“Struktur dan Budaya Arab Jahiliah;
Sebuah Kajian
Historis”
Oleh Abd Qohin
A.
Prolog
Pada hakekatnya sebuah peradaban manusia tidak hadir
begitu saja dalam ruang kehidupan, ia senantiasa terbentuk oleh proses
perjuangan yang melatari dalam rentang waktu yang tidak sebentar. Tidak hanya
itu, peradaban baru sengaja hadir untuk menggantikan peradaban lama di masa
silam. Proses pergantian peradaban tersebut bukanlah hal yang mudah untuk
dilakukan karena pondasi bangunan dari peradaban lama seperti struktur sosial,
pola interaksi, nilai, norma, adat istiadat dan tradisi telah berakar kuat pada
setiap generasi dalam lipatan masa yang tidak terhitung lamanya. Untuk
mengubahnya, yang diperlukan bukan saja agen perubahan yang tangguh namun
konsep perubahan sosial yang diusung harus pula memiliki nilai tawar yang lebih
menjanjikan di masa depan.[1]
Begitu pula dengan peradaban masyarakat padang pasir
dikala Islam masih belum hadir dalam ruang kehidupan mereka. Sebagai sebuah
entitas kebudayaan masyarakat dunia, jazirah Arab memiliki peradaban khas
dibanding dengan komunitas masyarakat pada umumnya. Sebuah peradaban yang telah
berlangsung dalam rentang waktu ratusan tahun dan dilestarikan keberadaannya
secara turun temurun dalam proses pewarisan tradisi. Ini mengindikasikan bahwa
bangunan peradaban yang terbentuk telah mengkristal dan terabadikan hingga
dalam bentuknya yang paling sederhana.
Dalam konteks Sejarah, Sejarah Peradaban Islam dimulai dari Masa
Rasul lalu diteruskan oleh Khulafau Rasyidin dan berlanjut sampai saat
ini. Sejarah sangatlah penting untuk keehidupan manusian dan
pembelajaran manusia. Karena dengan sejarah kita bisa lebih banyak
mendapat pelajaran berharga. Sejarah umat Islam saat ini tentunya tidak
bisa terlepas dari zaman sebelum kedatangan Islam. Dengan kita mengetahui
sejarah masyarakat Arab sebelum Islam, maka kita akan mengetahui perbandingan
masyarakatnya setelah turunnya agama Islam. Kita memilih bangsa Arab karena tentunya agama
Islam muncul pertama kalii di Jazirah Arab. Sehingga tidak mungkin bisa
terlepas antara sejarah pra-Islam dan sesudah Islam. Makalah ini secara
khusus ingin mencoba membahas persoalan mengenai struktur dan budaya masyarakat Arab Jahiliah
atau sebelum datangnya Islam di Jazirah Arab.
B. Redifinisi
Makna Jahiliah
Pada umumnya persepsi
kita tentang Sebutan Arab jahiliyah adalah sebagai gambaran terhadap masyarakat
yang jauh dari etika kemanusiaan. Zaman jahiliyah juga disebut sebagai zaman
kebodohan dan keterbelakangan. Sementara orang lainnya lagi menyebut zaman itu
sebagai zaman kegelapan, karena masyarakatnya tidak menghargai nilai-nilai
luhur. Benarkah demikian? Marilah kita telusuri akar kata Jahiliyah.
Orang Arab menggunakan
kata “الجهل “(Jahil) dan pecah-pecahannya untuk dua pengertian
pertama “الجهل “ (Jahil) lawan dari kata العلم (Al ilmu) yang
artinya mengetahui. Ini menyangkut keadaan akal. Kedua, lawan kata dari “ الحلم “(Al hilmu) yang
artinya sopan santun. Tapi mereka belum pernah mengggunakan kata الجاهلية (Al
Jahiliyah) dalam syair dan percakapan mereka. Kata ini pertama kali digunakan
dalam Al Qur’an untuk menggambarkan keadaan orang arab sebelum Islam. [2]
Lafadz Al Jahiliyah (الجاهلية) yang sinonimnya la yaklamuun (لايعلمون) yang artinya tidak
mengetahui yang terdapat dalam Al Qur’an artinya tidak lepas dari dua
pengertian istilah di atas yaitu tidak mengenal hakekat Tuhan atau tidak
mengikuti apa yang diturunkan Allah. Dengan demikian jelaskah makna dari Al
Jahiliyah tersebut. Jahiliyah, apakah dilakukan bangsa Arab atau bangsa lainnya
dalam sejarah, sama saja![3]
Jahiliyah tidak
terbatas menyembah patung, mengubur anak perempuan hidup-hidup, minuman keras,
main judi dan peperangan atau perampokan saja. Semua itu hanyalah bentuk luar
dari jahiliah di jazirah Arabia (pra Arab) sebelum kedatangan agama Islam.
Adapun Jahiliyah itu sendiri merupakan suatu esensi yang dari sini muncul
berbagai bentuk luar tadi. mungkin saja bentuk luar ini berbeda menurut tempat
dan waktu sebagaimana yang kita saksikan dalam sejarah. Namun yang esensial
tetaplah esensial tidak terpengaruh oleh kondisi apapun termasuk tempat dan
waktu. Dia tetap tidak mengenal hakekat Tuhan, dan tidak mengikuti apa yang
diturunkan Allah. Yang dimaksud esensi adalah keadaan akal yang tidak mengakui
yang hak. Juga keadaan jiwa yang menolak mengikuti petunjuk Allah.
Menurut Yusuf Ali,
jaman jahiliah adalah jaman kesukuan, permusuhan serta memperbesar perbedaan
antar manusia. Sementara itu pengertian kebodohan hanyalah salah satu arti
skunder, dimana orang bermental jahiliah memang kurang dalam menggunakan nalar
logis berdasarkan ilmu untuk menyelesaikan persoalan. Biasanya penyelesaian
persoalan diukur berdasarkan asumsi kesukuan, kekuatan, harta, serta derajat (Nasabiah).[4]
Jadi inti dari konsep
jahiliah adalah pelanggaran, penghianatan, atau penyelewengan atas amanat Tuhan
dan kemanusiaan. Dengan hal itulah, secara umum manusia yang suka merusak
amanah Allah sering di sebut dzaluman jahula (tindakan dzalim dan aniaya
yang amat bodoh). Di samping itu konsep Jahiliyah juga lebih menekankan pada
sifat suatu sistem budaya atau peradaban bukan hanya menunjuk abad tertentu
(kegelapan dan kebodohan) sebelum Islam.
Adapun ciri yang
melekat pada masa pra Islam (Jahiliah)
menurut Muhammad Qutub meliputi sombong, angkuh, dan tidak mau diremehkan sudah
merupakan ciri kehidupan arab dijaman Jahiliah. Kadang-kadang masalah sepele
bisa membuatnya menghunuskan pedang tanpa peduli dia bisa mati karena
berkelahi. Mati baginya lebih baik dari pada diam tidak membalas. Menurutnya
diam sama artinya dengan membiarkan orang mencoreng muka dan kabilahnya dengan
arang, suatu aib yang bisa jadi bahan pergunjingan orang seumur hidupnya.[5] Sedangkan menurut Mohd
Hamid menyatakan bahwa pada masa ini penyembahan berhala, semangat kabilah yang
kuat, diskriminasi gender, serta keterbatasan informasi sosial merupakan bagian
ciri-ciri masyarakat Arab jahiliyah.[6]
Menurut sayyid Qutub
pada masyarakat jahiliah terdapat beberapa sifat dan ciri masyarakat jahiliyah
yaitu mereka memakan dan merampas hak dan harta anak yatim, anak kecil, wanita
dan orang lemah dijadikan objek yang selalu di dzalimi hingga tidak diserahkan
kepada mereka bagian dari warisannya, mereka meletakkan derajat kaum wanita
tidak terhormat dan memperlakukan dengan kasar dan penuh kedzaliman dalam semua
putaran kehidupannya juga hak warisan mereka dihalang-halangi, masyarakat yang
goyah sendi-sendi kekeluargaannya di sebabkan rendahnya posisi wanita di dalam
keluarga, mereka suka memakan harta orang lain dengan batil dengan cara
transaksi ribawi, hak-hak dirampas, amanah dinodai, keadilan tidak
ditegakkan sehingga tidak ada orang yang mendapatkan keadilan kecuali mereka
yang kuat. Di dalam masyarakat tidaklah dinafkahkan harta kecuali karena ingin
dipuji orang lain dan untuk membangga-banggakan.[7]
C. Struktur
Masyarakat Arab Jahiliah
Keseimbangan dalam semua aspek kehidupan adalah idealisme
Islam. Islam datang di tengah
situasi dan kondisi sosial yang benar-benar bobrok hingga disebut zaman
jahiliyah. Strata sosial dalam
masyarakat Arab jahiliyah sangat timpang. Perbudakan merajalela, kaum wanita
ternista, moralitas berada di titik nadir, dan yang terjadi adalah hukum rimba (homo
homini lupus) artinya siapa yang kuat dialah yang menguasai.
Masyarakat Arab Pra Islam merupakan
masyarakat yang didominasi kaum laki-laki. Kaum wanita tidak memiliki stasus
apapun kecuali sebagai objek seks (pemuas nafsu birahi mereka). Jumlah wanita
yang boleh dinikahi seorang lelaki tidak terbatas jumlahnya. Bila seorang
laki-laki meninggal dunia maka putranya dapat mewarisi seluruh istri yang
ditinggalkannya, kecuali ibu kandungnya. [8]
Masyarakat Arab ketika
itu terdiri atas kabilah-kabilah atau suku-suku yang selalu
berebut pengaruh atau kekuasaan dan sumber-sumber ekonomi.
Peperangan antar suku dianggap hal biasa. Manusia dijadikan komuditas yang bisa
dijual belikan. Bahkan para isteri dianggap sebagai harta kekayaan
yang kemudian tatkala suaminya meninggal boleh diwariskan kepada
anak-anaknya.
Sebelum
Islam, masyarakat jazirah Arab terbagi menjadi ‘Arab dan A’rab. ‘Arab
adalah penduduk yang bertempat tinggal di kota yang merupakan pusat
peradaban, mereka disebut dengan Ahl al-Madar (penduduk kota), yakni
pemilik rumah bangunan. Sedangkan A’rab merupakan penduduk yang
bertempat tinggal di desa-desa dan disebut dengan Ahl al-Wabar (penduduk
desa) yakni mereka yang hidup di dalam tenda-tenda. Orang Arab desa atau
orang-orang Baduwi adalah suku-suku yang menempati tenda-tenda dan hidupnya
berpindah-pindah atau bersifat nomaden[9]
Meski
disebut sebagai kota Negara (city-state), Mekah tetap merupakan
masyarakat kesukuan hingga akhir penaklukannya pada masa Nabi Muhammad. Dalam
masyarakat arab terdapat organisasi clan (kabilah) sebagai intinya dan
anggota dari satu clan merupakan geneologi (pertalian darah). Sistem kependudukan
masyarakat dibangun menurut kabilah dimana anak-anak dari satu suku dianggap
saudara yang memiliki pertalian hubungan darah. Seorang Arab tidak akan dapat
memahami pemikiran negara kebangsaan melainkan dalam konteks sistem kesukuan (kabilah).[10]
Menurut Ibnu Hisyam "Adalah
hubungan negara kebangsaan yang mengikat keluarga ke dalam kesukuan,sebuah
negara yang didasarkan pada hubungan darah daging seperti halnya negara
kebangsaan yang dibangun di atas garis keturunan. Adalah hubungan kekeluargaan
yang mengikat semua individu ke dalam negara dan kesatuan. Hal ini dianggap
sebagai agama kebangsaan dan hukum perundangan-undangan yang telah mereka
sepakati."[11]
Suku merupakan kesatuan masyarakat artinya, suku
merupakan tempat munculnya (sumber) tatanan nilai-nilai kemasyarakatan yang
berkembang dalam masyarakat tersebut, bukan keluarga. Setiap individu merasakan
adanya hubungan persahabatan, bukan karena kekeluargaannya saja, melainkan
karena kesukuannya. Perasaan inilah yang akan membelanya saat mereka mendapat
serangan, bahkan membela mati-matian. Di jalan ini, mati merupakan kemuliaan
yang tinggi sedangkan lari dari peperangan merupakan aib. Perasaan seperti ini
juga senantiasa menyertai dalam beberapa peperangan yang dilakukan dengan
suku-suku lain.
Pada masing-masing suku baik Arab ataupun A’rab,
terdapat kelas sosial yang dibangun atas dasar kepemilikan materi sehingga
muncullah kelas orang kaya dan miskin. Diantara dua kelas ini terjadi jurang
pemisah yang sangat tajam sehingga menimbulkan jarak dan kerawanan sosial.
Salah satu bentuknya adalah kaum bangsawan menindas rakyat jelata dengan sesuka
hati dan segala cara. Realitas sosial seperti ini diabadikan oleh para penyair
padang pasir yang menyatakan bahwa kendatipun seseorang memiliki nasab mulia
dan kebaikan akan tampak hina dan rendah dikala dalam kondisi fakir.[12]
Hal ini disebabkan karena ukuran menilai seseorang dalam masyarakat dengan kepemilikan
harta benda. Bahkan bagi mereka yang bergelimang harta dapat melakukan apapun,
termasuk membeli manusia (perbudakan). Sistem perbudakan yang berlangsung di
masyarakat jazirah Arab memiliki titik korelasi dengan tradisi bangsa-bangsa
kuat seperti Yunani yang terkenal dengan perbudakannya pada saat itu. Selain
perbudakan, struktur masyarakat menempatkan kaum perempuan pada posisi subordinat,
bahkan eksistensi seorang perempuan tidak dianggap sebagai manusia. Perempuan tidak
memiliki sektor publik dimana dia bisa mengaktualisasikan diri bahkan kehadiran
perempuan sering kali dianggap sebagai aib dan beban hidup di masa depan
sehingga untuk mengantisipasinya, bayi perempuan dikubur hidup-hidup ketika
baru dilahirkan.
Setiap
anggota merupakan aset seluruh kabilah di mana munculnya seorang penyair
kenamaan misalnya, ahli perang pemberani, orang terkenal dalam kebaikan dalam
satu kabilah, akan membuat kehormatan dan nama baik seluruh garis keturunannya.
Di antara tugas utama tiap pendukung kesukuan adalah mempertahankan bukan saja
terhadap anggotanya melainkan setiap mereka yang secara sementara seperti
tamu-tamu yang hadir di bawah bendera kabilah. Memberi proteksi pada mereka
merupakan suatu kehormatan yang dicapai. Oleh karena itu, kota Mekah sebagai
kota kenegaraan selalu siap menyambut setiap pendatang menghadiri perayaan,
melakukan ibadah haji, atau pun sekadar lewat dengan rombongan berunta. Memberi
pelayanan permintaan ini memerlukan keamanan dan fasilitas yang memadai, dan,
oleh karena itu institusi kemudian dibangun di kota Mekah.
Pada
masyarakat Arab Pra Islam, ikatan kekeluargaan dan kesukuaannya sangat kuat.
Saking kuatnya ikatan kekeluargaan dan kekerabatan suku, bagi mereka tidak ada
musibah yang lebih hebat dan menyakitkan selain putus keanggotaan dengan suku
mereka. Seseorang yang tidak memiliki anggota suku manapun, disebuah
negeri yang menganggap orang asing sebagai
musuh, mirip orang yang tidak memiliki tanah pada masa feodalisme inggris. Meski
pada dasarnya ditetapkan oleh sebab kelahiran (nasab), hubungan
persaudaraan klan bisa juga didapatkan oleh seseorang dengan cara ikut
makan atau minum bersama beberapa tetes darah dari klan tertentu. [13]
Pada
masa ini orang arab memandang dirinya merupakan bangsa terbaik (khair al
umam). Kemurnian darah, kefasihan bahasa, keindahan puisi, kekuatan pedang
dan kudanya, dan yang paling penting kemuliaan keturunan (nasab) merupakan
kebanggaaan utama orang arab.
D. Budaya
Masyarakat Arab Jahiliah
Sebenarnya sejarah bangsa arab didirikan di atas
fondasi ajaran yang hanif yang dulu di bawa Nabi Ibrahim AS. Beliaulah
bapak para Nabi yang membuat seluruh sendi kehidupan bangsa arab menyatu dalam
ajaran Tauhid di bawah terang cahaya hidayah Allah. Beberapa waktu kemudian
bangsa arab berlahan-lahan menjauhi kebenaran ajaran itu. Seiring dengan
berlalunya waktu kehidupan mereka pun mulai tenggelam dalam kemusyrikan dan
kebodohan yang membutakan.[14]
Pada dasarnya kultur yang berkembang pada masyarakat
Arab pada umumnya adalah kultur klenik yang mempercayai takhayul dan khurafat. Sebagai
contoh mereka melarang keras membunuh ular karena apabila mereka mati hantu
ular itu akan datang membalas, apabila orang telah mati, maka rohnya akan
menjadi seekor burung yang di sebut Hammah, mereka biasa memakai cincin
dari besi atau tembaga dengan kepercayaan akan menambah kekuatan dan masih
banyak lainnya.[15] Fakta
arab pra islam memang berbeda dengan Yunani yang di kenal dengan kecenderungan
pada Filsafat. Jika orang-orang Yunani melihat persoalan secara komprehensif
dengan logika, tetapi orang-orang Arab pra Islam cenderung melihat persoalan
secara parsial.[16]
Di samping itu, memang harus diakui bahwa Arab bukanlah masyarakat yang
dikenal Ilmu pengetahuan dan filsafat. Justru Masyarakat Arab di kenal karena
bahasa, puisi, amsal dan kisah. Ketiganya merupakan modal kebudayaan dan
rasionalitas yang memungkinkan masyarakat
mempunyai kehidupannya sendiri. Ia menjadi ruh dari masyarakat arab
untuk hidup dalam sebuah system sebagai masyarakat lainnya.
Dalam hal pendidikan, di kalangan orang-orang arab jumlah
individu yang dapat menulis dan membaca masih terbilang sangat sedikit. Ini
lantaran sebagian dari mereka tidak berhasrat untuk mepelajarinya. Beberapa
sejarawan berpendapat nyaris secara keseluruhan budaya yang berkembang pada
masa itu adalah budaya lisan. Dalam hal ini orang Yahudi dan Nasrani berperan
sebagai para pemelihara kekayaan pengetahuan yang dimiliki orang-orang arab.
Prestasi Intelektual orang-orang Arab pra Islam adalah syair-syair mereka.
Kebanggaan yang paling besar baik sebelum dan sesudah kedatangan Islam adalah
kefasihan (berbicara) dan syair-syair mereka.[17]
Sebagai komunitas yang awam dalam budaya baca tulis
maka bangsa Arab menjadikan budaya lisan sebagai media pelestarian tradisi yang
utama. Dan syair merupakan ungkapan pikiran, pengetahuan dan pengalaman hidup.
Hampir semua pengungkapan itu melalui bentuk syair, dan yang lainnya
berupa natsr (prosa), amtsal (perumpamaan), khitabah (pidato),
dan lainnya. Kegiatan membuat dan membacakan syair-syair di depan umum
dilakukan di suatu pasar yang disebut Ukadz. Diantara syair-syair yang
terpilih kemudian digantungkan di dinding Ka’bah sebagai bentuk apresiasi yang
biasa disebut mu’allaqat [18]
Bahasa merupakan faktor yang penting dalam
pembentukan kebudayaan orang-orang Makah pra Islam. Ia menjadi salah satu
kekuatan, karena dengan bahasa mereka
mampu menjalin kerja sama dengan masyarakat Arab lainnya di luar Makkah. Bahasa
telah menjadikan Makkah sebagai masyarakat yang mampu berinteraksi dengan
masyarakat lainnya. Inilah yang di sebut
Ibnu khaldun dalam Al Mukaddimah sebagai bagian dari peradaban.[19]
Dan bangsa arab sejak jaman dahulu
merupakan bangsa terkenal karena mempunyai bahasa dan kesusatraan
tinggi. Pada masa jahiliyah keindahan dan ketajaman bahasa dan kesusastraan
mereka sangat menarik hati orang yang sungguh-sungguh belum tahu dan sudah tahu
bahasa arab. Di samping itu syair merupakan salah satu kekuatan tersendiri,
karena hal tersebut sebagai cara untuk mengekpresikan perasaan orang-orang
Arab. Keindahan sastra, sajak dan syair mereka dalam menggambarkan khayalan,
melukiskan keindahan alam, keadaan langit, bulan, dam bintang-bintang, air dan
lain sebagainya. Ketrampilan mereka jarang dapat ditiru oleh bangsa-bangsa lain
didunia, bagaimanapun tinggi bahasa dan kesusasteraannya.[20]
Kumpulan syair disebut dengan puisi (diwan) yang
merupakan medium pengungkapan yang paling dikenal oleh orang Arab dan merupakan
produksi kebahasaan pertama. Kemudian disusul oleh pidato (khitabah) sebagai
budaya lisan kedua. Baik puisi (penyair) dan khitabah (khotib) memiliki
fungsi social yang cukup berpengaruh di komunitas masyarakat Arab. Puisi bisa
dilakukan oleh siapa saja yang memiliki kemampuan dalam olah kata, namun khotib
mensyaratkan disampaikan oleh pemimpin di kalangan kaumnya dan menjadi panutan
akhlak dan tingkah lakunya. Karena keberadaan khotib berfungsi sebagai mediator
diantara kaum, raja dan kepala [21]
Sebutan masyarakat jahiliah sebagai zaman kebodohan sebenarnya
kurang tepat. Zaman jahiliah bisa dikatakan sebagai zaman dimana
orang-orang Arab Jahiliyah dahulu memiliki sifat pembangkang kepada
Tuhannya. Mereka memiliki akal pikiran namun tidak
dipergunakan. Mereka bertingkah diluar aturan Tuhan. Didukung dengan
lingkungan padang pasir, dapat memengaruhi pembentukan mental dan karakter yang
keras. Kehancuran dan keruntuhan nilai hidup insan menyeruak daam tingkah
laku mereka yang sangat bejat, tak bermoral, dan bobrok. Diantara
kerusakan moral bangsa arab sebelum Islam datang keji antara lain: [22]
Pertama, Meminum arak. Meminum arak adalah salah satu adat kebiasaan
bangsa arab saat iru. Hampir rata-rata
diantara mereka adalah peminum. Diantara salah satu cara meminum arak adalah
dengan minum bersama-sama dalam suatu pertemuan. Dalam pada itu juga dilakukan
perjudian. Jadi meminum sambil berjudi. Demikianlah sampai beberapa puluh unta
di potong dari taruhan judinya. Apabila setelah berjudi, unta-unta yang telah
di potong (sembelih) dagingnya dibagi-bagikan kepada fakir miskin dan juga
dimakan bersama-sama sambil dihibur perempuan-perempuan bernyanyi.
Kedua, Perjudian. Judi atau bermain judi termasuk salah satu
permainan yang umumnya sangat di sukai oleh bangsa arab sebelum Islam datang.
Cara mereka berjudi yang biasa mereka mainkan bermacam-macam. Misalkan dengan
bertaruh sesuatu atau dengan cara berlotre unta diantara beberapa orang. [23]
Ketiga, Pelacuran. Pelacuran atau perzinaan antara laki-laki dan
perempuan pada masa sebelum datangnya Islam merupakan perbuatan biasa dan tidak
menjadikan rendahnya derajat orang yang mengerjakan. Pelacuran dengan
terang-terangan tidak diperbolehkan, tetapi orang boleh mengerjakan dengan cara
tertutup. Para perempuan pelacur dengan terang-terangan membuka kedai pelacuran
dan untuk tandanya mereka memasang bendera di depan rumah masing-masing.
Beberapa laki-laki boleh mendatangi satu perempuan dan mencampuri seseorang
seperti istri bersama. Dan apabila perempuan itu hamil, maka mereka dipanggil
oleh perempuan itu dan kepada lelaki mana anak diserahkan. Lelaki itu harus
menerima dan mau menjadi bapaknya[24]
Keempat, Pencurian dan perampokan. Kekejaman yang dilakukan bangsa
arab pada masa jahiliah merupakan perbuatan yang biasa. Barang yang dirampok
itu bukan hanya harta saja tetapi segala yang didapat termasuk orang yang
dirampok. Mereka dijadikan budak yang bisa dijual belikan .[25]
Kelima, Kekajaman. Kekejaman bangsa arab pada masa itu dapatlah dikatakan
sampai melewati batas perikemanusiaan. Mereka memandang rendah derajat wanita
dan membunuh bayi perempuan yang baru lahir. Wanita diperjual belikan
untuk dijadikan budak dan menjadi pemuas nafsu laki-laki. Bahkan ada
hartawan yang memiliki banyak budak menjadikan hambanya sebagai alat pelacuran,
sehingga pendapatan mereka harus diberikan pada tuannya. Mereka juga membunuh
anak perempuan yang baru lahir ini dikarenakan mereka takut kelak anaknya
dirampas menjadi budak, sehingga mereka dapat menurunkan kehormatan keluarga
dan kabilahnya. Karena wanita ini dianggap tidak begitu cakap dan efektif
untuk mengikuti perang. Namun tidak seluruh bangsa Arab memandang rendah
wanita, ada diantaranya yang menghormati martabat kaum wanita, seperti disuruh
mencari kayu bakar, memerah susu, dan lain-lain.
Keenam, Kekotoran dalam urusan makan dan minum. Dalam urusan makan dan minum
dapat dikatakan tidak ada yang dilarang karena tidak ada yang dianggap kotor
dan jijik. Segala macam binatang boleh dimakan. Bangkaipun boleh dimakan.
Binatang hidup disayat lalu dibakar dan di makan. Binatang mati karena di
pukulpun mereka makan. Dan darah dari binatang itupun diminum. Dan kadang
dibekukan kemudian dimakan.[26]
Dan ketujuh, Tidak mempunyai kesopanan. Pada masa ini
mereka tidak mempunyai kesopanan. Misalkan saat melaksanakan thawaf,
mengelilingi Ka’bah pada musim haji lelaki ataupun perempuan telanjang. Mandi
dengan tidak menutupi kemaluan ditempat umum sudah menjadi adat kebiasaan.
Demikian juga pada saat buang air kecil. Jadi soal aurat baik laki-laki maupun
perempuan bukan menjadi soal yang penting.[27]
E. Epilog
Kehidupan masyarakat jahiliyyah ini merupakan
bagian dari sejarah Islam. Masyarakat Arab Pra Islam (Jahiliah), di jazirah
Arab sebelumnya telah tinggal masyarakat
dengan suatu pola dan struktur ssosial dan kebudayaan tertentu. Mereka
hidup dalam suatu kabilah-kabilah. Mereka disebut masyarakat
Jahiliyah. Sebutan itu ditujukan kepada mereka karena karakter dan tabiat
mereka yang keji, dan membangkang kepada Tuhan. Mereka senang menyembah
berhala dan melakukan maksiat serta membunuh. Di satu sisi, mereka juga
memiliki budaya yang tinggi dalam kesusastraan, syair.
Daftar Pustaka
Al buthi, 2009, Fikih Sirah, ; Hikmah
tersirat dalam lintas sejarah Rasulullah,
terjemah, Jakarta; PT Hikmah,
Al A’zami ,M.Mustofa, , Sejarah Teks
Al Qur’an; Dari wahyu sampai
Kompilasinya, terjemah. Jakarta; Gema Insani Press
Faisol ,Achmad, 2010 Menggagas Perubahan Sosial Profetik, Jurnal Salam UMM, Vol 13, No 02 dalam
ejournal.umm.ac.id
Hamid, Mohd Liki, Pengajian Tamaddun
Islam, Kuala Lumpur; PTS Profesional
Hitti ,Philip K, 2006, History of the
Arabs, Jakarta; PT Serambi ilmu semesta
Karim, Abdul Khalik, 2002, Hegemoni
Quraisy; Agama, Budaya, Kekuasaan. Terj M. Faisol Fatawi Yogyakarta: LKiS.
Khalil, Munawar, 2001, Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad SAW Jilid
I, Jakarta; Gema Insani Press
Misrawi , Zuhairi, 2009, Mekkah; Kota
Suci, Kekuasaan dan Teladan Ibrahim,
Jakarta; PT Kompas,
Nurhakim,
Noh. 2003. Sejarah Peradaban Islam. Malang: UMM Press
Qutb,
Muhammad, 1995,Perlukah Menulis Ulang Sejarah Islam, Jakarta;
Gema Insani Press
Quthb, Sayyid, 2001,Tafsir fi
dhilalil Qur’an jilid 2, Jakarta; Gema Insani Press
Razwi ,Sayyid Ali Asgher, Muhammad
Rasululullah SAW; Sejarah lengkap
kehidupan dan perjuangan Nabi Muhammad menurut sejarawan Timur dan barat, terj
Jakarta; Pustaka Zahra
Solikhin , Muhammad,2008,Hadirkan
Alloh di Hatimu, Solo; Tiga Serangkai
[1] Achmad Faisol, 2010, Menggagas
Perubahan Sosial Profetik, Jurnal
Salam UMM, Vol 13, No 02 dalam ejournal.umm.ac.id
[2] Muhammad Qutb, 1995,Perlukah
Menulis Ulang Sejarah Islam, Jakarta; Gema Insani Press, hal 53
[3] Ibid hal 57
[4] Muhammad Solikhin,2008,Hadirkan
Alloh di Hatimu, Solo; Tiga Serangkai, hal 80
[5] Muhammad Quthb, ibid hal 133
[6]
Mohd Liki Hamid, Pengajian
Tamaddun Islam, Kuala Lumpur; PTS Profesional, hal 20
[7] Sayyid Quthb, 2001,Tafsir fi
dhilalil Qur’an jilid 2, Jakarta; Gema Insani Press, Hal 259
[8] Sayyid Ali Asgher Razwi, Muhammad
Rasululullah SAW; Sejarah lengkap
kehidupan dan perjuangan Nabi Muhammad menurut sejarawan Timur dan barat,
terj Jakarta; Pustaka Zahra, hal 29
[9] Akhmad Faisol, ibid
[10]
M.Mustofa Al A’zami, Sejarah
Teks Al Qur’an; Dari wahyu sampai
Kompilasinya, terjemah. Jakarta; Gema Insani Press, hal 23
[11] Ibid
[12]
Akhmad Faisol, ibid
[13]Philip K Hitti, 2006, History
of the Arabs, Jakarta; PT Serambi ilmu semesta, hal 33
[14] Al buthi, 2009, Fikih Sirah,
; Hikmah tersirat dalam lintas sejarah
Rasulullah, terjemah, Jakarta; PT Hikmah, Hal 36-37
[15]
Munawar Khalil, 2001, Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad SAW Jilid
I, Jakarta; Gema Insani Press, hal
25
[16] Zuhairi Misrawi, 2009, Mekkah;
Kota Suci, Kekuasaan dan Teladan Ibrahim,
Jakarta; PT Kompas, hal 116
[17] Sayyid Ali Asgher Razwi,ibid hal 32
[18] Nurhakim, Noh. 2003. Sejarah
Peradaban Islam. Malang: UMM Pres. Hal 17-18
[20] Munawar Khalil, 2001, ibdid, hal 122
[21] Karim, Abdul Khalik, 2002, Hegemoni Quraisy;
Agama, Budaya, Kekuasaan. Terj M. Faisol Fatawi Yogyakarta: LKiS. Hal
329-331 Dalam Achmad Faisol.
[22] Munawar Khalil, 2001, ibid, hal 27
[23] Sayyid Ali Asgher Razwi, Ibid
hal 29
[24] Ibid hal 28
[27]
Ibid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar