Selasa, 09 Februari 2010

surat buat kang nasir

“Saat Bahagia”
(Buat Kang NasirYang Sedang Bahagia)

“Akhirnya kumenemukanmu
Saat hati ini mulai merapuh
Akhirnya kumenemukanmu
Saat hati ini mulai berlabuh
Ku berharap engkaulah jawaban sglala risau hatiku”

Pertama kali saya menulis ini, saya teringat kawan saya yang minggu-minggu ini sedang berbunga-bunga hatinya. Berbunga karena telah menemukan “Teman sejati” untuk pendamping dan menemani setiap detik yang berlalu. Tentulah kita paham orang macam apa yang senang mendengarkannya lagu milik kelompok “NAFF” yang sempat nge-hit beberapa bulan yang lalu. Dengan judul “Akhirnya Ku Menemukanmu”, sudah jelas apa artinya. Sebuah akhir penantian yang panjang nan amat melelahkan akan segera terobati dengan datangnya “Sang Fajar ” penyelamat ditengah hiruk pikuk kehidupan yang makin hari makin terasa melelahkan.
Tiba-tiba dunia jadi serba indah, seolah dunia begitu bersahabat dan semua masalah memunculkan solusinya masing-masing. Lintasan masa yang sempat teramat berat dijalani jadi seringan kapas. Masa lalu yang begitu pahit seolah lenyap, manakala melihat “Sang Dewi” yang sebentar lagi akan hadir. Masa depan yang samar-samar mulai menyibakkan setitik sinar terang………nun jauh disana.
Ya, itulah gambaran kawanku -bukan hanya kawanku, tapi kawan kita semua- yang sedang kasmaran dan sedang bahagia hari-harinya. Semua memang serba indah saat situasi sedang menyenangkan. Tapi adakah jaminan bahwa segala pengertian, pemaafan dan penerimaan terhadap kesalahan pasangan hidup/orang lain tetap akan sama jika situasinya berubah ? apakah Sang suami/istri masih mau dengan bijak membela kesalahan-kesalahan pasangan hidup saat, “Taruhlah”, kita tak sebagus sekarang.
Jalan hidup masih panjang kawan. Samudra masih terbentang maha luas kawan! Masih ada waktu untuk menyiapkan diri dengan bekal yang secukupnya untuk mengarungi samudra harapan Bos! Kita tak boleh lengah dengan badai yang mungkin akan sedikit menghambat langkah kita.
Ya, kita tunggu hasil akhirnya. Apakah masa bulan madu itu hanya seumur jagung atau bakal terus terjaga sampai penantian itu benar-benar terwujud dalam realita berupa sampainya kalian ke tujuan akhir sebagaimana kapal berlayar yaitu sebuah pulau yang di cita-citakan segenap umat manusia “Pulau Kebahagiaan” atau setidaknya “Mimpi yang sempurna teraih”. Dan apakah semua akan tetap indah sebagaimana indahnya sekarang jika untuk kesekian kalinya harapan menjauh dari pelupuk mata. Aha…..!
Harapan untuk menemukan “Seseorang” memang harus terus di jaga dan diperjuangkan, tetapi tetap dengan jalur-jalur yang baik. Entah esok, entah lusa, jika pun gagal, semoga dunia ini bisa tetap seindah sekarang. Selamat berbahagia kawan, semoga sakinah, mawaddah nan rohmah menyertai setiap jejak langkahmu. Selamat berlayar ke samudra pengharapan menempuh perjalanan panjang dan semoga selamat sampai ke tujuan akhir “Pulau Kebahagian” teraih
Selamat berbahagia kang Nasir, Mudah-mudahan Sakinah Mawaddah Nan Rohmah senantiasa menaungi bahtera perahu yang sedang kalian jalani.

“Jika nanti kusanding dirimu
Milikilah aku dengan segala kelemahanku
Dan bial nanti engkau disampingku
Jangan pernah letih tuk mencintaiku”

Minggu, 07 Februari 2010

Matinya Sekolah

“Matinya Sekolah?”
Bila Implementasi Pendidikan keluarga telah membumi

Ironi pendidikan kini; Sebuah Elegi masa depan
Pendidikan merupakan lembaga yang dianggap paling bertanggung jawab terhadap perkembangan sebuah bangsa. Tak ayal, ketika produk instansi ini tidak sesuai dengan harapan, maka pihak yang paling sering dipersalahkan adalah sekolah dan lembaga pendidikan. Ini tercermin ketika ada seorang guru yang sudah tua mulai mengeluh ,mengapa setiap terjadi kasus “Kecelakaan” penyaluran bakat remaja, semisal tawuran antar pelajar, perampokan yang dilakukan oleh pelajar, budaya nyabu, ngoplo, nyimeng, sampai kasus “Bandung lautan asmara” dan casting iklan sabun “Kamar kecil biru” diterminal Tirtonadi Solo, selalu saja guru dan lembaga pendidikan yang selalu dipersalahkan dan dipermasalahkan. Mulai dari menyorot soal ketidakseriusan guru mendidik dan krisis keteladanan guru yang tidak patut lagi “di gugu dan ditiru” sampai dengan mempolemikkan perlu tidaknya menghidupkan kembalii mata pelajaran budi pekerti atau bahkan menambah jam pelajaran Agama ditengah pelajaran moral pancasila dan PPKn yang semakin kehilangan orientasi nilai. Tak ayal, sekolah atau lembaga pendidikan seolah menjadi biang kerok atas semua kemelut bangsa dan menjadi pihak yang pertama yang harus diadili. Sungguh ironis, lembaga yang harusnya menjadi “Kawah Condrodimuko” malah menjadi pihak yang mesti dipersoalkan eksistensinya dalam membangun peradaban.
Padahal kalau kita cermati alokasi waktu bagi anak-anak tersebut dalam naungan atap sekolah tidak lebih dari 6 jam dalam 24 jam hidup sehari-hari. Waktu 6 jam pun masih dipotong untuk istirahat, hari libur setiap minggu dan beberapa hari libur insidental yang juga cukup banyak. Dapat di hitung berapa waktu yang mungkin dapat di manfaatkan oleh guru untuk mengontrol semua kegiatan atau aktifitas murid-muridnya. Dalam waktu yang sedikit itu,seorang guru di tuntut harus mencerdaskan,mengadabkan,membudayakan serangkuman materi kedalam otak anak. Mungkinkah semuanya dapat tercapai ?
Seorang guru jelas bukan tukang sulap yang mampu mengubah segala sesuatu dengan mantra “abrakadabra” atau “sim salabim” yang dengan sendiri otomatis menjadi “kunfayakun”, Beliau juga bukan “Superman” yang mampu melakukan semua dengan mudah, pun beliau juga bukan “Uber match”-nya ala neitzhe yang mampu menjalankan fungsinya sebagai manusia yang serba bisa, tetapi Beliau juga manusia biasa yang kadang terhimpit berbagai masalah dan kegetiran hidup yang cukup menyesakkan dada yang membutuhkan alam pikir kreatif. Demikian pula ruang kelas bukanlah mesin foto kopi yang bisa menstranfer seluruh catatan buku pada lembaran kertas yang kosong yang tak terbatas jumlahnya, dan murid pun bukanlah lembaran kertas yang kosong tetapi murid adalah potensi yang harus di kembangkan dengan berbagai kekomplekan poblemnya.
Persoalannya pun tidak cukup berhenti sampai disini. Seorang murid yang baru saja diajar tentang sopan santun berbicara, kalau berbicara harus menghindari kosa kata yang kotor dan tidak pantas, tetapi sampai dirumah orangt tuanya biasa berperang mulut ala telenovela dengan mengobral nama-nama seluruh koleksi kebun binatang. Apakah pelajaran moral yang baru saja didapat didalam ruang kelas tersebut bermanfaat dan membekas didalam hati serta alam bawah sadarnya anak? kalau sekedar mengingatkan dan kemudian menuliskannya didalam lembar jawaban ketika ujian tiba mungkin semua anak dapat melakukanya dengan nominal nilai 10, tetapi untuk menjadikannya menjadi sebuah kebiasaan sehari-hari -yang dalam bahasa agama kita sering sebut “Akhlak”-.tampaknya akan sulit dipastikan keberhasilannya.

Keluarga Sebagai “Soko Guru Peradaban”
Solusi yang sedang dikembangkan dan sedang menjadi trend adalah dengan sekolah “full day” atau “Boarding school”, dengan harapan bisa mengisolasi anak dari pergaulan buruk masyarakat, yang secara teorinya tampak ampuh pada dataran empiriknya acap kali masih jadi tanda Tanya besar ataupun bahkan tampak gagap ketika harus diparalelkan dengan kekomplekan problem hidup kehidupan remaja yang juga butuh bermasyarakat. Inilah cermin kegalauan dan kecemasan masa depan anak kita. Sadar atau tidak suatu saat saya, engkau dan kita semua pasti akan menjadi ayah dan bunda yang akan memandu jalannya masa depan anak kita.
Berangkat dari persepsi perbandingan waktu yang tidak proporsional itu, dalam pandangan seorang P.Mujiran dalam bukunya “Pernak-pernik pendidikan” mengajak mengembalikan tugas pendidikan kepada institusi yang lebih kokoh dan lebih tua dari pendidikan formal sekolah. Instutusi itu adalah keluarga. Dengan mengembalikan tugas pendidikan kepada institusi keluarga , maka sebenarnya juga telah menghidupkan slogan “Belajar seumur hidup” (Life-long education) secara nyata. Sebab begitulah kenyataannya, begitu individu lahir maka dia akan mendaulat ayah dan ibunya sebagai gurunya yang pertama. Walaupun tanpa teks pengangkatan dan surat keputusan (SK). Cara ayah makan dan minum, kebiasaan ibu berbicara dan bersikap akan direkam dalam alam bawah sadar anak sebagai proses pendidikan yang akan menjadi kebiasaan sehari-hari
Keluarga sebagai “Tiang Negara”
Keluarga sebagai umat kecil yang memiliki pimpinan dan anggota, mempunyai pembagian tugas dan kerja, serta hak dan kewajiban bagi masing-masing anggotanya.”Umat besar” atau satu negara demikian pula halnya. Al qur’an menamakan satu komunitas sebagai “Ummat” dan menamakan ib yang melahirkananak keturunan sebagai “Umm”. Menurut Qurais Shihab Kedua kata tersebut terambil dari akar kata yang sama. Mengapa demikian? Agaknya ibu yang melahirkan anak keturunan itu dan yang dipundaknya terutama dibebankan pembinaan dan pendidikan anak.
Keluarga adaah sebagai sekolah tempat putra-putri bangsa belajar. Dari sana mereka mempelajari sifat-sifat mulia, seperti kesetiaan, rahmat, adab, sopan santun (Ahlaqul kariemah) dan kasih sayang, Ghiroh (kecemburuan positif) dan sebagainya. Disinilah tempat mereka belajar. Dari kehidupan keluarga, seorang ayah sekaligus suami memperoleh dan memupuk sifat keberanian dan keuletan sikap dan upaya dalam rangka membela sanak keluarganya dan membahagiakannya mereka pada saat hidupnya dan setelah kematiannya.
Keluarga adalah unit terkecil yang menjadi pendukung dan pembangkit lahirnya bangsa dan masyarakat. Selama pembangkit itu mampu menyalurkan arus yang kuat lagi sehat, selama itu pula masyarakat dan bangsa akan menjadi sehat dan kuat. Nah, disinilah peran besar keluarga yang ikut andil terhadap bangun-runtuhnya suatu masyarakat. Walaupun harus diakui pula bahwa masyarakat secara keseluruhan dapat mempengaruhi pula keadaan para keluarga.
Kalau dalam literatur keagamaan di kenal ungkapan al mar’ah ‘imaadul bilad (wanita dalah tiang negara), maka pada hakikatnya tidaklah meleset bila dikatakan bahwa Al usroh ‘imaadul bilad biha tahya wabiha tamuut (keluarga adalah tiang negara,dengan keluargalah negara bangkit atau runtuh).
Demikianlah, terlihat betapa besar peranan keluarga dan betapa keberhasilan kita secara perorangan atau kolektif, secara pribadi atau sebagai bangsa, didunia dan akherat, banyak sekali ditentukan oleh keberhasilan kita dalam keluarga masing-masing. Wajar jika Alloh berpesan : “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka” (QS 66:6).
Nah, berangkat dari persepsi diatas yang menjadi benang merah bahwa Salah satu tugas yang ditekankan adalah tugas mendidik bukanlah tugas guru dan sekolah semata, akan tetapi juga harus disadari orang tua sebagai tugas yang secara otomatis melekat manakala anak lahir ke dunia dan juga harus diterima sebagi tugas keluarga serta lingkungan, sebagaimana pepatah arab “Al-Insaanu ibnu biah” (manusia itu anak lingkungannya). Tugas ini tidak bisa di pungkiri dan dielak begitu saja dengan membebankan segala proses pendidikan kepada sekolah. Oleh karena keluarga merupakan Institusi yang paling dasar dalam suatu masyarakat dan paling dekat dengan individu-individu, maka tanggung jawab keluarga tidaklah kecil.
Dengan demikian apabila seluruh keluarga telah sadar akan tugas mulia itu, maka kita tidak terlalu cemas dengan pertanda “Kematian Sekolah” seperti yang ditengarai oleh Neill Postman. Juga boleh menganggap “sepi ancaman gurita kapitalisme licik yang mengangkangi sekolah” sebagaimana kecemasan Paulo Freire. Bahkan juga dapat membiarkan peringatan Roem Topatimasang tentang fungsi sekolah yang telah berubah menjadi candu. Sebab, apabila seluruh keluarga sadar akan tugas utamanya maka sesungguhnya sebuah “Masyarakat tanpa sekolah” ( Deschooling Society ) yang pernah diangankan oleh Ivan Illich tanpa terasa telah dibumikan secara nyata.

Minggu, 17 Januari 2010

Makna Maulid Nabi

“Makna Maulid Nabi; Meneladani Muhamad Sebagai Pendidik”

Masih Sebatas Seremonial
Kelahiran seorang manusia sebetulnya merupakan perkara yang biasa saja. Bagaimana tidak? Setiap hari, setiap jam, bahkan setiap menit dunia ini tidak henti-hentinya menyambut bayi-bayi manusia yang baru lahir. Karena perkara yang biasa-biasa saja, tidak terasa bahwa dunia ini telah dihuni lebih dari 6 miliar jiwa.
Karena itulah barangkali, Nabi kita, Rasulullah Muhammad saw., tidak menjadikan hari kelahirannya sebagai hari yang istimewa. Demikian juga keluarga maupun para sahabat beliau. Wajar jika dalam Sirah Nabi saw dan dalam sejarah otentik para sahabat beliau, sangat sulit ditemukan tentang adanya fragmen Peringatan Maulid Nabi Muhammad saw., baik yang dilakukan oleh Nabi saw. sendiri maupun oleh para sahabat beliau. Sebab, sebagaimana manusia lainnya, secara fisik atau lahiriah, memang tidak ada yang istimewa pada diri Muhammad sebagai manusia, selain beliau adalah seorang Arab dari keturunan yang dimuliakan di tengah-tengah kaumnya
Fenomena di Indonesia menunjukkan antusiasme masyarakat dalam memperingati maulid Nabi Muhammad SAW sangat luar biasa, di satu sisi memang perlu diapresiasi paling tidak mereka ingat akan Nabi yang menurut mereka membawa pesan Allah dalam rangka memerdekakan manusia. Namun, di sisi lain atusiasme tersebut harus tetap dicermati mengingat kesemarakan di balik antusiasme memperingati kelahiran manusia yang mereka anggap pembawa risalah ketuhanan itu sudah terduksi sedemikian sehingga melupakan aspek mendasar dari kelahiran Nabi Muhammad SAW tersebut.Akibat tereduksinya nilai-nilai mendasar dari makna maulid tersebut tidak sedikit kemudian dijumpai praktik-praktik yang menyimpang dan bisa dikatakan berlawanan dengan peringatan kelahiran Nabi terakhir itu.
Untuk itu, ketika umat Islam ketika memperingati maulid Nabi layak mencermati apakah dari peringatan akan menjadi sebagai momentum untuk merefleksikan diri setiap individu umat Islam atau umat Muhammad sejauh mana mereka telah menjalankan ajaran yang dibawa beliau. Refleksi setiap individu itu sangat mendasar guna mengevaluasi sejauh mana setiap individu dari kita selaku umat Muhammad telah beramaliah sesuai dengan tuntunan syariah yang dibawa beliau ke dunia ini.
Namun, menurut Mahmudi Asyari jika setiap momentum hanya sebatas seremonial, jangankan peringatan maulid Nabi yang tidak ada kaitan secara langsung dengan ibadah, ibadah mahdah yang memerintahkan setiap pelakunya untuk mengimplementasikan kebaikan, tidak akan banyak mempengaruhi perilaku muslim. Dan, fenomena tersebut menemukan contoh kongkritnya di negeri kita yang meskipun penghuni mayoritasnya adalah muslim, korupsi justru sangat marak. Ini, sungguh ironi di mana semestinya melalui ajaran sholat yang dibawa Nabi Muhammad menghindari korupsi, karena hal itu merupakan perbuatan keji dan mungkar, malah masuk kelompok negara terkorup di dunia yang sudah barang tentu muslim lah sebagai grup yang memimpin korupsi. Fenomena tersebut juga menunjukkan bahwa ibadah yang mereka lakukan baru sebatas seremonial tanpa pemaknaan. Begitu juga dengan peringatan hari-hari besar Islam seperti Maulid Nabi yang semestinya dijadikan sebagai momentum peningkatan pemaknaan ibadah dalam rangka menebar kebaikan dan keadilan, akan tereduksi ke dalam bentuk acara kolosal dan pesta yang kesemuanya bermuara kepada satu hal, yaitu konsumerisme. Itu pun jauh lebih baik dibandingkan praktik yang menjurus kepada aspek mistik dan syirk.
Kelahiran Nabi saw : Kelahiran Masyarakat Baru
Sebagaimana diketahui, masa sebelum Islam adalah masa kegelapan, dan masyarakat sebelum Islam adalah masyarakat Jahiliah. Akan tetapi, sejak kelahiran (maulid) Muhammad saw. di tengah-tengah mereka, yang kemudian diangkat oleh Allah sebagai nabi dan rasul pembawa risalah Islam ke tengah-tengah mereka, dalam waktu hanya 23 tahun, masa kegelapan mereka berakhir digantikan dengan masa ‘cahaya'; masyarakat Jahiliah terkubur digantikan dengan lahirnya masyarakat baru, yakni masyarakat Islam.
Sejak itu, Nabi Muhammad saw. adalah pemimpin di segala bidang. Ia memimpin umat di masjid, di pemerintahan, bahkan di medan pertempuran. Ia tampak seperti seorang dokter jiwa yang mengubah jiwa manusia yang biadab menjadi jiwa yang memancarkan peradaban
Ia juga seorang politikus yang berhasil mempersatukan suku-suku Arab hanya dalam waktu kurang dari seperempat abad. Ia juga pemimpin ruhani yang melalui aktivitas ibadahnya telah mengantarkan jiwa para pengikutnya ke alam kelezatan samawiah dan keindahan suasana ilahiah.
Karena itu, kita bisa menyimpulkan bahwa makna terpenting dari kelahiran Nabi Muhammad saw. adalah keberadaannya yang telah mampu membidani kelahiran masyarakat baru, yakni masyarakat Islam; sebuah masyarakat dengan tatanan kehidupannya diatur seluruhnya oleh aturan-aturan Islam yang di bawa oleh Nabi Muhamad.
Meneladani Rosululloh sebagai Pendidik

Sesungguhnya Rasulullah SAW adalah seorang pendidik yang mampu membentuk manusia hingga menjadi manusia yang diridhai Allah SWT. Kebersamaan beliau selama ini dengan kita sesungguhnya adalah pendidikan yang beliau berikan kepada kita.

Menurut Tadjuddin Noor Lc Mencari ilmu, memahami ilmu, dan mengamalkan ilmu adalah ciri seorang guru yang berkualifikasi sebagai mu’alim. Guru yang seperti ini sangat haus akan ilmu dan berusaha mencarinya. Setelah menguasai ilmu, guru ini menebarkan ilmu itu ke lingkungan sekitarnya. Dengan tuntunan wahyu Allah SWT, Rasulullah SAW menebarkan ilmu kepada lingkungan sekitarnya hingga ke seluruh dunia melalui lisan para pengikutnya. Sang guru mengikat mereka dengan pengawasan dan pendekatan yang ketat sehingga amal murid-muridnya berdasarkan ilmu dan ilmu yang diperoleh murid-muridnya dapat diamalkan.


Di sinilah guru membentuk karakter yang islami murid-muridnya. Diperkenalkan kepada muridnya adab-adab atau perilaku yang islami sehingga tampaklah keindahan ajaran Islam dalam diri murid-muridnya. Ia memberi peringatan dan mewanti-wanti agar murid-muridnya tidak terjerumus ke jurang kehinaan, kesengsaraan, dan kekalahan. Ia juga mempersatukan mereka dengan satu tatanan sosial masyarakat atau kelompok sebagai kontrol terhadap perilaku yang dilakukan masing-masing muridnya. Di sini guru sedang membentuk manusia beradab hingga peradaban Islami yang dicita-citakan terwujud, sebuah masyarakat yang di idam-idamkan semua orang yaitu masyarakat madani.

Mendidik dengan Kasih Sayang

Mendidik anak adalah menumbuhkembangkan kepribadian sang anak dengan memberikan kehormatan kepadanya, sehingga Nabi SAW sangat menghormati anak-cucunya. Bila memang sejak kecil ia sudah memiliki perasaan, maka jangan sampai ada perlakuan yang menjadikannya merasa terhina.
Ada sebuah riwayat, seorang anak lelaki digendong oleh Nabi dan anak itu pipis, lantas ibunya langsung merebut anaknya itu dengan kasar. Nabi kemudian bersabda, "Hai, bajuku ini bisa dibersihkan oleh air, tetapi hati seorang anak siapa yang bisa membersihkan". Riwayat lain menyebutkan bahwa Nabi berkata, "Jangan, biarkan ia kencing hingga ia selesai". Dari hal ini, muncul ketentuan, bila anak laki-laki kencing cukup dibasuh, sedangkan bila anak perempuan dicuci dengan sabun. Riwayat tadi memberi pelajaran bahwa sikap kasar terhadap seorang anak dapat mempengaruhi jiwanya sampai kelak ia dewasa.


Namun sisi lain, ada satu hal di mana Nabi SAW sangat hati-hati dalam persoalan anak. Ketika Nabi SAW sedang berada di masjid, ada orang yang mengirim beliau kurma, kemudian cucunya (Hasan) datang dan naluri anak-anak,Hasan mengambil sebuah kurma lalu langsung memakannya. Nabi bertanya kepada Fatimah ibunya, "Cucuku tadi mengambil kurma dari mana?" Sampai akhirnya, dipanggilnya Hasan dengan penuh kasih sayang dan diambil kembali kurma dari mulutnya. Ini maknanya apa? Nabi tidak mau anak cucunya itu memakan sesuatu yang haram, walaupun ia masih kecil dan tidak ada dosa baginya, karena itu akan memberikan pengaruh kepadanya kelak ia besar.
Sebuah Renungan
Dari paparan di atas, jelas bahwa Peringatan Maulid Nabi saw. sejatinya dijadikan momentum bagi kaum Muslim untuk terus berusaha melahirkan kembali masyarakat baru, yakni masyarakat Islam, sebagaimana yang pernah dibidani kelahirannya oleh Rasulullah saw. di Madinah. Sebab, siapapun tahu, masyarakat sekarang ini masih jauh dari tuntunan dari nlai-nilai islami.
Rasulullah tidak hanya menyeru manusia agar beribadah secara ritual kepada Allah dan berakhlak baik, tetapi juga menyeru mereka seluruhnya agar menerapkan semua aturan-aturan Allah dalam seluruh aspek kehidupan mereka. Sejak awal, bahkan para pemuka bangsa Arab saat itu menyadari, bahwa secara politik dakwah Rasulullah saw. akan mengancam kedudukan dan kekuasaan mereka. Itulah yang menjadi alasan orang-orang seperti Abu Jahal, Abu Lahab dan para pemuka bangsa Arab lainnya sangat keras menentang dakwah Rasulullah saw.

Senin, 14 Desember 2009

renungan akhir tahun

“Pendidikan untuk masa depan”
(Renungan Akhir Tahun)

Oleh Abdul Qohin

Belajar Dari Jepang
Menurut Prof. Dr. Winarno Surakhmad, M.Sc Di dalam dunia pendidikan, sambil berpijak pada masa kini, kita mempersoalkan masa depan. Masa depan ditanggapi sebagai serangkaian persoalan kelangsungan hidup dengan sifat serba terbuka, serba masalah, serba tantangan. Dengan sifat-sifat itu, Yang diperlukan oleh bangsa yang berpikir, sebagai prakondisi untuk mengembangkan diri sendiri adalah menemukan diri sendiri dan memberi arti kepada kehidupan itu sendiri.
Marilah kita sejenak merenungkan dan belajar dari jepang tentang pendidikannya. Tahun 1945, ketika Nagasaki dan Hirosima dilululantahkan oleh sekutu, 200.000 penduduknya tewas dan hanya ada tanah dan air yang tersisa. Kemegahan bangunan pupus sudah. Menariknya pemimpin mereka saat itu, Kaisar Hirohito tidak menanyakan berapa jumlah tentara yang tersisa untuk melawan musuh, tetapi justru mendata berapa jumlah guru yang masih hidup. Kenapa mesti Guru yang dipertanyakan. Hirohito sadar benar bahwa membangun bangsa berawal dari Guru sebagai pendidik. Guru merupakan penopang utama sumberdaya manusia.

Dalam masa yang relatif singkat Jepang berhasil membangun negara mereka menjadi negara yang kuat dalam bidang ekonomi dan pendidikan. Bahkan merupakan negara ekonomi terkuat yang menjadi ancaman bagi AS sendiri. Coba kita bandingkan dengan Indonesia yang mulai membangun diri pada waktu yang sama dengan Jepang (kita merdeka 1945 dan Jepang di bom atom 1945). Jepang telah berlari jauh di depan, kita malah masih tertatih-tatih bahkan jalan di tempat dan kadang kala juga mundur ke balakang.
Contoh nyata dari kemajuan pendidikan di Jepang adalah berubahnya pengertian buta huruf dikalangan rakyat Jepang. Buta huruf yang sudah tidak ada lagi di Jepang mempunyai pengertian “tidak bisa menggunakan komputer”. Betapa jauhnya pengertian ini dengan pengertian aslinya di kalangan bangsa berkembang (dunia ketiga), yang berarti tidak bisa tulis dan baca.

Pendidikan Humanistik
Sekolah selama ini banyak dijadikan sebagai sebuah pabrik, di mana lulusan-lulusannya siap menjadi tenaga kerja siap pakai. Maka sebagian fungsi sekolah yang ada di Indonesia tidak lebih hanya sebagai cara untuk mencari bekal untuk kerja. Tidak mengherankan ketika siswa tidak menjadi semakin cerdas, tapi menjadi semakin beringas dan brutal.
Tawuran pelajar terjadi dimana-mana dan banyak sekali penyalahgunaan NARKOBA yang dilakukan oleh pelajar. Hal itu merupakan bukti ketidakberhasilan sekolah untuk membentuk siswa menjadi manusia pembelajar. Pembelajar adalah individu-individu yang dapat memilah dan memilih mana yang baik dan yang buruk.
Beberapa contoh di atas merupakan pertanda bahwa pendidikan hanya dijadikan ajang penindasan bagi siswa. Erat kaitannya dengan hal tersebut, Freire yang adalah seorang tokoh pendidikan menggagas adanya concientizacao ( kesadaran untuk melakukan ). Concientizacao adalah kesadaran untuk melakukan pembelaan kemanusiaan. Dapat memberantas buta huruf di kalangan orang dewasa misalnya, dimaknai sebagai usaha membebaskan manusia dari belenggu kebodohan.
Sebagian pakar pendidikan beranggapan bahwa Pendidikian yang sesuai dengan tujuan ini adalah pendidikan humanistik yaitu pendidikan yang bertujuan memanusiakan manusia. Manusia didudukkan kembali dalam peranannya dimuka bumi sebagai khalifah dan sebagai hamba. Ada dua sisi manusia yang menjadi kekuatan dasar disini yaitu manusia yang ingin memahami segalanya dan manusia yang menyadari bahwa dia tidak mungkin memahami segalanya.
Ada beberapa nilai dan sikap dasar manusia yang ingin diwujudkan melalui pendidikan humanistik yaitu: Manusia yang menghargai dirinya sendiri sebagai manusia, Manusia yang menghargai manusia lain seperti halnya dia menghargai dirinya sendiri., Manusia memahami dan melaksanakan kewajiban dan hak-haknya sebagai manusia, Manusia memanfaatkan seluruh potensi dirinya sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya., Manusia menyadari adanya Kekuatan Akhir yang mengatur seluruh hidup manusia. .
Apakah dalam pendidikan humanistik setiap manusia diperlakukan sama? Pendidikan yang manusiawi justru harus menghargai perbedaan individual. Kenyataan keunikan manusia harus diakui.
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pendidikan jika ingin pendidikan lebih manusiawi,diantara hal-hal tersebut adalah penerimaan setiap anak apa adanya, lengkap dengan kekurangan dan kelebihannya, Memberikan anak pengalaman sukses sehingga tumbuh percaya diri,, tidak memaksakan kehendak, karena tanpa dipaksa setiap individu akan bergerak untuk memnuhi kebutuhannya, Ukuran keberhasilan tiap anak berbeda-beda. Yang harus dilakukan adalah membantu anak sesuai dengan kemampuannya, memberikan anak toleransi, dorongan semangat, penghargaan serta rasa persahabatan.,selain itu juga memberi anak kebebasan yang disertai rasa hormat dan tanggung jawab
Pendidikan harus Mencerahkan

Pada prinsipnya manusia adalah makhluk yang disamping harus dan dapat dididik juga harus dan dapat mendidik. Dalam hai ini diharapkan proses dididik dan mendidik dapat berkelanjutan atau terus-menerus. Sadar ataupun tidak sadar pendidikan adalah alat pengontrol emosi terutama tentang cara seseorang menyikapi berbagai permasalahan hidup dengan mencari jalan terbaik. Mengapa bisa demikian? Karena dalam pendidikan ada suatu pencerahan hati. Dalam pendidikan tersirat makna tentang hakekat diciptaknnya manusia dalam bumi ini. Hakekat kita hidup di dunia ini adalah mencari sebuah kebenaran suatu hal dan merenungkan tentang apa yang telah kita perbuat serta berusaha melakukan hal-hal yang berguna dalam hidup.

Pendidikan membebaskan peserta didik dari sekat primordial dan menumbuhkan sikap kebersamaan dalam kebhinekaan. Keadaan semacam ini mendorong tercapainya pengembangan peserta didik agar tahu bagaimana menghargai perbedaan dan peka terhadap nilai-nilai kemanusiaan universal. Lebih jauh, peserta didik akan terinspirasi untuk menghormati martabat tanpa syarat sebagai sesuatu yang melekat (inheren) dan tak bisa diganggu gugat (inviolable). Bila nilai pendidikan semacam ini tak bisa dicapai, maka yang muncul dari keniscayaan pluralitas masyarakat justru akan menimbulkan sikap-sikap amoral, intolerant, anarkisme, dan anti kemanusiaan.

Sikap-sikap di atas tidak dapat ditangkal dengan cara instan ketika keadaan pendidikan masih menghadapi pemiskinan berpikir dan pembodohan berperilaku. Banyak aspek yang harus digarap, namun mulailah dari lingkungan terkecil yakni keluarga. Kemudian pendidikan formal disekolah-sekolah melengkapinya dengan materi-materi ilmu pengetahuan yang memberi manfaat nyata bagi kehidupan bermasyarakat (contextual). Materi Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) membekali kesadaran akan pluralitas sosial kemasyarakatan, memaknai peran kepahlawanan dalam mencapai kemerdekaan dan memahami hakikat negara kepulauan terbesar di dunia sebagai negaranya. Demikian pula halnya Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) membekali kesadaran akan pentingnya kedudukan manusia terhadap alam dan lingkungannya sehingga tumbuh sikap memeliharanya. Dan tidak kalah penting Pendidikan Agama mampu membekali kesadaran kolektif yang positif berdasarkan nilai kasih sayang (Ar-Rahman; Ar-Rahim) dan penghargaan terhadap kemanusiaan dan kehidupan. Semua ini didukung oleh contoh-contoh perilaku baik oleh para pemimpin, tokoh masyarakat dan guru-guru kita. Guru hadir sebagai agen perubahan dan rekonsiliasi yang kreatif mempraktekkan hidup damai dalam kebhinekaan di masyarakat. Guru tidak saja menjadi pengajar (teacher) namun juga berperan sebagai pembelajar (learner). Ia tidak hanya pandai dalam ilmu pengetahuan (smart teacher) dan sukses membangun perilaku (success learner) namun juga harus mencerahkan jiwa (delight learner). Pendidikan semacam inilah kiranya yang akan mampu membebaskan dari pemiskinan berpikir dan pembodohan perilaku, atau disebut pendidikan yang mencerahkan. Pendidikan yang mencerahkan akan memanusiakan manusia yang artinya adalah kita yang akan memiliki kepribadian yang lebih toleran dan tidak berpikiran sempit.

Minggu, 04 Oktober 2009

guru masa depan

“Menjadi Guru Masa Depan”
Ust Abdul Qohin

Kekuatan Mimpi
Tuntutan perubahan mindset manusia di era kesejagadan menuntut suatu perubahan yang sangat besar dalam pendidikan nasional. Sebagaimana kita ketahui bahwa pendidikan kita adalah warisan dari sistem pendidikan lama yang isinya menghafal fakta tanpa makna. Merubah sistem pendidikan indonesia bukanlah pekerjaan yang mudah. Sistem pendidikan Indonesai merupakan salah satu sistem pendidikan terbesar didunia yang meliputi sekitar 30 juta peserta didik, 200 ribu lembaga pendidikan, dan 4 juta tenaga pendidik, tersebar dalam area yang hampir seluas benua Eropa. Namun perubahan ini merupakan sebuah keharusan jika kita tidak ingin terlindas oleh perubahan jaman global. Dan perubahan itu harus di mulai dari sebuah mimpi. Mimpi untuk menjadi bangsa yang bermartabat di mata bangsa lain.
Mimpi memiliki kekuatan yang sama pentingnya dengan action plan. Dasar yang menggerakkan kita untuk melakukan sesuatu adalah mimpi. Jika kita tidak punya mimpi, kita tidak bisa bergerak. Karena kita tidak tahu dari mana memulainya. Mulailah dari bermimpi. Sama seperti mahasiswa yang mengalami masalah psikologis ketika tidur tanpa mimpi, demikian kita punya masalah jika hidup tanpa mimpi. Sebelum kita berbicara lebih jauh mengenai sukses, mari bicarakan dulu mimpi kita. Mimpi seorang guru menjadi guru masa depan..
Dalam sebuah kolom Inspirasi pendidikan. Pertama saya terkejut ketika di tulis tentang kekuatan mimpi. Dalam artikel tersebut di tulis ”Jangan pernah meremehkan mimpi”. Ini sesungguhnya menunjukkan kepada kita tentang Kemampuan bermimpi seseorang yang akan menunjukkan seberapa besar keinginan seseorang untuk membuat masa depan lebih baik dari kemarin. Mimpi merupakan energi yang dahsyat untuk sanggup menghantarkan seseorang menuju apapun yang diinginkan. Sungguh mengenaskan jika guru merasa ragu atau takut untuk bermimpi. Semua itu merupakan cermin kepercayaan diri.

Guru harus berani bermimpi tentang peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia dan mewujudkan impian itu menjadi kenyataan. Mimpi mempunyai kekuatan dahsyat yang bisa membuat hal remah menjadi hebat. Mimpi bisa mengubah nol menjadi matahari. Mimpi mampu memberikan seorang motivasi untuk berencana, bertindak, dan mengatur strategi. Dengan memiliki mimpi guru akan melakukan langkah pertama menuju sukses. Guru tanpa mimpi bagaikan burung tanpa sayap, jelas tidak dapat terbang bebas, kepakkan sayap di angkasa luas. Tanpa mimpi tidak akan ada perubahan. Mimpi akan membawa guru membuka jendela masa depan.

Masa depan anak-anak negeri hanya milik sang guru pemimpi yang percaya akan adanya keindahan mimpi-mimpinya. Impian adalah ambisi dalam diri seseorang yang menjadi pengarah untuk maju. Impian yang besar akan mempunyai kekuatan yang besar pula. Mimpi dapat menjadi penjamin keberhasilan karena senantiasa menjadi motivasi menggapai tujuan. Motivasi akan menggerakkan tubuh dan mengatur strategi ampuh yang dapat ditempuh.

Menjadi Guru Pembaharu

Menjadi guru di era IT(informasi dan tehnologi) tidak semudah membalik telapak tangan. Untuk mengerakkan perubahan dibutuhkan guru bermental pembaharu. Bicara tentang perubahan adalah bicara tentang mental. Mental yang berani untuk bermimpi tentang meningkatnya kualitas pendidikan anak negeri, mental yang berani bekerja keras, dan mental yang selalu ingin belajar tanpa batas.
Joni Aryadinata pernah berkata tidak ada tempat bagi orang yang bermental separo. Betapa kegigihan, ketabahan, dan kesabaran tidak boleh sedikit pun lepas dari benak seorang guru. Tidak ada yang bisa mengubah dunia, yang ada adalah mengubah diri sendiri. Mengubah diri sendiri mungkin hanya akan membawa perubahan kecil. Tapi percayalah bahwa yang besar itu berasal dari yang kecil.

Guru pembaharu harus menguasai banyak pengetahuan (akademik, pedagogik, sosial dan budaya), mampu berpikir kritis, tanggap terhadap setiap perubahan, dan mampu menyelesaikan masalah. Guru tidak boleh hanya datang ke sekolah melulu untuk mengajar saja. Kemampuan untuk mengelola kelas saja tidak cukup lagi. Guru diharapkan bisa menjadi pemimpin dan agen perubahan, yang mampu mempersiapkan anak didik untuk siap menghadapi tantangan global di luar sekolah. Selain orang tua peran guru dalam mengarahkan masa depan anak didiknya sangat signifikan. Bisa dibayangkan apa jadinya kalau guru tidak siap menghadapi semua tantangan dinamika pendidikan era kesejagadan, yang nota-bene masih terus akan berubah tahun demi tahun.

Kriteria Guru Masa depan

Finlandia menjadi Negara terbaik dunia dalam pendidikan. Berdasarkan hasil survei internasional yang komprehensif pada tahun 2003 oleh Organization for Economic Cooperation and Development (OECD). Penelitian mengukur bidang sains, membaca, dan matematika. Finlandia tidaklah menggenjot siswanya dengan menambah jam-jam belajar, memberi beban PR tambahan, menerapkan disiplin tentara, atau membombardir siswa dengan berbagai tes. Sebaliknya, siswa di Finlandia mulai sekolah pada usia yang agak lambat dibandingkan dengan negara-negara lain, yaitu pada usia 7 tahun,dan jam sekolah mereka justru lebih sedikit, yaitu hanya 30 jam perminggu. Sedang Korea Selatan, menempati ranking kedua setelah Finlandia, yang siswanya menghabiskan 50 jam belajar perminggu di sekolah.

Lalu, apa kunci keberhasilan pendidikan? Ternyata kuncinya memang terletak pada kualitas gurunya. Guru-guru Finlandia boleh dikata adalah guru-guru dengan kualitas terbaik dengan pelatihan terbaik pula. Profesi guru sendiri adalah profesi yang sangat dihargai, meski gaji mereka tidaklah fantastis.


Bicara kualitas guru, kita semua akan di ingatkan oleh film laskar pelangi. Menurut saya dari film tersebut menginspirasi kita semua untuk senantiasa menjadi guru yang di damba siswa. Guru berkualitas dan ideal dalam pandangan Ikal dalam ‘Laskar Pelangi’nya Andrea Hirata adalah Ibu Mus yang memiliki kemampuan ‘super hero’. Ibu Mus dapat mengajar mereka dari kelas I sampai kelas VI SD yang kebetulan di sekolah tersebut hanya terdapat satu orang guru. Guru ideal barangkali juga guru yang tidak tega melihat peserta didiknya tidak lulus dalam menempuh ujian nasional dengan membocorkan soal atau memberikan kunci jawaban dengan suka rela.

Menurut Prof Herawati Susilo MSc PhD, pakar pendidikan Universitas Negeri Malang, Ada enam kriteria guru masa depan (ideal) untuk menghadapi tantangan masa depan yaitu: Belajar sepanjang hayat, literat sains dan teknologi, menguasai bahasa inggris dengan baik, terampil melaksanakan penelitian tindakan kelas, rajin menghasilkan karya tulis ilmiah, dan mampu membelajarkan peserta didik berdasarkan filosofi konstruktivisme dengan pendekatan kontekstual.

Berdasarkan penjelasan di atas, jelaslah bangsa indonesia membutuhkan guru-guru dengan kualitas suprer. Senada dengan pandangan di atas di pertegas pula oleh Dra Husnul khotimah M.Pd yang mengkriteriakan guru dalam beberapa Kriteria yaitu : Pertama, guru ideal adalah guru yang dapat membagi waktu dengan baik. Dapat membagi waktu antara tugas utama sebagai guru dan tugas dalam keluarga, serta dalam masyarakat dengan salah satu cara yaitu mengurangi waktu untuk istirahat lihatlah Imam Syafii, Soekarno, Buya Hamka, dan mungkin banyak orang ternama lainnya yang penulis belum sempat membaca biografinya. Mereka banyak memanfaatkan waktunya untuk kemaslahatan orang banyak.

Kedua, guru ideal adalah guru yang rajin membaca. Membaca tidak terikat waktu, ruang dan tempat. Tidak terikat waktu karena membaca dapat dilakukan kapan saja, bergantung keinginan dan waktu luang.Apakah guru memiliki budaya membaca.

Ketiga, Guru ideal adalah guru yang banyak menulis. Menulis juga tidak terikat ruang, waktu dan tempat. Pernahkah guru memanfaatkan waktu untuk menulis dalam jurnal mengajarnya di sela-sela kegiatan mengajar, sehingga yang dihadapi pada hari itu dapat menjadi sebuah rancangan penelitian atau bahkan sebuah artikel? Karena dengan menulis kita akan berada di mana-mana, karya tulis kita akan di baca oleh banyak orang dan dapat juga dimanfaatkan oleh orang lain sebagai sumber bacaan.
Keempat, Guru ideal adalah guru yang gemar melakukan penelitian. Cikal penelitian adalah adanya masalah. Seorang peneliti tidak akan percaya masalah dapat diselesaikan tanpa penelitian. Seorang guru akan selalu gelisah dengan prestasi dan proses belajar peserta didiknya sehingga guru akan terus memiliki budaya meneliti. Keempat kriteria sebagai tertulis di atas merupakan hal yang diperlukan bila seorang guru dapat dikategorikan sebagai guru ideal dan guru masa depan.

Sebuah Renungan

Sesungguhnya guru menduduki posisi sentral dalam dunia pendidikan maupun dalam kemasyarakatan. Guru harus menjadi aktor penggerak perubahan dan sekaligus menjadi aktor lokomotif pembaharu peradaban. Pendidikan harus mampu mengantisipasi perubahan yang akan terjadi di masa yang akan datang. Untuk itu, guru harus selalu meng-upgrade kemampuannya sesuai tuntutan zaman dengan asupan gizi seorang pendidik (pelatihan,workshop,seminar dll). Guru tidak lagi memberikan informasi dalam bentuk ceramah dan buku teks. Namun, guru akan berperan sebagai fasilitator, tutor dan sekaligus pembelajar. Materi yang akan disampaikan guru pun tidak lagi berbentuk informasi dalam bidang studi terlepas tetapi hubungan antar informasi. Untuk itu, guru membutuhkan multidisciplinary thinking dan kemampuan melihat dari beragam perspektif . Era global, menuntut guru mampu membawa siswa menjadi pribadi yang banyak bertanya, dapat meng-evolusi pola pikir, memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, mampu mengembangkan pembelajaran, mengembangkan bakat, dan memperkaya kepribadian. Dan jangan lupa guru harus ”menginspirasi” anak didiknya.

Guru selayaknya memimpikan hal-hal besar sebab impian menimbulkan hasrat yang kuat untuk meraihnya. Karena Mimpi adalah ambisi yang menggerakkan manusia untuk maju. Ia adalah hasrat yang mendorong manusia mewujudkannya. Dunia tumbuh dengan peradaban lebih tinggi dan tehnologi lebih hebat berkat impian orang-orang besar. Orang-orang besar itu adalah para pemimpi. Segala kemajuan saat ini adalah impian generasi pendahulu kita. Impian dapat menjadi motivasi yang membangkitkan ambisi dan optimisme sehingga seorang mampu melampaui semua rintangan dan kesulitan. Impian menciptakan energi untuk berprestasi. Impian menjadikan seseorang penuh vitalitas dalam bekerja mendidik anak-anak sekaligus sebagai Tauladan yang baik untuk membangun peradaban bangsa yang lebih maju.

Guru patut bermimpi tentang masa depan pendidikan yang cemerlang dan kualitas SDM anak-anak bangsa yang menjulang. Tanpa mimpi, banyak orang tidak maju, karirnya jalan di tempat, dan ia menjalani rutinitas yang membosankan. Pendidikan sangatlah penting bagi masa depan bangsa. Pendidikan adalah panglima pembangunan yang mampu mengerakkan potensi bangsa yang amat besar. Tak pernah ada kata final dalam membangun kualitas pendidikan. Selamat hari guru! Mudah-mudahan kita menjadi bagian dari guru masa depan

Jumat, 25 September 2009

peran pemuda

“Eksistensi dan Revitalisi Kiprah Pemuda”

"Pendidikan dan gerakan pemuda"

Perjalanan waktu selalu memberikan kesaksian dan merekam semua tentang sejarah perjalanan bangsa. Perjalanan waktu pula yang menceritakan kepada kita upaya-upaya perjuangan dan praktik kepahlawanan di sebuah negara. Sebagaimana yang pernah terjadi di negeri ini dalam beberapa tahun silam. Sejarah mencatat 28 Oktober 1928 menjadi saksi sejarah tentang sosok pemuda-pemuda visioner merumuskan tentang pentingnya persatuan untuk melawan penjajahan di tanah air. Mereka dengan gagah berani mengumandangkan ikrar persatuan di bawah bayang-bayang tekanan pemerintah penjajah saat itu. Sebuah momentum kebangsaan yang menjadi saksi sejarah betapa anak-anak muda bangsa pada saat itu memiliki cinta dan kerinduan yang mendalam akan kejayaan bumi pertiwi. Sejarah bangsa ini selalu diwarnai oleh pemuda sebagai komponen utama. Pemuda memiliki semangat tinggi untuk melakukan perubahan. Energi positif itu terpancar ketika mereka melihat suatu kejanggalan pada bumi pertiwi.
Pemuda adalah generasi yang paling menentukan. Dalam Al Qur’an Allah swt. selalu menegaskan pentingnya masa muda. Ashhabul kahfi digambarkan oleh Allah bahwa mereka adalah sekelompok anak muda. Allah berfirman: “Innahum fityatun aamanuu birabbihim wazidnaahum hudaa. Mereka adalah anak muda yang beriman kepada Tuhan mereka, dan Kami tambahkan hidayah untuk mereka.”Dari ayat ini nampak bahwa masalah kepemudaan oleh Allah sangat ditekankan. Ditekankan karena tidak saja masa muda adalah masa berbekal untuk hari tua, melainkan juga di masa muda itulah segala kekuatan dahsyat terlihat.
Dalam sejarahnya gerakan-gerakan pemuda adalah muncul dari kelompok pemuda yang terdidik. Selain itu pembangunan pendidikan bangsa di masa-masa perjuangan juga tidak terlepas dari peranan gerakan pemuda.Saat ini kita melihat permasalahan pendidikan di Indonesia masih sangat memprihatinkan.Berbicara masalah pendidikan dan pemuda. Maka pemuda saat ini yang rata-rata masih mempunyai idealisme yang tinggi maka hendaknya pemuda harus tetap berfikir kritis dalam melihat kondisi pendidikan di Indonesia. Pemikiran yang kritis dapat dilakukan dengan memberikan peringatan dan masukan pada pemerintah agar mampu memberkan layanan pendidikan yang sesuai dan bermutu. Namun, Sikap kritis saja tidaklah cukup. Dibutuhkan gerakan yang lebih konkret oleh pemuda untuk dapat memberikan solusi terhadap permasalahan pendidikan. Pemikiran yang konkret tersebut dapat berupa menggerakkan pemuda untuk bisa secara langsung memberikan layanan pendidikan gratis bagi anak-anak yang kurang beruntung. Layanan social ini sangat berarti bagi masyarakat dan lebih solutif. Peranan lain adalah dengan melakukan terobosan-terobosan baru dalam memberikan bentuk layanan pendidikan tersebut. Karena tentunya para pemuda pejuang pendidikan pasti akan mengahadapi banyak masalah dan keterbatasan. Oleh karena itu untuk bisa memberikan layanan pendidikan pada masyarakat yang kurang beruntung tersebut dibutuhkan terobosan dan kreatifitas sehingga banyak alternative pilihan dalam layanan pendidikan
Lahirnya sumpah pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928 yang kini kita kenang selalu, adalah bukti kongkrit pentingnya masa muda sebagai titik tolak idealisme menuju pembaharuan hidup yang lebih baik. Baik secara individu, sosial, politik dan negara. Karena itu, setiap kita berbicara perbaikan sebuah negara, mulailah pertama kali dari perbaikan genarasi mudanya. Jangan bermimpi memperbaiki negara, bila pemudanya hancur secara spiritual, hidup dalam gelimang dosa dan kebobrokan moral. Generasi muda hari ini adalah cerminan masa depan sebuah negara.
Revitalisasi Peran Pemuda
Kiprah pemuda telah terukir indah dalam tinta emas sejarah. Mereka merupakan tonggak dan potensi besar suatu kehidupan. Mereka di harapkan menjadi tumpuan bangsa selain diharapkan oleh umat, peranan mereka pun sangat didambakan oleh kelompok masarakat lainnya sebagai pionir perubahan ke arah yang lebih baik. Posisi mereka sangat strtegis dan menjadi peluang baginya untuk mengembangkan potensi sebesar-besarnya. Tidak heran jika perubahan sosial politik diberbagai belahan dunia dipelopori oleh gerakan pemuda. Kita bias lihat Sebagian sahabat yang menyertai Rasulullah SAW dalam memperjuangkan Islam, yang akhirnya berhasil menguasai lebih dari dua pertiga belahan bumi pada jaman dahulu adalah para pemuda yang menjadi murid Rasulullah SAW. Di mata umat dan masyarakat umumnya, mereka adalah agen perubahan (agent of change) jika masyarakat terkungkung oleh tirani kezaliman dan kebodohan. Mereka juga motor penggerak kemajuan ketika masyarakat melakukan proses pembangunan. Tongkat estafet peralihan suatu peradaban terletak di pundak mereka. Baik buruknya nasib umat kelak, bergantung pada kondisi pemuda sekarang ini. Lihat pula Imam Bukhari dan Iman Muslim mampu mengumpulkan hadits-hadits Nabi saw. dan menyeleksinya secara ketat sehingga menjadi karya monumental yang tidak saja menyelamatkan umat tetapi lebih dari itu menyelamatkan agama.
Jika mengkaji secara cermat sejarah para Nabi dan para pemimpin dunia masa lalu, maka hampir dipastikan kejayaan dan kemenangan mereka senantiasa terjadi dengan dukungan para pemuda. Dengan segala kemudaannya berada dalam puncak kekuatan manusia dalam berbagai aspek potensinya, yang pertama memiliki Potensi Spiritual, dimana ketika pemuda itu meyakini sesuatu, seorang pemuda akan memberi sesuatu apapun yang dia miliki dan dia sanggupi secara ikhlas tanpa mengharapkan pamrih apa pun.

Kedua, memiliki Potensi Intelektual yang memang posisinya berada dalam puncak kekuatan intelektualnya. Daya analisis yang kuat didukung dengan spesialisasi keilmuan yang dipelajari menjadikan kekritisan mereka berbasis Intelektual karena didukung pisau analisis yang tajam. Ketiga, memiliki Potensi Emosional dengan keberanian dan semangat yang senantiasa bertalu-talu dalam dada berjumpa dengan jiwa muda sang pemuda . Kemauan yang keras dan senantiasa menggelora dalam dirinya mampu menular kedalam jiwa bangsanya, yang memang bahwa nadi dari sebuah negeri adalah berada pada pemudanya. Keempat, memiliki Potensi Fisikal yang secara fisik pun mereka berada dalam puncak kekuatan dan diantara dua kelemahan yaitu kelemahan ketika bayi dan kelemahan ketika tua atau pikun. Dan pemuda berlepas diri dari dua kelemahan tersebut.

Keempat potensi tersebut merupakan potensi yang layak untuk direvitalisasi kondisinya. Potensi-potensi tersebut semakin langka untuk dijumpai dan semakin kecil saja ruang-ruang dalam pengokohannya. Karena suatu keniscayaan bahwa optimalisasi keempat potensi tersebut didalam diri setiap pemuda akan membawa reformasi nyata untuk negerinya. Dan perpaduan diantaranya sedang berada dalam puncak kekuatannya menjadikan para pemuda dan gerakan yang dibangunnya senantiasa diperhitungkan dalam keputusan-keputusan besar sebuah bangsa.

Sudah merupakan suatu keniscayaan akan peran-peran dan kebermanfaatan pemuda terus direvitalisasi dan kembali disadari setiap saat. Bosan, jenuh dan malas merupakan penyakit paling berbahaya bagi seorang pemuda. Penyakit itu akan berefek besar bagi keberlangsungan akademik dan cita-citanya. Tidak sedikit para pemuda yang tidak bisa menjawab dengan tegas ketika ada pertanyaan yaitu Mau jadi buruh atau pemimpinkah? Mereka membisu tidak ada kalimat yang yakin untuk dijadikan jawaban. Karena ada sesuatu yang hilang dari peran dan fungsi para pewaris negeri ini secara mayoritas, yaitu peran Intelektual Akademisi yang contentnya memiliki cita-cita jelas yang didasari oleh keyakinan mereka untuk bersungguh-sungguh dan serakah untuk menguasai keilmuannya.

Berikutnya peran penting selain peran intelektual adalah ia juga menjadi gelar kehormatan tersendiri bagi pemuda yaitu sebagai agent of change (agen perubah), bahkan dipercaya sebagai director of change (pengatur perubahan). Karena setiap perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat mereka sering menjadi pemicu dan pemacu serta inisiator strategis dalam bentuk teoritis maupun praktis.

Fungsi dan peran reformis berikutnya adalah sebagai iron stock (cadangan masa depan) yang dimana pemuda merupakan calon-calon pemimpin masa depan. Mereka adalah kuncup yang perlu dipelihara supaya tumbuh berkualitas dan berkembang menjadi bunga-bunga bangsa.

Sebuah Renungan : “Bangkit, Melawan Malas”
Barangkali, kita bisa renungkan satu survei yang baru-baru ini dilakukan oleh harian Media Indonesia bisa menjawab pertanyaan tersebut. Dari sekitar 480 responden pemuda yang tersebar di enam kota besar, Jakarta, Medan, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, dan Makasar, menyebut bahwa orang Indonesia cenderung malas bekerja. Jumlah yang meyakini orang Indonesia sebagai golongan pemalas mencapai 58,3 persen. Sedangkan yang menyebut orang Indonesia rajin hanya 33,8 persen, dan sisanya mengaku tidak tahu. Jika benar hitungan ini, sungguh merupakan hal yang sangat merugikan kita sebagai bangsa yang besar, subur, dan kaya raya ini.


Sikap malas merupakan salah satu bentuk kemiskinan mental yang akan membuat kita terpuruk dalam jurang ketakberdayaan. Sebaliknya, sikap rajin akan mempercepat langkah untuk segera bangkit dari keterpurukan. Dan ini dibuktikan oleh beberapa negara yang sudah bangkit dari krisis seperti Korea Selatan. Di negeri ginseng itu budaya kerjanya sudah sangat cepat, teratur, disiplin, dan jauh dari kesan pemalas.

Memang, meski hasil survei tersebut tak bisa dikatakan mewakili hal sesungguhnya, tapi setidaknya angka-angka itu menjadi cerminan diri kita sebagai bangsa. Dan, seharusnya pula hal itu bisa kita jadikan sarana evaluasi bersama. Sudahkah kita, sebagai pribadi, punya sikap kaya mental? Sudahkah kita sebagai pemuda harapan bangsa, tak lagi memiliki sikap suka menunda-nunda? Sebab, hanya dengan memulai dari diri sendirilah kita akan mampu bangkit.

Selasa, 08 September 2009

kembali fitri

“Memaknai Kembali Fitri : Spirit baru membangun Pendidikan”
Oleh Abdul Qohin*

Budaya shopaholic
Taqabalallahu Minna Wa Minkum.Maaf.Satu kata sederhana yang mudah diucapkan.. Tapi seringkali hanya diucapkan oleh lisan tanpa dibarengi dengan hati yang tulus meminta. Mudah-mudahan kita termasuk orang-orang yang tidak hanya mengucap maaf oleh lisan dan semoga di hari yang Fitri ini kita bisa kembali pada Fitrah.
Sampai detik dan hari ini kita sudah menapaki Idul Fitri berkali-kali. Namun kita bisa bayangkan secara individu maupun sebagai bangsa, kualitas kita masih jauh dari harapan. Perilaku individu dan sebagian besar pemimpin kita masih jauh dari harapan. Detik demi detik selalu terdengar di telinga kita tentang merebaknya kemiskinan, kebodohan, kriminalitas, dan korupsi. Saat itu juga kita bisa melihat betapa banyak kaum Muslim di Indonesia yang tiba-tiba seperti terjangkit penyakit gila belanja (shopaholic). Tradisi menghambur-hamburkan uang untuk membeli hal-hal yang serba baru seakan-akan menjadi hal yang lumrah. Entah itu membeli pakaian baru, celana baru, sepatu baru, handphone baru, perabotan rumah yang baru, membuat penganan yang lezat-lezat, bahkan sampai mainan anak-anak yang baru dan sebagainya.
Penyakit gila belanja (shopaholic), pada akhirnya, hanya akan mereduksi makna substantif Iedul Fitri. Padahal, kita mestinya menjadikan Iedul Fitri, setelah melalui puasa Ramadhan selama 1 bulan penuh, sebagai awal menuju transformasi dan perubahan diri, baik yang menyangkut sikap maupun perilaku, ke arah yang lebih baik. Iedul Fitri adalah saat dimana manusia kembali kepada fitrahnya. Fitrah di sini biasanya di artikan sebagai kesucian dari dosa. Pada hari itu, manusia kembali seperti saat dilahirkan, bersih tanpa dosa, ibarat selembar kertas: putih tanpa noda.
Lebaran yang telah berlalu menyisakan sebuah momentum menawan bagi seluruh Muslim di dunia, tak terkecuali umat Muslim Indonesia. Kurang lebih 80 persen penduduk Indonesia beragama Islam. Suasana hiruk-pikuk Idul Fitri seakan merasuk secara mendalam ke seluruh pelosok negeri. Jutaan manusia berbondong-bondong melakukan mudik. Dari rakyat kecil hingga pejabat tak mau ketinggalan untuk bisa berlebaran di kampung halaman masing-masing.
Akan tetapi di balik itu semua seakan kita lupa tentang makna Idul Fitri itu sendiri. Kita merayakan seolah hanya merupakan seremoni dari perayaan tersebut yang sering menghiasi layar media. Padahal Idul Fitri mempunyai makna yang lebih mendalam. Secara individual, seseorang yang benar-benar khusyuk dan ikhlas menjalani puasa maka dia akan kembali suci. Dengan modal itu, tentunya kita akan menapaki bulan-bulan berikutnya dengan kualitas yang lebih baik. Keberhasilan Ramadhan akan ditentukan oleh perilaku kita pasca-Ramadhan ini.
Orang YangKembali
Setelah Sebulan penuh kita berpuasa, memperbanyak zikir dan sedekah, serta tadabbur dan tafakkur pada malam hari. Kini, kita mengakhiri di puncak pencapaian Idul Fitri, yaitu kembali pada sifat dasar kesucian manusia.
Maka, lengkaplah puasa sebagai proses pendidikan dan latihan olah jiwa massal untuk membangun peradaban, mencintai kemanusiaan, dan mewujudkan kebenaran, kebaikan, dan keindahan dalam kesatuan kehidupan.
Sudah ratusan, bahkan ribuan tahun umat Islam menjalankan ibadah puasa, tetapi mengapa, dalam kenyataan, perilaku antiperadaban justru kian meluas, seperti terjadinya konflik kekerasan dalam menghadapi perbedaan pemikiran dan keyakinan, makin merajalelanya korupsi yang jelas merugikan kehidupan rakyat, serta pemujaan atas kekuasaan yang mendegradasikan etika sosial- keagamaan.
Sudah saatnyalah kita kembali kepada fitroh kita sebagai pondasi untuk membangun peradaban yang lebih mengedepankan etika social keagamaan. Dengan demikian berarti kita telah kembali kepada fitroh kita. Ada beberapa ciri orang yang kembali kepada fitrah-Nya. Diantara cirri orang yang kembali adalah : ia Memiliki kecerdasan emosi misal : jiwa pemaaf, dermawan, membalas keburukan orang lain dengan kebaikan, rajin intropeksi dan selalu memperbaiki diri, ia juga Merasakan kerinduan kepada Allah, hatinya terbuka dengan nasihat, memiliki jiwa tawakal, rajin mendirikan shalat dan memiliki kepekaan sosial, Merasa mudah dalam beramal soleh, Memiliki kebutuhan untuk bergabung dalam lingkungan yang sholeh,Rajin berdoa,Memiliki kesholehan vertical dan Memiliki keshalehan sosial
Memaknai Idul Fitri
Setelah sebulan penuh kita melaksanakan ibadah puasa dengan semangat iman dan mengharap balasan Allah (ihtisaaban) semata. Maka, memasuki hari raya Idul Fitri ini, berarti kita kembali kepada fitrah (kesucian). Jiwa kita telah fitri (suci) tanpa dosa. Bagaimana setelah Ramadhan? Romadhan memang telah selesai tetapi tidak berarti secara kuantitas kita harus sama persis seperti ketika bulan Ramadhan dalam beribadah kepada Allah. Tapi, yang dituntut dari kita adalah mempertahankan keistiqomahan dalam menapaki jalan Allah yang lurus, memelihara kualitas semangat beribadah dan kesinambungan menta'ati Allah.

Karena itu, sepatutnyalah jiwa yang sudah fitri ini diupayakan secara maksimal untuk dipertahankan dan dijaga dengan penunaian berbagai bentuk amal shalih pasca Ramadhan. Sebab, keberhasilan meraih derajat taqwa melalui ibadah puasa bukan ditandai berakhirnya bulan Ramadban. Melainkan, sejauh mana konsistensi orang-orang yang berpuasa dalam melakukan ibadah pasca bulan Ramadhan. Sejauh mana kesinambungan harmonisasi hubungan dengan Sang Khaliq terpelihara secara baik pasca Ramadhan.

Bulan Ramadhan memang telah berlalu, tapi musim-musim kebaikan lain segera menyusul. Boleh jadi amal shalih kita pasca Ramadhan secara kuantitas menurun. Tapi, yang penting kontinyu dan inilah yang terbaik, Shalat lima waktu yang merupakan perbuatan agung dan hal pertama yang akan dihisab di hari kiamat nanti, tidak berhenti dengan berakhirnya Ramadhan.
Jika puasa Ramadhan berakhir, maka puasa-puasa sunnah yang berpahala tidak kecil, tidaklah berakhir bahkan menanti sentuhan kita. Seperti, puasa enam hari di bulan Syawal, puasa Senin-Kamis, puasa tiga hari dalam sebulan , puasa Asyura' (tgl 10 Muharram), puasa Arofah dan lain-lain.Jika Qiyam Ramadhan dan Tarawih telah lewat. Maka, Qiyamullail (Tahajjud) tetap disyari'atkan tiap malam, meskipun ramadhan telah usai. Jika zakat Fitrah berlalu, maka zakat wajib dan pintu sedekah masih terbuka lebar pada waktu-waktu yang lain.

Jangan sampai prestasi cemerlang yang diraih dengan kerja keras selama sebulan penuh, terhapus oleh keburukan yang menyusul. Jangan sampai kesucian jiwa yang dibangun susah payah selama bulan Ramadhan, tercemari oleh perbuatan maksiat, begitu sayonara (berpisah) dengan Ramadhan. Jika ini yang terjadi, maka sama halnya dengan orang yang mendirikan bangunan indah nan megah dengan biaya mahal, lalu Ia sendiri yang merobohkannya.

Relasi idul fitri dan pendidikan
Dunia pendidikan dan pengajaran dalam kehidupan kita, yang selama ini di rasakan kurang menyentuh aspek moralitas, harus dikembalikan kepada pendidikan dan pengajaran untuk memajukan peradaban. Jika tahun ini alokasi pendidikan pada APBN 2009 maupun 2010 mencapai 20 persen, pendidikan peradaban ini penting diperhatikan agar pendidikan nasional dapat memajukan peradaban bangsa, agar peradaban kita sejajar dengan bangsa lain.
Menurut Prof Musa Asyari pendidikan nasional Pada hakikatnya,adalah bagian dari peradaban bangsa, yang bertugas mengembangkan intelektualisme, menghargai keanekaragaman, meninggikan etika-moralitas dan kebersatuan. Karena itu, pendidikan nasional sebenarnya tidak boleh mendegradasi peradaban bangsa itu sendiri, seperti terlihat gejalanya sekarang, di mana konflik kekerasan justru terjadi di dunia pendidikan, seperti tawuran dan perusakan pilar-pilar akademik yang menjunjung tinggi rasionalitas, justru terjadi di perguruan tinggi kita yang seharusnya dijauhkan dari sikap-sikap antiperadaban. Perguruan tinggi adalah pusat peradaban, bukan pusat kebiadaban.
Kini, kita semua berada dalam suasana Idul Fitri, karena setelah melakukan olah jiwa massal selama sebulan, mereka kembali pada fitrahnya yang suci, seperti bayi yang dilahirkan kembali, bersih tanpa dosa. Sebagai bayi, kesucian yang dicapai melalui olah jiwa massal tidak akan berarti jika mereka kemudian kembali terjebak dalam kehidupan lama yang antiperadaban, sebagaimana perkembangan seseorang dari bayi hingga dewasa akan dipengaruhi pendidikan, pengajaran, dan lingkungan sosialnya.
Idul Fitri adalah momen kemanusiaan yang tidak boleh berlalu begitu saja karena semangat untuk kembali pada kesucian dasar manusia, pada hakikatnya, merupakan tonggak pencapaian spiritualitas baru untuk menghadapi tekanan kekuasaan duniawi yang kian vulgar. Tanpa kembali pada kesucian dasar manusia, tidak ada jalan keluar untuk membangun peradaban baru yang lebih manusiawi.

*PJ Biah Islamiyyah
SD Al Irsyad Al Islamiyyah 02 Purwokerto

idealisme guru

“Idealisme Guru”
Oleh Abdul Qohin
Idealisme vs Pragmatisme Guru
Mendengar kata idealisme, kira-kira hal apakah yang seketika itu terlintas dalam pikiran kita ? Suatu nilai luhurkah ? suatu hal yang langka dan sulit ditemui, atau bahkan mungkin mendengar kata idealism, hal yang pertama terlintas dalam pikiran kita adalah suatu hal yang terlalu mengada-ada dan mustahil untuk diwujudkan. Memang tidak dipungkiri bahwa persepsi yang demikian akan banyak dimiliki orang ketika mereka mendengar kata idealism.

Di Indonesia, cita-cita menjadi seorang guru, mungkin termasuk cita-cita yang amat mahal, karena hampir sebagian kecil saja dari orang Indonesia yang bercita-cita atau berminat menjadi seorang guru. Entah karena pekerjaan menjadi guru menuntut keahlian yang khusus, entah pula karena pekerjaan guru tidak menghasilkan imbalan yang menggiurkan.
Setiap pekerjaan paling tidak memuat dua konsekuensi. Pertama, pengabdian dan kedua adalah profesi. Pengabdian bagi seorang guru merupakan bagian yang tak dapat dipisahkan dalam seluruh aktifitasnya. Tentu saja hal ini berlaku bagi mereka yang memahami tugas itu sebenarnya.
Dengan melihat urgensi dari memiliki sebuah idealism, maka tak ragu lagi jika setiap pekerjaan yang kita lakukan, harus dilandasi dengan sebuah konsep idealism. Bila kita melihat lebih dalam lagi, sesungguhnya pekerjaan yang paling mudah untuk kita dalam menerapkan idealism adalah pekerjaan yang berhubungan dengan pengabdian.

Pengabdian, sesungguhnya memang merupakan tugas dan amanah yang diemban oleh tiap-tiap manusia. Pekerjaan ini sungguh sangat mulia untuk dilakukan. Salah satu pekerjaan yang berkaitan dengan pengabdian adalah menjadi seorang guru (pendidik). Menjadi seorang guru (pendidik) bukan perkara yang mudah. Sebab kita tidak hanya dituntut untuk dapat menyampaikan materi kepada peserta didik, tetapi lebuh dari itu, seorang pendidik sejati harus mampu mengubah peserta didiknya menuju ke arah yang lebih baik.

Paham mengenai sikap dan pandangan hidup seseorang yang mendasari pekerjaannya dapat dikatagorikan dua hal, yakni idealisme dan pragmatisme. Orang yang memiliki sikap dan pandangan hidup yang didasarkan pada nilai-nilai luhur dan cita-cita luhur disebut sebagai orang yang memiliki idealisme. Sedangkan orang yang memiliki pandangan dan sikap hidup yang didasarkan pada peroleh manfaat yang sebesar-besarnya dari banyak pilihan yang ada dihadapannya, disebut orang yang pragmatis.
Sejatinya, profesi Guru itu harus didasari oleh nilai-nilai idealisme ketimbang pragmatisme. Hal ini disebabkan karena profesi Guru merupakan profesi yang berhubungan langsung dengan benda hidup (manusia) bukan benda mati. Objek yang menjadi sasaran profesi guru senantiasa dinamis, berubah dan berkembang, sehingga menuntut kearifan dirinya untuk membaca tanda-tanda jaman yang sedang dihadapinya, kemudian ia berbuat sesuatu yang nyata dalam rangka mempersiapkan dan melahirkan generasi-generasi berikutnya yang juga mampu mewarisi kearifan pendahulunya.
Mendamba Guru Yang Idealis
Pernahkah kita menyaksikan film “Laskar Pelangi”? film fenomenal yang mebuat kita bertanya kembali, masih adakah sosok pendidik seperti itu di tanah air kita tercinta ini. Film ini mengisahkan tentang perjuangan anak-anak kampung belitong untuk dapat tetap menuntut ilmu, karena mereka yakin dengan ilmu maka mereka akan mampu mewujudkan mimpi-mimpi mereka. Di tengah kemarginalan yang harus mereka hadapi, semangat mereka untuk menuntut ilmu sungguh tinggi. Dengan dukungan dari dua orang guru yang tetap memegang teguh idealism dan keyakinan meraka untuk tetap mendidik sekelompok anak yang bernama Laskar Pelangi.
Sungguh, proses terbentuknya idealisme dalam diri bu Mus dan pak Arfan benar-benar terlukis dengan baik dalam film tersebut. Dimana idealisme yang awalanya terbangun oleh sebuah naluri kepahlawanan benar-benar terlihat pada diri bu Muslimah dengan melihat sosok ayahnya dan juga sosok pak Arfan. Kamudian naluri kepahlawanan itu diperkuat dengan adanya keberanian yang dimiliki oleh bu Mus dan pak Arfan dalam menghadapi berbagai tantangan yang siap menghadang langkah mereka dalam mendidik Laskar Pelangi. Kemudian nyawa keberanian tersebut dihembuskan oleh adanya kesabaran yang dimiliki baik oleh bu Mus maupun oleh pak Arfan. Lalu itu semua menghasilkan buah idealisme yang akhirnya membuat beliau berdua bertahan dalam mendidik Laskar Pelangi. Bisa saja kalau beliau berdua kehendaki, ketika ujian dan rintangan datang menghadang, mereka berhenti dan menyerah dalam menjadikan Laskar Pelangi menjadi manusia-manusia yang dapat bermanfaat bagi sekitarnya. Seperti semangat dan prinsip yang selalu dipegang teguh oleh pak Arfan yaitu “hidup untuk memberi sebanyak-banyaknya, bukan menerima sebanyak-banyaknya.”
Satu keprihatinan lagi yang muncul ketika kita menelisik lebih jauh lagi mengenai ada tidaknya idealism guru di Indonesia yang juga berhubungan dengan prinsip yang mengawali munculnya idelaisme yaitu berupa naluri kepahlawanan yang didapatkan dari hasil kekaguman. Jika dalam ilmu psikologi, dikenal teori belajar modeling Albert Bandura, maka ini juga yang berlaku dalam penciptaan idealism pada diri seseorang. Rasa kagum yang kemudian menimbulkan hasrat untuk dapat berbuat sama dengan orang dikagumi dapat diartikan sebagai pentingnya keteladanan dalam sistem pendidikan di Indonesia. Keteladanan atau contoh atau modelling dapat diperoleh dari lingkungan. Seorang murid yang kita asumsikan sebagai generasi penerus bangsa tempat ujung tombak bangsa ini ditentukan, akan sangat membutuhkan sosok yang dapat dijadikan sebagai model. Namun sayang dengan melihat kondisi sekarang, nampaknya kita harus bersedih dengan minimnya sosok guru yang dapat dijadikan sebagai model bagi generasi muda Indonesia. Ironi memang ketika akhirnya hal ini harus menjadi seperti “lingkaran setan” yang membayang-bayangi masa depan bangsa ini.
Untuk menghadirkan sosok yang bermutu guna mencapai pendidikan berkualitas, guru harus mendapatkan program-program pelatihan secara tersistem agar tetap memiliki profesionalisme yang tinggi dan siap melakukan inovasi. Penghargaan dan kesejahteraan yang layak atas pengabdian dan jasanya harus diberikan.
Dengan meningkatnya mutu guru, kita akan memiliki para guru yang mampu melahirkan nilai-nilai unggul dalam praktik dunia pendidikan. Karena itu, lahirlah sosok-sosok manusia yang memiliki karakter beriman, amanah, profesional, antusias dan bermotivasi tinggi, bertanggung jawab, kreatif, disiplin, peduli, pembelajar sepanjang hayat, visioner dan berwawasan, menjadi teladan, memotivasi (motivating), mengilhami (inspiring), memberdayakan (empowering), membudayakan (culture-forming), produktif (efektif dan efisien), responsif dan aspiratif, antisipatif dan inovatif, demokratis, berkeadilan, dan inklusif.
Belajar dari Bilal Bin robbah
Berbicara mengenai karakter apa yang harus dimiliki oleh seseorang ketika dia memutuskan untuk menjadi seorang guru (pendidik) dapat mengambil dari inspirasi Bilal bin Robbah, dimana dalam inspirasinya kita disentil akan pentingnya kesadaran dalam melakukan segala tindakan dalam hidup kita. Billal, yang seorang budak, memeluk agama Islam dengan penuh kesadaran. Dia mengerti benar konsekuensi yang harus ia hadapi ketika ia mengambil keputusan tersebut. Billal memeluk agama Islam, dia melakukannya dengan penuh kesadaran akkan pilihanb hidupnya. Inilah yang harus dimiliki oleh para calon pendidik di Indonesia. Mereka harus benar-benar sadar bahwa menjadi pendidik merupakan pilihan hidup mereka, dengan segala konsekuensi yang akan dihadapinya.
Mahdi Ghulsyani seorang cendekiawan muslim memandang guru merupakan kelompok manusia yang memiliki fakultas penalaran, ketakwaan, dan pengetahuan. Ia memiliki karakteristik bermoral, mendengarkan kebenaran, mampu menjauhi kepalsuan ilusi, menyembah Tuhan, bijaksana, menyadari dan mengambil pengalaman-pengalaman.
Dalam pepatah Jawa, guru adalah sosok yang digugu omongane lan ditiru kelakoane (dipercaya ucapannya dan dicontoh tindakannya). Menyandang profesi guru berarti harus menjaga citra, wibawa, keteladanan, integritas, dan kredibilitasnya. Ia tidak hanya mengajar di depan kelas, tapi juga mendidik, membimbing, menuntun, dan membentuk karakter moral yang baik bagi siswa-siswanya. Semoga dengan hal ini, para pendidik Indonesia memiliki idelaisme terhadap karya mereka untuk mencetak para pemimpin bangsa di masa akan datang. Wallohu’alam

Selasa, 21 Juli 2009

Hp untuk anak

“HP untuk anak sekolah, Perlukah?”
Abdul Qohin

“Haree geene ngak punya handphone?” aneh alias sudah bukan waktunya lagi bagi manusia yang tinggal di perkotaan untuk tidak punya Hp alias telepon seluler (Ponsel). Tapi bagaimana dengan anak-anak? Kapan mereka boleh punya ponsel pribadi?
Fenomena dewasa ini, sudah menjadi hal yang tak terelakan manakala murid-murid sekolah banyak menggunakan Hp. Dari Mahasiswa, anak-anak SMA bahkan sampai anak-anak SD pun tak ketinggalan dengan mereka yang sudah besar. Tidak sedikit orang tua murid yang beranggapan memberikan Hp untuk anak-anak mereka bisa membuat mereka lebih berlega hati, kebanyakan siswa juga beranggapan menggunakan Hp adalah semacam tren masa kini dan harus di ikuti. “Tidak mengikuti tren ini berarti di bilang kuno, katanya”. Tetapi para pakar umumnya berpendapat keuntungannya hanya sedikit, sedang kerugian yang diakibatkan sangat banyak. Pertama-tama kita perlu menganalisa keuntungan dan kerugiannya bersama-sama sebelum kita membelikan hp untuk anak.
Hp sesungguhnya bisa membuat anak-anak menjaga hubungan erat dengan para orang tua mereka, setiap saat mengetahui keberadaan dari mereka, di saat anak menjumpai masalah yang mendesak juga bisa segera memberitahu orang tua mereka. Tetapi dampak negatifnya juga harus di perhatikan oleh orang tua.
Kebutuhan atau gaya
Seberapa penting ponsel untuk anak anda? Menurut Psikolog keluarga Sarah handayani Data statistik kepemilikan ponsel pada anak di dunia menunjukkan pentingnya ponsel bagi mereka. Di inggris, 9 dari 10 anak memiliki ponsel. Sementara di australia, pada tahun 2003, sekitar 2% anak-anak usia 5-9 tahun, dan 33 % anak usia 10-14 tahun juga memiliki ponsel sendiri. Di jepang, 60 % remaja sudah berponsel.
Belum ada data resmi di Indonesia. Namun setidaknya riset sriwijaya Pos di kota palembang dapat mewakili kota besar seperti Jakarta, Surabaya atau Bandung. Berdasarkan risetnta tahun 2004, di kota Palembang, sekitar 6% atau 28.000orang adalah usia SD dan remaja (7 sampai 12 tahun). Jadi jumlah pemilik ponsel yang masih berusia SD dan Remaja cukup banyak. Di tahun 2009 tentunya pengguna hp di kalangan anak akan bertambah banyak seiring dengan jenis hp yang setiap saat setiap perusahaan selalu mendesain dan mengeluarkan jenis hp-hp yang menarik.
Tingkat kepemilikan ponsel yang cukup tinggi di kalangan anak dan remaja di negara-negara maju memang di sebabkan oleh kebutuhan dan fungsinya. Dinamika bentuk ponsel yang setiap waktu semakin canggih dan lengkap fitur-fiturnya menambah minat beli di kalangan anak dan remaja meningkat pesat. Banyak anak yang meminta ponsel yang keren karena pertimbangan gaya dan gengsi. Banyak fitur-fitur dan layanan game yang mudah di akses lewat internet. Begitu juga dengan musik, tampilan kamera yang telah di rubah menjadi camera yang super keren menggantikan fungsi kamera yang biasa. Selain kebutuhan, di Jepang tahun 2007 ponsel pada anak akan di coba di pakai sebagai sistem pelacakan model baru sang anak. Sehingga keberadaan anak akan dapat di lacak melalui gelombang radio.
HP untuk anak sekolah
Membiarkan anak membawa Hp memang lebih leluasa, tetapi apakah sangat diperlukan? Dalam situasi pada umumnya, asalkan anak sedang mengikuti kegiatan di area sekolah, jika ada kepentingan yang mendesak, para pendidik tentu dapat menghubungi orang tua anak-anak didik mereka melalui sekolah. Jika menjumpai keadaan khusus seperti kunjungan keluar sekolah atau pergi bertamasya, anak juga bisa dibawakan Hp untuk sementara.
Mengapa dikatakan membawa Hp pergi ke sekolah keuntungannya sedikit dan kerugiannya banyak? Sekolah adalah tempat para murid menimba ilmu, ketika pelajaran berlangsung deringan telpon atau menjawab telpon akan bisa mengganggu secara serius ketertiban dalam kelas, membuat murid seluruh kelas tidak bisa konsentrasi pada pelajaran, mempengaruhi keefektifan belajar.
Kebanyakan sekolah melarang murid-murid membawa Hp ke sekolah, tetapi ada pula sekolah yang meminta para muridnya menyetel Hp mereka menjadi silence (diam) di saat pelajaran berlangsung. Tetapi, fungsi Hp yang hanya menerima berita pendek pun, sedikit banyak bisa memecah konsentrasi para murid dalam menerima pelajaran.
Lagi pula Hp sekarang bagaikan sebuah mesin game yang memiliki multifungsi, banyak murid yang tidak dapat mengendalikan diri dengan baik, tidak dapat menahan diri bermain game atau mendengarkan lagu di waktu pelajaran, juga bisa mempengaruhi teman kelas yang berada di sekitarnya mendengarkan pelajaran.
Dan ada sebagian murid yang tidak bisa membedakan waktu pelajaran atau waktu istirahat, mereka tak bosan-bosannya dengan rajin mengirim SMS untuk mengobrol dengan orang lain, sangat serius telah mempengaruhi kegiatan yang normal.
Bahkan ada pula yang berada hanya beberapa langkah dari temannya, tetapi mereka lebih memilih menggunakan berita pendek untuk mengadakan komunikasi, sehingga teknik berkomunikasi secara berhadap-hadapan tidak bisa berkembang secara sehat. juga sudah pasti merasakan gangguan semacam ini.
Yang terpenting adalah mengarahkan anak untuk bisa berpikir, sebenarnya kembali ke sekolah itu untuk apa? Anda boleh dengan jelas memberitahukan kepada anak, “Bukan hanya belajar teknik dan pengetahuan, yang lebih penting adalah membina kualitas pribadi yang baik.” Segala macam situasi yang dijumpai bisa dipergunakan untuk melatih kemampuan kita untuk menahan diri, jika keteguhan hati dibina dengan baik, maka di kemudian hari saat harus menghadapi pekerjaan apa pun, untuk dapat menggapai kesuksesan tidaklah terlalu sulit.
Selain itu kita bisa berdiskusi bersama dengan anak Anda, “Apakah perlu membawa Hp pergi ke sekolah?” “Bagaimana memastikan tidak terpengaruh oleh keadaan di sekeliling, bisa berkonsentrasi dalam pelajaran?”
Bukan hanya pada anak remaja, pada orang dewasa gangguan konsentrasipun sering terjadi saat belajar , kuliah rapat ataupun seminar. Hingga sudah umum bila kita menemukan tulisan “Mohon matikan Handphone” di ruang-ruang tersebut. Bahkan di beberapa sekolah yang notabenenya adalah sekolah terpadu menerapkan aturan “Anak-anak sekolah di larang membawa HP” atau “ Pada saat jam pelajaran, hp di kumpulkan di depan kelas”
Dampak buruk hp bagi anak?
Menurut Psikolog Bibiana Dyah Sucahyani Yang perlu diingat jangan karena trend atau sekadar ikut-ikutan tanpa manfaat yang jelas. Bahkan bisa jadi membekali anak dengan handphone malah membawa dampak yang negatif, misalnya:
a. Anak menjadikan handphone sebagai symbol ‘lebih’ dari temannya.
b. Anak menjadi lebih senang ngobrol lewat handphone daripada bicara langsung
c. Menjadikan anak konsumtif, anak ikut-ikutan kuis dengan tarif premium, bahkan kecanduan untuk mendapatkan hadiah yang menggiurkan.
d. Anak menjadi tidak terkontrol ketika yang dihubungi adalah nomor-nomor layanan untuk orang dewasa
e. Bisa mengundang tindak kriminal. Karena sebagaian orang masih menganggap membawa hp adalah orang mampu, sehingga menjadi target kejahatan.
f. Penyalahgunaan kelebihan handphone, misalnya kalkulator dipakai saat mengerjaan PR matematika, dll. Selain itu juga cara untuk menyontek dan bertukar jawaban saat test atau ujian.
g. Sebagai media penyebaran porgagrafi.
Jika memang orangtua akan membekali anak dengan handphone, sebaiknya anak yang sudah bisa mengatur keuangan, tahu memprioritaskan kebutuhan serta yang bisa memanfaatkan handphone dengan benar, juga yang bisa diberi kepercayaan mengelola handphone. Perlu juga orangtua selain membekali handphone, bekal lainnya adalah perjanjian tentang misalnya untuk apa handphone tersebut dibawa, pulsa maksimal yang bisa dipakai, serta pengamanannya.
Usia anak yang dapat diberi kepercayaan seperti ini sekitar mulai kelas tiga SD misalnya. Untuk anak usia balita, sebaiknya dititipkan saja pada pengasuhnya, jika memang diperlukan.
Sekolah sebaiknya juga menyiapkan peraturan tentang penggunaan handphone di lingkungan sekolah. Misalnya kapan saja handphone harus dinonaktifkan, dimana handphone harus disimpan, serta tanggungjawab terhadap anak terhadap handphone tersebut. Sedemikian rupa, sehingga jangan sampai handphone mengganggu konsentrasi belajar anak.

"Mendesain Ramadhan Untuk anak"

“Mendesain Ramadhan untuk anak”
Oleh Abdul Qohin

Melatih Puasa sejak dini
Marhaban ya Ramadhan! Ya Syahrut Tarbiyah, Ya syahrul Magfiroh!Bagi Kaum Muslimin, pengidentifikasian nama-nama bulan Ramadhan dengan berbagai sinonimnya sebenarnya mengandung maksud. Nama-nama itu diungkapkan dengan singkat dan tepat sebagai “pengingat cepat atau penggugah” dan “keywords” tentang apa yang sebaiknya dilakukan di bulan tersebut. Selain itu, nama-nama bulan Ramadhan juga menyatakan berkah dan maghfirah yang dapat diraih pada kondisi dan suasana paling baik selama satu tahun ke belakang dan ke depan (Ramadhan tahun depan seandainya masih bisa diberi umur). Bagi para orang tua, yang telah berpuluh kali menjalani puasa tentu sudah tahu apa tujuan, makna dan manfaat puasa, tapi bagaimana dengan anak-anak kita? Sudahkah mereka mengerti dan faham arti bulan tersebut?
Dalam beberapa tahun terakhir banyak sekali peristiwa yang memilukan yang terjadi pada anak-anak kita. Ini semua tentunya mendorong kita untuk semakin memperhatikan pendidikan anak-anak kita agar mereka bisa menjadi anak-anak yang sholeh dan solihah . Untuk itu kita -sebagai guru- harus manfaatkan semaksimal mungkin kesempatan emas dengan datangnya Ramadhan yang mulia ini untuk memberikan latihan-latihan ruhiyah bagi anak-anak kita baik di sekolah maupun di rumah, dengan mempersiapkan dan melatih mereka menjalankan ibadah puasa agar lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya.
Kapan anak-anak berlatih berpuasa? Mendidik anak tidak sama dengan mengajar. Mendidik anak adalah membantu anak mencapai kedewasaan baik dari segi akal, ruhiyah dan fisik. Jadi apa yang kita lakukan adalah membantu anak untuk kenal dan tahu sesuatu, kemudian dia mau dan bisa kemudian menjadi biasa dan terampil mengamalkannya. Hal ini bukan saja membutuhkan waktu yang lama tetapi juga kemauan yang kuat, kasabaran, keuletan dan semakin awal memulainya semakin baik.Untuk menjawab pertanyaan ini marilah kita simak sebuah hadits ketika seseorang bertanya kepada Rosulullah tentang : Kapan seorang anak dilatih untuk shalat? Rosulullah menjawab: Jika ia sudah dapat membedakan tangan kanan dan tangan kirinya. Kalau kita memperhatikan hadits di atas, tentunya kita dapat memprediksi usia anak yang bisa membedakan tangan kanan dan tangan kiri. Tentunya sekitar 2 sampai 3 tahun. Pada hadits masyhur yang lain Rosulullah saw bersabda: Perintahkanlah anak-anak kalian untuk shalat pada usia 7 tahun dan pukulah ia pada usia 10 tahun (jika meninggalkannya ).
Abdullah Nashih Ulwan dalam bukunya Tarbiyatul Aulad fil Islam mengatakan bahwa perintah mengajar shalat ini dapat disamakan untuk ibadah lainnya seperti puasa dan haji bila telah mampu. Mengikuti kedua hadits dan pendapat di atas,dapat dikatakan bahwa seperti halnya shalat maka puasapun sudah dapat diperkenalkan pada anak sejak mereka berusia dua atau tiga tahun, yaitu ketika mereka sudah tahu membedakan tangan kanan dan tangan kirinya..
Landasan di atas di perkuat dengan penemuan ilmiah tentang otak yang dipublikasikan bulan Oktober tahun 1997 di Amerika. Dalam penemuan itu menunjukkan bahwa pada saat lahir Allah iu membekali manusia dengan 1 milyar sel-sel otak yang belum terhubungkan satu dengan yang lainnya. Sel-sel ini akan saling berhubungan bila anak mendapat perlakuan yang penuh kasih sayang, perhatian, belaian bahkan bau keringat orang tuanya. Hubungnan sel-sel tersebut mencapai trilliun begitu anak berusia 3 tahun.
Dari usia 3 sampai 11 tahun terjadi apa yang disebut proses Restrukturisasi atau pembentukan kembali sambungan-sambungan tersebut. Hal-hal yang tidak diulang-ulang akan menjadi lapuk dan gugur. Bila temuan ini kita hubungkan dengan hadits di atas, maka benar Rosulullah bahwa kita perlu memperkenalkan berbagai hal kepada anak kita termasuk di dalamnya masalah beribadah sedini mungkin dan mengulang-ulangnya selama 7 tahun, sehingga pada usia 10 tahun anak kita bukan saja sudah mampu melakukannya dengan baik tapi juga telah memahami makna pentingnya ibadah tersebut sehingga ia rela menerima sanksi bila ia tidak menunaikan ibadah tersebut dengan baik.
Membangun kreativitas dan inovatif.
Kreatifitas itu dimulai dari suatu gagasan yang interaktif, maka dorongan dari luar juga diperlukan untuk memunculkan suatu gagasan. Dalam hal ini para orangtua banyak berperan. Dengan komunikasi dialogis dan kemampuan mendengar aktif maka anak akan merasa dipercaya, dihargaai, diperhatikan, dikasihi, didengarkan, dimengerti, didukung, dilibatkan dan diterima segala kelemahan dan keterbatasannya. Dengan ini anak akan memiliki dorongan yang kuat untuk secara berani dan lancar mengemukakan gagasan-gagasannya. Selain komunikasi dialogis dan mengdengar aktif, untuk memotivasi anak agar lebih kreatif, sudah seharusnya kita memberikan perhatian serius kepada aktifitas yang tengah dilakukan oleh anak kita. Seperti misalnya melakukan aktifitas bersama-sama mereka. Kalau kita biasa melakukan shoum dan shalat bersama anak-anak kita, mengapa untuk aktifitas yang lain kita tidak dapat melakukannya ? Bukanlah lebih mudah untuk mentransfer suatu kebiasaan yang sama ketimbang harus memulai suatu kebiasaan yang sama sekali baru ? Dengan demikian sesungguhnya seorang muslim memiliki peluang yang lebih besar untuk menjadikan anak-anak mereka kreatif. Tinggallah sekarang bagaimana kita sebagai orangtua muslim senantiasa berusaha untuk memperkenalkan anak-anak kita dengan berbagai hal dan sesuatu yang baru untuk memenuhi aspek kognitif mereka. Agar mereka lebih terdorong lagi untuk berpikir dan berbuat secara kreatif.
Mengantarkan anak untuk berpuasa dan memahami maknanya, bukanlah pekerjaan mudah. Keberhasilan yang kita harapkan memerlukan persiapan sejak jauh hari. Meskipun Idul Fitri masih jauh karena baru mulai Ramadan, bagus juga mendorong anak-anak untuk berkreasi menyambut hari kemenangan itu. Bisa dengan membuat kartu-kartu ucapan yang indah, atau mengajak mereka mengatur rumah agar lebih terasa nyaman untuk menerima tamu-tamu.
Menurut Psikolag anak Ekorini Kuntowati, Untuk mengalihkan perhatian anak-anak dari rasa lapar, juga bisa menggunakan berbagai jenis permainan. Buku-buku yang berisi permainan yang bisa kita rancang sendiri banyak tersedia di toko buku. Jenis-jenis kerajinan tangan pun bukan main banyaknya. Dengan bahan kertas aneka jenis dan aneka warna, dengan kain, dengan pelepah pisang, daun, ranting hingga biji. Dengan monte, manik-manik, atau sekedar spidol dan pensil warna.
Segala sesuatu bisa digunting, dirobek, dibakar, dilem atau dibentuk menjadi sebuah hasil karya menarik. Kegiatan istimewa lainnya selain bermain juga bisa dirancang sejak dini. Misalnya memasak kue-kue ringan untuk dibawa berkunjung ke panti asuhan, atau untuk berbuka puasa di rumah, berkebun dan banyak lagi.
Sejak di jaman kehidupan Rasulullah saw, para sahabat muslimah telah merancang kreativitas bagi putra-putrinya, khusus untuk menggembirakan hati mereka agar melupakan waktu yang terasa berjalan lambat selama saum. Hal ini nampak dalam sebuah kisah, ketika Rasulullah Saw mengutus seseorang pada hari Asyura ke perkampungan orang-orang Anshar dan berkata, “Siapa yang pagi ini berpuasa hendaklah ia berpuasa dan menyempurnakan puasanya. Maka kami pun menyempurnakan puasa hari itu dan kami mengajak anak-anak kami puasa. Mereka kami ajak ke masjid, lalu kami beri mereka mainan dari benang sutra. Jika mereka menangis minta makan kami berikan mainan itu. sampai datang waktu berbuka.” (HR Bukhari-Muslim)
Amaliah dan Reward Ramadhan
Memperbanyak amaliah bulan Ramadhan akan memberikan suasana khas keceriaan
Ramadhan yang turut membantu membangkitkan semangat berpuasa anak-anak. Mempersering
membaca al-Qur'an, shalat tarawih dan mengikuti pengajian harian, misalnya. Juga
memperbanyak sedekah, saling berkirim makanan buka puasa antar tetangga. Dan khusus di sekolah bisa di ciptakan lingkungan yang kondusif melalui berbagai aktifitas yang bisa berupa semarak ramadhan, gebyar ramadhan, pesantren ramadhan dan kegiatan-kegiatan lain yang mendukung itu semua. Semua itu akan membuat anak merasakan kehadiran ramadhan dengan penuh semangat.
Dan tidak kalah penting adalah Memberi hadiah atas usaha anak untuk berpuasa sehingga bisa menambah motivasi. Kepada anak berusia di atas tujuh tahun, imbalan hadiah di akhir bulan
Ramadhan akan cukup membuat mereka bersemangat. Akan tetapi bagi anak yang
lebih kecil, akan lebih efektif jika hadiah harian pun mereka terima. Hadiah harian bisa berupa barang sederhana, atau bahkan hanya berupa bintang dari kertas emas yang ditempel di dinding.
Janjikan sebuah hadiah jika bintang mereka mencapai sepuluh, dua puluh, atau tiga puluh. Hadiah bulanan bisa merupakan kelanjutan dari hadiah harian, dan merupakan satu jenis kebutuhan yang sangat diharap-harapkan anak-anak. Katakan bahwa hadiah itu adalah pertanda kemenangan bagi usaha mereka mengalahkan hawa nafsu.
Waspadai saat-saat kritis
Sebelum saya akhiri, yang perlu di perhatikan oleh orang tua adalah Ada saat di mana biasanya anak begitu bergairah untuk berpuasa dan melakukan ibadah lain di bulan Ramadan. Biasanya ini terjadi di awal-awal, tetapi menjelang pertengahan bulan, anak mungkin sudah merasa lelah, sehingga enggan berpuasa. Orang tua harus mengantisipasi saat-saat kritis ini justru dengan memberikan kegiatan dan kreativitas yang paling menarik bagi anak.
Dan tidak kalah penting adalah -Menurut Ekorini Kuntowati - Berhati-hati pula dengan saat-saat usai Ashar setiap harinya. Di sore hari seperti ini anak mungkin merasa sangat lapar, lelah, dan jemu menunggu. Di saat-saat ini mereka sangat membutuhkan perhatian dan dorongan dari ayah dan ibunya. Jangan hanya sibuk menyiapkan buka puasa sehingga menelantarkan mereka. Justru di saat-saat inilah orang tua perlu mengajak anak untuk melakukan berbagai jenis kegiatan yang tidak membutuhkan bayak kekuatan fisik.

Selasa, 11 November 2008

“Kantin Kejujuran ; Pendidikan Anti Korupsi”

“Kantin Kejujuran ; Pendidikan Anti Korupsi”
Abd Qohin


Laboratorium Moral di sekolah

Salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan nasional, berbagai inovasi sangat dibutuhkan. Pemerintah maupun lembaga-lembaga yang consens terhadap dunia pendidikan untuk terus melakukan berbagai inovasi yang tidak hanya peningkatan kualitas akademik an sich, akan tetapi pembinaan akhlak pun mendapat perhatian. Salah satu di antaranya adalah dengan membuat “kantin kejujuran”.
Beberapa bulan lalu Jaksa Agung Hendarman Supanji meresmikan kantin Kejujuran di di SMAN 42 Jakarta yang ke-1000. Kenapa ini menarik untuk kita bicarakan? Tentunya kita berharap dengan model pembelajaran seperti ini di harapkan akan tercipta sebuah kejujuran dari seluruh elemen sekolah. Di harapkan kelak dengan adanya kantin kejujuran tidak muncul orang-orang yang berjiwa koruptor. Dan beberapa daerah bahkan sudah mulai mempraktekkan dan menerapkan “kantin kejujuran” misal di Jakarta,Bali,Jambi dan Riau, Siswa bebas ambil jajanan, mau berbohong, mau “nembak”, terserah.
Menurut M Syahroni Program kantin kejujuran yang di buat oleh Kejaksaan Agung merupakan salah satu bukti program yang cukup memberikan pelajaran berharga bagi para penerus bangsa untuk tetap mempertahankan kejujuran yang menjadi tonggak utama dari kehidupan sebuah bangsa dan negara. Ide pengembangan yang di laksanakan oleh Tim Galaksi (Gerakan Aksi Langsung Anti Korupsi Sejak Dini) ini memang sangat baik untuk memberikan gambaran tentang masyarakat terdidik di Indonesia. Mulai dari sekolah sampai karang taruna menjadi sasaran untuk program ini. Seandainya penerapan ini dapat di lakukan di Masyarakat mungkin negara ini akan menjadi sebuah negara yang sangat di hormati di dunia. Tidak sedikit dari para pengelola kantin kejujuran ini juga sempat menahan emosi lantaran masih juga ada yang tidak jujur. Tetapi secara keseluruhan ide pengembangan ini adalah salah satu ide yang sangat bagus.
Di beberapa negara sebenarnya sudah merepkan Sejak lama. Tidak hanya sekolah saja tetapi beberapa tempat atau instansi juga bisa di terapkan. Sebutlah di beberapa negara Eropa yang menerapkan model kantin kejujuran ini di masyarakat seperti Pom Bensin, Supermarket sampai kepada lalu lintas. Bagaimana kita memulai sebuah budaya untuk jujur kepada diri sendiri dan orang lain agar tidak saling merugikan menjadi sangat penting apalagi ketika melihat kondisi negara ini yang mungkin akan di penuhi oleh para koruptor yang semakin hari semakin banyak.
Tidak hanya itu saja mungkin kantin kejujuran ini tidak hanya di terapkan di sekolah atau organisasi masyarakat saja tetapi justru harus di tempat seperti Departemen Pemerintahan yang menjadi salah satu pusat ketidak jujuran. Entah apakah hal tersebut di mungkinkan ?
Bagaimana model kantin kejujuran ini? Di seluruh kantin kejujuran, kita tidak akan melihat seorang penjualpun melayani anda. Ada makanan dan minuman, daftar harga, tempat menyimpan uang pembayaran dan tempat uang kembalian.
Kantin kejujuran merupakan upaya untuk mendidik akhlak siswa agar berperilaku jujur. Kantin kejujuran adalah kantin yang menjual makanan kecil dan minuman. Kantin kejujuran tidak memiliki penjual dan tidak dijaga. Makanan atau minuman dipajang dalam kantin. Dalam kantin tersedia kotak uang, yang berguna menampung pembayaran dari siswa yang membeli makanan atau minuman. Bila ada kembalian, siswa mengambil dan menghitung sendiri uang kembalian dari dalam kotak tersebut. Di kantin ini, kesadaran siswa sangat dituntut untuk berbelanja dengan membayar dan mengambil uang kembalian jika memang berlebih, tanpa harus diawasi oleh guru atau pegawai kantin. Kantin Kejujuran merupakan salah satu bentuk kegiatan dalam pendidikan Antikorupsi. Tidak dapat dipungkiri bahwa salah satu problema bangsa yang hingga kini belum tuntas diselesaikan adalah praktik korupsi. Virus korupsi yang telah mewabah dan tumbuh subur di masa orde baru telah mengakibatkan kesengsaraan rakyat yang berkepanjangan, bahkan rnenghambat kemajuan bangsa dan negara. Sangat sulit untuk memutus tali rantai virus tersebut. Meskipun demikian, putra-putri bangsa yang masih memegang idealisme yang tinggi dan merindukan keadilan di negeri ini akan tetap berupaya untuk memberangus virus korupsi. (M.Qosim:2008 )

Pendidikan Anti Korupsi

Korupsi merupakan penyakit masyarakat, bukanlah budaya. Sebab, budaya bangsa Indonesia yang Iuhur tidak pernah mengajarkan apalagi melestarikan penyakit tersebut. Praktik korupsi juga ditolak oleh agama, terlepas agama apa pun dia. Oleh karena itu, sifat jujur merupakan penangkal yang efektif dari virus korupsi. Bahkan dalam ajaran Islam, sifat jujur akan mengantarkan seseorang kepada perbuatan-perbuatan yang bernilai. Dalam hal ini, Nabi Muhammad SAW bersabda: “Sesungguhnyva kejujuran itu akan mengantarkan kepada jalan kebaikan, dan sesungguhnya kebaikan itu akan mengantarkan ke dalam al- jannah (surga), sesungguhnya orang yang benar-benar jujur akan dicacat di sisi Allah sebagai ash-shidiq (orang yang jujur). Dan sesungguhnya orang yang dusta akan mengantarkan ke jalan kejelekan, dan sesungguhnya kejelekan itu akan mengantarkan ke dalam an- naar (neraka), sesungguhnya orang yang benar-benar dusta akan dicatat di sisi Allah sebagai pendusta. “ (HR. Al Bukhari )

Tanpa kejujuran, praktik korupsi, kolusi, nepotisme, dan segala bentuk manipulasi lainnya akan tetap subur di negeri ini. Untuk itu, kantin kejujuran yang merupakan pendidikan Antikorupsi perlu diterapkan sebagai upaya prepentif bagi generasi muda. Sebab, prevention is better than cure, pencegahan lebih baik dari pada mengobati. Namun pelaksanaan kantin kejujuran akan sukses dengan dukungan bersama dari warga sekolah. Program tersebut tidak hanya keinginan dari atasan, akan tetapi kebijakan pemerintah justru patut diberikan apresiasi yang tinggi dengan mensukseskannya secara bersama. Bukan berarti program ini menambah beban bagi sekolah, terutama bagi guru. Justru melalui program ini mempermudah guru untuk mendidik akhlak siswa. Sebab, tugas guru tidak hanya melaksanakan proses pembelajaran di dalam kelas, tetapi lebih dari itu guru turut bertanggung jawab dalam membina kepribadian siswa.

Untuk di Renungankan

Pemberantasan korupsi tidak akan berhasil selama tak ada peran serta seluruh masyarakat, termasuk siswa sebagai generasi penerus bangsa. Apabila kejujuran sudah diterapkan sejak dini, diharapkan akan dapat menyukseskan pemberantasan korupsi pada masa yang akan dating.Kantin Kejujuran ini juga menjadi ajang pembelajaran bagi peserta didik di sekolah maupun generasi muda tentang pentingnya kejujuran terhadap diri sendiri, lingkungan, hingga bangsa dan negara, kita berharap, tak akan ada lagi praktik "darmaji" alias dahar lima ngaku siji (makan lima tetapi mengaku satu) dalam kehidupan sehari-hari. Jika praktik kejujuran ini mulai dapat diterapkan pada pelajar, maka diharapkan mereka akan menjadi penerus bangsa yang jujur untuk memajukan bangsa ini.


Kantin Kejujuran dapat merefleksikan tabiat para siswa yang ada di sekolah itu. Jika kantin tak bertahan lama karena bangkrut, maka hampir dipastikan para siswa di sekolah itu tak lagi berlaku jujur. Sebaliknya, kantin akan semakin maju saat semua siswa memegang tinggi asas kejujuran dalam kesehariannya.
Sekali lagi, tugas guru tidak hanya mengajarkan materi an sich, tetapi berupaya semaksimal mungkin untuk membentuk kepribadian (ahlak) peserta didik yang sempurna. Selain itu, orangtua juga perlu memberikan motivasi dan pembinaan anak-anaknya agar selalu berperilaku jujur di sekolah, di rumah, maupun di lingkungan masyarakat. Dengan adanya kerja sama yang baik antara orangtua, sekolah, pemerintah, dan masyarakat lnsya’ Allah kita akan mampu mendidik generasi muda berperilaku jujur dan berakhlak mulia sebagai modal utama untuk membangun bangsa yang berperadaban tinggi bebas dari korupsi.

Rabu, 05 November 2008

“Supercamp : Pembelaran berbasis pengalaman dan life skill”

“Supercamp : Pembelaran berbasis pengalaman dan life skill”

Abd Qohin

Supercamp dan pembelajaran

Fenomena menarik di bidang pendidikan saat ini adalah lahirnya berbagai model pendidikan yang menjadikan alam sebagai tempat dan pusat kegiatan pembelajarannya. Pembelajaran tidak lagi dilakukan di dalam kelas yang dibatasi oleh ruang dan waktu an sich, tetapi lebih fokus pada pemanfaatan alam sebagai tempat dan sumber belajar. Belajar di alam dengan alam yang telah menyediakan beragam fasilitas dan tantangan bagi peserta didik akan sangat menyenangkan. Tinggal kemampuan kita bagaimana "mengekploirasi" sumber daya alam menjadi media, sumber dan materi pembelajaran yang sangat berguna.

Dalam buku Quantum Learning Bobbi De Porter mengatakan "Dengan mengendalikan lingkungan Anda, Anda melakukan langkah efektif pertama untuk mengendalikan seluruh pengalaman belajar Anda". Bahkan sekiranya saya harus menyebutkan salah satu alasan mengapa program kami berhasil membuat orang belajar lebik baik, saya harus menyebutkan karena kami berusaha menciptakan lingkungan optimal, baik secara fisik maupun emosional.
Bobbi De Porter juga yang pertama kali mengenalkan model pendidikan Quantum secara terprogram dengan nama Super Camp yaitu sebuah program pembelajaran dan pelatihan bagi siswa agar kecerdasannya bertambah dua kali lipat dari sebelumnya. Supercamp menggabungkan Neuro Linguistik Programming (NLP), sugestologi, accelerated learning (teori pemercepatan belajar), dan beberapa metode yang diciptakan sendiri oleh Bobbi DePorter. Ia menjadikan alam sebagai tempat pembelajaran. Peserta didik dengan bebas "mengeksploirasi" apa yang mereka lihat, dengar, dan rasakan di alam. Guru menempatkan dirinya sebagai mitra peserta didik dalam berdiskusi menyelesaikan problem yang ditemukan di alam. Out put dari model pendidikan Quantum ini terbukti memiliki keunggulan kompetitif lebih baik dibandingkan out put model pendidikan konvensional yang dilakukan di dalam kelas. Melalui Super Camp peserta didik lebih leluasa memanifestasikan subyektifitasnya yang sangat jarang ditemukan dalam praktik pendidikan konvensioal dalam kelas di sekolah.


Jika di dalam kelas subyektifitas peserta didik tertekan oleh otoritas guru, maka di alam, guru dan peserta didik dapat dengan leluasa menciptakan hubungan yang lebih akrab satu sama lain. Dari hubungan yang akrab ini lebih lanjut terjadi hubungan emosional yang mendalam antara guru dengan peserta didiknya. Dalam kondisi seperti ini, subyektifitas peserta didik dengan sendirinya akan mengalir dalam diskusi dengan guru di mana telah tercipta suasana belajar yang kondusif.


Menyatunya para siswa dengan alam sebagai tempat belajar dapat memuaskan keingintahuannya (curiousity), sebab mereka secara langsung face to face berhadapan dengan sumber dan materi pembelajaran secara riil. Hal yang sangat jarang terjadi pada pembelajaran di dalam kelas. Di alam mereka akan melihat langsung bagaimana sapi merumput, mereka mendengar kicau burung, mereka juga merasakan sejuknya air, mencium harum bunga, memetik sayur dan buah yang semuanya merupakan pengalaman nyata tidak terlupakan. Mereka belajar dengan nyaman, asyik dan berlangsung dalam suasana menyenangkan, sehingga informasi terekam dengan lebih baik dalam otak para siswa. Melalui proses eksploratoris seperti di atas, para siswa telah melakukan apa yang dikenal dengan istilah global learning (belajar global), sebuah cara belajar yang begitu efektif dan alamiah bagi manusia.

Kurikulum dan Game

Kurikulum di supercamp adalah kombinasi dari berbagai unsur yang di kembangkan dari suatu falsafah belajar dapat dan harus menyenangkan. Artinya yang mendasari kurikulum ini adalah falsafah belajar efektif dan belajar menyenangkan, dengan kata lain bahwa proses belajar adalah seumur hidup yang dapat dilakukan dengan menyenangkan dan berhasil.
Kurikulum dalam supercamp setidaknya menyangkut tiga hal yaitu : ketrampilan akademis, ketrampilan hidup (life skill) dan tantangan fisik serta memadukan dengan nilai-nilai fitri agama. Dengan kombinasi itu di harapkan akan menghasilkan pribadi yang kuat secara fisik, akademik maupun secara moral. Ketiga kurikulum itu merupakan campuran yang menghasilkan perbedaan besar dalam kehidupan ribuan siswa. Karena setiap program terdiri dari gabungan para siswa dan para Pembina yang benar-benar baru, maka masing-masing merupakan pengalaman yang unik. Pelajaran dan game dalam lapangan di ajarkan secara bervariasi.

Biasanya penerapan metode yang banyak di gunakan dalam supercamp adalah penggunaan model Quantum learning. Oleh karena itu dalam menerapkan model quantum learning pada program supercamp, games dan diskusi serta lingkungan belajar harus betul-betul ditata sedemikian rupa agar membuat peserta supercamp menjadi senang mengikuti semua materi yang disampaikan. Karena pada dasarnya proses pembelajar di supercamp itu adalah usaha untuk membuat belajar menjadi menyenangkan, baik oleh pembelajar maupun terhadap pebelajar, maka semua metode yang dirancang atau pun lingkungan belajar harus ditata agar membuat pebelajar menjadi senang. Berdasarkan pemantauan penulis dalam observasi di lapangan dan didukung oleh intervieu terhadap pembelajar dan pebelajar, dalam menerapkan model quantum learning, pola komunikasi yang paling dominan dilakukan adalah pola komunikasi multi arah. Pada proses pembelajarannya, khususnya dalam games dan diskusi pembelajar saling berinteraksi dengan para pebelajar, demikian juga para pebelajar saling berinteraksi dengan sesama pebelajar.Pelaksanaan supercamp dirancang sedemikian rupa, sehingga selama pebelajar berada di lokasi supercamp selama itu pula proses pembelajaran berlangsungsBentuk-bentuk komunikasi yang banyak diterapkan pada Quantum Learning adalah bentuk komunikasi kelompok.
Menurut Yoga Kuswandono Ada tiga fase besar digunakan belajar di alam terbuka. Fase pertama dinamakan Challenge SoulBrain. Selama dua hari mereka diajak untuk berada di alam bebas (boleh di sekitar lokasi sekolah atau di luar sekolah). Mereka disadarkan sebagai bagian dari lingkungan, ajaklah untuk melihat pencemaran yang terjadi.
Mereka diharuskan dapat melakukan sesuatu (tentunya tidak harus saat itu juga) sebagai respon terhadap masalah itu. Kemudian disajikan berbagai permainan yang menantang fisik (outbond dan lainnya) tidak peduli mereka berhasil atau tidak melewati permainan demi permainan yang diberikan.
Tanamkan pada dirinya bahwa sebenarnya tidak ada yang tidak bisa dilakukan asal ada kemauan dan usaha keras walaupun hasilnya ternyata tidak sesuai dengan yang diharapkan. Tetapi pengalaman pada saat melakukannya dapat menjadi pelajaran berharga untuk digunakan di kemudian hari.
Dibuat kelompok-kelompok kecil dan diciptakan iklim kompetitif dan kerjasama. Ini berguna untuk melatih dan mengembangkan semangat bekerjasama dalam tim. Sistem evaluasi hasil kerja tim lewat diskusi kelompok.
Setelah itu evaluasi lagi dengan cara yang sama. Challenge SoulBrain ditutup dengan refleksi singkat. Berupa evaluasi dan saling membagikan kesan-kesannya selama dua hari.
Fase kedua adalah Spirituality SoulBrain. Pemulihan dari pengalaman trauma dan luka batin serta penetapan tujuan ke depan menjadi fokus utama pelatihan ini.
Ada cara-cara praktis yang sebenarnya dapat dilakukan oleh orang awam selain psikolog sehingga guru-guru pembimbing dapat mempraktikkannya dengan mudah.
Fase ketiga adalah Academic SoulBrain. Fase ini ingin memadukan semua jenis gaya belajar baik itu somatis, audio, visual, dan intelektual. Asumsi ini mengumpamakan jika kita kembali lagi pada cara belajar waktu masih balita
Manfaat Supercamp Bagi Kecerdasan Natural Anak
Banyak orangtua menjadi bingung ketika anak meminta izin untuk ikut supercamp bersama teman-temannya. Biasanya orangtua akan merasa serba salah bila harus memutuskan hal yang satu ini. Jika diizinkan, mereka takut kalau-kalau nanti terjadi sesuatu yang tidah diharapkan. Tetapi jika dilarang, anak biasanya akan marah dan merasa kecewa. Anak akan beranggapan bahwa orangtua tidak pengertian dan tidak mau memberikan kesempatan kepadanya untuk bisa bersenang-senang bersama teman.

Memberikan izin kepada anak untuk mengikuti kegiatan supercamp memang tidak mudah. Terutama bagi orangtua yang tidak biasa melepaskan anak bermalam di suatu tempat yang baru dan bersama pihak lain. Kondisi seperti ini akan cenderung membuat orangtua ingin melarang anak agar tidak jadi ikut supercamp. Sebab, membiarkan anak pergi dan ikut supercamp boleh jadi akan membuat perasaan orangtua menjadi terasa sangat tersiksa. Bayangan-bayangan negatif yang mungkin terjadi pada diri anak selama di perkemahan akan terasa sulit sekali untuk dihapuskan.

Menyikapi hal di atas, menurut dr. Maya & Wido sebagai upaya untuk menghindarkan perasaan khawatir yang berlebihan maka orangtua seyogyanya meyakinkan terlebih dahulu bahwa anak akan mengikuti acara supercamp bersama orang-orang yang dapat dipercaya dan di lokasi yang tidak membahayakan (aman). Bila semuanya sudah jelas, janganlah orangtua lupa untuk memberikan penjelasan kepada anak tentang apa saja yang harus dilakukan apabila ia mendapatkan kendala saat mengikuti kegiatan. Selain itu, pesankan kepada anak dengan cara yang bijak agar ia selalu menjaga diri dengan baik.

Selain itu penelitian menunjukkan bahwa supercamp terbukti sangat berhasil dan harus di pertimbangkan sebagai model replica. Dalam disertasi Doktoralnya, Jeanette vos Groenendel (1991) mengatakan banyak manfaat dari supercamp. Dari hasil penelitiannya di peroleh data manfaat dari supercamp sebagai berikut :
 68% meningkatkan motivasi
 73% meningkatkan nilai pelajaran
 81% memperbesar keyakinan diri
 84% meningkatkan kehormatan diri
 96% mempertahankan sikap positif
 98% melanjutkan memanfaatkan ketrampilan hidup

Sejatinya, banyak nilai positif yang dapat diambil oleh anak melalui supercamp ini. Beberapa di antaranya adalah mengajarkan anak bagaimana bertahan hidup, belajar bekerja sama dengan orang lain bila ia membutuhkan bantuan,menanamkan sikap peduli lingkungan, belajar bagaimana cara membuat tempat untuk beristirahat yang nyaman dan aman dan yang tak kalah penting adalah memberikan pengalaman yang berharga dengan mencari problem solving dan pembelajaran life skill. Selain itu, supercamp juga baik untuk merangsang kecerdasan natural (naturalist intelligence) anak. Sebab, membiarkan anak berada di ruang terbuka dan alam bebas dapat mendorong anak mengetahui banyak informasi dan pengetahuan tentang bentuk-bentuk alam yang ada di sekitarnya