Senin, 05 November 2012

Struktur dan budaya Arab Jahiliyah



“Struktur dan Budaya Arab Jahiliah;
 Sebuah Kajian Historis”
Oleh Abd Qohin

A.  Prolog
Pada hakekatnya sebuah peradaban manusia tidak hadir begitu saja dalam ruang kehidupan, ia senantiasa terbentuk oleh proses perjuangan yang melatari dalam rentang waktu yang tidak sebentar. Tidak hanya itu, peradaban baru sengaja hadir untuk menggantikan peradaban lama di masa silam. Proses pergantian peradaban tersebut bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan karena pondasi bangunan dari peradaban lama seperti struktur sosial, pola interaksi, nilai, norma, adat istiadat dan tradisi telah berakar kuat pada setiap generasi dalam lipatan masa yang tidak terhitung lamanya. Untuk mengubahnya, yang diperlukan bukan saja agen perubahan yang tangguh namun konsep perubahan sosial yang diusung harus pula memiliki nilai tawar yang lebih menjanjikan di masa depan.[1]
Begitu pula dengan peradaban masyarakat padang pasir dikala Islam masih belum hadir dalam ruang kehidupan mereka. Sebagai sebuah entitas kebudayaan masyarakat dunia, jazirah Arab memiliki peradaban khas dibanding dengan komunitas masyarakat pada umumnya. Sebuah peradaban yang telah berlangsung dalam rentang waktu ratusan tahun dan dilestarikan keberadaannya secara turun temurun dalam proses pewarisan tradisi. Ini mengindikasikan bahwa bangunan peradaban yang terbentuk telah mengkristal dan terabadikan hingga dalam bentuknya yang paling sederhana.
Dalam konteks Sejarah, Sejarah Peradaban Islam dimulai dari Masa Rasul lalu diteruskan oleh Khulafau Rasyidin dan berlanjut sampai saat ini.  Sejarah sangatlah penting untuk keehidupan manusian dan pembelajaran manusia. Karena dengan sejarah kita bisa lebih banyak mendapat pelajaran berharga. Sejarah umat Islam saat ini tentunya tidak bisa terlepas dari zaman sebelum kedatangan Islam. Dengan kita mengetahui sejarah masyarakat Arab sebelum Islam, maka kita akan mengetahui perbandingan masyarakatnya setelah turunnya agama Islam. Kita  memilih bangsa Arab karena tentunya agama Islam muncul pertama kalii di Jazirah Arab. Sehingga tidak mungkin bisa terlepas antara sejarah pra-Islam dan sesudah Islam. Makalah ini secara khusus ingin mencoba membahas persoalan mengenai  struktur dan budaya masyarakat Arab Jahiliah atau sebelum datangnya Islam di Jazirah Arab. 
B.  Redifinisi Makna Jahiliah
Pada umumnya persepsi kita tentang Sebutan Arab jahiliyah adalah  sebagai gambaran terhadap masyarakat yang jauh dari etika kemanusiaan. Zaman jahiliyah juga disebut sebagai zaman kebodohan dan keterbelakangan. Sementara orang lainnya lagi menyebut zaman itu sebagai zaman kegelapan, karena masyarakatnya tidak menghargai nilai-nilai luhur. Benarkah demikian? Marilah kita telusuri akar kata Jahiliyah.
Orang Arab menggunakan kata “الجهل “(Jahil) dan pecah-pecahannya untuk dua pengertian pertama “الجهل “ (Jahil) lawan dari kata العلم  (Al ilmu) yang artinya mengetahui. Ini menyangkut keadaan akal. Kedua, lawan kata dari الحلم(Al hilmu) yang artinya sopan santun. Tapi mereka belum pernah mengggunakan kata الجاهلية (Al Jahiliyah) dalam syair dan percakapan mereka. Kata ini pertama kali digunakan dalam Al Qur’an untuk menggambarkan keadaan orang arab sebelum Islam. [2]
Lafadz Al Jahiliyah (الجاهلية) yang sinonimnya la yaklamuun (لايعلمون) yang artinya tidak mengetahui yang terdapat dalam Al Qur’an artinya tidak lepas dari dua pengertian istilah di atas yaitu tidak mengenal hakekat Tuhan atau tidak mengikuti apa yang diturunkan Allah. Dengan demikian jelaskah makna dari Al Jahiliyah tersebut. Jahiliyah, apakah dilakukan bangsa Arab atau bangsa lainnya dalam sejarah, sama saja![3]
Jahiliyah tidak terbatas menyembah patung, mengubur anak perempuan hidup-hidup, minuman keras, main judi dan peperangan atau perampokan saja. Semua itu hanyalah bentuk luar dari jahiliah di jazirah Arabia (pra Arab) sebelum kedatangan agama Islam. Adapun Jahiliyah itu sendiri merupakan suatu esensi yang dari sini muncul berbagai bentuk luar tadi. mungkin saja bentuk luar ini berbeda menurut tempat dan waktu sebagaimana yang kita saksikan dalam sejarah. Namun yang esensial tetaplah esensial tidak terpengaruh oleh kondisi apapun termasuk tempat dan waktu. Dia tetap tidak mengenal hakekat Tuhan, dan tidak mengikuti apa yang diturunkan Allah. Yang dimaksud esensi adalah keadaan akal yang tidak mengakui yang hak. Juga keadaan jiwa yang menolak mengikuti petunjuk Allah.
Menurut Yusuf Ali, jaman jahiliah adalah jaman kesukuan, permusuhan serta memperbesar perbedaan antar manusia. Sementara itu pengertian kebodohan hanyalah salah satu arti skunder, dimana orang bermental jahiliah memang kurang dalam menggunakan nalar logis berdasarkan ilmu untuk menyelesaikan persoalan. Biasanya penyelesaian persoalan diukur berdasarkan asumsi kesukuan, kekuatan, harta, serta derajat (Nasabiah).[4]
Jadi inti dari konsep jahiliah adalah pelanggaran, penghianatan, atau penyelewengan atas amanat Tuhan dan kemanusiaan. Dengan hal itulah, secara umum manusia yang suka merusak amanah Allah sering di sebut dzaluman jahula (tindakan dzalim dan aniaya yang amat bodoh). Di samping itu konsep Jahiliyah juga lebih menekankan pada sifat suatu sistem budaya atau peradaban bukan hanya menunjuk abad tertentu (kegelapan dan kebodohan) sebelum Islam.
Adapun ciri yang melekat pada masa  pra Islam (Jahiliah) menurut Muhammad Qutub meliputi sombong, angkuh, dan tidak mau diremehkan sudah merupakan ciri kehidupan arab dijaman Jahiliah. Kadang-kadang masalah sepele bisa membuatnya menghunuskan pedang tanpa peduli dia bisa mati karena berkelahi. Mati baginya lebih baik dari pada diam tidak membalas. Menurutnya diam sama artinya dengan membiarkan orang mencoreng muka dan kabilahnya dengan arang, suatu aib yang bisa jadi bahan pergunjingan orang seumur hidupnya.[5] Sedangkan menurut Mohd Hamid menyatakan bahwa pada masa ini penyembahan berhala, semangat kabilah yang kuat, diskriminasi gender, serta keterbatasan informasi sosial merupakan bagian ciri-ciri masyarakat Arab jahiliyah.[6]
Menurut sayyid Qutub pada masyarakat jahiliah terdapat beberapa sifat dan ciri masyarakat jahiliyah yaitu mereka memakan dan merampas hak dan harta anak yatim, anak kecil, wanita dan orang lemah dijadikan objek yang selalu di dzalimi hingga tidak diserahkan kepada mereka bagian dari warisannya, mereka meletakkan derajat kaum wanita tidak terhormat dan memperlakukan dengan kasar dan penuh kedzaliman dalam semua putaran kehidupannya juga hak warisan mereka dihalang-halangi, masyarakat yang goyah sendi-sendi kekeluargaannya di sebabkan rendahnya posisi wanita di dalam keluarga, mereka suka memakan harta orang lain dengan batil dengan cara transaksi ribawi, hak-hak dirampas, amanah dinodai, keadilan tidak ditegakkan sehingga tidak ada orang yang mendapatkan keadilan kecuali mereka yang kuat. Di dalam masyarakat tidaklah dinafkahkan harta kecuali karena ingin dipuji orang lain dan untuk membangga-banggakan.[7]

C.  Struktur Masyarakat Arab Jahiliah
Keseimbangan dalam semua aspek kehidupan adalah idealisme Islam. Islam datang di tengah situasi dan kondisi sosial yang benar-benar bobrok hingga disebut zaman jahiliyah. Strata sosial dalam masyarakat Arab jahiliyah sangat timpang. Perbudakan merajalela, kaum wanita ternista, moralitas berada di titik nadir, dan yang terjadi adalah hukum rimba (homo homini lupus) artinya siapa yang kuat dialah yang menguasai.
Masyarakat Arab Pra Islam merupakan masyarakat yang didominasi kaum laki-laki. Kaum wanita tidak memiliki stasus apapun kecuali sebagai objek seks (pemuas nafsu birahi mereka). Jumlah wanita yang boleh dinikahi seorang lelaki tidak terbatas jumlahnya. Bila seorang laki-laki meninggal dunia maka putranya dapat mewarisi seluruh istri yang ditinggalkannya, kecuali ibu kandungnya. [8]
Masyarakat Arab ketika itu  terdiri atas kabilah-kabilah atau suku-suku yang selalu berebut  pengaruh atau kekuasaan dan sumber-sumber ekonomi. Peperangan antar suku dianggap hal biasa. Manusia dijadikan komuditas yang bisa dijual belikan. Bahkan para  isteri dianggap sebagai harta kekayaan yang kemudian  tatkala suaminya meninggal boleh diwariskan kepada anak-anaknya.
Sebelum Islam, masyarakat jazirah Arab terbagi menjadi ‘Arab dan A’rab. ‘Arab adalah penduduk yang bertempat tinggal di kota yang merupakan pusat peradaban, mereka disebut dengan Ahl al-Madar (penduduk kota), yakni pemilik rumah bangunan. Sedangkan A’rab merupakan penduduk yang bertempat tinggal di desa-desa dan disebut dengan Ahl al-Wabar (penduduk desa) yakni mereka yang hidup di dalam tenda-tenda. Orang Arab desa atau orang-orang Baduwi adalah suku-suku yang menempati tenda-tenda dan hidupnya berpindah-pindah atau bersifat nomaden[9]
Meski disebut sebagai kota Negara (city-state), Mekah tetap merupakan masyarakat kesukuan hingga akhir penaklukannya pada masa Nabi Muhammad. Dalam masyarakat arab terdapat organisasi clan (kabilah) sebagai intinya dan anggota dari satu clan merupakan geneologi (pertalian darah). Sistem kependudukan masyarakat dibangun menurut kabilah dimana anak-anak dari satu suku dianggap saudara yang memiliki pertalian hubungan darah. Seorang Arab tidak akan dapat memahami pemikiran negara kebangsaan melainkan dalam konteks sistem kesukuan (kabilah).[10]
Menurut Ibnu Hisyam "Adalah hubungan negara kebangsaan yang mengikat keluarga ke dalam kesukuan,sebuah negara yang didasarkan pada hubungan darah daging seperti halnya negara kebangsaan yang dibangun di atas garis keturunan. Adalah hubungan kekeluargaan yang mengikat semua individu ke dalam negara dan kesatuan. Hal ini dianggap sebagai agama kebangsaan dan hukum perundangan-undangan yang telah mereka sepakati."[11]
Suku merupakan kesatuan masyarakat artinya, suku merupakan tempat munculnya (sumber) tatanan nilai-nilai kemasyarakatan yang berkembang dalam masyarakat tersebut, bukan keluarga. Setiap individu merasakan adanya hubungan persahabatan, bukan karena kekeluargaannya saja, melainkan karena kesukuannya. Perasaan inilah yang akan membelanya saat mereka mendapat serangan, bahkan membela mati-matian. Di jalan ini, mati merupakan kemuliaan yang tinggi sedangkan lari dari peperangan merupakan aib. Perasaan seperti ini juga senantiasa menyertai dalam beberapa peperangan yang dilakukan dengan suku-suku lain.
Pada masing-masing suku baik Arab ataupun A’rab, terdapat kelas sosial yang dibangun atas dasar kepemilikan materi sehingga muncullah kelas orang kaya dan miskin. Diantara dua kelas ini terjadi jurang pemisah yang sangat tajam sehingga menimbulkan jarak dan kerawanan sosial. Salah satu bentuknya adalah kaum bangsawan menindas rakyat jelata dengan sesuka hati dan segala cara. Realitas sosial seperti ini diabadikan oleh para penyair padang pasir yang menyatakan bahwa kendatipun seseorang memiliki nasab mulia dan kebaikan akan tampak hina dan rendah dikala dalam kondisi fakir.[12] Hal ini disebabkan karena ukuran menilai seseorang dalam masyarakat dengan kepemilikan harta benda. Bahkan bagi mereka yang bergelimang harta dapat melakukan apapun, termasuk membeli manusia (perbudakan). Sistem perbudakan yang berlangsung di masyarakat jazirah Arab memiliki titik korelasi dengan tradisi bangsa-bangsa kuat seperti Yunani yang terkenal dengan perbudakannya pada saat itu. Selain perbudakan, struktur masyarakat menempatkan kaum perempuan pada posisi subordinat, bahkan eksistensi seorang perempuan tidak dianggap sebagai manusia. Perempuan tidak memiliki sektor publik dimana dia bisa mengaktualisasikan diri bahkan kehadiran perempuan sering kali dianggap sebagai aib dan beban hidup di masa depan sehingga untuk mengantisipasinya, bayi perempuan dikubur hidup-hidup ketika baru dilahirkan.
Setiap anggota merupakan aset seluruh kabilah di mana munculnya se­orang penyair kenamaan misalnya, ahli perang pemberani, orang terkenal dalam kebaikan dalam satu kabilah, akan membuat kehormatan dan nama baik seluruh garis keturunannya. Di antara tugas utama tiap pendukung kesukuan adalah mempertahankan bukan saja terhadap anggotanya melainkan setiap mereka yang secara sementara seperti tamu-tamu yang hadir di bawah bendera kabilah. Memberi proteksi pada mereka merupakan suatu kehormatan yang dicapai. Oleh karena itu, kota Mekah sebagai kota kenegaraan selalu siap menyambut setiap pendatang menghadiri perayaan, melakukan ibadah haji, atau pun sekadar lewat dengan rombongan berunta. Memberi pelayanan permintaan ini memerlukan keamanan dan fasilitas yang memadai, dan, oleh karena itu institusi kemudian dibangun di kota Mekah.
Pada masyarakat Arab Pra Islam, ikatan kekeluargaan dan kesukuaannya sangat kuat. Saking kuatnya ikatan kekeluargaan dan kekerabatan suku, bagi mereka tidak ada musibah yang lebih hebat dan menyakitkan selain putus keanggotaan dengan suku mereka. Seseorang yang tidak memiliki anggota suku manapun, disebuah negeri  yang menganggap orang asing sebagai musuh, mirip orang yang tidak memiliki tanah pada masa feodalisme inggris. Meski pada dasarnya ditetapkan oleh sebab kelahiran (nasab), hubungan persaudaraan klan bisa juga didapatkan oleh seseorang dengan cara ikut makan atau minum bersama beberapa tetes darah dari klan tertentu. [13]
Pada masa ini orang arab memandang dirinya merupakan bangsa terbaik (khair al umam). Kemurnian darah, kefasihan bahasa, keindahan puisi, kekuatan pedang dan kudanya, dan yang paling penting kemuliaan keturunan (nasab) merupakan kebanggaaan utama orang arab.
D.  Budaya Masyarakat Arab Jahiliah
Sebenarnya sejarah bangsa arab didirikan di atas fondasi ajaran yang hanif yang dulu di bawa Nabi Ibrahim AS. Beliaulah bapak para Nabi yang membuat seluruh sendi kehidupan bangsa arab menyatu dalam ajaran Tauhid di bawah terang cahaya hidayah Allah. Beberapa waktu kemudian bangsa arab berlahan-lahan menjauhi kebenaran ajaran itu. Seiring dengan berlalunya waktu kehidupan mereka pun mulai tenggelam dalam kemusyrikan dan kebodohan yang membutakan.[14]
Pada dasarnya kultur yang berkembang pada masyarakat Arab pada umumnya adalah kultur klenik yang mempercayai takhayul dan khurafat. Sebagai contoh mereka melarang keras membunuh ular karena apabila mereka mati hantu ular itu akan datang membalas, apabila orang telah mati, maka rohnya akan menjadi seekor burung yang di sebut Hammah, mereka biasa memakai cincin dari besi atau tembaga dengan kepercayaan akan menambah kekuatan dan masih banyak lainnya.[15] Fakta arab pra islam memang berbeda dengan Yunani yang di kenal dengan kecenderungan pada Filsafat. Jika orang-orang Yunani melihat persoalan secara komprehensif dengan logika, tetapi orang-orang Arab pra Islam cenderung melihat persoalan secara parsial.[16] Di samping itu, memang harus diakui bahwa Arab bukanlah masyarakat yang dikenal Ilmu pengetahuan dan filsafat. Justru Masyarakat Arab di kenal karena bahasa, puisi, amsal dan kisah. Ketiganya merupakan modal kebudayaan dan rasionalitas yang memungkinkan masyarakat  mempunyai kehidupannya sendiri. Ia menjadi ruh dari masyarakat arab untuk hidup dalam sebuah system sebagai masyarakat lainnya.
Dalam hal pendidikan, di kalangan orang-orang arab jumlah individu yang dapat menulis dan membaca masih terbilang sangat sedikit. Ini lantaran sebagian dari mereka tidak berhasrat untuk mepelajarinya. Beberapa sejarawan berpendapat nyaris secara keseluruhan budaya yang berkembang pada masa itu adalah budaya lisan. Dalam hal ini orang Yahudi dan Nasrani berperan sebagai para pemelihara kekayaan pengetahuan yang dimiliki orang-orang arab. Prestasi Intelektual orang-orang Arab pra Islam adalah syair-syair mereka. Kebanggaan yang paling besar baik sebelum dan sesudah kedatangan Islam adalah kefasihan (berbicara) dan syair-syair mereka.[17]
Sebagai komunitas yang awam dalam budaya baca tulis maka bangsa Arab menjadikan budaya lisan sebagai media pelestarian tradisi yang utama. Dan syair merupakan ungkapan pikiran, pengetahuan dan pengalaman hidup. Hampir semua pengungkapan itu melalui bentuk syair, dan yang lainnya berupa natsr (prosa), amtsal (perumpamaan), khitabah (pidato), dan lainnya. Kegiatan membuat dan membacakan syair-syair di depan umum dilakukan di suatu pasar yang disebut Ukadz. Diantara syair-syair yang terpilih kemudian digantungkan di dinding Ka’bah sebagai bentuk apresiasi yang biasa disebut mu’allaqat [18]
Bahasa merupakan faktor yang penting dalam pembentukan kebudayaan orang-orang Makah pra Islam. Ia menjadi salah satu kekuatan, karena  dengan bahasa mereka mampu menjalin kerja sama dengan masyarakat Arab lainnya di luar Makkah. Bahasa telah menjadikan Makkah sebagai masyarakat yang mampu berinteraksi dengan masyarakat lainnya.  Inilah yang di sebut Ibnu khaldun dalam Al Mukaddimah sebagai bagian dari peradaban.[19] Dan bangsa arab sejak jaman dahulu  merupakan bangsa terkenal karena mempunyai bahasa dan kesusatraan tinggi. Pada masa jahiliyah keindahan dan ketajaman bahasa dan kesusastraan mereka sangat menarik hati orang yang sungguh-sungguh belum tahu dan sudah tahu bahasa arab. Di samping itu syair merupakan salah satu kekuatan tersendiri, karena hal tersebut sebagai cara untuk mengekpresikan perasaan orang-orang Arab. Keindahan sastra, sajak dan syair mereka dalam menggambarkan khayalan, melukiskan keindahan alam, keadaan langit, bulan, dam bintang-bintang, air dan lain sebagainya. Ketrampilan mereka jarang dapat ditiru oleh bangsa-bangsa lain didunia, bagaimanapun tinggi bahasa dan kesusasteraannya.[20]
Kumpulan syair disebut dengan puisi (diwan) yang merupakan medium pengungkapan yang paling dikenal oleh orang Arab dan merupakan produksi kebahasaan pertama. Kemudian disusul oleh pidato (khitabah) sebagai budaya lisan kedua. Baik puisi (penyair) dan khitabah (khotib) memiliki fungsi social yang cukup berpengaruh di komunitas masyarakat Arab. Puisi bisa dilakukan oleh siapa saja yang memiliki kemampuan dalam olah kata, namun khotib mensyaratkan disampaikan oleh pemimpin di kalangan kaumnya dan menjadi panutan akhlak dan tingkah lakunya. Karena keberadaan khotib berfungsi sebagai mediator diantara kaum, raja dan kepala [21]
Sebutan masyarakat jahiliah sebagai zaman kebodohan sebenarnya kurang tepat.  Zaman jahiliah bisa dikatakan sebagai zaman dimana orang-orang Arab Jahiliyah dahulu memiliki sifat pembangkang kepada Tuhannya. Mereka memiliki akal pikiran namun tidak dipergunakan. Mereka bertingkah diluar aturan Tuhan. Didukung dengan lingkungan padang pasir, dapat memengaruhi pembentukan mental dan karakter yang keras. Kehancuran dan keruntuhan nilai hidup insan menyeruak daam tingkah laku mereka yang sangat bejat, tak bermoral, dan bobrok. Diantara kerusakan moral bangsa arab sebelum Islam datang keji antara lain: [22]
Pertama, Meminum arak. Meminum arak adalah salah satu adat kebiasaan bangsa arab saat iru.  Hampir rata-rata diantara mereka adalah peminum. Diantara salah satu cara meminum arak adalah dengan minum bersama-sama dalam suatu pertemuan. Dalam pada itu juga dilakukan perjudian. Jadi meminum sambil berjudi. Demikianlah sampai beberapa puluh unta di potong dari taruhan judinya. Apabila setelah berjudi, unta-unta yang telah di potong (sembelih) dagingnya dibagi-bagikan kepada fakir miskin dan juga dimakan bersama-sama sambil dihibur perempuan-perempuan bernyanyi. 
Kedua, Perjudian. Judi atau bermain judi termasuk salah satu permainan yang umumnya sangat di sukai oleh bangsa arab sebelum Islam datang. Cara mereka berjudi yang biasa mereka mainkan bermacam-macam. Misalkan dengan bertaruh sesuatu atau dengan cara berlotre unta diantara beberapa orang. [23]
Ketiga, Pelacuran. Pelacuran atau perzinaan antara laki-laki dan perempuan pada masa sebelum datangnya Islam merupakan perbuatan biasa dan tidak menjadikan rendahnya derajat orang yang mengerjakan. Pelacuran dengan terang-terangan tidak diperbolehkan, tetapi orang boleh mengerjakan dengan cara tertutup. Para perempuan pelacur dengan terang-terangan membuka kedai pelacuran dan untuk tandanya mereka memasang bendera di depan rumah masing-masing. Beberapa laki-laki boleh mendatangi satu perempuan dan mencampuri seseorang seperti istri bersama. Dan apabila perempuan itu hamil, maka mereka dipanggil oleh perempuan itu dan kepada lelaki mana anak diserahkan. Lelaki itu harus menerima dan mau menjadi bapaknya[24]
Keempat, Pencurian dan perampokan. Kekejaman yang dilakukan bangsa arab pada masa jahiliah merupakan perbuatan yang biasa. Barang yang dirampok itu bukan hanya harta saja tetapi segala yang didapat termasuk orang yang dirampok. Mereka dijadikan budak yang bisa dijual belikan .[25]
Kelima, Kekajaman. Kekejaman bangsa arab pada masa itu dapatlah dikatakan sampai melewati batas perikemanusiaan. Mereka memandang rendah derajat wanita dan membunuh bayi perempuan yang baru lahir. Wanita diperjual belikan untuk dijadikan budak dan menjadi pemuas nafsu laki-laki. Bahkan ada hartawan yang memiliki banyak budak menjadikan hambanya sebagai alat pelacuran, sehingga pendapatan mereka harus diberikan pada tuannya. Mereka juga membunuh anak perempuan yang baru lahir ini dikarenakan mereka takut kelak anaknya dirampas menjadi budak, sehingga mereka dapat menurunkan kehormatan keluarga dan kabilahnya. Karena wanita ini dianggap tidak begitu cakap dan efektif untuk mengikuti perang. Namun tidak seluruh bangsa Arab memandang rendah wanita, ada diantaranya yang menghormati martabat kaum wanita, seperti disuruh mencari kayu bakar, memerah susu, dan lain-lain. 
Keenam, Kekotoran dalam urusan makan dan minum. Dalam urusan makan dan minum dapat dikatakan tidak ada yang dilarang karena tidak ada yang dianggap kotor dan jijik. Segala macam binatang boleh dimakan. Bangkaipun boleh dimakan. Binatang hidup disayat lalu dibakar dan di makan. Binatang mati karena di pukulpun mereka makan. Dan darah dari binatang itupun diminum. Dan kadang dibekukan kemudian dimakan.[26]
Dan ketujuh, Tidak mempunyai kesopanan. Pada masa ini mereka tidak mempunyai kesopanan. Misalkan saat melaksanakan thawaf, mengelilingi Ka’bah pada musim haji lelaki ataupun perempuan telanjang. Mandi dengan tidak menutupi kemaluan ditempat umum sudah menjadi adat kebiasaan. Demikian juga pada saat buang air kecil. Jadi soal aurat baik laki-laki maupun perempuan bukan menjadi soal yang penting.[27]
E.  Epilog
Kehidupan masyarakat jahiliyyah ini merupakan bagian dari sejarah Islam. Masyarakat Arab Pra Islam (Jahiliah), di jazirah Arab sebelumnya  telah tinggal masyarakat dengan suatu pola dan struktur ssosial dan kebudayaan tertentu. Mereka hidup dalam suatu kabilah-kabilah. Mereka disebut masyarakat Jahiliyah. Sebutan itu ditujukan kepada mereka karena karakter dan tabiat mereka yang keji, dan membangkang kepada Tuhan. Mereka senang menyembah berhala dan melakukan maksiat serta membunuh. Di satu sisi, mereka juga memiliki budaya yang tinggi dalam kesusastraan, syair. 













Daftar Pustaka
Al buthi, 2009, Fikih Sirah, ; Hikmah tersirat  dalam lintas sejarah Rasulullah, terjemah, Jakarta; PT Hikmah,
Al A’zami ,M.Mustofa, , Sejarah Teks Al Qur’an;  Dari wahyu sampai Kompilasinya, terjemah. Jakarta; Gema Insani Press
Faisol ,Achmad, 2010  Menggagas Perubahan Sosial Profetik,  Jurnal Salam UMM, Vol 13, No 02 dalam ejournal.umm.ac.id
Hamid, Mohd Liki, Pengajian Tamaddun Islam, Kuala Lumpur; PTS Profesional
Hitti ,Philip K, 2006, History of the Arabs, Jakarta; PT Serambi ilmu semesta
Karim, Abdul Khalik, 2002, Hegemoni Quraisy; Agama, Budaya, Kekuasaan. Terj M. Faisol Fatawi Yogyakarta: LKiS.
Khalil, Munawar, 2001,  Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad SAW Jilid I,  Jakarta; Gema Insani Press
Misrawi , Zuhairi, 2009, Mekkah; Kota Suci, Kekuasaan dan Teladan Ibrahim,  Jakarta; PT Kompas,
Nurhakim, Noh. 2003. Sejarah Peradaban Islam. Malang: UMM Press
Qutb,  Muhammad, 1995,Perlukah Menulis Ulang Sejarah Islam, Jakarta; Gema Insani Press
Quthb, Sayyid, 2001,Tafsir fi dhilalil Qur’an jilid 2, Jakarta; Gema Insani Press
Razwi ,Sayyid Ali Asgher, Muhammad Rasululullah SAW;  Sejarah lengkap kehidupan dan perjuangan Nabi Muhammad menurut sejarawan Timur dan barat, terj Jakarta; Pustaka Zahra
Solikhin , Muhammad,2008,Hadirkan Alloh di Hatimu, Solo; Tiga Serangkai


[1] Achmad Faisol, 2010, Menggagas Perubahan Sosial Profetik,  Jurnal Salam UMM, Vol 13, No 02  dalam ejournal.umm.ac.id
[2] Muhammad Qutb, 1995,Perlukah Menulis Ulang Sejarah Islam, Jakarta; Gema Insani Press, hal 53
[3] Ibid hal 57
[4] Muhammad Solikhin,2008,Hadirkan Alloh di Hatimu, Solo; Tiga Serangkai, hal 80
[5] Muhammad Quthb, ibid hal 133
[6] Mohd Liki Hamid, Pengajian Tamaddun Islam, Kuala Lumpur; PTS Profesional, hal 20
[7] Sayyid Quthb, 2001,Tafsir fi dhilalil Qur’an jilid 2, Jakarta; Gema Insani Press, Hal 259
[8] Sayyid Ali Asgher Razwi, Muhammad Rasululullah SAW;  Sejarah lengkap kehidupan dan perjuangan Nabi Muhammad menurut sejarawan Timur dan barat, terj Jakarta; Pustaka Zahra, hal 29
[9] Akhmad Faisol, ibid
[10] M.Mustofa Al A’zami, Sejarah Teks Al Qur’an;  Dari wahyu sampai Kompilasinya, terjemah. Jakarta; Gema Insani Press,  hal 23
[11] Ibid
[12] Akhmad Faisol, ibid
[13]Philip K Hitti, 2006, History of the Arabs, Jakarta; PT Serambi ilmu semesta, hal 33
[14] Al buthi, 2009, Fikih Sirah, ; Hikmah tersirat  dalam lintas sejarah Rasulullah, terjemah, Jakarta; PT Hikmah, Hal 36-37
[15] Munawar Khalil, 2001,  Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad SAW Jilid I,  Jakarta; Gema Insani Press, hal 25
[16] Zuhairi Misrawi, 2009, Mekkah; Kota Suci, Kekuasaan dan Teladan Ibrahim,  Jakarta; PT Kompas, hal 116
[17] Sayyid Ali Asgher Razwi,ibid hal 32
[18] Nurhakim, Noh. 2003. Sejarah Peradaban Islam. Malang: UMM Pres. Hal 17-18
[19] Ibid, hal 167
[20] Munawar Khalil, 2001,  ibdid, hal 122
[21] Karim, Abdul Khalik, 2002, Hegemoni Quraisy; Agama, Budaya, Kekuasaan. Terj M. Faisol Fatawi Yogyakarta: LKiS. Hal 329-331 Dalam Achmad Faisol.
[22] Munawar Khalil, 2001,  ibid, hal 27
[23] Sayyid Ali Asgher Razwi, Ibid hal 29
[24] Ibid hal 28
[25] Ibid hal 29
[26] Ibid hal 30
[27] Ibid 

Tidak ada komentar: