Rabu, 05 November 2008

napak tilas pendidikan ibrahim

“Revitalisasi dan Napak Nilas pendidikan Model Ibrahim AS ”

Abd Qohin*

Idul adha dan kesejahteraan sosial

Setiap tahun dalam kalender islam, umat islam paling tidak merayakan dua hari raya penting yakni Idul Fitri dan Idul Adha. Patut kiranya bagi kita untuk merefleksi, apa sebenarnya makna dan pesan moral yang terkandung dari setiap perayaan itu sehingga tidak hanya bermakna relegius semata tetapi lebih dari itu, kita bisa melakukan langkah-langkah konstruktif untuk melakukan perubahan dalam kehidupan ini,.

Berbicara mengenai Idul Adha, selain membahas ihwal keharirayaan itu sendiri juga sudah barang tentu erat kaitannya dengan pembahasan ibadah haji dan qurban. Haji adalah salah satu unsur penting dari kelima mata-rantai arkanul Islam bersama-sama dua kalimat syahadat, penegakan shalat, pembayaran zakat dan penunaian puasa (shiyam). Ibadah haji, seperti diingatkan al Qur’an (al Haj (22) : 28) mengandung sekian banyak manfaat (manafi) bagi para hujjaj dan masyarakat luas pada umunya. Diantara manfaat yang dimaksudkna ialah menumbuhkembangkan jalinan persaudaraan Islam (ukhuwah Islamiyah) khususnya dan penggalangan kesetiakawanan sosial pada umumnya

Menurut Prof. Dr. Drs. K.H.Amin Suma, SH MA , Mengacu kepada semangat ibadah haji dan ibadah qurban, sungguh pada tempatnya jika semangat kedua ibadah ini benar-benar disadari dan diamalkan oleh kita umat Islam Indonesia dan bahkan umat Islam secara keseluruhan. Bukan semata-mata dalam lingkupnya yang sempit lagi terbatas, melainkan juga dalam konteks yang lebih luas dan tidak terbatas, juga dalam konteks yang lebih panjang yakni masa depan yang harus kita bangun dan kita tata. Dengan cara demikian pelaksanaan ibadah haji dan ibadah qurban memiliki efek sosial yang benar-benar bernilai guna dalam upaya membangun kesejahteraan sosial bangsa Indonesia yang berkeadilan dan membangun keadilan bangsa Indonesia yang berkesejahteraan.

Guna menwujudkan kesejahteraan sosial yang berkeadilan dan membangun keadilan yang berkesejahteraan sosial, tentu membutuhkan beberapa persyaratan yang harus dimiliki dan dipatuhi oleh segenap bangsa Indonesia dan khususnya umat Muslimin. Diantara prasyarat yang dimaksudkan ialah meningkatkan kualitas pendidikan dalam konteksnya yang sangat luas dan mendalam. Bukan pendidikan dalam artian sempit yang hanya mementingkan proses belajar-mengajar atau terutama pemindahan ilmu (transfer of knowledge) seperti yang umum dikenal masyarakat luas, melainkan juga pendidikan ketrampilan dan perilaku (karakter) yang membutuhkan keteladan. Dewasa ini, secara umum meski tidak secara keseluruhan, kita umat Islam beanr-benar mengalami krisis keteladanan dalam hampir semua sektor kehidupan yang benar-benar membutuhkan penanganan yang bukan saja arif bijaksana melainkan juga kesadaran dan kesabaran.

Pembelajaran ala Ibrahim AS

Di tengah kebersamaan merayakan Iedul Adha, kita sejenak perlu mengenang keteladanan Nabiullah Ibrahim a.s. dan Siti Hajar a.s. dalam melahirkan seorang generasi teladan bernama Ismail. Keberhasilan mereka berdua dalam mendidik putranya adalah sebuah pola pendidikan yang telah terbukti melahirkan seorang generasi berpredikat nabi. Keshalehan dan keta’atan Ismail diabadikan Allah SWT dalam al-Qur’an dan sejarah hidupnya menjadi napak tilas pelaksanaan ibadah haji sampai hari ini

Bagaimana pola Ibrahim mencetak kader berpredikat nabi itu? Al-Qur’an memberi gambaran dengan tahapan yang sitematis dan detail. Hal ini dapat kita fahami dengan penjelasan berikut:

Pertama Visi pendidikan Ibrahim adalah mencetak generasi shaleh yang menyembah hanya kepada Allah SWT. Dalam penantian panjang beliau berdo’a agar diberi generasi shaleh yang dapat melanjutkan perjuangan agama tauhid. Visi Ibrahim ini diabadikan Allah SWT dalam al-Qur’an: "Ya Tuhanku, anugrahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh." (Q.S. Ash Shaaffaat : 100). Ibrahim sangat konsisten dengan visi ini, tidak pernah terpengaruh predikat dan titel-titel selain keshalehan. Dalam mentransfer nilai kepada anaknya, Ibrahim selalu bertanya Maata’buduuna min ba’dii bukan Maata’kuluuna min ba’dii. "Nak, apa yang kau sembah sepeninggalku?" bukan pertanyaan "Apa yang kamu makan sepeninggalku?" Ibrahim tidak terlalu khawatir akan nasib ekonomi anaknya tapi Ibrahim sangat khawatir ketika anaknya nanti menyembah tuhan selain Allah SWT.


Kedua, Misi pendidikan Ibrahim adalah mengantar Ismail dan putra-putranya mengikuti ajaran Islam secara totalitas. Keta’atan ini dimaksudkan sebagai proteksi agar tidak terkontaminasi dengan ajaran berhala yang telah mapan di sekitarnya . Allah SWT menjelaskan harapan Ibrahim dengan sebuah do’anya: "Dan Ibrahim Telah mewasiatkan Ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya'qub. (Ibrahim berkata): "Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah Telah memilih agama Ini bagimu, Maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam". (Q.S. Al Baqarah : 132)


Ketiga, Kurikulum pendidikan Ibrahim juga sangat lengkap. Muatannya telah menyentuh kebutuhan dasar manusia. Aspek yang dikembangkan meliputi: Tilawah untuk pencerahan intelektual, Tazkiyah untuk penguatan spiritual, Taklim untuk pengembangan keilmuan dan Hikmah sebagai panduan operasional dalam amal-amal kebajikan.
Muatan-muatan strategis pendidikan Ibrahim tersebut, Allah SWT telah jelaskan secara terperinci dalam firman-Nya: "Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka sesorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab (Al Quran) dan Al-Hikmah (As-Sunnah) serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana." (Q.S. Al-Baqarah : 129)


Keempat Lingkungan pendidikan Ibrahim untuk putranya bersih dari virus aqidah dan akhlaq. Beliau dijauhkan dari berhala dunia, fikiran sesat, budaya jahiliyah dan prilaku sosial yang tercela. Hal ini dipilih agar fikiran dan jiwanya terhindar dari kebiasaan buruk di sekitarnya. Selain jauh dari perilaku yang tercelah, tempat pendidikan Ismail juga dirancang menjadi satu kesatuan dengan pusat ibadah ‘Baitullah’. Hal ini dipilih agar Ismail tumbuh dalam suasana spritual, beribadah (shalat) hanya untuk Allah SWT. Kiat ini sangat strategis karena faktor lingkungan sangat berpengaruh kepada perkembangan kejiwaan anak di sekitarnya. Pemilihan tempat (bi’ah) yang strategis untuk pendidikan Ismail secara khusus Allah SWT abadikan dalam al-Qur’an, sebagaimana firman-Nya:” Artinya: "Ya Tuhan kami, Sesungguhnya Aku Telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, Ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, Maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezkilah mereka dari buah-buahan, Mudah-mudahan mereka bersyukur." (Q.S. Ibrahim : 37)

Refleksi pendidikan Idul Adha

Kekhusyukan dan kekhidmatan merupakan elemen penting dalam memaknai semangat idul adha. Letak arti penting dari kekhusyukan dan kekhidmatan kita merayakan Idul Adha di tahun 1429 H ini, terutama dalam kaitannya dengan membangkitkan kembali arti penting (revitalisasi) dari semangat juang dan pengorbanan kaum muslimin , tentu melalui proses pendidikan sebagaimana terkandung dalam perayaan Idul Adha dan ibadah-ibadah lain yang terkait dengannya.

Dalam perspektif kehidupan sosial, tidaklah salah kiranya bila disimpulkan bahwa inti dari semangat pelaksanaan ibadah haji dan ibadah qurban yang digerakan Abul Anbiya’ (bapak para nabi) Ibrahim AS dan kemudian diikuti anak keturunannya dari Ishaq dan Ismail AS hingga Muhammad SAW adalah revitalisasi semangat berjuang dan pengorbanan segenap umat muslimin dalam melaksanakan tugas hidup dan kehidupannya. Baik itu kehiduapan individu dan kelaurga, maupun kehidupan sosial yang lebih luas lagi dalam kaitan ini kehidupan berbangsa dan bernegara, serta kehidupan beragama.

Hanya dengan menggerakan kembali semangat juang dan pengorbanan melaui pendidikan inilah maka bangsa Indonesia kita insyaAllah akan kembali menjadi umat dan bangsa yang bermartabat dalam pergaulan umat-umat dan bangsa-bangsa lain di dunia.

Tidak ada kata terlambat, sekarang kita harus bangkit menyelamatkan mereka anak-anak bangsa. Hal paling prioritas dari nilai-nilai pendidikan Ibrahim yang harus menjadi pola hari ini adalah bi’ah atau penciptaan lingkungan yang mendidik. Lingkungan pendidikan harus bebas dari virus aqidah dan akhlaq. Perlu “suaka generasi” (kawasan steril) buat perkembangan dan pertumbuhan setiap anak.


Para orang tua dan pengelola pendidikan hari ini harus mencontoh keberanian Ibrahim dan Siti Hajar dalam mengamankan Ismail jauh dari lingkungan buruk. Harus ada benteng yang kuat untuk mengamankan anak kita dari pengaruh narkoba, judi, seks bebas dan kekerasan. Melepas anak berada dalam lingkungan yang buruk seperti ini, berarti kita telah menghancurkan masa depan mereka.


Desain pendidikan memang harus jauh dari segala keburukan. Lingkungan yang buruk sangat berpotensi merusak akhlaq dan kepribadian anak. Rasulullah SAW telah memberikan rambu-rambu agar menghidari setiap orang atau lingkungan yang bisa berpengaruh negatif terhadap jiwa kita. Sebagaimana sabda beliau: Iyyaaka waqariinassu’ fainnaka bihi tu’rafu "Hindari olehmu bergaul dengan orang jahat karena kamu akan dikenal dengan kejahatannya" (Al-hadits)

Tidak ada komentar: