih balita
Manfaat Supercamp Bagi Kecerdasan Natural Anak
Banyak orangtua menjadi bingung ketika anak meminta izin untuk ikut supercamp bersama teman-temannya. Biasanya orangtua akan merasa serba salah bila harus memutuskan hal yang satu ini. Jika diizinkan, mereka takut kalau-kalau nanti terjadi sesuatu yang tidah diharapkan. Tetapi jika dilarang, anak biasanya akan marah dan merasa kecewa. Anak akan beranggapan bahwa orangtua tidak pengertian dan tidak mau memberikan kesempatan kepadanya untuk bisa bersenang-senang bersama teman.

Memberikan izin kepada anak untuk mengikuti kegiatan supercamp memang tidak mudah. Terutama bagi orangtua yang tidak biasa melepaskan anak bermalam di suatu tempat yang baru dan bersama pihak lain. Kondisi seperti ini akan cenderung membuat orangtua ingin melarang anak agar tidak jadi ikut supercamp. Sebab, membiarkan anak pergi dan ikut supercamp boleh jadi akan membuat perasaan orangtua menjadi terasa sangat tersiksa. Bayangan-bayangan negatif yang mungkin terjadi pada diri anak selama di perkemahan akan terasa sulit sekali untuk dihapuskan.

Menyikapi hal di atas, menurut dr. Maya & Wido sebagai upaya untuk menghindarkan perasaan khawatir yang berlebihan maka orangtua seyogyanya meyakinkan terlebih dahulu bahwa anak akan mengikuti acara supercamp bersama orang-orang yang dapat dipercaya dan di lokasi yang tidak membahayakan (aman). Bila semuanya sudah jelas, janganlah orangtua lupa untuk memberikan penjelasan kepada anak tentang apa saja yang harus dilakukan apabila ia mendapatkan kendala saat mengikuti kegiatan. Selain itu, pesankan kepada anak dengan cara yang bijak agar ia selalu menjaga diri dengan baik.

Selain itu penelitian menunjukkan bahwa supercamp terbukti sangat berhasil dan harus di pertimbangkan sebagai model replica. Dalam disertasi Doktoralnya, Jeanette vos Groenendel (1991) mengatakan banyak manfaat dari supercamp. Dari hasil penelitiannya di peroleh data manfaat dari supercamp sebagai berikut :
 68% meningkatkan motivasi
 73% meningkatkan nilai pelajaran
 81% memperbesar keyakinan diri
 84% meningkatkan kehormatan diri
 96% mempertahankan sikap positif
 98% melanjutkan memanfaatkan ketrampilan hidup

Sejatinya, banyak nilai positif yang dapat diambil oleh anak melalui supercamp ini. Beberapa di antaranya adalah mengajarkan anak bagaimana bertahan hidup, belajar bekerja sama dengan orang lain bila ia membutuhkan bantuan,menanamkan sikap peduli lingkungan, belajar bagaimana cara membuat tempat untuk beristirahat yang nyaman dan aman dan yang tak kalah penting adalah memberikan pengalaman yang berharga dengan mencari problem solving dan pembelajaran life skill. Selain itu, supercamp juga baik untuk merangsang kecerdasan natural (naturalist intelligence) anak. Sebab, membiarkan anak berada di ruang terbuka dan alam bebas dapat mendorong anak mengetahui banyak informasi dan pengetahuan tentang bentuk-bentuk alam yang ada di sekitarnya

“Bangkitnya Minat dan Kebermaknaan dalam pembelajaran Fun”

“Bangkitnya Minat dan Kebermaknaan dalam pembelajaran Fun”
Oleh Abd Qohin*

Memahami Makna pembelajaran
Ketika kita bicara kualitas bangsa, maka artinya kita bicara soal pendidikan karena erat kaitannya dengan kualitas SDM sebuah bangsa. Pendidikan tidak begitu saja di kesampingkan dari persoalan muthahir abad ini karena pendidikanlah merupakan unsur yang sangat penting untuk membangun peradaban sebuah bangsa. Pendidikan adalah fondasi pertama bagi tegaknya agama. Karena itu kalam awal yang dihunjamkan ke dalam dada Nabi Muhammad SAW, adalah pembacaan (iqra) secara bebas tak terbatas bukan semata terhadap objek yang tertulis (written text) bahkan juga objek yang terhampar (reality) di alam semesta ini yang meliputi makhluk manusia dan non-manusia. Yang pertama membutuhkan instrumen nalar dan intuisi yang prosesnya biasa disebut sebagai tadabbur, sedangkan yang terakhir memerlukan nalar dan indera yang prosesnya sering dinamakan tafakkur

Tadabbur dan tafakkur adalah penanda utama bagi kaum ulul albab, manusia paripurna yang menjadi tujuan dalam proses pendidikan. Melalui instrumen penting itu, manusia bisa mempersepsi, memahami, memaknai, dan merumuskan asumsi-asumsi, hipotesis-hipotesis, hukum-hukum,membuat metode-metode baru dan teori-teori tentang semua yang ada di semesta raya ini baik yang dapat diraba maupun tidak dapat diraba. Termasuk di bidang pendidikan yakni berfikir dan merumuskan bagaimana pembelajaran bisa di pahami dan terima oleh pembelajar. Sering kita menafikkan aspek ini, “yang penting saya sudah ajarkan”. Pada hal semua itu sangat penting untuk keberhasilan sebuah pembelajaran.

Hasil-hasil pengajaran dan pembelajaran berbagai bidang studi terbukti selalu kurang memuaskan berbagai pihak (yang berkepentingan – stakeholder). Hal tersebut setidak-tidaknya disebabkan oleh tiga hal. Pertama, perkembangan kebutuhan dan aktivitas berbagai bidang kehidupan selalu meninggalkan proses/hasil kerja lembaga pendidikan atau melaju lebih dahulu daripada proses pengajaran dan pembelajaran sehingga hasil-hasil pengajaran dan pembelajaran tidak cocok/pas dengan kenyataan kehidupan yang diarungi oleh siswa. Kedua, pandangan-pandangan dan temuan-temuan kajian (yang baru) dari berbagai bidang tentang pembelajaran dan pengajaran membuat metodologi pembelajaran yang ada sekarang tidak memadai atau tidak cocok lagi. Ketiga, berbagai permasalahan dan kenyataan negatif tentang hasil pengajaran dan pembelajaran menuntut diupayakannya pembaharuan metodologi pengajaran dan pembelajaran. Dengan demikian, diharapkan mutu dan hasil pembelajaran dapat makin baik dan meningkat.
Tidak mengherankan, dalam beberapa tahun terakhir ini di Indonesia telah berkelebatan (muncul, populer, surut, tenggelam) berbagai falsafah dan metodologi pembelajaran yang dipandang baru-mutakhir meskipun akar-akar atau sumber-sumber pandangannya sebenarnya sudah ada sebelumnya, malah jauh sebelumnya. Beberapa di antaranya (yang banyak dibicarakan, didiskusikan, dan dicobakan oleh berbagai kalangan pembelajaran dan sekolah) dapat dikemukakan di sini, yaitu pembelajaran konstruktivis, pembelajaran kooperatif, pembelajaran terpadu, pembelajaran aktif, pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning, CTL), pembelajaran berbasis projek (project based learning), pembelajaran berbasis masalah (problem based learning), pembelajaran interaksi dinamis, dan pembelajaran kuantum (Quantum learning) dan lain-lain yang tentu akan mempermudah proses pembelajaran.

Tipologi model pembelajaran humanistik dan Fun

Menurut Hendri Risjawan Adanya beberapa bentuk kekerasan dalam pendidikan yang masih merajalela merupakan indikator bahwa proses atau aktivitas pendidikan kita masih jauh dari nilai-nilai kemanusiaan. Di sinilah urgensi humanisasi pendidikan. Humanisasi pendidikan merupakan upaya untuk menyiapkan generasi yang cerdas nalar, cerdas emosional, dan cerdas spiritual, bukan menciptakan manusia yang kerdil, pasif, dan tidak mampu mengatasi persoalan yang dihadapi
Dari beberapa literatur pendidikan,ditemukan beberapa model pembelajaran yang humanistik sekaligus menyenangkan. Di antara model pembelajaran yang humanistic dan menyenangkan ini yakni: humanizing of theclassroom, activelearning, quantum learning, quantumteaching,dan theaccelerated learning. Dengan di temukan berbagai corak model pembelajaran ini, tentunya sangat menggembirakan bagi kita semua sebagai seorang pendidik.
a. Humanizing of the classroom
Ini dilatarbelakangi oleh kondisi sekolah yang otoriter, tidak manusiawi, sehingga banyak menyebabkan peserta didik putus asa, yang akhirnya mengakhiri hidupnya alias bunuh diri. Kasus ini banyak terjadi di Amerika Serikat dan Jepang. Humanizing of the classroom ini dicetuskan oleh John P. Miller yang terfokus pada pengembangan model “pendidikan afektif”. Pendidikan model ini bertumpu pada tiga hal: menyadari diri sebagai suatu proses pertumbuhan yang sedang dan akan terus berubah, mengenali konsep dan identitas diri, dan menyatupadukan kesadaran hati dan pikiran. Perubahan yang dilakukan tidak terbatas pada substansi materi saja, tetapi yang lebih penting pada aspek metodologis yang dipandang sangat manusiawi.
b. Active learning
Di cetuskan oleh Melvin L. Silberman. Asumsi dasar yang dibangun dari model pembelajaran ini adalah bahwa belajar bukan merupakan konsekuensi otomatis dari penyampaian informasi kepada siswa. Belajar membutuhkan keterlibatan mental dan tindakan sekaligus. Pada saat kegiatan belajar itu aktif, siswa melakukan sebagian besar
pekerjaan belajar. Mereka mempelajari gagasan-gagasan, memecahkan berbagai
masalah dan menerapkan apa yang mereka pelajari.
Dalam active learning, cara belajar dengan mendengarkan saja akan cepat lupa, dengan cara mendengarkan dan melihat akan ingat sedikit, dengan cara mendengarkan, melihat, dan mendiskusikan dengan siswa lain akan paham, dengan cara mendengar, melihat, diskusi, dan melakukan akan memperoleh pengetahuan dan ketrampilan, dan cara untuk menguasai pelajaran yang terbagus adalah dengan mengajarkan. Belajar aktif merupakan langkah cepat, menyenangkan, dan menarik. Active learning menyajikan 101 strategi pembelajaran aktif yang dapat diterapkan untuk semua materi pembelajaran.
hampir
c. Quantum learning
Merupakan cara pengubahan bermacam-macam interaksi, hubungan dan inspirasi yang ada di dalam dan di sekitar momen belajar. Dalam prakteknya, quantum learning menggabungkan sugestologi, teknik pemercepatan belajar dan neurolinguistik dengan teori,keyakinan, dan metode tertentu. Quantum learning mengasumsikan bahwa
jika siswa mampu menggunakan potensi nalar dan emosinya secara jitu akan mampu
membuat loncatan prestasi yang tidak bisa terduga sebelumnya. Dengan metode
belajar yang tepat siswa bisa meraih prestasi belajar secara berlipat-ganda.
Salah satu konsep dasar dari metode ini adalah belajar itu harus mengasyikkan
dan berlangsung dalam suasanagembira, sehingga pintu masuk untuk
informasi baru akan lebih besar dan terekam dengan baik Sedang quantum teaching berusaha mengubah suasana belajar yang monoton dan membosankan ke dalam suasana belajar yang meriah dan gembira dengan memadukan potensi fisik, psikis, dan emosi siswa menjadi suatu kesatuan kekuatan yang integral.
d. QuantumTeaching
Berisi prinsip-prinsip sistem perancangan pengajaran yang efektif, efisien, dan
progresif berikut metode penyajiannya untuk mendapatkan hasil belajar yang
mengagumkan dengan waktu yang sedikit. Dalam prakteknya, model pembelajaran ini
bersandar pada asas utama bawalah dunia mereka ke dunia kita, dan antarkanlah
dunia kita ke dunia mereka. Pembelajaran, dengan demikian merupakan kegiatan full
content yang melibatkan semua aspek kepribadian siswa (pikiran, perasaan, dan bahasa tubuh) di samping pengetahuan, sikap, dan keyakinan sebelumnya, serta persepsi masa mendatang. Semua ini harus dikelola sebaik-baiknya, diselaraskan hingga mencapai harmoni .
e. The accelerated learning
Merupakan pembelajaran yang dipercepat. Konsep dasar dari pembelajaran ini adalah bahwa pembelajaran itu berlangsung secara cepat, menyenangkan, dan memuaskan. Pemilik konsep ini, Dave Meier menyarankan kepada guru agar dalam mengelola kelas
menggunakan pendekatan Somatic, Auditory,Visual, dan Intellectual (SAVI). Somatic dimaksudkan sebagai learning by moving and doing(belajar dengan bergerak dan berbuat). Auditory adalalah learning by talking and hearing(belajar dengan berbicara dan mendengarkan) . Visual diartikan learning by observingand picturing(belajar dengan mengamati dan mengambarkan) . Intellectual maksudnya adalah learning by problem
solving and reflecting (belajar dengan pemecahan masalah dan melakukan refleksi).

Bobbi De Porter menganggap accelerated learning dapat memungkinkan
siswa untuk belajar dengan kecepatan yang mengesankan, dengan upaya yang normal
dan dibarengi kegembiraan. Cara ini menyatukan unsur-unsur yang sekilas tampak
tidak mempunyai persamaan, tampak tidak mempunyai persamaan, misalnya hiburan,
permainan, warna, cara berpikir positif, kebugaran fisik dan kesehatan
emosional. Namun semua unsur ini bekerja sama untuk menghasilkan pengalaman
belajar yang efektif.
Penggunaan istilah kegiatan belajar, membuat kita jadi sadar bahwa pusat utama dalam proses pembelajaran dalam sebuah komunitas belajar adalah siswa (student centered learning). Hal ini tidak dapat kita pungkiri seiring perkembangan metode pembelajaran yang semakin berkembang, sehingga menyebabkan perubahan paradigma yang semula guru menja pusat (centalistik) menjadi terbalik (justru siswa yang menjadi pusat). Dari paradigm ini akhirnya mengembang menjadi paradigma dengan menggunaan pendekatan-pendekatan mutahir dengan pendekatan berbasis siswa. Munculnya berbagai pendekatan baru dalam dunia pendidikan semakin membuat dunia pendidikan bergairah untuk bangkit membangun bangsa yang sedang mengalami berbagai krisis. Dan dengan munculnya berbagai pendekatan itu pula akhirnya menggeser kebiasaan sekolah tradisional yang cenderung menempatkan guru sebagai centered student learning . Dulu ketika saya masih kecil dan masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD), pembelajaran masih sangat kuat di dominasi oleh guru artinya yang terlibat aktif justru gurunya ( bukan muridnya) sementara siswa cenderung bersifat pasif atau sebagai partisipan belaka.
Sebagai pusat belajar, siswa di harapkan lebih aktif berkegiatan membangun suatu pemahaman, ketrampilan dan sikap . Aktifitas siswa menjadi penting di tekankan karena belajar itu pada hakekatnya adalah proses yang aktif dimana siswa menggunakan kekuatan pikirannya untuk membangun sebuah pemahaman ( contruktifism). Murid tidak hanya cukup belajar menyerap dan menghafal pengetahuan (Transfer of knowledge ) yang kadang-kadang hanya bersifat informasi . Potensi otak manusia terutama murid tidak hanya dapat di fungsikan untuk menghafal dan mengingat, tetapi juga untuk mengolah informasi yang akan diproses dan untuk membangun pengertian-pengertian baru (ketrampilan mengolah informasi). Inilah yang harus kita perhatikan sebagai seorang pendidik dan sering kali jarang kita pahami pula.
Konsep pembelajaran yang fun

Dulu kita (mungkin) cenderung terjebak memahami pembelajaran yang menyenangkan adalah pembelajaran yang menekankan atau dengan identik “yang penting anak senang, anak Fun dan anak Happy”. Ternyata Hal ini tidak seluruhnya benar . Kalau hanya sekedar anak senang, maka kadang –kadang pembelajaran jadi seperti hampa nilai. Kemuadian setelah saya pelajari dengan berbagai literature tentang konsep pembelajaran,maka ternyata menyenangkan tidak identik dengan yang penting anak senang. Ketika kita baca bukunya Hernowo, kita akan jadi terkejut tentang pemahaman makna menyenangkan. Menyenangkan atau membuat suasana belajar dalam keadaan gembira bukan berarti menciptakan suasana yang rebut atau hura-hura. Kegembiraan ini dapat di artikan dengan bangkitnya minat, adanya keterlibatan penuh dari siswa, tercipnya sebuah makna, pemahaman (penguasaan atas materi yang di pelajari) serta nilai yang membahagiakan pada diri si pembelajar. Paling tidak pembelajaran yang menyenangkan setidaknya mencakup empat hal tersebut.

Dalam realitasnya bangkitnya minat sering kita pahami dengan gairah ( keinginan) yang menggebu-gebu. Jadi kalau kita kontekskan dengan ini maka sikap seorang pembelajar maupun pengajar menjadi sangat gembira lantaran di dalam dirinya memang ada keinginan mengajarkan atau mempelajari pelajaran dengan sungguh-sungguh.
Keterlibatan penuh siswa dalam mempelajari sesuatu , komponen ini sangat tergantung pada komponen pertama. Apakah mungkin seorang pelajar dapat terlibat penuh dalam pelajarannya jika tidak mempunyai keinginan( bangkitnya minat) untuk mengikuti pelajaran? Keterlibatan memerlukan hubungan timbal balik apa yang di pelajari dan siapa yang ingin mempelajari, perlu ada jalinan yang akrab dan saling memahami.
Kebermaknaan, makna tidak mudah didefinisikan. Makna terkait dengan masing-masing pribadi. Kata yang paling mungkin dekat dan mudah di pahami adalah berkaitan dengan makna adalah terbitnya atau munculnya sesuatu yang mengesankan dalam pembelajaran. Biasanya sesuatu yang mengesankan biasanya menghadirkan makna. Jika pembelajaran tidak menimbulkan kesan mendalam terhadap para siswa, maka mustahil ada makna.Pemahaman, jika komponen minat dapat tumbuh, kemudian dia terlibat secara aktif dan penuh dalam membahas materi pelajaran dan ujung-ujungnya dia bisa menemukan makna (terkesan) dengan pelajaran yang diikutinya tentulah pemahaman akan materi yang di pelajrinya dapat muncul secara sangat kuat. Rasa ingin tahu (keinginan berkehendak) untuk menguasai materi yang di pelajarinya akan tumbuh hebat.

napak tilas pendidikan ibrahim

“Revitalisasi dan Napak Nilas pendidikan Model Ibrahim AS ”

Abd Qohin*

Idul adha dan kesejahteraan sosial

Setiap tahun dalam kalender islam, umat islam paling tidak merayakan dua hari raya penting yakni Idul Fitri dan Idul Adha. Patut kiranya bagi kita untuk merefleksi, apa sebenarnya makna dan pesan moral yang terkandung dari setiap perayaan itu sehingga tidak hanya bermakna relegius semata tetapi lebih dari itu, kita bisa melakukan langkah-langkah konstruktif untuk melakukan perubahan dalam kehidupan ini,.

Berbicara mengenai Idul Adha, selain membahas ihwal keharirayaan itu sendiri juga sudah barang tentu erat kaitannya dengan pembahasan ibadah haji dan qurban. Haji adalah salah satu unsur penting dari kelima mata-rantai arkanul Islam bersama-sama dua kalimat syahadat, penegakan shalat, pembayaran zakat dan penunaian puasa (shiyam). Ibadah haji, seperti diingatkan al Qur’an (al Haj (22) : 28) mengandung sekian banyak manfaat (manafi) bagi para hujjaj dan masyarakat luas pada umunya. Diantara manfaat yang dimaksudkna ialah menumbuhkembangkan jalinan persaudaraan Islam (ukhuwah Islamiyah) khususnya dan penggalangan kesetiakawanan sosial pada umumnya

Menurut Prof. Dr. Drs. K.H.Amin Suma, SH MA , Mengacu kepada semangat ibadah haji dan ibadah qurban, sungguh pada tempatnya jika semangat kedua ibadah ini benar-benar disadari dan diamalkan oleh kita umat Islam Indonesia dan bahkan umat Islam secara keseluruhan. Bukan semata-mata dalam lingkupnya yang sempit lagi terbatas, melainkan juga dalam konteks yang lebih luas dan tidak terbatas, juga dalam konteks yang lebih panjang yakni masa depan yang harus kita bangun dan kita tata. Dengan cara demikian pelaksanaan ibadah haji dan ibadah qurban memiliki efek sosial yang benar-benar bernilai guna dalam upaya membangun kesejahteraan sosial bangsa Indonesia yang berkeadilan dan membangun keadilan bangsa Indonesia yang berkesejahteraan.

Guna menwujudkan kesejahteraan sosial yang berkeadilan dan membangun keadilan yang berkesejahteraan sosial, tentu membutuhkan beberapa persyaratan yang harus dimiliki dan dipatuhi oleh segenap bangsa Indonesia dan khususnya umat Muslimin. Diantara prasyarat yang dimaksudkan ialah meningkatkan kualitas pendidikan dalam konteksnya yang sangat luas dan mendalam. Bukan pendidikan dalam artian sempit yang hanya mementingkan proses belajar-mengajar atau terutama pemindahan ilmu (transfer of knowledge) seperti yang umum dikenal masyarakat luas, melainkan juga pendidikan ketrampilan dan perilaku (karakter) yang membutuhkan keteladan. Dewasa ini, secara umum meski tidak secara keseluruhan, kita umat Islam beanr-benar mengalami krisis keteladanan dalam hampir semua sektor kehidupan yang benar-benar membutuhkan penanganan yang bukan saja arif bijaksana melainkan juga kesadaran dan kesabaran.

Pembelajaran ala Ibrahim AS

Di tengah kebersamaan merayakan Iedul Adha, kita sejenak perlu mengenang keteladanan Nabiullah Ibrahim a.s. dan Siti Hajar a.s. dalam melahirkan seorang generasi teladan bernama Ismail. Keberhasilan mereka berdua dalam mendidik putranya adalah sebuah pola pendidikan yang telah terbukti melahirkan seorang generasi berpredikat nabi. Keshalehan dan keta’atan Ismail diabadikan Allah SWT dalam al-Qur’an dan sejarah hidupnya menjadi napak tilas pelaksanaan ibadah haji sampai hari ini

Bagaimana pola Ibrahim mencetak kader berpredikat nabi itu? Al-Qur’an memberi gambaran dengan tahapan yang sitematis dan detail. Hal ini dapat kita fahami dengan penjelasan berikut:

Pertama Visi pendidikan Ibrahim adalah mencetak generasi shaleh yang menyembah hanya kepada Allah SWT. Dalam penantian panjang beliau berdo’a agar diberi generasi shaleh yang dapat melanjutkan perjuangan agama tauhid. Visi Ibrahim ini diabadikan Allah SWT dalam al-Qur’an: "Ya Tuhanku, anugrahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh." (Q.S. Ash Shaaffaat : 100). Ibrahim sangat konsisten dengan visi ini, tidak pernah terpengaruh predikat dan titel-titel selain keshalehan. Dalam mentransfer nilai kepada anaknya, Ibrahim selalu bertanya Maata’buduuna min ba’dii bukan Maata’kuluuna min ba’dii. "Nak, apa yang kau sembah sepeninggalku?" bukan pertanyaan "Apa yang kamu makan sepeninggalku?" Ibrahim tidak terlalu khawatir akan nasib ekonomi anaknya tapi Ibrahim sangat khawatir ketika anaknya nanti menyembah tuhan selain Allah SWT.


Kedua, Misi pendidikan Ibrahim adalah mengantar Ismail dan putra-putranya mengikuti ajaran Islam secara totalitas. Keta’atan ini dimaksudkan sebagai proteksi agar tidak terkontaminasi dengan ajaran berhala yang telah mapan di sekitarnya . Allah SWT menjelaskan harapan Ibrahim dengan sebuah do’anya: "Dan Ibrahim Telah mewasiatkan Ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya'qub. (Ibrahim berkata): "Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah Telah memilih agama Ini bagimu, Maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam". (Q.S. Al Baqarah : 132)


Ketiga, Kurikulum pendidikan Ibrahim juga sangat lengkap. Muatannya telah menyentuh kebutuhan dasar manusia. Aspek yang dikembangkan meliputi: Tilawah untuk pencerahan intelektual, Tazkiyah untuk penguatan spiritual, Taklim untuk pengembangan keilmuan dan Hikmah sebagai panduan operasional dalam amal-amal kebajikan.
Muatan-muatan strategis pendidikan Ibrahim tersebut, Allah SWT telah jelaskan secara terperinci dalam firman-Nya: "Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka sesorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab (Al Quran) dan Al-Hikmah (As-Sunnah) serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana." (Q.S. Al-Baqarah : 129)


Keempat Lingkungan pendidikan Ibrahim untuk putranya bersih dari virus aqidah dan akhlaq. Beliau dijauhkan dari berhala dunia, fikiran sesat, budaya jahiliyah dan prilaku sosial yang tercela. Hal ini dipilih agar fikiran dan jiwanya terhindar dari kebiasaan buruk di sekitarnya. Selain jauh dari perilaku yang tercelah, tempat pendidikan Ismail juga dirancang menjadi satu kesatuan dengan pusat ibadah ‘Baitullah’. Hal ini dipilih agar Ismail tumbuh dalam suasana spritual, beribadah (shalat) hanya untuk Allah SWT. Kiat ini sangat strategis karena faktor lingkungan sangat berpengaruh kepada perkembangan kejiwaan anak di sekitarnya. Pemilihan tempat (bi’ah) yang strategis untuk pendidikan Ismail secara khusus Allah SWT abadikan dalam al-Qur’an, sebagaimana firman-Nya:” Artinya: "Ya Tuhan kami, Sesungguhnya Aku Telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, Ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, Maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezkilah mereka dari buah-buahan, Mudah-mudahan mereka bersyukur." (Q.S. Ibrahim : 37)

Refleksi pendidikan Idul Adha

Kekhusyukan dan kekhidmatan merupakan elemen penting dalam memaknai semangat idul adha. Letak arti penting dari kekhusyukan dan kekhidmatan kita merayakan Idul Adha di tahun 1429 H ini, terutama dalam kaitannya dengan membangkitkan kembali arti penting (revitalisasi) dari semangat juang dan pengorbanan kaum muslimin , tentu melalui proses pendidikan sebagaimana terkandung dalam perayaan Idul Adha dan ibadah-ibadah lain yang terkait dengannya.

Dalam perspektif kehidupan sosial, tidaklah salah kiranya bila disimpulkan bahwa inti dari semangat pelaksanaan ibadah haji dan ibadah qurban yang digerakan Abul Anbiya’ (bapak para nabi) Ibrahim AS dan kemudian diikuti anak keturunannya dari Ishaq dan Ismail AS hingga Muhammad SAW adalah revitalisasi semangat berjuang dan pengorbanan segenap umat muslimin dalam melaksanakan tugas hidup dan kehidupannya. Baik itu kehiduapan individu dan kelaurga, maupun kehidupan sosial yang lebih luas lagi dalam kaitan ini kehidupan berbangsa dan bernegara, serta kehidupan beragama.

Hanya dengan menggerakan kembali semangat juang dan pengorbanan melaui pendidikan inilah maka bangsa Indonesia kita insyaAllah akan kembali menjadi umat dan bangsa yang bermartabat dalam pergaulan umat-umat dan bangsa-bangsa lain di dunia.

Tidak ada kata terlambat, sekarang kita harus bangkit menyelamatkan mereka anak-anak bangsa. Hal paling prioritas dari nilai-nilai pendidikan Ibrahim yang harus menjadi pola hari ini adalah bi’ah atau penciptaan lingkungan yang mendidik. Lingkungan pendidikan harus bebas dari virus aqidah dan akhlaq. Perlu “suaka generasi” (kawasan steril) buat perkembangan dan pertumbuhan setiap anak.


Para orang tua dan pengelola pendidikan hari ini harus mencontoh keberanian Ibrahim dan Siti Hajar dalam mengamankan Ismail jauh dari lingkungan buruk. Harus ada benteng yang kuat untuk mengamankan anak kita dari pengaruh narkoba, judi, seks bebas dan kekerasan. Melepas anak berada dalam lingkungan yang buruk seperti ini, berarti kita telah menghancurkan masa depan mereka.


Desain pendidikan memang harus jauh dari segala keburukan. Lingkungan yang buruk sangat berpotensi merusak akhlaq dan kepribadian anak. Rasulullah SAW telah memberikan rambu-rambu agar menghidari setiap orang atau lingkungan yang bisa berpengaruh negatif terhadap jiwa kita. Sebagaimana sabda beliau: Iyyaaka waqariinassu’ fainnaka bihi tu’rafu "Hindari olehmu bergaul dengan orang jahat karena kamu akan dikenal dengan kejahatannya" (Al-hadits)

Kamis, 04 September 2008

Pembelajaran penemuan terbimbing dikembangkan berdasarkan pandangan kognitif tentang pembelajaran dan prinsip-prinsip konstruktivis. Menurut prinsip ini siswa dilatih dan didorong untuk dapat belajar secara mandiri. Dengan kata lain, belajar secara konstruktivis lebih menekankan belajar berpusat pada siswa sedangkan peranan guru adalah membantu siswa menemukan fakta, konsep atau prinsip untuk diri mereka sendiri bukan memberikan ceramah atau mengendalikan seluruh kegiatan kelas.

Konstruktivis adalah salah satu pilar dari Contextual Teaching and Learning, dimana siswa diharapkan membangun pemahaman oleh diri sendiri dari pengalaman-pengalaman baru berdasarkan pada pengalaman awal dan pemahaman yang mendalam dikembangkan melalui pengalaman-pengalaman belajar bermakna.

Pembelajaran penemuan terbimbing mempunyai kesamaan dengan pembelajaran berdasarkan masalah dan inquiri yang juga penerapannya berdasarkan teori konstruktivis, maka penemuan terbimbing termasuk salah satu pembelajaran yang sesuai dengan Contextual Teaching and Learning (CTL).

Menurut Sund (dalam Suryosubroto, 1996: 193), discovery merupakan bagian dari inquiri, atau inquiri merupakan perluasan proses discovery yang digunakan lebih mendalam. Discovery adalah proses mental dimana siswa mengasimilasi suatu konsep atau suatu prinsip. Proses mental tersebut misalnya mengamati, menggolongkan, membuat simpulan dan sebagainya.
Pembelajaran penemuan ada persamaannya dengan pembelajaran berdasarkan masalah.

Menurut Ibrahim dan Nur (2000: 23), kedua model ini menekankan keterlibatan siswa secara aktif, orientasi induktif lebih ditekankan daripada deduktif, dan siswa mengkonstruksi pengetahuan mereka sendiri. Pembelajaran berdasarkan masalah (PBI) membantu siswa menjadi pebelajar yang mandiri dan otonom melalui bimbingan guru yang secara berulang-ulang mendorong dan mengarahkan siswa untuk mencari penyelesaian terhadap masalah nyata. Namun pembelajaran penemuan dan PBI berbeda dalam beberapa hal yang penting yaitu, pada penemuan terbimbing sebagian besar didasarkan pada pertanyaan-pertanyaan berdasarkan disiplin, dan penyelidikan siswa berlangsung di bawah bimbingan guru terbatas pada lingkungan kelas.

Berbeda dengan pembelajaran penemuan terbimbing, pembelajaran berdasarkan masalah dimulai dengan masalah kehidupan nyata yang bermakna yang memberikan kesempatan kepada siswa dalam memilih dan melakukan penyelidikan yang diperlukan untuk memecahkan masalah tersebut. Selain itu, karena masalah itu merupakan masalah kehidupan nyata, pemecahannya memerlukan penyelidikan antara disiplin (Arends, 1997).

Tahap-tahap pembelajaran

1. Orientasi siswa pada masalah
Guru menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan logistik yang dibutuhkan, memotivasi siswa terlibat pada aktivitas pemecahan masalah yang diberikan guru.

2. Mengorganisasikan siswa dalam belajar
Guru membantu siswa mendefenisikan dan mengorganisasikan tugas-tugas yang berkaitan dengan masalah serta menyediakan alat.

3. Membimbing penyelidikan individual maupun kelompok
Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah.

4. Menyajikan / mempresentasikan hasil kegiatan
Guru membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan, video, dan model yang membantu mereka untuk berbagi tugas dengan temannya.

5. Mengevaluasi kegiatan
Guru membantu siswa untuk merefleksi pada penyelidikan dan proses penemuan yang digunakan.
Sumber: (Ibrahim dan Nur, 2000: 13)

Karena pembelajaran penemuan terbimbing merupakan pembelajaran penemuan dan bimbingan guru, dan ada persamaannya dengan pembelajaran berdasarkan masalah, oleh sebab itu dalam penelitian ini menggunakan tahapan dengan mengadaptasi dari tahapan PBI.

Carin (1993a) memberikan petunjuk dalam merencanakan dan menyiapkan pembelajaran penemuan terbimbing sebagai berikut:
1. Menentukan tujuan yang akan dipelajari oleh siswa.
2. Memilih metode yang sesuai dengan kegiatan penemuan.
3. Menentukan lembar pengamatan untuk siswa.
4. Menyiapkan alat dan bahan secara lengkap.
5. Menentukan dengan cermat apakah siswa akan bekerja secara individu atau secara kelompok yang terdiri dari 2,3 atau 4 siswa.
6. Mencoba terlebih dahulu kegiatan yang akan dikerjakan oleh siswa untuk mengetahui kesulitan yang mungkin timbul atau kemungkinan untuk modifikasi.

Selanjutnya, untuk mencapai tujuan di atas Carin (1993a) menyarankan hal-hal sebagai berikut:
a. Memberikan bantuan agar siswa dapat memahami tujuan kegiatan yang dilakukan.
b. Memeriksa bahwa semua siswa memahami tujuan kegiatan prosedur yang harus dilakukan.
c. Sebelum kegiatan dilakukan menjelaskan pada siswa tentang cara bekerja yang aman.
d. Mengamati setiap siswa selama mereka melakukan kegiatan.
e. Memberikan waktu yang cukup kepada siswa untuk mengembalikan alat dan bahan yang digunakan.
f. Melakukan diskusi tentang kesimpulan untuk setiap jenis kegiatan.

pendidikan di Brasil

Mengenal Pendidikan di Brasil


Setelah pendidikan di India pernah dikupas di garduguru ini, penjaga gardu mengedepankan Brasil untuk dikupas pendidikannya senyampang sebulan berlalu tentang pertemua SBY dengan Presiden Brasil. Pada 12 Juli 2008, yang lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyambut kedatangan Presiden Brazil Luiz Inacio Lula Da Silva dalam kunjungan kenegaraan sehari di Indonesia. Presiden Brazil disambut upacara kenegaraan di Istana Merdeka, Jakarta. Rombongan Presiden Brazil berjumlah 68 orang itu disertai oleh Menteri Luar Negeri Brazil, Celso Amorim, Menteri Staf Kepresidenan Dilma Rousseff, serta Menteri Pengembangan Industri dan Perdagangan Luar Negeri Edmundo S Fujita. Kedua kepala negara menyaksikan penandatanganan nota kesepahaman di tiga bidang, yaitu pendidikan, kerjasama teknik produksi bahan bakar etanol, dan perjanjian bebas visa untuk hubungan diplomatik serta pelayanan paspor.

Sistem Pendidikan Brasil mencakup lembaga-lembaga pemerintah (federal, negara-negara bagian dan kotamadya), serta lembaga swasta. Jenjang pendidikan dimulai dari tingkat prasekolah, sekolah dasar (Tingkat Dasar- I Grau ), dan tingkat menengah (Tingkat Kedua- II Grau ) sampai universitas dan tingkat pasca sarjana.

Pendidikan wajib bagi anak usia 7-14 tahun. Undang-Undang Dasar Brasil 1988 mengalokasikan sekurang-kurangnya 25% dari pendapatan pajak negara bagian untuk pendidikan. Di tahun 2000, 91% dari semua anak-anak Brasil usia 10-14 tahun bersekolah. Pemerintah Federal mendirikan sekurang-kurangnya satu universitas federal di setiap negara bagian. Pada tahun 1996 amandemen baru Undang-Undang Dasar dibuat, memungkinkan bagi para professor dan ilmuwan asing untuk menjadi pengajar di universitas Brasil. Kini di Brasil ada lebih dari 1.000 program pasca sarjana yang memiliki dosen pengajar yang mutunya setara dengan institusi sejenis di negara-negara maju.

Masa depan ekonomi Brasil terletak paling vital pada perbaikan pendidikan guna mencapai hasil produktivitas yang "besar sekali", "Kurangnya modal manusia menjadi penghalang tunggal terutama bagi pertumbuhan produktivitas," Organisasi bagi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan mengatakan dalam sebuah survei terhadap ekonomi Brasil. "Ada kesepakatan luas bahwa hasil yang akan diperoleh dari akumulasi modal manusia yang lebih cepat besar sekali." Indikator pendidikan yang jelek adalah lebih merupakan masalah kualitas pendidikan daripada pendanaan.

Brasil memiliki sejarah meledak dan melambat, dan OECD mengatakan potensi bagi pertumbuhan tanpa overheating kini "agak rendah" pada sekitar 3,0-3,5% per tahun. Di wilayah OECD yang terdiri dari negara-negara industri utama, potensi pertumbunan adalah sekitar 2,5% dan diperkirakan akan naik menjadi 3,0-3,5%. Brasil harus mengejar reformasi untuk meningkatkan sekitar lima poin lebih baik, menyiratkan pertumbuhan sekitar 8,0%, untuk diraih seperempat abad mendatang, laporan itu mengatakan.

OECD juga mendapati bahwa "pengurangan hambatan perdagangan nampaknya telah memainkan peran krusial dalam peningkatan produktivitas", dan program privatisasi yang besar juga telah membantu. Ekonomi telah tumbuh dengan 2,3% tahun lalu sesudah 4,9% pertumbuhan pada 2004 dan 0,5% pertumbuhan pada 2003.

Memuji reformasi belakangan ini di Brasil untuk menstabilkan inflasi, memperkuat mata uang dan mengurangi utang, OECD mengatakan bahwa "prospeknya bagus bagi pemulihan yang luas." Namun laporan itu menyoroti tiga bidang dimana aksi yang perkasa diperlukan:
1- Tantangan "dominan" akan "terus berlanjut guna mengurangi utang publik yang mengancam" sementara memperbai keuangan publik dengan kendali pengeluaran bukan terutama dengan kenaikan pajak sejauh ini. Reformasi pensiun khususnya penting.
2- Suatu "tantangan kebijakan utama adalah dengan meningkatkan inovasi di sektor bisnis" karena, meskipun kinerja inovasi membaik dengan cepat, masih terlalu rendah dan didorong terutama oleh negara dan universitas.
3- Kualitas pendidikan harus membaik karena sementara pendanaan naik hingga tingkat OECD hal itu tidak mendukung dengan cukup cepat kualifikasi angkatan kerja.

Pendidikan merupakan salah satu cara untuk mengurangi pasar tenaga kerja yang tak didiumumkan -- tinggi dan merugikan -- laporan tersebut menandaskan, menyebutkan sebuah terbitan bahwa buruh yang tak dideklarasikan berjumlah 37,0% dari angkatan kerja pada 1999. Dan institut itu mendesakkan diciptakannya "sistem sertifikasi keterampilan nasional".

Apa yang disebut "keajaiban Brasil" pada 1960-an dan 1970-an telah menaikkan produk domestik bruto dengan sekitar 7,5% per tahun, namun kebijakan peningkatan tidak berkelanjutan dan pertumbuhan menurun hingga sekitar 2,5% dari 1980 sampai 2005, karena lonjakan diikuti kemerosotan. "Hasilnya adalah bahwa kesenjangan dalam pendapatan per kapita Brasil dibandingkan dengan wilayah OECD (negara-negara industri maju) telah melebar dari sekitar 60% pada 1980 hingga hampir 70% sejak 2000."Untuk menutup kesenjangan ini dalam seperempat abad".

Seperti halnya Ki Hajar Dewantara, Imam Syafii, Bu Kasur, dan tokoh pendidikan yang lainnya, di Brasil juga terdapat tokoh yang dikenal dunia, yakni Paolo Freire, yang telah menyampaikan pemikiran-pemikiran kritisnya tentang realitas pendidikan. Bahwa pendidikan hanya ditakdirkan untuk melayani dominasi atau reproduksi bentuk-bentuk dominasi dari sebuah kekuasaan, telah diuraikan secara panjang lebar oleh Freire dalam sejumlah bukunya.

Menelaah sejumlah karyanya, tampak bagaimana Freire mengkritisi tentang peran reproduksi sekolah atau pendidikan sistematis terhadap ideologi dominan atau ideologi yang berkuasa. Tugas utama pendidikan sistematis adalah reproduksi ideologi kelas dominan, reproduksi kondisi-kondisi untuk memelihara kekuasaan mereka atau kekuasaan kaum borjuis. Namun tepatnya karena hubungan antara pendidikan sistematis sebagai suatu subsistem dengan sistem sosial merupakan hubungan pertentangan dan kontradiksi timbal balik.

Gambaran Freire tentang kondisi pendidikan di Brazil ini tak jauh berbeda ketika masa pemerintahan orde baru. Instrumen-instrumen pendidikan seperti kurikulum, pengajar maupun siswa berada dalam sebuah sistem yang berfungsi untuk mengamankan kekuasaan yang ada. Maka tidak heran jika fungsi pendidikan bukan lagi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, melainkan sebuah bentuk indoktrinasi untuk melanggengkan pemerintahan yang berkuasa.

Terhadap kondisi dunia pendidikan seperti ini, tokoh pendidikan asal Brazil ini memaparkan sejumlah solusinya. Bahwa ketika bicara reproduksi sebagai tugas kelas-kelas dominan, maka ada kemungkinan tugas tandingan terhadap reproduksi ideologi dominan. Kedua tugas ini bersifat dialektik, yang pertama adalah tugas reproduksi dan kedua adalah tugas oposisi pendidikan. Tugas oposisi pendidikan ini adalah bagaimana mengembalikan fungsi pendidikan agar tidak menjadi pelayan dari sebuah kekuasaan dan dinikmati oleh golongan tertentu seperti kaum borjuis melainkan kembali ke cita-citanya untuk membangun manusia yang seutuhnya.

Tantangan yang kemudian muncul dalam menjalankan tugas oposisi pendidikan ini adalah bagaimana memperjuangkan transformasi revolusioner masyarakat borjuis untuk membangun masyarakat sosialis. Revolusi perlu menciptakan dan membantu lahirnya masyarakat baru dan proses kelahiran masyarakat baru ini ada di dalam pendidikan revolusioner. Ketika revolusi meraih kekuasaan itu merupakan bantuan fantastik yang diperlukan untuk membaharui sistem pendidikan. Satu hal yang menjadi pekerjaan sekarang adalah melawan sistem borjuis melalui korps revolusioner untuk mencipta melalui pendidikan.

Pemikiran, kritik dan sebuah solusi yang telah ditawarkan oleh Freire di atas jika dicermati dengan seksama, ternyata begitu dekat dengan realitas dunia pendidikan kita. Bagaimana dengan di Indonesia? Adakah yang menindaklanjuti konsep pendidikan Ki Hajar Dewantara dan Imam Syafii?

sain islam

SAINS DALAM ISLAM

MENCARI MODEL PENGEMBANGAN SAINS
DI DUNIA ISLAM KONTEMPORER
Oleh: Muqowim

Peradaban Islam, khususnya sains pernah berjaya selama sekitar lima abad (abad ke-8 sampai 12) sehingga menjadi kiblat dari bangsa lain. Di antara faktor penyebabnya adalah adanya patron ilmu (penguasa Islam) yang mendukung secara material dan moral, luasnya jaringan perdagangan secara internasional, adanya semangat pluralis dari penguasa dan ilmuwan, dan tingginya etos sains dari para ilmuwan. Yang menjadi persoalan kemudian adalah mengapa kemajuan sains ini kemudian redup dan stagnan? Bahkan, ketika Napoleon Bonaparte ke Mesir tahun 1798 dengan membawa sejumlah saintis dari berbagai cabang ilmu kondisi di Mesir saat itu sangat memprihatinkan. Para ulama (sheikh) sama sekali tidak menunjukkan semangat intelektual Islam yang dinamis sebagaimana ditunjukkan oleh para saintis muslim di era keemasan. Ulama Mesir ketika itu larut dalam dunia mistik dan kehilangan kreatifitas berpikirnya. Kondisi serupa juga dapat dijumpai di dunia Islam yang lain seperti Benua Indo-Pakistan, Asia Tenggara, dan Timur Tengah, meskipun ada beberapa pengecualian di beberapa wilayah seperti Persia. Kondisi semacam ini berlangsung hingga kurun modern, padahal sains dan teknologi menjadi tolok ukuran kemajuan peradaban suatu bangsa saat ini.
Untuk mengembangkan sains dalam Islam pada era globalisasi ini yang pertama perlu dilakukan adalah merekonstruksi sejarah sains dalam Islam klasik secara menyeluruh, ketika peradaban Islam [dalam bidang sains] mencapai era keemasan (al-’asr al-dhahaby). Rekonstruksi dilakukan dengan terlebih dahulu memetakan permasalahan sains yang dihadapi umat Islam saat ini. Dengan demikian, akan ditemukan faktor penyebab yang menjadikan sains di dunia Islam kontemporer tertinggal dengan peradaban lain. Upaya rekonstruksi perlu dilakukan, sebab dalam banyak hal umat Islam tidak cukup kritis dengan sejarahnya sendiri, terutama tentang kemajuan sains pada era klasik. Bahkan, sebagian orang masih belum dapat memisahkan antara wilayah normatif dan historis tentang sains. Seakan-akan dengan datangnya Islam secara otomatis sains juga berkembang. Pandangan idealis-normatif ini perlu dibenturkan dengan kenyataan sejarah, bahwa proses pengembangan sains dalam Islam tidak berjalan secara monolitik-linear, namun terjadi proses yang rumit dan kompleks sehingga perlu pembacaan kritis dan hermeneutis atas fakta sejarah masa lalu.
Selanjutnya, bertolak dari rekonstruksi sejarah sains dalam Islam itu pada akhirnya ditemukan bahwa kemajuan sains dicapai ketika ada paradigma tauhid (tauhidic paradigm) dan etos sains yang dimiliki oleh saintis. Selain itu, peran patron ilmu dan ketersediaan khasanah sains pra-Islam juga mendukung pencapaian ini. Hal ini berujung pada cara pandang umat Islam tentang agamanya. Untuk itu, umat Islam perlu melakukan redefinisi tentang studi Islam; bahwa studi Islam (Islamic studies/dirasat islamiyyah) bukan hanya mencakup al-‘ulum al-naqliyyah saja seperti fiqih, kalam, tasawuf, tafsir dan hadis, namun juga al-‘ulum al-‘aqliyyah juga, seperti sains, humaniora dan humanitis. Yang menjadi ukuran adalah paradigma tauhid, bahwa semua ilmu yang terinspirasi dan didasarkan pada ajaran al-Qur’an dan al-Sunnah, apa pun hasil kesimpulannya, maka termasuk kategori studi Islam.
Selain itu, dalam pemaknaan baru terhadap studi Islam itu tidak ada dikotomi antara wilayah agama dan sains, namun keduanya terintegrasi baik pada level ontologis, epistemologis maupun aksiologis. Dalam pengembangan sains, paradigma bayani, burhani, dan ‘irfani harus dilakukan secara terpadu, bahwa yang menjadi sumber pengetahuan sains meliputi teks, realitas, dan pengalaman atau intuisi. Teks tidak sekedar ayat al-Qur’an dan matan hadis saja, namun juga mencakup referensi ilmu peninggalan saintis muslim ataupun non-muslim. Sementara itu, realitas terkait dengan fenomena alam sekitar yang selalu berubah dan kontekstual. Sedangkan pengalaman memungkinkan saintis bersikap empatik dan menghargai keragaman pendapat yang dihasilkan oleh saintis lain. Untuk itu, sikap inklusif dan pluralis perlu lebih dikepedankan ketimbang penghakiman dan klaim kebenaran sepihak.
Ketiga, paling tidak ada tiga strategi yang dapat dilakukan untuk mengembangkan sains dalam Islam kontemporer, yaitu pergeseran paradigma (shifting paradigm) sains di perguruan tinggi, kemauan politik (political will) penguasa, dan institusioalisasi etos sains. Pertama, paradigma yang dimaksud adalah cara pandang terhadap sains dalam Islam yang merupakan bagian integral dari studi Islam, baik secara ontologis, epistemologis maupun aksiologis. Tanpa paradigma ini pengembangan sains dalam Islam hanya sebagai justifikasi temuan sains dan teknologi dengan ayat dan hadis. Sebab, paradigma ini meniscayakan tidak lagi memisahkan wilayah sains dalam posisi yang diametral dengan agama. Bahwa secara ontologis, untuk memahami Tuhan dapat dilakukan melalui ayat-ayat qawliyah dan kawniyah. Kedua, pengembangan sains sangat dipengaruhi oleh adanya patron ilmu, terutama oleh penguasa, yang diwujudkan dalam bentuk dukungan dana dan pembuatan kebijakan yang pro-sains dan teknologi. Ketiga, perlunya institusionalisasi etos sains, yaitu universalisme, komunalisme, organized skepticism, dan disinterestedness, di perguruan tinggi atau lembaga-lembaga sains dan teknologi lainnya. Wujud dari pelembagaan etos ini atara lain berupa kegiatan konkrit pengembangan sains seperti pengumpulan referensi pokok sains, kegiatan penelitian sains dan teknologi secara terstruktur dalam desain yang jelas, penghargaan terhadap saintis, dan berbagai forum ilmiah penunjang lainnya misalnya diskusi, seminar, lokakarya, simposium, sampai penelitian. Melalui lembaga ini juga perlu dibentuk lembaga riset dan pengadaan laboratorium yang representatif.
Akhirnya, membangun jaringan keilmuan antar saintis dan lembaga sains dari mana pun harus dilakukan. Adanya jaringan yang luas memungkinkan terjadinya dialog dan tukar-menukar ilmu pengetahuan dan teknologi, baik dari sisi sumber daya manusia, literatur ataupun peralatan. Untuk dapat melakukan kerja sama dengan pihak lain ini diperlukan paradigma pengelola lembaga yang terbuka, moderat, dan pluralis tanpa mengorbankan identitas keislaman yang membawa kerahmatan bagi seluruh alam (islam rahmatan li al-’alamin)